Selain menguasai bidang farmasi, masyarakat muslim juga tercatat sebagai peradaban
pertama yang memiliki apotek atau toko obat. Jauh sebelum peradaban barat mengenal
apotek, ummat Islam telah memilikinya terlebih dahulu. Apotek pertama di dunia berdiri di
ibu kota kekhalifahan Abbasiyah, Baghdad pada tahun 754 M. Sementara itu, apotek baru
berkembang di Eropa baru pada abad ke-15.
Dengan berkembangnya ilmu farmasi, apotek atau tokoh-toko obat tumbuh dengan cepat dan
menjamur di kota-kota Islam. hampir di setiap rumah sakit besar di kota-kota Islam
dilengkapi dengan apotek atau instalasi farmakologi. Apotek-apotek itu dikelola oleh
apoteker yang menguasai ilmu peracikan obat.
Toko-toko obat yang banyak jumlahnya tidak hanya terdapat di Baghdad, tapi juga di kota-
kota Islam lainnya. Para ahli farmasi ketika itu sudah mulai mendirikan apotek sendiri.
Mereka menggunakan keahlian yang mereka miliki untuk meracik, menyimpan, dan menjaga
aneka obat-obatan. Pemerintah muslim turut mendukung pembangunan di bidang farmasi.
Rumah sakit milik pemerintah yang ketika itu memberikan perawatan kesehatan secara gratis
bagi rakyatnya juga menyediakan laboratorium untuk meracik dan memproduki aneka obat-
obatan dalam skala besar.
Pengawasan obat-obatan yang dilakukan secara ketat dan teliti telah diterapkan di era
kekhalifahan Islam. Keamanan obat-obatan yang dijual di apotek swasta dan pemerintah
diawasi secara ketat. Secara periodik, pemerintah melalui pejabat dari Al-Muhtasib (badan
pengawas obat-obatan) mengawasi dan memeriksa seluruh obat dan apotek. Para pengawas
itu secara teliti mengukur akurasi berat dan ukuran kemurnian dari obat yang digunakan.
Pengawasan yang ketat itu dilakukan untuk mencegah penggunaan bahan-bahan berbahaya
dalam obat dan sirup. Semua itu dilakukan semata-mata untuk melindungi masyarakat dari
bahaya obat-obatan yang tidak sesuai aturan.
Di antara ilmuwan muslim yang turut menopang tumbuhnya apotek di dunia Islam adalah Al-
Biruni (973-1050 M). Ia menulis buku farmakologi yang sangat berharga berjudul “Kitab As-
Shaydalah”, buku tentang obat-obatan. Dalam kitabnya itu, Al-Biruni menjelaskan secara
detail pengetahuan mengenai peralatan untuk pembuatan obat-obatan, peran farmasi, fungsi,
dan tugas apoteker.
Setelah dinyatakan terpisah dari ilmu kedokteran, beragam penelitian dan pengembangan
dalam bidang farmasi kian gencar dilakukan. Pada masa itu, para sarjana dan ilmuwan
muslim secara khusus memberikan perhatian untuk melakukan investigasi atau pencarian
terhadap beragam produk alam yang bisa digunakan sebagai obat-obatan di seluruh pelosok
dunia Islam.
Seperti halnya di bidang kedokteran, dunia farmasi Islam lebih unggul dari Eropa. Ilmu
farmasi baru berkembang di Eropa mulai abad ke-12 atau empat abad setelah Islam
menguasainya. Karena itulah, Barat banyak meniru dan mengadopsi ilmu farmasi yang
berkembang terlebih dahulu di dunia Islam. ummat Islam mendominasi bidang farmasi
hingga abad ke-17. Setelah era keemasan Islam memudar, ilmu meracik dan membuat obat-
obatan lalu dikuasai oleh Barat.
Ilmuwan lainnya yang berjasa dalam bidang farmasi adalah Al-Biruni. Melalui kitabnya
berjudul “As-Saydalah fi At-Tibb”, ia mengupas secara lugas mengenai seluk beluk ilmu
farmasi. Dalam kitabnya yang diselesaikan pada tahun 1050 itu, Al-Biruni tak hanya
mengupas dasar-dasar farmasi, tapi juga meneguhkan peran farmasi serta tugas dan fungsi
yang diemban oleh seorang farmakolog.
Ada juga Abu Ja’far Al-Ghafiqi, ilmuwan di abad ke-12. Dalam kitabnya “Al-Jami’ Al-
Adwiyyah Al-Mufradah” mencakup ilmu tentang komposisi, dosis, meracik, dan menyimpan
obat-obatan. Risalahnya itu memaparkan tentang pendekatan dalam metodologi, eksperimen,
serta observasi dalam farmakologi dan farmasi.