Bagi kita umat Islam sebenarnya kita tidak perlu jauh-jauh mencari contoh untuk membangun
karakter muslim profesional yang kuat tersebut. Contoh sempurnanya sudah ada, dan jabaran
detilnya-pun sudah ditulis oleh para ulama salaf. Dengan mengikuti petunjuk-petunjuk dan
contoh-contoh tersebut – insyaallah kita sudah akan menjadi generasi unggulan.
Untuk standar generasi kuat itu seperti apa misalnya, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
memberi kita standarnya : “Sebaik-baik manusia adalah generasiku ( para sahabat ) kemudian
generasi berikutnya (tabi’in) kemudian generasi berikutnya ( tabiu’t tabi’in ).” (Hadits Bukhari
& Muslim).
Lantas karakter seperti apa yang dimiliki para generasi awal tersebut sehingga mereka unggul
dibandingkan kita yang hidup di jaman ini ?. Yang jelas adalah karakter keimanannya. Maka
apabila umat ini ingin mencapai keunggulan mendekati generasi-generasi awal tersebut,
penguatan iman-lah jawabannya.
Untuk iman ini, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam Shahih Muslim dan Shahih
Bukhari dengan narasi yang berbeda meng-indikasikan bahwa “Iman itu ada 70 lebih cabang
dan malu adalah termasuk iman”. Ulama hadits dari generasi awal – Imam Al-baihaqi,
kemudian menjabarkannya dalam 77 aplikasi iman.
Maka itulah salah satu sumber-sumber autentik yang sudah seharusnya menjadi pilihan dalam
membangun karakter muslim profesional yang kuat yatu bila kita dididik dengan kekuatan
iman yang mendekati generasi terbaik di jaman Rasululah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan
para sahabat beliau, maka insyaallah kwalitas generasi ini juga akan bisa mendekati kwalitas
generasi awal tersebut.
7 habits untuk membangun karakter muslim profesional yang kuat tersebut misalnya :
Menjadi proaktif artinya memiliki kebebasan pribadi dalam berpikir dan bertindak. Pikiran dan
tindakannya bukan hasil dari pengaruh lingkungan atau perbuatan dan perkataan orang lain.
Manusia berbeda dengan hewan, sebab manusia memiliki kesadaran untuk memilih respon
sehingga ia bisa bertindak berdasarkan nilai-nilai, tidak terpengaruh kondisi, emosi, atau
perasaan. Dengan demikian, manusia mampu mengendalikan dirinya.
Tentang kebiasaan proaktif ini, saya teringat pada ajaran Islam. Beberapa ayat dalam Al-
Qur’an serta teladan Rasulullah mencerminkan sikap proaktif.
4. Mengendalikan hawa nafsu, seperti yang dicontohkan Nabi Yusuf dalam surat Yusuf.
1. Menjenguk orang Yahudi yang sedang sakit, meskipun orang Yahudi tersebut tiap hari
meludahi beliau.
2. Setiap hari menyuapi dengan lembut seorang pengemis buta, meskipun setiap hari pengemis
itu menghina beliau.
3. Pada saat Fathul Makkah, Rasululah memaafkan orang-orang kafir yang dahulu menyakiti
beliau dan umat muslim, meskipun pada momen Fathul Makkah, beliau sangat berkesempatan
untuk membalas kejahatan orang-orang kafir tersebut.
Jadi, inti proaktif adalah tetap bersikap sesuai prinsip dan nilai-nilai kebaikan dalam kondisi
apapun. Inisiatif artinya menggunakan sumber daya dan inisiatif yang ada dalam dirinya,
bergerak tanpa menunggu pertolongan dari orang lain atau situasi yang mendukung. Dengan
bersikap inisiatif, kita akan mampu menciptakan kondisi baru dan menjadi bagian dari solusi.
Membayangkan akhir hidup kita yaitu ketika sudah meninggal nanti, kita ingin dikenang
sebagai apa dan siapa di setiap peran kehidupan kita. Misalkan dalam kehidupan sebagai
seorang isteri/ibu, kelak ingin dikenang sebagai isteri/ibu yang bagaimana. Begitu pula dengan
peran sebagai individu di masyarakat atau lingkungan kerja, ingin dikenang sebagai orang yang
bagaimana.
Tulis dengan baik misi hidup pribadi, lalu biasakan diri untuk bersikap seperti yang kita ingin
dikenang, dalam kehidupan sehari-hari. Demikian pula dalam kehidupan keluarga, ajak semua
anggota keluarga untuk menentukan misi keluarga.
Di kebiasaan ke-2 ini, kita juga dituntut untuk ‘menjadi’, bukan ‘memiliki’. Misalnya kita ingin
memiliki pasangan yang sabar, perhatian, dan romantis. Maka terlebih dahulu jadikan diri kita
sendiri sebagai orang yang sabar, perhatian, dan romantis. Jika ingin memiliki anak yang
disiplin, kita harus lebih dulu menjadi disiplin.
Memprioritaskan ha-hal yang ‘penting dan tidak mendesak’ dalam setiap peran kehidupan.
Buat jadwal mingguan dan letakkan pos-pos kegiatan yang ‘penting dan tidak mendesak’ di
hari-hari tertentu. Patuhi jadwal yang telah dibuat, kemudian lakukan evaluasi.
Orang-orang yang sukses dalam hidupnya adallah mereka yang fokus pada aktifitas yang
‘penting dan tidak mendesak’.
4. Berpikir Menang-Menang
Dalam hubungan dengan orang lain, ada kalanya kita berbeda pendapat dalam mencapai tujuan.
Maka untuk mengatasinya adalah mencapai keputusan Menang-Menang, win-win
solution sehingga kedua belah pihak sama-sama bisa mencapai tujuannya.
Memahami lebih dulu, baru dipahami. Ya, jika kita ingin dipahami, maka kita harus lebih dulu
memahami orang lain.
Biarkan orang lain bicara lebih dulu. Dengarkan dengan tulus, pahami, terima. Lalu ulangi
maksud orang tersebut dengan kalimat lain. Dengan demikian, orang lain akan mau terbuka
pada kita sehingga terjalin percakapan yang nyaman. Di saat itu, barulah kita jelaskan pendapat
atau gagasan kita.
Konsep ini menganut prinsip Ethos-Pathos-Loghos yang berasal dari Yunani. Ethos artinya
membangun kepribadian diri yang baik. Pathos yaitu memelihara hubungan yang baik,
sedangkan Loghos artinya logika. Jadi apabila ingin menyampaikan pendapat, terlebih dahulu
perbaiki sikap kita, lalu sampaikan pendapat dengan santun agar hubungan antar keduabelah
pihak tetap terpelihara, lalu barulah sampaikan logika kita.
Jadi dalam perbedaan pendapat, jangan langsung menyajikan gagasan pribadi kita tanpa
mengindahkan sikap diri sendiri dan hubungan dengan orang lain.
6. Sinergi Kreatif
Sinergi artinya bekerja berdua, bertiga, dan seterusnya akan menghasilkan lebih baik dibanding
jika bekerja sendiri-sendiri.
Dalam sinergi kreatif, kita dilatih untuk menciptakan ‘alternatif ketiga’. Misalnya sinergi dalam
pernikahan. Jika suami menginginkan jalan A sedangkan isteri menginginkan jalan B, maka
lakukan sinergi, yaitu berbicara dan berpikir bersama sehingga menghasilkan jalan C yang bisa
memenuhi kebutuhan kedua belah pihak baik suami maupun isteri.
7. Mengasah Gergaji
Kebiasaan 7 adalah tentang mengasah kemampuan diri agar bisa konsisten melakukan 6
kebiasaan di atas. Kebiasaan 7 adalah melatih 4 aspek dalam diri kita yang terdiri dari: fisik,
mental, spiritual, dan sosial/emosional.
Mengasah gergaji ini harus dimasukkan ke dalam kebiasaan 2, yaitu dalam daftar rutinitas yang
‘penting namun tidak mendesak’. Menurut Stephen R. Covey, kebiasaan 7 ini harus dilakukan
selama 1 jam setiap hari.
Puncak sukses dari melakukan ‘7 Kebiasaan Manusia yang Sangat Efektif’ ini adalah kita
menjadi individu yang berpegang teguh pada nilai-nilai Ketuhanan, sehingga menjadi pribadi
yang senantiasa bertindak atas dasar nurani. Melihat bahwa dirinya dengan orang lain adalah
satu, tak terpisahkan. Dengan demikian kita akan mampu mencintai tanpa syarat tanpa batas.
Serta menjadi orang yang efektif, bahagia dan bermanfaat bagi semesta.
Well, Finally, karya Stephen R. Covey ini tidak hanya wajib dibaca, tapi lebih dari itu… wajib
dipraktekkan!!!
1. Demi masa.
2. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,
3. kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasihat menasihati
supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.
Ayat di atas menjelaskan bahwa manusia memang benar-benar berada dalam kerugian apabila
tidak memanfaatkan waktu yang telah diberikan oleh Allah secara optimal untuk mengerjakan
perbuatan-perbuatan baik. Hanya individu-individu yang beriman dan kemudian
mengamalkannyalah yang tidak termasuk orang yang merugi, serta mereka bermanfaat bagi
orang banyak dengan melakukan aktivitas dakwah dalam banyak tingkatan.
Lebih lanjut, dalam Al-Qur’an surat Al-Imran (3) ayat 104, Allah berfirman, “Dan hendaklah
ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang
ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung.”
Dengan demikian, hanya orang-orang yang mengerjakan yang ma’ruf dan meninggalkan yang
munkarlah orang-orang yang memperoleh keuntungan.
Setiap muslim yang memahami ayat di atas, tentu saja berupaya secara optimal
mengamalkannya. Dalam kondisi kekinian dimana banyak sekali ragam aktivitas yang harus
ditunaikan, ditambah pula berbagai kendala dan tantangan yang harus dihadapi.
Seorang muslim haruslah pandai untuk mengatur segala aktivitasnya agar dapat mengerjakan
amal shalih setiap saat, baik secara vertikal maupun horizontal. Secara vertikal, dirinya
menginginkan sebagai ahli ibadah, dengan aktivitas qiyamullail, shaum sunnah, bertaqarrub
illallah, dan menuntut ilmu-ilmu syar’i. Dalam hubungannya secara horizontal, ia
menginginkan bermuamalah dengan masyarakat, mencari maisyah bagi keluarganya,
menunaikan tugas dakwah di lingkungan masyarakat, maupun di tempat-tempat lainnya.
Semua itu tentu saja harus diatur secara baik, agar apa yang kita inginkan dapat terlaksana
secara optimal, tanpa harus meninggalkan yang lain. Misalnya, ada orang yang lebih
memfokuskan amalan-amalan untuk bertaqarrub ilallah, tanpa bermu’amalah dengan
masyarakat. Ada juga yang lebih mementingkan kegiatan muamalah dengan masyarakat, tetapi
mengesampingkan kegiatan amalan ruhiyahnya.
Dalam hal ini, manajemen waktu untuk merencanakan, mengatur, dan melaksanakan kegiatan-
kegiatan yang ada haruslah memiliki landasan-landasan berikut.
4. Visioner
Seorang muslim juga harus memiliki pandangan jauh ke depan, bisa mengantisipasi berbagai
persoalan yag akan terjadi di tahun-tahun mendatang.
Sementara, orang yang musta’jil menginginkan agar dalam waktu singkat ia mampu
melakukan hal-hal yang terpuji, sekaligus meninggalkan hal-hal yang tidak terpuji. Hal ini jelas
tidak sesuai dengan sunah kauniyah, yaitu hukum alam dan kebiasaan.
Landasan-landasan di atas hanya dapat dipenuhi, jika telah memenuhi syarat sebagai berikut.
Penanaman disiplin akan waktu, mengahargai waktu sejak kecil merupakan hal penting.
Dengan demikian, ia akan terbiasa untuk mengatur hidupnya secara mandiri dan optimal untuk
merencanakan berbagai macam aktivitas. Disiplin terkait dengan ibadah, tidur, makan,
termasuk senda gurau. Ali bin Abi Thalib mengatakan, “Berilah istirahat hati karena kalau
dipaksakan akan membabi buta.”
Munculnya indikasi kecerdasan pada seseorang merupakan faktor penting untuk bisa
mewujudkan hal di atas.