Anda di halaman 1dari 26

KUMPULAN MATERI

ETIKA KEFARMASIAN, KASUS DAN


KODE ETIK SERTA IMPLEMENTASINYA

Disusun oleh:

Nama : Hadi Kurniawan, S.Farm.


NIM : 12811090
Kelas : B

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA
2012

DAFTAR ISI
SAMPUL
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN: APAKAH ETIKA KEFARMASIAN ITU?
MENGAPA HARUS BELAJAR ETIKA KEFARMASIAN?
ETIKA KEFARMASIAN, PROFESIONALISME,
HAK ASASI MANUSIA DAN HUKUM
SIAPAKAH YANG MENENTUKAN SESUATU ITU ETIS?
APAKAH ETIKA KEFARMASIAN DAPAT BERUBAH?
APAKAH ETIKA KEFARMASIAN BERBEDA DI SETIAP NEGARA?
BAGAIMANA SESEORANG MEMUTUSKAN SESUATU ITU ETIS?
ETIKA
MORAL
ETIKA Vs MORAL
ETIKET
PERBEDAAN ETIKA & ETIKET
ETIKA PROFESI
SISTEM PENILAIAN ETIKA
PENGERTIAN PROFESI
PROFESI, PROFESIONAL, CIRI-CIRI PROFESI
PRINSIP-PRINSIP ETIKA PROFESI, SYARAT-SYARAT SUATU PROFESI
PERANAN ETIKA DALAM PROFESI
KODE ETIK PROFESI
PERKEMBANGAN KODE ETIK, TUJUAN KODE ETIK PROFESI
FUNGSI, TUNTUTAN DAN KARAKTERISTIK KODE ETIK PROFESI
PENYEBAB PELANGGARAN KODE ETIK, SANKSI PELANGGARAN
PRAKTIK PELAKSANAAN KODE ETIK
SUMPAH APOTEKER
JENIS PELANGGARAN KEGIATAN DI APOTEK
KOMPILASI KASUS RUMAH SAKIT
CONTOH PELANGGARAN ETIKA
KASUS PRODUKSI
KASUS PENGADAAN
KASUS DISTRIBUSI
KASUS PELAYANAN
KASUS MARKETING
APOTEKER DALAM DILEMA
PENDIRIAN APOTEK
UU KESEHATAN NO.36/2009 DIGUGAT!
KODE ETIK APOTEKER INDONESIA DAN JABARAN IMPLEMENTASINYA
IMPLEMENTASI SIKAP APOTEKER BERDASARKAN KODE ETIK ???
KODE ETIK PEMASARAN USAHA FARMASI INDONESIA
SUPLEMEN

PENDAHULUAN
APAKAH ETIKA KEFARMASIAN ITU?

Perhatikan kaus-kasus berikut ini, yang sangat mungkin terjadi hampir di semua negara:
1. Apoteker M menjadi penanggungjawab apotek di Kota W yang sekaligus sebagai
pemilik sarana apotek. Suatu saat ia mendapatkan tawaran untuk menjadi
penanggungjawab PBF PP dan ia menerima tawaran tersebut. Tanpa melepas status
sebagai APA, ia menjadi penanggungjawab PBF PP. Untuk mencapai target yang telah
ditetapkan perusahaan (PBF PP), apoteker M melakukan kerjasama dengan apotek
miliknya untuk mendistribusikan obat ke klinik dan balai pengobatan atau rumah sakit-
rumah sakit. Apotek akan mendapatkan fee dari kerjasama ini sebesar 2% faktur
penjualan. Semua administrasi dapat ia kendalikan dan lengkap (surat pesanan, faktur
pengiriman, faktur pajak, tanda terima, surat pesanan klinik dan balai pengobatan atau
rumah sakit ke apotek, pengiriman dari apotek ke sarana tersebut dll.). Semua
disiapkandengan rapi sehingga setiap ada pemeriksaan Badan POM tidak terlihat
adanya penyimpangan secara administrasi.
2. P, apoteker praktek di sebuah kota kecil, didekati oleh organisasi penelitian agar ikut
serta dalam uji klinik suatu obat AINS untuk osteoartritis. Dia ditawari sejumlah uang
untuk setiap pasien yang dia ikut sertakan dalam uji tersebut. Wakil organisasi tersebut
meyakinkan bahwa penelitian ini telah mendapatkan semua ijin yang diperlukan
termasuk dari Komite Etik Kedokteran. Apoteker P belum pernah ikut serta dalam uji
klinik sebelumnya dan merasa senang dengan kesempatan ini, terutama dengan uang
yang ditawarkan. Dia menerima tawaran tersebut tanpa lebih jauh lagi menanyakan
aspek etis dan ilmiah dari penelitian tersebut.
3. dll

Dari setiap kasus tersebut mengandung refleksi etis. Kasus-kasus tersebut menimbulkan
pertanyaan mengenai pembuatan keputusan dan tindakan apoteker bukan dari segi ilmiah
ataupun teknis seperti bagaimana menangani resep atau produksi obat ataupun bagaimana
melakukan penelitian yangsesuai dengan ethical clearence, namun pertanyaan yang muncul
adalah mengenai nilai, hak-hak, dan tanggung jawab. Apoteker akan menghadapi pertanyaan-
pertanyaan ini sesering dia menghadapi pertanyaan ilmiah maupun teknis. Di dalam praktek
kedokteran, tidak peduli apakah spesialisasinya maupun tempat kerjanya, beberapa pertanyaan
lebih mudah dijawab dibandingkan pertanyaan lain. Jadi apakah sebenarnya etika itu dan
bagaimanakah etika dapat menolong apoteker berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan
seperti itu?
Secara sederhana etika merupakan kajian mengenai moralitas - refleksi terhadap moral
secara sistematik dan hati-hati dan analisis terhadap keputusan moral dan perilaku baik pada
masa lampau, sekarang atau masa mendatang. Moralitas merupakan dimensi nilai dari
keputusan dan tindakan yang dilakukan manusia. Bahasa moralitas termasuk kata-kata seperti
’hak’, ’tanggung jawab’, dan ’kebaikan’ dan sifat seperti ’baik’ dan ’buruk’ (atau ’jahat’),
’benar’ dan ’salah’, ’sesuai’ dan ’tidak sesuai’. Menurut dimensi ini, etika terutama adalah
bagaimana mengetahuinya (knowing), sedangkan moralitas adalah bagaimana melakukannya
(doing). Hubungan keduanya adalah bahwa etika mencoba memberikan kriteria rasional bagi
orang untuk menentukan keputusan atau bertindak dengan suatu cara diantara pilihan cara yang
lain. Karena etika berhubungan dengan semua aspek dari tindakan dan keputusan yang diambil
oleh manusia maka etika merupakan bidang kajian yang sangat luas dan kompleks dengan
berbagai cabang dan subdevisi.

MENGAPA HARUS BELAJAR ETIKA KEFARMASIAN?

Ini beberapa alasan umum yang dikemukakan untuk tidak memberikan pelajaran etika
kefarmasian di kurikulum farmasi padahal etika mempunyai peran yang besar dalam kurikulum
sekolah pendidikan apoteker.
1. ”Asalkan apoteker memiliki pengetahuan dan keterampilan, maka etika tidak akan jadi
masalah”
2. ”Etika itu dipelajari di dalam keluarga, tidak di sekolah kefarmasian”
3. ”Etika kefarmasian dipelajari dengan mengamati bagaimana apoteker senior bertindak, bukan
dari buku atau kuliah”
4. ”........etika merupakan kajian mengenai moralitas - refleksi terhadap moral secara sistematik
dan hati-hati dan analisis terhadap keputusan moral dan perilaku.......”
5. ”Etika itu penting, tapi kurikulum kita sudah terlalu penuh dan tidak ada ruang untuk
mengajarkan etika”

Sebagian, hanya sebagian saja, yang valid. Secara bertahap sekolah-sekolah pendidikan
apoteker di dunia mulai menyadari bahwa mereka perlu membekali mahasiswanya dengan
sumber dan waktu yang cukup untuk belajar etika. Etika merupakan dan akan selalu menjadi
komponen yang penting dalam praktek pengobatan. Prinsip-prinsip etika seperti menghargai
orang, tujuan yang jelas dan kerahasiaan merupakan dasar dalam hubungan apoteker-pasien.
Walaupun begitu, penerapan prinsip-prinsip tersebut dalam situasi khusus sering problematis,
karena dokter, apoteker, pasien, keluarga mereka, dan profesi kesehatan lain mungkin tidak
setuju dengan tindakan yang sebenarnya benar dilakukan dalam situasi tersebut. Belajar etika
akan menyiapkan mahasiswa kefarmasian untuk mengenali situasi-situasi yang sulit dan
melaluinya dengan cara yang benar sesuai prinsip dan rasional. Etika juga penting dalam
hubungan apoteker dengan masyarakat dan kolega mereka dan dalam melakukan penelitian
kedokteran. Sangat sering, bahkan etika membuat standar perilaku yang lebih tinggi dibanding
hukum, dan kadang etika memungkinkan apoteker perlu untuk melanggar hukum yang
menyuruh melakukan tindakan yang tidak etis.

ETIKA KEFARMASIAN, PROFESIONALISME,


HAK ASASI MANUSIA DAN HUKUM

Etika telah menjadi bagian yang integral dalam pengobatan setidaknya sejak masa
Hippocrates, seorang ahli pengobatan Yunani yang dianggap sebagai pelopor etika kedokteran
pada abad ke-5 SM. Dari Hippocrates muncul konsep pengobatan sebagai profesi, dimana ahli
pengobatan membuat janji di depan masyarakat bahwa mereka akan menempatkan
kepentingan pasien mereka di atas kepentingan mereka sendiri. Saat ini etika kedokteran telah
banyak dipengaruhi oleh perkembangan dalam hak asasi manusia.
Di dalam dunia yang multikultural dan pluralis, dengan berbagai tradisi moral yang
berbeda, persetujuan hak asasi manusia internasional utama dapat memberikan dasar bagi etika
kefarmasian yang dapat diterima melampaui batas negara dan kultural. Lebih dari pada itu,
apoteker sering harus berhubungan dengan masalah-masalah medis dan obat karena
pelanggaran hak asasi manusia, seperti migrasi paksa, penyiksaan, dan sangat dipengaruhi oleh
perdebatan apakah pelayanan kesehatan merupakan hak asasi manusia karena jawaban dari
pertanyaan ini di beberapa negara tertentu akan menentukan siapakah yang memiliki hak untuk
mendapatkan perawatan medis.
Etika kefarmasian juga sangat berhubungan dengan hukum. Hampir di semua negara
ada hukum yang secara khusus mengatur bagaimana dokter harus bertindak berhubungan
dengan masalah etika dalam perawatan pasien dan penelitian. Badan yang mengatur dan
memberikan ijin praktek apoteker di setiap negara bisa dan memang menghukum apoteker
yang melanggar etika. Namun etika dan hukum tidaklah sama. Bahkan etika membuat standar
perilaku yang lebih tinggi dibanding hukum, dan kadang etika memungkinkan apoteker perlu
untuk melanggar hukum yang menyuruh melakukan tindakan yang tidak etis. Hukum juga
berbeda untuk tiap-tiap negara sedangkan etika dapat diterapkan tanpa melihat batas negara.
Namun pengobatan ilmiah memiliki keterbatasan terutama jika berhubungna dengan manusia
secara individual, budaya, agama, kebebasan, hak asasi, dan tanggung jawab. Seni pengobatan
melibatkan aplikasi ilmu dan teknologi pengobatan terhadap pasien secara individual, keluarga,
dan masyarakat sehingga keduanya tidaklah sama. Lebih jauh lagi bagian terbesar dari
perbedaan individu, keluarga, dan masyarakat bukanlah non-fisiologis namun dalam
mengenali dan berhadapan dengan perbedaan-perbedaan ini di mana seni, kemanusiaan, dan
ilmu-ilmu sosial bersama dengan etika, memiliki peranan yang penting. Bahkan etika sendiri
diperkaya oleh disiplin ilmu yang lain, sebagai contoh, presentasi dilema klinis secara teatrikal
dapat menjadi stimulus yang lebih baik dalam refleksi dan analisis etis dibanding deskripsi
kasus sederhana.
Secara umum apoteker diharapkan dapat mengaktualisasikan prinsip etika profesi
dengan derajat yang lebih tinggi dibanding orang lain. Prinsip etika profesi itu meliputi belas
kasih, kompeten, dan otonomi.
 Belas kasih, memahami dan perhatian terhadap masalah orang lain, merupakan hal yang pokok
dalam praktek pengobatan. Agar dapat mengatasi masalah pasien, apoteker harus memberikan
perhatian terhadapkeluhan/gejala yang dialami pasien dan memberikan nasehat yang
meredakan gejala tersebut dengan pengobatan dan harus bersedia membantu pasien
mendapatkan pertolongan. Pasien akan merespon dengan lebih baik jika dia merasa bahwa
apotekernya menghargai masalah mereka dan tidak hanya sebatas melakukan pengobatan
terhadap penyakit mereka.
 Kompetensi yang tinggi diharapkan dan harus dimiliki oleh apoteker. Kurang kompeten dapat
menyebabkan kematian atau morbiditas pasien yang serius. Apoteker harus menjalani
pelatihan yang lama agar tercapai kompetensinya. Cepatnya perkembangan pengetahuan dan
teknologi di bidang kefarmasian dan kedokteran, merupakan tantangan tersendiri bagi apoteker
agar selalu menjaga kompetensinya. Terlebih lagi tidak hanya pengetahuan ilmiah dan
ketrampilan teknis yang harus dijaga namun juga pengetahuan etis, ketrampilan, dan tingkah
laku. Masalah etis akan muncul sejalan dengan perubahan dalam praktek kefarmasian,
lingkungan sosial dan politik.
 Otonomi, atau penentuan sendiri, merupakan nilai inti dari pengobatan yang berubah dalam
tahun-tahun terakhir ini. Apoteker secara pribadi telah lama menikmati otonomi pengobatan
yang tinggi dalam menetukan bagaimana menangani pasien mereka. Apoteker secara kolektif
(profesi kesehatan) bebas dalam menentukan standar pendidikan farmasi dan praktek
pengobatan. Masih ada ditemukan (walaupun sedikit), apoteker yang menghargai otonomi
profesional dan klinik mereka, dan mencoba untuk tetap menjaganya sebanyak mungkin. Pada
saat yang sama, juga terjadi penerimaan oleh apoteker di penjuru dunia untuk menerima
otonomi dari pasien, yang berarti pasien seharusnya menjadi pembuat keputusan tertinggi
dalam masalah yang menyangkut diri mereka sendiri.

Selain terikat dengan ketiga nilai inti tersebut, etika kefarmasian berbeda dengan etika
secara umum yang dapat diterapkan terhadap setiap orang. Etika kefarmasian masih terikat
dengan Sumpah dan Kode Etik Apoteker. Sumpah dan kode etik beragam di setiap negara
bahkan dalam satu negara, namun ada persamaan, termasuk janji bahwa apoteker akan
mempertimbangkan kepentingan pasien diatas kepentingannya sendiri, tidak akan melakukan
deskriminasi terhadap pasien karena ras, agama, atau hak asasi menusia yang lain, akan
menjaga kerahasiaan informasi pasien, dan akan memberikan pertolongan darurat terhadap
siapapun yang membutuhkan.

SIAPAKAH YANG MENENTUKAN SESUATU ITU ETIS?

Etika bersifat pluralistik. Setiap orang memiliki perbedaan terhadap penilaian benar
atau salah bahkan jika ada persamaan bisa saja hal tersebut berbeda dalam alasannya. Di
beberapa masyarakat, perbedaan tersebut dianggap sebagai sesuatu yang normal dan ada
kebebasan besar bagi seseorang untuk melakukan apa yang dia mau, sejauh tidak melanggar
hak orang lain. Namun di dalam masyarakat yang lebih tradisional, ada persamaan dan
persetujuan pada etika dan ada tekanan sosial yang lebih besar, kadang bahkan didukung oleh
hukum, dalam bertindak berdasarkan ketentuan tertentu. Dalam masyarakat tersebut budaya
dan agama sering memainkan peran yang dominan dalam menentukan perilaku yang etis.
Jawaban terhadap pertanyaan, ”siapakah yang menentukan sesuatu itu etis untuk
seseorang secara umum?” karena itu bervariasi dari satu masyarakat dibanding masyarakat
yang lain dan bahkan dalam satu masyarakat sendiri. Dalam masyarakat liberal, setiap individu
memiliki kebebasan yang besar dalam menentukan bagi dirinya sendiri apakah yang etis,
walaupun sepertinya mereka akan sangat dipengaruhi oleh keluarga, teman, agama, media, dan
sumbersumber eksternal lain yang mereka dapat. Dalam masyarakat yang lebih tradisional,
keluarga dan garis keturunan, pemimpin agama, dan tokoh politik biasanya memiliki peran
lebih besar dalam menentukan apa yang etis dan tidak etis bagi seseorang. Terlepas dari
perbedaan ini, sepertinya sebagian besar manusia setuju dengan beberapa prinsip fundamental
dari etika, sebut saja, hak asasi manusia yang dinyatakan dalam United Nations Universal
Declaration of Human Rights serta dokumen lain yang telah diterima dan tertulis secara
resmi. Hak-hak asasi manusia yang terutama penting dalam etika kefarmasian adalah hak untuk
hidup, bebas dari deskriminasi, bebas dari siksaan dan kekejaman, bebas dari perlakuan yang
tidak manusiawi dan tidak pantas, bebas beropini dan berekspresi, persamaan dalam
mendapatkan pelayanan umum di suatu negara, dan pelayanan kefarmasian.
Bagi apoteker, pertanyaan ”siapakah yang menentukan sesuatu etis atau tidak?” sampai
saat ini memiliki jawaban yang berbeda-beda. Selama berabad-abad profesi kesehatan telah
mengembangkan standar perilakunya sendiri untuk anggotanya, yang tercermin dalam kode
etik dan dokumen kebijakan yang terkait. Dalam tingkatan yang global, IPF (International
Pharmachist Federation) telah menetapkan pernyataan etis yang sangat luas yang mengatur
perilaku yang diharuskan dimiliki oleh apoteker tanpa memandang dimana dan kapan dia
berada dan melakukan praktek. Banyak ikatan apoteker di suatu negara (jika tidak sebagian
besar) bertanggung jawab terhadap pengembangan dan pelaksanaan standar etis yang aplikatif.
Standar tersebut mungkin memiliki status legal, tergantung pendekatan negara tersebut
terhadap hukum praktek medis. Meskipun demikian, kehormatan profesi kefarmasian tidaklah
bersifat absolut. Sebagai contoh:
 Apoteker akan selalu dihadapkan pada hukum yang berlaku dimana dia berada dan kadang
dihukum karena melanggar hukum.
 Beberapa organisasi kesehatan sangat kuat dipengaruhi oleh ajaran agama, yang mengakibatkan
adanya kewajiban tambahan terhadap anggotanya selain kewajiban apoteker secara umum.
 Di banyak negara organisasi yang menetapkan standar bagi perilaku apoteker dan memonitor
kepatuhan, mereka memiliki anggota yang berpengaruh yang bukan apoteker.

Instruksi etis resmi dari organisasi profesi apoteker secara umum sama, mereka tidak
selalu dapat diterapkan di setiap situasi yang mungkin dihadapi apoteker dalam praktek
kefarmasian mereka. Di dalam kebanyakan situasi, apoteker harus memutuskan untuk dirinya
sendiri apakah yang benar untuk dilakukan, namun dalam mengambil keputusan tersebut, akan
sangat membantu jika mereka mengetahui apa yang dilakukan apoteker lain dalam situasi yang
sama. Kode etik apoteker dan kebijakan yang berlaku merupakan konsensus umum bagaimana
seorang apoteker harus bertindak dan harus diikuti kecuali ada alasan yang lebih baik mengapa
harus melanggarnya.

APAKAH ETIKA KEFARMASIAN DAPAT BERUBAH?

Sampai saat ini apoteker memiliki hak dan tugas untuk memutuskan bagaimana pasien
harus diberi obat dan tidak ada keharusan mendapatkan ijin tertulis pasien. Namun sejak
Declaration on the Right of the Patient tahun 1995 dimulai dengan kalimat: “Hubungan
antara dokter, pasien mereka, dan masyarakat yang lebih luas telah mengalami perubahan yang
nyata saat ini. Walaupun seorang dokter harus selalu bertindak benar menurut pemikirannya,
dan selalu berdasarkan kepentingan terbaik dari pasien, usaha yang sama juga harus tetap
dilakukan dalam menjamin otonomi dan keadilan pasien”. Saat ini orang-orang mulai berfikir
bahwa diri mereka sendiri merupakan penyedia kesehatan utama bagi mereka sendiri dan
bahwa peran tenaga kesehatan adalah bertindak sebagai konsultan dan instruktur. Walaupun
penekanan terhadap perawatan sendiri ini jauh dari keumuman, namun sepertinya terus
menyebar dan menggejala dalam perkembangan hubungan pasien-dokter-tenaga kesehatan
lainnya yang memunculkan kewajiban etik yang berbeda bagi apoteker dibanding sebelumnya.
Hingga akhir-akhir ini apoteker menganggap diri mereka sendiri bertanggung jawab terhadap
diri sendiri, kepada kolega profesi kesehatan mereka, dan terhadap agama yang dianut, Tuhan
Yang Maha Kuasa. Saat ini, mereka memiliki tanggung jawab tambahan – terhadap pasien
mereka, kepada pihak ketiga seperti rumah sakit, organisasi yang mengambil keputusan medis
terhadap pasien, kepada pemegang kebijakan dan perijinan praktek, dan bahkan sering kepada
pengadilan. Berbagai tanggung jawab yang berbeda ini dapat saling bertentangan satu sama
lain, yang akan terlihat dalam bahasan loyalitas ganda.
Etika kefarmasian juga telah berubah dengan cara yang lain. Ontoh keterlibatan dalam
aborsi dilarang dalam kode etik dokter sampai beberapa saat yang lalu, namun sekarang dapat
ditoleransi dalam kondisi tertentu oleh profesi kesehatan di beberapa negara. Sedangkan dalam
etika kedokteran tradisional dokter hanya bertanggung jawab terhadap pasien mereka secara
pribadi. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi medis memunculkan masalah etis baru
yang tidak dapat dijawab oleh etika kefarmasian tradisional. Reproduksi buatan, genetika,
informatika kesehatan serta teknologi perbaikan kehidupan dan teknologi untuk
memperpanjang kehidupan, kesemuanya memerlukan keterlibatan dokter dan tenaga kesehatan
lainnya, sangat berpotensi menguntungkan pasien namun juga sangat berpotensi merugikan
pasien tergantung bagaimana menerapkannya. Untuk membantu bagaimana memutuskan dan
dalam kondisi apa apoteker dapat melakukan hal tersebut, organisasi profesi apoteker harus
menggunakan metode analisis yang berbeda tidak hanya berdasarkan kode etik yang telah ada.
Selain perubahan dalam etika kefarmasian yang jelas memang terjadi, sudah ada persetujuan
diantara apoteker atau ornagisasi profesi bahwa nilai fundamental dan prinsip-prinsip etis
tidaklah berubah, karena tidak bisa dihindari bahwa manusia akan selalu memiliki masalah
kesehatan sehingga mereka akan terus memerlukan tenaga kesehatan yang otonom, kompeten,
dan berbelas kasih untuk merawat mereka.

APAKAH ETIKA KEFARMASIAN BERBEDA DI SETIAP NEGARA?

Dalam merespon perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi medis dan nilai-nilai
sosial, maka etika kefarmasian bervariasi dari satu negara dengan negara yang lain tergantung
faktot-faktor tersebut. Suatu contoh pada kasus euthanasia, terdapat perbedaan yang nyata
terhadap opini dari ikatan dokter di setiap negara. Beberapa organisasi mengutuknya,
sedangkan Ikatan Dokter Kerajaan Belanda memperbolehkannya dalam kondisi tertentu.
Demikian juga yang berhubungan dengan kesempatan memperoleh pelayanan medis, beberapa
ikatan dokter disuatu negara mendukung persamaan hak untuk semua warga negara, sedangkan
di negara lain mentoleransi ketidaksamaan hak memperoleh pelayanan kesehatan bagi
warganya. Di beberapa negara ada ketertarikan yang besar terhadap masalah-masalah etik yang
muncul karena adanya kemajuan teknologi pengobatan sedangkan di negara yang tidak
memiliki akses terhadap teknologi tersebut, masalah-masalah etik tentu tidak muncul.
Apoteker di beberapa negara cukup yakin bahwa mereka tidak akan ditekan oleh pemerintah
untuk melakukan sesuatu yang tidak etis namun di negara lain mungkin akan sulit bagi mereka
memenuhi kewajiban etis, seperti menjaga kerahasiaan pasien jika berhadapan dengan polisi
atau permintaan angkatan bersenjata untuk melaporkan adanya jejak/luka yang mencurigakan
pada seorang pasien
Walaupun perbedaan ini terlihat sangat nyata, persamaan yang ada jauh lebih besar lagi.
Apoteker di seluruh dunia memiliki banyak persamaan, dan ketika mereka berhimpun bersama
dalam suatu organisasi seperti IPF akan mencapai suatu kesepakatan mengenai masalah-
masalah etik yang kontroversial, walaupun kadang harus melewati debat yang panjang. Nilai
pokok dari etika kefarmasian, seperti belas kasih, kompetensi, dan otonomi, bersamaan dengan
pengalaman dan ketrampilan di semua bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan yang
dimiliki oleh apoteker memberikan dasar dalam menganalisa masalah masalah etik dalam
pengobatan dan memunculkan suatu solusi yang berdasarkan kepentingan terbaik bagi pasien
secara pribadi dan warga negara serta kesehatan masyarakat secara umum.

BAGAIMANA SESEORANG MEMUTUSKAN SESUATU ITU ETIS?

Setiap orang bertanggung jawab terhadap diri sendiri dalam mengambil keputusan etis
dan dalam mengimplementasikannya. Bagi apoteker secara pribadi dan mahasiswa farmasi,
etika kefarmasian tidak hanya terbatas pada rekomendasi-rekomendasi yang dikeluarkan oleh
IPF atau organisasi kesehatan yang lain karena rekomendasi tersebut sifatnya sangat umum
dan setiap orang harus memutuskan apakah hal itu dapat diterapkan pada situasi yang sedang
dihadapi atau tidak dan terlebih lagi banyak masalah etika yang muncul dalam praktek
kefarmasian yang belum ada petunjuk bagi ikatan apoteker. Ada berbagai cara berbeda dalam
pendekatan masalah-masalah etika seperti dalam contoh kasus pada bagian awal tulisan ini.
Secara kasar cara pendekatan penyelesaian masalah etika dapat dibagi menjadi dua kategori
rasional dan non-rasional. Penting untuk mengingat bahwa non-rasional bukan berarti
irrasional namun hanya dibedakan dari sistematika, dan alasan yang dapat digunakan dalam
mengambil keputusan.

1. Pendekatan-pendekatan non-rasional:
 Kepatuhan merupakan cara yang umum dalam membuat keputusan etis, terutama oleh anak-
anak dan mereka yang bekerja dalam struktur kepangkatan (militer, kipolisian, beberapa
organisasi keagamaan, berbagai corak bisnis). Moralitas hanya mengikuti aturan atau perintah
dari penguasa tidak memandang apakah anda setuju atau tidak.
 Imitasi serupa dengan kepatuhan karena mengesampingkan penilaian seseorang terhadap benar
dan salah dan mengambil penilaian orang lain sebagai acuan karena dia adalah panutan.
Moralitas hanya mengikuti contoh yang diberikan oleh orang yang menjadi panutan. Ini
mungkin cara yang paling umum mempelajari etika kedokteran, dengan panutannya adalah
konsultan senior dan cara belajar dengan cara mengobservasi dan melakukan asimilasi dari
nilai-nilai yang digambarkan.
 Perasaan atau kehendak merupakan pendekatan subjektif terhadap keputusan dan perilaku
moral yang diambil. Yang dianggap benar adalah apa yang dirasakan benar atau dapat
memuaskan kehendak seseorang sedangkan apa yang salah adalah yang dirasakan salah atau
tidak sesuai dengan kehendak seseorang. Ukuran moralitas harus ditemukan di dalam setiap
individu dan tentu saja akan sangat beragam dari satu orang ke orang lain, bahkan dalam
individu itu sendiri dari waktu ke waktu.
 Intuisi merupakan persepsi yang terbentuk dengan segera mengenai bagaimana bertindak di
dalam sebuah situasi tertentu. Intuisi serupa dengan kehendak dimana sifatnya sangat subjektif,
namun berbeda karena intuisi terletak pada pemikiran dibanding keinginan. Karena itu intuisi
lebih dekat kepada bentuk rasional dari keputusan etis yang diambil dari pada kepatuhan,
imitasi, perasaan, dan kehendak. Meskipun begitu, intuisi sistematis ataupun penuh pemikiran
namun hanya sebatas mengarahkan keputusan berdasarkan apa yang terbersit dalam pikiran
saat itu. Seperti halnya perasaan dan kehendak, intuisi dapat bervariasi dari setiap individu, dan
bahkan dari individu itu sendiri.
 Kebiasaan merupakan metode yang sangat efisien dalam mengambil keputusan moral karena
tidak diperlukan adanya pengulangan proses pembuatan keputusan secara sistematis setiap
masalah moran muncul dan sama dengan masalah yang pernah dihadapi. Meskipun begitu ada
kebiasaan yang buruk (seperti berbohong) dan juga kebiasaan baik (seperti mengatakan dengan
jujur) terlebih lagi ada berbagai keadaan yang sepertinya serupa namun tetap membutuhkan
keputusan yang sangat berbeda. Walaupun kebiasaan ini sangat berguna, namun kita tidak
boleh terlalu mengandalkannya.

2. Pendekatan rasional:
 Deontologi melibatkan pencarian aturan-aturan yang terbentuk dengan baik yang dapat dijadikan
sebagai dasar dalam pembuatan keputusan moral seperti ”perlakukan manusia secara sama”.
Dasarnya dapat saja agama (seperti kepercayaan bahwa manusia sebagai ciptaan Tuhan adalah
sama) atau juga non-religius (seperti manusia memiliki gen-gen yang hampir sama). Sekali
aturan ini terbangun maka hal tersebut harus diterapkan dalam situasi ilmiah, dan akan sangat
mungkin terjadi perbedaan aturan mana yang diperlukan (seperti apakah aturan bahwa tidak
boleh membunuh orang lain atau hukuman yang menjadi dasar larangan aborsi).
 Konsekuensialisme mendasari keputusan etis yang diambil karena merupakan cara analisis
bagaimana konsekuensi atau hasil yang akan didapatkan dari berbagai pilihan dan tindakan.
Tindakan yang benar adalah tindakan yang memberikan hasil yang terbaik. Tentunya ada
berbagai perbedaan mengenai batasan hasil yang terbaik. Salah satu bentuk konsekuensialisme
yang sangat dikenal adalah utilitarianisme, menggunakan ’utility’ untuk mengukur dan
menentukan mana yang memberikan hasil yang paling baik diantara semua pilihan yang ada.
Ukuran-ukuran outcome yang digunakan dalam pembuatan keputusan medis antara lain cost-
effectiveness dan kualitas hidup diukur sebagai QALYs (quality-adjusted life-years) atau
DALYs (disablility-adjusted life-years). Pendukung teori ini umumnya tidak banyak
menggunakan prinsip-prinsip karena sangat sulit mengidentifikasi, menentukan prioritas dan
menerapkannya dan dalam suatu kasus mereka tidak mempertimbangkan apakah yang
sebenarnya penting dalam pengambilan keputusan moral seperti hasil yang ingin dicapai.
Karena mengesampingkan prinsip-prinsip maka konsekuensialisme sangat memungkinkan
timbulnya pernyataan bahwa ”hasil yang didapat akan membenarkan cara yang ditempuh”
seperti hak manusia dapat dikorbankan untuk mencapai tujuan sosial.
 Prinsiplisme, seperti yang tersirat dari namanya, mempergunakan prinsip-prinsip etik sebagai
dasar dalam membuat keputusan moral. Prinsip-prinsip tersebut digunakan dalam kasus-kasus
atau keadaan tertentu untuk menentukan hal yang benar yang harus dilakukan, dengan tetap
mempertimbangkan aturan dan konsekuensi yang mungkin timbul. Prinsiplisme sangat
berpengaruh dalam debat-debat etika baru-baru ini terutama di Amerika. Keempat prinsip
dasar, penghargaan otonomi, berbuat baik berdasarkan kepentingan terbaik dari pasien, tidak
melakukan tindakan yang dapat menyakiti pasien serta keadilan merupakan prinsip dasar yang
digunakan dalam pengambilan keputusan etik di dalam praktek. Prinsip-prinsip tersebut jelas
memiliki peran yang penting dalam pengambilaan keputusan rasional walaupun pilihan
terhadap keempat prinsip tersebut dan terutama prioritas untuk menghargai otonomi di atas
yang lain merupakan refleksi budaya liberal dari Barat dan tidak selalu universal. Terlebih lagi
keempat prinsip tersebut sering kali saling bergesekan di dalam situasi tertentu sehingga
diperlukan beberapa kriteria dan proses untuk memecahkan konflik tersebut.
 Etika budi pekerti kurang berfokus kepada pembuatan keputusan tetapi lebih kepada karakter
dari si pengambil keputusan yang tercermin dari perilakunya. Nilai merupakan bentuk moral
unggul. Seperti disebutkan di atas, satu nilai yang sangat penting untuk apoteker adalah belas
kasih, termasuk kejujuran, bijak, dan dedikasi. Apoteker dengan nilai-nilai tersebut akan lebih
dapat membuat keputusan yang baik dan mengimplementasikannya dengan cara yang baik
juga. Namun demikian, ada orang yang berbudi tersebut sering merasa tidak yakin bagaimana
bertindak dalam keadaan tertentu dan tidak terbebas dari kemungkinan mengambil keputusan
yang salah.

Tidak satupun dari empat pendekatan ini, ataupun pendekatan yang lain dapat mencapai
persetujuan yang universal. Setiap orang berbeda dalam memilih pendekatan rasional yang
akan dipilih dalam mengambil keputusan etik. Seperti juga orang yang memilih pendekatan
yang non-rasional. Hal ini dikarenakan setiap pendekatan mempunyai kelebihan dan
kekurangannya sendiri. Mungkin dengan mengkombinasikan keempat pendekatan tersebut
maka akan didapatkan keputusan etis yang rasional. Harus diperhatikan aturan dan prinsip-
prinsip dengan cara mengidentifikasi pendekatan mana yang paling sesuai untuk situasi yang
baru dihadapi dan mengimplementasikan sebaik mungkin. Harus dipikirkan juga konsekuensi
dari keputusan alternatif dan konsekuensi mana yang akan diambil. Yang terakhir adalah
mencoba memastikan bahwa perilaku si pembuat keputusan tersebut dalam membuat dan
mengimplementasikan keputusan yang sudah diambil juga baik. Proses yang dapat ditempuh
adalah:
1. Tentukan apakah masalah yang sedang dihadapai adalah masalah etis.
2. Konsultasi kepada sumber-sumber kewenangan seperti kode etik dan kebijakan ikatan apoteker
serta kolega lain untuk mengetahui bagaimana apoteker biasanya berhadapan dengan masalah
tersebut.
3. Pertimbangkan solusi alternatif berdasarkan prinsip dan nilai yang dipegang serta
konsekuensinya.
4. Diskusikan usulan solusi anda dengan siapa solusi itu akan berpengaruh.
5. Buatlah keputusan dan lakukan segera, dengan tetap memperhatikan orang lain yang
terpengaruh.
6. Evaluasi keputusan yang telah diambil dan bersiap untuk bertindak berbeda pada kesempatan
yang lain.

ETIKA

PENGERTIAN ETIKA
Etika merupakan studi tentang nilai dengan pendekatan kebenaran. Kata etik (atau
etika) berasal dari kata ethos (bahasa Yunani) yang berarti karakter, watak kesusilaan
atau adat. Sebagai suatu subyek, etika akan berkaitan dengan konsep yang dimilki oleh
individu ataupun kelompok untuk menilai apakah tindakan-tindakan yang telah
dikerjakannya itu salah atau benar, buruk atau baik. Kata etika sering disebut dengan
istilah etik atau ethics (bahasa Inggris) atau ethicus (bahasa Latin) yang
berarti kebiasaan. Maka secara etimologi, yang dikatakan baik adalah yang sesuai dengan
kebiasaan masyarakat. Namun dalam perkembangannya, pengertian etka tersebut telah
mengalami perubahan yang jauh dari makna awal.
Etika adalah studi tentang nilai-nilai manusiawi yang berhubungan dengan nilai
kebenaran dan ketidakbenaran yang didasarkan atas kodrat manusia serta manifestasinya
di dalam kehendak dan perilaku manusia. Pelanggaran etika belum tentu melanggar UU,
namun hanya melanggar sumpah (etika). Sedang pelanggaran UU pasti melanggar etika
juga.
Dalam pergaulan hidup bermasyarakat, bernegara hingga pergaulan hidup tingkat
internasional di perlukan suatu system yang mengatur bagaimana seharusnya manusia
bergaul. Sistem pengaturan pergaulan tersebut menjadi saling menghormati dan dikenal
dengan sebutan sopan santun, tata krama, protokoler dan lain-lain. Maksud pedoman
pergaulan tidak lain untuk menjaga kepentingan masing-masing yang terlibat agara mereka
senang, tenang, tentram, terlindung tanpa merugikan kepentingannya serta terjamin agar
perbuatannya yang tengah dijalankan sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku dan tidak
bertentangan dengan hak-hak asasi umumnya. Hal itulah yang mendasari tumbuh
kembangnya etika di masyarakat kita.
Menurut para ahli, etika adalah aturan perilaku, adat kebiasaan manusia dalam
pergaulan antara sesamanya dan menegaskan mana yang baik dan mana yang buruk.
Perkataan etika atau lazim juga disebut etik, yang berarti norma-norma, nilai-nilai,
kaidah-kaidah dan ukuran-ukuran bagi tingkah laku manusia yang baik. Drs. O.P.
SIMORANGKIR merumuskan etika atau etik sebagai pandangan manusia dalam berprilaku
menurut ukuran dan nilai yang baik. Drs. Sidi Gajalba dalam sistematika filsafat
menjelaskan bahwa etika adalah teori tentang tingkah laku perbuatan manusia dipandang
dari segi baik dan buruk, sejauh yang dapat ditentukan oleh akal. Drs. H. Burhanudin Salam
menyebut etika adalah cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai dan norma moral
yang menentukan prilaku manusia dalam hidupnya.
Dalam perkembangannya, etika sangat mempengaruhi kehidupan manusia. Etika
memberi manusia orientasi bagaimana ia menjalani hidupnya melalui rangkaian tindakan
sehari-hari. Ini berarti etika membantu manusia untuk mengambil sikap dan bertindak
secara tepat dalam menjalani hidup ini. Etika pada akhirnya membantu kita untuk
mengambil keputusan tentang tindakan apa yang perlu kita lakukan dan yang pelru kita
pahami bersama bahwa etika ini dapat diterapkan dalam segala aspek atau sisi kehidupan
kita, dengan demikian etika ini dapat dibagi menjadi beberapa bagian sesuai dengan aspek
atau sisi kehidupan manusianya.
Menurut Sonny Keraf, etika dapat dibagi menjadi :

a. ETIKA UMUM, berbicara mengenai kondisi-kondisi dasar bagaimana manusia


bertindak secara etis, bagaimana manusia mengambil keputusan etis, teori-teori
etika dan prinsip-prinsip moral dasar yang menjadi pegangan bagi manusia dalam
bertindak serta tolak ukur dalam menilai baik atau buruknya suatu tindakan. Etika
umum dapat di analogkan dengan ilmu pengetahuan, yang membahas mengenai
pengertian umum dan teori-teori.
b. ETIKA KHUSUS, merupakan penerapan prinsip-prinsip moral dasar dalam bidang
kehidupan yang khusus. Penerapan ini bisa berwujud :

1) Bagaimana saya mengambil keputusan dan bertindak dalam bidang kehidupan dan kegiatan
khusus yang saya lakukan, yang didasari oleh cara, teori dan prinsip-prinsip moral dasar.
2) Namun, penerapan itu dapat juga berwujud : Bagaimana saya menilai prilaku saya dan orang
lain dalam bidang kegiatan dan kehidupan khusus yang dilatarbelakangi oleh kondisi yang
memungkinkan manusia bertindak etis : cara bagaimana manusia mengambil suatu
keputusan atau tindakan, dan teori serta prinsip moral dasar yang ada dibaliknya.

ETIKA KHUSUS dibagi lagi menjadi dua bagian :


a) Etika individual, yaitu menyangkut kewajiban dan sikap manusia terhadap dirinya sendiri.
b) Etika sosial, yaitu berbicara mengenai kewajiban, sikap dan pola perilaku manusia sebagai
anggota umat manusia. Etika sosial menyangkut hubungan manusia dengan manusia baik
secara langsung maupun secara kelembagaan (keluarga, masyarakat, negara), sikap kritis
terhadap pandangan-pandangan dunia dan idiologi-idiologi maupun tanggung jawab umat
manusia terhadap lingkungan hidup.

Perlu diperhatikan bahwa etika individual dan etika sosial tidak dapat dipisahkan
satu sama lain dengan tajam, karena kewajiban manusia terhadap diri sendiri dan sebagai
anggota umat manusia saling berkaitan.
Dengan demikian luasnya lingkup dari etika sosial, maka etika sosial ini terbagi atau
terpecah menjadi banyak bagian atau bidang. Dan pembahasan bidang yang paling aktual
saat ini adalah sebagai berikut :

1. Sikap terhadap sesama


2. Etika keluarga
3. Etika profesi
4. Etika politik
5. Etika lingkungan
6. Etika idiologi

Ada dua macam etika yang harus kita pahami dalam menentukan baik dan buruknya
perilaku manusia :

1. ETIKA DESKRIPTIF, yaitu etika yang berusaha meneropong secara kritis dan
rasional sikap dan prilaku manusia dan apa yang dikejar oleh manusia dalam hidup
ini sebagai sesuatu yang bernilai. Etika deskriptif memberikan fakta sebagai dasar
untuk mengambil keputusan tentang perilaku atau sikap yang mau diambil.
2. ETIKA NORMATIF, yaitu etika yang berusaha menetapkan berbagai sikap dan pola
perilaku ideal yang seharusnya dimiliki oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu
yang bernilai. Etika normatif memberi penilaian sekaligus memberi norma sebagai
dasar dan kerangka tindakan yang akan diputuskan.

Sistematika etika dapat digambarkan sebagai berikut:

MORAL

Moral merupakan kualitas perbuatan manusia sesuai atau tidak dengan hati
nuraninya. Moral merupakan pengetahuan yang menyangkut budi pekerti manusia yang
beradab. Menurut etimologi, moral berasal dari kata mores (Bahasa Latin) yang diartikan
sebagai aturan kesusilaan. Kata moral selalu mengacu pada baik buruknya manusia sebagai
manusia. Di sisi lain banyak para ahli menyatakan bahwa moral dikaitkan dengan sejumlah
kewajiban-kewajiban susila, yang meliputi semua norma untuk kelakuan, perbuatan tingkah
laku yang baik. Kata susila berasal dari Bahasa Sansekerta yaitu kata su yang berarti lebih
baik dan sila yang berarti dasar-dasar, prinsip-prinsip atau peraturan-peraturan. Jadi
susila berarti peraturan-peraturan hidup yang lebih baik.
Moral adalah keseluruhan aturan, kaidah atau hukum yang berbentuk perintah
atau larangan yang mengatur perilaku manusia dan masyarakat dimana manusia itu berada.
Dalam perkembangannya, kata moral ini menjadi ”moralis – moralitas”. Moralitas
dipergunakan untuk menyebut perbutan yang memiliki makna lebih abstrak, dimana apabila
dinyatakan moralitas suatu perbuatan berarti menunjuk baik buruknya suatu perbuatan.
Bermoral atau tidaknya suatu perbuatan tergantung dari kesadaran dan kebebasan
kehendak si pelaku (manusia itu sendiri).
Kesadaran dan kebebasan kehendak itu ada alam hati manusia, sedangkan makhluk primata
lainnya tidak memiliki hal tersebut.
Moralitas adalah kualitas perbuatan manusiawi untuk berperilaku benar atau salah,
baik atau buruk dan perbuatan yang demikian itu dikehendaki atau tidak (obyektif) serta
perbuatan itu sesuai atau tidak dengan suara hati nuraninya (subyektif).

ETIKA = / MORAL

Etika  Ethikos (bahasa Yunani)  Adat istiadat / Kebiasaan


Moral  Moralitas (bahasa Latin)  Adat istiadat / Kebiasaan
Moral : tuntutan perilaku dan keharusan masyarakat,
Etika : prinsip di belakang keharusan moral
(Thompson & Thompson, 1981)

Etika : sistem dari prinsip prinsp moral atau aturan perilaku


Moral: prinsip-2 yg berkaitan dg perlaku baik dan buruk
(Priharjo, 1995)

ETIKET

Etiket  Etiqutte (bahasa Prancis)  Sopan santun


Etiket  Etiket (bahasa Belanda)  Secarik kertas yang ditempel di barang

Etika (ethics) = moral


Etiket (etiqutte) = sopan santun

Persamaan etika dan etiket:


a. Menyangkut perilaku manusia
b. Atur prilaku manusia scr normatif artinya memberi norma pd manusia apa yg hrs dilakukan
dan tdk boleh dilakukan

PERBEDAAN ETIKA & ETIKET


Etika Etiket
1. Tdk terbatas cara, namun norma 1. Menyangkut cara perbuatan hrs
perilaku itu sendiri (dg tangan mana aja dilakukan (memberidan menerimadg
bila mencuri tetap salah) tangan kanan)

2. Tdk tergantung ada/tidak ada orang 2. Berlaku dalam pergaulan,tp orang lain
lain tidak ada etiket

3. Bersifat absolut 3. Bersifat relatif

4. Memandang manusia dari sisi batiniah 4. Hanya memandang manusia dari sisi
lahiriah

Bertens, 2005
ETIKA PROFESI

Menurut Martin (1993), etika didefinisikan sebagai “the discpline which can act
as the performance index or reference for our control system”. Dengan demikian, etika
akan memberikan semacam batasan maupun standar yang akan mengatur pergaulan
manusia di dalam kelompok sosialnya. Dalam pengertiannya yang secara khusus dikaitkan
dengan seni pergaulan manusia, etika ini kemudian dirupakan dalam bentuk aturan (code)
tertulis yang secara sistematik sengaja dibuat berdasarkan prinsip-prinsip moral yang ada
dan pada saat yang dibutuhkan akan bisa difungsikan sebagai alat untuk menghakimi segala
macam tindakan yang secara logika-rasional umum (common sense) dinilai menyimpang dari
kode etik. Dengan demikian etika adalah refleksi dari apa yang disebut dengan “self
control”, karena segala sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan untuk kepentingan
kelompok sosial (profesi) itu sendiri.
Selanjutnya, karena kelompok profesional merupakan kelompok yang berkeahlian
dan berkemahiran yang diperoleh melalui proses pendidikan dan pelatihan yang berkualitas
dan berstandar tinggi yang dalam menerapkan semua keahlian dan kemahirannya yang
tinggi itu hanya dapat dikontrol dan dinilai dari dalam oleh rekan sejawat, sesama profesi
sendiri. Kehadiran organisasi profesi dengan perangkat “built-in mechanism” berupa kode
etik profesi dalam hal ini jelas akan diperlukan untuk menjaga martabat serta kehormatan
profesi, dan di sisi lain melindungi masyarakat dari segala bentuk penyimpangan maupun
penyalah-gunaan kehlian (Wignjosoebroto, 1999). Oleh karena itu dapatlah disimpulkan
bahwa sebuah profesi hanya dapat memperoleh kepercayaan dari masyarakat, bilamana
dalam diri para elit profesional tersebut ada kesadaran kuat untuk mengindahkan etika
profesi pada saat mereka ingin memberikan jasa keahlian profesi kepada masyarakat yang
memerlukannya. Tanpa etika profesi, apa yang semual dikenal sebagai sebuah profesi yang
terhormat akan segera jatuh terdegradasi menjadi sebuah pekerjaan pencarian nafkah
biasa (okupasi) yang sedikitpun tidak diwarnai dengan nilai-nilai idealisme dan ujung-
ujungnya akan berakhir dengan tidak-adanya lagi respek maupun kepercayaan yang pantas
diberikan kepada para elite profesional ini.

SISTEM PENILAIAN ETIKA

Titik berat penilaian etika sebagai suatu ilmu, adalah pada perbuatan baik atau
jahat, susila atau tidak susila. Perbuatan atau kelakuan seseorang yang telah menjadi sifat
baginya atau telah mendarah daging, itulah yang disebut akhlak atau budi pekerti. Budi
tumbuhnya dalam jiwa, bila telah dilahirkan dalam bentuk perbuatan namanya pekerti.
Jadi suatu budi pekerti, pangkal penilaiannya adalah dari dalam jiwa; dari semasih berupa
angan-angan, cita-cita, niat hati, sampai ia lahir keluar berupa perbuatan nyata.
Burhanuddin Salam, Drs. menjelaskan bahwa sesuatu perbuatan di nilai pada 3 (tiga)
tingkat :

1. Tingkat pertama, semasih belum lahir menjadi perbuatan, jadi masih berupa
rencana dalam hati, niat.
2. Tingkat kedua, setelah lahir menjadi perbuatan nyata, yaitu pekerti.
3. Tingkat ketiga, akibat atau hasil perbuatan tersebut, yaitu baik atau buruk.
Dari sistematika di atas, kita bisa melihat bahwa ETIKA PROFESI merupakan
bidang etika khusus atau terapan yang merupakan produk dari etika sosial. Kata hati atau
niat biasa juga disebut karsa atau kehendak, kemauan, wil. Dan isi dari karsa inilah yang
akan direalisasikan oleh perbuatan. Dalam hal merealisasikan ini ada (4 empat) variabel
yang terjadi :
a. Tujuan baik, tetapi cara untuk mencapainya yang tidak baik.
b. Tujuannya yang tidak baik, cara mencapainya ; kelihatannya baik.
c. Tujuannya tidak baik, dan cara mencapainya juga tidak baik.
d. Tujuannya baik, dan cara mencapainya juga terlihat baik.

PENGERTIAN PROFESI

Profesi adalah kelompok terbatas dari orang-orang yang mempunyai keahlian


khusus yang diperoleh dari pendidikan tinggi atau pengalaman yang khusus dan dengan
keahlian itu mereka dapat berfungsi dalam masyarakat untuk berperilaku atau pelayanan
yang lebih baik dibandingkan dengan warga masyarakat lain pada umumnya.
Istilah profesi telah dimengerti oleh banyak orang bahwa suatu hal yang berkaitan
dengan bidang yang sangat dipengaruhi oleh pendidikan dan keahlian, sehingga banyak
orang yang bekerja tetap sesuai. Tetapi dengan keahlian saja yang diperoleh dari
pendidikan kejuruan, juga belum cukup disebut profesi. Tetapi perlu penguasaan teori
sistematis yang mendasari praktek pelaksanaan, dan hubungan antara teori dan penerapan
dalam praktek. Kita tidak hanya mengenal istilah profesi untuk bidang-bidang pekerjaan
seperti kedokteran, guru, militer, pengacara, dan semacamnya, tetapi meluas sampai
mencakup pula bidang seperti manajer, wartawan, pelukis, penyanyi, artis, sekretaris dan
sebagainya. Sejalan dengan itu, menurut DE GEORGE, timbul kebingungan mengenai
pengertian profesi itu sendiri, sehubungan dengan istilah profesi dan profesional.
Kebingungan ini timbul karena banyak orang yang profesional tidak atau belum tentu
termasuk dalam pengertian profesi. Berikut pengertian profesi dan profesional menurut
DE GEORGE :
PROFESI, adalah pekerjaan yang dilakukan sebagai kegiatan pokok untuk menghasilkan
nafkah hidup dan yang mengandalkan suatu keahlian.
PROFESIONAL, adalah orang yang mempunyai profesi atau pekerjaan purna waktu dan
hidup dari pekerjaan itu dengan mengandalkan suatu keahlian yang tinggi. Atau seorang
profesional adalah seseorang yang hidup dengan mempraktekkan suatu keahlian tertentu
atau dengan terlibat dalam suatu kegiatan tertentu yang menurut keahlian, sementara
orang lain melakukan hal yang sama sebagai sekedar hobi, untuk senang-senang, atau untuk
mengisi waktu luang. Profesional adalah bekerja dengan tujuan mulia untuk membuat orang
lain menjadi sejahtera.

Yang harus kita ingat dan fahami betul bahwa “PEKERJAAN / PROFESI” dan
“PROFESIONAL” terdapat beberapa perbedaan :

PROFESI:
- Mengandalkan suatu keterampilan atau keahlian khusus.
- Dilaksanakan sebagai suatu pekerjaan atau kegiatan utama (purna waktu).
- Dilaksanakan sebagai sumber utama nafkah hidup.
- Dilaksanakan dengan keterlibatan pribadi yang mendalam.

PROFESIONAL:
- Orang yang tahu akan keahlian dan keterampilannya.
- Meluangkan seluruh waktunya untuk pekerjaan atau kegiatannya itu.
- Hidup dari situ.
- Bangga akan pekerjaannya.

CIRI-CIRI PROFESI:
Secara umum ada beberapa ciri atau sifat yang selalu melekat pada profesi, yaitu :
1. Adanya pengetahuan khusus, yang biasanya keahlian dan keterampilan ini dimiliki berkat
pendidikan, pelatihan dan pengalaman yang bertahun-tahun.
2. Adanya kaidah dan standar moral yang sangat tinggi. Hal ini biasanya setiap pelaku
profesi mendasarkan kegiatannya pada kode etik profesi.
3. Mengabdi pada kepentingan masyarakat, artinya setiap pelaksana profesi harus
meletakkan kepentingan pribadi di bawah kepentingan masyarakat.
4. Ada izin khusus untuk menjalankan suatu profesi. Setiap profesi akan selalu berkaitan
dengan kepentingan masyarakat, dimana nilai-nilai kemanusiaan berupa keselamatan,
keamanan, kelangsungan hidup dan sebagainya, maka untuk menjalankan suatu profesi
harus terlebih dahulu ada izin khusus.
5. Kaum profesional biasanya menjadi anggota dari suatu profesi.
Dengan melihat ciri-ciri umum profesi di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa kaum
profesional adalah orang-orang yang memiliki tolak ukur perilaku yang berada di atas rata-
rata.

CIRI-CIRI PROFESI:

1. Menjalankan pekerjaan yang memerlukan dasar dari pendidikan tinggi.


2. Bekerja berdasarkan perkembangan standar sesuai dengan kemajuan ilmu
pengetahuan.
3. Pekerjaan yang dilakukan untuk kepentingan kemanusiaan dan kemasyarakatan
4. Menaati kode etik profesi beserta kewenangan peradilannya dalam menjaga
kualitas pekerjaan.
5. Menjalin hubungan baik dengan asosiasi/organisasi profesi yang berwenang norma
disiplin di lingkungan intern para anggotanya.

Di satu pihak ada tuntutan dan tantangan yang sangat berat, tetapi di lain pihak
ada suatu kejelasan mengenai pola perilaku yang baik dalam rangka kepentingan
masyarakat. Seandainya semua bidang kehidupan dan bidang kegiatan menerapkan suatu
standar profesional yang tinggi, bisa diharapkan akan tercipta suatu kualitas masyarakat
yang semakin baik.

PRINSIP-PRINSIP ETIKA PROFESI:


1. Tanggung jawab
- Terhadap pelaksanaan pekerjaan itu dan terhadap hasilnya.
- Terhadap dampak dari profesi itu untuk kehidupan orang lain atau masyarakat pada
umumnya.
2. Keadilan. Prinsip ini menuntut kita untuk memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi
haknya.
3. Otonomi. Prinsip ini menuntut agar setiap kaum profesional memiliki dan di beri kebebasan
dalam menjalankan profesinya.

SYARAT-SYARAT SUATU PROFESI :


- Melibatkan kegiatan intelektual.
- Menggeluti suatu batang tubuh ilmu yang khusus.
- Memerlukan persiapan profesional yang alam dan bukan sekedar latihan.
- Memerlukan latihan dalam jabatan yang berkesinambungan.
- Menjanjikan karir hidup dan keanggotaan yang permanen.
- Mementingkan layanan di atas keuntungan pribadi.
- Mempunyai organisasi profesional yang kuat dan terjalin erat.
- Menentukan baku standarnya sendiri, dalam hal ini adalah kode etik.

Pekerjaan yang dapat kita sebut dengan profesi adalah yang mempunyai karakter sebagai
berikut;
 bekerja penuh waktu,
 orientasi kerja lebih untuk melayani daripada sekedar mencari nafkah (komitmen untuk
membantu orang lain, bahkan di luar waktu kerja),
 bekerja berdasar ilmu dan keterampilan yang didapat dari pendidikan khusus,
 bekerja secara otonom (berdasar keputusannya sendiri),
 bekerja berdasarkan etika,
 mempunyai tanda atau simbol identitas
 terorganisir dalam asosiasi profesi
(Latham, 2002).

 Etika pokok profesional kesehatan adalah:


 primum non nocere (Latin)
▪ first, do no harm
▪ primary rule, was to do no harm.
 Tenaga kesehatan yang profesional mengacu prima-facie, yaitu:
 autonomy,
 beneficence,
 non-maleficence
 justice
(Monagle & Thomasma, 1998).

 Prinsip autonomy (self-governance):


 menghormati hak pasien dalam menentukan sikap dan dilindungi kerahasiaannya.
 mencerminkan konsep bahwa professional memberikan layanan mediknya (pengobatan)
berdasarkan kehendak pasiennya.
 mengikutsertakan pasien pada penentuan pengobatan dan tindakan medis,
 harus merahasiakan informasi medis pasiennya.
 Prinsip beneficence (do good):
 meningkatkan kesejahteraan pasiennya.
 mencerminkan konsep bahwa profesional dalam pekerjaannya selalu memberikan keuntungan
bagi pasiennya.
 Prinsip non-maleficence (do no harm):
 menjauhi tindakan yang merugikan pasiennya.
 Kompetensinya harus selalu dijaga tetap tinggi dan selalu diperbarui (up-date), serta
menyadari keterbatasannya.
 Prinsip justice (fairness):
 selalu adil dalam mengobati pasien-pasiennya,
 berusaha agar semua orang mudah mendapatkan pelayanannya
(Jonsen dkk, 1982).

PERANAN ETIKA DALAM PROFESI

Nilai-nilai etika itu tidak hanya milik satu atau dua orang, atau segolongan orang
saja, tetapi milik setiap kelompok masyarakat, bahkan kelompok yang paling kecil yaitu
keluarga sampai pada suatu bangsa. Dengan nilai-nilai etika tersebut, suatu kelompok
diharapkan akan mempunyai tata nilai untuk mengatur kehidupan bersama.
Salah satu golongan masyarakat yang mempunyai nilai-nilai yang menjadi landasan
dalam pergaulan baik dengan kelompok atau masyarakat umumnya maupun dengan sesama
anggotanya, yaitu masyarakat profesional. Golongan ini sering menjadi pusat perhatian
karena adanya tata nilai yang mengatur dan tertuang secara tertulis (yaitu kode etik
profesi) dan diharapkan menjadi pegangan para anggotanya.
Sorotan masyarakat menjadi semakin tajam manakala perilaku-perilaku sebagian
para anggota profesi yang tidak didasarkan pada nilai-nilai pergaulan yang telah disepakati
bersama (tertuang dalam kode etik profesi), sehingga terjadi kemerosotan etik pada
masyarakat profesi tersebut. Sebagai contohnya adalah pada profesi hukum dikenal
adanya mafia peradilan, demikian juga pada profesi dokter dengan pendirian klinik super
spesialis di daerah mewah, sehingga masyarakat miskin tidak mungkin menjamahnya.

KODE ETIK PROFESI

Kode; yaitu tanda-tanda atau simbol-simbol yang berupa kata-kata, tulisan atau
benda yang disepakati untuk maksud-maksud tertentu, misalnya untuk menjamin suatu
berita, keputusan atau suatu kesepakatan suatu organisasi. Kode juga dapat berarti
kumpulan peraturan yang sistematis.
Kode etik; yaitu norma atau azas yang diterima oleh suatu kelompok tertentu
sebagai landasan tingkah laku sehari-hari di masyarakat maupun di tempat kerja. Kode
etik: susunan moral yang normatif yang disebut etika/susila yang dirumuskan.

MENURUT UU NO. 8 (POKOK-POKOK KEPEGAWAIAN)


Kode etik profesi adalah pedoman sikap, tingkah laku dan perbuatan dalam
melaksanakan tugas dan dalam kehidupan sehari-hari. Kode etik profesi sebetulnya tidak
merupakan hal yang baru. Sudah lama diusahakan untuk mengatur tingkah laku moral suatu
kelompok khusus dalam masyarakat melalui ketentuanketentuan tertulis yang diharapkan
akan dipegang teguh oleh seluruh kelompok itu. Salah satu contoh tertua adalah ;
SUMPAH HIPOKRATES, yang dipandang sebagai kode etik pertama untuk profesi dokter.
Hipokrates adalah doktren Yunani kuno yang digelari : BAPAK ILMU
KEDOKTERAN. Beliau hidup dalam abad ke-5 SM. Menurut ahli-ahli sejarah belum tentu
sumpah ini merupakan buah pena Hipokrates sendiri, tetapi setidaknya berasal dari
kalangan murid-muridnya dan meneruskan semangat profesional yang diwariskan oleh
dokter Yunani ini. Walaupun mempunyai riwayat eksistensi yang sudah-sudah panjang,
namun belum pernah dalam sejarah kode etik menjadi fenomena yang begitu banyak
dipraktekkan dan tersebar begitu luas seperti sekarang ini. Jika sungguh benar zaman
kita di warnai suasana etis yang khusus, salah satu buktinya adalah peranan dan dampak
kode-kode etik ini.
Profesi adalah suatu MORAL COMMUNITY (MASYARAKAT MORAL) yang
memiliki cita-cita dan nilai-nilai bersama. Kode etik profesi dapat menjadi penyeimbang
segi segi negative dari suatu profesi, sehingga kode etik ibarat kompas yang menunjukkan
arah moral bagi suatu profesi dan sekaligus juga menjamin mutu moral profesi itu dimata
masyarakatKode etik bisa dilihat sebagai produk dari etika terapan, seban dihasilkan
berkat penerapan pemikiran etis atas suatu wilayah tertentu, yaitu profesi. Tetapi
setelah kode etik ada, pemikiran etis tidak berhenti. Kode etik tidak menggantikan
pemikiran etis, tapi sebaliknya selalu didampingi refleksi etis. Supaya kode etik dapat
berfungsi dengan semestinya, salah satu syarat mutlak adalah bahwa kode etik itu dibuat
oleh profesi sendiri. Kode etik tidak akan efektif kalau di drop begitu saja dari atas yaitu
instansi pemerintah atau instansi-instansi lain; karena tidak akan dijiwai oleh cita-cita dan
nilai-nilai yang hidup dalam kalangan profesi itu sendiri.
Instansi dari luar bisa menganjurkan membuat kode etik dan barang kali dapat juga
membantu dalam merumuskan, tetapi pembuatan kode etik itu sendiri harus dilakukan oleh
profesi yang bersangkutan. Supaya dapat berfungsi dengan baik, kode etik itu sendiri
harus menjadi hasil SELF REGULATION (pengaturan diri) dari profesi. Dengan membuat
kode etik, profesi sendiri akan menetapkan hitam atas putih niatnya untuk mewujudkan
nilai-nilai moral yang dianggapnya hakiki. Hal ini tidak akan pernah bisa dipaksakan dari
luar. Hanya kode etik yang berisikan nilai-nilai dan citacita yang diterima oleh profesi itu
sendiri yang bis mendarah daging dengannya dan menjadi tumpuan harapan untuk
dilaksanakan untuk dilaksanakan juga dengan tekun dan konsekuen. Syarat lain yang harus
dipenuhi agar kode etik dapat berhasil dengan baik adalah bahwa pelaksanaannya di awasi
terus menerus. Pada umumnya kode etik akan mengandung sanksi-sanksi yang dikenakan
pada pelanggar kode etik.

PERKEMBANGAN KODE ETIK

 Masyarakat primerbila terjadi pelanggaran moralpenyelesaian relatif lebih mudah


 Masyarakat sekunder berkembang masalah moral lebih komplekspenyelesaian lebih
sulit  menyadari pentingnya pembagian kerja dan upaya spesialisasi agar semakin
terampil dan bermutu untuk pelayanan yang lebih baik bagi peningkatan kesejahteraan
hidup bersama.
 Ada sebagian ahli ( spesialis) yang bekerja tidak profesional ( amatir).
 Garis batas demarkasi antara seorang yang profesional dengan yang tidak profesional
menjadi tidak jelas norma moral bagi pekerjaan profesi terancam.
 Ancaman bagi pekerjaan profesi perlu diatasi dengan menyusun norma moral yang mudah
dan jelas bagi anggota kelompok spesialis seprofesi membedakan mana yang profesional
dan mana yang tidak professional.
 Susunan moral yang normatif disebut etika/susiladirumuskan tertuliskode etik
profesi.

TUJUAN KODE ETIK PROFESI:


1. Untuk menjunjung tinggi martabat profesi.
2. Untuk menjaga dan memelihara kesejahteraan para anggota.
3. Untuk meningkatkan pengabdian para anggota profesi.
4. Untuk meningkatkan mutu profesi.
5. Untuk meningkatkan mutu organisasi profesi.
6. Meningkatkan layanan di atas keuntungan pribadi.
7. Mempunyai organisasi profesional yang kuat dan terjalin erat.
8. Menentukan baku standarnya sendiri.

TUJUAN KODE ETIK:

1. Melindungi anggota organisasi untuk menghadapi persaingan pekerjaan profesi


yang tidak jujur dan untuk mengembangkan tugas profesi sesuai dengan
kepentingan masyarakat.
2. Menjalin hubungan bagi anggota profesi satu sama lain dan menjaga nama baik
profesi.
3. Merangsang pengembangan profesi  kualifikasi pendidikan yang memadai.
4. Mencerminkan hubungan antara pekerjaan profesi dengan pelayanan masyarakat
dan kesejahteraan social.
5. Mengurangi kesalahpahaman dan konflik baik dari antar anggota maupun dengan
masyarakat umum.
6. Membentuk ikatan yang kuat bagi seuma anggota dan melindungi profesi terhadap
pemberlakuan norma hukum yang bersifat imperatif sebelum disesuaikan dengan
saluran norma moral profesi.

FUNGSI KODE ETIK

1. Memberikan arahan bagi suatu pekerjaan profesi


2. Menjamin mutu moralitas profesi di mata masyarakat

Adapun fungsi dari kode etik profesi adalah:


1. Memberikan pedoman bagi setiap anggota profesi tentang prinsip profesionalitas yang
digariskan.
2. Sebagai sarana kontrol sosial bagi masyarakat atas profesi yang bersangkutan3.
Mencegah campur tangan pihak di luar organisasi profesi tentang hubungan etika dalam
keanggotaan profesi. Etika profesi sangatlah dibutuhkan dlam berbagai bidang.

Tuntutan bagi anggota profesi:

1. Keharusan menjalankan profesinya secara bertanggung jawab.


2. Keharusan untuk tidak melanggar hak-hak orang lain.

KARAKTERISTIK KODE ETIK BAGI PROFESI

1. Merupakan produk etika terapan yang dihasilkan berdasarkan konsep-konsep


pemikiran etis atas suatu profesi tertentu
2. Merupakan hasil ‘self regulation’ dari profesi itu sendiri yang mewujudkan nilai-
nilai moral yang dianggap hakiki dan pada prinsipnya tidak pernah dipaksakan dari
luar.
3. Dijiwai nilai-nilai dan cita hidup dalam kalangan profesi itu sendiri maka tidak
efektif apabila keberadaannya ditentukan dari pemerintah/instansi atasan.
4. Bertujuan mencegah terjadinya perilaku yang tidak etis.
5. Dapat berubah dan diubah sesuai perkembangan iptek.

Kode etik harus disosialisasikan:

1. Sebagai sarana kontrol sosial.


2. Mencegah campur tangan yang dilakukan oleh pihak luar yang bukan kalangan
profesi.
3. Mengembangkan petunjuk baku dari kehendak manusia yang lebih tinggi
berdasarkan moral.

PENYEBAB PELANGGARAN KODE ETIK:


1. Apoteker tidak faham/tidak mengetahui kode etik.
Misal: melaporkan teman sejawat sehingga mencoreng nama profesi, mengadu domba
organisasi.
2. Persaingan kerja.
Misal: ingin mendapatkan status, sehingga menerima gaji tidak sesuai standar.
3. Lemahnya kinerja organisasi profesi dalam pembinaan anggotanya (kurang komunikasi).
4. Peraturan perUUan dan sistem regulasi yang kurang kondusif (interpretasi ganda, tumpang
tindih).
5. Pekerjaan kefarmasian masih ditempatkan sebagai lahan komersial, bukan sebagai
pelayanan profesi.
Misal: Pada PBF dan industri farmasi, penanggung jawab memang apoteker namun tidak
memahami fungsinya.
Tugas apoteker di PBF:
a. Pengawasan penyimpanan obat, quality control
b. Pengaturan FEFO dan FIFO
c. Pelayanan, memahami kriteria dari masing-masing obat
d. Pemusnahan obat
Tugas apoteker di industri farmasi, antara lain:
a. Pembuatan obat yang baik dan benar
b. Pengawasan pembuatan obat.

SANKSI PELANGGARAN KODE ETIK:


a. Sanksi moral.
b. Sanksi dikeluarkan dari organisasi.

Kasus-kasus pelanggaran kode etik akan ditindak dan dinilai oleh suatu dewan
kehormatan atau komisi yang dibentuk khusus untuk itu. Karena tujuannya adalah
mencegah terjadinya perilaku yang tidak etis, seringkali kode etik juga berisikan
ketentuan-ketentuan profesional, seperti kewajiban melapor jika ketahuan teman sejawat
melanggar kode etik. Ketentuan itu merupakan akibat logis dari self regulation yang
terwujud dalam kode etik; seperti kode ituberasal dari niat profesi mengatur dirinya
sendiri, demikian juga diharapkan kesediaan profesi untuk menjalankan kontrol terhadap
pelanggar. Namun demikian, dalam praktek sehari-hari control ini tidak berjalan dengan
mulus karena rasa solidaritas tertanam kuat dalam anggota-anggota profesi, seorang
profesional mudah merasa segan melaporkan teman sejawat yang melakukan pelanggaran.
Tetapi dengan perilaku semacam itu solidaritas antar kolega ditempatkan di atas kode
etik profesi dan dengan demikian maka kode etik profesi itu tidak tercapai, karena tujuan
yang sebenarnya adalah menempatkan etika profesi di atas pertimbangan-pertimbangan
lain. Lebih lanjut masing-masing pelaksana profesi harus memahami betul tujuan kode etik
profesi baru kemudian dapat melaksanakannya.
Kode Etik Profesi merupakan bagian dari etika profesi. Kode etik profesi
merupakan lanjutan dari norma-norma yang lebih umum yang telah dibahas dan dirumuskan
dalam etika profesi. Kode etik ini lebih memperjelas, mempertegas dan merinci norma-
norma ke bentuk yang lebih sempurna walaupun sebenarnya norma-norma tersebut sudah
tersirat dalam etika profesi. Dengan demikian kode etik profesi adalah sistem norma atau
aturan yang ditulis secara jelas dan tegas serta terperinci tentang apa yang baik dan tidak
baik, apa yang benar dan apa yang salah dan perbuatan apa yang dilakukan dan tidak boleh
dilakukan oleh seorang profesional.
Kode etik yang ada dalam masyarakat Indonesia cukup banyak dan bervariasi.
Umumnya pemilik kode etik adalah organisasi kemasyarakatan yang bersifat nasional,
misalnya Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI), kode etik Ikatan Penasehat HUKUM
Indonesia, Kode Etik Jurnalistik Indonesia, Kode Etik Advokasi Indonesia dan lain-lain.
Ada sekitar tiga puluh organisasi kemasyarakatan yang telah memiliki kode etik.
Suatu gejala agak baru adalah bahwa sekarang ini perusahaan-perusahan swasta
cenderung membuat kode etik sendiri. Rasanya dengan itu mereka ingin memamerkan mutu
etisnya dan sekaligus meningkatkan kredibilitasnya dan karena itu pada prinsipnya patut
dinilai positif.

PRAKTIK PELAKSANAAN “KODE ETIK”


1. Kewajiban Umum
a. Sumpah apoteker
b. Kode etik
c. Menjalankan sesuai standar kompetensi.
d. Aktif mengikuti perkembangan dibidang kesehatan dan farmasi.
2. Di dalam melaksanakan praktik, apoteker menjauhkan diri dari usaha mencari keuntungan
semata bertentangan dengan martabat dan tradisi luhur kefarmasian.
3. Apoteker harus berbudi luhur dan menjadi contoh baik bagi orang lain.
4. Tidak ada praktik kefarmasian dengan prinsip ekonomi (melalui usaha sekecil-kecilnya namun
mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya)  Tetapi yang terpenting patient safety
dengan terapi yang rasionala dengan harga terjangkau.
5. Apoteker menjadi sumber informasi.

SUMPAH APOTEKER

Nilai norma dari sumpah/janji seorang apoteker mengandung 5 substansi:

1. Tidak mempergunakan pengetahuan kefarmasian untuk sesuatu yang bertentangan


dengan hukum dan perikemanusiaan.
2. Membaktikan hidup guna kepentingan kemanusiaan dalam bidang kesehatan.
3. Menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya sesuai dengan martabat dan tradisi luhur
jabatan kefarmasian.
4. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahui karena pekerjaan dan keilmuan.
5. Dengan sungguh-sungguh berikhtiar agar tidak terpengaruh pertimbangan keagamaan,
kebangsaan, kesukuan, politik/kepartaian dan kedudukan sosial.

Anda mungkin juga menyukai

  • Kelompok 5 - Manajemen Farmasi
    Kelompok 5 - Manajemen Farmasi
    Dokumen10 halaman
    Kelompok 5 - Manajemen Farmasi
    Nisrina Muslihin
    Belum ada peringkat
  • CAPA
    CAPA
    Dokumen5 halaman
    CAPA
    Nisrina Muslihin
    Belum ada peringkat
  • Kumpulan Materi
    Kumpulan Materi
    Dokumen26 halaman
    Kumpulan Materi
    Nisrina Muslihin
    Belum ada peringkat
  • Compounding and Dispensing
    Compounding and Dispensing
    Dokumen18 halaman
    Compounding and Dispensing
    Nisrina Muslihin
    Belum ada peringkat
  • Inspeksi Diri
    Inspeksi Diri
    Dokumen1 halaman
    Inspeksi Diri
    Nisrina Muslihin
    Belum ada peringkat
  • Tugas Apoteker Muslim
    Tugas Apoteker Muslim
    Dokumen10 halaman
    Tugas Apoteker Muslim
    Nisrina Muslihin
    Belum ada peringkat
  • Makalah Imun
    Makalah Imun
    Dokumen16 halaman
    Makalah Imun
    Nisrina Muslihin
    Belum ada peringkat
  • Kumpulan Soal Ukai
    Kumpulan Soal Ukai
    Dokumen23 halaman
    Kumpulan Soal Ukai
    Nisrina Muslihin
    Belum ada peringkat
  • Tugas
    Tugas
    Dokumen3 halaman
    Tugas
    Nisrina Muslihin
    Belum ada peringkat
  • Home 1
    Home 1
    Dokumen19 halaman
    Home 1
    Nisrina Muslihin
    Belum ada peringkat
  • Tugas Dosen
    Tugas Dosen
    Dokumen7 halaman
    Tugas Dosen
    Nisrina Muslihin
    Belum ada peringkat
  • Tugas Apoteker Muslim
    Tugas Apoteker Muslim
    Dokumen10 halaman
    Tugas Apoteker Muslim
    Nisrina Muslihin
    Belum ada peringkat
  • PERNIKAHAN ISLAM
    PERNIKAHAN ISLAM
    Dokumen11 halaman
    PERNIKAHAN ISLAM
    Yulia Elf
    Belum ada peringkat
  • Makalah Imun
    Makalah Imun
    Dokumen16 halaman
    Makalah Imun
    Nisrina Muslihin
    Belum ada peringkat
  • PERNIKAHAN ISLAM
    PERNIKAHAN ISLAM
    Dokumen11 halaman
    PERNIKAHAN ISLAM
    Yulia Elf
    Belum ada peringkat
  • Home 1
    Home 1
    Dokumen5 halaman
    Home 1
    Nisrina Muslihin
    Belum ada peringkat
  • Tata Cara
    Tata Cara
    Dokumen8 halaman
    Tata Cara
    Nisrina Muslihin
    Belum ada peringkat
  • Seputar Khitbah Dalam Pandangan
    Seputar Khitbah Dalam Pandangan
    Dokumen8 halaman
    Seputar Khitbah Dalam Pandangan
    Yulia Elf
    Belum ada peringkat
  • Tata Cara
    Tata Cara
    Dokumen8 halaman
    Tata Cara
    Nisrina Muslihin
    Belum ada peringkat
  • Tugas
    Tugas
    Dokumen1 halaman
    Tugas
    Nisrina Muslihin
    Belum ada peringkat
  • Tata Cara
    Tata Cara
    Dokumen8 halaman
    Tata Cara
    Nisrina Muslihin
    Belum ada peringkat
  • Etiket
    Etiket
    Dokumen1 halaman
    Etiket
    Nisrina Muslihin
    Belum ada peringkat
  • Home 1
    Home 1
    Dokumen19 halaman
    Home 1
    Nisrina Muslihin
    Belum ada peringkat
  • Copy Resep
    Copy Resep
    Dokumen1 halaman
    Copy Resep
    Nisrina Muslihin
    0% (1)
  • Naskah Drama Musical Siti Nurbaya Season 2: December 11, 2012
    Naskah Drama Musical Siti Nurbaya Season 2: December 11, 2012
    Dokumen16 halaman
    Naskah Drama Musical Siti Nurbaya Season 2: December 11, 2012
    Nisrina Muslihin
    Belum ada peringkat
  • RANCANGAN FORMULA Kapsul
    RANCANGAN FORMULA Kapsul
    Dokumen9 halaman
    RANCANGAN FORMULA Kapsul
    Nisrina Muslihin
    Belum ada peringkat
  • Etiket
    Etiket
    Dokumen1 halaman
    Etiket
    Nisrina Muslihin
    Belum ada peringkat
  • Etiket
    Etiket
    Dokumen1 halaman
    Etiket
    Nisrina Muslihin
    Belum ada peringkat
  • Etiket Putih Febri
    Etiket Putih Febri
    Dokumen1 halaman
    Etiket Putih Febri
    Nisrina Muslihin
    Belum ada peringkat