Anda di halaman 1dari 3

Pengantar Tugas 1

Keselamatan dan kesehatan Kerja sudah menjadi hal utama pada saat ini, kelalaian pada hal
tersebut bisa berakibat fatal yang dapat mempengaruhi pertumbuhan perusaaan pada
khususnya dan perekonomia negara pada umumnya. Kasus untuk Tugas 1 ini akan
mengangkat topik tentang K3.
K3 di Kantor PLN
Insiden K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) yang massif, dapat membuat organisasi/
perusahaan bangkrut lantaran menjual asetnya untuk membayar ganti rugi yang ditetapkan
pengadilan. Skenario terburuk itu bukan isapan jempol semata, namun sangat mungkin terjadi
jika aspek K3 tidak menjadi prioritas utama perhatian perusahaan.
Atas dasar itu, PLN melakukan upaya peningkatan mutu pengelolaan K3LL atau yang biasa
disingkat K3. “Kami menyadari vitalnya aspek K3, karena bagi kami karyawan dan
dukungan masyarakat sekitar area operasional khususnya, ini adalah aset terpenting
perusahaan. Jadi kami selalu berupaya untuk meningkatkan pengelolaan K3 agar aspek
kesehatan, keselamatan, keamanan, dan lindung lingkungan terus terjaga,” papar Antonius
RT Artono, EVP Keselamatan, Kesehatan Kerja, Keamanan dan Lingkungan PLN.
Menurutnya, penyebab dari kecelakaan kerja umumnya disebabkan oleh dua aspek, yakni
unsafe action dan unsafe condition. Penyebab pertama umumnya karena pengabaian terhadap
peralatan dan prosedur keselamatan dalam bekerja. Misalnya, pekerja lalai dalam memakai
berbagai alat perlindungan diri (APD), seperti helm, rompi, sepatu bot, sarung tangan, dan
sebagainya. Sementara aspek kedua karena lingkungan kerja yang tidak aman seperti jalan
licin, jalan berlubang, ataupun infrastruktur kerja yang kurang lengkap.
Kecelakaan kerja itu sendiri biasanya merupakan buah dari pengabaian terhadap puluhan kali
insident near miss, atau hampir celaka. “Sebenarnya kita harus aware kejadian-kejadian
penyebabnya kalau ada hampir celaka. Karena dari data statistik, yang bersumber dari Rasio
Insiden Model, dalam Teori Heinrich’s, Departemen Tenaga Kerja dan Industri -
Pennsylvania, dinyatakan, bahwa dalam satu kali kecelakaan kerja itu, sebetulnya
sebelumnya diawali oleh 30 kali jenis kecelakaan injury minor, yang mengkibatkan korban
meninggal atau berakibat fatal menjadi satu kecelakaan. Ini apabila dilihat dari statistik, rata-
rata seluruh dunia seperti itu.
“Satu orang meninggal itu, sebetulnya diawali oleh 29 kali kejadian injury minor. Sedangkan
sejumlah investigasi memperlihatkan, terjadinya 29 kali injury minor tersebut, sebenarnya
diakibatkan (didahului) juga oleh 300 kali kecelakaan yang near miss,” jelas Antonius.
Belajar dari pengalaman itu, PLN membentuk Road Map K3 dengan target Zero Accident di
tahun 2023. Salah satu langkah dalam Road Map 2023 adalah membentuk organisasi K3 di
unit-unit induk PLN pada tahun 2013.
Demi memperkuat pengawasan K3 lantas dibentuklah Budaya K3 di tubuh PLN. Antonius
menjelaskan, terdapat jalinan hubungan antara budaya perusahaan dengan budaya K3.
Budaya korporat sendiri merupakan elemen strategik, yang bersifat besar dan menyeluruh.
Sementara budaya K3 adalah subkultur dari budaya korporat yang spesifik mencakup urusan
keselamatan kerja. “Karena itu kami membangun budaya K3 di PLN dengan tiga values,
yakni Peduli, Taat, Tanggap. Untuk melaksanakannya, saya mengumpulkan seluruh
stakeholders K3 dari seluruh Indonesia di Kantor Pusat PLN ini,” jelasnya.
Adapun indikator keberhasilan dari budaya K3 itu terdiri atas lagging indicator dari empat
aspek, yakni Loss of Life, Loss of Production, Loss of Productivity, dan Loss of Asset.
Keempat indikator itu lantas dibuat indikator kinerja utama atau key performance indicators
(KPI). Dengan demikian pengelolaan K3 di PLN terus dilakukan dengan cara bersinergi antar
unit, mengukur pencapaian KPI lagging indicators, dan memperkuat budaya K3 di
lingkungan PLN dan juga kontraktornya.
Tak ketinggalan PLN terus membangun kesadaran untuk saling mengingatkan dan fokus
pencegahan terhadap K3 dalam menemukan dan menyelesaikan perihal unsafe condition dan
unsafe action, istilahnyai lindung lingkungan.
Menerapkan berbagai upaya tersebut memang tak mudah. Terlebih PLN merupakan ‘kapal
induk’ dengan jenis dan area operasi yang sangat luas, baik dari aspek jenis bisnis, area
pembangkitan transmisi, distribusi dan sebagainya. Meski demikian Anton yakin dengan
upaya bersama dan keinginan untuk menjadikan organisasi yang lebih baik, maka
terwujudnya zero accident di PLN pada tahun 2023 akan dapat tercapai.
Sementara itu, Raswari, Chairman Persatuan Insinyur Profesional Indonesia, sekaligus
Deputy Chairman Oil Gas dan Energy KADIN Indonesia, menjelaskan, dalam sebuah
perusahaan energi seperti PLN, kondisinya sarat akan risiko kebakaran dan kerusakaan aset
yang dapat berujung pada kecelakaan kerja yang menyebabkan kehilangan nyawa. Dia
menilai, industri seperti PLN harus memperbanyak signage peringatan kewaspadaan maupun
tanda bahaya di area operasional PLN yang berisiko tinggi.
Tak ketinggalan pengawasan pun harus disertai sanksi yang tegas agar timbul efek patuh dan
jera. Dia menyarankan untuk penerapaan K3 yang holistik di PLN. Antara lain pemasangan
CCTV di berbagai sudut organisasi dan lapangan agar pengawasan dapat berlangsung ketat
dan luas. Selain itu PLN juga bisa membuat film singkat tentang SOP yang harus dipatuhi
orang-orang yang akan masuk fasilitas produksinya. Film itu akan diperlihatkan kepada
setiap pengunjung baru fasilitas produksi. Juga, pengawasan di unit terkecil perusahaan di
berbagai pelosok negeri juga harus disamakan skalanya dengan di unit induk yang besar. Hal
ini lantaran kecelakaan kerap terjadi di fasilitas operasional yang terpencil. Berbagai upaya
penerapakan K3 juga harus diterapkan untuk kontraktor PLN agar sama pelaksanaannya.
Terakhir Raswari menyarankan agar PLN mewajibkan profesionalnya untuk mengikuti
sertifikasi kompetensi sesuai bidangnya masing-masing. Mengikuti sertifikasi kompetensi
bisa dilakukan di PIPI atau lembaga profesi lainnya yang berwenang. “Selain itu sekarang era
sertifikat kompetensi jadi agar pekerja PLN terukur semua senior engineer dan senior skill
harus dibuatkan sertifikat melalui asosiasi profesi sehingga mereka betul betul profesional di
setiap bidangnya. Dengan begitu dia bisa meminimalisir risiko karena betul-betul ahli dan
ter-record pekerjaannya secara profesional,” jelasnya.
Untuk urusan sertifikasi profesi ini dipaparkan oleh Raswari, bahwa Indonesia memang
cukup tertinggal. Di Negara ASEAN lainnya sudah lebih dari 65% profesional yang
memegang sertifikasi profesi. Sementara di Indonesia baru 2% profesional di perusahaan
Indonesia yang memiliki sertifikasi kompetensi. “
sumber::https://swa.co.id/swa/trends/komitmen-kuat-pln-menanamkan-budaya-k3-di-
lingkungannya

Anda mungkin juga menyukai