Anda di halaman 1dari 39

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Pengetahuan

2.1.1 Pengertian

Pengetahuan berasal dari kata tahu “tahu”, dalam kamus besar bahasa

Indonesia (2008) kata tahu memiliki arti antara lain mengerti sesudah melihatnya

(menyaksikan, mengalami dan sebagainya) mengenal dan mengerti.pengetahuan

merupoakan sesuatu yang di ketahui berdasarkan pengalaman manusia itu sendiri

dan pengetahuan akan bertambah sesuai dengan proses pengalaman yang di

alaminya

Sedangkan menurut notoatmodjo (2012), pengetahuan adalah hasil dari

tahu dan ini terjadi setelah seseorang melakukan pengindaraan terhadap suatu

objek pengendaraan terjadi melalui pancaindera manusia yakni. Indera

pendengaran, penglihatan, penciuman perasaan dan perabaan sebagai pengetahuan

manusia dapat melalui mata dan telinga.

2.1.2 Tingkat Pengetahuan

Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif menurut notoatmodjo

(2012) mempunyai 6 tingkatan yaitu.

1. tahu (Know), diartiakn sebagai mengigat suatu materi yang telah di

pelajari sebelumya

2. memahami (comprehension), memahami diartikan sebagai suatu

kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang di ketahuan

dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar


3. aplikasi (Aplication) aplikasi diartikan sebagai kemampuanuntuk

meggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real.

4. Analisis (analysis), analisis adalah suatu kemampuan untuk

menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-

komponen, tetapi masih dalam suatu struktur organisai tersebut,

dan masih ada kaitanyan satu asama lain.

5. Sintesis (synthesis) sintesis menunjuk pada suatu kemampuan

untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian dalam suatu

bentuk keseluruhan yang baru.

6. Evaluasi (evaluation), evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan

untuk melakukan jastifikasi atau penilaian terhadap suatu materi

atau objek.

2.1.3 Sumber Pengetahuan

Pengetahuan di peroleh melalui proses kognitig, dimana seseorang harus

mengerti atau mengenali telebih dahulu suatu ilmu pengetahuan agar dapat

mengetaui pengetahuan tersebut. Menurut ranchman (2008), sumber pengetahuan

terdiri dari :

1. pengetahuan wahyu ( revealed knowledge)

pengetahuan wahyu di peroleh manusia atas dasar wahyu yang diberikan

oleh tuhan kepadanya. Pengatahuan wahyu bersifat eksternal, artinya

pengetahuan wahyu bersifat external, artinya pengetahuan tersebut berasal

dari luar mnausia. Pengetahuan wahyu lebih banyak menekankna pada

kepercayaan.
2. Pengetahuan intuitit (intuitive knowledge)

Pengetahuan intuitif di peroleh manusia dari dalam dirinya sendiri, pada

saat dia menghayati sesuatu. Untuk memperoleh intuitif yang tinggi,

manusia harus berusaha melalui pemikiran dan perenungan yang konsisten

terhadap suatu objek tertentu. Intuitif secara umum merupakan metode

untuk memperoleh pengetahuan tidak berdasarkan rasio, pengalaman dan

pengamatan indera.

3. Pengetahuan rasionaol (rational knowledge)

Pengetahuan rasional merupakan pengetahuan yang di peroleh dari latihan

rasio atau akal semata, tidak disertai dengan ovservasi terhdap peristiwa-

peristiwa faktual

4. Pengetahuan empiris (empirical knowledge)

Pengetahuan empiris di peroleh atas bukti penginderaan yakni, indera

penglihatan, pendengaran dan sentuhan-sentuhan indera lainnya, sehingga

memiliki konsep dunia di sekita kita. Contohnya dalah seprti orang

memegang besi panas Bagaiman dia mengetahuai besi itu panas? Dia

mengetahui indera peraba

5. Pengetahuan otoritas (authoritative knowledge)

Pengetahuan otoritas di peroleh dengan mencari jawaban pertanyaan orang

lain yang telah mempunyai pengalaman dalam bidang tersebut. Apa yang

dikerjakan oleh yang kita ketahui mempuyai wewenang, kita terima

sebagai suatu kebenaran. Mislanya seorang mahasiwa yang membuka

kamus untuk mengetahui arti kata-kata orang asing, untuk mengetahui


jumlah penduduk di Indonesia maka orang akan melihat laporan biro pusat

statistic Indonesia.

2.1.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan

Menurut Mubarak (2011). Ada tujuh faktor yang mempengaruhi

pengetahuan seseorang:

1. Tingkat pendidikan

Pendidikan merupakan suatu usaha untuk mengembakan kepribadian dan

kemampuan seseorang agar dapat memahami suatu hal. Pendidikan

mempengaruhi proses belajar, semakin tinggi pendidikan seseorang,

semakin muda orang tersebut menerima informasi. Pengetahuan sangat

erat kaitannya dengan pendidikan dimana di harapkan seseorang dengan

pendidikan tinggi maka orang tersebut akan semakin luas pengetahuannya.

2. Pekerjaan

Pekerjaan adalah suatu kegiatan yang harus dilakukan terutama untuk

memenuhi kebutuhan setiap hari. Lingkungan pekerjaan dapat membuat

seseorang memperoleh pengalaman dan pengetahuan baik secar langsung

maupun tidak langsung

3. Umur

Umur mempengaruhi terhadap daya tangkap dan pola fikir seseorang.

Dengan bertambahnya umur individu, daya tangkap dan pola fikir

seseorang akan lebih berkembanga, sehingga pengetahuan yang di

perolehnya semakin membaik.


4. Minat

Minat merupakan sesuat keinginan yang tinggi terhadap sesuatu hal. Minat

menjadikan seseoarng untuk mencoba dan menekuni. Sehingga seseorang

memperoleh pengetahuan yang lebih mendalam.

5. Pengalaman

Pengalaman merupakan suatu kejadian yang dialami seseorang pada masa

lalu. Pada umumnya semakin banyak pengalaman seseorang, semakin

bertamba pengetahuan yang di dapatkan dalam hal ini, pengetahuan ibu

dari anak yang pernah atau bahkan sering mengalami diare seharusnya

lebih tinggi dari pada pengetahuna dari anak yang belum mengalami diare

sebelumnya.

6. Lingkungan

Lingkungan merupakan segala suatu yang ada di sekitar individu, baik

lingkunga fisiik, biologis, maupun sosial. Lingkungan berpengaruh

terhadap oroses masuknya pengetahuan kedalam individu yang berada

didalam lingkgna tersebut.

7. Informasi

Seseorang yang mempunyai sumber informasi yang lebih banyak akan

mempunyai pengetahuan yang lebih luas. Pada umumnya semakin mudah

memperoleh informasi ksemakin cepat seorang memperoleh pengetahuan

yang baru.
2.2 Persepsi

2.2.1 Pengertian Persepsi

Menurut wenburg dan Wilmot mendefinisikan persepsi sebagai caa

organisme memberi makana (riswandi 2009). Persepsi merupakan istilah yang

umumnya di kenal oleh masyarakat. Persepsi dapat diartikan sebagai penafsiran

terhadap suatu hal. Persepsi adalah satu proses pengorganisasian dan

penginterpresentasian terhadap stimulus yang di terima oleh orasnisme atau

individu sehingga menjadi sesuatu yang berarti dan merupakan yang teringerasi

dalam diri individu.

Informasi yang pertama kali di peroleh sangat mempengaruhi pembentuk

persepsi, oleh karena itu pengalam pertam ayang tidak menenangkan akn sangat

mempengaruhi pembentukan persep seseorang. Tetapi karena stimulus yang di

hadapi oleh manusia senantiasa berubah, maka persepsipun dapat berubah-ubah.

Sesuai denga stimulus yang di terima.

Health belief models adalah terori yang paling umu digunakan dalam

pendidkankesehatan dan proosi kesehatan (glanz, rimes & lewi 2002). Menkankan

bahwa perilaku kesehatan ditentukan oleh keyakinan pribadi atau persepsi tentang

penyakit dan strategi yang tersedia untuk mengurangi terjadinya penyakit.

Persepsi seseorang dipengaruhi terjadinya penyakit. Persepsi seseorang

dipengaruhi oleh berbagai macam faktor yaitu

1. Kerentanan yang di rasakan (perceived susceptibility)

Resiko pribadi atau kerentanan adalah salah satu persepsi yang lebih kuat

dalam mendorong orang untuk mengadopsi perilaku sehat. Semakin besar


resiko yang dirasakan, semakin besar kemungkinan terlibat dalam perilaku

untuk mengurangi resiko

2. Bahaya/kesakitan yang di rasakan (perceibed severity (bahaya/kesakitan

yang di rasakan dala hal ini terkait denga keyakin atau kepercayaan

individu tentang keseriusan atau keparahan penyakit. Persepsi keseriusan

sering didasarkan pada informasi medis atau pengharagaan, juga dapat

berasaldari keyakinan seseorang bahwa ia akan mendapat kesulitan akibat

penyakit dan akan membuat atau berefek pada hidupnya secara umum.

3. Manfaat yang di rasakan (perceveid benefit(

Konstruksi manfaat yang di raskan adalah pendapt seseorang dari nilai

atau kegunaand ari suatu perilaku baru dalam mengurangi resiko

pengembagnan penyakit. Orang-orang enderung mengadopsi perilaku

sehatketika mereka percaya perlaku baru akan mengurang resiko mereka

untuk berkembangnya suatu penyakit apaka orang berusaha untuk makan

lima porsi buah dansayuran sehari jika mereka tidak percaya porsi buah

dan sayuran sehari jika mereka tidak percaya hal itu bermanfaat.

2.2.2 Perbedan Persepsi Berdasarkan Responden

1. Umur

Menurut kozier dalam nurhidayat (2012) umur merupakan faktor yang

dapt mempengaruhi persepsi seseorang. Seorang meliaht sebuah target dan

mencoba untuk memberikan intepretasikan dari objek yang dilihatnya

dengan berbeda-beda. Karakteristisk individu seperti usia dapat

mempengaruhi interpretasi persepsi seseorang, sehingga setiap orang yang

usianya berbeda mempnyai persepsi yang berbeda terhadap suatu objek


atau stimulus. Umur merupakan faktor yang dapat mempengaruhi

pengetahuan dan persepsi seseorang. Umur dapat mempengaruhi daya

tangkap seseorang dan pola fikir seseorang

2. Tingkat pendidikan

Pendidikan adalah proses pengubah sikap dan tata laku seseorang atau

kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya

pengajaran dan pelatihan. Proses pembuatan cara mendidik. Kemahiran

menyerap pengetahuan akan meningkat sesuai dengan meningkatnya

pendidikan seseorang dan kemampuan ini berhubungan erart dengan sikap

seseorang terhadap pengetahunya yang di serapya

3. Tingkat pekerjaan

Menurut kozier dalam nurhidayat (2012), pengetahuan merupakan salah

satu faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang. Faktor pekerjaan

dapat mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang, karena sebagian

responden memiliki status pekerjaan sebagai petani dan ibu rumha tangga

atau tidak bekerja sehingga masih kurang dalam mendaptkan informas

mengenai imunisasi sehingga hal tersebut dapt mempengaruhi persepsi

responden mengenai kinerja kader.

2.3 Konsep Kepatuhan

2.3.1 Definisi

Kepatuhan adalah tingkat perilaku pasein yang tertuju terhadap intruksi

atau petunjuk yang diberikan dalam bentuk terapi apapun yang ditentukan baik

diet latihan, pengobatan atau menepati janji pertemuan dengan dokter pada kepada

pasien dengan penakit ginjak. Kepatuhan merupakan suatu perubahan perilaku


dari perilaku yang tidak mentaati peraturanke perilaku yang mentaati peraturan.

(notoatmodjo 2012)

Kepatuhan adalah istilah yang di pakai untuk menjelaskan ketaatan atau

pasrah pada tujuan yang telah ditentukan. Definisi seprti itu memiliki sifat yang

manipulative atau otoriter, karena penyelenggaraan kesehatan atau pendidikan di

anggap sebagai tokokh yang berwenang, dan konsumen atau peserta di di di

anggap sebagai tokoh yang berwenang, dan konsumen atau peserta didik di

anggap bersikap patuh. Istilah tersebut belum dapat diterima dengan baik dalam

ilmu keperawtan karena adanya falsah yang mengatakan bahwa klien berhak

unutk membuat keputasan perawat kesehatan sendiri dan untuk tidak perlu

mengikuti rangkaai tindakan yang telah di tentukan oleh profesi keperawatan

kesehatan (bastble 2009).

Kepatuhan pada program kesehatan merupakan perilaku yang dapt

diobservasi dan langsung diukur. Sedangkan motivasi merupakan precursor untuk

tindakan yang dapt diukur secara tidak langsung melalui konsekuensi atau hasil

yang berkaitan denga perilaku yang mencakup

2.3.2 Tipe Kepatuhan

Menurut bastable (2009) terdapat lima tipe kepatuhan yaitu

1. Otoritaria. Satu kepatuhan tanpa reserve kepatuhan yang iku-ikutan

2. Conformist yaitu kepatuhan ini mempunyai 3 bentuk

a. Conformist yang directed, yaitu penyesuaian diri terhadap masyarakat

atau orang lain


b. Conformist hedonist, yaitu kepatuhan yang beroreintasi pada untug

ruginya

c. Conformist integral adalah kepatuhan yang menyesuaikan

kepentingan diri sendiri dengan kepentingan masyarakat

3. Compulsive deviant. Adalah kepatuhan yang tidak konsisten atau apa yang

sering di sebut plinpan

4. Hedonic psikopatic adalah kepatuhan pada kekayaan tanpa

memperhitungkan kepentingan orang lain

5. Supra moralist, adalah kepatuhan karena keakinan yang tinggi terhadap

nilai-nilai moral.

2.3.3 Faktor-Faktor Kepatuhan

Menurut kozier (2010) faktor yang mempengaruhi kepatuhan adalah

sbagai berikut

1. motivasi diri sendiri

2. tingkat perubahan gaya hidup yang di butuhkan

3. persepsi keparahan masalah kesehatan

4. nilai upaya mengurangi ancaman penyakit

5. kesulitan memahami dan melakukan perilaku khusus

6. tingkat gangguan penyakit atau rangkaian terapi

7. keyakinan bahwa terapi yang diprogramkan akan membantu atau tidak

membantu

8. kerumitan, efek samping yang dianjurkankan

9. warisan udaya tertentu yang membuat kepatuhan menjadi sulit di lakukan


10. tingkat kepuasan dan kalitas serta jenis hubungan dengan penyediaan

layanan kesehatan

sedangkan menurut neil (2009) faktor-faktor yang mempengaruhi

ketidakpatuhan dapat digolongkan menjadi empat bagian

1. pemahaman tentang instruksi

tidak seorangpun dapat mematuhi instruksi jika salah paham entang

instruksi yang di berikan padanya.

2. Kualitas intruksi

Kualitas intruksi antara professional kesehatan dan pasien merupakan

bagian yang penting dalam menentukan derajat kepatuhan.

3. Isolasi sosial dan keluarga

Keluarga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam

menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu serta dapat juga

menentukan tentang program pengobatan yang dapat mereka erima

4. Keyakinan sikap dan keluarga

Becker dalam neil (2012) telah membuat suatu usulan bahwa model

keyakinan kesehatan berguna untuk memperkirakan adanya

ketidakpatuhan. Mereka menggambangkan kegunaan model tersebut

dalam suatu penelitian bersama Hartman dan becker yangmemperkirakan

ketidak patuhan terhadap ketentuan tertentu

Selain faktor di atas berapa faktor lain yang mempengaruhi kepatuhan

menurut factual (2009) di antaranya yaitu

a. Pendidikan
Pendidikan adalah suatu kegiatan, usaha manusia meningkatkan

kepribadian atau proses perubahan perilaku menuju kedewasaan dan

penyempurnaa kehidupan manusia dengan jalan membina dan

mengembangkan potensi kepribadiannya yang berupa raohi, cipta, rasa,

karsa dan jasmani

b. Akomodas

Suatu usaha harus di lakukan untuk memahami ciri kepribadian pasien

yang dapat mempengaruhi kepatuhan. Pasien yang mandiri harus

dilibatkan secara aktif dalam program pengobatan

c. Modifikas faktor lingkugna dan sosial

d. Perubahan model terapi

e. Meningkatkan interaks professional

f. Suatu hal yang penting untuk memberikan umpan balik

2.4 Konsep Difteri

2.4.1 Pengertian

Difteri merupakan penyakit infeksi akut yang terutama menyerang

tonsil, faring, laring, hidung, dan adakalanya menyerang selaput lendir

atau kulit serta kadang pula menyerang konjungtiva atau vagina (Chin, J.,

J., 2000). Namun kasus yang lebih banyak terjadi yaitu berupa infeksi

akut yang menyerang saluran pernapasan atas. Penyakit ini disebabkan oleh

bakteri Corynebacterium diphtheriae. Bakteri tersebut merupakan salah satu jenis

bakteri gram-positif yang tidak membentuk spora. Pada kedua ujungnya bakteri

ini memiliki granula metakromatik yang memberi gambaran pada pewarnaan. C.

diphtheriae berdiameter 0,5-1 µm dan panjangnya beberapa mikrometer,


tidak berspora, tidak bergerak, dan termasuk pada organisme yang tidak tahan

asam.

Bakteri ini bersifat anaerob fakultatif, namun pertumbuhan maksimal

diperoleh pada suasana aerob. Dibandingkan dengan kuman lain yang tidak

berspora, C. diphtheriae lebih tahan terhadap pengaruh cahaya, pengeringan, dan

pembekuan. Namun kuman ini mudah dimatikan oleh desinfektan (Putri, 2018).

Di alam C. diphtheriae terdapat dalam saluran pernapasan, dalam luka-luka, pada

kulit orang yang terinfeksi, atau orang normal yang membawa bakteri (karier)

(Putri, 2018). Bakteri ini terdiri dari beberapa tipe atau varian jenis yaitu tipe

mitis, intermedius, dan gravis. Sementara itu WHO sendiri menambahkan tipe

belfanti menggenapkannya menjadi 4 varian bakteri. Tipe mitis merupakan tipe

yang paling sering menimbulkan penyakit diantara tipe lainnya (FK UB, 2016).

Sementara untuk keganasannya, bakteri ini dibagi menjadi bakteri toksigenik dan

bakteri non toksigenik. Perbedaan keduanya yaitu pada strain toksigenik terinfeksi

oleh coryne bacteriophage yang mengandung diphtheria toxin gene tox (Chin, J.,

2000). Tipe bakteri nontoksigenik tidak bersifat patogenik, hanya saja dapat

berubah sewaktu-waktu menjadi toksigenik bila terinduksi dengan bakteriofag.

Pada dasarnya produksi toksin hanya terjadi bila bakteri tersebut mengalami

lisogenasi oleh bakteriofag yang mengandung informasi genetik toksin, hanya

galur toksigenik yang dapat menyebabkan penyakit gelap (Kandun, 2016).

Spesies bakteri coryneform lain yang dapat juga menimbulkan

manifestasi klinis difteri yaitu Corynebacterium ulcerans (FK UB, 2016).

Strain toksigenik mampu menghasilkan toksin berupa eksotoksin. Eksotoksin

inilah yang merupakan faktor virulensi dari C. diphtheria (FK UB, 2016).
Masa inkubasi biasanya 2-5 hari tapi dapat juga lebih lama (Widoyono, 2011).

Gejala klinisnya tergantung dari tempat terjadinya infeksi, status imunisasi, dan

penyebaran toksin (Kandun, 2016).

2.4.2 Patogenesitas

C. diphtheriae bersifat toxin-mediated disease yang artinya tanda dan

gejala yang timbul pada penyakit diakibatkan oleh toksin yang dihasilkan bakteri

ini. Toksin ini dapat menyebar melalui darah dan bisa menyebabkan kerusakan

jaringan di seluruh tubuh, terutama jantung dan saraf. Akibat dari toksin difteri

yaitu miokarditis, neuritis, trombositopenia, dan proteinuria (Widoyono, 2011).

Toksin difteri adalah polipeptida tidak tahan panas yang dapat mematikan pada

dosis 0,1 µm/kg. Toksin difteria diabsorbsi ke dalam selaput mukosa dan

menyebabkan destruksi epitel dan respons peradangan superfisial. Epitel yang

mengalami nekrosis tertanam dalam eksudat fibrin dan sel-sel darah merah dan

putih, sehingga terbentuk pseudomembran yang berwarna putih keabu-abuan yang

sering melapisi tonsil, faring, atau laring. Setiap usaha untuk membuang

pseudomembran akan merusak kapiler dan mengakibatkan pendarahan.

Berdasarkan gejala dan ditemukannya membran inilah diagnosis

ditegakkan. Selain itu kelenjar getah bening regional pada leher membesar, dan

dapat terjadi edema yang nyata di seluruh leher (Putri, 2018). Timbulnya penyakit

ini ditandai dengan adanya pertumbuhan membran (pseudomembran) berwarna

putih keabu-abuan, yang lokasi utamanya di nasofaring atau daerah tenggorokan.

Membran tersebut dapat menutup saluran pernapasan dalam waktu yang sangat

singkat dalam hitungan beberapa jam sampai beberapa hari saja (Achmadi,

2006).
Toksin biasanya menyerang saraf tertentu, misalnya saraf tenggorokan

(Beishir I, 2001 dalam Putri 2018). Efek nekrotik dan neurotoksis toksin difteria

disebabkan oleh penghentian sintesis protein yang mendadak. Selain toksin yang

dihasilkan, ternyata keberadaan bakteri ini sendiri juga merugikan. Biasanya

bakteri berkembang biak pada atau di sekitar permukaan selaput lendir mulut atau

tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Bila bakteri sampai ke hidung, lalu

cairan hidung dapat menyebarkannya dari tenggorokan ke pita suara (laring) dan

menyebabkan pembengkakan sehingga saluran udara menyempit dan terjadi

gangguan pernapasan (Kandun, 2006 dalam Putri 2018).

2.4.3 Klasifikasi Difteri

Widoyono (2011) mengklasifikasikan difteri menjadi dua jenis

difteri, yaitu:

1. Difteri Tipe Respirasi

Difteri tipe ini disebabkan oleh strain bakteri yang memproduksi toksin

(toksigenik). Biasanya dapat menyebabkan gejala yang berat sampai

meninggal. Difteri tipe respirasi terbagi lagi menjadi

beberapa tipe, yaitu:

a. Difteri hidung (anterior nasal diphteria)

Difteria ini umumnya timbul pada bayi.

b. Difteri faucial

Merupakan bentuk paling umum dari difteri. Gejala dapat

berupa tonsilitis disertai dengan pseudomembran yang berwarna

kuning keabuan pada salah satu atau kedua tonsil. Pseudomembran

dapat membesar hingga ke uvula, palatum mole, orofaring,


nasofaring, atau bahkan laring. Gejala dapat disertai dengan mual,

muntah, dan disfagia.

c. Difteri tracheolaryngeal

Difteri laring biasanya terjadi sekunder akibat difteri faucial.

Difteri tracheolaryngeal dapat menimbulkan gambaran bullneck

pada pasien difteri akibat cervical adenitis dan edema yang terjadi

pada leher. Timbulnya bullneck merupakan tanda dari difteri berat,

karena dapat timbul obstruksi pernapasan akibat lepasnya

pseudomembran sehingga pasien membutuhkan trakeostomi.

d. Difteri maligna

Hal ini merupakan bentuk difteri yang paling parah dari difteri.

Toksin secara cepat menyebar dengan demam tinggi, denyut

nadi cepat, penurunan tekanan darah dan sianosis. Biasanya

penyebaran membran meluas dari tonsil, uvula, palatum, hingga

lubang hidung. Gambaran bullneck dapat terlihat, dan timbul

perdarahan dari mulut, hidung, dan kulit. Gangguan jantung

berupa heart block muncul beberapa hari sesudahnya (FK UB,

2016).

2. Difteri Kutan/Kulit

Difteri ini menyerang pada kulit dengan gejala yang ringan

disertai peradangan yang tidak khas dan sulit untuk dikenali sehingga

seringkali tidak masuk dalam catatan kasus maupun program

penanggulangan. Disebabkan oleh strain bakteri toksigenik maupun

nontoksigenik. Difteri kutan saat ini lebih sering muncul daripada penyakit
nasofaring di negara barat. Hal ini berkaitan dengan alkoholisme dan

kondisi lingkungan yang tidak higienis (FKUB, 2016).

2.4.4 Tanda dan Gejala

Penetapan kasus salah satunya dilihat dari tanda dan gejala klinis

yang muncul hal ini karena penanganan sedini mungkin sangatlah

penting untuk dilakukan. Tanda dan gejala yang digunakan sebagai alat

diagnosa penyakit difteri, yaitu:

1. Mengalami infeksi pada faring, laring, trakhea, atau kombinasinya;

2. Muncul selaput berwarna putih keabu-abuan (pseudomembran) yang

tidak mudah lepas pada tenggorokan, amandel, rongga mulut, atau

hidung;

3. Pembengkakan kelenjar limfa pada leher (bullneck);

4. Demam yang tidak tinggi (< 38,5˚C);

5. Mengeluarkan bunyi saat menarik napas (stidor); dan

6. Kesulitan bernapas. (Widoyono, 2011; Kemenkes RI, 2017)

2.4.5 Penetapan Kasus

Definisi operasional difteri menurut Kemenkes RI (2017),

diantaranya:

1. Suspek difteri adalah orang dengan gejala faringitis, tonsilitis,

laringitis, trakeitis atau kombinasinya disertai demam tidak tinggi

dan adanya pseudomembran putih keabu-abuan yang sulit lepas, mudah

berdarah apabila dilepas atau dilakukan manipulasi.

2. Probable difteri adalah orang dengan suspek difteri ditambah dengan

salah satu gejala berikut:


a. Pernah kontak dengan kasus (<2 minggu)

b. Imunisaasi tidak lengkap, termasuk belum dilakukan booster.

c. Berada di daerah endemis difteri

d. Stidor, bullneck

e. Pendarahan submukosa atau petechiae pada kulit

f. Gagal jantuk toksik, gagal ginjal akut

g. Miokarditis

h. Meninggal

3. Kasus konfirmasi laboratorium adalah kasus suspek difteri dengan

hasil kultur positif Corynebacterium diphtheriae strain toxigenic atau

PCR yang telah dikonfirmasi dengan elek test.

4. Kasus konfirmasi hubungan epidemiologi adalah kasus yang

memenuhi kriteria suspek difteri dan mempunyai hubungan epidemiologi

dengan kasus konfirmasi laboratorium.

5. Kasus karier adalah orang yang tidak menunjukkan gejala klinis,

tetapi hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan posit

6. Corynebacterium diphtheriae.

2.4.6 Penularan

Sumber penularan yang utama adalah penderita maupun karier

difteri. Karier merupakan orang yang terinfeksi difteri (hidung maupun

tenggorok) tetapi tidak mengalami gejala penyakit. Masa penularan difteria dari

penderita adalah 2-4 minggu, jarang hingga 4 minggu (Widoyono, 2011; Kartono,

2018). Pada penderita yang menerima pengobatan dengan antibiotik, masa


menularnya hanya 1-2 hari (Kartono, 2008). Sementara untuk karier penularaan

bisa mencapai 6 bulan.

Biasanya mereka yang berada di sekitar orang yang terinfeksi difteri

sangat rentan tertular penyakit ini seperti keluarga dekat, teman sekolah,

teman bermain, tetangga, atau rekan kerja. Penularan terjadi melalui droplet yakni

ketika penderita maupun karier batuk atau bersin (Widoyono, 2011). Selain itu,

debu atau muntahan juga bisa menjadi sumber penularan. Jarang terjadi penularan

melalui peralatan yang tercemar lesi pederita difteri kulit. Dikatakan pula susu

yang tidak dipasteurisasi dapat berperan sebagai media penularan difteri (Chin, J.,

2000).

2.4.7 Penatalaksanaan dan Pengobatan

Pasien harus dirawat di ruang isolasi rumah sakit untuk menghindari

penularan ke pasien lainnya. Isolasi dapat dilakukan selama 48 jam sejak

pemberian antibiotik hingga tidak lagi menular (Kemenkes RI, 2017). Sementara

menurut Widoyono (2011) untuk pengobatan sendiri terdapat dua tujuan utama

yaitu untuk memulihkan pasien dari peradangan dan toksin bakteri itu sendiri.

Pengobatan tersebut diantaranya:

1. ADS (Antidiphteria Serum), merupakan antitoksin yang dapat

mengikat toksin dalam darah. Sayangnya ADS ini tidak mampu

mengikat toksin dalam jaringan. ADS dapat diperoleh dari serum

kuda. ADS ini diberikan kepada suspek difteri tanpa menunggu hasil

laboratorium.

2. Antibiotik berupa eritromisin atau penisilin diberikan untuk terapi

dan profilaksis. Pengobatan jenis ini diberikan kepada suspek difteri


serta kontak kasus dengan tujuan untuk dapat menekan penularan

penyakit.

3. Kortikosteroid, untuk mencegah dan mengurangi peradangan.

2.4.8 Faktor Risiko Difteri

Dalam epidemiologi klasik kita kenal dengan sebutan trias epidemiologi

untuk memberikan gambaran akan hubungan antara faktor-faktor yang berperan

dalam terjadinya penyakit. Dalam Teori Fenomena Gordon ini, penyakit akan

timbul ketika terdapat gangguan interaksi atau ketidakseimbangan antara faktor-

faktor tersebut (Bustan, 2006). Ketika salahsatu faktor tidak seimbang, misal

ketika imunitas pejamu rentan atau lingkungan berubah, serta jumlah sumber

penyakit lebih ganas atau bertambah akan menyebabkan ketidakseimbangan dan

akan menimbulkan sakit (Najmah, 2016). Terdapat tiga faktor utama yang

menyebabkan terjadinya penyakit, diantaranya:

1. Agen

Agen yang merupakan unsur penting yang berperan penting dalam

menyebabkan terjadinya penyakit. Pada penyakit difteri agen yang

dimaksud yakni C. diphtheriae. Bakteri ini dianggap sebagai penyebab

kausal primer yang artinya pada setiap kasus difteri akan selalu

ditemukan bakteri ini. Meskipun adanya bakteri ini belum tentu terjadi

penyakit (Azhari, A.R dkk., 2014).

C. diphtheriae secara alami terdapat pada tubuh manusia yang

merupakan satu-satunya reservoir bakteri ini. Reservoir merupakan

tempat atau habitat tempat agen biasanya hidup, tumbuh, dan

berkembang biak. Reservoir dapat menjadi sumber agen ditularkan


kepada pejamu (Najmah, 2016). Bakteri ini memiliki kemampuan untuk

menyesuaikan diri dengan tubuh manusia sebagai inangnya dan kemudian

mampu memproduksi toksin difteri yang sangat berbahaya (Ryadi, 2016).

Infektifitas dari bakteri ini juga menyebabkan penyebaran penyakit

difteri melalui orang ke orang terutama orang-orang terdekat melalui

droplet penderita. Selain itu, bakteri ini memiliki kemampuan

menyebabkan penderita karier dimana tidak nampak sama sekali tanda

dan gejala penyakit ini.

2. Pejamu (host)

Menurut Ryadi (2016) dalam epidemiologi, pengertian host

memiliki dua arti, yakni di satu pihak host merupakan sumber infeksi

(reservoir) di lain pihak ia bisa diartikan sebagai host kelompok rentan

yang mudah terserang penyakit sebagai susceptible host. Beberapa hal

yang dipertimbangkan dapat menjadi faktor risiko seseorang menjadi

rentan terhadap penyakit yaitu faktor genetik, riwayat penyakit, umur,

jenis kelamin, psikologi, fisiologi, dan imunitas (Najmah, 2016).

Faktor pejamu terutama dikaitkan dengan kemampuan daya tubuh host

dalam menghadapi invasi mikroorganisme infeksius (Ryadi, 2016).

Daya tahan tubuh ini berkaitan erat dengan imunitas tubuh baik

yang didapatkan secara alami maupun tidak. Secara spesifik pada penyakit

difteri faktor pejamu yang berperan penting dalam terjadinya penyakit ini

yaitu umur, jenis kelamin, status gizi, status imunisasi (Arifin & Prasasti,

2017).
Penjelasan mengenai faktor pejamu yang dapat mempengaruhi

kejadian difteri, sebagai berikut:

a. Umur

Umur yaitu lama waktu hidup sejak seseorang dilahirkan. Umur

dalam hal ini berkaitan erat dengan kemampuan tubuh menghasilkan

imunitas pada penyakit difteri. Difteri sendiri umumnya merupakan

penyakit saluran pernapasan akut yang sering terjadi pada anak-anak.

Hal ini karena sistem pertahanan tubuh anak masih rendah

(Purnama, S.G., 2016).

Sebelum program imunisasi berkembang golongan umur yang

paling sering dikenai adalah antara 2 hingga 10 tahun (FK UI, 2009).

Namun setelah imunisasi diterapkan di banyak negara penyakit

difteri terutama menyerang anak-anak berumur di bawah 15 tahun

yang belum diimunisasi (Chin, J., 2000). Sementara itu jarang

ditemukan kasus pada bayi berumur dibawah 6 bulan karena

mendapat imunisasi pasif melewati plasenta dari ibunya, bila ibunya

dulu telah mendapatkan imunisasi difteri (FK UI, 2009). Bila melihat

waktu sejak imunisasi terakhir penyakit difteri, maka kelompok umur

diatas 60 tahun juga memiliki kerentanan tinggi pada penyakit ini.

Sebab meski telah diberikan imunisasi booster, respon peningkatan

titer antibodi ini kurang dan memerlukan booster kembali dalam

jangka waktu yang lebih singkat yakni 5 tahun saja (Grasse, dkk.,

2016). Selain itu pada survei titer antibodi di AS, tingkat imunitas
pada penyakit difteri menurun hingga tinggal 80% diantara umur 12-

19 tahun, dan sekitar 30% saja pada usia 60-69 tahun (CDC, 2014).

b. Jenis Kelamin

Jenis kelamin yang banyak terkena penyakit ini adalah wanita.

Beberapa studi telah membuktikan bahwa wanita beresiko lebih

tinggi dari laki-laki karena daya tahan tubuh yang lebih rendah (FK

UI, 2009: 2956).

Namun berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh

Puspitasari dkk. (2012) dari 148 kasus difteri yang diamati 53,4%

berjenis kelamin laki-laki dan 46,6% perempuan. Tidak terdapat

perbedaan yang signifikan antara kasus yang terjadi jenis kelamin

laki-laki dan jenis kelamin perempuan.

c. Status Gizi

Status gizi adalah keadaan keseimbangan tubuh akibat asupan

yang masuk ke dalam tubuh yang ditampilkan dalam suatu bentuk

variabel tertentu (Supariasa, 2014). Gizi dan penyakit infeksi

berkaitan secara sinergistis serta membentuk suatu keadaan timbal

balik yang saling mempengaruhi. Malnutrisi memperparah penyakit

infeksi, demikian juga sebaliknya infeksi memperburuk malnutrisi

(Siagian, 2010).

Status gizi ini merupakan determinan penting bagi respons

imunitas. Perbaikan pada fungsi imunitas merupakan faktor antara

peran gizi pada pencegahan penyakit infeksi. Kekurangan gizi

menyebabkan seseorang rentan terhadap penyakit infeksi sebab


menghambat respon imunitas (Lestari, K. L., 2012; Siagian, 2010).

Mekanisme pencegahan atau pengurangan beban penyakit melalui zat

gizi adalah peningkatan daya tahan tubuh. Peningkatan daya tahan

tubuh ini tidak hanya melalui produksi antibodi humoral

dan kapasitas fagosit terhadap bakteri, tetapi juga melalui sekresi

antibodi mukosal, imunitas berperantara sel, pembentukan

komplemen, limfosit t, serta T-sel (Siagian, 2010). Terutama dalam

penyakit difteri ini antibodi berperan penting dalam pencegahan

penyakit ini.

Pada umumnya dampak kekurangan gizi dikaitkan dengan

menurunnya fungsi imunitas tubuh. Kekurangan energi protein

misalanya menyebabkan penurunan pada proliferasi limfosit,

produksi sitokin, dan respons antibodi terhadap vaksin. Selain itu

terdapat bukti bahwa pada orang usia lanjut juga menunjukkan

fenomena yang sama. Kekurangan energi protein dapat mengarah

pada imunodefisiensi yang parah yang tidak hanya mempengaruhi

imunitasi spesifik (limfosit B dan limfosit T) tetapi juga imunitas

nonspesifik (polymorphonuclear dan monosit) (Siagian, 2010).

Penilaian umum status gizi di masyarakat dilakukan melalui

pengukuran antropometri. Antropometri sebagai indikator status gizi

dapat dilakukan dengan mengukur beberapa parameter misalnya

berat badan dan tinggi badan (Supariasa, 2014).

Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan alat sederhana yang

dapat digunakan untuk memantau status gizi orang dewasa. IMT


dihitung menggunakan perbandingan berat badan dalam satuan

kilogram (Kg) dengan kuadran dari tinggi badan dalam meter (m).

Batas ambang IMT ditunjukkan dengan merujuk pada ketentuan

FAO/WHO yakni < 17,0 sebagai kekurangan berat badan tingkat

berat, 17,0-18,5 kekurangan badan tingkat ringan, 18,6-25,0 normal,

25,1-27,0 kelebihan berat badan tingkat ringan, dan >27,0 sebagai

kelebihan berat badan tingkat berat (Supariasa, 2014). Namun harus

menjadi catatan bahwa IMT ini hanya dapat digunakan untuk

mengukur status gizi orang dewasa.

Dalam penelitian Kunarti, U. (2004) menjelaskan bahwa

terdapat perbedaan titer antibodi protektif dari kelompok dengan gizi

kurang, normal dan gizi lebih. Namun dalam penelitian itu juga

disebutkan bahwa dalam infeksi penyakit difteri meski pada kondisi

status gizi kurang tubuh masih mampu membentuk titer antibodi

protektif. Titer antibodi protektif merupakan batas minimal

konsentrasi antibodi dalam darah untuk melawan penyakit difteri.

Titer antibodi protektif difteri yakni 0,1 IU/ml (WHO, 2017).

d. Status Imunisasi

Imunitas pada penyakit difteri bisa didapatkan baik secara aktif

maupun pasif. Imunitas aktif alami yakni imunitas setelah terinfeksi

bakteri C. diphtheriae, imunitas alami yang didapatkan secara pasif

seperti imunitas akan penyakit difteri yang diturunkan dari ibu

kepada anaknya melalui plasenta, serta imunitas aktif buatan yakni

dengan imunisasi (Chin, J., 2000).


Difteri merupakan salah satu Penyakit yang Dapat Dicegah

Dengan Imunisasi (PD3I). Imunisasi merupakan suatu upaya untuk

menimbulkan atau meningkatkan imunitas seseorang secara aktif

terhadap suatu penyakit sehingga bila suatu saat terpajan dengan

penyakit tersebut tidak akan sakit atau hanya mengalami sakit ringan

(Kemenkes RI, 2017). Imunisasi ini dapat memberikan imunitas

yang cukup lama namun bukan imunitas seumur hidup. Cara kerja

imunisasi difteri yaitu dengan dengan diberikan vaksin difteri,

berupa vaksin toksoid (Chin, J., 2000).

Di Indonesia imunisasi untuk mencegah terhadap penyakit

difteri telah masuk pada daftar imunisasi yang wajib dan imunisasi

tambahan (booster) diberikan pada bayi, balita, dan anak-anak

melalui program Imunisasi Dasar Lengkap dan Bulan Imunisasi

Anak Sekolah (BIAS) (Kemenkes RI, 2017). Ada pula imunisasi

tambahan untuk penyakit difteri pada saat dewasa. Beberapa jadwal

pemberian imunisasi difteri yang dianjurkan, yaitu:

1) Imunisasi Dasar pada bayi

Imunisasi dasar merupakan imunisasi yang diberikan pada

bayi sebelum berusia 1 tahun (Kemenkes RI, 2017). Diantara

imunisasi dasar terdapat imunisasi difteri dengan menggunakan

vaksin DTP-HB-Hib atau lebih dikenal dengan vaksin

pentavalen. Imunisasi ini diberikan sebanyak 3 dosis yang

diberikan pada saat bayi berumur 6-8 minggu (2 bulan) dengan


interval 4-8 minggu. Imunisasi dasar ini telah diterapkan di

Indonesia sejak tahun 1976.

2) Imunisasi Lanjutan

a) Imunisasi Lanjutan pada Baduta Imunisasi lanjutan

merupakan imunisasi ulangan imunisasi dasar untuk

mempertahankan tingkat imunitas dan untuk memperpanjang

masa perlindungan anak yang sudah mendapatkan imunisasi

dasar (Kemenkes RI, 2017). Untuk imunisasi lanjutan difteri

(dosis ke-4) diberikan pada anak yang berumur dibawah dua

tahun (Baduta) tepatnya saat bayi berumur 18-24 bulan.

Imunisasi ini menggunakan vaksin yang sama dengan vaksin

yang digunakan untuk imunisasi dasar yakni vaksin DPT-

HB-Hib. Imunisasi lanjutan pada bayi ini mulai dilakukan

sejak tahun 2014.

b) Imunisasi Lanjutan pada Anak Sekolah

Imunisasi lanjutan difteri juga diberikan pada anak

sekolah. Imunisasi lanjutan yang diberikan pada anak

sekolah ini diberikan pada bulan imunisasi anak sekolah

(BIAS) yang diintegrasikan dengan usaha kesehatan

sekolah (Kemenkes RI, 2017). Imunisasi difteri pada anak

sekolah diberikan pada saat berada di kelas 1 Sekolah Dasar

(SD) yang kurang lebih berusia 7 tahun. Selain itu adapula

imunisasi untuk kelas 2 dan kelas 5 SD.


Tabel 2.1 Jadwal Imunisasi Anak Sekolah

SD 1984- 2018-
1998-2000 2001 2002-2010 2011-2017
Kelas 1997 sekarang

DT 1x
DT 1x DT 1x
1 DT 2x DT 1x DT 1x Campak
Campak 1x Campak 1x
1x

2 TT 1x TT 1x TT 1x Td 1x Td 1x

3 TT 1x TT 1x TT 1x Td 1x

4 TT 1x

5 TT 1x Td 1x

6 TT 2x TT 1x

Sumber: Pusdatin Kemenkes RI, 2014

Dalam program BIAS ini Kementerian Kesehatan telah

beberapa kali mengganti waktu pemberian imunisasi serta

vaksin yang digunakan.

Sebagaimana nampak pada table 2.1 sejak tahun 2018

imunisasi untuk mencegah penyakit difteri diberikan sebanyak 3

kali yakni imunisasi pada kelas 1 SD menggunakan vaksin DT dan

kelas 2 dan 5 menggunakan vaksin Td.

c) Imunisasi Lanjutan Wanita Usia Subur (WUS) dan Ibu Hamil

Imunisasi pada WUS dan ibu hamil terutama bertujuan

untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian pada ibu

dan bayi baru lahir akibat penyakit Tetanus Neonatorum.

Namun kemudian diketahui program imunisasi dasar dan

BIAS tidak cukup karena hanya dapat memberikan

perlindungan pada umur dibawah 16 tahun baik untuk


penyakit Tetanus Neonatorum (Kemenkes, 2012). Selain itu

WUS dan ibu hamil juga merupakan kelompok rentan akan

penyakit difteri karena tidak memiliki kekebalan penyakit

yang cukup untuk melawan penyakit ini.

Imunisasi biasanya diberikan kepada ibu hamil pada saat

pelayanan Antenatal Care (ANC) dan kepada perempuan

yang mau atau baru menikah. Awalnya imunisasi ini

menggunakan vaksin TT (Tetanus Toxoid), namun sejak

tahun 2012 vaksin ini diganti dengan vaksin Td (Tetanus

diphteria) untuk dapat juga memberikan perlindungan akan

penyakit difteri pada ibu dan bayinya (Kemenkes, 2012).

d) Imunisasi Tambahan

Selain imunisasi dasar dan lanjutan untuk mencegah penyakit

difteri juga terdapat imunisasi tambahan. Imunisasi tambahan

merupakan jenis imunisasi tertentu yang diberikan pada

kelompok umur tertentu yang paling berisiko terkena

penyakit (Kemenkes RI, 2017). Imunisasi tambahan (booster)

difteri diberikan kepada orang dewasa menggunakan vaksin

Tdap/Td. Difteri umumnya jarang ditemukan pada dewasa

yang berumur diatas 15 tahun, karena sudah mendapat

imunisasi pada masa kecilnya (FK UI, 2009). Namun

demikian, ada beberapa Kejadian Luar Biasa (KLB) justru

sebagian besar kasus terjadidi kalangan remaja dan orang

dewasa, bukan pada anak-anak.


Hal ini karena banyak dari remaja dan orang dewasa tidak

rutin atau baru menerima booster vaksin difteri difteri

(Kandun,2016). Apabila cakupan imunisasi dengan booster

alamiah rendah, maka sebagian besar kelompok umur dewasa

secara bertahap akan rentan terhadap difteri. Hal ini seiring

dengan menurunnya imunitas yang didapatkan saat anak-

anak. Sebagaimana halnya yang terjadi pada KLB difteri di

negara-negara bekas UniSoviet dimana dari 140.000 kasus

yang terjadi 70% diantaranya pada kelompok umur diatas 15

tahun. Proporsi kasus dewasa ini diindikasi disebabkan

beberapa faktor seperti tingginya populasi dewasa yang

rentan, dan menurunnya cakupan imunisasi pada anak (Satari,

H.I., 2014). Imunisasi tambahan pada saat dewasa ini ada

karena imunitas yang dihasilkan dari pemberian imunisasi

dasar pada saat bayi dan imunisasi lanjutan tidak mampu

memberikan perlindungan yang memadai pada kebanyakan

remaja atau orang dewasa sehingga memerlukan dosis

ulangan. Dosis ulangan (booster) ini perlu diberikan setelah

10 tahun pemberian dosis terakhir dengan ulangan setiap 10

tahun sekali (WHO, 2017). Sementara itu, Pemerintah sendiri

menganjurkan pemberian dosis ulangan ini pada umur 18

tahun (Kemenkes RI, 2017). Sayangnya belum banyak

masyarakat terutama orang dewasa yang mengetahui dan

melakukan imunisasi jenis ini sebab belum menjadi program


pemerintah, sehingga harus membayar secara pribadi untuk

mendapatkan imunisasi ini. Menurut Brennan, dkk. (2000)

dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa terdapat dua poin

penting yang mempengaruhi keefektifan imunisasi booster

pada orang dewasa, yaitu:

1. Dosis Imunisasi

Dosis imunisasi yang dimaksud yakni jumlah imunisasi

yang didapatkan seseorang selama hidupnya. Riwayat

jumlah imunisasi yang didapatkan selama seseorang

hidup juga mempengaruhi pada kekebalan pada penyakit

difteri saat dewasa. Dalam studi meta-analisis yang

dilakukan WHO (2017) menunjukkan bahwa bila

seseorang menerima 3 kali imunisasi primer dan 3 kali

imunisasi booster sebelum dewasa dapat meningkatkan

titer antibody mencapai level protektif dan berpotensi

untuk bertahan untuk jangka waktu yang lebih lama.

2. Waktu Imunisasi Terakhir

WHO menganjurkan untuk melakukan imunisasi ulangan

pada orang dewasa minimal setiap 10 tahun (WHO,

2017). Dalam penelitian Brenan, dkk. (2000) orang

dewasa yang waktu sejak mendapatkan imunisasi terakhir

kali selama 5 tahun atau lebih meningkatkan risiko untuk

terkena penyakit difteri sebanyak 12,7 kali.


3. Lingkungan (Environment)

Lingkungan yang dimaksud adalah semua faktor luar dari suatu

individu yang dapat berupa lingkungan fisik, biologis, dan sosial (Bustan,

2006). Lingkungan fisik yang berkaitan dengan penyakit difteri

diantaranya sinar matahari yang masuk ke rumah, luas ventilasi rumah,

kepadatan hunian ruang tidur, suhu dalam kamar, kelembaban dalam

kamar, dan jenis lantai rumah (Kartono, 2008). Lingkungan biologis

seperti imunitas kelompok dan kepadatan penduduk (Mardiana, 2018).

Serta lingkungan sosial seperti mobilisasi (Dinkes Kab. Tasikmalaya,

2018).

a. Lingkungan Fisik

Selain adanya penderita atau karier sebagai sumber penularan

difteri, juga terdapat reservoir yang memiliki kemungkinan menjadi

sumber penular difteri. Reservoir ini berupa benda mati yang

mengandung bakteri C.diphtheriae yaitu debu atau muntahan

(Widoyono, 2010). Menurut Nurziwan A. dalam FK UI (2009)

mengatakan bahwa bakteri C.diphtheriae dapat hidup pada debu dan

muntahan selama 6 bulan. Bakteri itu juga resisten terhadap udara

panas, dingin, dan kering. Faktor lingkungan fisik ini berkaitan erat

dengan keberadaan reservoir pada penyebaran penyakit difteri.

Lingkungan yang tidak sehat dapat menjadi tempat hidup dan

perkembangbiakan bakteri ini.


1) Pencahayaan alami

Pencahayaan dalam rumah bisa didapatkan dari pencahayaan

alami maupun pencahayaan buatan. Jika dalam ruangan rumah

kurang cahaya, maka udara dalam ruangan dapat menjadi media

atau tempat yang baik untuk hidup dan berkembangbiaknya

bibitbibit penyakit (Waluya, B., 2018). Pencahayaan alami

memiliki kelebihan dapat membunuh bakteri patogen. Salah

satunya sudah terbukti bahwa cahaya matahari langsung dapat

membunuh bakteri Mycobacterium tuberculosis hanya dalam

waktu 5-10 menit (Purnama, 2016). Sehingga diupayakan agar

setiap ruangan dalam rumah dapat memperoleh cahaya matahari

yang cukup. Caranya yakni dengan membuat jendela dengan luas

minimal 15-20% dari luas lantai, dengan posisi jendela berada di

tengah-tenah tinggi dinding dan tidak boleh terhalang oleh

bangunan lain (Waluya, B., 2018).

2) Kelembaban Rumah

Kelembaban menunjukkan prosentase kandungan uap air di

udara (Kartono, 2008). Menurut Permenkes 1077 tahun 2011

tentang Penyehatan Udara Dalam Rumah kelembaban udara harus

dijaga pada kisaran 40-60% dengan suhu ruangan ideal 18 ˚C -

30˚C. Kelembaban dapat disebabkan beberapa faktor yakni

kelembaban yang naik dari tanah, merembes melalui dinding, atau

bocor melalui atap (Purnama, 2016).


Kelembaban dalam rumah ini sangat penting untuk

diperhatikan karena kelembaban rumah akan mempermudah

berkembangbiaknya mikroorganisme. Kelembaban udara yang

meningkat merupakan media yang baik untuk perkembangbiakan

mikroorganisme. Kelembaban udara yang tinggi juga dapat

menyebabkan membran mukosa hidung menjadi kering sehingga

kurang efektif dalam menghadang mikroorganisme (Purnama,

2016).

3) Kepadatan Hunian Kamar

Difteri merupakan penyakit yang menular melalui kontak

dengan penderita atau karier pada saat mereka batuk, bersin,

berbicara, melalui muntahan ataupun debu (Widoyono, 2011).

Penyakit infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) seperti difteri

dimana udara menjadi salah satu medianya sangat mudah

menyebar pada rumah dengan hunian yang padat. Terdapat bukti

dimana kepadatan hunian (crowded) mempengaruhi secara

bermakna prevalensi ISPA berat semisal difteri (Purnama, 2016).

Di dalam kamar tidur dengan jendela/pintu yang tertutup

pada malam hari tidak terjadi sirkulasi udara yang baik. Dengan

semakin banyak penghuni kamar tidur juga akan semakin

memperbesar risiko terjadinya penularan penyakit yang

penularannya melalui wahana udara (Kartono, 2008).

Kepadatan hunian merupakan perbandingan antara luas

ruangan per jumlah orang atau anggota keluarga. Menurut


Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 829 Tahun 1999 Tentang

Persyaratan Kesehatan Perumahan, luas ruang tidur minimal 4 m2

dan tidak dianjurkan digunakan oleh lebih dari 2 orang tidur

dalam satu ruang tidur, kecuali anak dibawah umur 5 tahun.

4) Luas Ventilasi Rumah

Ventilasi merupakan lubang udara permanen selain jendela

dan pintu tempat udara dapat keluar masuk secara bebas.

Keberadaan ventilasi bertujuan agar sirkulasi udara dalam

ruangan dapat menjadi baik. Dalam Peraturan Menteri Kesehatan

(Permenkes) 1077 tahun 2011 tentang Penyehatan Udara Dalam

Rumah persyaratan ventilasi minimal yakni 10% dari luas lantai

rumah.

Menurut (Waluya, B., 2018; Purnama, 2016) fungsi dari

ventilasi yaitu:

a) Menjaga aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar.

b) Aliran udara yang terus menerus dapat membebaskan udara

dalam ruangan dari bakteri-bakteri patogen.

c) Menurunkan kelembaban udara dalam ruangan sehingga

ruangan tidak menjadi media perkembangbiakan bakteri

patogen.

5) Jenis Lantai Rumah

Salah satu komponen rumah sehat yakni memiliki lantai

kedap air dan mudah dibersihkan (Permenkes No 1077 Tahun

2011). Dikatakan sebagai rumah yang sehat bila lantainya terbuat


dari marmer, keramik, granit, ubin, tegel, semen, dan plesteran

sebab merupakan jenis lantai yang kedap air dan mudah

dibersihkan (BPS 2001, dalam Hasan 2012). Sedangkan jenis

lantai menggunakan papan kayu dan tanah dapat menjadi tempat

pertumbuhan dan perkembangan mikroorganisme. Jenis lantai

berpengaruh pada kejadian infeksi. Hal ini disebabkan karena

jenis lantai yang masih menggunakan tanah menimbulkan

kelembaban, serta akan menimbulkan debu pada saat musim

panas (Purnama, 2016). Sementara pada penyakit difteri

penularan juga dapat terjadi melalui perantara media debu

(Widoyono, 2011).

b. Lingkungan Biologis

1) Imunitas Kelompok

Imunitas kelompok (herd immunity) merupakan imunitas

yang didapatkan bila sejumlah besar orang yang rentan dalam

anggota kelompok telah diberi imunisasi dan memiliki imunitas

terhadap penyakit difteri sehingga dapat mencegah sejumlah

kecil anggota kelompok lainnya yang tidak memiliki imunitas

tersebut untuk terserang penyakit difteri. Imunitas kelompok ini

bisa didapatkan dengan cara memaksimalkan cakupan imunisasi

pada suatu wilayah hingga mencapai batas minimal protektif

yakni 80% untuk capaian Universal Health Coverage (UCI).

Terdapat hubungan yang signifikan antara cakupan imunisasi

suatu wilayah pada kejadian difteri di masyarakat. Sebagaimana


pada penelitian Mardiana, D.E (2018) terdapat pengaruh antara

cakupan imunisasi dasar lengkap terhadap prevalensi difteri.

2) Keberadaan Reservoir

a) Penderita

Penyakit difteri ini sangat menular terutama ke orangorang

terdekat penderita yang banyak melakukan kontak

langsung dengan penderita atau karier. Beberapa kelompok

rentan tertular difteri seperti keluarga yang tinggal serumah,

teman sekolah, teman bermain, dan tetangga (Widoyono,

2011).

Keberadaan penderita yaitu orang yang menderita difteri

atau menunjukkan gejala difteri. Menurut dokter spesialis

anak RSPI Soelianti Soeroso yang merupakan salah satu

rumah sakit rujukan penderita difteri di Jakarta menyatakan,

orang dewasa dapat tertular difteri akibat melakukan kontak

erat dengan penderita difteri, misalnya orang tua yang

merawat anaknya yang sakit difteri (Faiz, 2017).

Sebagaimana penelitian yang dilakukan sebelumnya

keberadaan sumber penularan ini memiliki hubungan pada

kejadian difteri. Terdapat hubungan yang bermakna antara

keberadaan sumber penularan dan kejadian difteri dengan

nilai P sebesar 0,033 pada penelitian Suhenri (2018), ini juga

sejalan dengan penelitian Kartono (2008) dimana

berdasarkan hasil analisa multivariat keberadaan sumber


penularan memberikan risiko 20,821 kali untuk terjadinya

difteri dibandingkan bila tidak adanya sumber penularan.

b) Reservoir Benda Mati

Meski jarang terjadi, bakteri C.diphtheriae dapat

menyebar melalui debu atau muntahan (Widoyono, 2011).

Oleh karena itu reservoir benda mati juga dapat menjadi

sumber penularan.

c. Lingkungan Sosial

1) Kepadatan Penduduk

Kepadatan penduduk merupakan salah satu faktor

lingkungan yang mempengaruhi kejadian difteri di masyarakat.

Wilayah yang memiliki penduduk yang padat maka perpindahan

penyakit, menular terutama penyakit yang ditularkan melalui

udara (droplet) akan semakin mudah dan cepat menyebar.

Meskipun kepadatan penduduk berpengaruh secara signifikan

terhadap prevalensi penyakit difteri, namun kontribusinya

sangatlah kecil (Mardiana, 2018).

2) Mobilitas Penduduk

Lingkungan sosial lainnya yaitu mobilitas penduduk.

Penyakit potensial wabah yang sejak lama kasusnya sudah tidak

terdengar lagi di suatu daerah memiliki kemungkinan untuk

muncul kembali. Ini salah satunya dapat disebabkan oleh

kedatangan penderita atau karier dari luar wilayah tersebut

(dalam Darmawan, 2017). Mobilisasi penduduk sendiri


merupakan pergerakan penduduk dari satu daerah ke daerah lain

baik untuk sementara atau untuk jangka waktu yang lama

(Wahyudin, dkk., 2015). Terdapat kemungkinan adanya

keterkaitan antara mobilitas dengan penularan difteri. Mobilisasi

kontak kasus ke daerah terjangkit juga menjadi salah satu faktor

yang diindikasi merupakan salah satu penyebab dari penularan

penyakit difteri (Dinkes Kab. Tasikmalaya, 2018). Seperti halnya

yang terjadi pada pengamatan Pracoyo (2011) pada KLB di Jawa

Timur penderita difteri mulai bergerak dari kelompok umur anak-

anak ke kelompok umur dewasa. Akan sangat mudah sekali

menyebar ke wilayah lainnya mengingat mobilitas penduduk

Jawa Timur yang tinggi

Anda mungkin juga menyukai