Makalah SPI
Makalah SPI
net/publication/324121919
CITATIONS READS
0 44,768
1 author:
Rianawati Dr
Pontianak State Institute of Islamic Studies (IAIN Pontianak)
10 PUBLICATIONS 5 CITATIONS
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
THE IMPLEMENTATION OF EDUCATION CHARACTER ON MORAL IN MTsN (ISLAMIC JUNIOR HIGH STATE SCHOOL) 1 PONTIANAK IN THE ACADEMIC YEAR 2015/2016 View
project
All content following this page was uploaded by Rianawati Dr on 31 March 2018.
Rianawati
Perpustakaan Nasional: Katalog dalam Terbitan
Sejarah & Peradaban Islam
All rights reserved
@ 2010, Indonesia: Pontianak
Rianawati
Seting
Zulfian &Fahmi Ichwan
Publishing
STAIN Pontianak Press
(Anggota IKAPI)
Rianawati
Sejarah & Peradaban Islam
Pontianak: STAIN Pontianak Press, 2010
iv+201 page. 15 cm x 21 cm
Kata Pengantar
iii
Afrika dan Asia.
Seluruh catatan mata kuliah Sejarah dan Peradaban
Islam yang ada dalam Buku Daras ini, masih sangat terbuka
untuk mendapatkan penyempurnaan. Ini disadari, karena
dinamika ilmu pengetahuan, apalagi pengetahuan ilmu-ilmu
sosial selalu mengalami interpretasi baru. Oleh karena itu,
kritikan yang bersifat konstruktif sangat diharapkan demi
penyempurnaan isi buku ini.
Akhirnya penulis ucapkan terima kasih kepada semua
pihak terutama Ketua Jurusan Fakultas Tarbiyah, kawan-
kawan para dosen dan pihak-pihak lain yang telah
memberikan saran, kritik dan masukan, sehingga Buku Daras
ini dapat diselesaikan.
Billahit Taufiq wal Hidayah
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Penulis
iv
Daftar Isi
Bab I
Pengantar Sejarah Peradaban Islam
A. Sejarah Peradaban Islam Sebagai
Ilmu Pengetahuan 1
B. Dasar-Dasar Peradaban Islam 8
C. Periodesasi Perkembangan Peradaban Islam 9
Bab II
Arab Pra Islam
A. Sistem Politik dan Kemasyarakatan 14
B. Sistem Kepercayaan dan Kebudayaan 20
Bab III
Masa Nabi
A. Pendahuluan 27
B. Fase Mekkah: Sistem Dakwah 29
C. Fase Madinah 35
v
Bab IV
Masa Khulafaur Rasyidin
A. Tsaqifah Bani Saidah 45
B. Sistem Politik, Pemerintahan dan Bentuk Negara 46
C. Sistem Pergantian Kepala Negara 62
D. Khalifah dan Imam 74
Bab V
Masa Abu Bakar Al-Siddiq
Dan Umar Bin Khattab
A. Riddah 79
B. PengembanganIslam Sebagai Kedaulatn Politik 82
Bab VI
Masa Utsman Bin Affan
A. Kehidupan Awal 99
B. Pemilihan Sebagai Khalifah 100
C. Perluasan Wilayah dan Pembengunan
Angkatan Laut 101
D. Tuduhan Atas Kebijaksanaan Khalifah Utsman 102
E. Penilaian atas Pemerintahan Khalifah Utsman 107
Bab VII
Ali Bin Abi Thalib
A. Kehidupan Awal 109
vi
B. Ali ra Sebagai Khalifah 110
C. Masalah Yang Timbul 112
Bab VIII
Masa Umayyah Timur
A. Kebijakan dan Orientasi Politik 117
B. Tali Ikatan Persatuan Masyarakat
(Politik dan Ekonomi) 122
C. Sistem Sosial (Arab dan Mawali) 123
D. Sistem Militer 124
E. Pembangunan Peradaban 128
F. Sistem Fiska 131
G. Sistem Peradilan 133
H. Perkembangan Intelektual, Bahasa dan Sisitem Arab 134
I. Sistem Pergantian Kepala negara 135
K. Keruntuhan Ummayah di Timur 138
Bab IX
Islam Di Andalusia
A. Dakwah Islam dan Gerakan Pembebasan 141
B. Perkembangan politik dan Masa Keamiran 144
C. Masa Kekhalifahan 147
Bab X
Dinasti Abbasiyah
A. Pembentukan Dinasti Abbas 173
B. Kedudukan Khalifah 178
C. Sistem Politik, Pemerintahan, Bentuk Negara (Buwaihi
dan Saljuk) Dan Tali lkatan Persatuan antara Baghdad
dengan Dinasti Buwaihi dan Saljuk 179
D. Sistem Sosial 195
E. Perkembangan Intelektual: Keagamaan, Kedokteran
Pendidwan, Sains, Teknologi, Astronomi, Matematika,
Filsafat dll 197
viii
Bab I
Pengantar Sejarah Peradaban Islam
1
banyak bangsa masih terlalu panjang, sehingga diperlukan
periode-periode yang dianggap merupakan suatu kesatuan
tertentu berdasarkan beberapa patokan yang telah
ditentukan, baik secara konvensional dan umum diterima
maupun secara individual, yaitu sesuai dengan sasaran
perhatian sejarawan. Setiap periode yang dikenalkan pada
unit-unit sejarah tertentu, mengisyaratkan akan adanya
suatu karakteristik yang dominan. Kedua, pembatasan yang
menyangkut peristiwa. tidak semua peristiwa di masa lalu
dipandang sebagai sejarah. Menurut Taufik Abdulah,
kecender ungan yang makin umum sekarang adalah
pemusatan pada peristiwa yang menyangkut manusia, atau
tindakan dan perilaku manusia, lebih dari itu ada yang
berpendapat bahwa sejarah ada peristiwa yang disengaja
atau tindakan atau perbuatan. Oleh karena itu peristiwa
alam hanya berfungsi sebagai salah satu kekuatan yang bisa
ikut mempengaruhi peristiwa yang disengaja. Dengan kata
lain, peristiwa alam hanyalah wadah dalam berbagai
tindakan manusia terjadi. Ketiga, pembatasan yang
menyangkut tempat. Sejarah haruslah diartikan sebagai
tindakan manusia dalam jangka waktu tertentu pada masa
tertentu, pada masa lampau yang dilakukan di tempat
tertentu. Keempat, pembatasan yang menyangkut seleksi.
Tidak semua peristiwa dimasa silam dalam kategori sejarah.
Peristiwa-peristiwa itu baru merupakan kepingan-kepingan
yang bisa dipertimbangkan untuk menjadi bagian dari
sejarah. Semua itu baru bisa dianggap sejarah, kalau masing-
masing terkait atau bisa dikaitkan dalam satu konteks
historis, yaitu suatu kepingan-kepingan yang merupakan
bagian dari suatu proses, atau dinamika yang menjadi
perhatian para sejarawan.
2
Pengantar Sejarah Peradaban Islam
3
Peradaban Islam di wahyukan kepada Nabi Mu-
hammad saw, telah membawa Arab yang semula terbelakang,
bodoh, tidak terkenal dan diabaikan oleh bangsa-bangsa lain,
menjadi bangsa yang maju. Ia dengan cepat bergerak
mengembangkan dunia, membina satu kebudayaan dan
peradaban yang sangat penting artinya dalam sejarah manusia
hingga sekarang. Bahkan kemajuan Barat pada mulanya
bersumber dari peradaban Islam yang masuk ke Eropa
melalui Spanyol. HAR Gibb di dalam bukunya Whither Is-
lam menyatakan, “Islam is indeed much more than a system of
theology, it is complete civilization”. Karena yang menjadi pokok
kekuatan dan sebab timbulnya kebudayaan adalah agama
Islam, kebudayaan yang ditimbulkannya dinamakan
kebudayaan atau peradaban Islam.
Landasan peradaban Islam adalah kebudayaan Islam
terutama wujud idealnya, sementara landasan kebudayaan
Islam adalah agama. Jadi dalam Islam tidak seperti pada
masyarakat yang menganut agama “bumi” (non samawi),
agama bukanlah kebudayaan tetapi dapat melahirkan
kebudayaan. Kalau kebudayaan merupakan hasil cipta, rasa
dan karsa manusia, maka agama Islam adalah wahyu dari
Tuhan.
Sejarah Peradaban Islam (SPI) sebagai ilmu penge-
tahuan adalah bagaimana menuangkan peradaban Islam masa
lampau ke dalam karya tulis.
Penulisan sejarah adalah usaha rekontruksi peristiwa
yang terjadi dimasa lampau. Penulisan itu bagaimanapun
baru dapat dikerjakan setelah dilakukan penelitian, karma
tanpa penelitian penulisan menjadi rekontruksi tanpa
pembuktian. Baik penelitian maupun penulisan mem-
butuhkan ketrampilan. Dalam penelitian dibutuhkan
4
Pengantar Sejarah Peradaban Islam
5
bidang politik, hanya dalam satu abad lebih sedikit, Islam
sudah menguasai Spanyol. Afrika Utara, Syria, Palestine,
Semenanjung Arabia, Irak, Sebagian Asia Kecil, Afghani-
stan, Uzbekistan dan Kirgis di Asia Tengah. Kebangkitan
Islam itu telah melahirkan sebuah imperium, mengalahkan
dua imperium besar yang sudah ada umumnya; Persia dan
Bizantium. Sejalan dengan menanjaknya imperium besar ini,
Islam juga menggalakkan pengembangan ilmu pengetahuan,
baik dalam bidang agama maupun umum. Perkembangan
ilmu pengetahuan itu semakin dipercepat akibat terjadinya
kontak-kontak pemikiran dan budaya antara orang-orang
Arab Islam dengan bangsa-bangsa yang telah ditaklukannya
di samping semakin meningkatnya pengalaman umat Islam
itu sendiri.
Puncak dari perkembangan budaya dan peradaban Is-
lam itu terjadi pada abad ke 9 dan ke 10 M. Ketika itu
cendikiawan-cendikiawan Islam bukan hanya menguasai ilmu
pengetahuan dan filsafat yang mereka pelajari dari buku-buku
Yunani, tetapi juga menambahkan ke dalam hasil-hasil
penelitian yang mereka lakukan sendiri dalam lapangan ilmu
pengetahuan dan hasil pemikiran mereka dalam bidang
filsafat. Pada masa ini pula ilmu-ilmu kenegaraan dalam Is-
lam disusun seiring dengan perkembangan budaya dan
peradaban Islam itulah Ilmu Sejarah Peradaban Islam lahir
dan berkembang.
Ketika umat Islam sudah sampai mencapai kemajuan
dalam penulisan sejarah, tidak ada bangsa lain pada waktu
itu yang menulis sejarah seperti halnya kaum muslimin.
Mereka memandang sejarah sebagai ilmu yang bermanfaat.
Tokoh-tokoh sejarawan menulis ribuan buku dengan judul
yang berbeda-beda yang menggambarkan isinya. Pertama-
6
Pengantar Sejarah Peradaban Islam
7
Di samping dua faktor utama tersebut, perkembangan
penulisan sejarah Islam dan Hadits itu menurut Husein
Nashar, terdapat faktor-faktor yang kebangkitan gerakan
sejarah dengan lebih cepat lagi. Faktor-faktor tersebut
adalah:
1. Khalifah membutuhkan suatu pengetahuan yang dapat
membimbing mereka menjalankan roda pemerintahan,
sementara hal itu tidak mereka dapatkan satu warisan
budaya mereka.
2. Orang-orang asing yang berada dalam wilayah kekuasaan
Islam membanggakan diri mereka (merasa lebih super)
terhadap orang-orang Arab dengan mengungkapkan
sejarah dan peradaban mereka di masa lalu. Hal yang
demikian itu membuat orang-orang Arab menulis sejarah
mereka agar dapat mempertahankan diri dari sikap
superioritas bangsa-bangsa asing.
3. Sistem pemerintahan, terutama sistem keuangan dalam
pemerintahan Islam, termasuk salah satu pendorong
berkembang dan tersebarnya penulisan sejarah.
4. Gerakan menulis ilmu-ilmu yang lain yang sudah dikenal
oleh bangsa Arab, seperti Kimia, Fiqih, Kedokteran dan
lain-lain
5. Berkembangnya apa yang sudah ada pada kebudayaan
Arab sebelumnya, yaitu penulisan silsilah dan al-Ayyam.
8
Pengantar Sejarah Peradaban Islam
9
budayanya. Pada masa/periode klasik memang terwujud apa
yang dinamakan kesatuan budaya Islam. (Badri Yatim, 1998;
3)
Pada periode pertengahan dan periode modern, sudah
terdapat kebudayaan-kebudayaan dan peradaban-peradaban
Islam. Pada masa pertengahan umat Islam masih memandang,
bahwa tanah airnya adalah satu, yaitu wilayah kekuasaan
Islam, agama masih dilihat sebagai tanah air dan ke-
warganegaraan. Hal itu bukan saja karena terjadi desintegrasi
kekuatan politik Islam ke dalam beberapa kerajaan dalam
wilayah yang sangat luas, tetapi karena ungkapan-ungkapan
kebudayaan dan peradaban tidak lagi diekspresikan melalui
satu bahasa. Bahasa administrasi pemerintahan Islam sudah
berbeda-beda, seperti Persia, Turki, Urdu di India dan Melayu
di Asia Tenggara. Bahkan peran Arab sudah jauh menurun.
Tiga kerajaan besar Islam pada periode pertengahan tidak
satupun dikuasai oleh bangsa Arab. Apalagi karena Islam
disebarkan dengan cara damai, maka Islam dengan sangat
toleran memperlakukan kebudayaan setempat, sejauh tidak
menyimpang dari prinsip-prinsip ajaran. Bahkan pada
mulanya yang juga masih terlihat hingga sekarang. Ajaran-
ajaran Islam yang berkembang di berbagai aspek dipengaruhi
oleh kebudayaan lokal. Namun sejak periode pertengahan,
sudah terdapat kebudayaan dan peradaban-peradaban Islam
disebut dengan kebudayaan Islam dan perdaban Islam.
Kajian tentang “Peradaban” Islam, bahwa kebudayaan
Islam tidak lagi satu, sudah terdapat beberapa peradaban
Islam. Akan tetapi nampaknya “peradaban-peradaban” Is-
lam yang disorot dalam kajian-kajian Islam sampai waktu
belum lama ini terbatas pada empat “peradaban” Islam yang
dominan. Semuanya sangat dengan empat kawasan itu, yaitu:
10
Pengantar Sejarah Peradaban Islam
11
12
Bab II
Arab Pra Islam
13
Mekah selalu ramai didatangi oleh para haji pada bulan-
bulan haji, suku Amaligah adalah suku yang berkuasa
sebelum lahirnya Ismail, kemudian datang suku Jurhum ke
Mekah yang bersamaan dengan kelahiran Ismail. Suku
Jurhum kemudian digantikan oleh suku Khuza’ah (207 SM).
Dan kemudian suku Khuza’ah dibawah pimpinan Qusai. Ia
mengatur urusan Ka’bah, setelah wafatnya (480 M) dan
digantikan oleh anaknya Abdud Dar. Tetapi sepeninggal
Abdud Dar terjadi perselisihan antara cucucucu dan anak-
anak saudaranaya Abdul Manaf pertentangan itu diselesaikan
dengan membagi kekuasaan yakni, pengaturan air dan pajak
atas Mekah diserahkan kepada Abduh Syam. Penjagaan
Ka’bah diserahkan pada cucu Abdud Dar, sedangkan Abduh
Syam menyerahkan lagi urusannya kepada saudaranya yang
bernama Hasyim, tetapi anak Abduh Syam, Umaiyah,
berlaku sombong kepada pamanya Hasyim. Urusanurusan
itu Akhirnya dipegang oleh anak Hasyim, yaitu Abdul
Muthalib, kakek Nabi saw. Ia adalah orang yang terhormat
dalam memegang tampuk pemerintahan Mekah, sehingga ia
dapat bertahan selama 59 tahun di kota itu. (Syalabi, 1995:26-
35)
14
Arab Pra Islam
15
strategic mereka. Bizantium dan Sasania memperebutkan
kekuasaan atas Yaman, dan keduanya giat menciptakan
suasana pengaruhi di Arabia Utara. Mereka juga men-
datangkan tehnik kemiliteran kepada bangsa Arab. Dari
bangsa Romawi dan Persia, bangsa Arab mendapat sejumlah
pasukan baru dan mempelajari bagaimana menggunakan baju
baja. Mereka mempelajari taktik baru tentang arti penting
kedisiplinan. Perembesan tehnik kemiliteran ini datang
melalui peranan non Arab sebagai pembantu-pembantu
dalam militer Romawi dan Persia, dan kadang militer Romawi
dan Persia dan terkadang melalui pengalaman yang tidak
menyenangkan dalam keterdesakannya oleh sejumlah
kekuatan superior pada wilayah batasan kerajaan.
Jadi peradaban Timur Tengah merembes ke Arabia,
sebagaimana terjadi dimana saja, dimana kerajaan besar yang
mempertahankan wilayah perbatasan dengan masyarakat
yang secara politik dan kultural kurang terorganisir.
Orang-orang yang berpindah-pindah ini hidup dalam
ikatan kelompok kerabatan, keluarga patriakal yang terdiri
seorang ayah, anak laki-lakinya dan keluarga mereka.
Keluarga-keluarga ini selanjutnya berkelompok menjadi
sebuah klan yang terdiri dari ratusan rumah tenda, yang mana
secara bersama mereka pindah, memiliki yang rumput dan
bertempur sebagai satu kesatuan di medan peperangan.
Secara bersama mereka berpindah memiliki padang rumput
dan bertempur sebagai satu masing-masing di medan
peperangan. Secara fundamental, masing-masing klan
merupakan dualisme kesatuan yang mandiri. Selur uh
kesetian terserap oleh kelompok yang bertindak sebagai
sebuah kolektifitas untuk mempertahankan individu
warganya dan untuk menghadapi tanggungjawab bersama.
16
Arab Pra Islam
17
persembahan dewa, yang mencakup elit monarkis dan tuan
tanah. Sebuah agama Pantheon dan mengorganisir kuil-kuil
persembahan dewa, yang mencakup pertanian, perdagangan
dan masyarakat pedusunan.
Di wilayah utara, kerajaan-kerajaan yang ada kurang
terlembagakan. Misalnya kerajaan Nabatean kuna (abad
keenam - 106 SM) diperintah oleh seorang raja yang
mengklaim dan menerima otoritas ketuhanan dan memiliki
beberapa administrasi yang memusat, tetapi benar-benar
tergantung kepada dukungan koalisi klan dan kepada suku.
Pada tahun 85 SM, sebuah kerajaan baru yang beribukota di
Petra menguasai sebagian besar Yordania dan Syria. Kerajaan
ini menjalin perdagangan dengan Yaman, Mesir, Damascus
dan kota-kota pesisir Palestine. Kerajaan ini berakhir pada
106 M, ketika ia dihancutkan oleh pasukan Romawi. Palmyra
menggantikan Petra, memperluas kekuasaan atas seluruh
wilayah padang pasir dan sejumlah wilayah perbatasan
sekitar.
Sebagai pusat kota urban, pengembangan sejumlah
kuil, jaringan perdagangan yang luas, pengaruh budaya
Hellenistik yang kuat menandai kehebatan warga Palmyra.
Kerajaan ini menangani urusan diseluruh penjuru Jazirah
Arabia dan memberikan orang Badui pedalaman padang pasir
ekonomi dan politik menjadi kerangka kerja politik dan
budaya perbatasan. Kalangan nomad menjalin ikatan
perdagangan dengan beberapa wilayah perkampungan di
tengah-tengah dan sesekali membentuk koalisi politis tyang
lebih luas yang disponsori oleh kekuasaan pinggiran.
Pekan Raya sejak semula memberikan keuntungan
ekonomi bagi Mekah warga yang dikenal sebagai kaum
Quraisy, yang menguasai kota Mekah sejak abad kelima.
18
Arab Pra Islam
19
masyarakat sejumlah konsep yang bertentangan mengenai
jagad raya dan dewa.
Syair dan kultur keagamaan klan masih mem-
pertahankan sebuah elemen Badui. Sedikit atau banyak
Badui Arabia merupakan masyarakat animis dan politheis,
yang mana mereka meyakini bahwa seluruh obyek alam dan
peristiwanya mer upakan kehidupan roh yang dapat
membantu atau mengganggu kehidupan manusia. Alam bagi
bangsa Arab diwarnai alam kehidupan Jinn, yang harus
dijinakan dan dikuasai dengan magis. Melaui praktik magis
orang Badui memungkinkan memastikan nasibnya, namun
mereka tidak berhubungan baik dengan Jinn. Mereka
merupakan suku lain telah memasukkan eksistensinya.
Masyarakat Badui juga menyembah nenek moyang bulan dan
bintang, juga dewa-dewa yang berupa batu atau pohon besar
yang mempati tempat-tempat keramat yang dijaga kesu-
ciannya.
20
Arab Pra Islam
21
memandang masyarakat tanpa keutuhan dan memandang
jagad raya ini tidak dengan makna yang utuh.
Agama-agama monetheistik mengemukakan sesuatu
yang lain. Mereka diperkenalkan kepada masyarakat Arabia
oleh pengaruh-pengaruh asing dan oleh warga menetap yang
beragama Yahudi dan Kristen oleh propaganda dan pedagang
keliling dan oleh tekanan kaum imperium Bizantium dan
Abyssinia, sekitar abad keenam monotheisme telah memiliki
model tertentu. Sejumlah orang kafir telah mengenal agama-
agama monotheisme, sedang sejumlah lainnya , yang di dalam
al-Qur’an disebut sebagai hanif, merupakan kelompok
beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa, tetapi mereka belum
memeluk keyakinan tertentu. Orang-orang Kristen yang
banyak tinggal di beberapa oasis kecil di Yaman dan
dibeberapa wilayah perbatasan sebelah utara, yang mana
mereka mer upakan kelompok minoritas yang sangat
berpengaruh, dan masih banyak lagi orang-orang yang terasa
lebih berkuasa, lebih berpengalaman dan lebih berbudaya,
baik melalui kekuatan ajaran dan kekuatan ungkapan
ungkapan mereka. Agama baru ini mengajarkan adanya
Tuhan Yang Maha Esa yang menciptakan perihal moral dan
spritual alam ini yang membuat semua manusia bernafas,
apapun ras atau klan mereka dan Tuhan yang memberi
petunjuk mereka mencapai kebahagiaan.
Jadi jelaslah bahwa monotheisme sangat berbeda dari
politheis dalam kesatuan jagad raya ini dan kegunaan
pengalaman hidup manusia, jikalau politheis hanya mampu
melihat sebuah alam yang bercerai berai yang terdiri dari
kekuatan yang tak terkendali, sebaliknya monotheis
memandang jagad raya ini sebagai sebuah totalitas yang
dicipta dan diatur oleh sebuah wujud tunggal yang
22
Arab Pra Islam
23
Konsep baru mengenai kebajikan pribadi dan status sosial
serta hubungan sosial yang baru mendukung semakin
kompleksnya masyarakat ini. Pada sisi yang positif, aktifitas
perdagangan yang bersifat imperatif, kontak dan identifikasi
Arabia yang luas melahirkan individu-individu yang bebas
dari tradisi klan mereka dan memungkinkan mengembangkan
kesadaran diri, semangat kritis, yang menjadikan mereka
mampu bersikap dengan tata nilai baru, dan memungkinkan
mereka mengukuhkan sebuah Tuhan universal dan etika
universal. Pada sisi negatif, masyarakat tersebut terancam
oleh kompetisi ekonomi, konflik sosial dan kerancuan moral.
Aktifitas komersial melahirkan stratifikasi sosial berdasarkan
kekayaan dan perbedaan yang tidak dapt dipadukan antara
situasi individual dan kesetiaan klan yang bersifat imperatif
Al-Qur’an tidak menghenclaki pergantian nilai-nilai luhur
yang bercorak kesukuan dengan ambisi, tamak, arogansi dan
hedonisme. Mekah yang memberikan beberapa standar tata
politik dan perniagaan kepada Arabia, telah kehilangan
identitas moral dan sosialnya.
Arabia dalam keadaan terbagi: sebuah masyarakat
yang di tengah eksperimen pembentukan politik terancam
oleh anarki; klan yang kuat dan kekuasaan kesukuan
mengancam stabilitas pertanian, aktifitas komersial dan
ikatan politik. Ia merupakan sebuah masyarakat yang telah
terjamah oleh sejumlah pengaruh kerajaan, namun tidak
disertai dengan pernerintahan pusat; ditandai dengan agama
monotheistik yang tidak disertai dengan pembentukan gereja,
rentan terhadap pengaruh ide-ide Timur Tengah, namun
tidak menyerap ide-ide tersebut. Arabia sedang berusaha
menemukan posisinya dalam dunia Timur Tengah. Segala
sesuatunya dalam keadan yang ruwet. Tidak ada sesuatu yang
24
Arab Pra Islam
25
26
Bab III
Masa Nabi
A. Pendahuluan
Kenabian merupakan suatu fenomena yang luar biasa
dan di atas segala keistimewaan Nabi Muhammad adalah
Nabi secara permanen berpengaruh dalam mengubah
kehidupan rakyatnya dan meninggalkan suatu warisan
diantara agama-agama besar dunia. Jadi untuk memahami
kehidupan Muhammad dan perkembangan Islam, kita harus
memahami visi keagamaan dan kaitannya dengan prilaku
keduniaan Muhammad.
Dibandingkan dengan sejarah pendiri agama-agama
besar lainnya, sumber-sumber ilmu pengetahuan, mengenal
kehidupan nabi Muhammad lebih banyak. Al-Qur’an sebagai
kitab suci umat muslim yang diyakini sebagai wahyu Allah
yang disampaikan kepada nabi Muhammad melaui malaikat
Jibril, wahyu yang berisikan firman dan kehendak Allah,
sumber tertinggi bagi keyakinan Islam, inspirasi dalam
27
menjalani kehidupan menurut pandangan muslim. Al Qur’an
merupakan wahyu Allah terakhir yang, mengungguli wahyu
yang terlebih dahulu diturunkan kepada umat Yahudi dan
Kristen. Bacaan al-Qur’an nabi Muhammad dibukukan dan
Nabi Muhammad sendiri telah mengawali pembukuan al-
Qur’an dengan membacakan kepada sejumlah juru tulis dan
menunjukkan mereka bagaimana cara penyusunan ayat-ayat
wahyu al-Qur’an.
Hadits atau perkataan Nabi Muhammad merupakan
sumber kedua bagi pengetahuan terhadap kehidupan dan
ajaran nabi Muhammad. Hal ini berbeda dengan al-Qur’an,
sebagian besar Hadits, merupakan prilaku Muhammad
sendiri, sekalipun ia terilhami oleh wahyu, karenanya hadits
sangat berbeda dengan al-Qur’an
Al Qur’an diwahyukan dalam dua dekade terakhir dari
usia Nabi Muhammad tahun 610 sampai 632. Karena ia
berhadapan dengan sebuah zaman, maka al Qur’an juga
menghadapi lingkungan historikal yang spesifik. Sejumlah
ahli Tafsir memberikan informasi mengenai peristiwa-
peristiwa yang menyertai turunya ayat-ayat partikular. Ayat-
ayat al-Qur’an mengutarakan perdebatan Nabi Muhammad
dengan orang-orang Mekah dan penyelesaian Muhammad
terhadap problem politik dan sosial di Madinah dan
memberikan petunjuk yang kongkrit mengenai permasalahan
ritual, moral, legal dan urusan politik.
Al-Qur’an memperlihatkan bagaimana visi Nabi
Muhammad berkembang sebagai respon langsung terhadap
lingkungan nyata setempat. Dalam biografi Muhammad,
tidak ditemukan bahwasanya ia menyebarkan sebuah sistem
keyakinan yang bersifat paket. Ia cenderung sebagai hakim
daripada seorang legislimator, cenderung sebagai penasehat
28
Masa Nabi
29
Dalam tahun-tahun pertama, kandungan dari wahyu
yang turun adalah mengenai satu-satunya yang Agung, yakni
Allah, yang pada hari pengadilan akan menimbang setiap
perbuatan manusia. Wahyu-wahyu yang pertama menekankan
kekhawatiran perihal pengadilan hari akhir, anjuran bersikap
saleh dan penuh kebajikan dan peringatan atas kelalaian
terhadap tugas dan kewajiban dan kelalaian terhadap
pembalasan hari akhir. Kebalikan dari pengabdian diri kepada
Tuhan dan kekhawatiran akan ancaman dihari akhir adalah
sikap kesombongan, membanggakan kekuasaan manusia dan
pengrusakan terhadap segala sesuatu di dunia ini. Hal ini
merupakan kebanggaan masyarakat mekah, yang mendarong
mereka kepada dosa keserakahan, acuh terhadap nasib fakir
miskin, acuh akan sikap kedermawanan dan acuh terhadap
sikap kesejahteraan kelompok masyarakat lemah. Dalam
rangka utuk menyebarkan ajaran-ajaran keluhuran dan
kebajikan, Muhammad memperkenalkan ibadah ritual,
ketaqwaan, eskatologia, keagungan etik dan shalat
membentuk dasar-dasar Islam pada masa awal.
Selama tiga tahun semenjak turun wahyu pertama,
Muhammad tetap bertahan sebagai pribadi sendiri yang
menerima pesan-pesan Allah. Ia menyampaikan pe-
ngalaman keagamaannya kepada sanak keluarga dan
teman dekatnya, dan kekuatan inspirasi dan bahasa yang
fasih yang disampaikannya meyakinkan sebagian mereka
bahwasanya viai Muhammad merupakan wahyu Tuhan.
Terdapat sekelompok kecil yang menerima seruannya
dan mereka berkumpul mengelilinginya untuk men-
dengarkan pembacaan wahyu al-Qur’an. Mereka adalah
pemeluk Islam yang pertama dan termasuk di dalamnya
adalah istrinya sendiri, khadijah, Abu Bakar dan Ali.
30
Masa Nabi
31
Perlawan yang nyata adalah didasari oleh latar belakang
keagamaan, namun dakwah ajaran Muhammad sesung-
guhnya merupakan sebuah ancaman keutuhan struktur
keluarga dan komunitas yang akan berkaitan erat dengan
keyakinan Quraisy yang berlangsung selama ini. Secara
implisit wahyu Islam menantang seluruh institusi masyarakat
yang tengah berlangsung saat itu penghambaan diri kepada
berhala dan kehiduapan ekonomi yang bergantung pada
tempat-tempat suci, nilai-nilai kesukuan tradisional, otoritas
para tokoh Quraisy dan solidaritas klan yang dari solidaritas
ini Muhammad berimaksud menggalang pengikutnya.
Agama, keyakinan moral, struktur sosial dan kehidupan sosial
membentuk sebuah sistem ide dan institusi yang tidak mudah
digantikan dengan sesuatu yang lain. Menyerang mereka pada
poin-poin yang sangat penting berarti menyerang keutuhan
akar kemasyarakatan dan juga cabang-cabangnya. Jadi oposisi
pihak Quraisy merupakan suatu keniscayaan yang tidak dapat
dihindarkan.
Untuk menghadapi oposisi ini, wahyu al-Qur’an
memberi Muhammad dengan sebuah respon. Ia bukanlah
sekedar pribadi sendiri yang kepadanya disampaikan sebuah
visi ketuhanan, tetapi sejumlah nabi-nabi yang diturunkan
sesudah perjanjian lama dan sejumlah nabi-nabi dari kalangan
Arabia; dia adalah salah satu di antara nabi-nabi yang
menyerukan kehendak Tuhan dalam bahasa Arab. Ia dapat
dibenarkan melaui ajarannya, sebab Nabi Muhammad diutus
oleh Allah untuk menyelamatkan masyarakat dari kebodohan
dan menunjuki mereka menuju jalan kebenaran. Pada tataran
ini misi yang dibawa Nabi Muhammad melibatkan kelompok
Kristen, Yahudi dan kelompok Pagan. Hanya pada masa-
masa belakangan menjadi semakin jelas bahwasanya seruan
32
Masa Nabi
33
ia adalah warga kerabat mereka. Dengan dukungan ini,
Muhammad dapat terus melanjutkan seruannya, sekalipun
dengan disertai caci maki dan penghinaan. Tetapi sejak tahun
615 atau 616 dia tidak lagi mendapatkan pemeluk baru. Pada
saat itu ia telah memiliki 100 pengikut, tetapi pemboikotan
yang dilaksanakan kalangan Mekah memberikan kesadaran
yang jelas, bahwasanya menjadi pengikut Muhammad sama
artinya dengan mengundang kepayahan hidup. Kebenaran
ajaran Muhammad dan keahlian pribadinya dalam hal
oratorikal dan syair sama sekali tidak menimbulkan
tanggapan positif, sebab ia dipandang sebagai orang gila.
Demi kesuksesan seruan Islam, Muhammad haruslah
menjadi tokoh besar, bahkan harus berkuasa dan ber-
kedudukan. Masyarakat tidak dapat digerakkan semata-mata
dengan gagasan, tetapi harus digerakkan dengan gagasan yang
disertai prestise.
Pada tahun 616 Muhammad bertetapan untuk mencari
dukungan di luar wilayah Mekah. Situasi pada tahun itu
semakin genting. Istrinya Khadijah dan pamanya Abu Thalib
meninggal dunia, sehingga dukungan dari klannya berhenti.
Akhirnya ia memutuskan pergi ke Tha’if, sebuah wilayah
oasis tetangga Mekah dan ia menyerukan kepada masyarakat
di sana untuk mengakui dirinya sebagai Nabi. Muhammad
menemukan perlakuan yang sangat naif, ia diejek dan
akhirnya diusir. Muhammad juga berusaha mencari dukungan
kalangan Badui, Haman sekali lagi usahanya tidak membawa
hasil. Pada masa itu tidak seorangpun yang menjadi
pelindung Muhammad. Sekitar 619 Muhammad mulai
menyadari untuk melindungi dirinya sendiri dan pengikutnya,
untuk mengatasi permusuhan pihak Quraisy dan untuk
sebuah perhatian dari kalangan Arabia yang telah simpatik
34
Masa Nabi
C. Fase Madinah
35
ang yang mewakili suku Khazraj dan Aws menyampaikan
sumpah setia kepada Nabi Muhammad dan mereka
bersumpah menghindari perbuatan dosa dan pada tahun 622
delegasi yang terdiri 75 warga Madinah meminta Nabi untuk
datang ke Madinah seraya menyampaikan sebuah sumpah
agabah – sebuah sumpah untuk membela Nabi Muhammad.
Sejumlah kesepakatan ini bersandar baik pada
penerimaan wahyu al-Qur’an dan juga penerimaan terhadap
keunggulan warga Arabia. Dalam sebuah masyarakat yang
tidak mengenal hukum umum atau pemerintahan dan tidak
mengenal otoritas yang lebih tinggi daripada individu
pimpinan klan, permusuhan antar klan seringkali berpihak
kepada orang-orang yang memiliki reputasi dalam visi
keagamaan dan seorang yang adil, bijaksana dan tentunya
seorang yang tidak memihak, untuk dijadikan sebagai arbit-
rator atau hakam. Disebabkan hakam tersebut tidak memiliki
unsur-unsur yang menekan keputusanya, maka menjadi
kebiasaan yang berlaku di kalangan mereka untuk
mewawancarai pihak-pihak yang terlibat dalam per-
sengketaan dan untuk memastikan bahwasanya pihak-pihak
terlibat akan mematuhi keputusan mereka sendiri.
Dengan jaminan yang disampaikan melaui sumpah
aqabah, Nabi Muhammad dan pengikutnya menempuh
perjalanan ke Madinah- periatiwa yang dramatis sepanjang
sejarah umat Muslim. Komunitas muslim bermula dan
tumbuh sejak dari saat perjalanan ini dan kalender muslim
yang bersesuaian dengan tahun Kristen 622, ditetapkan
sebagai tahun pertama Muslim. Perjalanan ini dinamakan
Hijrah, yang secara sederhana berarti migrasi (perpindahan).
Bagi seorang muslim kata hijrah ini tidak hanya bararti
perpindahan tempat, melainkan pemelukan Islam dan
36
Masa Nabi
37
klan Yahudi yang terbukti berkhianat terhadap misi
Muhammad. Pada masa awal pandangan dirinya sebagai
seorang Nabi, Muhammad adalah utusan Allah untuk seluruh
warga Arabia - Yahudi Kristen dan termasuk kelompok pa-
gan. Ia berusaha menyelamatkan kesucian keimanan yang
telah diwahyukan sebelumnya, menyebarkan sebuah
pembaharuan dan berakhir pada perubahan yang merembet
pada kehidupan sehari-hari. Jadi di Madinah Muhammad
ber maksud mencakup Yahudi dalam komunitasnya.
Beberapa praktik keagamaan spesifik seperti penebusan dosa
merupakan hal yang sama persia dengan hari penebusan dosa
Yahudi dan Yerusalem sebagai kiblat shalat seharusnya
menimbulkan simpatik bagi kalangan Yahudi. Sekalipun
demikian klan-klan Yahudi mengingkari klaim Muhammad
sebagai seorang Nabi menurut tradisi Hebrew. Mereka
menantang legitimasi Muhammad dan melawan ungkapan
Muhammad sebagai sejarah. Di tengah permusuhan dengan
kelompok Yahudi, al-Qur’an mengecam Yahudi karena
mereka mengkhianati perjanjian dan menerangkan bahwa-
sanya Nabi Ibrahim merupakan Nabi par-Excellence, yang
mengajarkan agama Tuhan yang murni, yakni sebagai hanif
yang pertama, sebagai pembangun Ka’bah dan sebagai ayah
bangsa Arab. Al-Qur’an sekarang ini menerangkan bahwa
Muhammad diutus untuk menyelamatkan kemurnian
monotheiame Ibrahim. Jadi dalam hal ini Muhammad
melampaui warisan skriptural kalangan Yahudi dan Kristen.
Untuk menyampaikan ajarannya, komunitas Muhammad
tidak lagi mencakup kelompok Yahudi dan Kristen,
melainkan sebagai sebuah agama yang khas yang meng-
ungguli Yahudi dan Kristen untuk menyampaikan seruan
ini, Muhammad berangkat kepada klan Yahudi yang terusir
38
Masa Nabi
39
jawab terhadap seluruh warga komunitas muslim (Lapidus,
1999:15-44).
Aspek lain dari kerja Muhammad di Madinah adalah
mendirikan konfederasi politis yang akan memperluas
pembaharuan Muhammad sampai kepada Mekah dan sampai
ke seluruh wilayah Arabia lainnya. Hal ini merupakan bagian
dari ambisi keagaamaan Muhammad, bahkan juga me-
r upakan kebutuhan politik. Jika Mekah menentang
Muhammad, sehar usnya pihak Mekah dapat meng-
hancurkannya di Madinah. Namun untuk menjadikan Mekah
untuk berada di bawah kekuasannya diperlukan juga
penguasan terhadap suku-suku Arabia, kekayaan dan
kekuasaan orang-orang Mekah yang berasal dari operasi
perdagangan yang bergantung pada kerjasama suku-suku di
Arabia. Singkatnya ambisi keagamaan dan logika politik
perpindahan Muhammad ke Madinah, keduanya membu-
tuhkan konfederasi Arabia sebagai kebutuhan terhadap
konfederasi warga Madinah.
Kebijaksanaan Muhammad terhadap Mekah bermula
dari permusuhan yang tidak kunjung padam, sejak masa yang
paling awal, kelompok-kelompok kecil dari Muhajirin,
kalangan pengungsi Mekah, menyerbu karavan Mekah untuk
mendapatkan harta rampasan. Pertama kali hanya kalangan
Mekah yang terlibat dalam penyerbuan tersebut, tetapi
keberanian Muhammad sekitar tahun 624, dan upaya untuk
mendapatkan harta rampasan, memungkinkan dirinya untuk
mengumpulkan sebuah kekumatan besar yang terdiri dari
pengungsi Mekah dan pengikutnya dari kalangan Madinah
untuk menyerang karavan Mekah yang kaya raya. Pada
perang Badar, Muhammad berhasil mengalahkan sebuah
kekuatan Mekah yang lebih besar, membinasakan sebagian
40
Masa Nabi
41
Dalam sejarah Madinah, banyak terjadi serangan
sebagai upaya mempertahankan diri dari serangan musuh.
Nabi sendiri dalam pemerintahannya mengadakan beberapa
ekspedisi ke luar kota sebagai aksi siaga kemampuan calon
pasukan yang memang mutlak diperlukan untuk melindungi
mempertahankan negara yang baru dibentuk. Perjanjian
damai dengan berbagai cara agar disekitar Madinah juga
diadakan dengan maksud memperkuat kedudukan Madinah.
Pada tahun 630, Muhammad berhasil menyem-
purnakan keunggulan atas atas Mekah. Sebuah permusushan
antara klien suku-suku Mekah dan Madinah telah mem-
batalkan perjanjian damai tersebut, tetapi pemimpin Mekah
menyerahkan kota Mekkah. Muhammad memberikan
amnesti (pengampunan secara masal) untuk semua orang dan
memberikan sejumlah hadiah kepada pimpinan Quraisy.
Berhala-berhala di sekitar Ka’bah dihancurkan dan Ka’bah
dinyatakan sebagi tempat suci Islam.
2. Dakwah Ekonomi dan Sumber Keuangan Negara
Norma-norma transaksi bisnis yang didakwahkan oleh
Nabi Muhammad untuk bersikap adil, kontak perburuhan
menyampaikan kesaksian secara jujur dan tidak memungut
keuntungan riba. Semua itu bukanlah merupakan ketentuan
hukum, melainkan norma-norma etika. Misalnya peng-
haraman riba tidak menjelaskan sebuah batas ukuran
maksimum dalam keuntungan pinjaman, tetapi pengharaman
tersebut mengajarkan bahwasanya tidak seorangpun dapat
mengekspoitir orang lain yang berada dalam kesempitan atau
mengambil keuntungan dibalik kesusaahan mereka. Norma-
nor ma ini diberikan untuk mengatur distribusi harta
rampasan perang. Terdapat larangan masalah moral seperti
pengharaman perjudian dan penggunaan minuman keras.
42
Masa Nabi
43
simpanan yang sukar diketahui siapa pemiliknya dan barang
yang berpindah tangan.
Pada zaman Rasulullah dan Abu Bakar belum ada
departemen yang mengurus harta-harta yang menjadi milik
pemerintah dan harta-harta yang dibagi-bagikan. Nabi
Muhammad selalu mengawasi Kepala Daerah dalam masalah
harta negara. Pada zaman Rasulullah ada tiga jenis harta.
Pertama, harta yang diurus oleh pemerintah, kedua harta yang
harus diambil dengan jalan musyawarah seperti harta orang
yang dijatuhi hukum pidana karena kematiaannya atau harta
sitaan dari orang yang melanggar peraturan. Ketiga, harta yang
dipersengketakan. Pengggunaan harta tersbut untuk
pembiayaan pembangunan, pertahannan dan keamanan dan
pembiayaan gaji pegawai dan lain-lain. (Ibnu Taimiyah,
1989:51-62).
44
Bab IV
Masa Khulafaur Rasyidin
45
sebagai calon mereka karena ia dipandang yang paling layak
untuk menggantikan nabi (Amin Said, tt:193). Di pihak lain
terdapat sekelompok orang yang menghendaki Ali ibn Abi
Thalib, karena nabi telah menunjuk secara terang-terangan
sebagai penggantinya, karena nabi adalah menantu dan
kerabat nabi. (Abu Hasan Ali al-Musawi, 1990:34)
Keadaan semakin tegang, namun berkat tindakan tegas
dari tiga orang, yaitu Abu Bakar, Umar ibn Khatab dan Abu
Ubaidah ibn Jarrah. Dengan semacam Cup, terhadap
kelompok memaksa Abu Bakar sendiri sebagai Deputi Nabi.
Tanpa intervensi, persatuan umat mereka terima dan dengan
semangat ukhuwah Islamiyah, maka terpilihlah Abu Bakar.
Dia adalah orang Quraisy yang merupakan pilihan ideal,
karena sejak semula dia selalu mendampingi nabi, dialah
sahabat yang paling memahami risalah Muhammad. Peristiwa
ini disebut peristiwa Tsaqifah bani Saidah. Sebagai pemimpin
umat Islam setelah nabi, Abu Bakar bergelar Khalifah
Rasulillah. Meskipun dalam hal ini perlu dijelaskan bahwa
kedudukan nabi sebetulnya tidak akan pernah tergantikan,
karena tidak ada seorangpun menerima ajaran Tuhan setelah
Muhammad.
Dalam sejarah Islam, empat orang pengganti nabi yang
pertama adalah para pemimpin yang adil dan benar. Mereka
menyelamatkan dan mengembangkan dasar-dasar tradisi
Rasulullah demi kemajuan Islam dan umatnya. Karena itu
gelar al-Khulafah al-Rasydin (yang mendapat bimbingan di
jalan lurus) diberikan kepada mereka.
46
Masa Khulafaur Rasyidin
47
juga bisa disebut sebagai cara yang memang harus lahir
sebagai manusia merengkuh harapan.
Pemikiran politik Islam pada umumnya merupakan
produk perdebatan besar yang terfokus pada masalah religi
politik tentang imamah dan kekhalifahan. Di Madinah pa-
gan yang terpilih Nabi Muhammad setelah hijrah dari Mekkah
ke Madinah terutama setelah tahun pertama, terdapat sedikit
kontroversi mengenai siapa yang pantas mengendalikan
kekuatan politik. Dalam teori maupun praktek, Nabi
menempati suatu poosisi yang unik sebagai pemimpin dan
sumber spiritual undang-undang ketuhanan, namun juga
sekaligus pemimpin pemerintahan Islam yang pertama.
Kerangka kerja konstitusional pemerintahan terungkap
dalam sebuah dokumen terkenal yang disebut dengan
“Konstitusi Madinah” atau Piagam Madinah. (John Williams,
1971: 12-15). Dalam dokumen tersebut terdapat langkah
penting perdana bagi terwujudnya sebuah badan peme-
rintahan Islam atau Ummah. Menurut piagam itu, konsep
suku tentang pertalian darah digantikan dengan ikatan iman
yang bersifat ideologi. Piagam ini juga menyuguhkan landasan
bagi prinsip paling menghormati dan menghargai antara o-
rang-orang Islam dan orang-orang yang mengikuti, bergabung
dan berjuang bersama mereka. Mereka yang dimaksudkan
dalam pembukaan dipiagam itu adalah masyarakat Yahudi
Madinah.
Menurut konstitusi tersebut, orang-orang Islam dan
semua warga yang tinggal di Madinah tergabung dalam satu
masyarakat (pasal I) yang secara fisik dan politik berbeda
dengan kelompok-kelompok lain (pasal I dan 39). Tidak ada
kekhawatiran mengenai siapa yang harus memegang tampuk
pimpinan dalam konfederasi semacam itu. Pasal 23, 36 dan
48
Masa Khulafaur Rasyidin
49
sahabat Rasulullah: Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali. Masa-
masa itu merupakan cerminan kejayaan Islam yang diraih
dengan berbagai perangkat dan tetap selalu berada di bawah
prinsip konsultasi dan akomodasi.
Masalah perebutan kekuasaan telah mulai menguncup
tajam selama masa pemerintahan khalifah ke-3, Usman. Ia
dipilih oleh sekelompok dewan pemilih yang terdiri enam
sahabat Nabi terkemuka yang dibentuk khalifah sebelumnya
Umar. (Amir Siddiiqi, 1982 : 46) Kericuhan itu bermuara
pada sekelompok pejabat pemerintahan yang didasarkan
pada favoritisme dan nepotisme. Cara ini melahirkan rasa
tidak puas dan keresahan pada sebagian anggota masyarakat
yang kemudian berkembang menjadi pertikaian masal dan
memuncak pada kemathian Usman. Ali, kemenakan Nabi
dan rival Usman dalam perebutan kursi kekhalifahan
kemudian dinobatkan sebagai khalifah dan mampu meraup
kesetiaan dari sebagian besar ummat. Meski begitu, ia juga
diharapkan dengan oposisi kuat yang terdiri dari unsur
masyarakat, terutama dari anak keturunan Umayyah yang
pernah mengambil keuntungan pada masa Usman, lebih dari
itu, istri Nabi sendiri, Aisyah diiringi dengan sebagian sahabat
karib Nabi, menyuarakan sikap anti Ali, maka periode ini
tidak terhindar dari kekerasan dan perang sipil yang berakhir
dengan terbunuhnya Ali dan kehadiran Dinasti Umayyah
yang memerintah sejak tahun 661 – 749 M.
Selama masa pergolakan inil lahir ragam fraksi politik
yang membentuk spektrum pemikiran politik Islam. Seusai
perang Siffin (657 M) antara Ali dan pemimpin Umayyah,
Muawiyah, sekelompok pasukan Ali keluar dari barisan dan
memberontak kepadanya. Kelompok muslim yang puritan
ini kemudian dikenal dengan khawarij atau Kharijites (para
50
Masa Khulafaur Rasyidin
51
namun lebih dari itu tangan tersebut merupakan ungkapan
kepercayaan yang mendalam bahwa kursi kepemimpinan
setelah Nabi hanya berhak diserahkan pada Ali, kemenakan
dan menantunya, bukan Abu Bakar. Menurut kepercayaan
Syiah, hanya anggota ahl al-Bait (keluarga Nabi) yang
memenuhi syarat untuk menjadi khalifah atau Imam. Sejarah
tidak pernah mencatat bahwa Ali tidak pernah menggugat
kekhalifahan Abu Bakar, dan tidak menentang Umar atau
Usman. Ia menjadi khalifah setelah Usman terbunuh karena
didukung oleh sekelompok sahabat utama Nabi. Proses
pemilihan itu kemudian dikuduskan dalam masyarakat
melalui sumpah setia atau bai’ah. Meskipun demikian Syiah,
sebagai suatu ideologi mulai berkembang seusai pembantaian
tentara Umayyah terhadap putranya, Husain di Karbala.
Kisah tradisional menuturkan bahwa Husain dihubungi para
pendukung Ali di Kufah yang meminta kedatangannya di
Irak untuk memimpin pemberontakan terhadap rezim
Umayyah. Ketika is bergerak menuju Kufah yang diiringi
sejumlah pasukan yang terdiri dari para kerabat (sahabat)
dan pendukungnya, bala tentara Umayyah mencegat mereka
di Karbala dan membantai Husain dan seluruh pengiringnya.
(E.A. Belyaev, 1969: 165) Tragedi itu membarakan dendam
kaum Syiah yang menganggap Husain sebagai martir luar
biasa disamping memperkokoh kepercayaan ideologis
mereka terhadap peran Ali dan anak turunnya serta arti
kepemimpinan (Imamah).
Di samping khawarij dan Syiah, ada segolongan ummat
Islam yang membentuk mayoritas ummat yang dikenal
sebagai penganut Ahli Sunnah Wal Jamaah (Sunni). Sekitar
abad ke-11, pandangan mereka tentang kekhalifahan
ditampilkan oleh para ahli hukumnya yang memainkan peran
52
Masa Khulafaur Rasyidin
53
agama, saling berkaitan antara satift dengan lainnya. Tanpa
kekuasaan negara yang bersifat memaksa, agama berada
dalam bahaya. Tanpa disiplin hukum wahyu, negara pasti
menjadi organisasi yang tiraknik. (Laoust, dalam Khalid
Ibrahim Jindan, 1994: 50) Dalam al-Siyasah al-Syar’iyyah,
ia menganggap penegakan negara sebagai tugas yang suci
yang dituntut oleh agama dan merupakan salah satu perangkat
untuk mendekatkan manusia kepada Allah. (Ibn Taimiyah,
dalam Khalid Ibrahim Jindan, 1994: 50) Mendirikan sebuah
negara berarti menyediakan fungsi yang besar untuk
menegakkan keadilan, dengan melaksanakan perintah dan
menghindar dari kejahatan dan memasyarakatkan tauhid dan
mempersiapakan kedatangan sebuah masyarakat yang yang
dipersembahkan demi pengabdian kepada Allah.
Dr. Wahid Ra’fat mendefenisikan bahwa negara adalah
sekumpulan besar masyarakat yang tinggal pada suatu
wilayah tertentu di belahan bumi ini, yang tunduk pada suatu
pemerintahan yang teratur yang bertanggung jawab
memelihara eksistensi masyarakatnya, mengurus segala
kepentingannya dan kemaslahatan umum. Sedangkan Dr.
Abdul Hamid al-Mutawalli mendefenisikan bahwa negara
adalah suatu institusi abstrak yang terwujudkan dalam
sebuah konstitusi untuk suatu masyarakat yang menghuni
wilayah tertentu dan memiliki kekuasaan umum. (Al-Madadi,
dalam Dr. Muhammad Kamil Lailah, 223-225 dalam Dr. M.
Yusuf Musa, 1963: 25)
Dalam sejumlah defenisi tersebut dapat disimpulkan
bahwa negara adalah sekumpulan manusia yang secara tetap
mendiami suatu wilayah tertentu dan memiliki institusi
abstraknya sendiri serta sistem yang dipatuhi dari para
pemegang yang ditaati serta memiliki kemerdekaan politik.
54
Masa Khulafaur Rasyidin
Unsur yang harus ada bagi wujud dan berdirinya bagi sebuah
negara adalah adanya bangsa yang mendiami wilayah tertentu
dan adanya institusi abstrak yang diterima baik oleh bangsa
tersebut dan direalisasikan oleh pemegang kekuasaan, serta
adanya sistem yang ditaati dan mengatur jenjang-jenjang
kekuasaan serta kebebasan politik yang menjadi identitas
bangsa tersebut sehingga tidak mengekor kepada bangsa lain.
(Dr. Usman Khalil, dalam Dr. M. Yusuf Musa, 1963: 25)
Islam dengan jelas baik dalam al-Qur’an maupun dalam
Sunnah Rasulullah menyatakan hal-hal yang berkaitan
dengan kepada negara dan rakyat serta hak-hak dan
kewajibannya, begitu pula dengan berbagai peraturannya.
Pada masa Rasulullah dan para Khulafaur Rasyidin telah
terbentuk sebuah negara Islam. Menurut Dr. R. Gibb, sejak
zaman Rasulullah dan para sahabat Islam bukan semata-mata
berkaitan dengan akidah keagamaan individual, tetapi sudah
mewajibkan pembentukan suatu masyarakat yang mandiri
yang memiliki pemerintahan sendiri serta memiliki konktitusi
dan sistem pemerintahan secara khusus.
Rasulullah datang membawa agama baru yang berbeda
sama sekali dengan tradisi bangsa Arab. Sesungguhnya negara
pertama bagi bangsa Arab dan kaum muslimin adalah di
Madinah. Nabi memproklamirkan kejadian raksasa ini kepada
segenap ummat manusia. Hal ini dibuktikan dengan adanya
langkah pertama yang diambil Rasulullah sesudah hijrah
sebagaimana yang diserukan oleh Ibnu Ishak yaitu beliau
Rasulullah telah menetapkan Piagam Perjanjian antara
Muhajirin dan Anshar serta mengajak bangsa Yahudi
membuat persetujuan dengan mereka, mengakui hak
keagamaan Yahudi dan pemilikan harta serta menetapkan
syarat bagi mereka dan memberi jaminan kepada mereka.
55
Bentuk negara Islam pada periode Rasulullah bersifat
Theokratis. Theokratis adalah suatu bentuk pemerintahan
yang berada dalam cengkraman kekuasaan Tuhan, yakni
mengakui Tuhan sebagai penguasa mutlak dalam tata
pergaulan masyarakat serta menerima wahyu-Nya yang telah
ditafsirkan oleh para wakil-Nya sebagai dasar bangunan
negara atau masyarakat. (Detlev H. Khalid, dalam Khalid
Ibrahim Jindan, 1994: 73).
Bila dikaitkan dengan tempat kekuasaan dan peranan
syariah dalam negara Islam, defenisi Khalid seperti
menyuarakan gambaran yang sebenarnya tentang negara Is-
lam. Ibnu Taimiyah mengungkapkan bahwa dalam pemer-
intahan teokrasi, Nabi adalah sebagai mediator atau utusan
Allah yang menyampaikan kepada masyarakat perintah-
perintah, janji-janji, peringatan-peringatan, Ridha dan murka-
Nya. Jadi segala prilaku atau barang yang dihalalkan adalah
apa yang pun yang memang ditentukan halal oleh Allah dan
Nabi. Sedang apa saja yang dilarang keduanya jelas
merupakan prilaku atau barang haram. Tak seorang pun
diijinkan melanggar ajaran Nabi Muhammad SAW. Itu pula
ajaran yang harus dijalankan pada penguasa. (Ibn Taimiyah,
dalam Khalid Ibrahim Jindan, 1994: 73)
Dengan demikian pada periode Rasulullah memang
sistem pemerintahannya bersifat theokrasi karena Rasulullah
langsung ditunjuk oleh Allah untuk menjalankan tugasnya
baik sebagai pemimpin agama sekaligus pemimpin negara
dan Nabi dalam menjalankan tugasnya beliau bertanggung
jawab kepada Allah.
Sedangkan pada periode Khulafaur Rasyidin, para
sahabat tetap menjalankan tugasnya, baik sebagai pemimpin
negara maupun pemimpin agama. Namun, dalam pemi-
56
Masa Khulafaur Rasyidin
57
menghilangkan keragu-raguan terhadap hakekat Islam
kepada seluruh manusia, mengajak manusia kepada
dengan penuh kasih sayang, melidungi seseorang dari
golongan anti agama serta membela syariah terhadap
seseorang yang ingin melanggar hukum.
2. Mengupayakan segala cara untuk menjaga persatuan
ummat dan saling tolong menolong sesama mereka dan
memperbanyak sarana kehidupan yang baik bagi setiap
warga sehingga seluruh ummat dapat menjadi laksana
bangunan yang kokoh.
3. Melindungi tanah air dari setiap agresi dan seluruh warga
negara dari kezaliman, kedurhakaan dan tirani, mem-
perlakukan mereka seluruhnya sama dalam memikul
kewajiban dan memperoleh hak, tanpa adanya perbedaan
antara amir dan rakyat, kuat dan lemah, kawan dan lawan.
58
Masa Khulafaur Rasyidin
59
mereka melihat pembelotan dan kemurtadan dari banyak
suku Arab. Sedangkan di sisi lain Usamah adalah seorang
pemuda, padahal orang-orang yang berada dibawah
komandannya, padahal orang-orang yang berada dibawah
komandannya adalah sahabat-sahabat senior. Karena itu,
sebagian kaum muslimin datang kepada Umar, agar ia
berbicara kepada Abu Bakar supaya mengganti Usamah
dengan orang lain yang lebih tua umurnya. Akan tetapi Abu
Bakar masih kepada Umar, ketika mendengar kata-kata yang
disampaikan Umar, sampai Abu Bakar memegang jenggotnya
seraya berkata kepadanya, “Wahai Ibnul Khathab, celakalah
ibumu! Rasulullah telah mengangkatnya, tetapi engkau
menyuruh aku memecatnya!” Selanjutnya pasukan itu terus
berjalan dan meraih tujuan yang ditugaskan kepada mereka.
Umar sangat kuat kemauannya untuk memberikan
hak-hak kaum muslimin. Dia berkata dalam salah satu
khutbahnya,” Setiap orang mempunyai hak terhadap
kekayaan, “Baitul Mal”, yang aku akan memberinya atau
menghalanginya. Setiap orang tidak lebih berhak dari yang
lainnya terhadap harta ini, kecuali budak. Dan hakku sama
dengan orang-orang lain diantara mereka. Demi Allah,
sekiranya harta “Baitul Mal” sisa niscaya penggembala ini
(Umar) akan mendatangi orang yang tinggal di gunung Shan’a
untuk memberikan haknya.”
Tekadnya untuk menjalankan pemerintahan yang adil
sangat kuat, sehingga tekad ini membuat beliau tidak, sudi
memberikan kepada salah seorang kerabatnya sesuatu yang
bukan haknya. Ibnu Sa’ad meriwayatkan, bahwa ipar Umar
bin Khathab datang kepada Umar lalu menyampaikan
keluhannya agar dia diberi harta dari Baitul Mal. Akan tetapi
Umar menghardiknya seraya berkata, “Apakah engkau
60
Masa Khulafaur Rasyidin
61
adalah keadilan yang tidak terpengaruh oleh hubungan
kerabat, kebesaran dan kekuasaan. Sebaliknya juga
terpengaruh oleh rasa bend atau faktor lainnya. Oleh sebab
itu Allah menyuruh berbuat adil dan melarang berbuat zalim.
Dalam firman Allah dalam Qs.16:90:
62
Masa Khulafaur Rasyidin
63
Prinsip pertama, Pemilihan mayoritas ahlu halli wa ‘aqd
dan kaum cerdik pandai di masyarakat terhadap orang yang
mereka pandang cakap menduduki jabatan khalifah dan
memerintah orang-orang mukmin. Dan pembai’atan mereka
kepadanya. Serta pencalonnya sebelum menjadi seorang
khalifah yang melaksanakan pemerintahan untuk mengurus
wasiat (khalifah sebelumnya). Akan tetapi tidaklah terlaksana
dengan wasiat ini, tetapi dengan wasiat (pesan) kaum
muslimin sesudah meninggalnya khalifah yang menga-
manatkan kepada orang sesudahnya.
Prinsip kedua, bai’at mayoritas umat Islam kepada
khalifah yang dicalonkan. Mereka rela kepadanya dan
menerima kekhalifahannya dan persetujuan mayoritas mereka
atasnya. (Baca M. al-Mubarak, 1995: 82-83)
Peraturan tentang pemilihan kepala negara pada masa
sahabat atau khulafaur-Rasyidin tidak dibahas di dalam nash,
baik Al-Qur’an maupun al-Hadits. Oleh karena itu pemilihan
kepala negara pada masa sahabat berdasarkan suara yang
terbanyak, melalui lembaga ahlu halli wa ‘aqd yang terdiri
dari sahabat yang terpandang, baik ditinjau dari ke-
sholehannya maupun dari intelektualitasnya.
Sedangkan kepala negara yang akan dipilih harus
memiliki dan memenuhi persyaratan yang sudah ditentukan
dan menjadi standar pada masa itu.
Setelah mereka sepakat siapa yang dipilih, maka
selanjutnya diadakan Piagam bai’at yang harus dilaksanakan
oleh kepala negara yang terpilih. Di bawah ini secara umum
dipapar bagaimana proses pemilihan Kepala Negara.
a. Ahlu al-Halli wa-al’Aqd
Sekelompok orang yang memilih imam atau kepala
negara disebut ahlul halli wal-agdi atau ahlul ikhiyar. Al-
64
Masa Khulafaur Rasyidin
65
Pendapat al-Qadhi Abu Ya’la yang mengatakan bahwa
tidaklah diperkenankan bagi khalifah menentukan (me-
ngangkat) orang-orang yang akan memilih khalifah
sesudahnya adalah pendapat yang benar. Sesuai dengan
maksud pembuat syari’at. Maka secara ringkas dapat
dikatakan bahwa cara menetapkan adalah suatu perkara yang
diserahkan kepada kebijaksanaan setiap masa dan negeri.
(Baca pendapat Abu Ya’la dalam M. al-Mubarak. 1995: 94-
85)
Pemilihan anggota dalam lembaga ahlu al-Halli wa al-
‘Aqd telah disepakati berdasarkan kebijaksanaan sesuai
dengan zaman dan pada tiap negara masing-masing wilayah.
b. Mayoritas dan Minoritas
Inti dari pendapat Al-Qadhi Abu Ya’la adalah bahwa
imamah, tidaklah terlaksana, kecuali bersama mayoritas ahlul
halli wal’aqh. Diriwayatkan dari Imam Ahmad ibn Hanibal
“bahwa imam itu baru eksis kalau seluruh ahlu halli wa-al
’aqd mendukungnya” Kemudian ia berkata: Ini pada lahirnya
terlaksana dengan persetujuan mereka.”
Menurut Abu Ya’la, kepala negara yang dipilih harus
berdasarkan dukungan dan persetujuan pendapat mayoritas
dari anggota lembaga Ahlu al-Halli wa al-’Aqd.
c. Bai’ah Bentuk Pemilihan
Sisi penting politik yang terkait dengan ummah dalam
teologi dan sejarah Islam barangkali tercermin dalam gaya
pemimpin negara Islam yang terpilih. Idealnya, pemimpin
negara Islam yang juga pemimpin masyarakat adalah seorang
yang terpilih diantara beberapa calon setelah melalui proses
pemilihan yang melibatkan konsultasi pendahuluan. Bila
nominasi itu ditentukan pada orang tertentu, maka
66
Masa Khulafaur Rasyidin
67
lalu beliau menunjukknya sebagai khalifah sesudahnya. Akan
tetapi beliau tidak mengganggap bahwa tindakan semacam
itu berarti membai’atnya sebagai khalifah. Karena itu beliau
menawarkan kepada orang banyak, apakah mereka meridhai
orang yang telah beliau pilih untuk mereka. Namun ada
diantara kaum muslimin yang telah mengetahui bahwa o-
rang yang akan dipilih adalah Umar, maka mereka
menyinggung kemudian membai’atnya. Dengan demikian,
pada saat itu persoalan imamah pada diri Umar telah selesai.
Sekiranya mereka tidak menyetujuinya dan mereka
membai’at orang lain, maka penunjukkan Abu Bakar atas
diri Umar tidaklah mengikat mereka. Begitu pula dengan
pengangkatan Utsman, kemudian Ali ra.
Pembai’atan yang dilakukan terhadap Abu Bakar
maupun Umar pada dasamya adalah pemilihan dan
musyawarah. Mekanismenya adalah memilih salah seorang
diantara 6 orang anggota panitia pemilihan khalifah yang
diangkat oieh Umar.
Begitu pula pemilihan Abdurrahman bin ‘Auf terhadap
Utsman pada dasarnya adalah sama. Namun pengangkatan
Utsman sebagai khalifah selanjutnya sebenarnya hanyalah
berdasarkan bai’at umat. Ketika Abbas bin Abdul Muthalib
berkata kepada Ali bin Thalib. Sekiranya benar riwayat yang
diketengahkan oleh pengarang buku “Al-Ahkamus Sul-
thaniyyah” : Ulurkan tanganmu, aku akan membai’atmu.”
Kemudian orang banyak mengatakan: “Paman Rasul saw
telah membai’at keponakan laki-lakinya. Sehingga tidak akan
ada dua orang sekalipun yang memperselisihkanmu.” Hal
semacam ini tidak lain merupakan pencalonan oleh Abbas
terhadap Ali. Kemudian untuk selanjutnya terserah kepada
umat dan para tokohnya.
68
Masa Khulafaur Rasyidin
69
Ketika Umar dan Abu Ubaidah akan membaiat Abu
Bakar, serta merta Basyir bin Sa’ad mendahului mem-
bai’atnya. Kemudian suku Aus seluruhnya menghampiri Abu
Bakar, lalu membaiatnya. Hal ini terjadi ketika mereka
melihat tindakan Basyir. Seruan suku Quraisy dan tuntutan
suku Khazraj untuk mengangkat Sa’adbin Ubaidah sebagai
Amir gagal untuk mendapatkan jabatan kekhalifahan
Kemudian Aslam dan rombongannya datang meng-
hadap, sehingga memenuhi jalan masuk, lalu mereka
membaiat Abu Bakar. Lalu datang manusia dari setiap
penjuru untuk membaiatnya juga. Selanjutnya mereka
menentukan tempat untuk membaiatnya. (Tsaqifah Bani
Saidah) lalu semua datang untuk membaiatnya termasuk Ali
bin Abi Thalib, walaupun bai’at darinya setelah enam bulan
baru terlaksana itupun karena desakan Umar. (M. Yusuf
Musa, 1990: 105¬106)
2. Umar Bin Khatab
Ketika Abu Bakar merasakan ajalnya hampir dekat,
ia lalu megumpulkan rakyatnya, lalu berbicara kepada
mereka, “Kalian telah mengetahui apa akan terjadi pada
diriku karena itu kalian harus memilih Amir kalian diantara
orang-orang yang kalian cintai. Maka sekiranya kalian
memilih amir disaat aku masih ada, hal semacam itu lebih
patut untuk membuat kalian tidak berselisih sepeninggalku.”
Ketika ummat Islam tidak memperoleh kesepakatan
untuk memilih salah seorang diantara orang-orang yang pa-
ling mereka cintai, maka mereka mempercayakannya kepada
Abu Bakar orang yang menurut pandangannya berguna bagi
mereka dan agama. Lalu ia meminta tempo sampai dapat
memikirkan orang yang baik untuk Allah, Agama-Nya dan
ummat. Pada saat ini, ia meminta kepada para cerdik pandai
70
Masa Khulafaur Rasyidin
71
Selanjutnya Ibnu saad menyebutkan bahwa Abu Bakar,
kemudian memanggil Umar untuk membai’atnya dan
memberikan nasehat kepadanya. Demikianlah Umar bin
Khatab, memegang kekuasaan pemerintahan setelah Abu
Bakar setelah mengadakan musyawarah dengan tokoh-tokoh
Muhajirinn dan Anshar serta seluruh kaum muslimin dengan
bai’at terbuka.
3. Usman Bin ‘Affan
Ketika Abu Lu’ Luah seorang budak menikam Umar
pada bulan Zulhijah tahun 13 H dan Umar merasakan
dirinya telah mendekati ajal, maka Umar memilih panitia
6, untuk memilih khalifah pengganti dirinya, yaitu Ali dan
Utsman (dari Bani Abdi Manaf), lalu Abdurrahman dan
Sa’ad (keduanya adalah paman Rasulullah saw), Zubair
(penolong Rasulullah dan putra bibinya) dan Thalhah bin
Ubaidillah. Kemudian besok harinya mengundang lima
orang pertama, karena Thalhah saat itu tidak ada.
Kemudian Umar menyerahkan kepada mereka ber -
musyawarah.
Ketika Umar mejelang ajalnya, mengutus seorang
kepada Abu Thalhah dan mengumpulkan 50 orang dari
kalangan Anshar untuk bergabung dengan Majelis Sura
(panitia 6). Setelah diadakan rapat, yang memakan waktu
beberapa hari, maka terpilihlah Utsman bin Affan sebagai
pengganti Abu Bakar
Dengan bai’at Abdurrahman bin Auf (anggota ahlul
al Halli wal ‘aqd), maka sahlah pengangkatan Utsman sebagai
khalifah dengan disusul oleh bai’at dari para sahabat yang
lain.
72
Masa Khulafaur Rasyidin
73
Penunjukkan seseorang oleh khlaifah sebelumnya
adalah hanya bersifat pencalonan. Seseorang akan sah
menjadi khalifah bila mendapatkan baiat dari ummat.
Hak pencalonan ini dimiliki oleh khalifah yang sedang
berkuasa sebagaimana juga dimiliki oleh setiap orang
Islam seperti pencalonan Abu Bakar sebagai khalifah
oleh Umar Bin Khathab dan Abu Ubaidah bin Jarrah,
kemudian bar u dibaiat oleh ummat. Demikian juga
pencalonan Umar sebagai khalifah oleh Abu Bakar baru
dibaiat oleh ummat. Begitu pula pencalonan Utsman
sebagai khalifah oleh Abdurrahman bin ‘Auf lalu diikuti
oleh bai’at ummat dan pencalonan Ali sebagai khalifah
oleh Abbas bin Abdul Muthalib baru diikuti oleh baiat
atau persetujuan oleh ummat yang lain. (M. Yusuf Musa,
1990: 125-128)
74
Masa Khulafaur Rasyidin
75
diklaim oleh golongan Syiah. Menurut salah satu sumber
pakar Syiah, konsep Imamah dilahirkan oleh golongan Syiah.
(Abdullah A. al-Munif dalam Khalid Ibrahim Jindan, 1994:
7) Mereka berpendapat bahwa Imamah tidak hanya
merupakan suatu sistim pemerintahan tetapi juga rancangan
Tuhan, suatu kepercayaan yang dianggap sebagai penegas
keimanan.
Aspek kemutlakan konsep Syiah tentang Imamah
tersebut didasarkan asumsi bahwa syariah tidak akan dapat
berjalan tanpa adanya kekuasaan mutlak yang berfungsi
memeliharanya serta menafsirkan pengertian yang benar dan
murni pada syariah. Qomaruddin Khan dalam Khalid Ibrahim
Jindan, 1994: 70) Setelah memandang keterbatasan-
keterbatasan dan tidak sempurna akal manusia, kaum Syiah
mengatakan bahwa orang yang memenuhi syarat untuk
berperan sebagai pelindung dan penafsir hukum Tuhan
hanyalah perantara supra-manusiawi yang diberi petunjuk
oleh Sang Pencipta hukum tersebut. Jadi kaum Syiah
mengembangkan teori mereka tentang Imamah sama dengan
ketentuan Imam yang dipilih oleh Tuhan dan bukan hasil
pilihan ummat (manusia). Prilaku Tuhan disebut dengan Lutf
atau rahmat (grace), sedangkan urutan imam-imam ditunjuk
Allah dikenal dengan julukan Imamah. Bahkan golongan
Syiah mengklaim bahwa Nabi atas perintah Allah menunjuk
Ali sebagai Imam yang pertama, kemudian Ali menunjuk
penerusnya sampai dengan Imam yang ke-12, Muhammad.
Imam yang terakhir ini diyakini ke 12 Imam yang telah wafat
tahun 871 M, pada usia yang amat belia. (Abdullah A. al-
Munif, dalam Khalid Ibrahim Jindan, 1994: 8) Sejak
kematiannya itu ia diyakini sebagai penunjuk jalan manusia
dari kediamannya yang tersembunyi. Ia juga disebut dengan
76
Masa Khulafaur Rasyidin
77
78
Bab V
Masa Abu Bakar Al-Siddiq
Dan Umar Bin Khattab
A. Riddah
Abu Bakar al-Siddiq bernama Abdullah bin Abi
Quhafa al-Tamimi. Di zaman pra Islam bernama Abdul
Ka’bah. Kemudian diganti oleh Nabi menjadi Abdullah. Ia
termasuk salah satu sahabat yang utama. Julukannya adalah
Abu Bakar (Bapak Pemagi) karena orang yang pertama kali
masuk Islam. Gelar al-Siddiq diperoleh karena ia termasuk
orang yang membenarkan Nabi dalam berbagai peristiwa
terutama Isra’ dan Mi’raj. (Syalabi, 1979: 205) Nabi seringkali
menunjuknya jika beliau berhalangan. Rasul mempercayainya
sebagai menggantikannya dalam tugas-tugas keagamaan atau
mengurus berbagai persoalan di Madinah.
Abu Bakar memangku jabatan selama 2 tahun lebih
untuk mengatasi berbagai persoalan dalam negeri yang
muncul akibat wafatnya Nabi. Terpilihnya Abu Bakar
membangun kembali kesadaran dan tekad ummat untuk
79
bersatu melanjutkan tugas Nabi. Menyadari bahwa
kepemimpinannya bertumpu pada komunitas yang bersatu.
Fokus pertama yang menjadi perhatian khalifah adalah
merealisasikan keinginan Nabi yang hampir tidak terlaksana
yaitu mengirimkan ekspedisi ke perbatasan Suriah di bawah
pimpinan Usamah untuk membalas pembunuhan ayahnya,
Zaid, dan kerugian yang diderita oleh ummat Islam dalam
perang Mut’ah. Sebagian sahabat menentang keras rencana
ini, tetapi khalifah tidak peduli. Ternyata ekspedisi ini sukses.
Akibat lain dari wafatnya Nabi ialah hengkangnya
beberapa orang Arab dari ikatan Islam. Mereka melepaskan
kesetiaan dengan menolak memberikan bai’at kepada
khalifah yang baru dan bahkan menentang agama Islam,
karena mereka menganggap bahwa perjanjian-perjanjian yang
dibuat bersama Muhammad dengan sendirinya batal
disebabkan kematain Nabi Islam.
Suku Arab banyak yang melepaskan diri dari ikatan
agama Islam. Mereka adalah orang-orang yang baru masuk
Islam. Belum cukup bagi Nabi dan para sahabatnya untuk
mengajari mereka prinsip-prinsip keimanan dan ajaran Is-
lam. Gerakan melepaskan kesetiaan dinamakan Riddah.
Riddah berarti murtad, beralih agama dari Islam ke
kepercayaan semula, secara politis mer upakan pem-
bangkangan (distortion) terhadap lembaga khalifah (Bernard
Lewis. 1988: 39). Sikap mereka adalah perbuatan makar yang
melawan agama dan sekaligus pemerintahan Islam.
Oleh karena itu khalifah dengan tegas melancarkan
operasi pembersihan terhadap mereka. Mula-mula hal itu
dimaksudkan sebagai tekanan untuk mengajak mereka
kembali ke jalan yang benar lalu berkembang menjadi perang
merebut kemenangan. Tindakan pembersihan juga dilakukan
80
Masa Abu Bakar Al-Siddiq dan Umar Bin Khattab
81
Peperangan melawan pengacau tersebut, meneguhkan
kembali khalifah Abu Bakar sebagai penyelamat Islam yang
berhasil menyelamatkan Islam dari kekacauan dan
kehancuran serta agama memperoleh kembali kesetiaan dari
seluruh jajaran Zajirah Arab.
82
Masa Abu Bakar Al-Siddiq dan Umar Bin Khattab
83
perorangan sebanyak 2 dinar tiap tahun.
b. Gencatan senjata berlangsung selama 7 bulan
c. Bangsa Arab tinggal di markasnya selama gencatan
senjata dan pasukan Yunani tidak akan menyerang
Iskandariah dan menjauhkan diri dari permusuhan.
d. Umat Islam tidak akan menghancurkan gereja dan tidak
boleh mencampuri umat Kristen.
e. Pasukan harus meninggalkan Iskandariah dengan
membawa harta benda uang dan mereka akan membayar
pajak perorang selama satu bulan.
f. Umat Yahudi harus tetap tinggal di Iskandariah.
g. Umat Islam harus menjaga 150 tentara Yunani dan 50
orang sipil sebagai sandera sampai batas waktu dari
perjanjian ini dilaksanakan.
84
Masa Abu Bakar Al-Siddiq dan Umar Bin Khattab
2. Pemerintahan Negara
Dalam mengorganisir imperium Islam yang baru,
khalifah Umar memperkenalkan sebuah kebijaksanaan Islami.
Di Mekah dan Medinah, ia merangkul sahabat nabi dari
kalangan Mekah dan Anshar, penolong dari warga Medinah.
Di pusat-pusat perkampungan militer ia merangkul klan-klan
yang turut mendukung Madinah selama berlangsung
peperangan menghadapi kekuatan Mekah dan mereka turut
terlibat dalam penaklukan Irak. Dari kalangan mereka ini,
Umar mengangkat gubernur, jendral dan pegawai peme-
rintahan. Mereka diberi tunjangan yang tinggi dan diijinkan
untuk menguasai Sawafi (lahan pertanian yang ditinggalkan
oleh kuasa Sasania)
Sejalan dengan upaya mengkonsolidasikan kekuasaan,
pihak Arab meningkatkan kekuasaan pada berbagai urusan
sosial. Administrasi Arab berbeda antara propinsi satu dengan
propinsi lainya, di Mesopotamia dan Sirya administrasinya
seragam karena pihak Arab menolak upeti yang ditawarkan.
Di wilayah ini pemerintahan Arab memisahkan administrasi
perkotaan dan perkampungan dan memberikan Cup de grace,
kepada pemerintahan kota yang lama. Sejak masa klasik
wilayah sekitar laut tengah terbagi menjadi sejumlah daerah
otonom, yang menangani urusan pemerintahannya sendiri.
Bersamaan dengan keberhasilan ekspansi di atas, pusat
kekuasaan Islam di Madinah mengalami perkembangan yang
sangat pesat. Khalifah Umar Bin Khattab telah berhasil
membuat dasar-dasar bagi suatu pernerintahan yang handal
untuk melayani tuntutan masyarakat baru yang terus
85
berkembang. Umar mendirikan dewan-dewan (jawatan),
membangun Baitul Mal, mencetak mata uang, membentuk
kesatuan tentara untuk melindungi daerah tapal batas,
mengatur gaji, mengangkat hakim-hakim dan menyeleng-
garakan hisbah (pengawasan pasar, mengontrol timbangan
dan takaran, menjaga tata tertib dan kesusilaan dan
sebagainya). (Syalabi, 1979: 263)
Khalifah juga meletakkan prinsip-prinsip demokratis
dalam pemerintahan dengan membangun jaringan pe-
merintahan sipil yang paripurna. (Mahmudunnasir: 184).
Kekuasaan Umar menjamin hak yang sama bagi setiap warga
negara. Kekhalifahan bagi Umar tidak memberikan hak
istimewa tertentu. Tidak ada istana atau pakaian kebesaran,
sehingga tidak ada perbedaan antara penguasa dan rakyat,
dan mereka setiap waktu dapat dihubungi oleh rakyat.
Kehidupan khalifah memang merupakan penjelmaan hidup
prinsip-prinsip egaliter dan demokratis yang harus dimiliki
oleh setiap kepala negara.
Inti dari semua peraturan di masa Umar adalah
musyawarah. Tokoh-tokoh sahabat dikumpulkannya sebagai
stafnya untuk berunding dan meminta pendapatnya. Musim
haji dijadikan sebagaim moment untuk meninjau pendapat-
pendapat di daerah yang jauh dari pusat. Pada musim itu
datang para pejabat dan petugas untuk mempertanggung
jawabkan tugas-tugasnya. Sebelum Umar menetapkan suatu
peraturan bagi pejabat maka dia telah menetapkan peraturan
bagi dirinya sendiri. Dengan kata lain bahwa memerintah
itu adalah ujian bagi penguasa dan ujian bagi rakyat.
Pemerintahan baginya adalah kekerasan tapi bukan
kekerasan yang sewenang-wenang dan pemerintahan dengan
kelembutan tapi bukan kelembutan dengan kelemahan.
86
Masa Abu Bakar Al-Siddiq dan Umar Bin Khattab
3. Sistem Penggajian
Pengeluaran-pengeluaran harta negara wajib dimulai
dengan menyalurkannya menurut urutan mana yang lebih
penting bagi kemaslahatan kaum muslimin. Diantara mereka
yang berhak menerima harta negara atau berhak mendapat
gaji dari pemerintah adalah kaum militer, yakni orang-orang
yang bertugas sebagai penakluk dan berjihad. Mereka itu
adalah yang paling berhak mendapat gaji dari pemerintah.
Orang-orang yang berhak lainnya atas harta negara atau
berhak mendapat gaji adalah orang-orang yang mempunyai
kedudukan pimpinan seperti para pembesar, hakim-hakim
jaksa-jaksa), ulama-ulama, para pegawai yang bertugas untuk
mengumpulkan, memelihara dan membagikan harta benda
negara (gaji-gaji), para pegawai yang lain sampai pada para
Imam shalat, Muadzin dan lain-lain.
Umar membagi gaji pada 4 katagori:
a. Gaji untuk orang yang terdahulu mendapatkan harta
negara.
b. Orang-orang yang menggunakannya untuk manfaat kaum
muslimin, seperti para pemimpin dan alim ulama, yang
menggunakan harta itu untuk kepentingan agama dan
dunia.
c. Orang-orang yang dibebani tugas-tugas yang berat tetapi
mulia, seperti orang-orang yang berjihad di jalan Allah,
87
(prajurit, opsir, dan penasehat-penasehat militer).
d. Orang-orang yang mempunyai kebutuhan yang besar.
(Ibnu Taimiyah, 1989: 73-74)
88
Masa Abu Bakar Al-Siddiq dan Umar Bin Khattab
89
dari harta itu. Karena korupsi itu adalah khianat. Dan tidak
boleh orang mengambil bagian dari harta rampasan itu dengan
jalan kekerasan. Apabila Imam tidak mengumpulkan dan
membagi-bagikan harta Ghanimah, tetapi ia mengijinkan
orang mengambilnya sendiri tanpa cekcok, maka di-
perbolehkan baginya mengambilnya sendiri. Sebaliknya
dilarang bagi siapa saja yang melarang kaum muslimin
mengumpulkan harta rampasan dan memperbolehkan Imam
mengambil harta rampasan perang semaunya.
Pembagian yang adil adalah sebagian untuk pasukan
jalan kaki, dan tiga bagian untuk pasukan yang menunggang
kuda perang (sebagian untuk orangnya dan dua bagian
kudanya)
Pada masa Rasulullah dan Abu Bakar belum ada suatu
Departemen yang khusus mengurus harta-harta yang sudah
menjadi kepunyaan pemerintah dan harta-harta yang dibagi-
bagikan. Tetapi masa khalifah Umar bin Khattab, bertimbun-
timbun harta milik negara dan daerah kekuasaan Islam
bertambah luas, maka pada masa ini dibentuklah departemen
yang mangurus harta benda peperangan dan lainnya.
Didirikan pula instansi-instansi militer yang lebih lengkap
dari yang lainnya.
Di daerah-daerah terdapat pula instansi-instansi urusan
pajak, harta sitaan dan harta milik negara. Nabi Muhammad
selalu mengawasi para kepala daerah dalam mengurus soal
harta sedekah (zakat), fay’ dan lainnya. Pada masa Nabi ada
tiga macam peraturan yang diterapkan mengenai harta:
Pertama, Yang berhak Imam memegangnya (pemerintah).
Kedua, dilarang mengambil harta-harta dengan ijmak, seperti
harta-harta orang yang dijatuhi hukum pidana. Ketiga, Harta
yang dipersengketakan yang memerlukan pemecahan teliti,
90
Masa Abu Bakar Al-Siddiq dan Umar Bin Khattab
5. Sistem Pertanahan
Di Iraq dan di Mesir yang diperintah dengan birokrasi
sentral, pihak Arab sekedar menerapkan sistem administrasi
yang ada pada rezim lama. Di Iraq, khalifah Umar merampas
tanah-tanah yang semula dikuasai oleh penguasa Sasania,
demikian pula sejumlah properti dikalangan bangsawan yang
melarikan diri pada saat kekalahan Kaisar Sasania dan
menjadikannya sebagai sebagian dari kekuasaan khalifah. Di
Mesir, pihak Arab menyederhanakan sistem administrasi
dengan menghapus otonomi kekayaan fiskal dan sejumlah
kota praja sebagai unit administrasi yang mandiri. Di
Khurasan dan beberapa wilayah Iran lainnya, merupakan
satu-satunya yang paling bebas dalam pemerintahan dan
penerapan pajak, di mana mereka benar-benar berkuasa
penuh atas warga setempat.
Dalam setiap wilayah propinsi, pihak Arab mengadopsi
sistem perpajakan yang berlaku sebelumnya. Di Irak mereka
mengadopsi sistem Sasania dalam pengumpulan pajak tanah
(kharaj) dan pajak jiwa (Jizyah) sekaligus. Pertanahan
ditertibkan dan pajak ditetapkan untuk setiap jarib (sekitar
2400 meter persegi). Tarif pajak untuk setiap jarib
bergantung pada kualitas tanah, jenis pertanian dan target
produksi panen dan penaksiran nilai produksi masing-masing.
Keragaman tarif pajak juga bergantung dari jarak pasar,
penyediaan air dan pola irigasi, transportasi dan sebagainya.
Di Syria dan Mesopotamia, pajak tanah berdasarkan
iugum atau luas tanah yang dapat dikerjakan oleh seorang
91
laki-laki dan sebuah kelompok hewan dalam sehari. Di Mesir
juga terdapat pajak tanah.
Dengan ditaklukkanya Bizantium dan Sasania, maka
orang-orang Arab Badui banyak yang berimigrasi ke negara
taklukkan. Komunitas muslim di Madinah telah berusaha
untuk menyalurkan migrasi Badui. Warga Madinah
memutuskan dua kebijakan pokok pada pemerintahan pasca-
penaklukkan. Pertama, kelompok Badui dihindarkan dari
penghancuran masyarakat pertanian. Kedua, elite baru harus
bekerja sama dengan pimpinan atau kalangan bangsawan
warga taklukkan. Untuk mencegah penyerbuan Badui secara
semena-mena dan menghindarkan pengrusakan tanah
pertanian yang produktif serta untuk memisahkan pasukan
dari warga taklukkan, orang-orang Badui ditempatkan pada
perkempungan militer (Amshar).
Amshar tidak hanya berperan sebagai kampung migran.
Badui dan sebagai pengaturan militer, melainkan juga sebagai
pusat distribusi tanah rampasan. Sebagai kelompok penakluk,
bangsa Arab berhak atas gaji atau tunjangan yang dikeluarkan
dari zakat yang dikumpulkan dari petani atau upeti yang
dibayarkan oleh penduduk kota. Pada prinsipnya tidak ada
pasukan atau klan Arab yang diperkenankan atau menguasai
dan memiliki properti tanah. Tanah atau lahan taklukkan (fay’)
dipandang sebagai hak milik permanen bagi komunitas,
sejumlah penghasilan harus diserahkan kepada pihak penakluk
dan bukan tanahnya. Pengaturan seperti ini dimaksudkan untuk
melindungi lahan pertanian dari keterbengkalaian sekaligus
untuk mendistribusikan tanah rampasan tanah secara bijak.
Para pejabat dan Gubernur diberi hak untuk memiliki
sawafi (lahan pertanian yang ditinggalkan oleh warga Sasania).
(Ira M. Lapidus, 1999 : 64-65)
92
Masa Abu Bakar Al-Siddiq dan Umar Bin Khattab
6. Sistem Kependudukan
Di bawah tekanan peperangan, migrasi dan per-
ekonomian yang intensif mengubah asumsi dasar mengenai
imperium yang dibentuk oleh penakluk Arab, bahwa
penduduk arab dan non Arab haruslah dipisahkan, di mana
penduduk Arab berperan sebagi sebuah elite militer sedang
penduduk non arab sebagai produser dan pembayar pajak;
dan menghilangkan sebuah asimilasi mutual antara warga
penakluk dan warga taklukan di atas dasar sebuah komunitas
dan identitas Islam yang baru. Kalangan warga yang menetap
juga menciptakan tekanan bagi asimilasi bangsa Arab dengan
masyarakat sekitar. Di Isfahan, Merw, Nishapur dan Balkan,
tentara Arab mendiami perkampungan dan secara cepat
mereka menjadi tuan-tuan tanah atau sebagai petani.
Diantara 50.000 keluarga yang sebagian besar tinggal di Merw
pada 670 M, hanya 15.000 yang tetap mengabdi dalam
kegiatan militer sampai pada tahun 730 M. Sebagian besar
militer Arab pada saat itu meninggalkan dinas kemiliteran
mereka untuk melibatkan diri mereka dengan pekerjaan
sebagaimana warga setempat. Di Azerbaijan kelompok arab
yang datang dari Basrah dan Kufah menguasai jumlah tanah
dan perkampungan dan menegakkan posisi mereka sebagai
tuan-tuan tanah setempat yang bersifat aristokratis. Di Kiman
kalangan migran Arab menuntut kembali tanah yang telah
mereka lepaskan, mendirikan kampung-kampung dan
sejumlah pemukiman baru dan menjadi warga petani. Di Iraq
pemuka-pemuka Arab dari Basrah dan Kufah menjadi tuan
tanah. Pada beberapa propinsi ini terbentuklah sebuah
kelompok elite Arab pemilik tanah. Orang-orang Arab
tersebut menolak melaksanakan tugas-tugas kemiliteran dan
mereka hidup secara terasing dari warga lainnya dan
93
sekalipun memperkokoh jati diri mereka sendiri dalam
sebuah kasta elite, namum pada kenyataannya mereka telah
menyusup ke dalam berbagai pekerjaan warga setempat.
Ketika sebagian besar warga Persia telah memeluk Islam,
sedikit demi sedikit orang-orang Arab berasimilasi dengan
miliu Persia. orang Arab berbicara menggunakan bahasa
Persia, berbusana layaknya orang Persia, merayakan hari-
hari besar bangsa Persia dan mereka menikahi perempuan-
perempuan Persia.
Lebih jauh, kota-kota tentara merupakan pusat
perubahan sosial. Di luar garis kekerabatan dan garis nasab
warga Arabia, secara sosial masyarakat semakin terbagi
menjadi beberapa tingkatan, pekerjaan yang berbeda-beda
dan secara komunal mengorganisir masyarakat Arab
perkotaan yang telah berasimilasi dengan warga non Arab
untuk menjalani sebuah pola bar u dari komunitas
kosmopolitan. Basrah misalnya, yang didirikan sebagai kamp
perkampungan untuk kelompok migran tentara Badui,
menjadi sebuah pot peleburan berbagai warga. Pada saat
pendirian kota Basrah masing-masing klan besar atau
kelompok kesukuan memiliki daerah masjid, perkuburan dan
tempat-tempat pertemuan sendiri, meskipun demikian secara
terus-menerus, tempat tinggal tenda digantikan oleh gubuk-
gubuk yang terbuat dari alang-alang. Tenda-tenda tersebut
diperkuat dari dinding yang terbuat dari tanah, dan
selanjutnya digantikan oleh bangunan rumah bata yang
terbuat dari tanah liat orang-orang Badui yang kebiasaannya
berpindah tempat, merasa hidup mereka tidak cocok dalam
bangunan bata tersebut.
Sistem militer dan administratif juga menimbulkan
perubahan yang mencolok. Sistem tersebut yang merupakan
94
Masa Abu Bakar Al-Siddiq dan Umar Bin Khattab
95
membanjir menuju kota baru. Penduduk non Arab ini memiliki
keragaman yang sangat ekstrem. (Lapidus, 1999:71-75)
96
Masa Abu Bakar Al-Siddiq dan Umar Bin Khattab
97
98
Bab VI
Masa Utsman Bin Affan
A. Kehidupan Awal
Utsman bin Affan dilahirkan pada tahun 573 M, pada
sebuah keluarga suku Quraisy dari bani Umayyah. Moyangnya
bersatu dengan nasab nabi pada generasi kelima. Sebelum
masuk Islam ia dipanggil dengan sebutan Abu Amar ia
bergelar Dzu al Nurain, karena ia menikahi dua putri
Rasulullah saw. Ayahnya bernama Affan bin Abi al-Ash bin
Umayyah dan ibunya bernama Arwa binti Kuraiz. Abu
Sofyan yang merupakan musuh kejam Islam, sebelum masuk
ke dalam Islam merupakan kerabat dekatnya, ia adalah
sahabat nabi yang pandai membaca dan menulis dan
semenjak kecil dikenal cerdas dan jujur.
Ketika pertama kali Rasulullah menyerukan manusia
masuk Islam, ia saat itu berusia 34 tahun. Pada suatu malam
ia bermimpi, seseorang memanggil dirinya “bangunlah”,
engkau tiduran saja sedang Ahmad sibuk berdakwah. Setelah
99
bangun dari tidurnya, jiwanya tersebut penuh dengan
ketuhanan. Maka ia segera menemui nabi dan menyatakan
masuk Islam. Pamannya yang bernama Hakam ketika
mendengar keislamannya, segera memarahi, bahkan sampai
mencambuknya berkali-kali, tapi Utsman tetap pada
keyakinannya.
100
Masa Utsman Bin Affan
101
perang kapal, karena banyaknya kapal-kapal perang yang
terlibat. Konon terdapat 1000 buah kapal, yang 200 kapal
kepunyaaan kaum muslimin, sedangkan sisanya milik bangsa
Romawi. Tentara Islam berhasil mengusir musuh-musuhnya.
Tentara muslim bergerak dari kota Basrah untuk menaklukan
sisa wilayah kerajaan Sasan di Irak, dan kota Kufah,
gelombang kaum muslimin menyerbu beberapa propinsi di
sekitar laut Kaspia.
Karya besar Utsman, selain sukses dalam perluasan
wilayah kekuasaan Islam hingga terbentang dari Maroko
sampai Kabul dan berhasil membangun armada angkatan
laut yang tangguh adalah mempersembahkan kepada umat
Islam ialah susunan kitab suci al-Qur’an. Penyusunan al-
Qur’an dimaksudkan untuk mengakhiri perbedaan-perbedaan
serius dalam bacaan al-Qur’an, dikisahkan selama pengiriman
ekspedisi militer ke Armenia dan Azerbaijan perselisihan
tentang bacaan al-Qur’an muncul di kalangan tentara muslim,
yang sebagian direkrut dari Suriah dan sebagian lagi dari Irak.
Ketua Dewan penyusunan al-Qur’an ialah Zaid ibn Sabit,
yang mengumpulkan tulisan-tulisan al-Qur’an antara lain dari
Hafsah, salah seorang isteri Nabi saw. Kemudian dewan ini
membuat beberapa salinan naskah al-Qur’an untuk dikirim
ke wilayah-wilayah gubernuran sebagai pedoman yang benar
untuk masa selanjutnya (W. Montgomery, 1991:187).
102
Masa Utsman Bin Affan
103
Prof K. Ali dalam bukunya Studi of Islamic History,
penunjukkan tersebut terjadi pada masa saat pemerintahannya
(pada enam tahun masa pemerintahnnya), dimana ketika ini
kaum muslimin merasa puas terhadap kekhalifahan Utsman
ra dan belum timbul berbagai macam tuduhan terhadapnya.
Dan ketika terbukti bahwa Walid bin Uqbah dalam prilaku
mabuk-mabukan. Ia tidak hanya dipecat oleh khalifah
Utsman tetapi juga dijatuhi hukuman cambuk sesuai dengan
ketentuan syariat Islam. Jadi jika memang benar ke-
bijaksanaan khalifah Utsman bersifat nepotisme (me-
mandang dan mengutamakan keluarga dekat) niscaya ia
bersifat masa bodoh terhadap kasus Walid tersebut.
Kemudian khalifah mengangkat Sa’ad bin ‘Ash sebagai
Gubernur Kufah menggantikan Walid, tetapi ketika
kepemimpinannya tidak membawa kemajuan ia pun lalu
digantikan oleh Abu Musa al-Asy’ary pada tahun 34 H/654
M, sekalipun ia tidak ada hubungan darah dengan khalifah
Utsman. Kegaduhan dan protes terbesar pada saat itu terjadi
ketika Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarah menggantikan
kedudukan gubernur Mesir, ‘Anu ibn ‘Ash, bahwa Abdullah
bin Sa’ad bin Abi Sarah adalah saudara sepupu Utsman,
namun pengangkatannya itu karena jasa dan pengabdiannya
yang besar terhadap Islam. Kemenangannya melawan
Romawi di Afrika Utara juga keberhasilannya mendirikan
angkatan laut yang kuat memajukkan kecakapan dan
kecerdasannya sehingga ia pantas menerima penghargaan
jabatan gubernur.
Beberapa data di atas tersebut, penulis anggap cukup
menjelaskan bahwa seandainya benar apa yang dituduhkan
kepada khalifah Utsman bahwa ia adalah seorang nepotisme,
niscaya ia akan menutup mata dan telinga atas ke-
104
Masa Utsman Bin Affan
105
(Jutawan). Pada masa Nabi, khalifah Utsman menyum-
bangkan hartanya dalam jumlah yang sangat besar. Seluruh
hartanya disumbangkan demi kepentingan dan perjuangan
Islam, sehingga tidak tersisa, kecuali dua ekor unta yang
digunakannya sebagai kendaraan untuk melaksanakan haji.
Berikut ini adalah kutipan perkataan khalifah Utsman,
menjawab tuduhan tersebut sebagaimana diriwiyatkan oleh
Thabari:
“Pada saat pemerintahan dipercayakan kepadaku, aku
adalah pemilik harta yang kaya, sekarang ini saya tidak
memiliki apa-apa kecuali dua ekor unta sebagai kendaraan
haji, sekalipun demikian saya dituduh telah menganak
emaskan kerabat saya, hingga mereka menjadi kaya raya,
sekalipun benar aku mencintai mereka, namun sekalipun
aku tidak pernah membiarkan mereka mengambil hak-
hak orang lain. Aku memungut kewajihan pajak atas
mereka. jika benar aku sangat mencintai mereka, maka
apapun yang aku berikan kepadanya adalah semata-mata
berasal dari harta miliku sendiri. Dalam hal dengan harta
negara (Baitul Mal), prinsip bagiku berpantangan
mengambilnya demi kepentingan diriku maupun untuk
kepentingan keluarga.”
106
Masa Utsman Bin Affan
107
Ketika menjabat khalifah Utsman ra, sering sekali
tidak mendapatkan tunjangan dari baitul mal, sebaliknya ia
mengbabiskan harta kekayaannya untuk kepentingan umum.
Menurut al-Thabari, Khalifah Utsman tidak mengadakan
perubahan sistem pemerintahan yang telah diberlakukan oleh
pendahulunya Umar bin Khatab, ia mempertahankan
kelembagaan Majelis Syura untuk memusyawarahkan setiap
urusan penting seluruh departemen yang ada pada masa
khalifah Umar, masih tetap berlaku sebagaimana adanya.
Hanya saja khalifah Utsman menambahkan departemen
pendapatan negara dengan membangun sejumlah per-
kantoran jalan masjid dan rumah tamu di berbagai wilayah
Islam.
Utsman ra adalah figur pribadi yang saleh kebe-
radaanya ini tidaklah diragukan lagi. Ia termasuk salah satu
dari sepuluh orang yang telah diberikan kabar gembira masuk
surga, oleh Rasulullah saw., sangat berbaik hati dan selalu
bersifat jujur. Rasulullah sendiri sangatlah simpati kepada
kepribadiannya, sehingga ketika isterinya Ruqayah (salah
satu putri Rasulullah) meninggal dunia. Rasulullah
memperkenalkan kepada Utsman ra untuk menikah kepada
putri yang lain, Ummi Kulsum, sungguh khalifah Utsman
adalah orang yang kaya raya, tetapi ia makan dan berpakaian
seadanya dan kecintaan kepada saudara sesama muslim
membuatnya rela berkorban daripada harus mengangkat
senjata berperang melawan sesama muslim. Sang khalifah
telah berkorban jiwa dan raganya demi persaudaraan umat
muslim demi persatuan dan kemajuan Islam. Ia layak
menyandang patriot sejati dan penguasa yang santun.
108
Bab VII
Ali Bin Abi Thalib
A. Kehidupan Awal
Ali adalah putera Abu Thalib bin Abdul Muthalib
kakek Rasulullah saw, ibunya bernama Fatimah binti Asad
bin Hasyim bin Abdi Manaf adalah paman Rasulullah yang
mengasuh nabi semenjak kakeknya meninggal dunia. Ali ra
tergolong keluarga keturunan Hasyimiyah, sama dengan garis
keturunan nabi Muhammad, Ali lahir pada tahun ke 10
sebelum kerasulan Muhammad. Semenjak kecil ia selalu
bersama nabi, sehingga masa kecil Ali tumbuh dalam
pengasuhan dan bimbingan Nabi. Ia merupakan orang
pertama dari golongan remaja yang menyatakan masuk Is-
lam.
Ia adalah pembela agama yang berjiwa patriotik dan
rela mengorbankan jiwa dan raganya demi umuk mene-
gakkan agama Allah. Ia terkenal ahli dalam bidang fiqih dan
sangat terkenal dengan kesucian sikapnya dalam pergaulan
109
dengan masyarakat. Ia tidak segan-segan memberikan
pertolongan kepada siapa saja yang membutahkannya. (Al-
Jahizh dalam Zainal Abidin Ahmad, 1977: 168)
110
Ali Bin Abi Thalib
111
Ustman bin Affan. Tetapi Ali tidak bisa menyelesaikan kasus
tersebut bila masyarakat tidak tentram dan ur usan
pemerintahan belum berjalan lancar dan segala hak rakyat
belum dilakukan.
Khuda Bakhsh (Zainal Abidin Ahmad, 1977: 170)
menyatakan bahwa ada 3 faktor buruk yang semakin
memperburak situasi pemerintahan Ali bin Abi Thalib:
1. Adanya reaksi dari pihak kaum anti Islam atau disebutkan
perang Saudara.
2. Hidupnya kembali semangat Arab Jahiliyah, yaitu keluarga
dan kabilah
3. Tumbuhnya partai-partai politik agama.
Ketiga faktor diatas telah menyebabkan pecahnya
perang dikalangan Islam sendiri. Khalifah sangat kewalahan
dalam menghadapi persoalan ini. Khafifah Ali merasa tidak
aman menetap di Madinah sebagai ibu kota, oleh karena itu
pada tahun 36 H/Januari 657 M (belum cukup setahun ia
memerintah), dia memindahkan Ibu Kota Negara ke Kufah.
(Zainal Abidin Alimad, 1977: 170)
112
Ali Bin Abi Thalib
113
khalifah Ali menuntaskan kasus pembunuhan Utsman juga
menentang kebijaksanaan khalifah Ali, dengan bergabung
dengan A’isyah. Akibatnya kekhalifahan menjadi semakin
rumit dan komplek Thalhah, Zubair dan A’isyah bergerak
dari Mekah menuju Basrah, masa mereka akhirnya dapat
menahan gubernur Basrah. Umar bin Hamid, hingga
klimaksnya negeri tersebut berada di tangan mereka. Melihat
hal ini khalifah Ali menyadari bahwa gerakan pemberontak
dapat mengancam stabilitas pernerintahan Islam yang
dipimpinnya. Untuk menghindari pecahnya perang yang
dapat merusak keamanan dan mempengaruhi kejayan Islam,
Khalifah Ali memutuskan untuk berunding dengan Thalhah,
Zubair dan Aisyah, akan tetapi ditolaknya.
Dengan dasar penolakan tersebut, pasukan khalifah
Ali melancarkan serangan kepada pengikut Aisyah. Thalhah
dan Zubair tewas dalam peperangan dan pasukan A’isyah
dapat ditaklukan. Peperangan ini terkenal dengan nama
perang Jamal (Unta), yang terjadi pada tahum 36 H, karena
Aisyah, janda Nabi saw, menaiki unta dalam pertempuran
tersebut. Dalam pertempuran itu 20.000 kaum muslimin
gugur.
Perang Jamal menjadi sangat penting dalam catatan
sejarah Islam, karena peristiwa itu memperlihatkan sesuatu
yang baru dalam Islam, yaitu untuk pertama kalinya seorang
khalifah turun ke Medan lagi memimpin langsung angkatan
perangnya dan justru bertikai melawan saudara sesama Mus-
lim.
2. Perang Siffin
Pada tahun 656 M, Khalifah Ali memindahkan ibu
kota dari Madinah ke Kufah. Setelah di Kufah, Ali mengirim
114
Ali Bin Abi Thalib
115
masalah, kecuali menegaskan bahwa gubernur yang makar
ini mempunyai kedudukan yang setingkat khalifah, dan
menyebabkan lahirnya golongan khawarij, orang-orang yang
keluar dari barisan pendukung Ali, yang kira-kira berjumlah
12.000 orang.
3. Perang Nahrawan
Khawarij yang bermarkas di Nahrawan, benar-benar
merepotkan khalifah, sehingga memberikan kesempatan
kepada pihak Muawiyah untuk memperkuat dan meluaskan
kekuasaannya sampai mampu merebut Mesir. Akibatnya
sunguh sangat fatal bagi Ali, tentara Ali semakin lemah,
sementara kekuatan Muawiyah bertambah besar. Keber-
hasilan Muawiyah mengambil Mesir, berarti merampas
sumber-sumber kemakmuran dan suplai ekonomi dari pihak
Ali.
Karena kekuatannya telah banyak menurun, terpaksa
khalifah Ali menyetujui perjanjian damai dengan Muawiyah,
yang secara politis berarti khalifah mengakui keabsahan
kepemilikan Muawiyah atas Suriah dan Mesir. Kompromi
tersebut tanpa diduga ternyata mengeraskan amarah kaum
khawarij untuk menghukum orang-orang yang tidak disukai.
Tepat pada 17 Ramadhan 40 H (661 M), khalifah berhasil
ditikam oleh Ibn Muljam, seorang anggota khawarij yang
sangat fanatik. Pada saat itu wilayah Islam sudah meluas
lagi baik ke timur Persia maupun ke barat, Mesir.
116
Bab VIII
Masa Umayyah Timur
117
untuk tujuan perlindungan kebijakan internal. Selanjutnya
ia ber usaha memantapkan pendapatan negara dari
penghasilan pribadi dan lahan pertanian yang diambil alih
dari Bizantium dan Sasania dan dari investasi pembukaan
tanah baru dan irigasi. Muawiyah juga menerapkan aspek-
aspek patriakal khilafah. Kebijakan politik dan kekuatan fi-
nancial yang ditempuhnya berasal dari nilai-nilai tradisi Arab:
Konsiliasi, konsultasi, kedermawanan dan penghormatan
terhadap bentuk-bentuk tradisi kesukuan. Sifat-sifat dan
kemampuan Muawiyah sebagai sebuah pribadi adalah lebih
berarti daripada institusi manapun. Ia sangat terkenal dengan
sifat santunnya, sebuah bakat untuk memperlakukan
pengikutnya sehingga mereka bekerja sama tanpa rasa bahwa
kedudukan mereka sedang diperdaya. Jika khalifah Umar
secara fundamental mer upakan tokoh yang terkenal
kedekatannya dengan Nabi Muhammad SAW dan karena
integritas agamanya, maka Muawiyah merupakan pribadi
yang tidak tertandingi dalam melestarikan tradisi (patriarch)
kesukuan Arab. Pemerintahannya ditandai dengan upaya
sentralisasi kekuasaan negara dan sejumlah seruan khilafah
non Islam, bahkan pemerintahannya didasarkan pada jaringan
kerja (networks) pribadi dan ikatan kekerabatan.
Pada periode akhir dinasti Umayyah, yang mampu
bertahan bukan karena konsensus melainkan karena
kekuatan militer. Khalifah Abdul Malik (685-705), dengan
didukung militer Syria Yaman, berhasil menghancurkan
musuh-musuh Umayyah. Khalifah Abdul Malik dan
penggantinya, al-Walid (705-715) yang sekarang menghadapi
oposisi yang bermisi keagamaan yang sedang mewabah,
yakni oposisi dari kalangan Syi’ah, Kharijiah dan beberapa
aliran kesukuan yang terpicu oleh tekanan pembahan sosial
118
Masa Umayyah Timur
119
Pegawai-pegawai administrasi, pejabat sekretaris raja, para
pengawal dan juru tulis mengerumuni raja sebagaimana
yang dilakukan oleh kalangan tokoh-tokoh Arab se-
belumnya. Pos-pos penting dalam pemerintahan masih
dijabat oleh tokoh Arab, tetapi aktifitas pemerintahan tidak
lagi bergantung kepada dewan-dewan tokoh Arab,
melainkan bergantung pada pejabat-pejabat profesional.
Dari pemerintahan pariarkal, khilafah telah beralih menuju
sebuah pemerintahan kerajaan.
Kebijakan konsolidasi rezim kekhilafahan yang
terpenting adalah melanjutkan gerakan penaklukkan yang
berskala dunia. Serangkaian penaklukkan tahap awal adalah
dilatarbetakangi sejumlah migrasi kesukuan dan pengerahan
kekuatan Aranb yang berpusat pada beberapa perkampungan
militer. Penaklukkan baru tahap berikutnya berlatar belakang
ambisi kerajaan dan melibatkan sejumlah penyerangan
terhadap wilayah-wilayah terpencil yang dilaksanakan oleh
sejumlah kekuatan tambahan non Arab. Maka perang yang
tedadi berikutnya bukanlah perang ekspansi kesukuan,
melainkan perang kerajaan yang berjuang untuk meraih
dominasi dunia. Dalam sejumlah peperangan tersebut
menjadikan negeri-negeri seperti Afrika Utara, Spanyol,
Transoxania dan Sindh menjadi bagian dari wilayah impe-
rium muslim.
Sekalipun administrasi Umayyah bernuansa Islami,
namun inspirasi yang sebenamya berasal dari praktek
Bizantium dan Sasania. Di Syria dan Mesir, seluruh perangkat
administratifnya ter masuk di dalamnya administrasi,
pendapatan negara dan bahkan juga dokumen-dokumen
administrasi berasal dari tradisi Bizantium. Organisasi
kemiliteran Syria, mengikuti kemiliteran Bizantium. Di Iraq
120
Masa Umayyah Timur
121
B. Tali Ikatan Persatuan Masyarakat (Politik dan
Ekonomi)
Di kalangan bangsa Arab, pertempuran sengit antara
kelompok terus berlanjut. Setelah perang sipil kedua,
kelompok kesukuan berkembang semakin jelas dengan
orientasi politik dan ekonomi. Kalangan Yaman mewakili
demi literisasi Arab yang berasimilasi dengan mata
pencaharian sipil dan yang menjadi penghuni perkotaan
dengan kesibukan perdagangan atau menjadi tuan tanah atau
sebagai petani di wilayah perkampungan. Orang-orang Arab
ini menerima asimilisasi antara Arab dan non Arab dalam
kemiliteran dan memberikan akomodasi terhadap kepen-
tingan pemeluk Islam yang baru.
Mereka lebih menginginkan kehidupan damai daripada
terus menerus dalam peperangan ekspansional. Mereka
menghendaki persamaan finansial antara Arab dan pemeluk
Islam yang baru dan mereka menghendaki desentralisasi
kekuasaan khilafah. Mereka lebih menekankan corak Islami
daripada identifikasi corak yang khas Arab. Sebaliknya Qays
mewakili kalangan Arab yang tetap aktif dalam militer dan
menggantungkan pendapatannya pada kegiatan penaklukan,
administrasi kepemerintahan dan pendapatan pajak. Mereka
cenderung kepada sistem sentralisasi kekuasaan politik,
ekspansi militer dan pelestarian privilise Arab.
Dalam periode Abdul Malik sampai Hisyam, khilafah
mempertahankan sebuah keseimbangan yang nyaris kritis
ditengah-tengah persaingan intern tersebut dan peperangan
pun akhirnya berkobar juga pada masa pemerintahan Umar
II (717 – 720). Umar II cukup genius dalam menghadapi
situasi ini secara realistis dan mengajukan solusi yang terbaik.
Umar II menyadari bahwa dominasi sebuah etnis terhadap
122
Masa Umayyah Timur
123
Sementara itu mengenai tuntutan muslim non Arab
(Mawali) terhadap pembebasan pajak jiwa dan pajak tanah
sebagai bentuk persamaan dengan kelompok Arab, khalifah
Umar II menetapkan bahwa pajak bukan sebuah fungsi dari
status individual.
Kelompok Mawali diharapkan membayar pajak tanah
dan demikian pula tuan-tuan tanah Arab harus membayarnya
secara penuh. Jadi, beban pungutan pajak dipersamakan,
bahkan dalam tingkatan yang lebih tinggi yakni pada sebuah
biaya yang dikeluarkan oleh tuan-tuan tanah Arab. Mengenai
pajak jiwa, Umar II menetapkan sebuah prinsip, yang sering
kali tidak diperhatikan bahwasanya pajak tersebut hanya
dipungut pada Mawali saja. Penghuni tetap dari kalangan
Arab dan Mawali dibebaskan dari pungutan pajak ini, namun
pada saat yang bersamaan mereka semua dianjurkan
mengeluarkan sedekah atau apa yang dikenal sebagai zakat
(pajak muslim), yang merupakan bagian dari konvensasi
terhadap berkurangnya pendapatan negara dari sektor pajak
jiwa.
Khalifah-khalifah berikutnya berusaha menerapkan
prinsip ini, namun hanya membawa kemajuan yang sangat
kecil. Selama periode akhir dinasti Umayyah, interes
perdamaian dan keadilan bertentangan dengan interes umuk
mempertahankan status quo dan kebijakan kekhalifahan
berkisar antara konsesi pajak dan pembatalan konsesi
tersebut.
Penyusupan warga non Arab ini menimbulkan reaksi
penting pada masyarakat Arab. Orang-orang Arab berusaha
menyerap kalangan pendatang baru ke dalam struktur klan
lama sebagai klien. Konsep klien ini merupakan warisan
Arabia pra Islam, dimana seorang klien merupakan sekutu
124
Masa Umayyah Timur
125
bidang militer dan administrasi, ketekunan mereka beragama
dan kemahiran dalam berdagang dan berpegang teguh
terhadap bayangan keunggulan bangsa Arab.
Di dalam pusat-pusat perkampungan militer sebuah
elite baru keagamaan melepaskan diri dari otonomi yang
dijalankan khilafah. Berbagai perkampungan tersebut
meleburkan warga Arab dan non Arab menjadi komunitas
bar u yang terdiri dari klas menengah, dari kalangan
pedagang, seniman, guru dan sarjana yang mengabdikan diri
kepada sebuah identitas Islam yang khas. Sebagian dari warga
tersebut adalah keturunan Badui Arab, tetapi setelah satu
abad dari proses pengapungan ini mereka sepenuhnya telah
menjadi masyarakat perkotaan. Sebagian lainnya adalah
warga non Arab, pemeluk Islam baru dan klien bangsa Arab,
yang berbahasa Arab dan mengasimilasikan diri mereka ke
dalam kesukuan, tradisi, keagamaan dan kesukuan elite
penakluk.
D. Sistem Militer
Beberapa khalifah Umayyah masa akhir, sejak Abdul
Malik sampai Hisyam (724 –743) membangun sebuah
pemerintahan kerajaan yang tidak berdasarkan unsur Arab
melainkan berdasarkan kekuatan militer Syiria, peningkatan
kekuatan dan rasionalisasi pejabat-pejabat administratif dan
berdasarkan sebuah ideologi kesetiaan terhadap negara. Jika
kekhalifahan pada awalnya merupakan serial pemerintahan
individual yang sangat bergantung kepada pribadi khalifah
yang saleh atau sifat-sifatnya yang terteladani, maka khilafah
yang baru merupakan sebuah institusi yang terlepas dari
pejabat-pejabat yang individual. Umayyah telah mengalihkan
kekhilafahan menjadi sebuah rezim negara, namun pada saat
126
Masa Umayyah Timur
127
tentara yang tangguh dan pantang mengeluh. Pusat-pusat
militer mengirimkan tentara Syria ke wilayah-wilayah
tersebut bersiaga dalam peperangan dimana ketika itu
pasukan Arab tengah menarik mundur. Pasukan bangsa Turki
mendesak bangsa Arab keluar dari Transoxiana. Khazars,
masyarakat nomadik yang tinggal di Caucasus, mengalahkan
pasukan Arab di Ardabil, menyerbu Armenia dan menguasai
wilayah-wilayah sampai sejauh Mosul pada tahun 730. Pada
tahun 740 kemenangan gemilang Yunani atas serbuan Arab
di Acrazas, Anatolia dan berhasil menghancurkan sebagian
besar militer Syria yang terdiri dari 27.000 laki-laki. Sisa dari
pasukan ini melarikan diri ke Spanyol, di mana kelompok
pasukan kecil ini turut menegakkan kekuasaan dinasti
Umayyah di Spanyol. Sejumlah kekalahan ini mengakhiri face
imperial dari bangunan imperium Arab dan menjadikan militer
Syria dalam keadaan yang parah.
Marwan ibn Muhammad (744-750), yang semula
menjadi gubernur Armenia, menerima, dukungan kalangan
atasan dan mengklaim gelar khalifah, sekalipun demikian,
selain dari kalangan militer yang setia kepadanya, tidak ada
seorang pun yang menerima klaim Marwan sebagai
pemerintah yang sah. Otoritasnya berpengaruh sebatas
kalangan militer.
E. Pembangunan Peradaban
Pada periode Umayyah kultur kerajaan ini mencakup
syair Arab, yang berasaal dari konvensi Arab pra Islam dan
tradisi lisan. Mengenai sejarah bangsa Arab, kehidupan nabi
Muhammad dan asal mula perkembangan Islam, dan laku
perbuatan khalifah-khalifah pertama. Ia juga menggabungkan
kandungan artistik dan kesasteraan Byzantium dan Sasania.
128
Masa Umayyah Timur
129
Mesjid Umayyah di Damascus (Jamiul-Umawwi)
mengekspresikan tema-tema lain. Masjid ini dibangun atas
perintah Khalif Walid I dimulai tahun 88 IV707 M (Joesoef
Sou’yb, 1977: 145) yang dibangun dengan melalui
pengambilalihan sebuah tempat suci pagan dan gereja Kristen
dan penyerapan motif-motif klasik Romawi, Hellenistik dan
motif Kristen menjadi sebuah bangunan baru yang khas
sebagai arsitektur muslim seni mosaik mempertunjukkan
sejumlah bangunan yang sangat megah dan pemandangan
yang dapat mencerminkan panorama surgawi dan sekaligus
mengisyaratkan ketundukan seluruh dunia kepada khalifah
dan agama baru. Bahkan dalam pembangunan masjid
tersebut memperkerjakan seniman-seniman Yunani yang
mana mereka diminta langsung dari kaisar Konstantinopel.
Bagi Yunam hal ini mengisyaratkan keunggulan politik dan
kebudayaan bizantium. Namun pihak muslim memandang-
nya sebagai sebuah pengambilalihan kebudayaan dan
kekuasaan Bizantium, sebuah ketundukan pekerja Yunani
kepada tuan-tuan muslim dan sebagai sebuah pertunjukkan
ambisi, keberhasilan dan pengunggulan imperium Islam
terhadap Bizantium. (Ira M. Lapidus, 1999: 126-131). Masjid
ini mempekerjakan 120.000 ahli bangunan dan ahli marmar.
Pembiayaannya menelan dana 400 peti uang setiap peti uang
berisikan 28.000 dinar mas. Khalid demikian pula dengan
Masjid Madinah yang direnovasi pada masa pemerintahan
Khalif Walid I dalam tahun 88 H.
Pembangunan rumah sakit umum pada setiap kota
pada masa pemerintahan Khalif Walid I. Pembanguan
tempat-tempat sosial yang lain adalah rumah panti jompo,
panti sosial bagi fakir miskin dan yatim piatu, tempat
pemeliharaan orang buta lengkap dengan pelayannya, tempat
130
Masa Umayyah Timur
F. Sistem Fiskal
Abdul Malik dan al-Walid menyusun peralihan pejabat-
pejabat pajak dari orang-orang yang berbahasa Yunani dan
Syria kepada orang-orang yang berbahasa Arab. Catatan-
131
catatan ringkas, penyalinan dan laporan sekarang muncul
dalam bahasa Arab. Perubahan-perubahan ini berlangsung
di Iraq pada 697, di Syria dan Mesir pada 700, setelah
beberapa tahun berlangsung di Khurasan, Selanjutnya
khalifah mengadakan pengorganisasi keuangan di berbagai
daerah. Pada masa khalifah Umar II (717-720), khalifah
mengusulkan sebuah revisi yang penting mengenai aturan
dan beberapa prinsip perpajakan untuk menghilangkan
ketidakseragaman yang lebih besar dan demi persamaan.
Khalifah Hisyam (724 - 743) ber usaha menerapkan
kebijakan Umar II di wilayah Khurasan, Mesir, Mesopotamia.
Administrasi Umayyah juga mulai mengembangkan sebuah
identitas organisasional. Pada dekade pertama imperium
Arab, hal-hal yang berkenaan dengan administrasi di-
selenggarakan oleh orang-orang yang berbahasa Yunani dan
Persia, merupakan warisan dari imperium sebelumnya.
Sekalipun demikian pada sekitar tahun 700, sebuah generasi
baru dari klien-klien Arab yang mencapai kekuasaan
berpengaruh, sekalipun mereka telah dididik menjadi
pegawai dan agar setia kepada khilafah. (Ira M. Lapidus,
1999: 91)
Khalifah juga menunjuk seorang wazir yang bertugas
untuk menyita kekayaan pejabat. Sejumlah harta kekayaan
itu harus dikembalikan ke negara. Dewan khusus yang
menangani penyitaan harta kekayaaan, yaitu Diwan al-
Mushadarat untuk menangani penyitaan tanah dan Diwan
al-Marafiq untuk menangani harta kekayaan hasil suap.
Untuk mengatasi hasil korupsi, pemerintah pusat dipaksa
menyediakan sarana administratif yang baru, untuk
memulihkan kerugian politik dan financial yang disebabkan
oleh sistem birokrasi yang korup. Sebuah metode yang
132
Masa Umayyah Timur
G. Sistem Peradilan
Sistem peradilan diurus oleh para ahli hukum Islam
yang disebut al-Fuqaha sebagian besar mereka tinggal di
kota-kota besar. Oleh karena itu, mereka biasa disebut
fuqahaul- Amshar. Dengan terjalinnya kesatuan wilayah yang
luas dari timur sampai ke barat, maka lalu lintas dagang antar
Tiongkok dan dunia belahan barat, pegunungan Thianshan
melalui jalan sutra makin bertambah lancar. Dengan
dikuasainya pesisir lautan Hindia sampai ke lembah Shind
pada masa Daulat Umayyah, maka pelaut-pelaut Arab dari
abad ke empat masehi, telah memulai kegiatan per-
jalanannya. Oleh sebab itu dalam persoalan perdagangan
memerlukan kepastian hukum atau undang-undang. Bak
mengenai hal-hal yang menyangkut perdagangan harus
diselesaikan secara pasti melalui hukum, begitu pula
133
persoalan yang menyangkut masalah perdata dan pidana serta
persoalan-persoalan lain seperti budak belian, makanan dan
minuman, fiskal, peperangan, tawanan, dan kewarganegaraan
diperlukan pengaturan oleh badan peradilan.
Perumusan metodik dan sistematik tentang ilmu
hukum, mulai disusun pada masa Khulafaur Rasyidin dan
Daulat Umayyah.
Himpunan-himpunan keputusan yang diambil dalam
penyelesaian setiap sengketa dan pendapat-pendapatnya
disebut al-Fatawa. Persamaan keputusan maupun persamaan
pendapat diantara ahli hukum pada suatu kota dengan kota
kota yang lain mengenai obyek hukum disebut al-Ijmak, selain
itu kitab-kitab fiqih, dijadikan sumber dalam setiap
penyelesaian kasus dalam lembaga peradilan. (Joesoef
Soe’yb, 1977:244 249)
134
Masa Umayyah Timur
135
antara bangsa antara bahasa Barat dan Timur, juga
berkembang menjadi bahasa ilmiyah. Disamping penggunaan
bahasa Arab itu, maka penggunaan angka Arab memperoleh
sambutan hangat dalam wilayah sekitar Laut Tengah untuk
penyelesaian setiap persoalan dagang. Sebab angka Romawi
sangat rumit bagi perkalian, penambahan dan pengurangan,
bahkan angka Arab diwariskan sampai sekarang. (Joesoef
Sou’yb, 1977 : 106-108)
136
Masa Umayyah Timur
137
dianggap sebagai warga negara kelas dua. Mukhtar terbunuh
dalam peperangan melawan gerakan oposisi lainnya, gerakan
Abdullah ibn Zubair (Montgomery, 1990:23), Haman
Abdullah juga tidak berhasil menghentikan gerakan Syi’ah.
Abdullah ibn Zubair membina gerakan oposisinya di
Mekah setelah dia menolak sumpah setia terhadap Yazid.
Akan tetapi dia baru menyatakan diri secara terbuka sebagai
khalifah, setelab Husein ibn Ali terbunuh. Tentara Yazid
kemudian mengepung Mekah. Dua pasukan bertemu dan
pertempuran pun tak terhindarkan. Namun peperangan
terhenti karena Yazid wafat dan tentara Bani Umayyah
kembali ke Damascus. Gerakan Abdullah ibn Zubair baru
dapat dihancurkan pada masa kekhalifahan Abd al-Malik.
Tentara Bani Umayyah dipimpin al-Hajjaj berangkat menuju
Thaif, kemudian ke Madinah dan akhirnya meneruskan
perjalanan ke Mekah. Ka’bah diserbu. Keluarga Zubair dan
sahabatnya melarikan diri, sementara ibn Zubair sendiri
dengan gigih melakukan perlawanan sampai akhirnya
terbunuh pada tahun 73 H/692 M (Montogomery, 1990:24).
138
Masa Umayyah Timur
139
gerakan oposisi, baik secara terbuka maupun tersembunyi.
3. Pada masa kekuasaan Bani Umayyah, pertentangan etnis
antar suku Arabia semakin meruncing. Perselisihan ini
mengakibatkan para penguasa Bani Umayyah mendapat
kesulitan untuk menggalang persatuan dank kesatuan.
(Syed Amer Ali, 1981:170). Disamping itu sebagian besar
golongan Mawali, terutama di Irak dan wilayah bagian
timur lainnya merasa tidak puas karena status Mawali
menggambarkan suatu inferioritas, ditambah dengan
keangkuhan bangsa Arab yang diperlihatkan pada masa
Bani Umayyah (Montgomery, 1990:28).
4. Lemahnya pemerintah Daulat Bani Umayyah juga
disebabkan oleh sikap hidup mewah di lingkungan istana,
sehingga anak-anak khalifah tidak sanggup memikul
beban berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi
kekuasaan. Disamping itu golongan agama banyak yang
kecewa, karena perhatian penguasa terhadap per-
kembangan agama sangat kurang.
5. Penyebab langsung tergulingnya kekuasaan Dinasti Bani
Umayyah adalah munculnya kekuatan bar u yang
dipelopori oleh keturunan al-Abbas al-Muthalib. Gerakan
ini mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim dan
golongan Syi’ah dan kaum Mawali yang merasa dikelas-
duakan oleh pemerintahan Bani Umayyah.
140
Bab IX
Islam Di Andalusia
141
orang-orang Islam pada tahun 92 H/711 M, sebutan
Vandalusia diubah menjadi Andalusia atau al-Andalus.
(Philip. K. Hitti, 1970: 498)
Ketika 12.000 pasukan Islam yang dipimpin oleh
Thariq bin Ziyad menyeberang selat yang terletak antara
Maroko dan benua Eropa, kemudian mendarat disuatu
tempat yang kemudian dikenal dengan Gibraltar (Jabal
Thariq), pasukannya berhasil mengalahkan pasukan Raja
Roderick di tepi sungai Rio Barbate pada tanggal 19 Juli
711.
Kesuksesan di Rio Barbate mendorong pasukan
muslim untuk terus bergerak memasuki wilayah kekuasaan
Visighoth lainnya. Mula-mula bergerak ke Toledo dengan
melewati dan menguasai terlebih dahulu kota Malaga, Elvira,
Murcia dan Cordova. Kemudian Thariq terus bergerak ke
Barat Semenanjung Iberia. Thariq mandapat dukungan
penduduk taklukannya untuk menaklukan wilayah-wilayah
lainnya. (Chenj, 1974:8)
Keberhasilan Thariq bin Ziyad tersebut menimbulkan
kecemburuan Musa bin Nushair. Maka dia sendiri bersama
10.000 pasukannya bergerak ke Spanyol. Berturut-turut ia
menguasai Sidonia, Carmona, Seville, Saragosa, Aragon,
Leon, Austria dan Galicia.
Sejak keberhasilan Thariq sampai jatuhnya khalifah
Bani Umayyah di Damaskus pada tahun 749 M (132 H),
Andalusia merupakan propinsi kekhalifahan yang dikepalai
oleh seorang Gubernur yang ditunjuk oleh Khalifah
Damaskus.
Sebelum penaklukkan Islam, Bangsa Ghotik lebih dulu
berhasil menguasai bangsa Spanyol setelah mengusir bangsa
Vandal, penguasa sebelumnya dari masyarakat Spanyol yang
142
Islam Di Andalusia
143
yang pernah hidup subur di Spanyol pada masa pra-Islam
telah terkikis habis. (Mahmudunnasir, 1994: 283) Mereka
yang menerima Islam tidak lagi dipisah-pisahkan dalam
kelas-kelas sosial yang jelas-jelas merugikan rakyat kelas
jelata. Mereka disatukan dalam masyarakat egaliter Is-
lam. Bagi mereka yang mempertahankan agamanya
semula (umumnya Yahudi dan Kristen) menikmati
suasana toleransi beragama yang cukup tinggi dan
jaminan perlindungan dan keamanan. (Irving, 1990: 89)
Al-Dakhil mendambakan suatu Dinasti yang bersatu di
antara orang-orang Kristen, Yahudi dan Islam, serta
sesama Islam dalam berbagai ras dan bangsa. Untuk
maksud ini, ia menyokong adanya perkawinan silang
antara ketiga golongan tersebut, dengan demikian dari
masyarakat heterogen menjadi masyarakat homogen (Ir-
ving, 1990: 92)
2. Faktor ajaran Islam sendiri, yaitu bahwa Islam dikenal
sebagai agama yang toleran, tidak ada pemaksaan dalam
agama. Islam membawa ajaran tentang keadilan dan
kedamaian. Selain itu penaklukan Spanyol di dukung oleh
kondisi pada penguasa, tokoh-tokoh pejuang dan prajurit
Islam yang kompak, bersatu, dan penuh percaya diri.
Mereka terampit dan berani, sebingga sikap mereka
menarik perhatian orang-orang non Islam, dan me-
ngundang umat Islam untuk membebaskan mereka dari
tirani raja-raja Ghotic yang zalim.
144
Islam Di Andalusia
145
Setelah lolos dari kejaran dari Bani Abbasiyah,
Abdurrahman kemudian langsung menuju Mesir dan
akhirnya tahun756 M, berhasil memasuki Spanyol yang
sedang dilanda perselisihan antara kelompok Mudhari yang
berasal dari lembah Euprat dan kelompok Yamani yang
berasal dari keturunan Qahtan. Kedatangan Abdurrahman
segera mendapat sambutan dan dukungan yang luas. Setelah
berhasil memadamkan perlawanan, Amir Yusuf al-Fikri,
penguasa, Spanyol sebagai emirat dari khilafah Abbasiyah,
Abdurrahman menduduki kursinya sebagai Amir dan
menetapkan Cordova sebagai ibu kotanya. Karena ketang-
kasan dan kegigihannya, ia mampu melepaskan dirinya dari
kerajaan Bani Abbas hingga dapat mendirikan Emirat
(Dinasti Umayyah di Spanyol) (Philip K. Hitti, 1970: 501)
dan dapat mempertahankan kekuasaannya sampai tahun
1031 M (Nasution, 1985 :8)
Semenjak menjabat sebagai penguasa Spanyol,
Abdurrahman al-Dakhil menghadapi berbagai gerakan
pemberontakan yang berasal dari serbuan pasukan Papin,
seorang raja Perancis dan putranya bernama Charlamagne.
Namun pasukan pengganggu ini dapat dikalahkan oleh
Abdurrahman. Ia wafat setelah memerintah selama 32 tahun
(756- 788 M). Selanjutnya ia digantikan putranya Hisyam I
(172180 H/ 788- 796 M). Hisyam I mengarahkan
perhatiannya ke wilayah Utara. Ummat Kristen yang tidak
henti-hentinya melancarkan gangguan keamanan di
tindasnya. Kota Norbone ditaklukaannya. Hisyam I adalah
penguasa yang adil dan sangat murah hati kepada rakyat.
Pad masanya berkembang mazhab Maliki.
Setelah meninggalnya Hisyam I, maka berturut-tarut
keamiran dipegang oleh Hakam I (180-207 H/ 796-822 M),
146
Islam Di Andalusia
C. Masa Kekhalifahan
Kekhalifahan di Spanyol dimulai dengan naiknya
Abdurrahman III menggantikan ayahnya pada usia 21 tahun
sebagai khalifah pertama dengan gelar al-Nash Lidinillah
(penegak agama Allah). Pada masa itu terdapat dua khalifah
Sunni di dunia Islam. Khalifah Abbasiyah di Baghdad dan
khalifah Umayyah di Spanyol. Pada 301 H/913 M,
Abdurrahman III mengumpulkan pasukan militer yang sangat
besar. Kemudian tanpa mendapat perlawanan yang berarti,
ia dapat menundukkan kota-kota besar di belahan Utara
Spanyol. Kemudian Seville suku Barbar dan umat Kristen
yang selama ini menjadi perintang tunduk pada Abdurrahman
III.
Abdurrahman merupakan penguasa Umayyah terbesar
di Spanyol. Seluruh gerakan pengacau dan konflik politik dapat
diatasinya sehingga negara dapat diamankan. Keberhasilan
ini diikuti dengan penaklukan kota Elvira, Jain, Seville. Ia
juga berhasil menggagalkan cita-cita Dinasti Fatimiyah untuk
memperluas wilayah kekuasaannya di Spanyol. Abdurrahman
III tidak hanya mengamankan Spanyol dari kehancuran, namun
sekaligus menciptakan kemakmuran dan kemajuan Spanyol.
Setelah Abdurrahman III wafat, berturut-turut yang menjadi
khalifah adalah Hakam II (350-366 H/ 961-976 M) Hisyam
II (976 - 1009 M) dan Sulaiman (1009-1010 M).
147
Pada masa Hisyam II, Bani Umayyah di Spanyol telah
mengalami kemunduran karena kekuasaan aktual berada di
tangan para pejabat. Tahun 981 M, khalifah menunjuk Ibnu
Abi ‘Amir sebagai pemegang kekuasaan secara mutlak karena
usia khalifah pada waktu itu baru 11 tahun. Dia seorang
yang ambisius yang berhasil menancapkan dan melebarkan
kekuasaannya dengan menyingkirkan rekan-rekannya. Maka
atas keberhasilannya ia mendapat gelar al-Manshur Billah.
(Watt, 1990: 217-218)
148
Islam Di Andalusia
149
erat dengan Legends Santiago Matamor, yakni St. James yang
digelari Killer of Moor (pembunuh muslim di Spanyol), yang
tampil sebagai perjuangan pertahanan Kristen dalam
sejumlah pertempuran kecil. Makamnya ditemukan di Galicia
pada akhir abad ke-2/8 dan ia diyakini memberi bantuan
kepada pihak Kristen dalam sejumlah peperangan mereka.
Perkembangan kerajaan Kristen sekitar abad ke 4 H/
11 M bersamaan dengan kemunduran dinasti muslim di
Cordova. Kemunduran ini berlangsung sepeninggal
Abdurrahman III dan al-Mansur Billah dan pemerintahan
Islam dalam keadaan desintegrasi yang mengalami
perpecahan menjadi sejumlah kesultanan kecil yang disebut
Thawa’if. Persaingan di antara mereka bersamaan dengan
ketidakmampuan sejumlah penguasa dalam menciptakan
keadaan stabil, merupakan faktor-faktor pendukung
kehancurannya. Sampai pada saat itu gerakan recinquest
berjalan dalam sejumlah pertumbuhan kecil, dan kemudian,
gerakan ini memasuki fase baru dengan gerakan yang sangat
menonjol, ia mengalahkan Leon dan ia segera memprakasai
kesatuan pertahanan untuk menghadapi pihak muslim yang
berkuasa di Spanyol.
Penaklukan kota Toledo pada tahun 478 H/1085 M,
sebuah kota yang tetap dipertahankan lamaran posisinya yang
strategis dan membuka kesempatan bagi Alfonso untuk
menjalin hubungan dengan Emir. Hal ini menimbulkan
keprihatinan pihak penguasa Thawai’f lainnya akan adanya
ancaman. Untuk itu mereka meminta bantuan ke Afrika
Utara. Sikap semacam, ini menimbulkan ancaman besar
sebab mereka sama halnya mendatangkan kekuatan asing
ke Spanyol. Atas nama khalifah al-Mu’tashim, pejabat
wilayah gubernuran Abbasiyah di Saville berkata: “Saya tidak
150
Islam Di Andalusia
151
pernerintahan muslim adalah Granada yang pada saat itu
bernaung di bawah kedudukan Cadiz sebagai negara
pembayar upeti. Benteng pertahanan muslim setelah
ditundukkan pada pertempuran di Las Navas, sekarang
pertahanan mereka tinggal berada di sekitar lokasi Biara di
Las Huelgas Realis di Bugles.
Dengan terbentuknya kesatuan Spanyol di bawah raja-
raja Katolik, yakni Ferdenand dan Isabella, tibalah saatnya untuk
menyatukan mereka dalam barisan, kemudian terjadilah sebuah
kejutan besar, ketika serangan pasukan Kristen dalam jumlah
yang sangat besar terhadap Granada berhasil dihindarkan. Pada
perkemahan San Fe, Isabella bersumpah bahwasanya ia tidak
akan melepaskan pakaiannya sampai Granada ditaklukkan.
Sebuah sumpah yang menyebabkan kesulitan baginya. Sebab
ternyata Granada tetap bertahan selama dua tahun lebih. Pada
tahun 1492 Granada yang merupakan kerajaan muslim terakhir
di Spanyol menyerah. Pada pertengahan abad ke 16 muslim
Spanyol mengerahkan aksi pemberontakan terakhir yang
berusaha merebut kembali kekuasaan atas Granada, tetapi tidak
berhasil. Pada tahun 1619 warga Moors (muslim Spanyol
keturunan Arab) secara sewenang-wenang dipaksa me-
ninggalkan Islam dan memeluk agama Islam, atau mereka harus
meninggalkan Spanyol. Sejumlah mereka bertahan menjalankan
ajaran Islam secara sembunyi-sembunyi bahkan bisa jadi
berlangsung sampai sekarang. Pada masa sekarang ini sejumlah
group etnis seperti Maragatos-Astorga de Leon merupakan
keturunan kelompok Mooris.
3. Dinasti Murabithun
Murabithun adalah sebuah nama dari dinasti yang
pernah berkuasa di Maghrib (Afrika Utara) yang pada
152
Islam Di Andalusia
153
Spanyol dari ancaman-ancaman raja Kristen. Kedatangan
Murabitun ke sana berdasarkan undangan Amir Cordova,
AlMu’tamid yang terancam kekuasaannya oleh Alfonso VI,
Raja Castile Leon. Dalam menjalankan rencananya tadi ia
mendapat dukungan penuh dari Muluk at-Tawai’f (raja-raja
kecil) Islam yang masih di Spanyol (HA Hafidz Dasuki,
1993:299). Pada tanggal 23 Oktober 1086 Murabitun berhasil
mengalahkan Alfonso VI dengan kekalahan yang sangat
memalukan. Dalam pertempuran yang berlangsung di az-
Zallaqah dekat Badjoz itu Murabitun berhasil menawan sekitar
20.000 orang dan menewaskan sebagian besar tentara Alfonso
VI. Kepala-kepala tentara yang meninggal tadi dijadikan menara
oleh Murabitun ditambah lagi dengan pengapalan sekitar 40.000
kepala menyeberangi selat Jabal Tariq untuk dijadikan tropi
(Philip, K. Hitti, 1970:541) kemenangan mereka. Sejak
kemenangan besar ini Yusuf bin Tasfin menggunakan gelar
Amin al-Muslimin (HA Hafidz, 1933:300) Keberhasilan Yusuf
dan bala tentaranya dalam menaklukkan kembali Spanyol. Tidak
lama setelah itu orang-orang Barbar datang lagi ke Eropa, tapi
kali ini bukan untuk membantu memerangi orang-orang Kristen,
melainkan sebagai penakluk. Pada tahun 1090 mereka
memasuki Granada dan setelah itu Seville. Setelah penaklukan
tadi Yusuf menganeksasi seluruh kekuasaan Muluk at-Tawai’f
dan Mu’tamid Serta mengintegrasikan wilayah-wilayah tadi ke
dalam kekuasaan Murabitun, kecuali Toledo yang ketika itu
berada di tangan orang-orang Kristen dan Sargosa di bawah
kekuasaan Banul Hod (Stanley Lance Poole, 1986:43)
Daulah Murabitun dalam menjalankan pemerintahan
tidak terikat dengan Bani Abbas di Baghdad, tetapi dalam
masalah keagamaan ia masih mengaku kekuasaan spritual
Khalifah Bani Abbas.
154
Islam Di Andalusia
155
mereka dalam titik puncak. Di kalangan umat Islam
(Murabitun) justru sebaliknya. Hal ini terjadi karena motivasi
agama dalam ekspansi belakangan sangat kecil dibandingkan
motivasi penjarahan untuk mendapatkan kekayaan tadi.
Motivasi penjarahan tadi menurut Watt menambah semangat
orang-orang keturunan Visighot untuk merampas Spanyol
dari orang-orang Islam dan melepaskan diri dari pengaruh
hukum-hukum asing (W. Montgomery Watt, 1990:67-69).
Di samping itu Murabitun juga menghadapi tantangan dari
orang Islam yang tidak setuju dengan penerapan hukum Fiqih
secara kaku, karena menurut mereka hal itu membawa
kebekuan. Dalam r mgka menghadapi tantangan ini
Murabitun membakar semua buku-buku al-Ghazali baik yang
di Magrib maupun yang di Sapnyol, karena bagi mereka
bertentangan dengan fiqih Maliki yang mereka anut. Akibat
hal-hal di atas Murabitun lambat laun mengalami des-
integrasi politik, salah satunya adalah pergolakan yang
dipelopori oleh suku Masmuda di bawah pimpinan
Muhammad bin Tumart, gerakannya dinamakan Mu-
wahhidun. Gerakan ini akhirnya dapat menaklukkan
Murabitun. Pada tahun 571 H/1146-1147 M Jenderal Abdul
Mukmin, panglima Muwahhidun berhasil menyapu bersih
seluruh kekuasaan Murabitun di Afrika yang ditandai dengan
pembunuhan Ishak bin Ali, penguasa terakhir Murabitun.
Dengan demikian berakhirlah masa kekuasaan Murabitun
dari muka bumi.
4. Dinasti Muwahhidun
Muwahhidun yaitu orang-orang yang menganut paham
Tauhid (Unitarian). Istilah ini dipakai sebagai sebutan bagi
pengikut Abu Abd. Allah Muhammad Ibn Tumart (1058-
156
Islam Di Andalusia
157
pulau-pulau di Taman Atlantik dan Andalus berada di bawah
kekuasaan Muwahhidun (Lane Pool, 1986:46). Ini
merupakan prestasi besar dimana baru pertama kali dalam
sejarah Islam, wilayah kekuasaan membentang dari pulau-
pulau di Atlantik sampai ke perbatasan Mesir dan Andalus,
berada di bawah satu kekuasaan (Hitti, 1970:540).
Abd. al-Mukmin wafat tahun 1163 dan digantikan oleh
putranya bernama Abu Ya’kub Yusuf ibn Abd al-Mukmin
yang berkuasa sampai tahun 1184. Ia melanjutkan siasat
ayahnya. la berhasil mematahkan pemberontakan Marzadh,
memerangi orang-orang Kristen di Andalus dan menguasai
Toledo tahun 1170. Yusuf mempunyai pasukan dari bangsa
Arab, Afrika, Masmudah, Charnuah, Sonhaja dan Aurrabah
mendarat di Marsa (Jabal Tarik) dan menguasai Syantarin,
kemudian menyerbu ke kota Lisabon tapi gagal karena
dipukul mundur tentara Kristen. (Depag/Ensiklopedi Islam
11, 1987:653).
Pengganti Abu Ya’kub adalah Abu Yusuf Ya’kub al-
Mansur (1184 –1199). Ketika orang-orang Kristen menekan
orang-orang Islam di Andalus, untuk menghadapinya al-
Mansur datang ke Syantarin dan berjalan ke Lisabon dan
sekitarnya dan kemudian kembali ke Maroko setetelah
menawan 13.000 orang Kristen (Ensiklopedi Islam It,
1987:683) Pada bulan Juli 1195, al-Mansur berhasil
mematahkan kekuatan Alfonso VII, setelah berhasil
menguasai benteng Alarcos (Watt, 1992:107). Dari masa Ibnu
Tumart sampai dengan pemerintahan al-Mansur merupakan
masa-masa kegemilangan Daulah Muwahhidun. Upaya
perluasan wilayah yang mereka lakukan berhasil dengan baik.
Akhirnya mereka menguasai kekuasaan yang luas. Pe-
ninggalan dinasti Muwahhidun dimasa jayanya adalah
158
Islam Di Andalusia
159
kotannya Tlecem tahun 1235 (Lane Pool. 1986:49-51).
Akhirnya Daulah Bani Marie dari bangsa Barbar dari suku
Zanatah menghabiai mereka dan merebut kota Marakesh
tahun 1269 (Hitti, 1970:549).
5. Bani Ahmar
Bani Ahmar berkuasa di Granada tahun 1232 – 1492.
Peradaban kembali mengalami kemajuan seperti dizaman
Abdurrahaman al-Natsir, akan tetapi secara politik dinasti
ini hanya berkuasa di wilayah yang kecil. Kekuasaan Islam
yang merupakan pertahan terakhir di Spanyol berakhir karena
perselisihan orang-orang Islam dalam memperebutkan
kekuasan. Abu Abdullah Muhammad merasa tidak senang
kepada ayahnya karena menunjuk anaknya yang lain sebagai
penggantinya menjadi raja. Dia memberontak dan berusaha
merampas kekuasaan. Dalam pemberontakan itu, ayahnya
terbunuh dan digantikan oleh Muhammad ibn Sa’ad. Abu
Abdullah kemudian meminta bantuan kepada Ferdenand dan
Isabella untuk menjauhkannya. Dua penguasa Kristen ini
dapat mengalahkan penguasa yang sah. Dan Abu Abdullah
naik tahta (Ahmad Syalabi, 1979:76).
Ferdenand dan Isabella yang mempersatukan dua
kerajaan besar Kristen melalui perkawinan itu tidak merasa
puas. Keduanya ingin merebut kekuasan terakhir umat Is-
lam di Spanyol, Abu Abdullah tidak kuasa menahan
seranganserangan orang Kristen tersebut dan pada akhirnya
mengaku kalah. Ia menyerahkan kekuasaan kepada
Ferdenand dan Isabella, kemudian hijrah ke Afrika Utara.
Deegan demikian beralchirlah kekuasaan Islam di Spanyol
tahun 1492 M. Umat Islam setelah itu dihadapkan kepada
dua pilihan, masuk Kristen atau meninggalkan Spanyol.
160
Islam Di Andalusia
6. Perkembangan Peradaban
Pada masa Abdurrahman al-Dakhil, perekonomian rakyat
ditingkatkan dengan memperkenalkan siatem irigasi yang ditata
secam modern sehingga membawa hasil yang melimpah ruah.
Orang-orang Arab memperkenalkan pengaturan hidrolik untuk
tujuan irigasi. Kalau dam digunakan untuk mengecek curah air,
waduk (kota m) dibuat untuk konservasi (penyimpanan air).
Pengaturan hidrolik itu dibangun dengan memperkenalkan roda
air (water wheel) asal Persia yang dinamakan Na’urah. Di samping
itu orang-orang Islam memperkenalkan pertanian dan tanam-
tanaman baru seperti Citroen, kapas, tebu dan padi, perkebunan
jeruk, disamping tanaman lokal yang sudah ada (Lewia,
1990:130). Industri dan perdagangan terus dipacu. Tekstil,
keramik kayu, kulit, logam, tembikar dan pertambangan emas,
perak, dibangun pabriknya dimana-mana. Ekspor barang-barang
dagangan merambah di wilayah laut tengah. (Lewia, 1994:131).
Pembangunan-pembangunan fisik yang sangat
menonjol adalah pembangunan gedung-gedung seperti
pembangunan kota, istana, masjid, pemukiman dan taman-
taman. Di antara pembangunan yang megah adalah masjid
Cordova, kota al-Zahra, Istana Ja’fariyah di Saragosa,
tembok Toledo, Istana al-Makmun, masjid Seville, istana al-
Hamra di Granada.
a. Cordova
Cordova adalah ibukota Spanyol sebelum Islam yang
kemudian diambil alih oleh Bani Umayyah, penguasa muslim
membangun dan memperindah kota.
161
Taman-taman dibangun untuk menghiasi ibu kota
Spanyol. Pohon-pohon dan bunga-bunga diimport dari Timur.
Di seputar ibu kota berdiri istana-istana yang megah. Setiap
istana, dan taman diberi nama tersendiri dan di puncaknya
terpancang istana Damsyik.
Di antara kebanggaan kota Cordova lainnya adalah
masjid Cordova. Menurut Ibn al-Dala’i, terdapat 491 masjid
di sana. Di samping itu, ciri khusus kota-kota Islam adalah
adanya tempat-tempat pemandian di Cordova saja terdapat
sekitar 900 pemandian, di sekitarnya berdiri perkampungan-
perkampungan yang indah. Karena air sungai tidak dapat
diminum, penguasa muslim mendirikan saluran air dari
pegunungan yang panjangnya 80 km.
b. Granada
Granada adalah tempat pertahanan terakhir umat Is-
lam di Spanyol. Di sana berkumpul sisa-sisa kekuatan Arab
dan pemikir Islam. Posisi Cordova diambil alih oleh Granada
dimasa-masa akhir kekuasaan Islam di Spanyol. Ar-
sitekturarsitektur bangunannya terkenal di seluruh Eropa.
Istana al-Hamra yang indah dan megah adalah pusat dan
puncak ketinggian arsitektur Spanyol Islam. Istana itu
dikelilingi taman-taman yang tidak kalah indahnya.
Kisah tentang kemajuan pembangunan fisik ini masih
biaa diperpanjang dengan kota dan istana al-Zahra, istana
al-Gazar, menara Girilda dan lain-lain.
Prestasi yang dicapai umat Islam Spanyol pada masa
pemerintahan al-Dakhil merupakan masa yang penting bagi
kemajuan pada era berikutnya. Kemajuan itu bagaikan
sepotong surga di benua Eropa yang memungkinkan Islam
membangun peradaban yang mengagumkan dan mengundang
daya tarik negaranegara sekitarnya. Dengan stabilitas politik,
162
Islam Di Andalusia
7. Perkembangan Intelektual
Spanyol Islam tampil sebagai mercusuar di saat alam
pikiran di belahan bumi Eropa yang lain sedang dilanda krisis
kreatifitas, diliputi tahayul dan taklid karena Eropa tengah
berada pada masa kegelapannya. Melihat realitas ini kaum
muda Kristen yang haus akan ilmu pengetahuan datang dan
belajar; dengan antusias mereka menimba ilmu pengetahuan
datang dan belajar; dengan antusias mereka menimba ilmu
pengetahuan dari orang-orang Islam melalui institusi-
institusi pendidikan dan ilmu pengetahuan yang formal
maupun non formal yang jumlahnya besar dan tersebar luas
di kota-kota Spanyol seperti Cordova, Toledo, Seville,
Malaga, Granada dan Salamanca. Faktor cepatnya
perkembangan ini adalah dihargainya kebebasan berfikir dan
kaedah-kaedah ilmiah. Keadaan ini berlangsung beberapa
abad lamanya.
Banyak lahir para ilmuwan di berbagai bidang ilmu baik
dari bangsa Arab, maupun non Arab. Peradaban Islam di
Spanyol telah memberikan kontribusi terbadap kebangkitan
kembali kebudayaan Yunani klasik pada Abad ke14 Masehi.
Orang-orang Kristen banyak berdatangan ke Spanyol baik
untuk belajar maupun menterjemahkan buku Arab ke dalam
bahasa Latin. Bagian terbesar dari pustaka Greek kuno, yang
pertama kali dikenal orang Barat adalah terjemahan-
163
terjemahan yang ditemukan di Spanyol (Lewis: 1994:134).
Seiring dengan tuntutan pembangunan di Spanyol
maka kebutuhan akan ilmu pengetahuan semakin membesar,
oleh karena itu khalifah Hakam II mendatangkan para ahli
dari Timur, sehingga memperlancar proses transfer ilmu dan
memperluas penyebarannya di sana.
Sejarah mencatat bahwa Abdurrahman III, mem-
bangun perpustakaan yang memiliki koleksi buku mencapai
600.000 jilid, suatu jumlah yang fantastis dikala itu. Pada
masa keemasan Islam, tercatat tidak kurang dari 70
perpustakaan yang tersebar di seluruh penjuru negeri, maka
Spanyol menjelma menjadi pusat pengetahuan, baik pada
masa Bani Umayyah dan pada masa sesudahnya. Kemajauan-
kemajuan ilmu dan kebudayaan yang pernah terjadi di Spanyol
Islam.
a. Kemajuan Ilmu Agama
Kemajuan ilmu Agama di Spanyol berawal dari
kepindahan beberapa orang sahabat dan tabi’in bersama Musa
bin Syair, ketika memerangi dan menaklukan Spanyol, di
antaranya adalah al-Munzir, Musa bin Syair, Ali bin Rabah
dan Hanasy bin Abdullah al-Shan’ani. Mereka adalah para
tentara disamping seorang alim yang memiliki pengetahuan
keagamaan yang mendalam. Dari mereka inilah tumbuh dan
berkembangnya cabang ilmu agama setelah karyakaryanya
diterjemahkan ke dalam bahasa Barbar. (Amin, 1953:48)
Puncak kemajuan dan kejayaan Islam di Spanyol
ditandai dengan munculnya ulama-ulama kenamaan yang
masing-masing membidangi berbagai disiplin ilmu agama.
Di antaranya ahli Hadits dan Fiqih seperti Ibn Hazm (Wafat
456 H), Abdullah bin Yasin (453) dan pada abad ke-6 H,
Muhammad bin Tumart, Ya’kub al-Mansur (595 H), Abu
164
Islam Di Andalusia
Umar Yusuf bin Abubarr (463 H), Abu al-Walid ibn Rusyd,
Ibn Ashim dan Ali al-Husain ibn Ahmad al-Ghassani (498
H) (Ibrahim, 1968:449).
Di zaman Abdurrahman I, ilmu Fiqih berkembang
apalagi setelah masa al-Auza’i dikenal sebagai ulama Fiqh,
namanya terkena) di propinsi-propinsi Spanyol. Dalam
bidang Fiqih, Spanyol Islam dikenal sebagai penganut
Mazhab Maliki, yang diperkenalkan oleh Ziyad ibn Abd. al-
Rahman. Di antara murid Imam Malik yang terkenal adalah
Abdul Malik ibn Habib al-Sulami, Yahya ibn Yahya al-Laisy
dan Isa ibn Binar. Yahya ibn Yahya dikenal sebagai ulama
Fiqih dia juga menjabat Qadhi al-Qudhat. Selanjutnya Faqih
lainnya Ibn Rusyd dengan karyanya Bidayatul Mujtahid.
(Amin, 1953:52)
Di bidang ilmu Kalam dikenal nama Ibn Hazm, ia
banyak mengoreksi dan menyanggah aliran-aliran Islam.
Philip Kristen Hitti menyebutnya sebagai ulama besar yang
berfikir orisinil di Spanyol (Hitti, 1970:558)
Ilmu Agama lain yang turut mewarnai kejayaan
peradaban di masa itu yaitu Tasawuf diantara tokoh yang
terkenal Ibn Massarah, seorang keturunan Cordova yang
berfaham Mu’tazilah. Ia mewariskan ilmu-ilmu kepada
muridmuridnya seperti al-Hasyimi, Abu Bakar, dan Muhi
al-Din ibn al-Araby. Nama yang terakhir ini dikenal sebagai
sufi besar dengan konsep tasawufnya wahdatul wujud (Amin,
1953:70).
b. Kemajuan Ilmu Bahasa
Tokoh-tokoh yang terkenal dalam ilmu bahasa Ibn
Hasan al-Zubaydi, murid al-Qilli yang dilanjutkan oleh
Suyuti dalam kitabnya Munzhir. Di antara ilmu bahasa yang
terkenal Abu Ali al-Qilli, Abdurrahman al-Mashir, Al-Hakam
165
al-Mustansir dengan karya al-Kamil al-Lughah dan al-Amalfi
dan Yahya ibn Daud seorang ahli Tata Bahasa yang beragama
Yahudi (Hitti, 1970:558).
Bahasa Arab telah menjadi bahasa Administrasi dalam
pemerintahan Arab di Spanyol, hal itu dapat diterima oleh
orang Islam dan non Islam. Orang Spanyol sendiri banyak
yang ahli dan mahir dalam bahasa Arab, seiring dengan
kemajuan bahasa karya-karya sastra banyak bermunculan
seperti al-’Iqd al-Farid karya Ibn Abd Rabbih, al-Dzakhiroh
fi Mahasin ahl al-Jaziroh oleh Ibn Bassam, kitab al Qalaid
karya al-Fath ibn Khaqan.
c. Kemajuan filsafat dan Sains
Islam di Spanyol telah mencatat satu lembaran budaya
yang sangat briyan dalam bentangan sejarah Islam. Minat
terhadap filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani mulai
dikembangkan pada abad ke 9 M selama pemerintahan Bani
Umayyah ke lima, yaitu Muhammad ibn Abd al-Rahman
(832-886 M) (Madjid Fakhri, 1986:357)
Atas inisiatif al-Hakam (961-976 M), karya-karya
ilmiah dam filosofis diimport dari Timur dalam jumlah besar
sehingga Cordova dengan perpustakaan dan Universitasnya
mampu menyaingi Baghdad sebagai pusat utama ilmu
pengetahuan di dunia Islam.
Kemajuan di bidang Horn filsafat ditandai dengan
lahirnya tokoh-tokoh terkenal Ibn Bajjah, Ibn Tufail dan Ibn
Rusyd. Ibnu Bajjah dilahirkan di Saragosa tahun 1136 M,
karya yang terkenal adalah The Rule of The Solitary, dia
juga terkenal di bidang ahli Matematika, Astronomi dan
Musik.
Ibnu Tufait di Barat dengan nama Abu Bacer, ia lahir
di Granada, terkenal di bidang kedokteran di samping bidang
166
Islam Di Andalusia
167
(1304, 1377 M) mencapai Samudera Pasai dan Cina. Ibnu
al-Khotib (1317-1374 M) menyusun riwayat Granada,
sedangkan Ibnu Khaldun dari Tunis adalah perumus filsafat
sejarah. Semua sejarawan di atas bertempat tingal di Spanyol
yang kemudian pindah ke Afrika (Bertold Spuller, 1960:112).
d. Kemajuan Seni dan Musik
Dalam bidang musik dan seni suara Spanyol Islam
mencapai kecermelangan dengan tokohnya Al-Hasan Ibn
Nafi yang dijuluki Zaryab. la terkenal sebagai pengubah lagu.
(Ahmad Syalabi, 1979:88)
168
Islam Di Andalusia
169
dan 1557 M. Karya-karyanyajuga diterbitkan pada abad ke-
16 di Napoli, Bologna, Lyonms dan Strasbourg, dan diawal
ke 17 M di Jenewa.
Pengaruh peradaban Islam, termasuk didalamnya
pemikiran Ibnu Rusyd, ke Eropa berawal dari banyaknya
pemuda-pemuda Kristen Eropa yang belajar ke universitas-
universitas Islam di Spanyol seperti Universitas Cordova,
Seville, Malaga, Granada dan Salamanca. Selama belajar di
Spanyol mereka aktif menterjemahkan buku-buku karya
ilmuwan-ilmuwan muslim, pusat penerjemahan itu adalah
Toledgo. Setelah pulang ke negerinya mereka mendirikan
sekota h dan universitas yang sama. Universitas Eropa yang
pertama adalah universitas Paria yang didirikan pada tahun
1231 M 30 tahun setelah wafatnya Ibn Rusyd. Diakhir zaman
pertengahan Eropa baru berdiri 18 buah universitas. Di dalam
universitas-universitas itu, ilmu yang mereka peroleh dari
universitas-universitas Islam diajarkan, seperti ilmu
kedokteran, ilmu pasti, dan filsafat. Pemikiran filsafat yang
banyak dipelajari adalah pemikiran al-Farabi, Ibnu Sina dan
Ibnu Rusyd (Zainal Abidin Ahmad , 1975: 148-149).
Pengaruh ilmu pengetahuan Islam atas Eropa yang
sudah berlangsung sejak abad ke-12 M itu menimbulkan
gerakan kebangkitan kembali (Renaisance) pusaka Yunani
di Eropa abad ke-14 M. Berkembangnya pemikiran Yunani
di Eropa kali ini, adalah melalui terjemahan-terjemahan Arab
yang dipelajari dan kemudian diterjemahkan kembali ke
dalam bahasa latin. (Bertens, 1963: 63-82)
Walaupun Islam akhirnya diusir dari negara Spanyol
dengan cara yang sangat kejam, tetapi ia telah membidani
gerakan-gerakan penting di Eropa. Gerakan-gerakan itu
adalah kebangkitan kembali kebudayaan Yunani klasik
170
Islam Di Andalusia
171
172
Bab X
Dinasti Abbasiyah
173
facto maupun de jure terbentuklah dinasti Bani Abbas. Dalam
pidato pelantikannya Abu al-Abbas menyebut dirinya “al-
Saffah”. Kata ini kemudian populer sebagai gelar atau sebutan
bagi dirinya. Lalu apa arti kata al-saffah itu ?
Philip K. Hitti ( 1970) mengartikan kata al-saffah
sebagai the bloodshedder (penumpah darah). Menurut K. Hitti
kata itu telah menjadi julukan sekaligus ejekan bagi Abu al-
Abbas. Sebagian penulis mengartikan sebagai “al-Katsir al-
`athaya” (orang-orang yang dermawan). Pendapat pertama
lebih melihat kepada pembantaian dan kekejaman yang
dilakukan Abu al-Abbas terhadap lawan-lawan politiknya
meskipun ia tidak sendirian dalam kasus ini. Sementara
pendapat kedua lebih menitikberatkan kepada kebaikan dan
kedermawanan Abu al-Abbas terhadap masa pendukungnya.
Dengan demikian pendapat ini dapat dibenarkan dengan
alasan yang berbeda.
Selanjutnya Abu al-Abbas memusatkan perhatiannya
untuk menghancurkan sisa-sisa kekuatan Bani Umayyah.
dalam kaitan ini ia menunjuk Abdullah ibn Ali untuk
menghadapi pasukan Marwan ibn Muhammad. Kedua
pasukan bertemu di Zab dan pertempuran terjadi dengan
kemenangan di pihak Abdullah. Marwan melarikan diri,
tetapi kemudian dapat ditangkap dan dibunuh, setelah
dikejar-kejar dari satu tempat ke tampat lain ( (Ibn al-Atsir,
1965, h. 425).
Abdullah ibn Ali juga melakukan pembataian dan
pembunuhan secara besar-besaran terhadap kaum Amawiyah
di Syria. Ia bahkan menyuruh membongkar kuburan
khalifah-khalifah Bani Umayyah, seperti kuburan Mu’awiyah
ibn Sufyan, Yazid ibn Mu’awiyah, Abdul Malik ibn Marwan
dan kuburan Hisyam ibn Abd al-Malik. Dalam pembokaran
174
Dinasti Abbasiyah
175
agar menyerahkan Abdullah kepadanya dengan janji akan
diberi jaminan. Sulaiman menyerahkan Abdullah dan
membunuhnya pada tahun 143 H (Al-Thabari, 1979. h.134).
Setelah pemberontakan Abdullah dapat dihancurkan,
kini terpikir oleh Mansur untuk membunuh Abu Muslim.
Mansur sadar bahwa ia tidak akan dapat menghancurkan
Abu Muslim dengan kekuatan, karena itu, ia menggunakan
tipu muslihat, ia meminta Abu Muslim datang ke istana dan
kemudian membunuhnya dengan cara yang kejam dan licik
(Hamka, tt, h. 135). Mansur kelihatan sangat khawatir
terhadap kekuatan Abu Muslim dan pengaruhnya semakain
meluas. Sentimen pribadi dan dendam Mansur kepada Abu
Muslim yang sudah lama terpendam, tentu menjadi salah
satu faktor membunuh Abu Muslim.
Kematian Abu Muslim menimbulkan dampak
psikologis yang kurang baik bagi orang-orang Khurasan
dan membuka peluang bagi timbulnya pemberontakan-
pemberontakan seperti pemberontakan kaum Rawadiah
dan pemberontkan Sanbadz yang menuntut balas atas
kematian Abu Muslim. Namun Mansur dapat mengatasi
semua pemberontakan itu. Dengan terbunuhnya Abdullah
ibn Ali dan kemudian Abu Muslim, bar ulah Mansur
merasa dirinya sebagai penguasa Dinasti Bani Abbas yang
sebenarnya.
Untuk lebih menjamin kekuasaan dan keamanan
dirinya. Mansur mengembangkan kota Bagdad di dekat bekas
ibu kota Persia pada tahun 742 M (Harun Nasution, h.270).
Pembangunan kota Bagdad yang diberi nama “Kota
Kedalaman” (Madinat al-Salam) menelan biaya sebesar
4.883.000 Dirham dengan 100.000 arsitek dan ahli bangunan
dari Syiria, Mesopotamia dan daerah-daerah lainnya (Philip
176
Dinasti Abbasiyah
177
B. Kedudukan Khalifah
Pada masa al-Mansur pengertian khalifah kembali
berubah. Dia berkata, “Inama ana salihin Allah fil ardhih”
(Sesungguhnya saya adalah kekuasaan Tuhan di bumi-Nya).
Dengan demikian konsep khalifah dalam pandangannya dan
berlanjut ke generasi selanjutnya merupakan mandat dari
Allah, bukan dari manusia, bukan pula sekedar petunjuk
nabi, sebagaimana pada masa al- Khilafa’ al-Rasyaddin.
Disamping itu, berbeda Daulat Umayah. Khalifah-khalifah
Abasiyah memakai gelar tahta, seperti al-Mansur adalah gelar
tahta Abu Jafar, gelar tahta itu lebih populer dari pada nama
sebenarnya. (Carl Brockedmann, 1982, h. 3)
Kekuasaan Abbasiyah yang berpusat di Bagdad,
semakin lama semakin pudar, Kemasyhuran Abbasiyah
sebenarnya telah mulai memudar pada masa al-Watiq
menjadi khalifah (223-226 H/842-849 M). Mutawakil
kemudian menggantikan al-Watiq. Dan setelah Mutawakil
masih ada lagi 27 Khalifah Abbasiyah yang memegang
tampuk pemerintahan secara berturut-turut. Tetapi tak
seorang pun dari khalifah-khalifah tersebut yang cakap.
Khalifah-khalifah itu makin lama makin hilang ke-
kuasaannya. Akhirnya kehadiran mereka hanya seperti
bayangan di pusat. Khalifah boleh dikatakan tinggal nama
saja. Setelah Bani Abbas melemah dan khalifah-khalifah
menjadi boneka di tangan tentara pengawal, maka daerah-
daerah yang jauh letaknya dari pusat pemerintahan di
Damaskus dan Baghdad melepaskan diri dari kekuasaan
khalifah di pusat dan timbullah dinasti-dinasti Kecil. Daerah-
daerah atau propinsi-propinsi , satu demi satu, terutama bila
bertambah jauh dari pusat, kekhalifahan , telah berdiri
sendiri-sendiri. Dinasti-dinasti kecil tersebut selalu berupaya
178
Dinasti Abbasiyah
1. Dinasti Buwaihi
Pembentukan dinasti Buwaihi dipelopori oleh tiga
bersaudara, yaitu Ahmad, Ali dan Hasan. Bapak dari ketiga
pelopor tersebut adalah Abu Suja’ Buwaihi, dia adalah
seorang nelayan di Dailan, hidupnya dalam keadaan miskin
dan sangat prihatin. istrunya meninggal dunia, kemudian atas
kebaikan hati seorang sahabatnya yaitu Syahriar Ibn Mustam
al-Dailami memberi bantuan dan sekaligus mendidik ketiga
anak itu. (Ibn al-Atsir, 1965: 265)
Melihat dari segi keturunannya Abu Saja’ Buwaihi ini
berasal dari keturunan penguasa Sasania (Persi) lama. Ia
sendiri pemimpin kelompok yang suka berperang, yang
umumnya terdiri dari orang-orang dataran tinggi Dailan di
pegunungan pantai selatan laut Kaspia. Dia mengabdi pada
kerajaan Samania (Philip K. Hitti, 1975: 470)
Abu Suja’ Buwaihi mempunyai reputasi yang cukup
tinggi di lingkungannya, ketika anaknya yang miskin
mendapat pelajaran militer di bawah asuhan Makan ibn Kali.
179
Dalam bidang militer ini karir mereka semakin
menanjak terutama Ali dan Hasan (Hasan Ibrahim Hasan,
1979:482). Ketika kedudukan mereka bertambah kuat,
mereka melepaskan diri dari Makan Ibn Kali dan meng-
gabungkan diri dengan Mardawij ibn Zayyar al-Dailamy
(Muhami-nad Musfir al-Zahrani, 1980:42). Mardawij
menghormati mereka dan kemudian mengangkat Ali ibn
Buwaihi menjadi gubernur al-Haraj kota Persia yang terletak
antara Ashbahan dan Hamdzan. Sedangkan Hasan dan
Ahmad diberikan jabatan penting lainnya (Muhammad Musfir
al-Zahrani, 1980:42).
Dengan kelebihan bidang kemiliteran, administrasi dan
kesupelannya dalam pergaulan dengan pengikut-pengikutnya
Ali ibn Buwaihi semakin kuat kedudukannya, dalam
mempersiapkan bala tentara yang tidak tergoyahkan,
sehingga sebagian besar daerah-daerah Persia dapat
ditundukkan di bawah kekuasaannya dan kota Syiraz
dijaclikan pusat pemerintahan.
Ketika Mardawij wafat, kekuasaan Bani Buwaihi,
meliputi seluruh Persia, Ray, Ashbahan dan daerah-daerah
lainnya. (Ibn Atsir, 1965:323)
Selanjutnya untuk memperoleh legitimasi Syar’iyyah, Ali
ibn Buwaihi menulis surat kepada Khalifah Abbasiyah, al-Ra-
dii ibn Allah (993 –940 M), meminta pengakuan resmi terhadap
kekuasaan Bani Buwaihi di daerah-daerah yang ditaklukan itu
dan khalifah mengabulkannya. (Maskawaih, tt:300)
Ali ibn Buwaihi merasa tidak puas terhadap daerah-
daerah yang dikuasainya, ekspansi pun berlanjut ke Irak,
Ahwaz dan Wasith. (M. Musfir al-Zahrani, 1980:20-21). Dari
Wasith tentara dinasti Buwaihi bergerak menjarah Baghdad
(945 M) (ibn al-Atsir, 1965:449)
180
Dinasti Abbasiyah
181
Apa yang dilakukan Dinasti Buwaihi terhadap khalifah
Abbasiyah bukanlah perlakuan tanpa preseden. Sebelum
Dinasti Buwaihi memegang kekuasaan di Baghdad,
perlakuan yang sama juga diperbuat oleh Amir al-Umara’ di
masa kekuasaan pengawal-pengawal Turki. Dengan
demikian kelemahan-kelemahan khalifah Abbasiyah bukan
secara langsung disebabkan oleh kehadiran Diansti Buwaihi,
tetapi oleh berbagai peristiwa yang lama dan yang paling
utama adalah kelemahan yang ada dalam diri khalifah
sendiri. (M. Musfir al-Zahra, 1980: 23)
Dengan strategi politis yang rapi, kekuasaan dinasti
Buwaihi menjadi faktor yang amat menentukan kembalinya
daerah-daerah Islam yang telah melepaskan diri dari Baghdad
ke dalam otoritas Baghdad. Dinasti-dinasti kecil di wilayah
Basrah di bawah kekuasaan al-Baridi, wilayah Syam dan Irak
Utara di bawah keuasaan otoritas Hamdan, Siria, dinasti
Samaniyah dan Ikhsidiyah dapat dikembalikan kepada
Baghdad oleh Dinasti Buwaihi. Dengan demikian semakin
luaslah daerah-daerah yang dikuasai oleh Dinasti Buwaihi
yang membentang dari Ray, Ashbahan, Karman kemudian
menyeberang ke Persia, ke daerah Oman sampai Bahraen.
Selanjutnya menuju Bashrah sampai ke hulu al Furat terus
Mautsul dan akhirnya sampai ke hulu al-Dajlah. Selanjutnya
wilayah yang membentang dari Tiplis ke Jurjan melintas laut
Qazwin. Bahkan pada masa adl al-Daulah terbentang dari
Ashbahan ke Syria dari laut Qazwin sampai ke Teluk Persia.
(Ali K.A. tt:166)
Perubahan-perubahan di Baghdad tidak saja terjadi
dibidang poltik dan kekuasaan tetapi juga menyangkut di
bidang agama. Jika sebelum Dinasti Buwaihi berkuasa pars
Menteri dan pejabat lainnya beragama sesuai dengan mazhab
182
Dinasti Abbasiyah
183
Juga muncul lontaran-lontaran keji kepada para perwira-
perwira Turki yang ikut memerangi tentara Bizantium,
sehingga Emir Sabaktikin menyerbu gedung kediaman
gedung Amir Izz al-Daulah dengan menyita seluruh harta
kekayaannya dan langsung menduduki pucuk pimpinan di
ibukota.
Tiga tahun setelah itu Rukn al-Daulah wafat, momen-
tum ini digunakan oleh Adud al-Daulah untuk mengulangi
serangan kepada Baghdad dan Izz al-daulah lari ke Moso.
Adud al-Daulah akhirnya berkuasa di Baghdad sampai ia
wafat pada tahun 983 M. Setelah wafatnya Adud al-Daulah
tidak ada lagi pengganti dirinya karena tiga putranya memecat
khalifah al-Tha’i tahun 991 M dan mereka pun saling berebut
kekuasaan.
Disamping perpecahan dari dalam dan pertentangan
sendiri serta adanya sikap kecenderungan Buwaihi terhadap
Sy’iah, sehingga menimbulkan permusuhan dan kebencian
yang mendalam kepada penganut Sunni dan keadaan ini
ditambah lagi dengan merosotnya perekonomian dan
Akhirnya dinasti-dinasti kecilpun memisahkan diri dari
Dinasti Buwaihi, sehingga diansti Buwaihi berada diambang
kehancuran. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh Tughril Bek,
seorang jendral dari Bani Saljuk menyerang Baghdad dan
merebut kekuasaan dari Dinasti Buwaihi.
2. Dinasti Saljuk
Salajikah adalah sekelompok suku yang berasal dari
Oghus (Ghuzz atau Okus) (H.A. R. Gibb, 1970: 192) yang
menguasai seluruh Asia Barat dan kekhalifahan Bani Abbas
abad XI M, kemudian mereka terpecah menjadi beberapa
keturunan sesuai dengan tempat di mana mereka berkembang
184
Dinasti Abbasiyah
185
al-Qaim di Baghdad dan bertindak sebagai penguasa penuh
di wilayah tersebut dan menghapuskan nama khalifah al-
Qaim di setiap khotbah Jum’at dan menggantikannya dengan
nama khalifah al-Muntsahir (1035-1094 M) dari dinasti
Fathimiyah.
Di tahun 1031 al-Basasiri bertindak kejam dengan
memungut pajak yang tinggi terhadap peclagang sehingga
menjatuhkan nama khalifah Abbas dan disamping itu ia
memaksakan faham Syiah kepada ummat muslim.
Dalam situasi seperti ini, khalifah al-Qaim menulis
surat kepada Tughril untuk meminta bantuan untuk
mengatasi hal ini. Tapi al-Basasiri mengetahui tindakan al-
Qaim lalu ia menangkap al-Qaim dan menguasai Baghdad
dan tunduk dibawah kekuasaan khalifah Fathimiyah di Mesir.
(Harun Nasution dkk, 1988: 822). Kemudian Tughril dan
pasukannya datang ke kota Baghdad dan membunuh al-
Basasiri. Setelah itu al-Qaim dibebaskan dan dikembalikan
ke tahtanya. Akhirnya Tughril dapat menguasai Baghdad dan
seluruh wilayah Daulah Bani Abbas dari Sultan Buwaihi yang
terakhir (al-Malikurrahim) tanggal 19 Desember 1055 M dan
tercatat sebaga permulaan masa Daulah Bani Saljuk dalam
khalifah Bani Abbas di Irak (Harun Nasution, 1988: 822)
Aliran Sunni yang dianut Saljuk merupakan senjata
utama yang memudahkan Tughril mendapat dukungan
ummat Islam dan pemerintah Baghdad. Nama Tughril disebut
dalam Khotbah Jum’at setelah nama al-Qaim.
Daulah Bani Abbas banyak mengalami perubahan dan
kemajuan setelah berada ditangan Bani Saljuk. Baghdad
dijadikan sebnagai kota spiritual (sebagai tempat kediaman
khalifah dan para cendikia/ulama) sedangkan ibu kota negara
dipilih mula-mula Naisaburi, kemudian dipindahkan ke Ray.
186
Dinasti Abbasiyah
187
tentara musuh dengan hanya 15.000 tentaranya.
Sejak saat itulah orang-orang Turki membanjiri Asia
Kecil. Bahkan di masa Sulaiman Ibn Qultumsh berkuasa,
diadakan gerakan pen-Turkian. Kelompok inilah yang
menjadi Saljuk Rum dan merupakan cikal bakal kerajaan
Turki Usmani yang pada abad XV dapat merebut Kon-
stantinopel, ibu kota Bizantium di Asia Kecil. (M.T. H.
Houtsma dkk/Ed., 1987: 21) Alp Arselan wafat tahun 1072
dalam usia 40 tahun.(Harun Nasution dkk, 1988: 823) dan
digantikan putranya Malik Syah (1072-1092 M) (Hasan
Ibrahim Hasan, 1967: 25)
Di tangan Malik Syah aliran Sunni berkembang pesat.
Keberhasilan yang dicapai tidak terlepas dari kecerdikan
Nizam al-Muluk yang menjadi wazir. Dimasa tiga Sultan
inilah Daulah Bani Abbasyiah mendapat kemajuan dan
Dinasti saljuk mengalami masa keemasan. Mereka adalah
Tughril, Alp arselan dan Malik Syah. (H.A.R. Gibb, 1970:
194) Fase kedua adalah zaman Sanjar dan saudaranya.
(H.A.R. Gibb, 1970: 194)
Fase yang terakhir ini dimulai dengan wafatnya Malik
Syah (1092-1157M) Malik Syah mempunyai empat orang
putra, Muhammad, Sanjay dan Mahmud. (Hasan Ibrahim
Hasan, 1967: 36). Setelah Malik Syah wafat, mulai terjadi
perebutan kekuasaan antar saudara, Mahmud (Didukung
khalifah al-Muqtadi) dan Barkiyaruq. (didukung oleh Nizam
al-Muluk) (Hasan Ibrahim Hasan, 1967: 37)
Karena perselisihan-perselisihan seperti inilah
akhirnya pemerintahan Bani Saljuk terbagi menjadi lima
daerah, masing-masing daerah dipimpin oleh penguasa yang
bergelar ayah (Malik) dan para Malik ini harus tunduk pada
Sultan walaupun setiap malik memiliki hak otonomi dalam
188
Dinasti Abbasiyah
189
Tagra) mengurusi administrasi negara secara umum. Kantor
penasehat dipimpin al-Musyrif dan kantor militer dipimpin
oleh seorang Jenderal yang mengurusi administrasi militer,
mengadakan latihan dan mengatur pengkat dan gaji. (Ahmad
Kamal al-Din, 1975:209)
Kekuasaan Bani Saljuk atas Daulah Bani abbas
berlangsung hanya sekitar seratus tahun lebih. Berawal dari
khalifah ke-26 al-Qaim sampai khalifah ke-34 Ahmad al-
Nasr Ibn al-Mustadli. (Ahmad Syalaby, 1978: 421)
Masa keemasan dicapai pada masa Alp Arselan dan
perdana Menterinya Nizam al-Muluk. Setelah masa mereka
berdua, Bani Saljuk mulai mengalami kemunduran ketika
terjadi perebutan kekuasaan antara anak Malik Syah. Adapun
faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran dan ke-
hancuran Bani Saljuk adalah:
1. Perebutan tahta sultan antara anak-anak Sultan Malik
Syah yang merusak citra mereka terhadap daerah-daerah
sehingga masing-masing daerah pun berusaha melepaskan
diri dari pemerintahan pusat.
2. Tidak adanya tokoh yang kuat seperti Alp Arselan, Malik
Syah dan Nizam al-Muluk. Sultan dan penguasa yang
lemah untuk mempersatukan kelompok yang bertikai.
Saljuk terdiri dari suku-suku yang liar dan sulit takluk
pada penguasa. Hanya pemimpin yang ulung dan kuat
dapat mengendalikan mereka. Barkiyaruq dan Sanjay
belum cukup menangani mereka.
3. Timbulnya gerakan teroris yang ditunggangi oleh orang-
orang Syiah Bathiniyah. Gerakan ini bernama Assasin yang
diketuai oleh Hasan al-Shabah. Gerakan inilah yang
membunuh Nizam al-Muluk.
4. Timbul Dinasti-dinasti kecil yang diasuh oleh Atabec,
190
Dinasti Abbasiyah
191
kalangan Muslim Arab, muslim non Arab dan dari komunitas
non muslim melalui pembayaran pajak. Untuk berkuasa di
tengah sejumlah problem tersebut, Dinasti Abbasiyah
menetapkan prinsip-prinsip kebijakan Umar II. Abbasiyah
menghilangkan supremasi kasta Arab dan menerapkan
prinsip, universalitas di kalangan ummat muslim. Mereka
menghilangkan anakronisme bangsa Arab dalam hal
kemiliteran dan secara ramah menjadikan seluruh pemeluk
Islam sebagai pendukung mereka. Rezim baru ini me-
ngadakan kelonggaran rekruitmen dari sebuah sebuah
spektroan yang luas dan bersifat perwakilan dari kalangan
elite Timur Tengah dan mempromosikan mereka sampai pada
jabatan-jabatan kemiliteran yang lebih tinggi dan sebagai
pegawai pemerimah.
Supremasi kasta Arab kehilangan arti politiknya dan
hanya dengan sebuah rezim koalisi, kesatuan antara elemen
Arab dan non Arab, imperium ini dijalankan. Perkembangan
Arab sebagai Lingua Franca, penyebaran Islam dan
pengislaman sebagian penduduk, ekspansi aktivitas
perdagangan yang amat pesat, pergolakan ekonomi dan
demografi telah menjadikan masyarakat Abbasiyah terlepas
dari kehidupan lama dimasa Dinasti Umayyah.
Mereka memegang sejumlah karir baru di berbagai
kota yang memungkinkan perluasan sebuah rekruitmen per-
sonal dan dukungan politik terhadap dinasti baru ini, sehingga
dinasti ini bukan lagi dimiliki oleh orang Arab. Sekalipun
mereka telah menaklukkan beberapa teritorial, tetapi impe-
rium ini telah dimiliki selumh warga yang terlibat bersama
dalam Islam dan dalam mengembangkan loyalitas politik,
sosial, ekonomi dan loyalitas kultural yang memantapkan
sebuah masyarakat baru Timur Tengah yang kosmopolitan.
192
Dinasti Abbasiyah
193
Jadi imperium Abbasiyah sebagai sebuah sistem politik
haruslah dipahami menurut item-item organisasinya,
dinamika sosialnya, konsep-konsep politiknya dan menurut
term oposisinya. Sebagai sebuah imperium, Abbasiyah
merupakan sebuah rezim yang memerintah sebuah teritorial
yang sangat luas, terdiri dari sejumlah komunitas kecil. Setiap
komunitas tersebut dipimpin oleh kalangan bangsawan
masing-masing. Kepala kelompok, tuan tanah dan tokoh-
tokoh kekayaaan dan tokoh-tokoh berpengaruh lainnya, yang
secara karakteristik telah bersekutu dengan kelompok su-
perior dan ahli-ahli yang berpengaruh dalam pemerintahan
pusat dan lokal. Organisasi pemerintahan, sistem,
komunikasi dan pengumpulan pajak merupakan bentuk-
bentuk birokratis, tetapi mekanisme sosial yang menjadikan
sistem kerja organisasi Abbasiyah merupakan kontak antara
pejabat-pejabat pusat dan elit lokal. Birokrasi tersebut
memobilisir pengaruh sosial dan sejumlah keahlian tokoh-
tokoh penting di seluruh penjuru imperium dan menjadikan
aset ini sebagai penentu di Baghdad. Birokrasi tersebut
menyatukan kalangan elite pusat dan lokal untuk mem-
perkokoh sebauh rezim yang koheren. Sistem persekutuan
ini didasarkan pada sebuah konsep imperium sebagai sebuah
produk dari kehendak Tuhan. Melalui kehendak Tuhan,
beberapa khalifah yang berkuasa menghendaki ketaatan
warganya secara penuh, rasionalisasi politik ini, yang
menghadirkan term Islam dan term Timur Tengah pra Is-
lam, mengesahkan koalisi kalangan elite yang dengannya
imperium Abbasiyah dijalankan.
Namun tidak semua masyarakat dan semua propinsi
imperium ini patuh terhadap peraturan imperial. Masyarakat
pegunungan, penghuni perkampungan yang semi menetap,
194
Dinasti Abbasiyah
D. Sistem Sosial
Baghdad merupakan pusat kota terbesar di Timur
Tengah yang merupakan percampuran berbagai unsur
kedaerahan dari segala lapisan dan penjuru sungai Tigris.
Pada abad ke-19, luas kota ini 25 mil persegi, berpenduduk
sekitar 300.000 sampai 500.000. Kota ini 10 x lebih luas
bila dibandingkan Ctesiphon dan ia lebih besar daripada
segala pemukiman lainnya (kota, kampung, dusun dan
gabungan dusun-dusun kecil diwilayah Diyala. Bahkan
Baghdad lebih besar dibandingkan dari kota-kota besar
lainnya di Timur Tengah hingga Istambul di abad ke-19. Pada
zaman itu Baghdad merupakan kota terbesar di dunia selain
Cina.
Kebebasan Baghdad mer upakan prestasi tidak
tertandingi yang menunjukkan pentingnya kota ini dalam
pembentukkan imperium Abbasiyah, kemasyarakatan dan
budaya. Sebagai ibu kota, Baghdad merupakan pusat
ekonomi. Baghdad tumbuh menjadi kota besar bagi
perdagangan internasional dan sangat produktif dengan
sejumlah industri yang menghasilkan tekstil, sutra, kertas
dan berbagai hasil industri lainnya. Namun yang paling
penting dalam sejarah Timur Tengah adalah bahwa kota
Baghdad bercorak kosmopolitan karena keberagaman
195
penduduknya, Yahudi, Kristen, dan Muslim termasuk juga
kelompok Pagan, bangsa Persia, Iraq, Arab, Syria dan bagsa
Asia Tengah menjadi populasi kota Baghdad. Tentara dan
pengawal pemerintahan, kaum pekerja yang membangun
kota, orang-orang yang tinggal di sekitar kampung sekitarnya,
kelompok pedagang yang datang dari Khurasan dan pedang
dan negeri Timur yang menggunakan jalur India melalui Teluk
Persia juga bermukim di Baghdad. Orang-orang Bashrah
yang ber usaha mengadakan konteks intelektual dan
keberuntungan bisnis dari Khurasan, kelompok tawanan
perang dari Anatolia, kelompok ilmuwan dari Alexandaria,
Haman dan Jundishapur dan kelompok kristen nestorian dari
kampung-kampung dari selur uh penjur u Irak telah
menjadikan Baghdad sebagai tempat tinggal mereka.
Pada saat ini Baghdad merupakan produk dari
pergolakan, pergerakan penduduk, perubahan ekonomi dan
peralihan dari beberapa abad sebelumnya. Baghdad menjadi
negeri bagi masyarakat Timur Tengah baru, menjadi kota
heterogen dan kosmopolitan yang terdiri dari kelompok Arab
dan non Arab yang bernaung dalam satu negara yaitu negara
Arab dan Agama Islam.
Semenjak berkuasa Diansti baru ini banyak mengalami
problem yang telah menganggu seperti pembangunan institusi
pemerintahan yang efektif dan memobilisasi dukungan dari
kalangan Muslim Arab, muslim non Arab dan dari komunitas
non muslim melalui pembayaran pajak. Untuk berkuasa di
tengah sejumlah problem tersebut, Dinasti Abbasiyah
menetapkan prinsip-prinsip kebijakan Umar II. Abbasiyah
menghilangkan supremasi kasta Arab dan menerapkan prinsip
universalitas di kalangan ummat muslim. Mereka meng-
hilangkan anakronisme bangsa Arab dalam hal kemiliteran
196
Dinasti Abbasiyah
197
India, Persia, Yunani dan Romawi telah dapat diterjemahkan
ke dalam bahasa Arab. Diasumsikan bahkan dari hasil
terjemahan itu dapat diciptakan ilmu baru, disamping
ciptaan-ciptaan asli yang timbul waktu itu (Ahmad Amin,
1979, h. 5), kota -kota besar seperti Bagdad, Damascus,
Cairo dan Qairawan selain sebagai pusat-pusat perdagangan
juga sebagai pusat ilmu pengetahuan dan peradaban.
Pada waktu itu hampir semua ilmu agama telah
dituntaskan, seperti penafsiran Al-Qur’an, pengumpulan
hadist dan penulisan ilmu-ilmunya, pembukuan kaidah-
kaidah bahasa Arab, pembukuan Fiqih baik oleh tokoh-
tokohnya maupun oleh para pengikutnya, dan pembukuan
syair Arab. Untuk memudahkan pemahaman tentang
kemajuan peradaban masa Bani Abbas akan dikemukakan
secara sistimatis kemajuan ilmu agama, filsafat, sain dan ilmu
pemerintahan.
Ilmu Agama
a. Hadits
Gerakan ilmiah dalam bidang hadits pada masa Bani
Abbas ditandai dengan gerakan pembukuan. Sebelum itu
para sahabat dan tabi’at masih berselisih mengenai perlu
tidaknya pembukuan hadits ini, namun akhirnya perselisihan
itu hilang dan berganti dengan kesepakatan bahwa
pengumpulan hadits itu sering dilaksanakan. Umar ibn Abd
Aziz adalab orang pertama yang mempunyai rencana dan
sekaligus melaksanakan pembukuan hadits itu. Ia telah
memerintahkan kepada Abu Bakar bin Muhammad untuk
mengumpulkan dan membukukan hadits. Namun hasil
pengumpulan itu tidak sampai pada kita.
198
Dinasti Abbasiyah
b. Tafsir
Ada dua cara yang ditempuh para mufassir dalam
menafsirkan al-Qur’an, pertama tafsir bi al-ma’tsur
(menafsirkan al-Qur’an dengan hadits dan penjelasan para
shahabat besar), kedua tafsir bi al-ra’yi (menafsirkan al-Qur’an
dengan menggunakan akal lebih banyak daripada hadits).
Pada masa Bani Abbas ini ditandai dengan menculnya
kelompok mu’tarilah yang tidak terikat pada hadits maupun
Aqwa al-Shahabah. Diantara tokoh-tokoh mufassir
kelompok pertama: al-Thabrani, al-Soda dan Muqatil ibn
Sulaiman.
Dan tokoh-tokoh mufassir kelompok kedua: Abu
Bakar al-Asham, Abu Muslim Muhammad ibn Badr al-
Isfahami dan Ibnu Jaru al-Asadi (ketiga-tiganya sebagai
penganut Mu’tazilah (Hasan Ibrahim Hasan, 1970, h. 137)
c. Fiqih
Masa Bani Abbas merupakan puncak kemajuan dunia
Islam dalam ilmu agama. Dalam bidang fiqh, para fugaha
masa itu mampu menyusun kitab-kitab fiqh yang tetap
terkenal sampai saat ini. Para fuqaha pada masa itu dapat
dibagi menjadi du golongan; pertama, Ahl al-Hadits, golongan
199
yang menyandarkan kepada hadits dalam mengambil hukum.
Pemuka golongan ini adalah Ahmad ibn Hambal. Kedua, Ahl
al-Ra’y, golongan yang mempergunakan akal dalam
mengambil hukum. Salah satu pemuka golongan ini adalah
Abu Hanifah.
Pada masa ini telah terjadi pertentangan seru di antara
para mustasyari’in mengenai penggunaan sumber. Per-
tentangan ini berkisar, al Sunnah, al-Qiyas, al-Ra’yu, Ijma’
dan taklif. Dari pertentangan itu akhirnya melahirkan apa
yang mereka namakan ushul al-fiqh, yaitu kaidah yang harus
diikuti oleh para mujtahid dalam mengambil hukum.
(Hudari, 1965, h. 183).
d. Falsafah
Diantara ilmu yang menarik perhatian kaum muslimin
pada masa Bani Abbas adalah falsafat. Ilmu itu berasal dari
Yunani, kemudian diterjemahkan dalam bahasa Arab. Karena
besarnya perhatian kaum muslimin terhadap bidang ini pada
waktu itu maka semua buku falsafat untuk Yunani
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, baik yang berbahasa
Yunani, Persi maupun Suryani. Setelah itu kaum muslimin
sibuk mempelajarinya, memberi penjelasan bahkan diantara
mereka ada yang berusaha umuk menyesuaikan falsafah
Yunani ini dengan jiwa Islam. Dari sinilah timbul filosof-
filosof Islam, seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn Sina, Al-Rozi,
al-Ghazali dan Ibn Rusyd.
Ilmu Kedokteran
Tokoh-tokoh Islam dalam bidang ilmu kedokteran,
antara lain al-Rozi, ia adalah seorang ahli kedokteran dan
ahli klinik. Ia juga dianggap sebagai orang-orang yang
200
Dinasti Abbasiyah
Ilmu Kimia
Ilmu Kimia termasuk ilmu yang dikembangkan oleh
kaum muslimin. Dalam bidang ini mereka memperkenalkan
eksperimen obyektif. Hal ini merupakan suatu perbaikan yang
tegas dari cara spekulasi yang ragu-ragu dari Yunani. Mereka
melakukan pemeriksaan gejala-gejala dan mengumpulkan
kenyataan-kenyataan untuk membuat hipotesa dan memberi
kesimpulan-kesimpulan yang berdasarkan ilmu pengetahuan,
diantara tokoh kimia adalah Jabir Ibn Hayyan. Selain ilmu
kedokteran dan ilmu kimia masih banyak ilmu lain yang
dikembangkan kaum muslimin saat itu, seperti matematika
dan astronomi.
201
202
DAFTAR PUSTAKA
203
Al, Namr, Abd, AI-Mun’in ,Tarikh al-Islam fi al-Hindi, Kairo:
Dar el-Ahd al-Jadid, tt.
Atsir, Ibnu, Tarikh al-Kamal, Mesir: Muniriyah, 1356 H.
Ahmad. Aziz, A History ofIslamic, Sicily, Edinburg : Univer-
sity Press, tt.
Ali. Amr. A History of The Saracen, New Delhi : Bhavan,
1981.
Athiba, Amin, Taufik, Dirasah Fi Tarikh Siqoliyat al-Islam,
Up : Dar al-Kutub al Wathomiyah, 1990.
Al-Rasyidi, Salim, Muhammad al-Fatih, Beirut : Dar al-’ilm
Li al-Malayin, 1969.
Al-Sayuthi, Jalal al-Din, al-Jami’ al-Shaghir fi al-Hadits al-Basyir
wa al-Nadzir; Indonesia : Dar Ihya al-Kutub al-
Arabiyah, tt.
Al-Qasanthini, Ibn Qanfudz, Wasilah al-Islam bi al-Nabi ‘a-
laih al-Shalah wa al-Sulam, Beirut : Dar al-Gharb al-
Islami, 1984.
Al-Zinkli, Khair al-Din, al-’A’lam : Qanus Tarajum, Beirut:
Dar al ihn, li al-Malayin, 1990, Jilid I— VIII.
Amin. Ahmad, al-Syarq wa al-Gharb : Kairo, ttp, 1955.
Al-Atabiki, Ibn Thaghri Birdi, al-Nujum al-Zahrah, Muluk
Mishra al-Qahirah, Mesir, Wijarah al-Tsaqafah wa al-
Irsyad al-Qauinin, tt.
Al-Jundi Anwar, al-Islam al-Tarakah al-Tarikh, Kairo:
Mathba’ah al-Risalah, 1968.
204
AI-Nadawy, Abu al-Hasan, Apa Berita Dunia Bila Islam
Mundur, Jakarta : Pustaka Jaya,1969.
Abidin, Zainal, Ahmad, Sejarah Islam dan Ummatnya, Jakarta
: Bolan Bintang, 1977, Jilid III.
-------------, Piagam Nabi Muhammad SAW, Jakarta Bulan
Bintang, 1973.
Abdullah, Taufik (Ed), Sejarah Umat Islam Indonesia, Jakarta:
Majelis Ulama Indonesia, 1991.
Ali. A. Mukti dkk, (Ed), Ensiklopedi Islam di Indonesia, Jakarta:
Depag, RI, 1988.
Apshaxi, H.Endang, Saifuddin, Piagam Jakarta, 22 Juni 1945,
Bandung : Pustaka, 1983.
Attas. Syed Muhammad Naquib al, Islam Dalam Sejarah dan
Kebudayaan Melayu, Bandung : Mizan, 1990.
Bosworth, CE, Dinasti-dinasti Islam, Terj. Ryas Hasan,
Bandung : Mizan, 1980.
Brakenbaun, Von, Classical Islam, Chicago Diaal Publishing
Company, tt.
Brackelmaun, Carl, History of Islamic People, London
Routledge & Kegan Paul, 1986.
Bin. Zaim, Ahmad Dahlan, al-Futuhat al-Islamiyah, Kairo ttp.,
1968 Zuz 11.
Basri. Yusmar (Ed), Sejarah Nasional Indonesia V, Jakarta :
Balai Pustaka, 1984.
205
Boland, B.J., Pergumulan Islam di Indonesia, Jakarta : Grafiti
Press, 1985.
Chejne, Anwar, G, Muslim Spain Its History and Culture, Min-
neapolis Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, Jakarta:
Djambatan, 1992.
Dasuki, H.A, Hafidz (Ed), Ensiklopedi Islam, Jakarta : Ikhtiar
Barut Van Hove, 1993, Jilid 3.
Daudi, Ahmad Syeikh Nuraddin ar-Rani, Sejarah Karya dan
Sanggahan Terhadap Wujudiyyah di Aceh, Jakarta : Bulan
Bintang, 1978.
De Graaf, H.J dan GTh. Digeud, Kerajaan-Kerajaan Islam di
Jawa, Jakarta: Grafiti pers, 1985.
--------------, Awal Kebangkitan Mataram, Musa
Pemerintahan Senopati, Jakarta : Grafiti Pers, 1987.
-----------------, Desintegrasi Mataram di bawah Amangkurat
I, Jakarta : Grafiti Pets, 1987.
Djayadiningrat, Hoesen, Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Banten,
Jakarta : Djambatan, 1983.
E, Kork, George, A Short History of Middle East, New York:
Fredrick A Praeger Publisher, 1964.
Edan. Decisive Moment in The History of Islam, Terj. Mahyaddin,
Surabaya : Bina Ilmu, 1979.
Fuad, Aimam Sayyid, Daulah Fathimiyah fi Mishra Tafsir Jadid,
Kairo : Dar al-Mishriyah a]-Labnaniyah, 1992, Cet ke-
1.
206
Fisyr, hal. Tarikh Au-raba at-’Ushur al- Wustha, Kairo: Dar al-
Ma’arif, 1976.
Gibb, H.A.R., Studies of The Civilization of Islam, Boston:
Beacon Press, 1968.
-------------, Saljuks dalam Encyclopedia Britannica, Chicago: Wil-
liam Bengton, 1970.
Goldschmidt, Jr, A Consice History of Middle East, USA :
Westview Press Inc, 1991.
Geertz, Clifford, Santri, Abangan dan Priyayi, Jakarta Jaya,
1980.
Harb, Muhammad, al-Usmaniyyun al-Tarikh wa al-Hadarah,
Kairo: Maktabah al Nandah al-Mishriyyah, 1977.
Hasan, Ahmad, Rifa’i (Ed), Warisan Intelektual Islam Indone-
sia, Bandung : Mizan, 1990.
Hasymy, A (Ed), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di
Indonesia, Jakarta : al-Ma’arif, 1989.
Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh at -Daulah al-Fathimiyah, tp.,
1958, Cet. ke-2.
-------------, Tarikh Islam, as-Siyasi wa al-Dina wa al-Tsagafi wa
al Ijtinia’i, Kairo: Matabah al- Nandhah al-Mishriyah,
tt.
Hitti, K, Philip, History of The Arabs, New York: Lake
Champlai, 1969, 10th Ed.
------------, History of The Arabs. London : Mac Millan, 1990.
207
Houtsma, M th, dkk (Ed), Encyclopedia of Islam, Leiden, E.J
Brill, 1987.
Hasan, Maushal, History of Islam : Classical Priod, 571 – 1278,
India: 1995, Cet. Ke-1.
Hamka, Sejarah Ummat Islam, Jakarta : Bolan Bintang, 1975,
Juz III.
Hasan, Amir, Shiddiq, Chaliphats and Sultane in Medievel Per-
sia, Karachi : Jamiyah Al-Falah, 1969
Holt, P.M., dkk., The Cambridge History of Islam, London:
Cambridge University Press, 1970
Haikal. Muhammad, Husem, Hayat Muhammad, Kairo:’
Maktabah al-Nandlah al-Mishriyyah, 1968
Hodgson, G.S., Marshal, The Venture of Islam, Chacago: Uni-
versity Press, 1979
Harold, Lamb, T.T., Timur Lenk, Terj. Asrul Sani, Jakarta:
Pt. Pembangunan, tth
Irving, T.B., Falcon of Spain, Jakarta: Pustaka Fidaus, 1990,
Cet. ke-1
Irfan, Faqih, Glinipses of Islamic History, Lahore: Kazi Publi-
cation, 1979
Ikram, S.M., Muslim Civilization In India, New York: Colum-
bia University Press, tt.
Ibn. Abd., Zhahir, Muhyi, Al-Din, Tasyrif al-Ayyam wa al-
Unshur fi Sirah al-Malik al-Mansur, Mesir: Wijarah al-
Tsaqafah al-Irsyad al-Qaumi, 1961
208
Ibrahim, Khalid, Jindan, Teori Pemerintahan Islam Menurut Ibnu
Tainiiyah, Terj. Mufid, Jakarta: Pt. Renika Cipta, 1994,
Cet. ke-1
Kamal, al-Din, Ahmad, Al-Salluk, Kuwait: Dar al-Buhuts
al-Islamiyah, 1975
Khudari, Bek, Muhammad, Muhadharat Tarikh al-Umam al-
Islamiyah al-Daulah al-Abbasiyah, Kairo: Mathba’ah al-
Isticpanab, 1945
-------------, Tarikh al-Tasyri al-Islami, Surabaya: Maktabah Said
Ibnu Nasr, 1965
Katsir, Ibnu, al-Bidayah wa al-Nihayah, Beirut: Dar al-Kutub
al-Islamiyah, tth., jilid II
Khalidi, Musthafa dan Umar Farukh, al-Tabshir wa al-Isti’marfi
al-Salad al-Arabiyah, Beirut: ttp, 1982
Kartodirdjo, Barton, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 500-
1900, Jakarta: Pt. Gramedia, 1987, Jilid I
Lewis, Bernard, Bangsa Arab Data Lintasan Sejarah, Jakarta:
Pedoman Ilmu Jaya, 1988
-----------, Islam from The Prophet Muhammad to The Capture of
Constantinopel, New York: First Herper and Row, tth.,
vol I
Lapidus, The Mughal Empires to The Death of Aurangzeb dalam
M Thautsma, Leiden
-----------, Sejarah Sosial Ummat Islam, Terj. Ghufron A.
Mas’adi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999, Cet.
209
ke-1
Legge, John, D., Soekarno Sebuah Otobiografi Politik,
Jakarta: ttp. 1985
Leirissa, R.Z., (Ed.), Sejarah Nasional Indonesia IV, Jakarta:
Balai Pustaka, 1984
Mehdi, Nakosteen, Konstribusi Islam Atas Dania Internasional
Barat, Surabaya: Risalah Gusti, 1996
Mahmudunnasir, Islam: Konsep dan Sejarah, Bandung:
Rosdakarya, 1994, Cet. ke-4
Muhammad, Abdurrahman, bin Khaldun, Mutladdintah Ibnu
Khaldun, Mesir: Dar Ibnu Khaldun, tt.
Musfir, Muhammad, al-Zahrani, al-Nadhar al-Wizarah fi al-
Daulah wal Abbasiyah, Beirut: Muassasah al-Risalah,
1980
Mufrodi, Ali, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1997, Cet. ke-1
Mahmud, Sayyid, Fayyas, A Short History of Islam, London,
Oxford University Press, 1960
Ma’luf, Abu, Luis, Al-Munjidfi al-Lughah wa al-A’lam, Beirut:
Dar al-Masyrik, 1986
Montran, Robert, Histoire d’l l’empire Ottoman, Terj. Basyir
al-Saba’i, Kairo: Dar at-Filer, 1993
Mujib, M., The Indian Muslim, London: George Alen, 1967
Mahmud, Abbas, al-Akkad, Kecemerlangan Khalifah Umar Bin
210
Khattab, Terj. Bustami A. Gann dan Zainal Abidin
Ahmad, Jakarta: Bulan Bintang, tt.
Maududi, Abu, A’la, Sistem Politik Islam, Terj. Asep flilanat,
Bandung: Mizan, 1995 4 Cet. ke-4
Madjid, Nurcholish, Khazanah Intelektual Islam, Jakarta: Bulan
Bintang, 1984
-------------, Islam in Indonesia, Challenges and Opportunities,
dalam Mizan, No. 3, vol. I, 1984.
Mahmud, Syeikh, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, Terj. Adang
Afandi, Bandung: Pt. Remaja Rosda Karya, 1994
Nasution, Harun, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya,
Jakarta: UI Press, 1978, Cet. ke-2
-----------, Nizam al-Muluk Dalam Hasan Sadili, (Ed.), En-
siklopedi Indonesia, Jakarta: Ikhtiar Bart, 1983, vol IV
----------, Ensiklopedi Islam “Saljuk”, Jakarta: Depag, 1988,
vol II
Namir, Abdul, Win, Tarikh al-Islam fi al-Hindi, Beirut: Up.,
1981
Nocr. Deliar, Gerakan Moderen Islam di Indonesia: 1900-1942,
Jakarta: Grafitipers, 1987
Pool, Lane, Stanley, The Mohammaden Dinasties, London:
Oriental University Press, 1986
Penanggung Jawab, Sedjarah Tjirebon, (Ed.), Purwaka
Tjaruban Nagari, Jakarta: Bhratara, 1972
211
Poesponegoro, Marwati, Djoened dan Nugroho Notosusanto,
(Ed.), Sejarah Nasional Indonesia II, Jakarta: Balai
Pustaka, 1984
Syalabi, Ahmad Mausu’atul al-Tarikh al-Islam wa al-Hadharah
al-Islanuvak Mesir: Maklabab Nandhiyah, 1979
--------------, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: Pustaka al-Husna,
1995, Cet. ke-3, Jilid II
------------, Imperium Turki Usmani, Terj. Aceng Bahaudin,
Jakarta: Kalam Mulia, 1984
Taimiyah, Ibnu, Pedoman Islam Bernegara, Terj. K.H. Firdaus
AN., Jakarta: Bulan Bintang, 1989, Cet. ke-4
Tjandrasasmita, Uka, (Ed.), Sejarah Nasional Indonesia III,
Jakarta: Balai Pustaka, 1984.
Uwais, Abdul, Halini, Dirasat Lisuquti Tsalatsina Daulah
Islamyah, Saudi Arabia: Darus Syuruq, 1982.
212
View publication stats