Anda di halaman 1dari 28

TEKNOLOGI BAHAN ALAM

METODE EKSTRAKSI DALAM INDUSTRI DAN


PARAMETER DAN METODE UJI EKSTRAK

Disusun oleh :

Kelompok 2

Anggita Cahya Utami (11151020000063)


Hanifa Pratiwi S. (11151020000068)
Giyan Ramdan (11151020000070)
Fathimah Nurmajdina M. (11151020000073)
Nada Aprilia (11151020000075)
Nur Meti Anisa (11161020000003)
Hanipah (11161020000004)
Meiliza Harsy (11161020000006)
Nurul Hasna (11161020000010)
Nurapni Hidayanti (11161020000012)

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
DESEMBER/2018
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, dengan ini kami panjatkan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah mnegenai metode ekstraksi dalam industri serta parameter dan metode
uji esktrak sebagai tugas mata kuliah Teknologi Bahan Alam.
Adapun makalah ini telah kami selesaikan semaksimal mungkin. Namun
tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa ada kekurangan
baik dari segi penyusun bahasanya maupun segi lainnya. Oleh karena itu kami
mohon maaf yang sebesar-besarnya karena kami masih dalam proses
pembelajaran. Dan juga kritik dan saran dari bapak atau ibu dosen juga kami
harapkan agar tidak terjadi kekeliruan lagi di makalah yang selanjutnya.
Akhirnya kami selaku penyusun mengharapkan semoga dari makalah
Teknologi Bahan Alam yang kami buat ini dapat diambil hikmah dan manfaatnya
sehingga dapat memberikan wawasan terhadap pembaca.

Ciputat, 22 Desember 2018

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................... 2


DAFTAR ISI ............................................................................................ 3
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................... 4
1.2 Rumusan Masalah ............................................................... 4
1.3 Tujuan ...............……………………………...................... 4
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Metode Ekstraksi dalam Industri................………............. 5
2.2 Parameter dan Metode Uji Ekstrak.....……………………. 12

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan .............................................................................


26

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 27

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penggunaan bahan alam dalam kefarmasian semakin berkembang setiap


saat. Sebelum diolah menjadi produk farmasi, dilakukan tahap awal pada bahan
alam tersebut yaitu pembuatan ekstrak atau ekstraksi.

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut


dalam sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair.
Simplisia yang diekstrak mengandung senyawa aktif yang dapat larut dan
senyawa yang tidak dapat larut. Dengan diketahui senyawa aktif yang dikandung
simplisia akan mempermudah dalam pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang
tepat.

Ekstrak yang dihasilkan harus melalui pengujian ekstrak dengan


parameter-parameter yang ditentukan agar ekstrak yang dihasilkan dapat aman
dibuat menjadi produk farmasi yang akan digunakan oleh manusia.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana metode ekstraksi yang terdapat dalam industri?
2. Apa saja parameter yang digunakan dalam pengujian ekstrak?
3. Bagaimana metode pengujian ekstrak?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui metode ekstraksi yang digunakan dalam industri
2. Untuk mengetahui parameter-parameter dalam pengujian ekstrak
3. Untuk mengetahui metode pengujian ekstrak

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Metode Ekstraksi dalam Industri


2.1.1 Pengertian Estraksi

Ekstraksi merupakan kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat


larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair
(Anonim, 1986). Ekstraksi dilakukan untuk menyari zat –zat berkhasiat atau zat –
zat aktif dari bagian tanaman obat, hewan dan beberapa jenis ikan termasuk biota
laut. Zat–zat aktif terdapat di dalam sel, namun sel tanaman dan hewan berbeda
demikian pula ketebalannya, sehingga diperlukan metode ekstraksi dengan pelarut
tertentu dalam mengekstraksinya (Harbone, 1987).

Metode ekstraksi dibagi menjadi dua jenis, antara lain cara dingin dan
cara panas. Metode ekstraksi yang tergolong cara dingin adalah maserasi dan
perkolasi sedangkan metode ekstraksi yang tergolong cara panas adalah refluks,
dengan alat Soxhlet, digesti, dan infus (Anonim, 2000).

2.1.2 Tujuan Ekstraksi

Tujuan ekstraksi bahan alam adalah untuk menarik komponen kimia yang
terdapat pada bahan alam. Ekstraksi ini didasarkan pada prinsip perpindahan
massa komponen zat ke dalam pelarut, dimana perpindahan mulai terjadi pada
lapisan antar muka kemudian berdifusi masuk ke dalam pelarut (Anonim, 1986).

2.1.3 Jenis-jenis ekstraksi

Metode ekstraksi yang digunakan dalam industri terdiri dari :


a) Maserasi
Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan
menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan
pada temperatur ruangan (kamar). Secara teknologi termasuk ekstraksi

5
dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi pada keseimbangan. Maserasi
kinetik berarti dilakukan pengadukan yang kontinu (terus-menerus).
Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut
setelah dilakukan penyaringan maserat pertama, dan seterusnya.

Istilah maceration berasal dari bahasa latin macerare, yang artinya


“merendam”. Merupakan proses paling tepat dimana obat yang sudah halus
memungkinkan untuk direndam dalam pelarut sampai meresap dan melunakkan
susunan sel, sehingga zat –zat yang mudah larut akan melarut (Ansel, 1985).

Maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana dan digunakan untuk


simplisia yang mengandung zat aktif yang mudah larut dalam cairan penyari.
Maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari.
Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk kedalam rongga sel yang
mengandung zat aktif. Zat aktif akan larut dan karena adanya perbedaan
konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dan di luar sel, maka larutan yang
pekat didesak keluar. Peristiwa tersebut berlanjut sehingga terjadi keseimbangan
konsentrasi antara larutan di luar dan di dalam sel. Cairan penyari yang digunakan
dapat berupa air, etanol, air-etanol, atau pelarut lain. Bila cairan penyari yang
digunakan adalah air maka untuk mencegah timbulnya kapang dapat
ditambahkan bahan pengawet, yang diberikan pada awal penyarian (Anonim,
1986). Semakin besar perbandingan cairan pengekstraksi terhadap simplisia, akan
semakin banyak hasil yang diperoleh (Voigt, 1994).

Keuntungan cara penyarian dengan maserasi adalah cara pengerjaan yang


digunakan sederhana, dan mudah diusahakan. Kerugian cara maserasi adalah
pengerjaannya lama dan penyariannya kurang sempurna, juga adanya kejenuhan
konsentrasi di dalam larutan penyari, di mana konsentrasi di dalam simplisia
dengan di dalam penyari sama (Dinda, 2008).

Pada penyarian dengan cara maserasi perlu dilakukan pengadukan.


Pengadukan diperlukan untuk meratakan konsentrasi larutan di luar butir serbuk
simplisia, sehingga dengan pengadukan tersebut tetap terjaga adanya derajat
perbedaan konsentrasi yang sekecil-kecilnya antara larutan di dalam dengan di

6
luar sel. Hasil penyarian dengan cara maserasi perlu dibiarkan selama waktu
tertentu. Waktu tersebut diperlukan untuk mengendapkan zat-zat yang tidak
diperlukan tetapi ikut terlarut dalam cairan penyari seperti penyari malam dan
lain-lain (Anonim, 1986). Cara ekstraksi maserasi ini dilakukan 3 x 24 jam, hal ini
dilakukan supaya senyawa yang terkandung dalam herba tertarik (Runadi, 2007).

b) Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai
sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada temperatur
ruangan. Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap
maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan
ekstrak), terus menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya
1- 5 kali bahan.
Perkolasi adalah metoda ekstraksi cara dingin yang menggunakan pelarut
mengalir yang selalu baru. Perkolasi banyak digunakan untuk ekstraksi metabolit
sekunder dari bahan alam, terutama untuk senyawa yang tidak tahan panas
(termolabil). Ekstraksi dilakukan dalam bejana yang dilengkapi kran untuk
mengeluarkan pelarut pada bagian bawah. Perbedaan utama dengan maserasi
terdapat pada pola penggunaan pelarut, dimana pada maserasi pelarut hanya di
pakai untuk merendam bahan dalam waktu yang cukup lama, sedangkan pada
perkolasi pelarut dibuat mengalir.

Penambahan pelarut dilakukan secara terus menerus, sehingga proses


ekstraksi selalu dilakukan dengan pelarut yang baru. Dengan demikian diperlukan
pola penambahan pelarut secara terus menerus, hal ini dapat dilakukan dengan
menggunakan pola penetesan pelarut dari bejana terpisah disesuaikan dengan
jumlah pelarut yang keluar, atau dengan penambahan pelarut dalam jumlah besar
secara berkala. Yang perlu diperhatikan jangan sampai bahan kehabisan pelarut.
Proses ekstraksi dilakukan sampai seluruh metabolit sekunder habis tersari,
pengamatan sederhana untuk mengindikasikannya dengan warna pelarut, dimana
bila pelarut sudah tidak lagi berwarna biasanya metabolit sudah tersari. Namun
untuk memastikan metabolit sudah tersari dengan sempurna dilakukan dengan
menguji tetesan yang keluar dengan KLT atau spektrofotometer UV. Penggunaan

7
KLT lebih sulit karena harus disesuaikan fase gerak yang dipakai, untuk itu lebih
baik menggunakan spektrofotometer. Namun apabila menggunakan KLT indikasi
metabolit habis tersari dengan tidak adanya noda/spot pada plat, sedangkan
dengan spektrofotometer ditandai dengan tidak adanya puncak.

Perkolasi dilakukan dalam wadah berbenruk silindris atau kerucut


(perkulator) yang memiliki jalan masuk dan keluar yang sesuai. Bahan
pengekstaksi yang dialirkan secara kontinyu dari atas, akan mengalir turun secara
lambat melintasi simplisia yang umumnya berupa serbuk kasar. Melalui
penyegaran bahan pelarut secara kontinyu, akan terjadi proses maserasi bertahap
banyak. Jika pada maserasi sederhana tidak terjadi ekstraksi sempurna dari
simplisia oleh karena akan terjadi keseimbangan kosentrasi antara larutan dalam
seldengan cairan disekelilingnya, maka pada perkolasi melalui simplisia bahan
pelarut segar perbedaan kosentrasi tadi selalu dipertahnkan. Dengan demikian
ekstraksi total secara teoritis dimungkinkan (praktis jumlah bahan yang dapat
diekstraksi mencapai 95%) (Voight,1995).

c) Soxhlet
Soxhlet adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang
umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu
dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.
Alat Soxhlet adalah suatu suatu alat terbuat dari gelas yang bekerja secara
kontinyu dalam menyari. Pada proses ini sampel yang akan disari dimasukkan
pada alat Soxhlet, lalu setelah dielusi dengan pelarut yang cocok sedemikian rupa
sehingga akan terjadi dua kali sirkulasi dalam waktu 30 menit (Harborne, 1987).
Adanya pemanasan menyebabkan pelarut ke atas lalu setelah di atas akan
diembunkan oleh pendingin udara menjadi tetesan –tetesan yang akan terkumpul
kembali dan bila melewati batas lubang pipa samping Soxhlet, maka akan terjadi
sirkulasi yang berulang-ulang akan menghasilkan penyarian yang baik (Harborne,
1987).

Bahan yang akan diekstraksi diletakkan dalam sebuah kantong ekstrak


(kertas, karton, dan sebagainya) di dalam sebuah alat ekstraksi dari gelas yang
bekerja kontinyu. Wadah gelas yang berisi sampel diletakkan di antara labu suling

8
dan suatu pendingin aliran balik. Labu tersebut berisi bahan pelarut yang menguap
dan mencapai ke dalam pendingin aliran balik melalui pipa pipet, berkondensasi
di dalamnya, menetes ke atas bahan yang akan diekstraksi dan membawa keluar
bahan yang diekstraksi. Larutan yang terkumpul dalam wadah gelas dan setelah
mencapai tinggi maksimal secara otomatis dipindahkan ke dalam labu dengan
demikian zat yang akan terekstraksi terakumulasi melalui penguapan bahan
pelarut murni berikutnya. Pada cara ini bahan terus diperbaharui artinya
dimasukkan bahan pelarut bebas bahan aktif (Voigt, 1971).

Keuntungan dengan alat Soxhlet adalah membutuhkan pelarut yang


sedikit dan untuk penguapan pelarut biasanya digunakan pemanasan.
Kelemahannya adalah waktu yang dibutuhkan untuk ekstraksi cukup lama sampai
beberapa jam, sehingga kebutuhan energinya tinggi dan dapat berpengaruh negatif
terhadap bahan tumbuhan yang peka suhu (Voigt, 1971).

Menggunakan Soxhlet dengan pemanasan dan pelarut akan dapat dihemat


karena terjadinya sirkulasi pelarut yang selalu membasahi samples. (Lenny,
2006). Ekstraksi sempurna ditandai bila cairan di sifon tidak berwarna atau
sirkulasi telah mencapai 20-25 kali (Utami, 2009).

d) Refluks
Refluks sangat banyak digunakan dalam industri yang menggunakan
kolom distilasi skala besar. Umumnya digunakan untuk mensistesis senyawa-
senyawa yang mudah menguap atau volatile. Refluks adalah ekstraksi dengan
pelarut pada temperatur pada titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah
pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya
dilakukan pengulangan proses pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga
proses ekstraksi sempurna.
Pada rangkaian refluks ini terjadi empat proses, yaitu proses heating,
evaporating, kondensasi dan cooling. Heating terjadi pada saat feed dipanaskan di
labu didih, evaporating ( penguapan ) terjadi ketika feed mencapai titik didih dan
berubah fase menjadi uap yang kemudian uap tersebut masuk ke kondensor
dalam. Cooling terjadi di dalam ember, di dalam ember kita masukkan batu es dan
air, sehingga ketika kita menghidupkan pompa, air dingin akan mengalir dari

9
bawah menuju kondensor luar, air harus dialirkan dari bawah kondensor bukan
dari atas agar tidak ada turbulensi udara yang menghalangi dan agar air terisi
penuh. Proses yang terakhir adalah kondensasi ( pengembunan ), proses ini
terjadi di kondensor, jadi terjadi perbedaan suhu antara kondensor dalam yang
berisi uap panas dengan kondensor luar yang berisikan air dingin, hal ini
menyebabkan penurunan suhu dan perubahan fase dari steam tersebut untuk
menjadi liquid kembali.

Keuntungan dari teknik ini adalah proses dapat dibiarkan untuk jangka
waktu yang panjang tanpa perlu menambahkan lebih pelarut atau takut bejana
reaksi mendidih kering karena setiap uap immedeatly kental dalam kondensor.
Selain itu sebagai pelarut yang diberikan akan selalu mendidih pada suhu tertentu.
Dan dapat digunakan untuk mengekstraksi sampel-sampel yang mempunyai
tekstur kasar. Sedangkan kerugiannya yakni membutuhkan volume total pelarut
yang besar.

e) Ultrasonik
Metode ultrasonik adalah metode yang menggunakan gelombang
ultrasonik yaitu gelombang akustik dengan frekuensi lebih besar dari 16-20 kHz
(Suslick, 1988). Ultrasonik bersifat non-destructive dan non-invasive, sehingga

10
dapat dengan mudah diadaptasikan ke berbagai aplikasi (McClements, 1995).
Menurut Kuldiloke (2002), salah satu manfaat metode ekstraksi ultrasonik adalah
untuk mempercepat proses ekstraksi. Dinding sel dari bahan dipecah dengan
getaran ultrasonik sehingga kandungan yang ada didalamnya dapat keluar dengan
mudah (Mason,1990).
Cara kerja metode ultrasonik dalam mengekstraksi adalah sebagai berikut :
gelombang ultrasonik terbentuk dari pembangkitan ultrason secara lokal dari
kavitasi mikro pada sekeliling bahan yang akan diekstraksi sehingga terjadi
pemanasan pada bahan tersebut, dan melepaskan senyawa ekstrak. Terdapat efek
ganda yang dihasilkan, yaitu pengacauan dinding sel sehingga membebaskan
kandungan senyawa yang ada di dalamnya dan pemanasan lokal pada cairan dan
meningkatkan difusi ekstrak. Energi kinetik dilewatkan ke seluruh bagian cairan,
diikuti dengan munculnya gelembung kavitasi pada dinding atau permukaan
sehingga meningkatkan transfer massa antara permukaan padat-cair. Efek
mekanik yang ditimbulkan adalah meningkatkan penetrasi dari cairan menuju
dinding membran sel, mendukung pelepasan komponen sel, dan meningkatkan
transfer massa (Keil, 2007). Liu et al. (2010), menyatakan bahwa kavitasi
ultrasonik menghasilkan daya patah yang akan memecah dinding sel secara
mekanis dan meningkatkan transfer material.

Beberapa keunggulan pada panggunaan teknologi ultrasonik dalam


aplikasinya pada berbagai macam pati dan polisakarida adalah (Lida, 2002): 1)
proses ultrasonik tidak membutuhkan penambahan bahan kimia dan bahan
tambahan lain, 2) Prosesnya cepat dan mudah, yang berarti prosesnya tidak
memerlukan biaya tinggi, 3) Prosesnya tidak mengakibatkan perubahan yang
signifikan pada struktur kimia, partikel, dan senyawa-senyawa bahan yang
digunakan. Hal-hal yang mempengaruhi kemampuan ultrasonik untuk
menimbulkan efek kavitasi yang diaplikasikan pada produk pangan antara lain
karakteristik ultrasonik seperti frekuensi, intensitas, amplitudo, daya, karakteristik
produk (seperti viskositas, tegangan permukaan) dan kondisi sekitar seperti suhu
dan tekanan (Williams, 1983).

f) Microwave

11
Microwave bekerja dengan melewatkan radiasi gelombang mikro pada
molekul air, lemak, maupun gula yang sering terdapat pada bahan yang akan
diekstrak.
Prinsip dari metode microwave adalah gelombang mikro merupakan hasil
radiasi yang dapat ditransmisikan, dipantulkan atau diserap tergantung dari bahan
yang berinteraksi dengannya. Microvawe memanfaatkan 3 sifat dari gelombang
mikro tersebut dalam proses memasak. Gelombang mikro dihasilkan oleh
magnetron, gelombang tersebut ditransmisikan ke dalam waveguide, lalu
gelombang tersebut dipantulkan ke dalam fan stirrer dan dinding dari ruangan
didalam oven, dan kemudian gelombang tersebut diserap oleh bahan yang akan
diekstrak. Ekstraksi menggunakan microwave lebih menguntungkan bila
dibandingkan dengan ekstraksi dengan metode konvensional.

Menurut Paar (2000), ekstraksi menggunakan microwave dapat


menggunakan pelarut tunggal atau campuran dari berbagai macam pelarut. Setiap
jenis pelarut mempunyai daya absorpsi terhadap gelombang mikro yang berbeda-
beda. Kemampuan absorpsi berbagai jenis pelarut terhadap gelombang mikro.

2.2 Parameter dan Metode Uji Ekstrak

Untuk menjamin keseragaman senyawa aktif, keamanan maupun


kegunaan simplisia harus memenuhi persyaratan minimal untuk standardisasi

12
simplisia. Standardisasi simplisia mengacu pada tiga konsep antara lain sebagai
berikut:

 Simplisia sebagai bahan baku harus memenuhi 3 parameter mutu umum


(nonspesifik) suatu bahan yaitu kebenaran jenis (identifikasi), kemurnian,
aturan penstabilan (wadah, penyimpanan, distribusi)
 Simplisia sebagai bahan dan produk siap pakai harus memenuhi trilogi
Quality-Safety-Efficacy
 Simplisia sebagai bahan dengan kandungan kimia yang berkontribusi
terhadap respon biologis, harus memiliki spesifikasi kimia yaitu komposisi
(jenis dan kadar) senyawa kandungan (Depkes RI, 1985).

Kontrol kualitas merupakan parameter yang digunakan dalam proses


standardisasi suatu simplisia. Parameter standardisasi simplisia meliputi parameter
non spesifik dan spesifik. Parameter nonspesifik lebih terkait dengan faktor
lingkungan dalam pembuatan simplisia sedangkan parameter spesifik terkait
langsung dengan senyawa yang ada di dalam tanaman.

2.2.1 Parameter Non Spesifik

Parameter non spesifik meliputi uji terkait dengan


pencemaran yang disebabkan oleh pestisida, jamur, aflatoxin,
logam berat, penetapan kadar abu, kadar air, dan penetapan
susut pengeringan.

1) Susut Pengeringan dan Bobot Jenis


Susut pengeringan merupakan pengukuran sisa zat setelah
pengeringan pada temperatur 105°C selama 30 menit atau
sampai konstan, yang dinyatakan dalam porsen. Dalam hal
khusus (jika bahan tidak mengandung minyak menguap/atsiri
dan sisa pelarut organik) identik dengan kadar air, yaitu
kandungan air karena berada di atmosfer/lingkungan udara
terbuka (Depkes RI, 2000).

13
Parameter bobot jenis ekstrak merupakan parameter yang
mengindikasikan spesifikasi ekstrak uji. Parameter ini penting,
karena bobot jenis ekstrak tergantung pada jumlah serta jenis
komponen atau zat yang larut didalamnya (Depkes RI, 2000).
2) Kadar Air

Kadar air adalah banyaknya hidrat yang terkandung zat


atau banyaknya air yang diserap dengan tujuan untuk
memberikan batasan minimal atau rentang tentang besarnya
kandungan air dalam bahan (Depkes RI, 2000).

3) Kadar Abu

Kadar abu merupakan campuran dari komponen organik atau mineral yang
terdapat pada suatu bahan pangan. Bahan pangan terdiri dari 96% bahan
anorganik dan air, sedangkan sisanya merupakan unsur-unsur mineral. Unsur juga
dikenal sebagai zat organik atau kadar abu. Kadar abu tersebut dapat menunjukan
total mineral dalam suatu bahan pangan. Bahan-bahan organic dalam proses
pembakaran akan terbakar tetapi komponen anorganiknya tidak, karena itulah
disebut sebagai kadar abu. Parameter kadar abu merupakan pernyataan dari
jumlah abu fisiologik bila simplisia dipijar hingga seluruh unsur organik hilang.
Abu fisiologik adalah abu yang diperoleh dari sisa pemijaran (Depkes RI, 2000).

Penentuan kadar abu total dapat digunakan untuk berbagai tujuan, antara
lain untuk menentukan baik atau tidaknya suatu pengolahan, mengetahui jenis
bahan yang digunakan, dan sebagai penentu parameter nilai gizi suatu bahan
makanan. Penggilingan gandum, misalnya, apabila masih banyak lembaga dan
endosperm maka kadar abu yang dihasilkannya tinggi. Banyaknya lembaga dan
endosperm pada gandum menandakan proses pengolahan kurang baik karena
masih banyak mengandung bahan pengotor yang menyebabkan hasil analisis
kadar abu menjadi tidak murni. Kandungan abu juga dapat digunakan untuk
memperkirakan kandungan dan keaslian bahan yang digunakan. Kadar abu
sebagai parameter nilai gizi, contohnya pada analisis kadar abu tidak larut asam
yang cukup tinggi menunjukan adanya kontaminan atau bahan pengotor pada

14
makanan tersebut. Penentuan kadar abu dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu
pengabuan cara langsung (cara kering) dan pengabuan cara tidak langsung (cara
basah).

4) Sisa Pelarut

Prinsip : menentukan kandungan sisa pelarut tertentu (yang memang


ditambahkan) yang secara umum dengan kromatografi gas. Untuk ekstrak cair
berarti kandungan pelarutnya. Misalnya alkohol.

Tujuan : memberikan jaminan bahwa selama proses tidak meninggalkan


sisa pelarut yang memang seharusnya tidak boleh ada. Sedangkan untuk ektrak
cair menunjukan pelarut (alkohol) sesuai dengan yang ditetapkan.

Prosedur :

a. Cara destilasi

Cara ini sesuai untuk penetapan ekstrak cair dan tingtura. Destilat yang
keruh dapat dijernihkan dengan pengocokan menggunakan talk P atau kalsium
karbonat P, saring, setelah itu suhu filtrat diatur dan kandungan etanol oleh
penguapan. Untuk mencegah buih yang mengganggu dalam cairan selama
destilasi tambahkan asam kuat seperti asam fosfat P, asam sulfat P, atau asam
tanat P atau cegah dengan penambahan larutan kalsium klorida P dengan sedikit
berlebih atau sedikit parafin P atau minyak silikon sebelum destilasi.

Cara untuk cairan yang diperkirakan mengandung etanol 30% atau kurang.
Pipet tidak kurang dari 25 mL cairan uji ke dalam alat destilasi yang sesuai, catat
destilasi hingga diperoleh destilat lebih kurang 2 mL lebih kecil dari volume
cairan uji yang dipipet. Atur suhu destilat hingga sama dengan suhu pada waktu
pemipetan. Tambahkan air secukupnya hingga volume sama dengan volume
cairan uji.

Cara untuk cairan yang diperkirakan mengandung alkohol lebih dari 30%
lakukan menurut cara diatas, lebih kurang dua kali volume cairan uji. Kumpulkan
destilat hingga kurang lebih 2 mL lebih kecil dari dua kali volume cairan uji yang

15
dipipet, atur suhu sama dengan cairan uji. Tambahkan air secukupnya hingga
volume dua kali cairan uji yang dipipet, campur, dan tetapkan bobot jenis. Pipet
25 mL cairan uji, masukkan ke dalam corong pisah, tambahkan air dengan volume
sama. Jenuhkan campuran dengan natrium klorida P, tambahkan 25 mL heksana P
dan kocok untuk mengekstraksi zat mudah menguap lain yang mengganggu.
Pisahkan lapisan bawah ke dalam corong pisah kedua. Ulangi ekstraksi dua kali,
tiap kali dengan 25 mL heksana P. tampung destilat hingga sejumlah volume
mendekati volume uji semula.

b. Cara kromatografi gas-cair

Alat kromatigrafi gas dilengkapi dengan detektor ionisasi nyala dan kolom
kaca 1,8 m x 4 mm berisi fase diam S3 dengan ukuran partikel 100 mesh hingga
120 mesh. Gunakan nitrogen P atau helium P sebagai gas pembawa. Sebelum
digunakan kondisikan kolom semalam pada suhu 235oC alirkan gas pembawa
dengan laju aliran lambat. Atur aliran gas pembawa dan suhu (lebih kurang 120o)
sehingga baku internal asetonitril tereluasi dalam waktu 5 menit sampai 10 menit.

Larutan baku I. Encerkan 5,0 mL etanol mutlak P dengan air hingga 250,0
mL.; Larutan baku internal. Encerkan 5,0 mL asetonitril P dengan air hingga
kadar etanol lebih kurang 2% v/v; Larutan uji II. Pipet masing-masing 10 mL
larutan uji I dan larutan baku internal ke dalam labu terukur 100 mL, encerkan
dengan air sampai tanda.; Larutan baku II. Pipet masing-masing 10 mL larutan
baku I dan larutan baku internal ke dalam labu terukur 100 mL, encerkan dengan
air sampai tanda.

Prosedur : suntikkan masing-masing 2 kali, lebih kurang 0,5 mL larutan


uji II dan larutan baku II ke dalam kromatograf, rekam kromatogram dan tetapkan
perbandingan respons puncak. Hitung presentase etanol.

5) Residu Pestisida

Prinsip : menentukan kandungan sisa pestisida yang mungkin saja pernah


ditambahkan atau mengkontaminasi pada bahan simplisia pembuatan ekstrak.

16
Tujuan : memberikan jaminan bahwa ekstrak tidak mengandung pestisida
melebihi nilai yang ditetapkan karena berbahaya (toksik) bagi kesehatan.

Prosedur : Jika kandungan kimia pengganggu analisis yang bersifat


nonpolar relatif kecil seperti pada ekstrak yang diperoleh dengan penyari air atau
etanol berkadar kurang dari 20%, analisis dapat dilakukan dengan metode KLT
atau kromatografi gas jika tidak terdapat unsur N seperti klorofil, alkaloid dan
amina nonpolar lain.

6) Cemaran Logam Berat

Parameter cemaran logam berat adalah menentukan kandungan logam


berat secara spektroskopi serapan atom atau lainnya yang lebih valid. Tujuan dari
parameter ini adalah untuk memberikan jaminan bahwa ekstrak tidak mengandung
logam berat tertentu melebihi nilai yang ditetapkan karena berbahaya bagi
kesehatan (Anonim, 2000).

 Pb : ≤ 10 mg/kg atau mg/L atau ppm


 Cd : ≤ 0,3 mg/kg atau mg/L atau ppm
 As : ≤ 5 mg/kg atau mg/L atau ppm
 Hg : ≤ 0,5 mg/kg atau mg/L atau ppm
7) Cemaran Mikroba

Parameter cemaran mikroba digunakan untuk menentukan (identifikasi)


adanya mikroba yang pathogen secara analisis. Tujuan dari parameter ini adalah
untuk memberikan jaminan bahwa ekstrak mengandung mikroba pathogen dan
tidak mengandung mikroba nonpatogen melebihi batas yang ditetapkan karena
berpengaruh terhadap stabilitas ekstrak dan berbahaya bagi kesehatan (Anonim,
2000).

 Angka lempeng total : ≤ 106 koloni/g


 Angka kapang khamir : ≤ 104 koloni/g
 Eschercia coli : negative/g
 Salmonella spp : negative/g
 Pseudomonas aeruginosa : negative/g

17
 Staphylococcus aureus : negative/g

2.2.2 Parameter Spesifik


1) Identitas
 Parameter identitas ekstrak :
 Memberikan identitas obyektif dari nama dan spesifik dari
senyawa identitas
a. Deskripsi tata nama :
 Nama ekstrak (generik,dagang,paten) contoh, Curcuma
Extractum ( ekstak temulawak)
 Nama latin tumbuhan (sistematika botani) contoh,
Curcuma xanthorrhiza Roxb
 Bagian tumbuhan yang digunakan (rimpang, daun dsb)
contoh, Curcumae Rhizoma
 Nama indonesia Tumbuhan, contoh Temulawak (Indonesia)
b. Senyawa identitas ekstrak atau senyawa tertentu yang
menjadi petunjuk spesifik dengan metode tertentu. Contoh
pada ekstrak Curcuma xanthorrhiza Roxb memiliki senyawa
identitas yaitu Xanthorrhizol

2) Organoleptik

Parameter organoleptik ekstrak bertujuan sebagai


pengenalan awal yang sederhana seobyektif mungkin mengenai
ekstrak :

Penggunaan pancaindra mendiskripsikan bentuk, warna,


bau, rasa sebagai berikut :

 Bentuk : Padat, serbuk-kering, kental, cair, cair


 Warna : kuning, coklat, dll
 Bau : aromatik, tidak berbau, dll
 Rasa : Pahit, manis, kelat dll

18
3) Senyawa terlarut dalam pelarut tertentu

Melarutkan ekstrak dengan pelarut (alkohol atau air) untuk


ditentukan jumlah solut yang identik dengan jumlah senyawa
kandungan secara gravimetri. Dalam hal tertentu dapat diukur
senyawa terlarut dalam pelarut lain misalnya heksana,
diklorometan,metanol. Parameter ini bertujuan untuk
memberikan gambaran awal jumlah senyawa kandungan.
Prosedur uji senyawa terlarut dalam pelarut tertentu :

1. Kadar senyawa yang larut dalam air

Maserasi sejumlah 5,0 gram ekstrak selama 24 jam dengan


100 ml air kloroform LP menggunakan labu bersumbat sambil
berkali-kali dikocok selama 6 jam pertama dan kemudian
dibiarkan selama 18 jam. Saring, uapkan 20 ml filtrat hingga
kering dalam cawan dangkal berdasar rata yang telah di tara,
panaskan residu pada suhu 105°C hingga bobot tetap. Hitung
kadar dalam persen senyawa yang larut dalam air, dihitung
terhadap ekstrak awal.

2. Kadar senyawa yang larut dalam etanol

Maserasi sejumlah 5,0 gram ekstrak selama 24 jam dengan


100 ml etanol (95%), menggunakan labu bersumbat sambil
berkali-kali dikocok selama 6 jam pertama dan kemudian
dibiarkan selama 18 jam. Saring cepat dengan menghindarkan
penguapan etanol, kemudian uapkan 20 ml filtrat hingga kering
dalam cawan dangkal berdasar rata yang telah di tara, panaskan
residu pada suhu 105°C hingga bobot tetap. Hitung kadar dalam
persen senyawa yang larut dalam etanol (95%), dihitung
terhadap ekstrak awal.

2.2.3 Uji Kandungan Kimia Ekstrak


1) Parameter pola kromatogram

19
Pengertian dan prinsip: Ekstrak ditimbang, diekstraksi dengan pelarut dan
cara tertentu, kemudian dilakukan analisis kromatografisehingga memberikan
pola kromatogram yang khas.

Tujuan : Memberikan gambaran awal komposisi kandungan kimia


berdasarkan pota kromatogram (KLT, KCKT, KG).

Nilai: Kesamaan pola dengan data baku yang ditetapkan tertebih dahulu

Prosedur

 Penyiapan larutan uji : Ekstrak ditimbang dan diekstraksi berturut-turut


dengan pelarut hexane, etilasetat, etanol,mair. Cara ekstraksi dapat
dilakukan dengan pengocokan selama 15 menit atau dengan getaran
ultrasonic atau dengan pemanasan kemudian disaring untuk mendapatkan
larutan uji.
 Kromatografi Lapis Tipis (KLT = TLC) : Umumnya dibuat kromatogram
pada lempeng silica gel dengan berbagai jenis fase gerak sesuai dengan
golongan kandungan kimia sebagai sasaran anatisis. Evaluasi dapat
dilakukan dengan dokumentasi foto hasil pewarnaan lempeng
kromatografi dengan pereaksi yang sesuai atau dengan melihat
kromatogram hasil perekaman menggunakan instrumen densitometer
(TLC-Scanner). Perekaman dapat dilakukan secara absorbsi-refleksipada
panjang gelombang 254 nm, 365 nm dan 415 nm atau pada panjang
gelombang lain yang spesifik untuk suatu komponen yang telah diketahui.
 Kromatografi Gas (KG = GC): Sistem kromatografi gas mempunyai
resolusi tinggi sehingga optimal untuk pemisahan komponen yang
stabil dengan pemanasan.

Umumnya dibuat profil kandungan minyak atsiri atau metabolit


sekunder tertentu lainnya seperti jenis fitosterol. Jenis kolom umumnya
ada 3 jenis sesuai dengan urutan kepolaritasannya, yaitu OV-1, OV-% dan
Carbowax 20M. Pemisahan dilakukan dengan menggunakan program
temperatur, dari temperatur rendah sampai temperatur maksimal kolom.

20
Detektor yang digunakan umumnya hanya FID karena metabolit sekunder
tumbuhan umumnya senyawa organik hidrokarbon.

 Kromatografi Cair Klnerja Tinggi (KCKT = HPLC): Umumnya pola


kromatogram kandungan kimia yang termolabil dibuat dengan HPLC.
Kemampuannya tergantung pada jenis kolom, fase gerak dan detektor.
Kolom umumnya digunakan jenis ODS (RP18). Eluasi dilakukan dengan
program gradien linear. Deteksi dengan spektrofotometer monokromatis
dilakukan pada panjang gelombang 210 nm, 254 nm, 300 nm dan 365 nm.
Deteksi secara spektrofluoresensi digunakan jika dibutuhkan pola
kromatogram yang selektif dan khusus pada golongan kandungan kimia.

2) Parameter Kadar Kandungan Kimia Tertentu

Pegertian dan prinsip: Dengan tersedianya suatu kandungan kimia yang


berupa senyawa identitas atau senyawa kimia utama ataupun kandungan kimia
lainnya, maka secara kromatografi instrumental dapat dilakukan penetapan kadar
kandungan kimia tersebut. Instrumen yang dapat digunakan adalah Densitometer,
Kromatografi Gas, Kromatografi Cair Kinerja Tinggi atau instrumen lain yang
sesuai. Metocle penetapan kadar harus diuji dahulu validitasnya, yaitu batas
deteksi, selektivitas, linearitas, ketelitian, ketepatan dan lain-lain.

Tujuan: Memberikan data kadar kandungan kimia tertentu sebagai


senyawa identitas atau senyawa yang diduga bertanggung jawab pada efek
farmakologi. Contoh adalah penetapan kadar andrografolid dalam ekstrak
sambiloto secara HPLC atau penetapan kadar pinostrobin dalam ekstrak temu
kunci secara densitometri.

Nilai: Minimal atau rentang kadar yang telah ditetapkan.

Prosedur:

Kadar kandungan kimia aktif / utama / identitas Spesifik untuk masing-


masing ekstrak yang distandardisasi.

3) Kadar Total Golongan Kandungan Kimia

21
a) Pengertian dan Prinsip

Merupakan metode yang sudah teruji validitasnya, terutama selektivitas


dan linearitas untuk menetapkan kadar golongan kandungan kimia. Beberapa
golongan kandungan kimia yang dapat dikembangkan dan ditetapkan metodenya,
yaitu :

1. Golongan minyak atsiri


2. Golongan steroid
3. Golongan tanin
4. Golongan flavonoid
5. Golongan triterpenoid (saponin)
6. Golongan alkaloid
7. Golongan antrakuinon
b) Tujuan

Memberikan informasi kadar golongan kandungan kimia sebagai


parameter mutu ekstrak dalam kaitannya dengan efek farmakologi.

c) Jenis – jenis Metode


1. Golongan minyak atsiri
- Letakkan labu alas bulat 1 liter berleher pendek dalam pemanas yang
dilengkapi dengan pengaduk magnetic. Masukkan batang pengaduk
magnetic ke dalam labu, hubungkn labu dengan pendingin dan alat
penampung berskala.
- Timbang ekstrak dan masukkan ke dalam labu yang telah dihubungkan
dengan pendingin dan penampung berskala.
- Didihkan isi labu dengan pemanasan yang sesuai sampai minyak atsiri
terdestilasi sempurna.Sejumlah volume minyak atsiri akan tertampung
dalam penampung berskala, pencatatan dapat dilakukan dengan
pembacaan sampau 0,1 ml.

2. Golongan steroid

Larutan baku :

22
- Timbang 1 mg sitosterol, larutkan dalam etanol secara bertingkat sehingga
diperoleh kadar 5 ug/ml, 10ug/ml, dan 20 ug/ml.

Larutan Uji :

- Timbang ekstrak sebanyak 1 gram, larutkan dengan etanol dalam labu


takar. Lakukan sebanyak tiga kali.
- Ke dalam dua labu yang masing – masing berisi larutan uji dan labu ketiga
yang berisi 20 ml etanol sebagai blanko, tambahkan 2 ml larutan (50 mg
biru tetrazolium dalam 10 ml methanol).
- Kemudian tambahkan 2 ml campuran etanol dan trimetil ammonium
hidroksida (9:1) dan biarkan dalam gelap selama 90 menit.
- Ukur serapan dalam panjang gelombang 525 nm dan bandingkan dengan
blanko.

3. Golongan tanin
- Ekstrak ditimbang sebanyak kurang lebih 2 gram.
- Panaskan dengan 50 ml air mendidih selama 30 menit sambil diaduk
- Diamkan selama beberapa menit, kemudian tuangkan ke dalam labu takar
250 ml dengan kapas sebagai penyaring.
- Kemudian, sari sisa ditambahkan air mendidih, saring larutan ke dalam
labu takar yang sama.
- Ulangi penyarian beberapa kali hingga larutan bila direaksikan dengan besi
(III) ammonium sulfat tidak menunjukkan adanya tanin.
- Dinginkan cairan dan tambahkan air secukupnya hingga 250 ml.
- Pipet 25 ml larutan ke dalam labu 1000 ml, tambahkan 750 ml air dan 25
ml asam indigo sulfonat.
- Titrasi dengan kalium permanganat 0,1 N hingga larutan berwarna kuning
emas. 1 ml kalium permanganat 0,1 N setara dengan 0,004157 g tanin.

4. Golongan flavonoid
- Timbang ekstrak setara dengan 200 mg simplisia dan masukkan ke dalam
labu bulat atas.

23
- Tambahkan system hidrolisis ( 1 ml larutan 0,5% b/v
heksametilentetramina, 20 ml aseton, dan 2 ml larutan 25% HCl dalam air.
- Lakukan hidrollisis dengan pemanasan sampai mendidih selama 30 menit.
- Saring hasil hidrolisis dengan kapas ke dalam labu ukur 100 ml.
- Residu hasil hidrolisis ditambahkan 20 ml aseton untuk dididihkan
kembali. Lakukan sebanyak dua kali dan filtrate dikumpulkan semua ke
dalam labu ukur.
- Setelah dingin maka volume di add sampai 100 ml dan dikocok rata.
- 20 ml filtrate hidrolisa dimasukkan ke dalam corong pisah dan tambahkan
20 ml H20.
- Selanjutnya lakukan ekstraksi kocok dengan 15 ml etil asetat, 2 kali dengan
10 ml etilasetat dan kumpulkan fraksi etilasetat ke dalam labu ukur 50 ml.
- Terakhir, tambahkan etilasetat sampai 50 ml dan lakukan spektrometri 3-4
kali.

5. Golongan triterpenoid (saponin)


- Timbang 0,5 gram ekstrak, kemudian campurkan dalam 50 ml larutan
dapar fosfat pH 7,4, kemudian panaskan, dinginkan, lalu saring.
- Ambil 1 ml filtrate, campurkan dengan 1 ml suspensi darah.
- Diamkan selama 30 menit sampai terjadi hemolisa total yang menunjukkan
adanya saponin.
- Kadar saponin dalam ekstrak dapat ditetapkan dengan melakukan berbagai
pengenceran filtrate dan diamati kadar yang masih menghasilkan hemolisa
total dibandingkan saponin pembanding.

6. Golongan alkaloid
- Timbang 1 gram ekstrak dan masukkan ke dalam corong pisah 125 ml,
tambahkan 20 ml larutan asam sulfat, dan kocok selama 5 menit.
- Tambahkan 20 ml eter, kocok hati – hati, saring lapisan asam ke dalam
corong pisah 125 ml.

24
- Kocok lapisan eter dua kali, tiap kali dengan 10 ml larutan asam sulfat,
saring tiap lapisan asam ke dalam corong pisah 125 ml kedua dan buang
lapisan eter.
- Pada ekstrak asam tambahkan 10 ml natirum hidroksida dan 50 ml eter,
kocok hati – hati, pindahkan lapisan air ke dalam corong pisah 125 ml
ketiga berisi 50 ml eter.
- Kocok corong pisah ketiga hati – hati, buang lapisan air, cuci lapisan eter
pada corong pisah kedua dan ketiga berisi 20 ml air, buang lapisan air.
- Ektraksi kedua lapisan eter masing – masing dengan 20 ml, 20 ml, dan 5 ml
larutan asam sulfat ( 1 dalam 70).
- Lakukan ekstraksi pada corong pisah ketigalebih dahulu, setelah itu corong
pisah kedua.
- Campur ekstrak asam dalam labu terukur 50 ml, encerkan dengan asam
sampai tanda.
- Lakukan hal yang sama terhadap 25 mg alkaloid pembanding yang
tersedia.
- Encerkan masing – masing 5 ml larutan uji dan larutan pembanding dengan
larutan asam sulfat (1 dalam 70) hingga 100 ml dan tetapkan serapan tiap
larutan pada panjang gelombang tertentu menggunakan larutan asam sulfat
(1 dalam 70) sebagai blanko.

7. Golongan antrakinon
- Timbang 0,1 gram ekstrak, kemudian kocok dengan 10 ml air panas selama
5 menit.
- Saring dalam keadaan panas, lalu dinginkan filtrate.
- Kemudian, ekstraksi filtrate dengan 10 ml benzene.
- Pisahkan lapisan air dengan lapisan benzene, kemudian tambahkan 10 ml
feri klorida 5% dan 5 ml asam klorida.
- Setelah itu, dinginkan dan ekstraksi dengan 10 ml benzene. Uapkan cairan
hingga habis.
- Larutkan residu dalam 5 ml larutan kalium hidroksida 5% dalam methanol.

25
- Kemudian, ukur serapan pada panjang gelombang 515 nm dan hitung
kadarnya.

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

 Pada proses pembuatan ekstrak dalam industri dapat menggunaka metode


maserasi, perkolasi, soxhlet, refluks, sonikasi dan microwave.
 Parameter yang digunakan dalam pengujian ekstrak terdiri dari parameter non
spesifik dan parameter spesifik.
 Parameter non spesifik dalam pengujian ekstrak terdiri dari susut pengeringan,
kadar air, kadar abu, sisa pelarut, residu pestisida, cemaran logam berat, dan
cemaran mikroba.
 Parameter spesifik terdiri dari identitas, orgnoleptik dan senyawa terlarut
dalam pelarut tertentu.
 Metode dalam uji kandungan ekstrak yaitu pola kromatogram, kadar total
golongan kandungan dan kadar kandungan kimia tertentu

26
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1986, Sediaan Gelenik. Depkes RI. Jakarta

Ansel, 1985. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Ed. 4 UI press. Jakarta

Departemen Kesehatan RI. 2000. Parameter Standar Umum Extra Tumbuhan


Obat. Jakarta

Dinda.2008. Ektraksi.Medica press. Jakarta

Lenny, 2006. Isolasi Dan Uji Biokaktifitas Pudding Merah Uji Brine Shrimp.
USU. Medan

Runandi,2007. Isolasi dan Identifikasi Alkaloid Herba Komfrey. Universitas


Pajajaran. Bandung

Voight 1994,1995. Teknologi farmasi. UGM press. Yogyakarta

Suslick, K. S. 1988. Ultrasounds: Its Chemical, Physical and Biological Effects.


VHC Publishers, New York.

McClements D.J. 1995. Advances in The Application of Ultrasound in Food


Analysis and rocessing. Trends Food Sci. Techn. 6, 293-299.

Mason, T. J. 1990. Introduction, Chemistry with Ultrasound. Edited by T.J


Mason. Elsevier Applied Science. London.

Kuldiloke, J. 2002. Effect of Ultrasound, Temperature and Pressure Treatments


on Enzyme Activity and Quality Indicators of Fruit and Vegetable Juices.
Dissertationder Technischen Universität Berlin. Berlin.

27
Lida, Y., Tuziuti T., Yasui K., Towata A., and Kozuka T.2002. Control of
Viscosity in Starch and Polysaccharide Solution with Ultrasound After
Gelatinization. Journal of National Institute of Advanced Industrial
Science and Technology (AIST).Nagoya, Japan.

Liu, Q. M., et al. 2010. Optimization of Ultrasonic-assisted extraction of


chlorogenic acid from Folium eucommiae and evaluation of its
antioxidant activity. Journal of Medicinal Plants Research Vol. 4(23), pp.
2503-2511.

Keil, F. J. 2007. Modeling of Process Intensification. In Alupului, A., Ioan


Calinescu, and Vasile Lavric. 2009. Ultrasonic Vs. Microwave Extraction
Intensification of Active Principles From Medicinal Plants. AIDIC
Conference Series, Vol. 9 2009 page 1-8.

28

Anda mungkin juga menyukai