Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH TEKNOLOGI BAHAN ALAM

Metode Ekstraksi Konvensional

Kelas Teknologi Bahan Alam


Kelompok 1
Disusun oleh:

Adhila K Larasati 1306376861


I Gede Onick Dharma Saputra 1306377266
Karla Carolina 1306377575
Loranda Angeline 1306377184

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2017
KATA PENGANTAR

Pertama-tama, penyusun mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha


Esa karena atas limpahan rahmat dan karunia-Nya, tugas makalah Teknologi Bahan
alam yang berjudul “Metode Ekstraksi dan Peralatan/Mesin yang Digunakan” dapat
diselesaikan dengan tepat waktu. Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk
mengetahui metode ekstraksi yang dapat digunakan pada bagian tanaman tertentu
beserta pemaparan mengenai peralatan atau mesin yang digunakan. Disamping itu,
makalah ini pun bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Teknologi Bahan
Alam. Selain itu, tak lupa penyusun mengucapkan terimakasih kepada Bapak Dr.
Abdul Mun'im M.Si. Apt. selaku dosen pada mata kuliah Teknologi Bahan Alam ini
serta teman-teman yang turut membantu dalam penyusunan makalah ini sehingga
makalah ini dapat terselesaikan tepat waktu.
Penyusun pun tak lupa mengucapkan mohon maaf bila apabila ada kesalahan
atau kata-kata yang kurang berkenan yang ada didalam makalah ini. Oleh karena itu,
penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran serta masukan dari para pembaca
demi kesempurnaan makalah ini dimasa yang akan datang.

Depok, 25 April 2017

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

iii
BAB I

PENDAHULUAN

a. LATAR BELAKANG
Ilmu tentang pemanfaatan bahan alam semakin berkembang luas dan secara
langsung menuntut perkembangan teknologi dari pemanfaatan tersebut untuk terus
dikembangkan dan dipelajari, yaitu mengenai teknologi bahan alam. Pemanfaatan
bahan alam untuk dijadikan suatu produk yang berkhasiat harus melalui berbagai
macam proses dan salah satu yang terpenting ialah ekstraksi.
Proses ekstraksi merupakan proses yang sangat penting dan diperlukan
pengetahuan yang harus terus-menerus dikaji agar metode yang digunakan tepat dan
dapat menghasilkan produk sesuai dengan standar yang diinginkan. Ekstraksi juga
merupakan proses yang mengawali serangkaian produksi obat jadi sebelum
dilakukannya analisis kuantitatif maupun kualitatif dari kandungan bahan alam yang
dikaji.Oleh karena itu, perlu diketahui informasi-informasi terkait jenis-jenis
ekstraksi, sehingga dapat diaplikasikan dalam pengolahan bahan alam.

b. TUJUAN
1. Mengetahui teori dasar mengenai ekstraksi.
2. Mengetahui berbagai macam tipe ekstraksi.
3. Mengetahui karakteristik masing-masing metode ekstraksi.

c. METODE PENULISAN
Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah metode studi
kepustakaan, di mana penulis mencari informasi-informasi yang dibutuhkan dari
berbagai sumber tertulis, seperti buku, jurnal penelitian, dan lain-lain.

1
BAB II
ISI

2.1 Metode Ekstraksi


Ekstraksi adalah proses penarikan suatu senyawa yang terkandung dalam
bahan alam dengan menggunakan pelarut yang sesuai dengan kelarutan senyawa
tersebut.Ekstraksi bertujuan untuk melarutkan senyawa-senyawa yang terdapat
dalam jaringan tanaman atau hewan ke dalam pelarut yang dipakai untuk proses
penarikan senyawa tersebut.(Satuhu and Yulianti, 2012)

Jenis-jenis metode ekstraksi bahan alam yang sering dilakukan terbagi 2,


yaitu metode ekstraksi cara dingin dan cara panas. Ekstraksi cara dingin
dilakukan denngan tidak ada proses pemanasan selama proses ekstraksi
berlangsung, tujuannya untuk menghindari rusaknya senyawa yang dimaksud
rusak karena pemanasanan. Jenis ekstraksi dingin adalah maserasi dan perkolasi

Sedangkan ekstraksi cara panas Metoda ini pastinya melibatkan panas


dalam prosesnya. Adanya panas secara otomatis akan mempercepat proses
penyarian dibandingkan cara dingin. Beberapa diantaranya adalah adalah
refluks, ekstraksi dengan alat soxhlet dan infusa.

Selain itu, terdapat beberapa metode ekstraksi lainnya yang mempunyai


karakteristik masing –masing dalam penarikan senyawa seperti distilasi,
Ultrasonic Extraction, Microwave Assisted Extraction, Super Critical Extraction,
Subcritical Water Extraction, Pressurized Hot Water Extractiondan lain-lain.

2.1.1 Cara Dingin


2.1.1.1 Maserasi
2.1.1.1.1 Definisi
Maserasi adalah salah satu jenis metoda ekstraksi dengan sistem tanpa
pemanasan atau dikenal dengan istilah ekstraksi dingin, jadi pada metoda ini pelarut

2
dan sampel tidak mengalami pemanasan sama sekali. Sehingga maserasi merupakan
teknik ekstraksi yang dapat digunakan untuk senyawa yang tidak tahan panas ataupun
tahan panas. Namun biasanya maserasi digunakan untuk mengekstrak senyawa yang
tidak tahan panas (termolabil) atau senyawa yang belum diketahui sifatnya. Karena
metoda ini membutuhkan pelarut yang banyak dan waktu yang lama. Secara
sederhana, maserasi dapat kita sebut metoda “perendaman” karena memang proses
ekstraksi dilakukan dengan hanya merendam sampel tanpa mengalami proses lain
kecuali pengocokan (bila diperlukan).
Prinsip maserasi adalah pengikatan/pelarutan zat aktif berdasarkan sifat
kelarutannya dalam suatu pelarut (like dissolved like)(Saifudin, 2012), penyarian zat
aktif yang dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari
yang sesuai selama tiga hari pada temperatur kamar, terlindung dari cahaya, cairan
penyari akan masuk ke dalam sel melewati dinding sel. Isi sel akan larut karena
adanya perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam sel dengan di luar sel. Larutan
yang konsentrasinya tinggi akan terdesak keluar dan diganti oleh cairan penyari
dengan konsentrasi rendah (proses difusi). Peristiwa tersebut berulang sampai terjadi
keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel. Selama proses
maserasi dilakukan pengadukan dan penggantian cairan penyari setiap hari. Endapan
yang diperoleh dipisahkan dan filtratnya dipekatkan. Maserasi merupakan cara
penyarian sederhana yang dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam
cairan penyari selama beberapa hari pada temperatur kamar dan terlindung dari
cahaya.(Ansel, 1989)
Maserasi dapat dilakukan dengan modifikasi, salah satunya adalah remaserasi
dan maserasi bertingkat. Remaserasiyaitu pengulangan penambahan pelarut setelah
dilakukan penyaringan maserat pertama dan seterusnya. Sedangkan maserasi
bertingkat dilakukan dengan menggunakan pelarut yang berdasarkan pada tigkat
kepolarannya. Maserasi ini dimulai dari pelarut yang paling non polar hingga pelarut
yang sangat polar. Penggantian pelarut pada maserasi bertingkat ditentukan dengan
memastikan bahwa maserat pada tingkatan tertentu sudah tidak lagi mengandung

3
metabolit sekunder yang dimaksud (dengan melihat intensitas warna atau dengan
KLT) (Elya, 2015)
1) Kelebihan dari metode Maserasi:
- Unit alat yang dipakai sederhana, hanya dibutuhkan bejana perendam
- Biaya operasionalnya relatif rendah
- Prosesnya relatif hemat penyari dan tanpa pemanasan
2) Kekurangan dari metode Maserasi:
1) Proses penyariannya tidak sempurna, karena zat aktif hanya mampu
terekstraksi sebesar 50% saja
2) Prosesnya lama, butuh waktu beberapa hari.
2.1.1.1.2 Cara kerja:
1) Simplisia kering ditimbang, kemudian digiling hingga menjadi serrbuk
2) Serbuk simplisia dimasukkan kedalam bejana, kemudian diisi dengan
sejumlah pelarut sehingga seluruh simplisia terendam pelarut
3) Serbuk yang terendam dalam bejana diaduk hingga seluruh permukaan
serbuk dibasahi oleh pelarut.
4) Bejana ditutup dan simplisia direndam beberapa hari sambal diaduk
5) Hasil maserasi disaring dengan corong Buchner dan kertas saring, lalu
ditampung ke dalam botol penampung.
6) Filtrat yang telah ditampung diuapkan hingga menjadi ekstrak kental
7) Maserat diremaserasi kembali hingga warna pelarut menjadi lebih
jernih(Elya, 2015)

4
Gambar 1. Corong Buchner Gambar 2. bejana maserasi

2.1.1.2 Perkolasi
2.1.1.2.1 Definisi
Perkolasi adalah proses ekstraksi simplisia dengan jalan melewatkan pelarut
yang sesuai secara lama pada simplisia dalam suatu perkolator atau metode ekstraksi
cara dingin yang menggunakan pelarut mengalir yang selalu baru. Perkolasi banyak
digunakan untuk ekstraksi metabolit sekunder dari bahan alam, terutama untuk
senyawa yang tidak tahan panas (termolabil). Ekstraksi dilakukan dalam bejana yang
dilengkapi kran untuk mengeluarkan pelarut pada bagian bawah. Perbedaan utama
dengan maserasi terdapat pada pola penggunaan pelarut, dimana pada maserasi
pelarut hanya di pakai untuk merendam bahan dalam waktu yang cukup lama,
sedangkan pada perkolasi pelarut dibuat mengalir.(Ditjen POM, 1986)

Serbuk simplisia ditempatkan dalam suatu bejana silinder, yang bagian


bawahnya diberi sekat berpori. Cairan penyari dialirkan dari atas ke bawah melalui

5
serbuk tersebut, cairan penyari akan melarutkan zat aktif sel-sel yang dilalui sampai
mencapai keadaan jenuh. Gerak ke bawah disebabkan oleh kekuatan gaya beratnya
sendiri dan cairan diatasnya, dikurangi dengan daya kapiler yang cenderung untuk
menahan.
Perkolasi dilakukan dengan cara dibasahkan 10 bagian simplisia dengan
derajat halus yang cocok, menggunakan 2,5 bagian sampai 5 bagian cairan penyari
sampai 5 bagian cairan penyari dimasukkan dalam bejana tertutup sekurang-
kurangnya 3 jam. Massa dipindahkan sedikit demi sedikit ke dalam perkolator,
ditambahkan cairan penyari. Perkolator ditutup dibiarkan selama 24 jam, kemudian
kran dibuka dengan kecepatan 1 ml permenit, sehingga simplisia tetap terendam.
Filtrat dipindahkan ke dalam bejana, ditutup dan dibiarkan selama 2 hari pada tempat
terlindung dari cahaya.
Dasar pemilihan perkolator tergantung pada jenis serbuk simplisia yang akan
disari. Jumlah bahan yang disari tidak boleh lebih dari 2/3 tinggi perkolator.
Misalnya, serbuk kina yang mengandung sejumlah besar zat aktif yang larut, tidak
baik bila diperkolasi dengan alat perkolasi yang sempit, sebab perkolat akan segera
menjadi pekat dan berhenti mengalir. Pada pembuatan tingtur dan ekstrak cair,
jumlah cairan penyari yang diperlukan untuk melarutkan zat aktif. Pada keadaan
tersebut, pembuatan sediaan digunakan perkolator lebar untuk mempercepat proses
perkolasi. (Ditjen POM, 1986)
1) Kelebihan dari metode perkolasi adalah:
1. Tidak terjadi kejenuhan
2. Pengaliran meningkatkan difusi (dengan dialiri cairan penyari sehingga
zatseperti terdorong untuk keluar dari sel)
2) Kekurangan dari metode perkolasi adalah:
1. Cairan penyari lebih banyak
2. Resiko cemaran mikroba untuk penyari air karena dilakukan secara
terbuka(Milbradt, 2014)

6
2.1.1.2.2 Cara kerja:
a. Menimbang simplisia
b. Simplisia dibasahi dengan pelarut
c. Didiamkan 3 sampai 4 jam
d. Bagian bawah bejana diberi sekat berpori (kapas) untuk
menahan serbuk
e. Simplisia dimasukkan ke dalam perkolator, dengan sesekali di
padatkan dengan bambu kecil sehingga tidak ada rongga udara
f. Diberi pelarut selapis (2 cm) diatas simplisia
g. Didiamkan selama 24 jam
h. Kran dibuka, biarkan menetes 1 ml/menit sampai tetesan
bening. Cairan penyari dialirkan dari atas kebawah melalui
serbuk tersebut. Cairan penyari akan melarutkan zat aktif
dalam sel-sel yang dilalui sampai keadaan jenuh
i. Dipekatkan
.

Gambar 3. Perkolator

7
2.1.2 Cara Panas
2.1.2.1 Sokhletasi
2.1.2.1.1 Definisi
Soxhlet adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang
umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan
jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Depkes RI, 2000).
Pelarut untuk soxhlet diletakkan di atas pemanas yang telah diatur suhunya
sesuai dengan titik didih pelarut, sehingga pelarut akan menguap dan didinginkan
melalui kondensor dan pelarut akan turun ke bagian tabung sampel. Pelarut akan
kontak dan menyari kandungan kimia pada sampel. Setelah pelarutnya penuh pada
batas atas tabung sampel, maka pelarut bersamaan dengan kandungan kimia yang
larut akan turun ke dalam labu pelarut. Kemudian proses ini akan berulang kembali.
Soxhletasi dilakukan setelah beberapa kali siklus turunnya pelarut yakni dengan
melihat intensitas warna pelarut yang turun dari tabung sampel. Setelah proses
soxhletasi selesai, labu yang berisi pelarut yang tersari kandungan kimia (ekstrak
cair) sudah dapat diambil dan diuapkan menjadi ekstrak kental atau ekstrak kering
(Elya dkk, 2015).

2.1.2.1.2 Cara Kerja


Prosedur kerja metode ekstraksi soxhlet (Elya dkk, 2015):
1. Simplisia kering ditimbang, kemudian diblender/digiling hingga menjadi
serbuk.
1. Serbuk simplisia dimasukkan ke dalam kantung kertas, kemudian dimasukkan
ke dalam tabung soxhlet.
2. Labu destilasi yang berisi batu didih ditambahkan sejumlah pelarut.
3. Labu destilasi diletakkan di atas pemanas, kemudian dipasangkan pada tabung
soxhlet dan kondensor.
4. Kondensor disambungkan dengan selang yang terhubung pada keran air,
keran air masuk di bagian bawah dan keran air keluar di bagian atas. Keran air

8
harus dinyalakan terlebih dahulu sebelum pemanasnya dinyalakan, dan
dimatikan setelah pemanas dimatikan dan kondensor telah dingin.
5. Pemanas diatur suhunya sesuai titik didih pelarut.
6. Ekstraksi ditunggu hingga pelarut mendidih dan tetesan uap pelarut turun
membasahi kantung simplisia.
7. Setelah pelarut memebuhi tabung sampel, maka larutan ekstrak akan keluar
melalui pipa siphon dan turun ke dalam labu destilasi yang berisi pelarut.
8. Tahapan turunnya ekstrak pada tabung sampel dinamakan dengan satu siklus.
9. Sokletasi masih dilanjutkan hingga beberapa kali siklus, dengan melihat
intensitas warna ektrak yang turun ke dalam labu destilasi.
Metode soxhletasi menggunakan suatu pelarut yang mudah menguap dan
dapat melarutkan senyawa organik yang terdapat pada bahan tersebut, tapi tidak
melarutkan zat padat yang tidak diinginkan. Metode soxhlet ini memiliki kelebihan
yaitu dapat digunakan untuk sampel dengan tekstur yang lunak, pelarut yang
digunakan lebih sedikit, pemanasan dapat diatur, dapat digunakan berulang-ulang
sehingga substansi yang diperoleh relatif besar. Sedangkan kekurangannya yaitu
substansi harus stabil pada temperatur didih pelarut dan ekstraksi berlangsung relatif
lama karena adanya pendinginan oleh udara (Elya dkk, 2015).
Prinsip alat ini adalah bahan yang akan diekstraksi diletakkan di tabung
sokhlet (dibungkus dengan kain atau kertas saring), dan pelarut pengesktraksi
diletakkan di labu bulat. Ketika pelarut mulai mendidih, maka pelarut akan
terkondensasi dan mengisi tabung sokhlet berisi simplisia. Selanjutnya, pelarut akan
terkondensasi dan mengisi tabung sokhlet kembali. Hal ini akan terjadi berulang kali
(dihitung sebagai siklus) hingga proses ekstraksi selesai. Komponen-komponen alat
ekstraksi soxhlet adalah sebagai berikut (Elya dkk, 2015):
a. Kondensor
Berfungsi sebagai pendingin dan juga untuk mempercepat pengembunan.
b. Tabung soxhlet
Berfungsi sebagai wadah untuk sampel yang akan diambil zatnya (sampel
dibungkus dengan kertas saring).

9
c. Pipa F
Berfungsi sebagai jalannya uap untuk pelarut yang menguap dari proses
penguapan.
d. Sifon
Berfungsi sebagai perhitungan siklus, bila pada sifon larutannya penuh
kemudian jatuh ke labu alas bulat maka hal ini dinamakan 1 siklus.
e. Labu alat bulat
Berfungsi sebagai wadah bagi sampel dan pelarutnya.
f. Hot plate
Berfungsi sebagai pemanas larutan.

Gambar 4. Alat Soxhlet Skala Laboratorium

Gambar 5 . Alat Soxhlet Skala Industri

10
2.1.2.2 Refluks
2.1.2.2.1 Definisi
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya,
selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya
pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu pertama
sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna (Depkes RI,
2000).
Prinsip ekstraksi dengan metode refluks ini adalah pelarut dan simplisia
diletakkan di dalam labu destilasi atau erlenmeyer, kemudian dipanaskan pada
temperatur titik didihnya. Pelarut akan menyari kandungan kimia pada simplisia.
Setelah proses refluks selesai, maka maserat dapat diambil dan disaring.
2.1.2.2.2 Cara Kerja
Prosedur kerja metode ekstraksi refluks (Elya dkk, 2015):
1. Simplisia kering diblender/digiling hingga menjadi serbuk.
2. Serbuk simplisia dimasukkan ke dalam labu destilasi yang berisi batu didih,
kemudian ditambahkan pelarut (hingga seluruh simplisia terendam oleh
pelarut).
3. Labu destilasi diletakkan di atas pemanas, kemudian dipasangkan kondensor.
4. Kondensor disambungkan dengan selang yang terhubung pada keran air,
keran air masuk di bawah dan keran air keluar di bagian atas. Keran air harus
dinyalakan terlebih dahulu sebelumnya pemanasnya dinyalakan, dan
dimatikan setelah pemanas dimatikan dan kondensor telah dingin.
5. Pemanas diatur suhunya sesuai titik didih pelarut.
6. Ekstraksi ditunggu hingga tetesan uap pertama turun, kemudian didiamkan
hingga 30-60 menit.
7. Hasil refluks disaring menggunakan corong buchner dan kertas saring,
kemudian ditampung menggunakan botol penampung.
8. Filtrat yang telah ditampung diuapkan menggunakan rotary vacuum
evaporator hingga menjadi ekstrak kental.
9. Residu direfluks kembali sampai 3-5 kali.

11
Metode refluks ini memiliki kelebihan waktu yang singkat dan pelarut yang
digunakan lebih sedikit jumlahnya. Metode ini dipilih untuk metabolit sekunder yang
termostabil/tahan terhadap pemanasan.
Prinsip alat ini adalah ketika cairan di dalam labu mendidih, maka uap akan
masuk ke dalam kondensor untuk memperoleh embun dari pelarut yang
terkondensasi. Selanjutnya, pelarut yang mengembun akan mengumpul dan turun
kembali ke dalam labu. Hal ini dilakukan untuk mencegah adanya uap pelarut yang
tersebar ke udara selama proses pemanasan (Elya dkk, 2015).

Gambar 6. Alat Refluks Skala Laboratorium

Gambar 7. Alat Refluks Skala Industri

12
2.1.2.3 Digesti
2.1.2.3.1 Definisi
Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur
yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yaitu secara umum dilakukan pada
temperatur 40-500C. Cara maserasi ini hanya dapat dilakukan untuk simplisia yang
zat aktifnya tahan terhadap pemanasan (Depkes RI, 2000). Mesin yang digunakan
dapat menggunakan ekstraktor dengan pengaduk atau ekstraktor Nauta. Ekstraktor
Nauta ini berupa tangki meruncing yang dilengkapi dengan jaket pemanas dan
pengaduk berbentuk seperti spiral yang bergerak dari bawah ke atas sehingga
memungkinkan limbah dapat dibuang dengan mudah. Metode ini digunakan dalam
skala indutri (Filho, 2012).

Gambar 8. Ekstraktor Nauta


Dengan pemanasan akan diperoleh keuntungan antara lain:
1. Kekentalan pelarut berkurang, yang dapat mengakibatkan berkurangnya
lapisan-lapisan batas.
2. Daya melarutkan cairan penyari akan meningkat, sehingga pemanasan
tersebut mempunyai pengaruh yang sama dengan pengadukan.
3. Koefisien difusi berbanding lurus dengan suhu absolut dan berbanding
terbalik dengan kekentalan, sehingga kenaikan suhu akan berpengaruh pada
kecepatan difusi. Umumnya kelarutan zat aktif akan meningkat bila suhu
dinaikkan .

13
4. Jika cairan penyari mudah menguap pada suhu yang digunakan, maka perlu
dilengkapi dengan pendingin balik, sehingga cairan akan menguap kembali ke
dalam bejana.

2.1.2.4 Infusa dan Dekokta


2.1.2.4.1 Definisi
Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana
infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur teukur 96-980C) selama
waktu tertentu (15-20 menit)( Ditjen POM, 2000; Syamsuni, 2006).

Dekok adalah perebusan simplisia halus dicampur dengan air bersuhu kamar
atau dengan air bersuhu > 900C sambil diaduk berulang-ulang dalam pemanasan air
selama 30 menit. Perbedaannya dengan infus, rebusan disari panas-panas(Voigt,
1995). Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama≥(30 menit) dan temperatur
sampai titik didih air (Ditjen POM, 2000).

Dekokta memiliki istilah asli yaitu dekoktum. Dalam bahasa latin yang artinya
adalah sediaan cair yang dibuat dengan cara mengekstraksi bahan nabati dengan
pelarut air (pelarut berair/polar) pada suhu 90° C selama 30 menit, terhitung setelah
panci bagian bawah mulai mendidih (Farmakope Indonesia, 1995).

2.1.2.4.2 Cara Kerja


Dekokta memiliki cara kerja yang sama dengan metode infusa, bedanya infusa
butuh waktu 15 menit pemanasan, sementara dekokta membutuhkan waktu 30 menit.
Selama ini dikenal ada beberapa cara untuk mengekstraksi zat aktif dari suatu
tanaman ataupun hewan menggunakan pelarut yang cocok. Pelarut-pelarut tersebut
ada yang bersifat polar dan ada juga pelarut yang non polar. Kedua metode ini
menggunakan pelarut air atau pelarut yang polar. Waktu pemanasan dekokta
membutuhkan waktu lebih lama. Hal ini dikarenakan, bahan- bahan simplisia yang
umumnya berupa bahan keras, seperti kulit kayu(korteks), kayu(lignum),
akar(radiks), batang kulit buah(perikarpium), dan atau biji(semen).

14
Untuk melakukan proses infusa dan dekokta, maka harus mempersiapkan 1
unit panci yang terdiri dari 2 buah panci yang saling bisa ditumpuk. Alat yang
digunakan adalah berupa panci. Panci yang di atas digunakan untuk menaruh bahan
yang akan di ekstraksi, sementara panci di bagian bawah diisi air. Panci yang berada
di bawah dimaksudkan untuk memanaskan panci di bagian atas. Sehingga panas yang
diterima panci atas tidak langsung berhubungan dengan api. Ketika panci bawah
airnya mendidih (pada suhu 100oC), maka panas yang diterima olehpanci di bagian
atas suhunya hanya mencapai sekitar 90oC saja. Kondisi demikian ini diperlukan agar
zat aktif dalam bahan tidak rusak oleh pemanasan berlebihan(Djamal R., 1990).

Dalam bahasa farmasi, sistem pemanas demikian ini disebut : Penangas air
(Indonesia), Water bad (Belanda), Water bath (Inggris). Prosedur pembuatan dekokta
dalam garis besarnya adalah sebagai berikut(Djamal R., 1990) :

1. Simplisia yang berupa tanaman atau bagian tanaman dengan derajat halus
tertentu ditimbang (misalnya 10 g), kemudian dimasukkan ke dalam panci
atas diberi air yang diperhitungkan terhadap kadar ekstrak yang diinginkan.
Ketika ingin membuat ekstrak berkadar zat aktif 10%, maka serbuk tanaman
yang dibutuhkan adalah 10 g ditambah air 100 g (100 cc), sementara jika
menggunakan air sebanyak 200 cc dan serbuknya tetap 10 g, maka kadar
ekstrak yang akan diperoleh menjadi 5% saja.
2. Setelah panci bagian atas siap untuk diproses, dimasukkan panci beserta
isinya segera ke dalam panci bawah yang telah berisi air. Setelah itu panci
bagian bawah dipanaskan di atas api langsung dan dibiarkan sampai
mendidih(artinya suhu mencapai 100o C). Diharapkan maka suhu air di panci
atas akan mencapai 90oC.
3. Pemanasan dilakukan selama 30 menit terhitung mulai air di panci bawah
mendidih, sesekali dilakukan pengadukan.
4. Waktu 30 menit adalah aturan umum yang diberikan oleh buku- buku farmasi
resmi seperti farmakope. Setelah cukup 30 menit, maka panci atas diturunkan
dan disaring selagi masih panas melalui kain flannel. Apabila volume akhir

15
yang didapat ternyata kurang dari 100 cc(air semula 100 cc), maka perlu
ditambahkan air panas secukupnya melalui ampas hingga diperoleh volume
infusa yang dikehendaki yaitu 100 cc.
5. Cara menambahkan air harus secara kuantitatif, yaitu hasil saringan
dipindahkan ke gelas ukur, kemudian kekurangan air yang diperlukan,
ditambahkan sampai volume akhir mencapai batas skala 100 cc(tidak boleh
menambah air sesuai dengan kurangnya air, namun yang diukur adalah
kekurangan air yang akan ditambah).
Kelemahan dari kedua metode ini :

1. Dikarenakan menggunakan pelarut air, maka dipastikan ekstrak yang terjadi


rentan terkontaminasi oleh mikroba atau jamur.
2. Tidak dapat disimpan dalam waktu yang lama
3. Pada simplisia tertentu dapat menghasilkan ekstrak yang berlendir, sehingga
sulit dilakukan penyaringan

16
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Pada makalah ini, telah dibahas mengenai beberapa metode ekstraksi dan
instrumentasinya untuk berbagai senyawa dengan tingkat efektifitas yang berbeda
pada masing-masing metodenya. Diantaranya dijabarkan mengenai metode
ekstraksi tradisional seperti maserasi, perkolasi, sokletasi, refluks, digesti,
dekokta, dan infusa. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kemajuan teknologi telah
diiringi pula dengan kemajuan dalam hal pengembangan metode ekstraksi yang
tidak hanya efektif dalam penggunaan namun juga peningkatan kualitasekstrak
yang semakin baik dan semakin beragamnya material yang dapat di ekstraksi.

3.2 Saran

Pengembangan metode ekstraksi masih perlu dikembangkan lebih lanjut


agar dapat diperoleh suatu metode yang tidak hanya efektif dan modern, namun
juga mempertimbangkan berbagai aspek seperti waktu (time), biaya (cost), dan
lingkungan (environment). Sehingga kedepannya akan dihasilkan produk-produk
dari ekstrak yang berkualitas dan bermanfaat bagian kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi.

17
DAFTAR PUSTAKA
Ansel,H.C., (1989). Pengantar Bentuk sediaan Farmasi. Edisi 4. Jakarta: UI Press
Chémat, F., Lebovka, N., & Vorobiev, E. (2012). Enhancing extraction processes in
the food industry. Boca Raton: CRC Press.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2000). Parameter Standar Umum
Ekstrak Tumbuhan Obat. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Djamal, R., (1990). Prinsip-Prinsip bekerja Dalam Bidang Kimia Bahan Alam,
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Padang.
Elya, B., dkk. (2015). Buku Penuntun Praktikum Fitokimia. Depok: Fakultas Farmasi
Universitas Indonesia.
Eskilsson, C. S., & Bjorklund, E. (2000). Analytical-scale microwave-assisted
extraction. Journal of Chromatography , 227-250.
Filho, V., C. (2012). Plant Bioactives and Drug Discovery: Principles, Practice, and
Perspectives. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.
Guardia, M. de la, dan Salvador, G. (2012). Handbook Of Green Analytical
Chemistry. Chichester, West Sussex: John Wiley & Sons.
Haghighi Asl, A., & Khajenoori, M. (2013). Subcritical Water Extraction, Mass
Transfer - Advances in Sustainable Energy and Environment Oriented
Numerical Modeling, Dr. Hironori Nakajima (Ed.), ISBN: 978-953-51-1170-
2, InTech, DOI: 10.5772/54993. Available from:
http://www.intechopen.com/books/mass-transfer-advances-in-sustainable-
energy-and-environment-oriented-numerical-modeling/subcritical-water-
extraction
Haghighi, A., and M. Khajenoori.'Subcritical Water Extraction'.Mass Transfer -
Advances in Sustainable Energy and Environment Oriented Numerical
Modeling (2013): n. pag. Web. 4 Sept. 2015.
Milbradt, D. (2014). Making Herbal Tinctures - Percolation Method. [online]
Madison Herbal Institute. Available at: http://madisonherbalinstitute.org/herbal-
education/making-herbal-tinctures-percolation-method/ [Accessed 24 Sep.
2016].

18
Moldoveanu, Ș. and Vić tor, D. (2014). Modern Sample Preparation For
Chromatography. Amsterdam: Elsevier Science.

Clark, J. “Immiscible Liquids and Steam Distillation.”


http://www.chemguide.co.uk/physical/phaseeqia/immiscible.html (diakses pada
24 September 2016)
Ditjen POM., (1986). Sediaan Galenik. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia
FAO Corporate Document Repository. “Flavours and Fragrances of Plant Origin.”
http://www.fao.org/docrep/v5350e/v5350e13.htm (diakses pada 24 September
2016)
Handa, S., Khanuja, S., Longo, G., & Rakesh, D. (2008). Extraction technologies for
medicinal and aromatic plants. Trieste (Italy): Earth, Environmental and
Marine Sciences and Technologies.
Kamaljit Vilkhu, Raymond Mawson, Lloyd Simons, Darren Bates. (2007)
Applications and opportunities for ultrasound assisted extraction in food
industry-A review. Research Gate: Innov Food Sci Emerg Technol 9:161-169.
Loïc Petigny, Sandrine Périno-Issartier, Joël Wajsman, Farid Chemat. (2013) Batch
and Continuous Ultrasound Assisted Extraction of Boldo Leaves (Peumus
boldus Mol.). Int. J. Mol. Sci. 2013, 14(3), 5750-5764.
Martin, V. “Advantages and Disadvantages of Steam Distillation.”
https://www.leaf.tv/articles/advantages-disadvantages-of-steam-distillation/
(diakses pada 24 September 2016)
Sapkale, G. N., Patil, S. M., Surwase, U. S., & Bhatbhage, P. K. (2010). Supercritical
Fluid Extraction. Int. J. Chem. Sci. , 729-743.
Satuhu, S. and Yulianti, S. (2012). PANDUAN LENGKAP MINYAK ASIRI. Jakarta:
Penebar Swadaya.

19
Saifudin, A. (2012). Senyawa Alam Metabolit Sekunder: Teori, Konsep, dan Teknik
Pemurnian. Yogyakarta: Deepublish.
Trubiano, C. “Simple Distillation vs. Simple
Distillation”http://www.ehow.com/info_8407975_steam-distillation-vs-simple-
distillation.html (diakses pada 24 September 2016)

20
21

Anda mungkin juga menyukai