Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

SIMULASI APOTEK
TENTANG PELAYANAN SWAMEDIKASI DI APOTEK

DI SUSUN OLEH:
Rahmah Desfitri
(18068)

DOSEN PENGAMPU:
LAILAN AZIZAH, S.Si, M.Farm. Apt.

POLTEKKES KEMENKES JAMBI


JURUSAN FARMASI TAHUN AJARAN 2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala
limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan
makalah ini.
Saya telah berusaha menyusun makalah ini dengan sebaik-baiknya
dan semaksimal mungkin. Namun tentunya sebagai manusia biasa tidak akan
luput dari kesalahan dan kekurangan. Harapan kami, semoga bisa menjadi
koreksi dimasa mendatang agar lebih baik dari sebelumnya. Tak lupamkami
ucapkan
terima kasih kepada teman-teman sehingga kami dapat menyelesaikan menyusun
dan menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya dan insyaAllah sesuai
dengan yang diharapkan. Pada dasarnya makalah ini kami sajikan untuk
membahasatentang “PELAYANAN SWAMEDIKASI DI APOTEK”.
Untuk lebih jelas simak pembahasan dalam makalah ini. Mudah-
mudahan makalah ini bisa memberikan pengetahuan yang mendalam tentang
PELAYANAN SWAMEDIKASI DI APOTEK .Makalah ini masih banyak
memiliki kekurangan. Tak ada gading yang tak retak. Oleh karena itu, saya
mengharapkan kritik dan saran dari teman-teman untuk memperbaiki makalah
saya selanjutnya. Sebelum dan sesudahnya kami ucpkan terima kasih

jambi, 31 Maret 2020

Penyusun:
RAHMAH DESFITRI
18068
2

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
........................................................................................................2
DAFTAR ISI
........................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
........................................................................................................4
1.2
Rumusan Masalah
........................................................................................................5
1.3
Tujuan Pembahasan
........................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Swamedikasi
........................................................................................................6
2.2 faktor yang mempengaruhi swamedikasi
........................................................................................................6
2.3 swamesikasi yang rasional
........................................................................................................7
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
......................................................................................................11
3.2 Saran
......................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA
......................................................................................................12

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pelayanan kefarmasian merupakan salah satu kunci suksesnya sistem
kesehatan. Pelayanan kefarmasian saat ini telah berpindah orientasinya, yang
semula berorientasi pada produk obat bergeser berorientasi ke pasien yang
mengacu kepada Pharmaceutical care (Depkes RI, 2004). Pharmaceutical care
(asuhan kefarmasian) sangat penting dalam menciptakan dan meningkatkan
profesionalisme pelayanan kefarmasian. Pelayanan kefarmasian tidak hanya
berorientasi ke produk obat, namun juga pelayanan informasi terkait obat juga
harus tersampaikan supaya masyarakat paham bagaimana menggunakan obat
sesuai aturan dan tata cara yang tepat sehingga obat bisa mencapai efek terapi
secara optimal (Cipolle et al, 1988).
Salah satu sarana pelayanan kefarmasian di masyarakat adalah apotek.
Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek
kefarmasian oleh apoteker. Dalam menjalani pekerjaan kefarmasian, apoteker
dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli
Madya Farmasi, Analis Farmasi, dan Tenaga Menengah Farmasi/Asisten Apoteker
(Pemerintah RI, 2009).
Pelayanan kefarmasian di apotek mencakup pelayanan resep dan tanpa
resep. Pelayanan tanpa resep/swamedikasi yaitu pelayanan terhadap pasien atau
klien yang datang dengan keluhan gejala yang timbul atau dengan meminta suatu
produk obat tertentu tanpa resep dari dokter. Swamedikasi berarti mengobati segala
keluhan pada diri sendiri dengan obat-obatan yang dibeli bebas di apotek atau toko
obat atas inisiatif sendiri tanpa nasehat dokter (Indriyanti, 2009).
Pengobatan sendiri (swamedikasi) merupakan bagian dari upaya
masyarakat menjaga kesehatannya sendiri (Sukasediati, 1999). Dari data World
Health Organization (WHO), di banyak negara sampai 80% episode sakit dicoba
diobati sendiri oleh penderita. Sedangkan data di Indonesia menunjukkan bahwa
sekitar 60% masyarakat melakukan swamedikasi dengan obat modern sebagai
tindakan pertama bila sakit (Suryawati, 1997)
Pemberian informasi obat dalam swamedikasi sangat penting dilakukan di
apotek. Dalam penyampaian informasi tersebut, petugas apotek harus bisa
memberikan informasi kepada pasien dengan memperhatikan dengan siapa petugas
apotek berinteraksi, sehingga nantinya informasi tersebut dapat diterima oleh
pasien secara mudah (menggunakan bahasa orang awam).
Sebelum memberikan rekomendasi maupun informasi kepada pasien,
sebaiknya petugas apotek menggali dahulu informasi tentang pasien supaya
penyampaian informasi dapat tepat sasaran dan tidak terjadi salah paham atau salah
keputusan. Informasi yang diberikan petugas apotek kepada pasien itu tidak selalu
informasi tentang obat, dapat juga petugas apotek memberikan informasi non obat
dan juga bisa memberikan suatu rujukan (Chua, 2006). Masyarakat harus diberi
akses secara langsung dan mudah oleh apoteker untuk memperoleh informasi dan
konseling. Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas,
4

mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana, dan terkini (Depkes RI,
2006). Dalam dunia farmasi, obat-obat golongan NSAID termasuk
golongan obat yang sering digunakan saat ini (Warwick, 2001). Obat NSAID
merupakan salah satu kelompok obat yang banyak diresepkan dan juga digunakan
tanpa resep dokter (Gunawan et al, 2007). Salah satu contoh obat dari golongan
NSAID adalah Natrium Diklofenak tablet. Berdasarkan Keputusan Menteri
Kesehatan nomor 1176/MenKes/SK/X/1999 natrium diklofenak tablet termasuk
golongan obat wajib apotek No. 3 yang dapat diserahkan pada pasien tanpa resep
dokter dengan mengikuti peraturan dari Menteri Kesehatan.
Dalam penelitian ini, dilakukan pengamatan profil asuhan kefarmasian
swamedikasi Natrium Diklofenak tablet di apotek dengan metode simulasi pasien
di wilayah Kecamatan Klojen Kota Malang. Pertimbangannya adalah natrium
diklofenak merupakan obat golongan NSAID yang dapat menginduksi morbiditas
yaitu mulai dari efek samping ringan seperti mual dan dispepsia (prevalensi sekitar
50-60%) sehingga ke komplikasi yang lebih serius seperti penyakit tukak peptik
(3-4%) yang menyebabkan pendarahan atau perforasi pada 1,5% pengguna NSAID
per tahun. Diperkirakan sekitar 20.000 pasien meninggal setiap tahun disebabkan
komplikasi pada sistem gastrointestinal oleh pemakaian NSAID (Valle, 2005).
Pada penelitian ini menggunakan metode simulated patient. Metode
patient assessment adalah studi eksperimental dimana peneliti berada di
lingkungan alami tempat kerja untuk mengamati dan melaporkan perilaku objek
yang diamati dengan disusunnya skenario dan direkam menggunakan tape recorder
untuk menjamin validitas (Benrimoj et al, 2008; Madden et al, 1997; Puspitasari et
al, 2011).
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas maka rumusan permasalahan
adalah bagaimana profil asuhan kefarmasian swamedikasi natrium diklofenak di
apotek wilayah Kecamatan Klojen Kota Malang?
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui profil
asuhan kefarmasian swamedikasi natrium diklofenak di apotek wilayah Kecamatan
Klojen Kota Malang.
1.4 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Bagi Apoteker Pengelola Apotek Sebagai masukan untuk lebih meningkatkan
kualitas pelayanan kefarmasian di apotek, khususnya pada swamedikasi.
2. Bagi Peneliti Mengetahui pelaksanaan asuhan kefarmasian swamedikasi di
apotek.
3. Bagi Akademik Sebagai bahan referensi untuk dilakukannya penelitian yang
lebih lanjut terutama pelayanan swamedikasi.
5

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Swamedikasi
Definisi Swamedikasi Menurut WHO Definisi swamedikasi adalah pemilihan
dan penggunaan obat modern, herbal, maupun obat tradisional oleh seorang
individu untuk mengatasi penyakit atau gejala penyakit (WHO, 2010).
Swamedikasi berarti mengobati segala keluhan pada diri sendiri dengan obat-obat
yang sederhana yang dibeli bebas di apotik atau toko obat atas inisiatif sendiri
tanpa nasehat dokter (Rahardja,2010). Swamedikasi atau pengobatan sendiria
dalah perilaku untuk mengatasi sakit ringan sebelum mencari pertolongan ke
petugas atau fasilitas kesehatan.
Lebih dari 60% dari anggota masyarakat melakukan swamedikasi, dan 80% di
antaranya mengandalkan obat modern (Anonim, 2010).Swamedikasi merupakan
bagian dari self-care di mana merupakan, usahapemilihan dan penggunaan obat
bebas oleh individu untuk mengatasi gejala atausakit yang disadarinya (WHO,
1998). Untuk melakukan pengobatan sendiri secara benar, masyarakat harus
mampu. (Binfar, 2008):
a. Mengetahui jenis obat yang diperlukan untuk mengatasi penyakitnya.
b.Mengetahui kegunaan dari tiap obat, sehingga dapat mengevaluasi sendiri
perkembangan sakitnya.
c. Menggunakan obat tersebut secara benar (cara, aturan, lama pemakaian) dan
tahu batas kapan mereka harus menghentikan self-medication dan segera minta
pertolongan petugas kesehatan.
d. Mengetahui efek samping obat yang digunakan sehingga dapat memperkirakan
apakah suatu keluhan yang timbul kemudian itu suatu penyakit baru atau efek
samping obat.
e. Mengetahui siapa yang tidak boleh menggunakan obat tersebut.
Menurut World Health Organization (WHO) dalam Responsible Self
Medication, swamedikasi atau self-medication perlu memperhatikan beberapa hal,
diantaranya:
a. Obat yang digunakan adalah obat yang terbukti keamanannya, kualitas dan
khasiat.
b. Obat-obatan yang digunakan adalah obat yang diindikasikan untuk kondisi yang
dikenali diri sendiri dan untuk beberapa kondisi kronis atau berulang (beserta
diagnosis medis awal). Dalam semua kasus, obat-obatan ini harus dirancang
khusus untuk tujuan tersebut, dan akan memerlukan bentuk dosis dan dosis yang
tepat.
2.1.2 Faktor yang Mempengaruhi Tindakan Swamedikasi
Praktek swamedikasi menurut World Health Organization (WHO) dalam
Zeenot (2013), dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: faktor sosial ekonomi,
gaya hidup, kemudahan memperoleh produk obat, faktor kesehatan lingkungan,
dan ketersediaan produk.
6
a. Faktor sosial ekonomi
Dengan meningkatnya pemberdayaan masyarakat, berakibat pada semakin
tinggi tingkat pendidikan dan semakin mudah akses untuk mendapatkan
informasi. Dikombinasikan dengan tingkat ketertarikan individu terhadap
masalah kesehatan, sehingga terjadi peningkatan untuk dapat berpartisipasi
langsung terhadap pengambilan keputusan dalam masalah kesehatan.
b. Gaya hidup
Meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap dampak dari gaya hidup
tertentu seperti menghindari merokok dan pola diet yang seimbang untuk
memelihara kesehatan dan mencegah terjadinya penyakit (WHO, 1998).
c. Kemudahan memperoleh produk obat
Saat ini pasien dan konsumen lebih memilih kenyamanan membeli obat
yang bisa diperoleh dimana saja, dibandingkan harus menunggu lama di
rumah sakit atau klinik.
d. Faktor kesehatan lingkungan
Dengan adanya praktek sanitasi yang baik, pemilihan nutrisi yang tepat
serta lingkungan perumahan yang sehat, meningkatkan
kemampuanmasyarakat untuk dapat menjaga dan mempertahankan
kesehatan serta mencegah terkena penyakit.
e. Ketersediaan produk baru
Saat ini, semakin banyak tersedia produk obat baru yang lebih sesuai untuk
pengobatan sendiri. Selain itu, ada juga beberapa produk obat yang telah
dikenal sejak lama serta mempunyai indeks keamanan yang baik, juga telah
dimasukkan ke dalam kategori obat bebas, membuat pilihan produk obat
untuk pengobatan sendiri semakin banyak tersedia.

2.1.3 Swamedikasi yang Rasional


Swamedikasiyang benar harus diikuti dengan penggunaan obat yang
rasional. World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa
penggunaan obat rasional mensyaratkan bahwa pasien menerima obat yang
sesuai dengan kebutuhan klinis mereka atau peresepan obat yang sesuai
dengan diagnosis, dalam dosis yang memenuhi kebutuhan dan durasi yang
tepat, untuk jangka waktu yang cukup, dan pada biaya terendah. Kriteria
yang digunakan dalam penggunaan obat yang rasional adalah sebagai
berikut (SIHFW, 2010).
a. Tepat Diagnosis
Pengobatan merupakan suatu proses ilmiah yang dilakukan oleh dokter
berdasarkan temuan-temuan yang diperoleh selama anamnesis dan
pemeriksaan. Dalam proses pengobatan terkandung keputusan ilmiah
yang dilandasi oleh pengetahuan dan keterampilan untuk melakukan
intervensi pengobatan yang memberi manfaat maksimal dan resiko
sekecil mungkin bagi pasien. Hal tersebut dapat dicapai dengan
melakukan pengobatan yang rasional. Obat diberikan sesuai dengan
diagnosis. Apabila diagnosis tidak ditegakkan dengan benar maka
pemilihan obat akan salah (Depkes RI, 2007).

b. Tepat Pemilihan Obat


Obat yang dipilih harus memiliki efek terapi yang sesuai dengan
penyakit. Beberapa pertimbangan dalam pemilihan obat menurut World
Health Organization (WHO) yaitu manfaat (efficacy)
kemanfaatan dan keamanan obat sudah terbukti keamanan (safety),
resiko pengobatan yang paling kecil dan seimbang dengan manfaat dan
keamanan yang sama dan terjangkau oleh pasien (affordable),
kesesuaiaan/suittability (cost).Pasien swamedikasi dalam melakukan
pemilihan obat hendaknya sesuai dengan keluhan yang dirasakan
(Depkes RI, 2007)
c. Tepat Dosis Dosis
merupakan aturan pemakaian yang menunjukkan jumlah gram atau
volume dan frekuensi pemberian obat untuk dicatat sesuai dengan umur
dan berat badan pasien. Dosis, jumlah, cara, waktu dan lama pemberian
obat harus tepat. Pemberian dosis yang berlebihan, khususnya untuk obat
yang dengan rentang terapi yang sempit akan sangat beresiko timbulnya
efek samping. Sebaliknya dosis yang terlalu kecil tidak akan menjamin
tercapainya kadar terapi yang diharapkan (Anonim, 2006).
d. Waspada Efek Samping
Pasien hendaknya mengetahui efek samping yang mungkin timbul pada
penggunaan obat sehingga dapat mengambil tindakan pencegahan serta
mewaspadainya. Pemberian obat potensial menimbulkan efek samping,
yaitu efek tidak diinginkan yang timbul pada pemberian obat dengan
dosis terapi (Anonim, 2006).
e. Efektif, aman, mutu terjamin, dan harga terjangkau
Untuk mencapai kriteria ini obat dibeli melalui jalur resmi. Apoteker
sebagai salah satu profesi kesehatan sudah seharusnya berperan sebagai
pemberi informasi (drug informer) khususnya untuk obat-obat yang
digunakan dalam swamedikasi (Depkes RI, 2006).
f. Tepat tindak lanjut (follow up)
Apabila pengobatan sendiri telah dilakukan, bila sakit berlanjut
konsultasikan ke dokter (Depkes RI, 2007).
2.1.4 Kriteria obat yang digunakan dalam Swamedikasi
Jenis obat yang digunakan dalam swamedikasi meliputi: Obat Bebas,
Obat Bebas Terbatas, dan OWA (Obat Wajib Apotek). Penggunaan obat
bebas dan obat bebas terbatas, yang sesuai dengan aturan dan kondisi
penderita akan mendukung penggunaan obat yang rasional. Kerasionalan
penggunaan obat menurut Cipolle, 1998 terdiri dari beberapa aspek,
diantaranya: ketepatan indikasi, kesesusaian dosis, ada tidaknya
kontraindikasi, efek samping serta interaksi dengan obat dan makanan.
8

Obat yang diserahkan tanpa resep harus memenuhi kriteria berikut


(Permenkes No. 919/Menkes/Per/X/1993).
1. Tidak dikontraindikasikan untuk pengguna pada wanita hamil, anak
di bawah usia 2 tahun, dan orang tua diatas 65 tahun.
2. Pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikan resiko
pada kelanjutan penyakit.
3. Penggunaannya tidak memerlukan cara dan atau alat khusus yang
harus dilakukan oleh tenaga kesehatan.
4. Penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang pravalensinya
tinggi di indonesia.
5. Obat yang dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat
dipertanggung jawabkan untuk pengobatan sendiri.
2.1.5 Hal-hal yang Harus Diperhatikan dalam Pelaksanaan Swamedikasi
Berikut ini merupakan beberapa hal yang penting untuk diketahui
masyarakat ketika akan melakukan swamedikasi (Depkes RI, 2006)

1. Untuk menetapkan jenis obat yang dipilih perlu diperhatikan :


a. Pemilihan obat yang sesuai dengan gejala atau keluhan penyakit.
b. Kondisi khusus. Misalnya hamil, menyusui, lanjut usia, dan lain-lain.
c. Pengalaman alergi atau reaksi yang tidak diinginkan terhadap
penggunaan obat tertentu. d. Nama obat, zat berkhasiat, kegunaan, cara
pemakaian, efek samping, dan
e. Interaksi obat yang dapat dibaca pada etiket atau brosur obat
f. Untuk pemilihan obat yang tepat dan informasi yang lengkap,
tanyakan kepada apoteker (Depkes RI, 2006).

2. Untuk menetapkan jenis obat yang dibutuhkan perlu


diperhatikan:
a. Penggunaan obat tidak untuk pemakaian secara terus menerus.
b. Gunakan obat sesuai dengan anjuran yang tertera pada etiket atau
brosur.
c. Bila obat yang digunakan menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan,
hentikan penggunaan dan tanyakan kepada Apoteker dan dokter.
d. Hindarkan menggunakan obat orang lain walaupun gejala penyakit
sama.
e. Untuk mendapatkan informasi penggunaan obat yang lebih lengkap,
tanyakan kepada Apoteker. (Depkes RI, 2007)
3. Kenali efek samping obat yang digunakan agar dapat diperkirakan
apakah suatu keluhan yang timbul kemudian merupakan suatu penyakit
baru atau efek samping dari obat (Depkes RI, 2006).
9
4. Cara penggunaan obat harus memperhatikan hal-hal berikut :
a. Obat tidak untuk digunakan secara terus-menerus.
b. Gunakan obat sesuai dengan anjuran yang tertera pada etiket atau
brosur obat.
c. Bila obat yang diminum menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan,
hentikan penggunaannya dan tanyakan kepada apoteker atau dokter.
d. Hindari menggunakan obat orang lain, walaupun gejala penyakit
sama.

e. Untuk mendapatkan informasi penggunaan obat yang lengkap,


tanyakan kepada apoteker (Depkes RI, 2007)

5. Gunakan obat tepat waktu, sesuai dengan aturan penggunaan.


Contoh :
a. Tiga kali sehari berarti obat diminum setiap 8 jam sekali.
b. Obat diminum sebelum atau sesudah makan (Depkes RI, 2007)

6. Pemakaian obat secara oral adalah cara yang paling lazim karena
praktis, mudah, dan aman. Cara yang terbaik adalah meminum obat
dengan segelas air putih (Depkes RI, 2007)
7. Cara penyimpanan obat harus memperhatikan hal-hal berikut :
a. Simpan obat dalam kemasan asli dan dalam wadah tertutup rapat.
b. Simpan obat pada suhu kamar dan terhindar dari sinar matahari
langsung atau seperti yang tertera pada kemasan.
3. impan obat di tempat yang tidak panas atau tidak lembab karena dapat
menimbulkan kerusakan obat.
4. Jangan menyimpan obat yang telah kedaluarsa atau rusak.
5. Jauhkan dari jangkauan anak-anak (Depkes RI, 2006).
10
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Swamedikasi berarti mengobati segala keluhan pada diri sendiri, dengan
obat-obat yang dibeli bebas di apotek atau di toko obat atas inisiatif sendiri
tanpa nasehat dokter.
Bagi konsumen obat, pengobatan sendiri dapat memberi keuntungan yaitu
bila ia dapat:
1) Menghemat biaya ke dokter
2) Menghemat waktu ke dokter
3) Segera dapat beraktifitas kembali
Faktor yang Mempengaruhi Tindakan Swamedikasi
A. Tepat diagnosis
B. Tepat pemilihan obat
C. Tepat dosis
D. Waspada efek samping
E. Efektif,aman, mutu terjamin, dan harga terjangkau
F. Tepat tidak lanjut ( flow up )

Kriteria obat yang digunakan dalam Swamedikasi


Obat Bebas, Obat Bebas Terbatas, dan OWA (Obat Wajib Apotek). Penggunaan
obat bebas dan obat bebas terbatas, yang sesuai dengan aturan dan kondisi
penderita akan mendukung penggunaan obat yang rasional.

Obat yang diserahkan tanpa resep harus memenuhi kriteria berikut


(Permenkes No. 919/Menkes/Per/X/1993).
1. Tidak dikontraindikasikan untuk pengguna pada wanita hamil, anak
di bawah usia 2 tahun, dan orang tua diatas 65 tahun.
2. Pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikan resiko
pada kelanjutan penyakit.
3. Penggunaannya tidak memerlukan cara dan atau alat khusus yang
harus dilakukan oleh tenaga kesehatan.
4. Penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang pravalensinya tinggi
Di Indonesia

Hal-hal yang Harus Diperhatikan dalam Pelaksanaan Swamedikasi


a. Pemilihan obat yang sesuai dengan gejala atau keluhan penyakit.
b. Kondisi khusus. Misalnya hamil, menyusui, lanjut usia, dan lain-lain.
c. Pengalaman alergi atau reaksi yang tidak diinginkan terhadap
penggunaan obat tertentu. d. Nama obat, zat berkhasiat, kegunaan, cara
pemakaian, efek samping, dan
e. Interaksi obat yang dapat dibaca pada etiket atau brosur obat
f. Untuk pemilihan obat yang tepat dan informasi yang lengkap,
tanyakan kepada apoteker (Depkes RI, 2006).

11

3.2 Saran
Dengan adanya informasi yang diberikan mengenai swamedikasi diharapkan
juga pasien meminta informasi dari apoteker apabila hendak membeli obat,
serta membaca dengan teliti apabila obat yang dibeli Tersebut memiliki brosur
obat.

Daftar Pustaka

file:///C:/Users/User/Downloads/Documents/swamedikasi_slide_swamedikasi.pdf
file:///C:/Users/User/Downloads/Documents/S1-2014-301011-chapter1.pdf
file:///C:/Users/User/Downloads/Documents/K100050156.pdf
file:///C:/Users/User/Downloads/Documents/3._BAB_I.pdf
12

Anda mungkin juga menyukai