Anda di halaman 1dari 7

E-ISSN : 2580-930X Jurnal Ilmu Kesehatan (JIK) Oktober 2017

Volume 1 Nomor 1 P-ISSN : 2597-8594

SKRINING KECACINGAN PADA ANAK SEKOLAH DASAR DAERAH


PERDESAAN DI KOTA SALATIGA, PROVINSI JAWA TENGAH
INDONESIA
Prima.K.Hamzah 1,H. Kusnanto2, D.Widarsih3
1
Akademi Kebidanan, Akademi Kebidanan Alifah, Jl.Khatib Sulaiman No. 52 B, Padang, 2500, Indonesia
2
Universitas Gadjah Mada, Fakultas Kedokteran Peminatan Epidemiologi Lapangan
3
Dinas Kesehatan kota Salatiga, Provinsi Jawa Tengah
Email: rimakhamzah@gmail.com

ABSTRAK

Di Kota Salatiga tahun 2012, prevalensi kecacingan cukup tinggi berkisar 5,12-20%. Berdasarkan laporan
Dinas Kesehatan Kota Salatiga, seksi penanggulangan penyakit, angka prevalensi tersebut belum mewakili
semua sekolah dasar. Tahun 2013 terjadi penurunan jumlah sampel yang diskrinning sebesar 26,3%. Guna
menurunkan angka prevalensi penyakit cacingan, memutus rantai penularan, serta meningkatkan derajat
kesehatan dan prestasi murid sekolah dasar. Desain studi adalah proportional study yang dilaksanakan pada 14-
16 Agustus 2014. Sasaran skrinning adalah populasi yang tinggal di sanitasi lingkungan buruk, social ekonomi
rendah serta tidak berperilaku hidup bersih dan sehat. Berdasarkan perhitungan sampel jumlah minimal yang
akan diskrinning adalah 64 orang. Data yang dikumpulkan berdasarkan wawancara dengan murid dan
pemeriksaan gejala klinis. Skrinning menggunakan 2 dasar prosedur yaitu gejala klinis berdasarkan kriteria
Kemenkes RI dan pemeriksaan feses di laboratorium dengan metode eosin. Prevalensi kecacingan di SD N
Blotongan adalah 3,21 % dengan jenis cacing ascaris lumbricoides. Ada pun sensivitas, spesifisitas, PPV dan
NPV gejala klinik dari kecacingan yaitu nafsu makan berkurang (100%, 33,33%, 2,33%,100%) mata pucat dan
kotor (100%, 26,98%, 2,13%, 100%), berat badan menurun (100%, 16,13%, 3,70% 100%) perut buncit (100%,
11,29%, 3,51%, 100%), Diare ( 0%, 21,88%, 2,13%, 1005), Lesu (0%, 29,69%, 0%, 100%), Tidak bergairah
(0%, 17,19%, 0%, 100%), Kosentrasi belajar berkurang (0%, 28,13%,0%,100%), Mual (0%, 20,31%,0%,100%)
dan gejala kombinasi (0%, 79,03%, 0%, 100%). Penggunaan alat skrinning kecacingan menggunakan metode
aeosin kurang efektif karena tidak dapat menghitung dan mengindetifikasi telur cacing untuk mengetahui
intensitas infeksi cacing. Disarankan kepada Dinas Kesehatan agar memperbaiki laboratorium dengan mengganti
metode Kato Katz. Selain itu perlunya penyuluhan pada anak sekolah didampingi orang tua di SD Blotongan 1
dan 2 tentang pentingnya hygiene sanitasi terutama personal hygiene dan melakukan skrining kecacingan
dengan sasaran yang lebih luas.
Kata Kunci : Skrinning kecacingan, SD, Kota Salatiga.

ABSTRACT
In 2012, prevalence of Soil Transmitted Helminths Disease in Salatiga is about 5.12% to 20%. Based on
the report of Salatiga Health Department, the prevalence rate did not represent all of secondary schools. Even in
2013, there was a declination in the number of samples dis-screening 26.3%. The purpose of screening is for the
reduction prevalence, intensity of intestinal transmintted helminths disease and eradication program in Salatiga.
This study was designed by proportional study on 14 th-16th August 2014. Target screening of population was
living in poor environmental sanitation, low socio economic and lived in bad health condition. The sample
calculation was taken from 64 respondents which consist of students of 1st to 3rd grade. Data colected were
collected by direct interview supported clinical reported from doctor. Screening involved two basic procedure;
physical examination based on ministry of health and feces examination of stool in the laboratory using eosin
technique. Soil transminted helminths prevalence was 3,21% from Ascaris Lumbricoides. Sensitivity, specificity,
PPV and NPV based on clinical symptoms include distended stomach helminths (100%,11.29% and 3.51;100%),
pale eyes and dirty (100%,27.42% and 4.26%;100%), diarrhea (100%;22.58% and 4%,100%), decreased
appetite (100%,33.87% and 4.65%;100%), weight loss (100%;16,13% and 3.7%;100%), lethargy
(100%,30.65% and 4.44%;100%), less passion (100%,17.74% and 3.77%;100%), decreased concentration
(100%,29.03% and 4.35%;100%), nausea or vomiting (100%,20.97% and 3.92%;100%), a symptoms
combination (100%;79,03% and 13.33%;100%).
Number of children who did dis-screening sample do not represent the number of elementary school students
located in the town of Salatiga. It is very recommended to Salatiga Health Department to conduct screening of
the broader target. Then, by providing training in examination of Soil Transmitted Helminths disease in
laboratory workers in conducting the examination will produce more accurate result. Moreover, by providing
personal hygiene education to elementary school students accompanied by a parent will contribute for good
preventive action.
Keywords: Screening, Soil Transmitted Helminths, Elementary School Children, Urban, Salatiga City

92
Jurnal Ilmu Kesehatan (JIK) Oktober 2017 E-ISSN : 2580-930X
Volume 1 Nomor 1 P-ISSN : 2597-8594

cacingan (P2) melalui penjaringan atau srinning


I. PENDAHULUAN
kecacingan untuk dilakukan pemeriksaan tinja dan
Indonesia memiliki iklim tropis dan lembab sangat pemberian obat cacing pada anak SD yang positif
cocok untuk perkembangbiakkan mikroba, virus, menderita kecacingan. Hal ini berguna untuk
parasit lainnya. Salah satu penyakit infeksi yang memutus rantai penularan, menurunkan prevalensi
masih tinggi ditemui di Indonesia adalah penyakit cacingan serta meningkatkan derajat kesehatan dan
parasit kecacingan pada banyak ditemukan terutama produktivitas. (http://www.sanitasi.or.id/).
pada kelompok masyarakat dengan kebersihan diri
dan sanitasi lingkungan yang kurang baik. Usia
sekolah dasar merupakan golongan yang sering II. METODE PENELITIAN
terkena infeksi kecacingan karena sering Skrining yang dilakukan menggunakan tipe targeted
berhubungan dengan tanah. Salah satu penyakit screening yaitu pada anak SD yang memiliki sanitasi
kecacingan adalah penyakit cacing usus yang lingkungan yang buruk, keadaan sosial ekonomi yang
ditularkan melalui tanah atau sering disebut soil kurang serta tidak terbiasa berperilaku hidup bersih
transmitted helminths. Jenis cacing yang sering dan sehat. Penelitian ini merupakan deskriptif yaitu
ditemui adalah cacing gelang (Ascaris melihat gejala klinis dan mengamati perilaku sanitasi
lumbricoides), cacing tambang (Ancylostoma murid SD Blotongan. Pemeriksaan klinis dilakukan
duodenale dan Necator americanus) dan cacing oleh dokter, perawat Puskesmas Siderejo Lor serta
cambuk (Trichuris trichiura). (Jurnal lingkungan, didampingi oleh mahasiswa Field Epidemiology
2012). Trainning Programs (FETP) dengan melakukan
Menurut Dirjen Pengendalian Penyakit dan interview melalui kuisioner terstruktur. Hasil
Penyehatan Lingkungan, Kementerian Kesehatan RI, diagnosa diperkuat dengan pemeriksaan faeces di
pada tahun 2013 angka prevalensi cacingan anak SD laboratorium dengan menggunakan metode eosin
di Indonesia masih tinggi yakni antara 60-80 %. sebagai gold standar.
Berdasarkan hasil survei pemeriksaan tinja pada anak Sampel adalah siswa SD Blotongan 1 dan 2,
SD di 10 kabupaten/kota di Indonesia, diketahui dari kelas 1-4 berjumlah 64 orang dan dalam kurun 6
sekitar 3.666 siswa di 64 SD, sekitar 829 anak bulan terakhir tidak mengkonsumsi obat cacing.
mengidap cacingan atau prevalensinya sekitar 22,6%.
Cacing dapat menyebabkan anemia pada anak karena III. HASIL
satu ekor cacing dapat mengisap darah, karbohidrat 1. Karakteristik Responden berdasarkan jenis
dan protein dalam sehari seperti cacing gelang dapat kelamin dan umur
mengisap 0,14 gram karbohidrat dan 0,035 gram Skrinning kecacingan dilakukan pada anak
protein, cacing cambuk mengisap 0,005 ml darah, kelas 1 - 4 SD Blotongan 1 dan 2. Kegiatan
sedangkan cacing tambang sekitar 0,2 ml darah. skrining kecacingan diikuti 64 orang (75,29%)
Di Kota Salatiga prevalensi kecacingan dari jumlah 85 orang seluruh siswa/siswi kelas 1
cukup tinggi berkisar 5,12-20%, namun berdasarkan – 4 yang tercatat pada buku kehadiran/daftar
laporan seksi P2, angka tersebut belum mewakili absensi. Sebanyak 21 orang tidak mengembalikan
semua sekolah dasar. Berdasarkan hasil skrinning pot feses dengan rincian sebagai berikut, yaitu 1
yang dilakukan 6 Puskesmas di Kota Salatiga, tahun orang karena tidak dibolehkan oleh orang tua
2012 pada 345 siswa yang diperiksa sebanyak 37 karena orang tuanya menganut paham tertentu, 10
positif ditemukan cacing Ascaris Lumbricoides dan 3 orang tidak dapat mengeluarkan feses dipagi hari
orang positif ditemukan cacing Oxyuris dan 10 orang tidak masuk pada saat pembagian
Vermicularis. Prevalensi kecacingan paling tinggi pot sehingga tidak dapat diwawancarai dan
ditemukan pada SD Dukuh II. Prevalensi terendah dilakukan pemeriksaan klinis. Karakteristik anak
ditemukan pada MI Kumpul rejo 01, 02, SDN SD yang mengikuti skrinning disajikan pada tabel
Noborejo dan MI Noborejo yaitu 0%. 1 berikut ini :
Hal ini berbeda dengan skrinning yang Tabel 1. Karakteristik Responden Berdasarkan
dilakukan di tahun 2013. Jumlah sampel yang Jenis Kelamin di SD N Blotongan 1 dan 2 Kota
diperiksa menurun sebesar 26,3%, dari hasil Salatiga Tahun 2014
penjaringan tersebut didapatkan sebanyak 11 orang Jenis Kelamin (n) (%)
anak positif ditemukan cacing. Adapun jenis cacing
yang banyak ditemukan adalah Ascaris Lumbricoides  Laki-laki 45 70,31
sebesar 8,3% di SD N Randuacir namun disamping  Perempuan 19 26,69
itu terdapat beberapa SD bebas dari kecacingan Jumlah 64 100
antara lain SDN Noborejo 02, MI Ma’arif, SD Sumber: Data Primer yang terolah tahun 2014
kecandraan (Lap. P2 Dinkes Salatiga, 2013). Berdasarkan tabel 1, murid SDN Blotongan
Guna menurunkan angka prevalensi dan 1 dan 2 yang mengikuti skrinning sebagian besar
intensitas penyakit cacingan, Dinas Kesehatan Kota berjenis kelamin laki-laki (70,31%). Skrinning
Salatiga melakukan program pemberantasan penyakit kecacingan dilakukan pada anak kelas 1 SD sampai 4

93
E-ISSN : 2580-930X Jurnal Ilmu Kesehatan (JIK) Oktober 2017
Volume 1 Nomor 1 P-ISSN : 2597-8594

SD atau umur 6-11 tahun. Hal dilakukan karena umur sebanyak 2 orang dengan jenis ascaris lumbricoides
6-11 tahun adalah umur yang berisiko mendapatkan seperti tabel 4 di bawah ini :
kecacingan karena sanitasi yang buruk dan tidak
berperilaku hidup bersih. (http://www.sanitasi.or.id/).
Tabel 4 Pemeriksaan Kecacingan di SDN
Tabel 2. Karakteristik Responden Berdasarkan Blotongan 1 dan 2 Kota Salatiga Tahun 2014
Umurdi SD N Blotongan 1 dan 2 Kota Salatiga menggunakan Gold Standar
Tahun 2014
Status Jumlah Jenis cacing
Umur (n) (%) Kecacingan
 6 tahun 12 18,75 (Gold Standar)
 7 tahun 15 23,44 Positif 2 Ascaris
 8 tahun 28 43,75 Lumbricoides
 9 tahun 5 7,81 Negatif 62 -
 10 tahun 3 4,69 Jumlah 64
 11 tahun 1 1,56
Jumlah 64 100 Sumber: Data Primer yang terolah tahun 2014
Sumber: Data Primer yang terolah tahun 2014
4. Prevalensi Kecacingan
2. Validitas Gejala Klinis Berdasarkan data tahun 2013 di kota
Gejala klinis merupakan sesuatu hal yang Salatiga prevalensi kecacingan cukup tinggi
sangat lazim digunakan untuk mendiagnosa suatu berkisar 5,12-20%. Namun berdasarkan laporan
jenis penyakit yang diderita oleh seseorang. seksi P2, angka tersebut belum mewakili semua
Gejala klinis tersebut timbul sebagai akibat tidak sekolah dasar. (Lap. P2 Dinkes Salatiga, 2013).
stabilnya kondisi tubuh. Selain itu, gejala klinis Berdasarkan hasil skrining kejadian kecacingan
yang muncul disetiap jenis penyakit juga berbeda- terhadap respoden yang dilaksanakan di SD
beda. Berikut adalah gejala klinis kecacingan Negeri Blontongan 1 dan 2 telah di temukan
yang digunakan untuk mendiagnosa responden beberapa gejala klinis. Adapun jenis cacing yang
dan membandingkannya dengan gold standard banyak ditemukan adalah Ascaris lumbricoides
untuk menentukan nilai sensitifitas, spesifisitas, sebesar pada dua orang anak seperti terdapat pada
nilai duga positif dan nilai duga negatif dari uji tabel 5 dibawah ini :
diagnostik yang digunakan. Adapun gejala klinis
yang paling banyak ditemukan pada murid SD N Tabel 5. Jenis kecacingan pada Anak Sekolah SD
Blotongan 1 dan 2 adalah perut buncit (89,6%) dan N Blotongan 1 dan 2 Kota Salatiga
gejala paling sedikit ditemukan adalah gejala Jenis Cacing yang ditemukan (n) %
kombinasi sekitar (23,4%) seperti tabel 3 dibawah Ascaris lumbricoides 2 100
ini :
Trichuris trichiura 0 0
Tabel 3. Distribusi Frekuensi Gejala Klinis Necator americanus dan 0 0
Tunggal Sebagai Alat Skrining Kecacingan di Ancylostoma duodenale
SD N Blotongan 1 dan 2 Kota Salatiga Tahun
Jumlah 2 100
2014
Gejala Klinis Jumlah (%) Sumber data : Data Primer terolah Tahun 2014
Perut Buncit 57 89,6
Berdasarkan hasil skrinning, prevalensi kecacingan
Mata Pucat dan kotor 47 73,4
yang ditemukan pada jenis kelamin laki-laki (2,22%)
Diare 50 78,1
dan perempuan (5,26%) seperti pada tabel 6 dibawah
Nafsu Makan Berkurang 43 67,2
ini:
Berat Badan Menurun 54 84,4
Lesu 45 70,3
a. Karakteristik Responden yang menderita
Tidak Bergairah 53 82,8
kecacingan
Konsentrasi belajar berkurang 46 71,9
Tabel 6. Tabulasi silang antara jenis kelamin
Mual 51 79,7
dengan kejadian kecacingan SD N Blotongan 1
Kombinasi 15 23,4
dan 2 Kota Salatiga Tahun 2014
Sumber: Data Primer yang terolah tahun 2014
Jenis Kelamin (+) (%) (-) (%) N
3. Gold Standar Pemeriksaan Kecacingan Laki-laki 1 2,2 44 97,98 45
Adapun alat pemeriksaan kecacingan yang dijadikan
Perempuan 1 5,3 18 94,74 19
Gold Standar di Kota Salatiga adalah metode
pemeriksaan menggunakan teknik eosin. Hasil dari Jumlah 2 62 64
laboratorium menyatakan bahwa dari 64 orang murid
SDN Blotongan dan 2 menderita kecacingan

94
Jurnal Ilmu Kesehatan (JIK) Oktober 2017 E-ISSN : 2580-930X
Volume 1 Nomor 1 P-ISSN : 2597-8594

Berdasarkan hasil skrinning, prevalensi kecacingan tanah, memakai alas kaki jika keluar rumah,
ditemukan pada tingkat umur (6-7 tahun) dan umur menggigit kuku, dan keadaan kuku anak. Perilaku
(8-9 tahun) sebesar (3,7%) dan (3,03%) seperti pada berpotensi bagi cacing untuk masuk kedalam
tabel 7 dibawah ini: mulut jika tertelan larva infektif yang melekat di
jari tangan pada waktu anak menghisap jari atau
tidak mencuci tangan sebelum makan. Kejadian
Tabel 7. Tabulasi silang antara tingkat umur dengan ini sering terjadi terutama pada anak yang sering
kejadian Kecacingan di SD N Blotongan 1 dan 2 bermain dan kontak dengan tanah yang tercemar
Kota Salatiga Tahun 2014 telur cacing. Oleh sebab itu berdasarkan hasil
Umur (+) (%) (-) (%) N skrining dan survey perilaku anak di SD N
Blotongan 1 dan 2 didapatkan hasil sebagai
6-7 tahun 1 3,70 26 96,30 27
berikut:
8-9 tahun 1 3,03 32 96,97 33
Tabel 13. Faktor Risiko Kecacingan pada SD N
10-11 tahun 0 0 4 0 4
Blotongan 1 dan 2 Kota Salatiga Tahun 2014
Jumlah 2 62 64
Sumbe Faktor Risiko Ya (%) Tidak (%)
r data : Data primer yang terolah tahun 2014 Kecacingan
Mencuci tangan 8 12,50 56 87,50
b. Perbandingan Gejala Klinis dengan Gold sebelum makan
Standar Mencuci tangan 19 26,69 45 70,31
Berikut adalah tabel uji validitas terhadap dengan sabun
kejadian kecacingan berdasarkan gejala perut sesudah buang air
buncit yang dibandingkan dengan gold standard besar
(laboratorium) pemeriksaan kecacingan. Mencuci tangan 29 54,69 35 45,31
Tabel 8. Perbandingan Gejala Klinis dengan sabun
Kecacingan dengan Gold Standar sesudah main
Gejala Sn Sp NPV PPV tanah
Klinis (%) (%) (%) (%) Memakai alas 41 64,06 23 35,94
Perut Buncit 100 11,29 100 3,51 kaki pada saat
Mata Pucat 100 26,98 100 2,13 keluar rumah
dan kotor Kebiasaan 36 56,20 28 43,70
Diare 0 21,88 100 0 mengigit kuku
Nafsu 100 33,33 100 2,33 Keadaan kuku 28 43,75 36 56,25
Makan bersih
Berkurang Sumber data : Data primer terolah 2014
Berat Badan 100 16,13 100 3,70 Berdasarkan tabel 13 diatas
Menurun mendeskripsikan bahwa anak SD N Blotongan 1 dan
Lesu 0 29,69 100 0 2 berisiko mendapatkan kecacingan. Adapun faktor
Tidak 0 17,19 100 0 risiko paling tinggi adalah tidak mencuci tangan
Bergairah dengan sabun setelah buang air besar (70,31%) dan
Konsentrasi 0 28,13 100 0 mencuci tangan setelah main dengan tanah (45,31%).
belajar
berkurang
Mual 0 20,31 100 0 IV. PEMBAHASAN
Kombinasi 0 79,03 100 0 Prevalensi kecacingan di Indonesia pada
Keterangan umumnya masih sangat tinggi, terutama pada
Sn : Sensitivitas golongan penduduk yang kurang mampu mempunyai
Sp : Spesifisitas risiko tinggi terjangkit penyakit ini. (Depkes,2006).
Berdasarkan tabel 8 diatas bahwa gejala Penyakit kecacingan tersebar luas, baik di
yang memiliki nilai yang tinggi adalah gejala tunggal pedesaan maupun di perkotaan. Angka infeksi tinggi,
yaitu nafsu makan berkurang, berat badan menurun tetapi intensitas infeksi (jumlah cacing dalam perut)
dan perut buncit. berbeda. Hasil survei terakhir Sub Direktorat Diare
dan Penyakit Perencanaan Direktorat Jendral
c. Faktor risiko kecacingan pada murid SD N Penanggulangan Penyakit Menular dan Penyehat
Blotongan 1 dan 2 Lingkungan (PPM&PL), pada tahun 2008 di 8
Kecacingan dipengaruhi beberapa faktor Provinsi menunjukkan prevalensi kecacingan
salah satunya hygnenitas personal seperti sebanyak (5,25%-60,98%).
mencuci tangan sebelum makan dengan sabun, (http://www.sanitasi.or.id/).
mencuci tangan dengan sabun setelah buang air Melihat letak geografis kota Salatiga yang berada
besar, mencuci tangan dengan sabun setelah main didaerah pegunungan dengan temperature yaitu (23-

95
E-ISSN : 2580-930X Jurnal Ilmu Kesehatan (JIK) Oktober 2017
Volume 1 Nomor 1 P-ISSN : 2597-8594

300C) dan kelembapan yang sangat tinggi (60-92%). namun kurangnya kesadaran dan pemahaman anak
Kota Salatiga berpotensi mendapatkan penyakit terhadap efek bermain tanah serta kurangnya
kecacingan karena suhu dan temperature tersebut pengetahuan akibat terkontaminasi penyakit
cocok sebagai media hidup cacing terutama Ascaris kecacingan. Oleh sebab itu anak usia (<10 tahun)
lumbricoides pada suhu (25-300C). (Salatiga dalam rentan untuk terinfeksi penyakit kecacingan.
angka 2013). Gejala klinis merupakan sesuatu hal yang sangat
Pada kasus kecacingan di SD N Blotongan 1 dan lazim digunakan untuk mendiagnosa suatu jenis
2 kota Salatiga, anak-anak terinfeksi cacing Ascaris penyakit yang diderita oleh seseorang. Gejala klinis
Lumbricoides sebesar (3,21%) dimana cacing berdasarkan hasil skrinning yang dilakukan di SD N
tersebut bersifat kosmopolit, terutama ditemukan Blotongan 1 dan 2 bahwa perut buncit (89,6%), berat
pada daerah lembab. Daerah penyebarannya sama badan menurun (84,4%) dan tidak bergairah (82,8%)
dengan T. tichiura prevalensinya tinggi pada keadaan merupakan gejala klinis tunggal yang paling banyak
sosial ekonomi yang rendah. Biasanya ditemukan pada murid SD N tersebut.
askariasis menyebar pada keadaan lingkungan yang Hasil skrinning yang dibandingkan dengan gold
buruk, banyak lalat yang berperan sebagai vektor, standar ada beberapa gejala klinik yang memiliki
tidak memperhatikan kebersihan makan/minuman, sensivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu nafsu
bermain di tanah, tidak cuci tangan sebelum makan, makan berkurang sensitivitas 100%, spesifisitas
BAB di sembarang tempat,bahkan pada daerah 33,33%, PPV 2,33% dan NPV 100%, gejala kedua
tertentu yang memanfaatkan tinja sebagai pupuk adalah mata pucat dan kotor sensitivitas 100%,
tanaman merupakan faktor risiko Ascaris spesifisitas 26,98%, PPV 2,13% dan NPV 100%,
Lumbricoides. gejala ketiga adalah berat badan menurun dengan
Berdasarkan hasil skrinning di SD N Blontongan sensitivitas 100%, spesifisitas 16,13%, PPV 3,70%
1 dan 2 kota Salatiga responden berjumlah 64 orang dan NPV 100% dan gejala keempat adalah perut
dengan proporsi responden jenis kelamin laki-laki buncit dengan sensitivitas 100%, spesifisitas 11,29%,
(70,31%) dan perempuan (19,26%). Hasil skrinning PPV 3,51% dan NPV 100%. Dari keempat gejala
ini sesuai dengan penelitian Agustria Ginting (2008)” diatas terlihat jelas merupakan gejala yang
bahwa penyakit infeksi kecacingan banyak diikuti disebabkan oleh cacing gelang yaitu Ascariasis
oleh responden jenis kelamin laki-laki (57,4%) Lumbricoides.
dibandingkan berjenis kelamin perempuan (42,6%). Menurut Gordis (2004) hasil uji validitas
Hasil observasi langsung pada lokasi penelitian, terhadap masing-masing gejala klinis tunggal pada
perilaku bermain dengan tanah sangat digemari oleh kecacingan anak sekolah dapat menentukan hasil uji
anak-anak baik laki-laki maupun perempuan, tidak validitas berikutnya terhadap kombinasi secara
memiliki perbedaan tempat bermain. Jenis permainan simultan dari 4 atau 5 gejala klinis. Cara ini
yang membedakannya antara anak laki-laki dengan digunakan untuk meningkatkan sensitivitas (Mubarak
anak perempuan namun mereka tetap sama-sama dan Cahyatin, 2009). Peningkatan sensitivtas dapat
bermain di tanah. Biasanya anak laki-laki sering ditunjukkan dari hasil skrining dengan kombinasi
bermain kejar-kejaran dan membuat mainan dari dengan dua, tiga, empat dan lima gejala klinis. Dari
tanah sementara anak perempuan suka bermain hasil skrining dengan yang memiliki gejala klinis
pasar-pasaran yang juga menggunakan media tanah kombinasi 9 buah memiliki nilai sensitivitas (0%),
untuk dijadikan perumpamaan barang yang akan spesifisitas (79,03%) PPV (0%) dan NPV (100%).
dijual, bahkan sering pula ditemui antara anak laki- Penggunaan alat skrinning kecacingan
laki dan perempuan bermain bersama. Kondisi inilah menggunakan metode aeosin kurang efektif karena
yang memungkinkan menjadi penyebab bahwa anak tidak dapat menghitung dan mengindetifikasi telur
terinfeksi cacing ascaris lumbricoides. cacing untuk mengetahui intensitas infeksi cacing
Bila dilihat karakteristik umur, hasil skrinning menurut Kobasyi dalam Garcia L.S (1997) sehingga
infeksi kecacingan di SD N Blontongan 1 dan 2, tidak bisa menghitung apakah gejala dapat
responden terbanyak ditemui pada anak usia 8 tahun dikatagorikan ringan, sedang atau berat.
(43,75%) dan paling sedikit diikuti oleh anak usia 11 Oleh karena itu, disarankan agar Dinas Kesehatan
tahun (1,56%). Berdasarkan hasil skrinning di SD N Kota Salatiga menggunakan metode Kato Katz agar
Blotongan kota Salatiga bahwa usia (6-7 tahun) dan (8- dapat menjaring anak yang benar-benar positif
9 tahun) merupakan kelompok umur yang rentan (memiliki sensitivitas yang tinggi) sehingga tidak
terinfeksi penyakit kecacingan yaitu 3,7% dan 3,03%. terjadi kesalahan dalam menyimpulkan hasil
Secara epidemiologi, puncak puncak terjadinya skrinning menduga bahwa anak SD N di Blotongan 1
infestasi kecacingan pada usia 5-10 tahun. Hal ini dan 2 tidak terinfesi penyakit kecacingan. (Hardidja,
erat kaitannya antara usia dengan proses penerimaan P, 1990 & Garcia, LS, 1997).
informasi. Anak usia muda (<10 tahun) biasanya Dilihat dari perilaku keseharian mereka sangat
penerimaan informasi lebih lambat dibandingkan berisiko terinfeksi penyakit kecacingan. Hal ini tentu
dengan anak usia (>10 tahun). Anak-anak usia akan berdampak pada peningkatan prestasi dan
(<10tahun) kurang mempedulikan kebersihan diri menurunnya asset anak generasi yang pintar dan
walaupun mereka tahu akan akibat bermain di tanah sehat. Selain itu perlunya pemberian pelatihan dan

96
Jurnal Ilmu Kesehatan (JIK) Oktober 2017 E-ISSN : 2580-930X
Volume 1 Nomor 1 P-ISSN : 2597-8594

pendalaman materi bagi petugas Hygiene Sanitation  Kemampuan anak mengingat kembali
(HS) puskesmas dan menyediakan bahan-bahan mengenai gejala klinis yang pernah
reagen dalam melakukan Kato Katz agar pelaksanaan dialami setelah beberapa waktu lalu.
skrinning dapat dilaksanakan pada tahun depan.  Kemampuan anak sekolah dalam
Dalam melakukan skrinning kecacingan ini memahami maksud pertanyaan dan
peneliti tidak terlepas dari bias, adapun bias yang menyatakan keluhan yang dialaminya
terdapat dalam proses skrinning ini menurut terbatas.
Hakenens dan Buring (1987) yaitu:  Kemampuan petugas dalam melakukan
1) Bias seleksi wawancara dan pemeriksaan.
Kesalahan memilih subjek penelitian karena
mengambil tempat penelitian yang sama pada Disarankan kepada Dinas Kesehatan
tahun 2012 yang dilakukan pada anak kelas 1-3 memperbaiki laboratorium Puskesmas Kota Salatiga
yang memiliki angka prevalensi kecacingan dan mengganti teknik pemeriksaan kecacingan pada
tinggi dan telah dilakukan pengobatan anak SD dengan menggunakan metode Kato Katz
(pemberian obat cacing) di SD tersebut agar dapat dapat menghitung dan mengindetifikasi
akibatnya anak-anak yang terjaring atau telur cacing untuk mengetahui intensitas infeksi
dinyatakan positif kecacingan jumlahnya cacing. Selain itu perlunya penyuluhan pada anak
menurun. Sebaiknya Puskesmas memilih subjek sekolah didampingi orang tua di SD Blotongan 1 dan
di SD N yang memiliki faktor risiko tinggi 2 tentang pentingnya hygiene sanitasi terutama
misalnya SD N yang lingkungan sekitarnya personal hygiene dan melakukan skrining
memiliki sanitasi buruk, dipinggiran dan berasal kecacingan dengan sasaran yang lebih luas.
dari ekonomi yang rendah. Salah satu bagian
bias seleksi adalah bias non responden. Bias ini
merupakan bagian dari bias seleksi. Bias yang
terdapat pada proses skrinning anak SD N ACKNOWLEDGMENT
Blotongan 1 dan 2 yaitu terdapat beberapa
responden yang tidak ikut berpartisipasi dalam Peneliti mengucapkan terima kasih kepada
kegiatan skrining dikarenakan, tidak hadir dan Universitas Gadjah Mada dan Dinas Kesehatan kota
tidak membawa fecesnya. Sehingga dapat Salatiga yang telah memberikan izin kepada peneliti
mempengaruhi hasil prevalensi dan untuk melakukan penelitian di wilayah kerja Provinsi
subyektifitas terutama dalam pemeriksaan. Jawa Tengah
Subjektifitas ini dipengaruhi oleh beberapa
faktor yang berbeda diantara subjek yang DAFTAR PUSTAKA
memiliki keinginan untuk diskrining dan subjek 1. Anonim, Laporan Skrinning Kecacingan Kota
yang tidak ingin mengikuti skrinning (merasa Salatiga. 2013. Dinas Kesehatan Kota
terpaksa). Keinginan anak akan mempengaruhi Salatiga
subyektifitas terutama dalam melakukan 2. Anonim, Anak Masih Rawan Cacing.
diagnosa klinis (Timmreck, 2005). http://www.sanitasi.or.id diakses pada 18
Selain itu untuk meminimalisir Agustus 2014 pukul 10:21
kurangnya partisipasi anak dalam 3. Anonim, Salatiga Dalam Angka 2013.
mengumpulkan feses kembali dapat dilakukan www.bps.go.id Diakses pada 5 Oktober
dengan pendekatan interpersonal terhadap anak 2014.
dan pendekatan dengan orang tua. Disamping 4. Beaglehole,R et al.(1997) Dasar - Dasar
itu, sebaiknya sebelum skrinning berlansung Epidemiologi. Gadjah Mada University
perlu diadakan penyuluhan terhadap anak yang Press.Yogyakarta.
didampingi oleh orang tua masing-masing agar 5. Bekti (2009) Waspadai Cacingan pada Anak.
orang tua dapat memberikan pengertian dengan Artikel Kesehatan. www.medicastore.com
mengingatkan anak akan kebersihan diri anak (Diakses 1 Oktober 2014 pukul 11:00).
serta mengumpulkan pot yang berisikan faeces. 6. Depkes (2006) Lampiran Keputusan
Menteri Kesehatan Nomor:
2) Bias informasi 424/MENKES/SK/VI/2006 Tanggal :19
Bias ini terjadi pada saat dilakukan wawancara Juni 2006 tentang Pedoman
dan pemeriksaan fisik langsung yaitu : Pengendalian Cacingan.:
 Pada tahap wawancara terdapat gejala http://www.depkes.go.id (Diakses 1
klinis yang ditanyakan bersifat Oktober 2014 pukul 10:30).
subjektif yaitu gejala yang di alami 7. Depkes (2008) Pedoman Pengobatan Dasar
sesuai apa yang dirasakan anak sekolah di Puskesmas 2007. Ditjen Bina
dirasakan berdasarkan persepsi Kefarmasian. Depkes RI. Jakarta.
masing-masing.

97
E-ISSN : 2580-930X Jurnal Ilmu Kesehatan (JIK) Oktober 2017
Volume 1 Nomor 1 P-ISSN : 2597-8594

8. Fardan, K et al (2013). Faktor-faktor yang Tanah di SD Islam Ruhama Tahun


berhubungan dengan kejadian 2011. FK UIN : Jakarta.
kecacingan pada siswa Sekolah Dasar
Negeri Cempaka 1 Kota Banjarbaru. 17. Morton, R.F., Hebel, J.R., McCarter, R.J
Jurnal Buski. 121-127 .(2009) Panduan Studi Epidemiologi
9. Fitri, J dkk, (2012) Analisis Faktor-Faktor dan Biostatistika. Edisi 5. Cetakan ke-
Risiko Infeksi Kecacingan Murid 1. Penerbit Buku Kedokteran ECG.
Sekolah Dasar di Kecamatan Angkola Jakarta.
Timur Kabupaten Tapanuli Selatan 18. Mubarak ,W.I dan Cahyatin,N(2009) Ilmu
Tahun 2012. Jurnal Lingkungan :146- Kesehatan Masyarakat : Teori dan
161 Aplikasi.Pengantar Eodemiologi.
10. Garcia LS, Bruckner DA. Diagnostic Salemba Medika. Jakarta.
medical parasitology, 3rd Edition. 19. Rahayu, Nita et all (2013). Faktor risiko
Washington DC: ASM Press; 1997. terjadinya kecacingan di SDN Tebing
11. Garcia,S.Lyne (1996). Diagnostik Tinggidi Kabupaten Balangan Provinsi
Parasitologi Kedokteran. Jakarta : Kalimantan Selatan. Jurnal Buski. 150-
ECG 154.
12. Ginting, A (2009). Faktor-Faktor yang 20. Soedarto (1992). Helmintologi Kedokteran.
Berhubungan dengan Kejadian Jakarta: ECG.
Kecacingan pada Anak Sekolah Dasar 21. Sumanto, D (2010). Faktor Risiko Infeksi
di Desa Tertinggal Kecamatan Cacing Tambang pada Anak Sekolah.
Pangururan Kabupaten Samosir tahun UNDIP : Jawa Tengah.
2008. FKM USU : Sumatera Utara 22. Syahrir (2005) Diagnostic dan
13. Gordis, L (2000) Epidemiology. Johns Screening.Bagian Ilmu Kesehatan
Hopkins University School of Anak. Fakultas Kedokteran Universitas
Medicine. Baltimore. Maryland, W.B. Sumatera Utara.
Saunders Company. Philadelphia, 23. Timreck, T.C (2005) Epidemiologi : Suatu
Pennsylvania, Second Edition. Pengantar. alih bahasa Fauziah B.
14. Hadidjaja P. Penuntun laboratorium Edisi ke- 2. Cetakan I. EGC. Jakarta.
parasitologi kedokteran. Jakarta: 24. Waris dan Tim (2008) Laporan Akhir
Fakultas Kedokteran. Universitas Penelitian : Distribusi Parasit
Indonesia; 1990. Pencernaan pada Masyarakat
15. Henhy, Glend et al (2012). Hubungan Beberapa Daerah denggan Ekosistem
Antara Kecacingan dengan Status Gizi yangg Berbeda di Propinsi Kalimantan
pada Anak Sekolah Dasar di Selatan Tahun 2008. Balitbangkes
Kelurahan Bunaken Kecamatan Loka Litbang P2B2 Tanah Bumbu
Bunaken Manado. FKM Sam Kalsel.
Ratulangi : Sulawesi Utara. 25. Winita, R et al (2012) “Upaya
16. Kusuma Inggih, (2011). Tingkat Pemberantasan Kecacingan di Sekolah
Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Dasar” Makara Kesehatan: 65-71.
Siswa SD Kelas 4-6 Terhadap Penyakit
Kecacingan yang Ditularkan Melalui

98

Anda mungkin juga menyukai