Anda di halaman 1dari 14

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1.1. Pengertian Disiplin

Disiplin merupakan perasaan taat dan patuh terhadap nilai-nilai yang dipercaya

merupakan tanggung jawabnya. Menurut Tu’u (2014:30) “Istilah disiplin berasal dari

bahasa latin “Disiplina” yang menunjuk kepada kegiatan belajar dan mengajar. Istilah

tersebut sangat dekat dengan istilah dalam bahasa Inggris “Disciple” yang berarti

mengikuti orang untuk belajar di bawah pengawasan seorang pemimpin”. Sejalan

dengan pendapat tersebut, Khalsa (2017:20) menjelaskan bahwa “disiplin adalah

melatih melalui pengajaran atau pelatihan. Disiplin berkaitan erat dengan proses

pelatihan yang dilakukan oleh pihak yang memberi pengarahan dan bimbingan dalam

kegiatan pengajaran.

Salahudin (2013:111) mendefinisikan “disiplin merupakan tindakan yang

menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan”.

Samani (2017:121) memaknai bahwa “disiplin merupakan sikap dan perilaku yang

muncul sebagai akibat dari pelatihan atau kebiasaan menaati aturan, hukum atau

perintah”. Menurut Koesoema (2017:237), “istilah disiplin terutama mengacu pada

proses pembelajaran. Disiplin senantiasa dikaitkan dengan konteks relasi antara murid

dan guru serta lingkungan yang menyertainya, seperti tata peraturan, tujuan

pembelajaran dan pengembangan kemampuan dari murid melalui bimbingan guru”.

Menurut Njoroge & Nyabuto (2014:121), “disiplin adalah unsur yang sangat

penting bagi keberhasilan prestasi akademik siswa. Disiplin sekolah memainkan peran

penting dalam pencapaian harapan dan tujuan pembelajaran”. Hal ini juga memainkan

peran penting dalam akuisisi rasa tanggung jawab pada peserta didik serta pendidik.

Disiplin merupakan hal yang amat menentukan dalam proses pencapaian pendidikan.
9
10

Selain itu sikap disiplin siswa sangat diperlukan untuk masa depan bagi

pengembangan watak dan pribadi siswa sehingga menjadi siswa yang aktif dan giat

dalam belajar.

Dalam bahasa Indonesia, istilah disiplin sering terkait dan menyatu dengan

istilah tata tertib dan ketertiban. Istilah ketertiban mempunyai arti kepatuhan seorang

dalam mengikuti peraturan atau tata tertib karena dorongan atau disebabkan oleh

sesuatu yang datang dari luar dirinya. Sebaliknya istilah disiplin sebagai kepatuhan

dan ketaatan yang muncul karena adanya kesadaran dan dorongan dari dalam diri

orang itu. Hal ini sesuai dengan pendapat Zuriah (2018: 83) yang menyatakan bahwa

“seseorang dikatakan berdisiplin apabila melakukan pekerjaan dengan tertib dan

teratur sesuai dengan waktu dan tempatnya serta dikerjakan dengan penuh kesadaran,

ketekunan, keikhlasan atau tanpa paksaan dari pihak manapun”.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa disiplin adalah suatu

kepatuhan atau ketaatan seseorang terhadap peraturan dan tata tertib yang telah

ditetapkan berdasarkan dorongan dan kesadaran yang muncul dalam hatinya serta

dilakukan secara teratur tanpa adanya paksaan atau tekanan dari pihak manapun.

Dikaitkan dengan kegiatan pendidikan di sekolah, disiplin merupakan salah satu faktor

yang efektif dalam kegiatan pembelajaran. Disiplin memegang peranan penting dalam

menciptakan lingkungan belajar yang kondusif serta proses pembelajaran yang teratur

sekaligus penting bagi keberhasilan prestasi akademik siswa. Dengan adanya disiplin

dapat membantu siswa mengoptimalkan kemampuannya untuk mencapai tujuan yang

telah ditetapkan.
11

2.1.2. Macam-macam Disiplin

Pembahasan mengenai macam-macam disiplin dijelaskan oleh Tu’u (2014: 44-

6) yakni:

1. Disiplin otoritarian

Disiplin otoritarian bersifat memaksa kehendak orang lain tanpa

mempertimbangkan dampaknya. Dalam disiplin ini, peraturan dibuat sangat

ketat dan rinci. Orang yang berada dalam lingkungan disiplin itu diminta untuk

mematuhi dan menaati peraturan yang berlaku. Apabila ada yang melanggar

disiplin tersebut, maka akan mendapatkan sanksi atau hukuman berat.

Sebaliknya, apabila berhasil mematuhi peraturan kurang mendapatkan

penghargaan karena disiplin otoritarian sudah dianggap sebagai kewajiban.

2. Disiplin permisif

Disiplin permisif bersifat membebaskan seseorang untuk mengambil keputusan

sendiri dan bertindak sesuai dengan keinginan hatinya. Dalam disiplin ini, tidak

ada sanksi bagi pelanggarannya sehingga menimbulkan dampak kebingungan

dan kebimbangan. Penyebabnya yaitu mereka tidak tahu mana yang

diperbolehkan dan mana yang dilarang.

3. Disiplin demokratis

Pendekatan disiplin demokratis dilakukan dengan memberi penjelasan, diskusi

dan penalaran untuk membantu anak memahami mengapa diharapkan

mematuhi dan menaati peraturan yang ada. Teknik ini menekankan pada aspek

edukatif bukan hukuman. Sanksi disiplin diberikan kepada seseorang yang

melanggar sebagai upaya menyadarkan, mengoreksi dan mendidik. Disiplin

demokratis berusaha mengembangkan disiplin yang muncul karena kesadaran


12

diri sehingga siswa memiliki disiplin diri yang kuat dan mantap. Dalam disiplin

ini, siswa memiliki tanggung jawab dan kemandirian yang tinggi.

Berdasarkan pendapat terhadap macam-macam disiplin maka dapat

disimpulkan bahwa kedisiplinan adalah hal mentaati tata tertib di segala aspek

kehidupan, baik agama, budaya, pergaulan, sekolah, dan lain-lain. Dengan kata lain,

kedisiplinan merupakan kondisi yang tercipta dan terbentuk melalui proses dari

serangkaian perilaku individu yang menunjukkan nilai-nilai ketaatan, kesetiaan,

keteraturan dan ketertiban. Secara umum kedisplinan dikelompokkan dalam

kedisiplinan individu dan kedisiplinan sosial.

2.1.3. Membentuk Karakter Disiplin

Membentuk karakter disiplin dalam pendidikan sekolah dasar sangat

tergantung dari orang tua dan guru yang mengajar di sekolah, bagaimana pelajaran

diterapkan pada siswa dan perilaku yang dipraktekkannya saat sedang mengajar

dikelas maupun diluar kelas. Karakter disiplin juga tergantung dari lingkungan sosial

tempat tinggalnya, serta berdasarkan bimbingan keluarga.

Tujuan membentuk karakter disiplin yaitu, guna mencapai tujuan pendidikan

yang lebih baik, menciptakan ketertiban yang berkenaan dengan pengendalian diri

seseorang terhadap bentuk – bentuk aturan dan penataan perilaku sesorang agar

menjadi pribadi yang baik sesuai dengan status sosial kelompok masyarakat. Menurut

Hariyanto (2016:43), “Membentuk karakter disiplin adalah upaya sadar dan sungguh-

sungguh dari seorang guru untuk mengajarkan nilai-nilai kepada siswanya. Pendidikan

karakter telah menjadi sebuah pergerakan pendidikan yang mendukung pengembangan

sosial, pengembangan emosional, dan pengembangan etik para siswanya”.


13

Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa membentuk karakter

disiplin adalah proses penanaman kebiasaan tentang hal yang baik kepada peserta

didik supaya menjadi manusia seutuhnya yang berkarakter sesuai norma-norma yang

berlaku dan menginternalisasi nilai-nilai sehingga peserta didik berperilaku sebagai

insan yang baik.

2.2. Strategi Guru dalam Membangun Karakter Kedisiplinan Siswa

Strategi guru dalam pengembangan karakter disiplin siswa dapat dilakukan

melalui kegiatan intrakurikuler yaitu guru menerapkan aturan dan memberikan sanksi

kepada siswa yang melanggar peraturan disiplin di kelas. Hal ini sesuai dengan

pendapat Alfajar (2014:35) bahwa “strategi dalam penegakkan disiplin dengan

mengadakan tata tertib dan peraturan sekolah. Sekolah memberikan sanksi bagi siswa

yang melanggar peraturan”. Dapat disimpulkan bahwa cara pengembangan karakter

disiplin siswa melalui kegiatan intrakurikuler yaitu dengan adanya aturan dan sanksi.

Strategi guru dalam mengatasi masalah pelanggaran kedisiplinan siswa ketika dalam

kegiatan intrakurikuler adalah dengan memberikan teguran secara langsung. Hal ini

menegaskan pernyataan Wiyani (2014:76) bahwa “kegiatan spontan dilakukan guru

ketika mengetahui adanya perbuatan yang kurang baik dari peserta didik yang harus

dikoreksi pada saat itu juga. Dengan demikian siswa tidak akan mengulangi

perbuatannya tersebut”. Dapat disimpulkan bahwa dengan memberikan teguran

langsung siswa akan tersadar dari kesalahan yang diperbuat.

Menurut Rosdiana dan Kurniawan (2019:43), “Strategi guru dalam

membangun karakter kedisiplinan siswa pada siswa kelas rendah diberikan pendekatan

khusus dengan menggunakan nasehat. Nasehat dan perhatian dinilai lebih berhasil

membuat siswa kelas rendah menjadi patuh terhadap peraturan”. Hal ini sesuai dengan
14

penelitian Wiyani (2014:19) yang menyatakan bahwa “pendidikan karakter itu

termasuk dunia afektif maka yang harus diolah dari diri siswa adalah olah rasa dan

olah hati. Dengan menyentuh sisi sensitif yaitu hati. Ini dapat dikatakan proses

pendidikan oleh hati untuk hati”. Dapat disimpulkan bahwa dengan pendekatan hati

pendidikan karakter, khususnya disiplin akan lebih berhasil. Sedangkan untuk kelas

tinggi menurut Rosdiana dan Kurniawan (2019:43), “bisa ditetapkan mengenai sanksi

bagi pelanggaran kedisiplinan yang beragam tergantung pada kontrak belajar yang

telah disepakati di masing-masing kelas. Sanksi yang diberikan kepada siswa yang

gaduh dikelas adalah dengan cara menegur dan menasehati”.

Menurut Zahara (2020:62) “Strategi yang dilakukan guru untuk membangun

karakter disipiln siswa yaitu dengan cara melalui kegiatan-kegiatan eksrakurikuler

seperti:

1. Kegiatan tahfidz Quran, dan juga membaca surah-surah pendek. Dan ini terus-

menerus dilakukan setiap hari agar guru dan siswa terbiasa dan agar lebih peka

terhadap kegiatan-kegiatan yang nilainilai islam.

2. Pengintegrasian lewat kegiatan sehari-hari yang berupa pemberian keteladanan

seperti teguran, nasehat, pengkondisian lingkungan yang menunjang

pendidikan karakter.

3. Lewat pembelajaran harus sudah menerapkan pembelajaran karakter yang

meliputi rencana dan perangkat pembelajaran yang memuat nilai-nilai karakter,

pelaksanaan yang menggunakan metode yang dapat membentuk karakter serta

eveluasi dan tindak lanjut yang memuat nilai-nilai berdasarkan karakter.

Sedangkan menurut  Awalul (2020:57) Cara yang dilakukan guru dalam

mengembangkan karakter disiplin siswa-siswi antara lain:


15

1. Membiasakan seluruh siswa dan guru untuk bersama-sama melafalkan asmaul

husna dan ayat kursi.

2. Memberikan masukan-masukan, arahan, dan motivasi yang membangun dan

positif bagi siswa.

3. Guru memberikan contoh dan teladan yang baik bagi siswa.

4. Memberikan pujian kepada siswa yang sudah memiliki disiplin yang cukup

baik.

5. Memberikan pembiasaan dengan membuatkan daftar atau draf yang harus

dilakukan siswa ketika masuk ke dalam kelas.

Berdasarkan pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa strategi guru

dalam membangun karakter disiplin siswa dapat dilakukan melalui kegiatan

intrakurikuler, ekstrakurikuler, keteladanan, kegiatan pembiasaan yang dilakukan guru

baik di kelas maupun lingkungan sekolah. Dalam kegiatan intrakurikuler dan

ekstrakurikuler ditetapkan adanya aturan dan sanksi bagi siswa yang melakukan

pelanggaran kedisiplinan. Dalam pembiasaan guru memberikan pendekatan dan

penekanan kepada siswa agar tidak mengulangi pelanggaran kedisiplinan.

2.3. Lamban Belajar

2.3.1. Pengertian Lamban Belajar

Lamban belajar adalah siswa yang memiliki potensi intelektual sedikit dibawah

normal namun tidak termasuk sebagai tunagrahita (retardasi mental). Siswa lamban

belajar mengalami beberapa hambatan atau keterlambatan berfikir, merespon suatu

rangsangan, dan adaptasi sosial, namun siswa tersebut masih lebih baik dibandingkan

dengan tunagrahita, hanya saja mereka lebih lambat dibandingkan dengan siswa yang
16

memiliki potensi intelektual yang normal. Siswa tersebut berjuang untuk mengikuti

tuntutan akademik dalam ruang kelas regular. Amelia (2016:57) menyatakan bahwa:

Siswa dengan lamban belajar sebenarnya adalah siswa normal namun mereka
tidak tertarik untuk belajar dibawah sistem pendidikan yang diterima secara
tradisional. Siswa tersebut mungkin memiliki masalah tidak hanya dengan satu
mata pelajaran tetapi juga dengan kemampuan koordinasi seperti membaca,
menulis, olahraga, atau berpakaian”. Siswa dengan lambat belajar memiliki
perilaku pendiam, pemalu, kurang percaya diri, dan kesulitan dalam berteman.
Mereka cenderung bermasalah dengan pemikiran yang bersifat abstrak seperti
dalam pelajaran sosial atau dalam mengerjakan masalah tematik.

Triani dan Amir (2017:3) mengatakan bahwa “Anak lamban belajar adalah

mereka yang memiliki perstasi belajar rendah atau sedikit di bawah rata-rata dari anak

pada umumnya, pada salah satu atau seluruh area akademik”. Dari pernyataan tersebut

diketahui bahwa anak lamban belajar bisa saja lemah dalam satu aspek akademik,

beberapa aspek akademik, atau bahkan seluruh aspek akademik. Pernyataan Triani dan

Amir diperkuat oleh pernyataan dari Sugihartono (2013:151) yang menyatakan bahwa

“lamban belajar adalah kesulitan belajar yang disebabkan anak sangat lamban dalam

proses belajarnya, sehingga memerlukan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan

anak lain dalam melakukan kegiatan belajar”. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan

Borah (2016: 139) bahwa “seorang siswa bisa saja gagal dalam suatu mata pelajaran,

tetapi tidak langsung membutktikan bahwa siswa tersebut lamban belajar”.

Sejalan dengan pernyataan tersebut, Moorhead dan Griffin (2015:3)

menambahkan bahwa “pada kebanyakan kasus, lamban belajar terjadi karena siswa

gagal belajar pada tingkat yang sama dibandingkan dengan mayoritas siswa lainnya”.

Pendapat tersebut secara tersirat menyatakan bahwa lamban belajar terjadi pada

sebagian kecil siswa pada suatu kelas, dan tidak setiap kelas terdapat anak lamban

belajar. Kecerdasan anak lamban belajar di bawah rata-rata teman sebayanya, namun

tidak memenuhi kualifikasi untuk masuk sekolah luar biasa. Pernyataan tersebut
17

sejalan dengan pernyataan Borah (2016: 139) yang menyatakan bahwa “anak lamban

belajar adalah siswa dengan kemampuan kognitif di bawah rata-rata, namun tidak bisa

dikelompokkan sebagai disabilitas”. Chauhan (2015:279) menambahkan bahwa “anak

lamban belajar memiliki IQ antara 76 dan 89, dan berjumlah sekitar 8% dari total

populasi sekolah”.

Berdasarkan uraian yang telah disebutkan, dapat didefinisikan bahwa anak

lamban belajar merupakan anak yang mengalami lamban belajar, lamban terampil, dan

juga lamban dalam memahami suatu informasi yang diperoleh. Anak lamban beajar

tentunya memiliki hambatan dalam proses belajar, dalam bersosialisasi dengan

lingkungan sekitar, maupun dalam pengelolaan emosi yang mengakibatkan dampak-

dampak tertentu. Oleh sebab itu, orang tua perlu memiliki kesadaran dan pengetahuan

atas kondisi anaknya yang lamban belajar, dengan demikian orangtua diharapkan

mampu memiliki pola pengasuhan dan pendampingan yang baik dan tepat untuk

anaknya. Pola asuh dan bimbingan yang sesuai dengan kondisi masing-masing anak

menjadi modal utama bagi anak untuk dapat tumbuh dan berkembang secara optimal.

Pendampingan yang baik akan membantu anak dalam memahami materi yang

diperoleh disekolahnya, mengontrol dan mengekspresikan emosinya, berinteraksi

dengan orang lain sesuai dengan norma-norma sosial.

2.4.2. Karakteristik Lamban Belajar

Anak lamban belajar membutuhkan lebih banyak waktu dan lebih banyak

pengulangan untuk dapat memahami konsep-konsep baru. Ia memiliki daya tangkap

yang lebih lambat dibandingkan rata-rata orang seusianya sehingga memerlukan

pertolongan ekstra untuk dapat berhasil. Menurut Triani & Amir (2017:4-5),
18

karakteristik yang dimiliki oleh siswa lamban belajar dapat dilihat dari beberapa

aspek, yaitu:

1. Aspek intelegensi, intelegensi siswa lamban belajar berada di bawah rata-rata

siswa normal pada umumnya yaitu berkisar antara 70-90 berdasarkan skala

WISC (Wechsler Intelligence Scale for Children). Siswa lamban biasanya

mengalami permasalahan hampir pada seluruh mata pelajaran, sulit

memahami hal-hal yang bersifat abstrak, sehingga untuk memahami sesuatu

hal siswa lamban belajar memerlukan media yang konkret.

2. Aspek Bahasa, siswa lamban belajar mengalami masalah dalam berbahasa,

dimana siswa tersebut sulit mengungkapkan apa yang dipikirkannya. Ketika

siswa lamban belajar diajak berbicara oleh orang lain ia sulit memahami

perkataan orang tersebut. Orang yang mengajaknya berbicara harus

menggunakan Bahasa yang sederhana, jelas dan mudah dipahami oleh siswa

lamban belajar.

3. Aspek emosi, siswa lamban belajar cenderung memiliki emosi yang kurang

stabil, sangat sensitive, dan juga mudah marah. Ketika siswa lamban belajar

diejek ia akan tersinggung, ketika ia melakukan kessalahan maka ia akan

dengan mudah patah semangat dan minder, apalagi dengan nilai-nilai buruk

yang ia dapat membuat turunnya motivasi belajar dari siswa lamban belajar

itu sendiri.

Suharmini (2017:76) menjelaskan bahwa ciri-ciri emosi siswa lamban

belajar adalah sebagai berikut:

1) Daya konsentrasi rendah, siswa lamban belajar memiliki daya konsentrasi

yang rendah, sebagai contoh: siswa lamban belajar memiliki konsentrasi


19

dalam belajar selama ±20 menit, setelah itu siswa tersebut akan gelisah

dan lebih suka mengganggu teman-temannya.

2) Mudah beralih perhatian dan mudah lupa, siswa lamban belajar memiliki

dayaa ingat yang cukup rendah, ia tidak mampu mengingat suatu hal

dalam waktu lama, perhatiannya pun mudah teralihkan ketika

mendapatkan rangsangan dari luar, sehingga ketika siswa tersebut kembali

kedalam materi atau topik pembahasan maka pembahasan tersebut perlu

untuk di ulang.

3) Eksplosif, siswa lamban belajar bisa dengan mudah berreaksi atau mudah

terpancing jika mendapat rangsangan dari luar tanpa pertimbangan terlebih

dahulu.

4. Aspek sosial, Ketika bersama dengan teman sebayanya, siswa lamban belajar

cenderung pasif dan mengurung diri, ia lebih menyukai bermain dengan siswa

yang usianya berbeda dibawahnya, sebab siswa lamban belajar dapat

menggunakan Bahasa yang sederhana saat berkomunikasi.

5. Aspek moral, siswa lamban belajar mengetahui sebuah aturan yang berlaku,

namun siswa tersebut tidak faham untuk apa aturan itu dibuat. Siswa lamban

belajar pun terkadang tidak patuh terhadap aturan yang ada karena

memorynya yang kurang baik, sehingga siswa lamban belajar mudah lupa dan

harus sering diingatkan.

Menurut Kholifah (2015:124), “karakteristik siswa lamban belajar adalah

sebagai berikut: 1) kondisi fisik seperti siswa normal; 2) tingkat intelegensi rendah; 3)

lamban dalam proses berfikir; 4) mengalami masalah hampir pada semua bidang; 5)

sulit mengerti hal-hal abstrak; 6) sulit mengungkapkan ide; 7) emosi kurang stabil; 8)

daya konsentrasi rendah; 9) minat dan motivasi belajar rendah; 10) mudah lupa dan
20

beralih perhatian; 11) lebih suka bermain dengan anak dibawah usianya; 12) tidak

memahami aturan dan kegunaannya, dan 13) bergantung kepada guru dan orang tua”.

Menurut Rahmayanti (2015:62), “karakteristik siswa lamban belajar adalah: 1)

mereka lamban didalam mengamati dan mereaksi peristiwa yang terjadi pada

lingkungan sekitarnya; 2) mereka jarang sekali mengajukan pertanyaan dan kurang

berkeinginan untuk mengikuti jawabannya; 3) mereka kurang memperhatikan dan

seringkali tidak memperhatikan apa dan bagaimana suatu pekerjaan itu dikerjakan; 4)

mereka tidak dapat menggunakan cara-cara menghubungkan suatu bagian dari

pengetahuan satu dengan pengetahuan yang lainnya; 5) mereka sangat lamban dalam

memahami konsep abstrak, dan 6) mereka memiliki kesulitan pada saat mengerjakan

soal ataupun tugas sekolah yang dikerjakan secara bebas”.

Berdasarkan kutipan diatas maka, peneliti menyimpulkan bahwa karakteristik

siswa lamban belajar meliputi beberapa aspek, yaitu: aspek intelegensi, aspek Bahasa,

aspek emosi, aspek sosial dan aspek moral, dimana dalam setiap aspek disebutkan

beberapa kebiasaan yang dilakukan siswa lamban belajar, sebagai berikut:

1. Kondisi fisik seperti siswa normal pada umumnya.

2. Aspek intelegensi, memiliki IQ antara 70 hingga 90, mengalami

permasalahan hampir pada seluruh mata pelajaran, sulit memahami hal-hal

yang bersifat abstrak, sehingga untuk memahami sesuatu hal siswa lamban

belajar memerlukan media yang konkret agar mereka mampu memperoleh

prestasi yang lebih baik.

3. Mereka kesulitan menerapkan konsep yang lama kedalam konsep yang baru.

Selain itu, dalam hal tertentu siswa lamban belajar dikarenakan adanya factor

intelegensi keturunan, mereka lamban didalam mengamati dan mereaksi

peristiwa yang terjadi pada lingkungan sekitarnya, mereka jarang sekali


21

mengajukan pertanyaan dan kurang berkeinginan untuk mengikuti

jawabannya, mereka tidak dapat menggunakan cara-cara menghubungkan

suatu bagian dari pengetahuan satu dengan pengetahuan yang lainnya, dan

mereka memiliki kesulitan pada saat mengerjakan soal ataupun tugas sekolah

yang dikerjakan secara bebas.

4. Aspek Bahasa, ketika siswa lamban belajar diajak berbicara dengan orang

lain ia sulit untuk memahami perkataan orang tersebut sehingga orang yang

mengajaknya berbicara harus menggunakan Bahasa yang jelas, sederhana dan

mudah difahami.

5. Aspek emosi, siswa lamban belajar cenderung memiliki emosi yang kurang

stabil, sangat sensitive, dan juga mudah marah, adapula ciri-ciri emosi siswa

lamban belajar adalah sebagai berikut: daya konsentrasi rendah mudah beralih

perhatian, mereka kurang memperhatikan dan seringkali tidak memperhatikan

apa dan bagaimana suatu pekerjaan itu dikerjakan, mudah lupa, dan eksplosif.

6. Aspek sosial, ketika bersama dengan teman sebayanya, siswa lamban belajar

cenderung pasif dan mengurung diri. Ia lebih menyukai berkomunikasi

dengan siswa yang usianya berbeda di bawahnya atau yang sama sama

memiliki kebutuhan khusus sebab ia dapat menggunakan Bahasa yang

sederhana saat berkomunikasi, dan bergantung kepada guru dan orangtua

dalam membuktikan ilmu pengetahuan.

7. Aspek moral, siswa lamban belajar mengetahui sebuah aturan yang berlaku,

namun siswa tersebut tidak faham untuk apa aturan itu dibuat sehingga siswa

tersebut jika tidak diingatkan ia akan melanggar aturan.


22

Menurut Misky, dkk (2021:59) Strategi yang dapat dilakukan guru terhadap

siswa lamban belajar yaitu :

Mengatur posisi duduk siswa lamban belajar dengan menempatkan siswa


lamban belajar dibarisan paling depan, melakukan rotasi dengan
memperhatikan kondisi siswa, membangun hubungan timbal balik baik dari
guru kepada siswa, siswa dengan siswa yang lainnya, dan memberikan
apresiasi dalam bentuk pujian, tepuk tangan, dan motivasi.

Berdasarkan kutipan diatas maka yang menjadi acuan untuk strategi yang

digunakan guru dalam membangun karakter kedisiplinan siswa yang lamban belajar

peneliti merujuk pada pendapat Rosdiana dan Kurniawan yang menyatakan

membangun karakter kedisiplinan siswa dapat dilakukan dengan pendekatan khusus

dengan menggunakan nasehat dan perhatian.

Anda mungkin juga menyukai