Anda di halaman 1dari 2

Nama : Diah Pramuda Wardani

NIM : 20144800033

Prodi : PBSI

Lentera dalam Hangatnya Cappucino

Sehari setelah kelulusannya, perempuan itu memasuki sebuah kafe lalu ia memesan lentera
dalam secangkir cappuccino hangat. Tetapi ia harus menunggu malam tiba untuk
mendapatkan pesanannya. Tak apa, menunggu sudah menjadi hal biasa baginya. Senja
mengiringi langkahnya dengan perlahan . Tak lupa ia datang dengan senyum khas yang
menipu setiap jiwa yang melihatnya. Riasan wajahnya memang sangat sederhana, tapi tak
sesederhana jiwanya.

Tak lama secangkir cappuccino dalam larutan berwarna coklat datang dengan diiringi alunan
musik yang menenangkan jiwa. Datangnya rembulan menyertai lentera itu. Separuh orang
berada di sisi terang dan separuhnya di sisi remang. Perempuan itu menyilakan kakinya dan
tak hentinya menatap cahaya lentera yang mampu menghangatkan jiwanya. Pikiran yang
terlalu banyak ilusi dan opini hanya membuatnya resah.

Perempuan itu terseret arus kesunyian cahaya lentera yang menggenangi teras cafe itu. Masih
tercium hangatnya senja menguap di kaca-kaca cafe yang berubah gemerlap dan kusaksikan
pinggiran kota yang perlahan merekah dipulas warna cahaya lentera. Kawannya menolak
ajakannya untuk menghabiskan malam seperti biasa. Resah disesah gelisah menghantui
pikirannya. Bukan karena tak ada kawan melainkan tentang masa depan.

Perempuan itu selalu berpikir tak ada masa depan, ketika ia menyaksikan teman sebaya
menimba ilmu di kampus impian. Ia berjalan tanpa arah dan tujuan. Dengan latar belakang
keluarga yang berbeda pemikiran. Dan ia hanyut meluncur entah kemana seumpama
pengembara dengan sampan melintasi lautan kesunyian yang tampak menakjubkan ketika
tertimpa cahaya lentera.

Perempuan itu masih terdampar di sebuah kafe dengan secangkir lentera dalam cappucino.
Terlihat terlalu lelah, setengah tertidur setengah terjaga, entahlah. Raut wajah dengan
semburat kecemasan itulah yang menghisap seluruh gerak yang berpusaran di sekitarnya.

Heningnya suasana dipulas cahaya lentera mampu menghidupkan kembali jiwa perempuan
itu. Namun seketika tepukan tangan dipundaknya membuat wajah perempuan itu menjadi
pucat bak orang sekarat. Tolehan ketakutan mengeram hingga sampai ke jantungnya yang
bagaikan penuh baksil. Kecemasan berhembus bersama angin menusuk dari utara.
Ternyata hanyalah seorang wanita sebaya berambut pirang dengan niat ingin meminjam
asbak didepannya.

" Permisi..."

"Iya" menoleh kearah perempuan berambut pirang itu

" Apakah asbak didepanmu boleh ku pinjam?"

" Tentu saja silahkan " dengan rasa lega dan muka yang tampak kebingungan
" Thanks" diraihnya asbak dengan menatap perempuan itu yang tampak kebingungan

" Apakah anda baik-baik saja?" Ia bertanya karna muka perempuan itu tampak sedikit pucat.

" Tenang saja aku tak apa"

" Syukurlah" beranjak pergi dari tempat perempuan itu.

Diantara denting lembut alunan musik, percakapan itu terasa begitu mencekam bahkan
mampu membuatnya terdiam. Memang hanya sebuah percakapan sederhana tetapi tidak
dengan jiwanya. Dilihat lah dari kejauhan tampak wanita berambut pirang tadi sedang asik
dengan sebatnya, bagai tak ada beban dalam hidupnya. Terlintas teringat sebuah kejadian
yang mungkin hanya dapat dikenang. Ia teringat seorang kawan pernah bilang, menjadi
nakal bukanlah keinginan, tapi pilihan! Itu soal memilih jalan kebahagiaan.

Anda mungkin juga menyukai