Anda di halaman 1dari 10

DESA MANCAWARNA

(Puspita Wulan/20144800010/PBSI/H)

“Atas nama Tuhan Pencipta Alam Semesta, kami semua di sini akan mengabdikan diri
kami seluruhnya kepada alam dan kepada-Mu. Lindungilah kami semua! Berkahilah jiwa kami
dan izinkanlah kami mengabdi kepada alam dan kepada-Mu,” seru seluruh warga.

Desa kini sudah tertutup dengan pohon-pohon besar dan telah dilindungi oleh jaring-
jaring dimensi. Penduduk desa telah berubah menjadi pohon, peri, hewan, dan lainnya. Mata
manusia tidak akan menyadari bahwa kami ada dan barang siapa yang datang dengan niat buruk
ke desa ini atau hutan ini, maka akan menuai hal buruk pula.

***

Baru seminggu aku pindah ke desa ini, desa yang suasananya masih asri, belum banyak
beton-beton yang berdiri. Rumah penduduk kebanyakan masih beranyaman bambu, jarak desa
dengan kota sangatlah jauh, desa ini terletak di puncak awan. Pagi ini desa sudah ramai, ada
Gangga yang sudah nembang di sendang, ada mbokde yang sudah memanggul pecelnya, ada pak
Sar yang akan pergi mencari kayu di hutan Bawana, ada mbah Gito yang sedang duduk di teras
sambil menginang sirih, dan banyak lagi penduduk desa yang sudah aktif. Kali ini aku pergi ke
makam untuk memastikan bahwa raga manusia tidak akan bangun kembali. Di makam yang
cukup luas aku tidak sendirian ada mbah Iyem yang sedang menemui suaminya. Ku perhatikan
dia membawa sarung, kopi, dan kue apem.

"Kang, pagi ini cukup dingin ini aku bawakan sarung kesukaanmu.” ucapnya sambil
menyelimuti batu hitam dihadapannya.

"Kopinya, Kang. Ini apemnya juga masih hangat," ujarnya.

***

"Di masa depan, kereta akan bisa terbang. Kerajaan-kerajaan mulai muncul kembali.
Membawa kebangkitan nama Nusantara," ujar Ijo. Ia terkenal sebagai peramal, kata beberapa
warga ramalannya sangat manjur. Dia pernah meramalkan bahwa desa mereka akan mengalami
krisis pangan, lalu terjadilah krisis pangan. Ijo juga pernah meramalkan mengenai gempa bumi
yang akan melanda, meramalkan kebakaran, meramalkan akan ada maling atau kejahatan yang
akan terjadi di desa tersebut. Semuanya yang Ijo ramalkan menjadi kenyataan. Hal tersebut pun
membuat warga sangat takjub kepadanya. Rumah Ijo selalu ramai oleh beberapa warga yang
ingin tahu apa saja yang akan Ijo ramalkan. Karena penasaran, aku pun datang kepadanya untuk
menanyakan suatu hal. Aku bertanya kepada Ijo,"Kapan planet bumi akan kiamat? Kapan kita
semua makhluk di bumi akan mati?" Ijo pun tersentak, dia pun menarikku ke dalam rumahnya.
"Aku ini bukan Tuhan! Kenapa kau tanyakan itu kepadaku? Aku hanya mendapatkan gambaran
bisikan dari alam atas, bisikan dari para leluhur, para dewa dan dewi," ujarnya.
"Bisakah kau tanyakan kepada leluhur, dewa atau dewimu itu mengenai pertanyaanku!
Siapa tahu mereka berbaik hati."

"Kau pikir aku Raden Jayabaya? Aku ini juga manusia biasa. Aku hanya tahu gambaran
masa depan itu seperti apa, itu pun sangat sedikit. Tuhanlah yang tahu masa depan
sesungguhnya. Aku tidak tahu kapan bumi akan kiamat. Aku juga tidak tahu kapan manusia akan
mati. Aku saja tidak bisa meramalkan kematianku. Tuhan yang punya semua jawabannya. Beliau
itu kuanggap pelit karena tidak mau membagi jawabannya kepadaku," jawab Ijo.

***

Aku pergi ke sendang untuk mandi. Setelah mandi, aku pergi ke arah hutan Bawana.
Hutan yang dipenuhi dengan pohon-pohon besar. Penduduknya juga bermacam-macam, ada
yang terbang, ada yang menggeliat, ada yang terlihat atau tak terlihat, semuanya bervariasi. Ya,
dunia ini memang bukan hanya manusia, hewan atau tumbuhan saja. Sampai ke dalam hutan aku
menemukan rumah. Rumah itu berbeda sekali dengan rumah warga yang berada di luar hutan.
Rumah yang ku temui ini adalah rumah panggung berbahan kayu jati.

"Hari sudah malam, jangan kamu di luar sendiri! Sini mampir!" teriak seorang pria paruh
baya berbadan gempal.

Ketika kedua kakiku melangkah memasuki ruang tamu aku disambut oleh sebuah
lukisan berpigura kayu dewandaru. Lukisan tersebut nampak seorang wanita yang sangat cantik,
dia memakai kebaya, bersanggul, dan memiliki sayap tipis berwarna emas. Pria gempal pun
datang membawa teh hangat, sepiring berisi kue, semangkuk bubur dan satu piring kecil berisi
bola-bola cokelat.

"Monggo dimakan! Ini semua yang buat istriku."

"Istri?"

"Ya, istri saya. Itu yang di lukisan," ucapnya sambil mengarahkan jari jempol kanannya
ke arah lukisan.

"Istriku ini seorang peri. Aku berjumpa dengannya di air terjun," ucapnya sumringah.

"Kamu jangan pulang dulu ya! Kamu menginap saja di sini semalam. Bahaya kalau
pulang sekarang. Gerbang dimensi akan terbuka lebih lebar kalau waktu malam."

"Baiklah, kalau begitu saya akan menginap di sini. Saya sangat berterima kasih."

***

Aku pun berjalan pulang ditemani pria gempal. Tak lama ada Pak Sar yang bergabung.

"Pak Sar, pesugihan kamu berhasil tidak?"


"Tuhan memberkatiku," jawab pak Sar.

Aku pun semakin penasaran, aku tapakkan kakiku menuju rumah Pak Sar. Sesampainya
di rumah Pak Sar, aku dibuat terkejut. Rumahnya telah berubah sangat megah. Rumahnya sudah
beratap kaca, rumah panggung kayu jati dua tingkat, dan di depan halamannya ada sepasang
candi.

"Pak Sar, rumah anda bagaimana bisa berubah dengan cepat? Apakah anda sendiri yang
membangunnya?" tanyaku penasaran.

"Oh, tidak saya meminta Tuhan yang membangunnya. Langsung jadi bukan?"

"Tuhan? Bukan semacam jin seperti jin pasukan Bandung Bondowoso?"

"Hahahaha, ya jelas bukan. Ini asli saya dibuatkan oleh Tuhan. Jin Bandung Bondowoso
itu perlu satu malam membangun candi, itupun tidak genap seribu. Kalau Tuhan hanya beberapa
menit atau detik langsung jadi."

***

Esoknya aku sudah pulang, aku kini menuju rumah mantan istri mandor Belanda. Dia
lebih suka dipanggil Nyai. Menurut cerita yang beredar dia dulu dijual oleh keluarganya sendiri
demi mendapat seperempat petak ladang. Nyai tidak menyukai hidup di rumah tersebut, ia
memutuskan kabur dengan mengendarai kuda. Akhirnya ia telah merdeka dan bahagia bersama
seseorang seniman, Pak Hando.

"Permisi, Pak Hando. Kalau boleh tau bapak ini sedang melukis apa?"

"Oh, ini saya sedang melukis pesanan pria gempal. Orang yang tinggal di hutan
Bawana."

"Bukankah ini seorang putri duyung?"

"Iya, memang."

Aku menunggu pak Hando melukis sampai selesai. Aku mengajukkan diri untuk
mengantarkan pesanan tersebut. Setelah menunggu dua malam, lukisan tersebut kini siap diantar.
Pria gempal itu menyambutku dengan hangat seperti kemarin. Namun, kali ini sambutannya
lebih meriah, aku seperti sedang dirayakan syukuran. Dia menghidangkan masakan berbahan
dasar ikan, belut, paus, barakuda, bahkan ikan teri.

"Ayo, dimakan! Ini masakan istri saya yang ke dua."

"Terima kasih, Pak. Maaf, apakah istri anda yang ke dua itu duyung?"

"Iya, benar. Istri saya yang pertama itu peri hutan. Nah, yang kedua adalah duyung."
"Bagaimana cara bapak mendapatkan istri yang seperti itu?"

"Tidak ada caranya, mereka itu yang datang sendiri kepada kita. Jika, kamu mau tahu
lebih lanjut. Ayo ikut aku ke air terjun!"

***

Aku hanya diam mendengarkan pembicaraan mereka. Hingga akhirnya aku bisa pulang
ke gubuk rumahku. Ku rebahkan tubuhku di lincak. Namun, selang beberapa menit warga desa
sudah gaduh. Aku pun bangun dan beranjak untuk melihat kegaduhan apa yang sedang terjadi.

"Pak Sar sekarang sudah kaya. Dia punya pesugihan. Besok-besok kita harus cari
pesugihan juga," kritik salah satu warga.

Aku pun masuk ke ruang tamu rumah pak Sar di lantai dua. Ruang tamunya sungguh
mewah. Furniture dan dekorasi ruangannya serba dari alam. Sofa yang terbuat dari akar wangi,
wastafel dari batu, meja dari batu kali yang sepertinya dihaluskan, dan meja makan persegi
panjang yang terbuat dari akar pohon akasia.

"Aku mendapatkan semua ini karena aku ikut pesugihan," ujar Pak Sar sambil
menghidangkan satu cangkir kopi hitam yang wangi dan satu piring roti.

Aku menikmati roti tersebut, setiap gigitannya serasa dibawa menuju dua tahun yang
lalu. Dua tahun yang lalu, terlihat Pak Sar sedang di hutan Bawana. Dia sedang bersemadi
dengan sangat khusyuk. Dia bersemadi sekitar satu tahun. Hingga ketika setelah cahaya putih
menghampirinya, dia pun pulang. Mengabarkan kepada anak dan istrinya. Setelah itu, pak Sar
mulai kembali ke hutan, dia menggali beberapa lubang. Ternyata dia menemukan beberapa
peralatan masak berbahan emas, perak, dan kuningan. Dia pun menggali lebih dalam, hingga
menemukan satu kantong koin emas. Selama ini ku kira pak Sar ke hutan untuk mencari kayu
namun, ternyata dia mencari sesuatu yang sangat tidak disangka.

"Sekarang kau sudah tahu bukan? Aku itu ikut pesugihan dari Tuhan. Tuhan menciptakan
alam ini, menciptakan bumi ini. Tuhan itu kaya, makannya aku ikut pesugihannya."

"Kenapa tidak ikut pesugihan babi ngepet? Kolor ijo? Tuyul?"

"Hahahaha, itu pesugihan konyol. Mereka itu perlu tumbal untuk makan. Nah, kalau
Tuhan kan beda. Tuhan sudah sangat kaya dia punya segalanya. Saya tidak usah mengembalikan
semua ini. Tuhan itu baik, beliau membagikan hartanya. Kalau semisal saya punya pesugihan
yang tadi kau sebutkan, saya akan mencuri punya siapa? Di desa sini tidak ada apa-apa," jelas
Pak Sar.

***
Aku dibawa oleh pria gempal menuju air terjun. Ku lihat di pinggir air terjun ada seorang
pria tua yang sedang memainkan serulingnya.

"Itu namanya pak Krisna. Dia itu senior bagi saya. Istrinya banyak ada dua puluh," bisik
pria gempal.

Kami duduk bertiga menatap langit, menikmati suara air terjun, menikmati suara burung
yang berkicau, menikmati suara gesekan ranting pohon. "Alam ini perlu keseimbangan. Alam
sangat berjasa kepada manusia. Namun, terkadang manusia lupa akan alam. Lupa akan apa yang
dia pijak," ujar Pak Krisna.

Yen ono manungso lali ro alam

(Kalau ada manusia yang lupa dengan alam)

Yen ono manungso lali ro Sang Hyang Widi

(Kalau ada manusia lupa dengan Tuhan)

Iku tandane uwes dudu manungso

(Itu tandanya sudah bukan manusia)

Atine es raiso nyawiji kalian manunggaling Gusti

(Hatinya sudah tidak bersatu dengan Tuhan)

"Saya punya istri dua puluh. Semuanya cantik-cantik, setia, dan unik. Istri saya ada peri
hutan, peri hewan, duyung, pohon asoka, dua raksasa, tiga keong emas, dua ikan lele putih,
empat kijang emas, dan sisanya adalah dayang ibu ratu pantai selatan. Saya mengawini mereka
dengan kesungguhan hati," jelas Pak Krisna.

***

Pagi hari setelah gerimis reda, depan rumahku cukup berisik. Terlihat seorang wanita
paruh baya terdengar seperti marah. Di sisi lain aku melihat mbah Iyem yang membawa satu
piring gorengan dan bantal. Seperti biasa dia akan menemui suaminya yang telah menjadi batu
hitam legam. Di desa ini belum ada pasar, untuk apa pasar jika alam ciptaan Tuhan saja sudah
menyediakan. Akan tetapi, setiap pagi hari suasana desa sudah ramai layaknya pasar. Aku kini
bermain ke rumah pak Hando.

"Lukisan anda indah, Pak."

"Terima kasih. Tetapi, yang lebih indah adalah lukisan Tuhan. Tuhan itu seorang seniman
yang sangat luar biasa," ujarnya.
"Ya, kau benar."

"Tuhan menciptakan manusia, alam, tata surya, planet, galaksi, dan lainnya. Tuhan
menciptakan karyanya dengan sangat detail, beliau adalah seniman luar biasa. Saya sebagai
seorang pelukis sangat mengagumi Tuhan daripada Leonardo da Vinci, Picasso, Van Gogh dan
lainnya."

"Kenapa, Pak? Apakah menurut anda mereka semua tidak cukup bertalenta?"

"Oh, tidak. Saya hanya berpikir, untuk apa mengagumi seorang manusia."

***

"Nduk, kowe ki cah wedok1. Sudah besar dan sudah waktunya untuk menikah. Cepatlah
nikah!" teriak si ibu perempuan.

"Ojo dadi perawan tua, Nduk. Ndang rabio!"2 ucap mbah Gito sambil menginang.

Keributan itu berhasil menarik perhatian warga. Semuanya hanya diam dan menonton, di
desa ini tidak ada lagi yang namanya privasi, semuanya terumbar. Orang-orang akan tahu belek
di matamu hitam atau putih. Gadis perempuan itu lari dari rumah sambil menangis, ibunya tidak
mengejar. Aku yang seperti seorang spons melihat kejadian itu membuat kalbuku tersayat oleh
rasa tidak tega. Aku pun menyusul gadis tadi.

Gadis tersebut menangis sendirian di bawah pohon dewandaru. Ku hampiri dia, aku
duduk disampingnya.

"Kenapa ya kebahagiaan seseorang itu diukur dari nikah? Ibuku selalu bilang hal itu
kepadaku, bahwa bila setelah nikah kamu akan bahagia. Padahal sebenarnya tidak selalu begitu.
Kenapa seorang wanita diharuskan segera menikah setelah bisa melalui bulan berdarah? Kenapa
wanita harus selalu berada di wilayah dapur? Kenapa ya kalau terjadi kejahatan seperti
pemerkosaan yang mendapat kecaman dari pihak wanita dulu? Ah, tahu dulu aku minta jadi laki-
laki saja," keluhnya dengan suara parau.

"Wanita itu istimewa. Tidak ada wanita, planet ini tidak akan seimbang."

"Hem, begitu ya?"

***

Aku pun pulang kembali ke rumah dengan perasaan gundah. Kadang sulit bagiku
menenangkan seseorang yang sedang sedih atau marah. Aku lebih suka menenangkan orang
yang lapar.
1
“Nak, kamu itu perempuan...”

2
“Jangan jadi perawan tua, Nak. Cepatlah menikah!”
"Ada apa ini? Mengapa kelabu?" batinku.

Tak lama kemudian seorang wanita paruh baya berteriak histeris. Aku tidak ingin tahu
kali ini, aku masih sibuk dengan benang kusut dalam batinku.

Burung hitam dengan suara serak bertebrangan, senandung tembang megatruh terdengar
jelas ditelingaku. Petang hari ini, ku terima berita bahwa gadis perempuan telah megat ruh. Aku
tidak menyangka dia akan pergi secepat itu, mungkin dia memang ingin menjadi laki-laki.
Percakapanku terakhir dengannya, "Kau tenangkan dirimu dulu! Setelah tenang mari kita
kembali ke rumah!"

"Tidak! Aku tidak akan pulang! Aku tidak ingin menikah dengan Jajang. Aku ingin
sendiri dulu saja! Bisakah kau pulang saja! Aku benar-benar ingin sendiri! Aku hanya ingin
merdeka," ucapnya sendu.

***

Pagi harinya tibalah beberapa orang yang membawa senjata seperti pistol panjang,
mereka berlima dan semuanya memakai baju yang sama. Warga desa lantas keluar dari rumah
untuk melihat. Aku juga tidak ingin ketinggalan.

"Siapa kepala desa di sini?" tanya salah satu dari mereka berlima dengan nada lantang tak
beretika.

"Kami tidak punya kepala desa. Kepala desa kami hanyalah Tuhan Sang Maha Pencipta,"
ujar Pak Hando sambil berjalan di temani oleh Nyai.

"Hutan kalian akan kami pakai."

"Untuk apa?"

"Untuk kemiliteran. Hanya melatih prajurit kami saja!"

"Boleh, asal jangan mengganggu kedamaian kami! Jangan merusak alam!"

"Ya, siap."

Mereka berlima pun menuju hutan Bawana. Warga pun kembali bubar masuk ke
rumahnya masing-masing, kembali membangun mimpi.

***

Aku datang ke rumah duka untuk berbela sungkawa. Di dalam rumah terlihat figur ibu
dari si gadis yang tengah menangis sesenggukan. Aku sangat bingung melihat pemandangan
yang ku lihat dari mataku sendiri.
"Orang tua seharusnya memahami ilmu jiwa anak-anaknya sebab membesarkan seorang
anak tidaklah mudah," batinku.

Aku melihat prosesi pemakamannya yang dilakukan secara kremasi. "Yang berasal dari
tanah kembali ke tanah, yang berasal dari api kembali ke api, yang berasal dari air kembali ke
air, dan yang berasal dari angin akan kembali ke angin. Selamat jalan. Semoga harapanmu
menjadi laki-laki akan terkabul di kehidupan selanjutnya."

***

Tengah malam, setelah burung gagak melintas di atap rumah warga, terdengar suara-
suara bising. Palu, pemahat, gergaji, meteran dan lainnya sangat terdengar jelas. Suara-suara itu
terdengar sampai subuh. Warga pun menjadi tidak bisa tidur dengan tenang, telinga-telinga
mereka terbiasa mendengar burung gagak lewat, burung hantu, jangkrik, tikus, katak yang
meminta hujan, anjing yang menggonggong, dan suara-suara alam yang menenangkan.

"Oalah, sendange kok dadi ora asri?!"3 teriak Gangga. Gadis berkulit kuning langsat itu
ambruk sambil menangis memandangi sendang. Gadis itu sangat mencintai sendang sebab dulu,
katanya dia pernah lahir di sendang. Setiap pagi dan sore Gangga selalu menembang
Asmaradana sambil menjaga sendang, dia layaknya putri penjaga air suci.

Sendang desa Mancawarna kini sudah berbeda, tidak asri seperti kemarin-kemarinnya.
Sendang itu asli dari mata air yang tidak akan pernah kering meskipun di musim kemarau.
Sendang yang hanya ditutupi oleh anyaman-anyaman pandan dan kelapa. Tidak ada kotak
keramik untuk menampung airnya, warga desa menggunakan batu sungai yang besar-besar.
Sendang sederhana namun, sangat berguna bagi warga desa sini. Warga desa selalu mensyukuri
bahwa desa mereka mempunyai sendang, sebab menurut mereka air adalah termasuk sumber
kehidupan dan sumber kemakmuran. Tidak ada air, maka mustahil pula manusia atau makhluk
hidup dapat bisa bertahan lama.

***

Kejadian pagi ini berlanjut ketika pak Sar berteriak bahwa hutan-hutan di alas Bawana,
setengahnya sudah hilang. Warga pun berduyun-duyun pergi ke hutan Bawana untuk
membuktikannya. Setelah kejadian itu seluruh warga berkumpul di rumah Pak Hando untuk
membicarakan kasus ini.

Wajah-wajah murung dan cemas sangat terlihat jelas di wajah para warga. Malam hari
aku pergi ke sendang, hanya untuk melihat sendang. Tiba-tiba datanglah Pak Krisna dan pria
gempal.

"Woalah angel tenan! Manungso sakiki yen dikandani angel!"4 ucap pria gempal dengan
marah.
3
“Oalah, sendangnya kenapa menjadi tidak asri lagi?!”
"Istri saya mati. Manusia yang merusak alam memang bukan manusia!" teriak Pak
Krisna.

"Siapa saja yang meninggal?"

"Istriku si pohon asoka semuanya ditebang, dua istri lele putihku dicuri dan disantap oleh
mereka, dan dua istri kijang emasku sudah diburu oleh mereka. Mereka sungguh kejam sekali!"

***

Pagi harinya warga desa digemparkan dengan berita mbah Iyem yang telah menyusul
suaminya. Semua warga berduka. Mbah Iyem kini sama-sama telah menjadi batu hitam legam.
Beberapa warga yang masih saudara dengan mbah Iyem, menyajikan satu dua piring gorengan
tempe dan dua sarung untuk menutupi sepasang batu hitam legam. Tak lama setelah itu, terjadi
kerusuhan kembali. Kali ini kerusuhan terjadi di rumah pak Sar.

"Ini adalah hasil atas pesugihanku kepada Tuhan. Batu candi ini berasal dari Tuhan,
bukan dari manusia."

Kini semua warga berkumpul bersama orang-orang berseragam, ketegangan mulai


merambah. Tiada senyum terpancar, aura-aura kemarahan dan keegoisan saling mendominan.

“Desa kalian akan dimakmurkan! Tuan kami bernama Raden Mas Yotoadinegara bersedia
menjadi kepala desa kalian,” ujar salah satu dari mereka.

“Kepala desa kami tetap Tuhan, tidak bisa diganti lagi! Makmur kau bilang? Ketika aku
masih tinggal bersama para bangsawan Jawa dan kompeni, hal yang bernama kemakmuran itu
tidak nyata. Selama aku kecil hingga remaja, hal itu hanyalah janji-janji yang tidak pernah nyata.
Para pejabat sangat tamak akan kekuasaan harta dan takhta. Rasa empati mereka terhadap kami,
terhadap pribumi sangat minim!” ucap Nyai bersungut-sungut dan penuh dengan kobaran api
kemarahan. Aku rasa selama ini dia memendam kemarahan, kesedihan, kekecewaannya
sendirian dan begitu dalam.

“Tuan kami adalah bangsawan yang mulia hatinya, tidak akan beliau membuat kalian
sengsara.”

“Buktinya apa? Kalian semua saja baru satu malam sudah merusak sendang kami dan
hutan kami! Kalian bukan manusia!”

“Itu Hutan milik pemerintah bukan punya kalian!”

“Ya, memang bukan milik kami. Hutan itu milik Tuhan Sang Maha Pencipta, kami
sebagai manusia hanya dititipkan untuk menjaganya. Manusia itu hidup bergantung kepada
Alam. Oleh karena itu, alam harus dijaga bukan dirusak!” jelas Pak Hando dengan nada tegas.
4
“Woalah susah banget! Manusia sekarang kalau dibilangin susah!”
“Sekarang kami mohon kalian pergi dari desa ini, dari kawasan ini, dan dari hutan ini!”
pinta Nyai dan Pak Hando.

“Anda siapa? Nyai yang terkenal melarikan diri itu ya?”

“Ya, memangnya kenapa?! Salah ya bila seorang wanita menuntut kemerdekaannya?”

Para orang-orang berseragam tertawa, mereka seolah menyindir Nyai. Amarah Nyai
semakin berkobar. Namun, pak Hando berusaha menenangkannya dengan memeluknya.

“Permisi semuanya, mohon maaf mengganggu. Saya kemari atas perintah dari Tuan kami
Raden Mas Yotoadinegara." ucap seorang pria muda memakai blangkon.

“Sini suratnya!” ucapku. Isi surat tersebut berisi mengenai izin untuk memakmurkan desa
dengan cara melakukan pembangunan di desa. Ku lihat warga desa menatapku kebingungan.
Pikiran mereka sebagian penuh dengan pertanyaan yang ingin sekali dilontarkan kepadaku dan
sebagian lagi penuh dengan kemarahan.

Aku membalas surat tersebut, Teruntuk Raden Mas Yotoadinegara.

Jangan bangga kamu bila jadi bangsawan

Gelar itu memang menggiurkan

Kalau jadi bangsawan janganlah congkak!

Ojo lali marang Gusti, alam, leluhur, serta bapa lan biyung

(Jangan lupa dengan Tuhan, alam, leluhur, serta ayah dan ibu)

Sembunyikan saja kebangsawananmu!

Berbaurlah kepada orang lain tanpa mandang kasta!

Tolonglah orang yang benar-benar butuh!

Ojo jeneng bangsawanmu sek gedhe nanging, atimu sek kudu nyermenke bangsawan!

(Jangan nama bangsawanmu yang besar namun, hatimulah yang harus mencerminkan
bangsawan!)

Tak lupa pula, tolong ajarkan kepada bala tentaramu itu etika tata krama dan rasa empati!
Jangan hanya andalkan fisik saja!

***

Anda mungkin juga menyukai