Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH

KONSEP OTONOMI DAERAH DAN DESENTRALISASI

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah: Perencanaan Pembangunan Daerah


Dosen Pengampu: Putri Kemala Dewi Lubis., SE., M.Si. Ak

Disusun Oleh
Kelompok 1
1. Dina Auliannia (7201141006)
2. Irawati Panjaitan (7203141037)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN

EKONOMI FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

NOVEMBER 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmatnya sehingga penulis bisa menyelesaikan makalah tentang “Konsep Otonomi Daerah
dan Desentralisasi”. Penyusunan makalah ini dilakukan untuk memenuhi nilai tugas mata
kuliah Perencanaan Pembangunan Daerah.

Sebagaimana manusia biasa yang memiliki keterbatasan dan kekhilafan, penulis


menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna.

Oleh karena itu apabila ada kesalahan yang terdapat dalam makalah ini , penulis
meminta maaf yang sebesar-besarnya. Penulis telah berusaha melakukan yang terbaik untuk
menyusun makalah ini.

Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak terutama kepada
ibu Putri Kemala Dewi Lubis, SE., M.Si., Ak selaku dosen pengampu mata kuliah
Perencanaan Pembangunan Daerah yang telah membantu memberikan arahan dan motivasi
kepada penulis untuk menyusun makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberikan
sekaligus menambah wawasan dan pengetahuan untuk para pembaca.

Medan, 13 November 2022

Kelompok 1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................

DAFTAR ISI......................................................................................................................

BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................................................

A. Pendahuluan………….......................................................................................

B. Rumusan Masalah ..............................................................................................

C. Tujuan Penulisan ...............................................................................................

BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................

A. Konsepsi Otonomi Daerah…..……………….....……………………………..

B. Bentuk Pemerintah Daerah…………………………….……..........................


a. Pemerintah wilayah administrative………………………………………
b. Pemerintah daerah otonom………………………………………………

C. Asas Penyelenggaraan Pemerintah Deara.………………………..................


a. Sentralisasi……………………………………………………………….
b. Desentralisasi…………………………………………………………….
c. Dekonsentralisasi…………………………………………………………
d. Tugas pembantuan………………………………………………………..
D. Asas-asas Pemerintahan negara ……………….. ………….………………..
CONTOH KASUS………………………………………………………………………..

BAB III PENUTUP ...........................................................................................................

A. Kesimpulan .......................................................................................................
B. Saran…………………………………………………………………………..

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Desentralisasi merupakan sebuah konsep yang mengisyaratkan adanya pelimpahan


wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah ditingkat bawah untuk mengurus
wilayahnya sendiri. Desentralisasi bertujuan agar pemerintah dapat lebih meningkatkan
efisiensi serta efektifitas fungsi-fungsi pelayanannya kepada seluruh lapisan masyarakat.
Artinya desentralisasi menunjukkan sebuah bangunan vertikal dari bentuk kekuasaan negara. Di
Indonesia dianutnya Desentralisasi kemudian diwujudkan dalam bentuk kebijakan Otonomi Daerah.
Otonomi Daerah pada dasarnya adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Hak tersebut diperoleh melalui penyerahan
urusan pemerintah dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah sesuai dengan keadaan dan
kemampuan daerah yang bersangkutan. Otonomi Daerah sebagai wujud dari dianutnya asas
desentralisasi, diharapkan akan dapat memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat.
Karena kewenangan yang diterima oleh daerah melalui adanya Otonomi Daerah, akan
memberikan “kebebasan” kepada Daerah. Dalam hal melakukan berbagai tindakan yang
diharapkan akan sesuai dengan kondisi serta aspirasi masyarakat di wilayahnya. Anggapan
tersebut disebabkan karena secara logispemerintah daerah lebih dekat kepada masyarakat,
sehingga akan lebih tahu apa yang menjadi tuntutan dan keinginan masyarakat. Lahirnya
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah kemudian dianggap
membawa semangat demokrasi didalamnya karena memuat kebijakan Otonomi Daerah, yang
akan memberikan kewenangan yang luas kepada daerah untuk mengatur dan menata rumah
tangganya sendiri. Artinya Undang-undang ini kemudian membawa dua hal pokok dalam
kehadirannya yakni adanya otonomi daerah yang merupakan konsekuensi logis dari dianutnya asas
Desentralisasi, serta adanya jiwa demokratis yang terkandung didalamnya.
Berdasarkan penjabaran fakta dariWorld Bank, Indonesia termasuk sebagai negara yang
melaksanakan dentuman besar desentralisasi dan dekonsentrasi(Big Bang Decentralization),
bersama tiga negara lainnya yaitu Filipina, Pakistan dan Ethiopia. Khusus di Indonesia sendiri saat
ini telah melakukan perubahan besar dalam pola pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah
pusat dengan pemerintah daerah.Dari segi historis, munculnya otonomi daerah merupakan bentuk
respon "Veta comply" terhadap sentralisasi yang sangat kuat di masa orde baru. Telah berpuluh
puluh tahun lamanya sistem sentralisasi pada era orde baru tidak membawa perubahan yang cukup
signifikan dalam pengembangan kreatifitas daerah, haik pemerintah maupun masyarakat daerah.

Pada hakikatnya, pelaksanaan konsep desentralisasi dan dekonsentrasi dalam otonomi


daerahtelah berlangsung cukup lama bahkan sejak sebelum kemerdekaan itu diproklamirkan, dan
mencapai puncaknya pada era reformasi dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah" dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang
"Perimbangan Keuangan" yang kemudian direvisi masing-masing menjadi Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004.

Kemudian jika ditinjau dari perspektif konstitusional, Indonesia merupakan negara unitaris
yang terdesentralisasi. Hal tersebut dapat tercermin pada Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 yang
menyatakan bahwa " Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik"
Selanjutnya pada Pasal 18 ayat (1) sampai dengan ayat (6) mempertegas bahwa Indonesia adalah
negara yang mengamalkan konsep otonomi daerah dalam pelaksanaan pemerintahannya. Pada
tataran konstitusi, sebenarnya sebagian besar bangsa Indonesia sudah tidak lagi mempermasalahkan
bentuk negara tersebut, meskipun masih terdapat gerakan-gerakan yangingin mengubahnya menjadi
negara federalis. Maka dari itu, sebenarnya yang menjadi permasalahan utamaakhir akhir ini
terdapat pada proses implementasi dari konstitusi dan undang- undang itu sendiri.
1.2 Rumusan Masalah

Dimana yang menjadi rumusan masalah dari materi ini adalah:


1. Bagaimana konsepsi otonomi daerah?
2. Bagaimana bentuk pemerintah daerah: pemerintah wilayah administratif, pemerintah daerah
otonom?
3. Apa yang menjadi asas penyelenggaraan pemerintah daerah: sentralisasi, desentralisasi,
dekonsentralisasi, tugas pembantuan?
4. Apa saja asas-asas pemerintahan negara?
1.3 Tujuan
Tujuan dari makalah ini yaitu:
1. Mengetahui bagiamana konsepsi otonomi daerah.
2. Mengetahui bentuk pemerintah daerah: pemerintah wilayah administratif, pemerintah
daerah otonom.
3. Mengetahui asas penyelenggaraan pemerintah daerah: sentralisasi, desentralisasi,
dekonsentralisasi, tugas pembantuan.
4. Mengetahui asas-asas pemerintahan negara.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsepsi Otonomi Daerah

Apa itu Otonomi Daerah? Dilihat asal katanya otonomi berasal dari bahasa Yunani, oto (auto)
= sendiri dan nomi (noumi = nomos = undangundang atau aturan) yang berarti pengaturan sendiri,
pengundangan sendiri. Sarjana yang lain mendefinisikan otonomi sebagai memerintah sendiri.
Koesoemahatmadja (1979) berpendapat bahwa otonomi itu mengandung arti perundangan
(bestuur). Lebih jauh diungkapkan CW. Van der Pat Autonomie betehent anders dan Het woord zon
daen Vermdeden regehing en bestuur van Eigen zaken, van wat de grond wet noemt ligen
huishouding (otonomi itu berarti peraturan dan pemerintahan dari urusan sendiri). Bayu
Suryaningrat (1980) berpendapat bahwa otonomi berarti mengatur sendiri, melaksanakan
pemerintahan sendiri. Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa otonomi adalah
menyelenggarakan pemerintahan sendiri. Dalam pengertian menyelenggarakan pemerintahan
sendiri ini terkandung unsur hak dan wewenang. Tanpa adanya hak dan wewenang suatu lembaga
tidak akan dapat melaksanakan pemerintahan sendiri. Atas dasar itu, dapat disimpulkan bahwa
pengertian otonomi adalah hak dan wewenang menyelenggarakan pemerintahan sendiri.

Berdasarkan pemahaman di atas dapatlah dikemukakan bahwa otonomi Daerah adalah hak dan
wewenang untuk mengatur/memerintah Daerahnya sendiri. Kesimpulan ini sejalan dengan pendapat
beberapa sarjana, seperti Koesoemahatmadja, yang antara lain menyimpulkan bahwa dengan
diberikannya hak dan kekuasaan perundang-undangan dan pemerintahan kepada badan-badan
otonomi, seperti Kabupaten dan Kota, maka badan-badan tersebut dengan inisiatif sendiri dapat
mengurus rumah tangganya dengan jalan mengadakan peraturan-peraturan Daerah yang tentu saja
tidak bertentangan dengan konstitusi atau peraturan perundang-undangan lainnya yang lebih tinggi
dan menjalankan pula kepentingan umum. Wajong (1975) berpendapat bahwa Otonomi Daerah
adalah kebebasan untuk memelihara dan memajukan kepentingan khusus Daerah dengan keuangan
sendiri dalam arti menentukan hukum sendiri dan berpemerintahan sendiri. Menurut
UndangUndang Nomor 5 Tahun 1974 menyebutkan bahwa Otonomi Daerah adalah Hak wewenang
dan kewajiban Daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan
Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999, Otonomi Daerah adalah kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai
dengan peraturan perundangundangan. Sementara itu, menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 yang dimaksud dengan otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
sesuai dengan peraturan perundangundangan.

Dari keseluruhan definisi tentang otonomi di atas, dapat dikemukakan bahwa pada hakikatnya
pengertian Otonomi Daerah itu mencakup dua aspek penting, yaitu berikut ini.
1. Hak dan wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
2. Kewajiban untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.

Deddy Supriady Bratakusumah,Ph.D dan Dadang Solihin,MA. (Agustus 2004) menguraikan


mengenai sistem otonomi daerah secara detail, baik bentuk maupun fungsi dan hal hal mengenai
strategi atau tujuannya. Hal hal tersebut antara lain sebagai berikut:
a. Otonomi Formil
Pembagian wewenang, tugas dan tanggung jawab antara pusat dan daerah untuk mengatur
dan mengurus urusan pemerintahan tertentu tidak ditetapkan secara rinci.Sehingga urusan
pemerintah pusat dan daerah tidak di bedakan.Secara teoritik sistem ini memberikan
keleluasaan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya sendiri.
b. Otonomi Materiil
Dalam sistem rumah tangga materil ini ada pembagian wewenang, tugas dan tanggung
jawab yang rinci antara pusat dan daerah.Urusan pemerintahan yang masuk dalam sistem
rumah tangga daerah diatur secara rinci.Sistem ini berpangkal pada pemikiran bahwa
urusan-urusan pemerintahan itu dapat dipilah-pilah dalam satuan pemerintahan.
c. Otonomi Riil
Dalam sistem ini penyerahan urusan atau tugas dan kewenangan daerah didasarkan pada
faktor yang nyata atau riil , sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan yang nyata dari
daerah maupun pemerintah pusat serta pertumbuhan kehidupan masyarakat yang terjadi.
Eksistensi Pemerintahan Daerah telah meniadi media pendidikan politik bagi masyarakat di
tingkat lokal dan keberhasilan tersebut secara agregat akan menyumbang kepada pendidikan politik
secara nasional sebagai landasan untuk mempercepat terbentuknya masyarakat madani (civil
society).
Dalam kurun waktu kurang lebih 8 tahun diberlakukannya konsep otonomi daerah dan kurang
lebih 10 tahun reformasi digulirkan, perkembangan demokrasi sebagai akibat dari kedua "tonggak
sejarah" tersebut belum dimbangi dengan pertumbuhan kesejahteraan yang menggembirakan. Hal
ini menunjukan bahwa ada elemen-elemen dalam manajemen pemerintahan daerah yang perlu
mendapat perhatian dan menjadi concern bagi pemerintah sejalan dengan tugas dan fungsi yakni
melakukan pembinaan dan fasilitasi. Sedikitnya terdapat 7 elemen dasar yang membangun entitas
pemerintahan daerah, yaitu:
1. Urusan pemerintahan;
2. Kelembagaan;
3. Personil
4. Keuangan daerah,;
5. Perwakilan daerah;
6. Pelayanan publik; dan
7. Pengawasan.

B. Bentuk Pemerintah Daerah

Secara umum ada 2 (dua) bentuk pemerintahan daerah di dunia ini, yaitu Local Self
Government dan Local State Government.
1. Local Self Government

Pemerintah daerah dalam bentuk Local Self Government berwenang mengatur dan
mengurus pemerintahan sendiri. Pemerintahan daerah dalam bentuk Local Self Government ini
diperlukan oleh sistem pemerintahan negara untuk menyelenggarakan berbagai urusan
pemerintahan yang sesuai dengan kondisi daerah artinya dalam hal-hal tertentu penyelenggaraan
pemerintahan negara di daerah akan lebih efisien dan efektif jika diserahkan kepada pemerintahan
daerah tertentu. Hal ini dikarenakan Pemerintah daerah lebih memahami kebutuhan daerah dan
masyarakat daerah, demikian juga untuk menyelenggarakan pemerintahan di daerah-daerah khusus
tertentu, perlu dibentuk pemerintahan yang mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan yang ada di daerah tersebut. Walaupun pemerintahan daerah dalam bentuk
Local Self Government memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan
yang menjadi urusan rumah tangganya akan tetapi kedudukannya tetap merupakan subsistem dari
sistem pemerintahan Negara.
Bentuk pemerintahan daerah Local Self Government merupakan konsekuensi dari dianutnya
asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Dengan undang-undang dibentuk
pemerintahan daerah tertentu dan selanjutnya daerah tersebut diserahi kewenangan untuk mengurus
urusan pemerintahan tertentu dan pada perkembangannya dapat dipecah atau dimekarkan menjadi
beberapa daerah tertentu. Sebaliknya berdasarkan undang-undang daerah dimaksud dapat
digabungkan dengan daerah lain atau bahkan dapat dihapuskan jika ternyata dalam
perkembangannya daerah tersebut dipandang tidak mampu mengurus urusan pemerintahan yang
menjadi urusan rumah tangganya.
Bentuk Local Self Government itu diperlukan untuk merespons perkembangan kebutuhan
masyarakat di daerah yang tidak mungkin ditangani secara terpusat oleh pemerintah pusat.
Penanganan urusan pemerintahan ini akan lebih baik jika ditangani oleh pemerintahan daerah
tertentu (Local Self Government).
Dalam sistem pemerintahan Negara Indonesia, Local Self Government adalah pemerintahan
daerah otonom sebagai pemerintah daerah yang mempunyai hak dan wewenang untuk mengatur
dan mengurus rumah tangga daerahnya sendiri. Terdapat ciri-ciri tertentu Local Self Government
atau pemerintahan daerah otonom, yaitu sebagai berikut.
a. Segala urusan yang diselenggarakan merupakan urusan yang sudah dijadikan urusan
rumah tangga sendiri. Oleh sebab itu, urusan-urusan tersebut perlu ditegaskan secara
terperinci.
b. Penyelenggaraan pemerintahan dilaksanakan oleh alat-alat perlengkapan yang
seluruhnya bukan terdiri dari pejabat pusat, tetapi pegawai pemerintah daerah.
c. Penanganan segala urusan itu seluruhnya diselenggarakan atas dasar inisiatif atau
kebijaksanaan sendiri.
d. Hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah yang mengurus rumah
tangga sendiri adalah hubungan pengawasan saja.
e. Seluruh penyelenggaraannya pada dasarnya dibiayai dari sumber keuangan sendiri.

Dengan demikian, Local Self Government atau pemerintahan lokal daerah dalam sistem
pemerintahan daerah di Indonesia adalah semua daerah dengan berbagai urusan otonomi yang dapat
mengurus rumah tangga sendiri. Hak otonom dalam Local Self Government tentunya harus berada
dalam kerangka sistem pemerintahan negara.
2. Local State Government

Local state government adalah unit organisasi pemerintahan wilayah, unit organisasi
pemerintahan di daerah yang dibentuk berdasarkan asas dekonsentrasi. Pemerintahan wilayah atau
pemerintahan administratif dibentuk untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi
wewenang pemerintah pusat di daerah. Tidak semua urusan pemerintah pusat itu dapat ditangani
secara langsung oleh pemerintah pusat secara efisien dan efektif. Untuk itu, dibentuklah
pemerintahan wilayah yang tujuannya untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan tertentu yang
menjadi kewenangan pemerintah pusat di daerah. Local state government atau pemerintahan
wilayah bertugas hanya untuk menyelenggarakan instruksi-instruksi, arahan, petunjuk-petunjuk dan
kebijakan-kebijakan pemerintah pusat. Pemerintahan wilayah itu diperlukan untuk melaksanakan
tugas-tugas pemerintah pusat di wilayah negara yang sangat luas dengan kondisi komunikasi yang
tidak lancar serta mengakibatkan sulitnya komunikasi langsung antara pemerintah dengan
masyarakat. Komunikasi sosial merupakan suatu hal yang sama pentingnya dengan komunikasi
fisik. Banyak pelayanan yang harus diberikan oleh pemerintah itu ditentukan oleh seberapa jauh
hubungan face to face antara pejabat pemerintah pemberi pelayanan dengan masyarakat dengan
tujuan untuk menjelaskan kebijakan pemerintah dan untuk memperoleh respons dari anggota
masyarakat secara langsung. Pentingnya pemerintahan wilayah pada hakikatnya untuk
memaksimalkan respek masyarakat terhadap program pemerintah. Sebagai konsekuensinya tugas
pemerintahan wilayah hanya sebatas pada pelaksanaan tugas yang diberikan oleh pemerintah pusat.
Terdapat beberapa ciri dari pemerintahan wilayah atau pemerintahan administratif, yaitu:
a. bentuk penyerahan kekuasaan adalah pelimpahan kekuasaan;
b. pelimpahan kekuasaan ditujukan kepada pejabat pemerintah pusat yang ada di
daerah;
c. kewenangan pejabat pemerintah pusat terbatas untuk melaksanakan kebijakan
pemerintah pusat;
d. pemerintah wilayah tidak memiliki wewenang untuk mengurus urusan rumah tangga
sendiri.

C. Asas Penyelenggaraan Pemerintah Daerah

Asas pemerintahan daerah yang dijadikan dasar untuk penyelenggaraan pemerintahan


daerah di Indonesia pada hakikatnya terdiri dari 4 asas:
1. Asas sentralisasi
2. Asas desentralisasi.
3. Asas dekonsentrasi.
4. Asas tugas pembantuan.

Hal ini dapat dilihat dengan jelas pada beberapa peraturan perundangundangan yang
berlaku, antara lain pada pasal 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan di Daerah, dan pasal 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah serta pasal 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Untuk
memperluas pemahaman Anda, di samping ketiga asas tersebut di atas, dalam praktik
penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia, juga dikenal asas Vrijbestuur (free act of
administration).
1. Asas Sentralisasi

Sentralisasi berasal dari bahasa inggris yang berakar dari kata Centre yang artinya adalah pusat
atau tengah. Sentralisasi adalah memusatkan seluruh wewenang kepada sejumlah kecil manajer atau
yang berada di posisi puncak pada suatu struktur organisasi. Sentralisasi banyak digunakan pada
pemerintahan lama di Indonesia sebelum adanya otonomi daerah.
Secara terminology sentralisasi:
1. B.N. Marbun dalam bukunya Kamus Politik mengatakan bahwa sentralisasi yang paham nya
kita kenal dengan sentralisme adalah pola kenegaraan yang memusatkan seluruh
pengambilan keputusan politik ekonomi, social di satu pusa
2. Sentralisasi adalah seeluruh wewenang terpusat pada pemerintah pusat.

Berdasarkan definisi diatas bisa kita interpretasikan bahwa sistem sentralisasi itu adalah bahwa
seluruh decition (keputusan/Kebijakan) dikeluarkan oleh pusat, daerah tinggal menunggu instruksi
dari pusat untuk melaksanakan. kebijakan-kebijakan yang telah digariskan menurut uu. menurut
ekonomi manajemen sentralisasi adalah memusatkan semua wewenang kepada sejumlah kecil
manager atau yang berada di suatu puncak pada sebuah struktur organisasi. sentralisasi banyak
digunakan pemerintah sebelum otonomi daerah. kelemahan sistem sentralisasi adalah dimana
sebuah kebijakan dan keputusan pemerintah daerah dihasilkan oleh orang-orang yang berada di
pemerintah pusat sehingga waktu untuk memutuskan suatu hal menjadi lebih lama.
Secara teoritis sentralisasi memiliki keunggulan antara lain:
1. Organisasi menjadi lebih ramping dan efisien. seluruh efektivitas organisasi terpusat
sehingga pengambilan keputusan lebih mudah.
2. Perencanaan dan pengembangan organisasi lebih terintegerasi. Tidak perlu jenjang
koordinasi yang terlalu jauh antara unit pengambilan keputusan dan yang akan
melaksanakan atau terpengaruh oleh pengambilan keputusan tersebut.
3. Peningkatan resource sharing dan sinergi. Sumberdaya dapat dikelola secara lebih efisien
karena dilakukan lebih terpusat.
4. Pengurangan redundancies aset dan fasilitas lain. Satu aset dapat dipergimakan secara
bersama-sama tanpa harus menyediakan aset yang sama untuk pekerjaan yang berbeda-
beda.
5. Perbaikan koordinasi. Koordinasi menjadi lebih mudah karena adanya unity of command
6. Pemusatan expertise. Keahlian dari anggota organisasi dapat dimanfaatkan secara maksimal
karena pimpinan dapat memberi wewenang.

Namun sentralisasi juga memiliki kelemahan diantaranya adalah:


1. Kemungkinan penurunan kecepatan pengambilan keputusan dan kualitas keputusan.
Pengambilan keputusan dengan pendekatan sentralisasi seringkali tidak mempertimbangkan
faktor-faktor yang sekiranya berpengaruh terhadap pengambilan keputusan tersebut.
2. Demotivasi dan disinsentif bagi pengembangan unit organisasi. Anggota organisasi sulit
mengembangkan potensi dirinya karena tidak ada wahana dan dominasi pimpinan yang
terlalu tinggi.
3. Penurunan kecepatan untuk merespon perubahan lingkungan. Organisasi sangat bergantung
pada daya respon sekelompok orang saja.
4. Peningkatan kompleksitas pengelolaan. Pengelolaan organijasi akan semakin rumit karena
banyaknya masalah pada level unit organisasi yang di bawah.
5. Perspektif luas tapi kurang mendalam. Pimpinan organisasi akan mengambil keputusan
berdasar perspektif organisasi secara keseluruhan tapi tidak atau jarang mempertimbangkan
implementasinya akan seperti apa.

2. Asas Desentralisasi

Secara etimologi, istilah desentralisasi berasal dari bahasa Latin, yaitu de = lepas dan centrum =
pusat, artinya melepaskan dari pusat. Menurut Prof. Dr. Koesoemahatmadja, SH (1978) bahwa di
dalam arti ketatanegaraan yang dimaksud dengan desentralisasi adalah berikut.
Pelimpahan kekuasaan Pemerintahan dari Pusat kepada Daerah-Daerah yang mengurus urusan
rumah tangganya sendiri (Daerah-Daerah Otonom). Desentralisasi adalah juga cara atau sistem
untuk mewujudkan asas demokrasi yang memberikan kesempatan pada rakyat untuk ikut serta
dalam pemerintahan Negara. Sedangkan menurut Webster Dictionary, diungkapkan bahwa to
decentralize means to divide and distribute as governmental administration, to withdraw from the
center or place of concentration (desentralisasi berarti membagi dan mendistribusikan, misalnya
administrasi pemerintahan mengeluarkan dari pusat atau tempat konsentrasi). Melengkapi pendapat
ini menurut Bayu Suryaningrat (1980:7) bahwa kata desentralisasi di dalamnya mengandung arti
gerak yang menjauhi sesuatu yang dipandang sebagai pusat. Gerak tersebut dapat berbentuk
pelimpahan, pemudaran, pemberian, penyerahan, pembagian dan distribusi pengeluaran bahkan
pencabutan dan istilah lainnya. Sedangkan menurut United Nation (dalam Koswara, 2002:43) yang
dimaksud desentralisasi dijelaskan sebagai berikut: decentralization refers to the transfer of
authority away from the national capital weather by deconcentration (i.e delegation) to field offices
or by devolution to local authorities or local bodies (desentralisasi menunjuk pada transfer
kewenangan dari pemerintah nasional apakah dengan cara dekonsentrasi (pelimpahan) kepada
pejabat-pejabat pusat di daerah atau dengan cara devolusi kepada pemerintah daerah). Sedangkan
devolusi merupakan transfer kewenangan dengan konsekuensi pemerintah pusat membentuk unit-
unit pemerintahan di luar pemerintah pusat dengan menyerahkan sebagian fungsi-fungsi tertentu
untuk dilaksanakan secara mandiri (Koswara, 2002:49). Pendapat senada diberikan oleh Hazairin
(dalam Fauzan,2006:45) yang antara lain dikemukakan bahwa desentralisasi adalah suatu cara
pemerintahan yang sebagian kekuasaan mengatur dan mengurus dari pemerintah pusat diserahkan
kepada kekuasaan-kekuasaan bawahan, misalnya kepada daerah-daerah dalam negara, sehingga
daerah-daerah tersebut mempunyai pemerintahan sendiri
Menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 Pasal 1 disebutkan bahwa Asas Desentralisasi
adalah pelimpahan urusan pemerintahan dari Pemerintah atau Daerah Tingkat atasnya kepada
Daerah, menjadi urusan rumah tangganya. Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun
1999, Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Daerah
Otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara itu, menurut Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004, desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh
Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam
sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dengan mengacu pada uraian di atas, maka yang dimaksud dengan asas desentralisasi dalam
sistem ketatanegaraan Republik Indonesia adalah penyerahan wewenang pemerintahan kepada
Daerah Otonom untuk menjadi urusan rumah tangga Daerah Otonom. Adapun ciri-cirinya adalah:
a. Adanya penyerahan kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan tertentu.
b. Adanya urusan pemerintahan yang menjadi urusan rumah tangga daerah.
c. Adanya lembaga perwakilan daerah yang bersama-sama dengan Kepala daerah
menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi urusan rumah tangga daerah.
d. Dimilikinya sumber pendapatan daerah dan harta kekayaan daerah sendiri yang diperlukan
untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang menjadi urusan rumah tangga daerah.

Menurut Bayu Suryaningrat (1980), desentralisasi dapat dibedakan ke dalam:


a. Desentralisasi Jabatan (ambtelijke decentralisatie) yaitu penyerahan kekuasaan dari atasan
kepada bawahan sehubungan dengan kepegawaian atau jabatan (ambt) dengan maksud untuk
meningkatkan kelancaran kerja. Oleh karena itu, desentralisasi macam ini disebut juga
dekonsentrasi. Jika demikian, maka yang disebut dekonsentrasi adalah tidak lain daripada salah
satu jenis desentralisasi. Dekonsentrasi adalah pasti desentralisasi tetapi desentralisasi tidak
selalu berarti dekonsentrasi.
b. Desentralisasi Kenegaraan (staatkundige decentralisatie), yaitu penyerahan kekuasaan untuk
mengatur Daerah dalam lingkungannya sebagai usaha untuk mewujudkan asas demokrasi
dalam pemerintahan negara.

Di dalam desentralisasi ini, rakyat secara langsung mempunyai kesempatan untuk turut serta
(participation) dalam penyelenggaraan pemerintahan di Daerahnya. Desentralisasi Kenegaraan
dapat dibedakan antara lain:
1) Desentralisasi teritorial (territoriale decentralisatie), yaitu penyerahan kekuasaan untuk
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (autonomie). Batas pengaturan termaksud
adalah Daerah.
2) Desentralisasi Fungsional (functionale decentralisatie), yaitu pelimpahan kekuasaan untuk
mengatur dan mengurus fungsi tertentu. Batas pengaturan tersebut adalah jenis fungsi,
misalnya pendidikan, pengairan dan sebagainya.

Ada beberapa keuntungan dari penyelenggaraan pemerintahan, berdasarkan asas desentralisasi,


yaitu:
a. Desentralisasi memberi penilaian yang lebih tepat terhadap Daerah dan penduduk yang
beraneka ragam.
b. Desentralisasi meringankan beban pemerintah karena Pemerintah Pusat tidak mungkin
mengenal seluruh/ segala kepentingan dan kebutuhan setempat serta tidak mungkin pula
mengetahui bagaimana memenuhi kebutuhan tersebut sebaik-baiknya. Daerahlah yang
mengetahui sedalam-dalamnya kebutuhan Daerah dan bagaimana memenuhinya.
c. Dengan desentralisasi dapat dihindarkan adanya beban yang melampaui batas dari Perangkat
Pusat yang disebabkan tunggakan kerja.
d. Pada desentralisasi unsur individu atau Daerah lebih menonjol karena dalam ruang lingkup
yang sempit, seseorang dapat lebih mempergunakan pengaruhnya daripada dalam masyarakat
yang luas.
e. Pada Desentralisasi, masyarakat setempat dapat berkesempatan ikut serta dalam
penyelenggaraan pemerintahan ia tidak hanya merasa sebagai objek saja.
f. Desentralisasi meningkatkan turut sertanya masyarakat setempat dalam melakukan kontrol
terhadap segala tindakan dan tingkah laku Pemerintah. Ini dapat menghasilkan pemborosan dan
dalam hal tertentu desentralisasi dapat meningkatkan daya guna dan hasil guna.

Sedangkan Riwu Kaho (1982), berpendapat bahwa keuntungankeuntungan dari dianutnya


desentralisasi adalah berikut ini.
a. Mengurangi bertumpuk-tumpuknya pekerjaan di Pusat Pemerintahan.
b. Dalam menghadapi masalah-masalah yang amat mendesak yang membutuhkan tindakan yang
cepat, Daerah tidak perlu menunggu instruksi dari Pemerintah Pusat.
c. Dapat mengurangi birokrasi dalam arti yang buruk karena setiap keputusan pelaksanaannya
dapat segera diambil.
b. Dalam sistem desentralisasi dapat diadakan pembedaan-pembedaan (diferensiasi) dan
pengkhususan (spesialisasi-spesialisasi) yang berguna bagi kepentingan tertentu khususnya
desentralisasi teritorial dapat lebih mudah menyesuaikan diri kepada kebutuhan-kebutuhan dan
keadaankeadaan Daerah.
a. Dengan adanya desentralisasi teritorial, maka Daerah Otonom dapat merupakan semacam
laboratorium dalam hal-hal yang berhubungan dengan pemerintahan yang dapat bermanfaat
bagi seluruh negara. Halhal yang ternyata baik dapat diterapkan, hal-hal yang kurang baik
dapat dilokalisasi/dibatasi pada suatu Daerah tertentu saja. Oleh karena itu, dapat lebih mudah
ditiadakan.
b. Mengurangi kemungkinan kewenangan dari Pemerintah Pusat.
c. Lebih memberikan kepuasan bagi Daerah-Daerah karena sifatnya lebih langsung, ini
merupakan faktor psikologis.

Lebih jauh diungkapkan bahwa di samping keuntungan-keuntungan, desentralisasi juga


mengundang beberapa kelemahan, yaitu berikut ini.
a. Oleh karena besarnya organ-organ pemerintahan, maka struktur pemerintahan bertambah
kompleks, hal mana mempersulit koordinasi.
b. Keseimbangan dan keserasian antara bermacam-macam kepentingan Daerah dapat lebih mudah
terganggu.
c. Khusus mengenai desentralisasi sosial, dapat mendorong timbulnya apa yang disebut
Daerahisme atau Provinsialisme
d. Keputusan yang diambil memerlukan waktu yang lama karena membutuhkan perundingan-
perundingan yang lama.
e. Dalam penyelenggaraan desentralisasi diperlukan biaya yang lebih banyak dan sulit untuk
memperoleh keseragaman dan kesederhanaan.

Dengan mengacu beberapa pemikiran di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian asas
desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan di Daerah, di samping ada hal-hal yang
menguntungkan juga ada hal-hal yang tidak menguntungkan. Walaupun demikian, penerapan asas
desentralisasi merupakan sesuatu yang harus diwujudkan.
The Liang Gie, berpendapat bahwa alasan dianutnya desentralisasi adalah berikut ini.
a. Dilihat dari sudut politik sebagai permainan kekuasaan, desentralisasi dimaksudkan untuk
mencegah kekuasaan berada pada satu pihak saja yang pada akhirnya dapat menimbulkan
tirani.
b. Dalam bidang politik, penyelenggaraan, desentralisasi dianggap sebagai tindakan
pendemokrasian, untuk menarik rakyat ikut serta dalam pemerintahan dan melatih diri
mempergunakan hak-hak demokrasi.
c. Dari sudut teknis organisatoris pemerintahan, alasan mengadakan pemerintahan Daerah
(desentralisasi) adalah semata-mata untuk mencapai suatu pemerintahan yang efisien. Apa
yang dianggap lebih utama untuk diurus oleh Pemerintah setempat pengurusannya
diserahkan kepada Daerah, hal-hal yang lebih tepat ditangani pusat tetap diurus oleh
Pemerintah Pusat.
d. Dari sudut Kultural, desentralisasi perlu diadakan supaya perhatian dapat sepenuhnya
ditumpahkan kepada kekhususan suatu Daerah, seperti geografi, keadaan penduduk,
kegiatan ekonomi, watak kebudayaan atau latar belakang sejarahnya.
e. Dari sudut kepentingan pembangunan ekonomi, desentralisasi diperlukan karena Pemerintah
Daerah dapat lebih banyak dan secara langsung membantu pembangunan tersebut.

3. Asas Dekonsentrasi

Menurut Koesoemahatmaja (dalam Fauzan, 2006:53) dekonsentrasi adalah pelimpahan


wewenang dari alat perlengkapan negara tingkatan lebih atas kepada bawahannya guna
melancarkan pekerjaan di dalam melaksanakan tugas pemerintahan, misalnya pelimpahan
kekuasaan dari wewenang menteri kepada Gubernur, dari Gubernur kepada Bupati dan seterusnya.
Menurut Rondinelli (dalam Koswara, 2002:47) dekonsentrasi pada hakikatnya hanya merupakan
pembagian kewenangan dan tanggung jawab administratif antara departemen pusat dengan pejabat
pusat di lapangan. Sedang menurut Bryant, dekonsentrasi itu lebih banyak hanya berupa pergeseran
volume pekerjaan dari departemen pusat kepada perwakilannya yang ada di daerah tanpa adanya
penyerahan kewenangan untuk mengambil keputusan atau keleluasaan untuk membuat keputusan
(Koswara, 2002:47). Menurut Rondenelli (1983), dekonsentrasi itu dapat dibedakan menjadi dua
tipe, yaitu tipe field administration dan tipe local administration. Dalam tipe field administration,
pejabat lapangan diberi keleluasaan untuk mengambil keputusan, seperti merencanakan, membuat
keputusan-keputusan rutin, dan menyesuaikan pelaksanaan kebijaksanaan pusat dengan kondisi
setempat. Kesemuanya dilaksanakan atas petunjuk departemen pusat. Dalam sistem ini meskipun
para staf lapangan bekerja di dalam lingkungan yurisdiksi pemerintah lokal yang memiliki
kewenangan semi otonomi, mereka adalah pegawai departemen pusat dan tetap berada di bawah
perintah dan supervisi pusat. Sedangkan pada tipe local administration, semua pejabat di setiap
tingkat pemerintahan merupakan perwakilan dari pemerintah pusat, seperti provinsi, distrik,
kotapraja, dan sebagainya, yang dikepalai oleh seseorang yang diangkat oleh dan berada di bawah
dan bertanggung jawab kepada departemen pusat. Mereka bekerja di bawah supervisi teknik dan
pengawasan departemen pusat. Ada dua tipe local administration yang biasanya dipergunakan di
negara-negara berkembang, yaitu intergrated dan unintergrated local administration. Intergrated
local administration adalah salah satu bentuk dekonsentrasi. Tenaga-tenaga dari departemen pusat
yang ditempatkan di daerah berada langsung di bawah perintah dan supervisi dari kepala eksekutif
di daerah (provinsi, distrik, kotapraja, dan sebagainya) yang diangkat oleh dan bertanggung jawab
kepada pemerintah pusat. Walaupun tenaga-tenaga staf tersebut diangkat, digaji, dipromosikan, dan
dimutasikan oleh departemen pusat, mereka berkedudukan sebagai staf teknis dari kepala eksekutif
wilayah dan bertanggung jawab kepadanya. Dalam sistem unintergrated local administration,
tenaga-tenaga staf departemen pusat yang berada di daerah dan kepala eksekutif wilayah yang
masing-masing berdiri sendiri. Mereka bertanggung jawab kepada masing-masing departemennya
yang berada di pusat. Koordinasi dilakukan secara informal. Tenaga-tenaga staf teknis mendapat
perintah dan supervisi dari masing-masing departemen. Di Indonesia koordinasi instansi vertikal
(pejabat pusat di daerah) dilakukan secara formal (Koswara, 2002: 48).
Dalam konteks Indonesia, asas dekonsentrasi menurut UU No. 5 tahun 1974 Pasal 1 huruf
(f) adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah atau Kepala Wilayah atau kepala Instansi Vertikal
tingkat atasnya kepada pejabatpejabatnya di daerah. Menurut Pasal 1 huruf (f) Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 yang dimaksud dekonsentrasi adalah:
a. Pelimpahan wewenang dari Aparatur Pemerintah yang lebih tinggi tingkatannya kepada
aparatur lain dalam satu tingkatan pemerintahan disebut dekonsentrasi horizontal. Contohnya,
pendelegasian wewenang dari Presiden kepada para Menteri. Pendelegasian wewenang dari
Gubernur kepada BKPMD (Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah) Provinsi, dalam
pemberian izin di bidang tertentu.
b. Pelimpahan wewenang dari Pemerintah atau dari suatu aparatur pemerintah yang lebih tinggi
tingkatannya ke aparatur lain dalam tingkatan pemerintahan yang lebih rendah, disebut
dekonsentrasi vertikal. Contohnya, Presiden mendelegasikan kewenangannya di bidang
penyelenggaraan pemerintahan umum kepada Gubernur. Dekonsentrasi vertikal ini secara
kental pernah berlaku sewaktu masih mengacu pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974.
Berdasar pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, dekonsentrasi diartikan pelimpahan
wewenang dari pemerintah atau Kepala Wilayah atau Kepala Instansi Vertikal Tingkat
Atasnya kepada Pejabat di Daerah. Daerah dimaksud adalah Daerah Tingkat I dan Daerah
Tingkat II. Demikian pula pelaksanaan dekonsentrasi menurut Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004.

4. Asas Tugas Pembantuan

Tugas Pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada Daerah dan Desa dan dari
Daerah ke Desa untuk melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan, sarana dan prasarana
serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan
mempertanggungjawabkannya kepada yang menugaskan. Urusan yang ditugaskan masih menjadi
wewenang sepenuhnya Pemerintah atau Pemerintah Daerah Provinsi (yang menugaskannya).
Pemerintah atau Pemerintah Daerah Provinsi memberi tugas menyusun rencana kegiatan atau
kebijaksanaan dan menyediakan anggarannya, sedang Daerah (dalam hal ini Kabupaten dan Kota)
yang ditugasi hanya sekadar melaksanakannya, tetapi dengan suatu kewajiban untuk
mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas itu kepada yang memberi tugas.
Urusan-urusan yang pelaksanaannya didasarkan pada asas tugas pembantuan ini, antara lain
sebagian urusan haji, urusan bencana alam, lingkungan hidup, olahraga, kepemudaan.
Sjahran Basah menjelaskan bahwa tugas pembantuan pada hakikatnya adalah menjalankan
peraturan perundangan yang lebih tinggi derajatnya dari pihak lain secara bebas. Bebas di sini
dalam arti terdapat kemungkinan untuk mengadakan peraturan yang mengkhususkan ketentuan
perundangan yang lebih tinggi derajatnya, supaya sesuai dengan kondisi nyata di daerah-daerah
sendiri. Senada dengan pengertian itu dikemukakan oleh Bagir Manan yang mengemukakan bahwa
tugas pembantuan adalah kewajiban membantu mengurus kepentingan rumah tangga tingkat lebih
atas (Fauzan, 2006:70).
Dengan demikian tugas pembantuan pada prinsipnya berkenaan dengan pelaksanaan tugas
pemerintah pusat atau pemerintah daerah tingkat atasnya oleh pemerintah daerah atau pemerintah
desa yang sifatnya membantu dengan kewajiban mempertanggungjawabkan kepada yang
menugaskan. Dalam artian ini, posisi pemerintah daerah atau pemerintah desa yang diberi tugas
pembantuan itu tidak dalam posisi subordinasi dari pemerintah atau pemerintah daerah tingkat atas
yang memberi tugas, akan tetapi dalam hal ini pemerintah daerah atau pemerintah desa tidak
mempunyai hak untuk menolak. Hubungan dalam tugas pembantuan timbul oleh atau berdasarkan
ketentuan hukum atau peraturan perundang-undangan. Pada dasarnya tugas pembantuan adalah
tugas untuk melaksanakan peraturan perundangan tingkat lebih tinggi. Daerah terikat untuk
melaksanakan peraturan perundangundangan termasuk yang diperintahkan atau diminta dalam
rangka tugas pembantuan (Bagir Manan dalam Fauzan, 2006:71).
Dalam menjalankan tugas pembantuan, urusan-urusan yang diselenggarakan oleh
pemerintah daerah atau desa masih tetap menjadi urusan pemerintah atau pemerintah daerah tingkat
atasnya, sedangkan caranya sepenuhnya diserahkan kepada daerah. Dalam hal pemerintah daerah
atau pemerintah desa yang diberi tugas untuk melaksanakan tugas pembantuan tidak dapat
mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas pembantuan, maka tugas pembantuan tersebut dapat
dihentikan dengan tidak menutup kemungkinan pemerintah yang mempunyai urusan pemerintahan
tersebut minta ganti kerugian dari daerah atau desa yang tidak bertanggung jawab tersebut.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tugas pembantuan itu diterapkan dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah karena:
a. Urusan pemerintahan yang dijadikan urusan untuk ditugasbantukan adalah urusan-urusan
pemerintahan yang secara prinsip masih tetap menjadi urusan pemerintah pusat akan tetapi
pelaksanaannya lebih efisien dan efektif jika pemerintah daerah tingkat bawah atau desa
yang melaksanakannya.
b. Keterbatasan kemampuan pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang lebih tinggi
dalam hal yang berhubungan dengan perangkat dan sumber daya.

Ateng Syarifudin menyatakan bahwa dasar pertimbangan pelaksanaan asas tugas


pembantuan antara lain karena:
a. Keterbatasan kemampuan pemerintah dan atau pemerintah daerah;
b. Sifat sesuatu urusan yang sulit dilaksanakan dengan baik tanpa mengikutsertakan
pemerintah daerah.
c. Perkembangan dan kebutuhan masyarakat, sehingga sesuatu urusan akan lebih berdaya
guna dan berhasil guna apabila ditugaskan kepada pemerintah daerah.

Lebih jauh dijelaskan bahwa berkaitan ukuran atau parameter materi/muatan yang
merupakan tugas pembantuan, meliputi:
c. Urusan tersebut berakibat langsung kepada masyarakat.
d. Urusan yang secara tidak langsung, tidak memberi dampak terhadap kepentingan
masyarakat, karena semata-mata membantu urusan pusat.
e. Urusan yang dapat meningkatkan efisiensi dan keefektifan pelayanan yang langsung
memenuhi kebutuhan masyarakat daerah.
f. Urusan yang tidak bersifat strategis nasional dan urusan yang tidak memerlukan
keseragaman nasional (Fauzan, 2006:74).

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tugas pembantuan itu dilaksanakan, di
samping untuk memudahkan pelaksanaan tugas dari pemerintah pusat dalam menangani urusan-
urusan pemerintahan tertentu, juga akan menambah/meningkatkan kemampuan pemerintah daerah
dalam menangani urusan-urusan pemerintahan tertentu karena terlibat secara langsung membantu
pemerintah pusat untuk menangani urusan pemerintahan tertentu dimaksud. Tugas pembantuan
dalam hal-hal tertentu dapat dijadikan semacam terminal menuju penyerahan penuh suatu urusan
kepada daerah. Tugas pembantuan merupakan tahap awal sebagai persiapan menuju kepada
penyerahan penuh.

D. Asas-Asas Pemerintahan Negara

Untuk membahas tentang asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB) terutama di
Indonesia tidak bisa dilepaskan dari sejarah perkembangan asas-asas tersebut di Negara Belanda.
Hal ini dikarenakan sejarah perkembangan AUPB di Indonesia berhubungan erat dengan
perkembangan asas-asas umum pemerintahan yang baik di Negara Belanda. Istilah asas- asas umum
pemerintahan yang baik di Indonesia juga mulai muncul setelah diperkenalkan oleh ahli-ahli
Hukum Administrasi Negara Belanda. Di samping itu memang Indonesia merupakan bekas koloni
Belanda sehingga hukum- hukum di Indonesia banyak yang merupakan konkordansi dari hukum-
hukum Belanda. Untuk itu mengawali bagian ini maka akan dibahas terlebih dahulu sejarah
perkembangan asas-asas umum pemerintahan yang baik di Negara Belanda.
Di Negara Belanda, penerapan prinsip asas-asas umum pemerintahan yang baik, pada awalnya
dipengaruhi oleh implementasi konsep welfare state (negara kesejahteraan). Konsep ini
menemparkan penyelenggara pemerintahan negara sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap
tercapainya kesejahteraan warga negara dan warga masyarakat. Di dalam
mewujudkan konsep welfare dalam segala urusan kehidupan warga negara dan masyarakat.
Wewenang untuk mencampuri segala urusan warga negara ini tidak hanya bersumber dari peraturan
perundang-undangan. Akan tetapi dalam keadaan tertentu yang mendesak pemerintah dapat
menggunakan wewenang bebas (diskres). Perwujudan konsep negara kesejahteraan ini pada
akhirnya menimbulkan kontradiksi. Hal ini dikarenakan dalam negara yang menganut faham
kesejahteraan menghendaki setiap tindakan alat administrasi negara atau alat tata usaha negara,
pejabat negara atau pejabat pemerintah harus berdasarkan atas hukum. Di samping itu dalam waktu
yang sama alat administrasi negara ini diserahi peran, tugas dan tanggung jawab yang luas dan
kompleks untuk mewujudkan kesejahteraan warga negara dan masyarakat.
Sebetulnya konsep mengenai asas-asas umum pemerintahan yang baik, baru muncul pada awal
abad ke-20 sebagai akibat dari munculnya konsep rechtstaat dan the rule of law. Pada awal abad
tersebut suasana pada banyak negara diwarnai oleh gagasan yang menyatakan bahwa negara tidak
boleh melakukan campur tangan dalam urusan kehidupan warga negara. Negara hanya
diperbolehkan melakukan campur tangan dalam urusan ketertiban, keamanan, dan hubungan luar
negeri. Gagasan ini dikenal dengan tipe negara penjaga malam atau negara hukum formal, negara
hukum dalam arti sempit dan sering disebut dengan istilah nachwachterstaat. Konsep negara
penjaga malam ini lahir dan berkembang bersamaan dengan berkembangnya faham ekonomi
liberal. Pada akhirnya faham ekonomi liberal ini kemudian memunculkan krisis ekonomi yang
mencapai puncaknya pada tahun 1934 dan melumpuhkan perekonomian sebagian besar negara-
negara di dunia. Akibat dari krisis ekonomi itu, secara perlahan-lahan muncul peran negara dalam
kehidupan warga negara untuk mengatasi krisis. Setelah itu negara terlibat dalam berbagai aspek
kehidupan warga negara maka muncullah konsep welfare state atau yang sering disebut dengan
istilah negara kesejahteraan.
Awal kemunculan asas-asas umum pemerintahan yang baik atau dalam bahasa Belanda disebut
dengan "algemene beginselen vanbehoorlijk bestuur disingkat ABBB di Negara Belanda adalah
adanya kekhawatiran di kalangan warga masyarakat. Kekhawatiran ini disebabkan karena potensi
terjadinya hennican Lenentingan antara nemerintah denean rakvar akihar dari adanya diskresi yang
dipunyai oleh alat administrasi negara. Diskresi ini di dalam praktik seringkali menimbulkan
kerugian bagi warga masyarakat akibat dari tindakan-tindakan yang kurang terpuji dari aparat
pemerintah. Bahkan acapkali terjadi tindakan-tindakan kurang terpuji itu juga merugikan alat
administrasi negara sendiri. Berbagai bentuk penyimpangan tindakan pemerintah yang merupakan
tindakan tidak terpuji, seperti onrechtmatige overheidsdaad (perbuatan melanggar hukum yang
dilakukan oleh pemerintah), detournement de pouvoir (penyalahgunaan kekuasaan), atau willekeur
(kesewenang-wenangan). Hal ini dapat terjadi dan menyebabkan hak asasi warga negara dirugikan
arau terabaikan.
aporan panitia de' Monchy mengenai ABBB ini kemudian dikembangkan oleh ahli Hukum
Administrasi Negara terutama di Belanda termasuk di Indonesia. Laporan panitia de Monchy oleh
para hakim dipakai sebagal kaidah hukum dalam membatalkan keputusan tata usaha/administrasi
negara. Di Negara Belanda awalnya menurut sejarah AUPB dipergunakan oleh peradilan umum.
Pada tahun 1954 untuk pertama kalinya dimuat dalam "Wer Administratieff Rechtspraak Bedrijfs
Organisatie". Peradilan Belanda perpendapat bahwa pelanggaran AUPB merupakan perbuatan
"willekuer, dan dengan demikian merupakan klasifikasi perbuatan yang "melanggar hukum".

Di Indonesia konsep asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB) yang telah berkembang
di Belanda ini mulai diperkenalkan oleh G.A.van Poelje pada tahun 1953. Namun pada waktu itu
konsep AUPB belum mendapat perhatian di lingkungan para ahli Hukum Administrasi Negara di
Indonesia, Baru pada tahun 1978 AUPB mulai diperhatikan di lingkungan ahli Hukum Administrasi
Negara di Indonesia tatkala Crince Le Roy seorang ahli Hukum Administrasi Belanda, memberikan
kuliahnya pada Penataran Lanjutan Hukum Tata Usaha Negara/Hukum Tata Pemerintahan di
Fakultas Hukum Universitas Airlangga. Crince Le Roy mengetengahkan 11 butir asas-asas umum
pemerintahan yang baik yang merupakan terjemahan dari algemene beginselen van
behoorlijk bestuur.
Asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB) sering disebut pula sebagai prinsip- prinsip
umum pemerintahan yang baik. Pada dasarnya asas-asas ini merupakan aturan hukum publik yang
wajib diikuti oleh pengadilan dalam menerapkan hukum positif. AUPB ini merupakan kategori
khusus dari prinsip-prinsip hukum umum dan dianggap sebagai sumber formal hukum dalam
hukum administrasi, meskipun meskipun pada awalnya merupakan bagian dari hukum yang tidak
tertulis. Di dalam menjalankan tugas dan kewenangannya di bidang administrasi negara, alat
administrasi negara wajib berpedoman pada AUPB di samping harus tunduk pada asas legalitas
sebagai salah satu asas penting dalam negara hukum.
Mengenai penyebutan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB) di Indonesia, sebelum
dikeluarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan masih
beraneka ragam. Para ahli ada yang menyebut dengan istilah asas-asas umum pemerintahan yang
layak, asas-asas umum pemerintahan yang patut, asas-asas pemerintahan yang bersih dan wajar,
asas-asas hukum umum bagi penyelenggaraan administrasi negara yang layak. Asas-asas umum
pemerintahan yang baik merupakan terjemahan yang paling banyak digunakan oleh para ahli
hukum di Indonesia.
Sebelas (11) asas-asas umum pemerintahan yang baik tersebut adalah:
a. Asas kepastian hukum (principle of legal security):
b. Asas keseimbangan (principle of proportionality):
c. Asas kesamaan dalam mengambil keputusan (principle of equality);
d. Asas bertindak cermat (principle of carefulness);
e. Asas motivasi untuk setiap keputusan (principle of motivation):
f. Asas jangan mencampuradukkan kewenangan (principle of non misure of
competence);
g. Asas permainan yang layak (principle of fair play);
h. Asas keadilan atau kewajaran (principle of reasonableness or prohibition of
arbritariness);
i. Asas menanggapi pengharapan yang wajar (principle of meeting raised expectation):
j. Asas meniadakan akibat-akibat suatu keputusan yang batal (principle of undoing the
consequences of annulled decicion); dan
k. Asas perlindungan atas pandangan hidup (principle of protecting the
personal way of life).
STUDI KASUS
PELAKSANAAN DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH : KASUS
KABUPATEN DI SULAWESI UTARA DAN GORONTALO

ANALISIS KEUANGAN DAERAH DANA ALOKASI UMUM (DAU) DAN


PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD)

Kabupaten Minahasa

DAU dan APBD. APBD Kabupaten Minahasa TA 2001, direncanakan mencapai Rp288,2
milyar. Dibandingkan dengan realisasi APBD TA 2000 yang jumlahnya Rp136.0 milyar atau
setara dengan Rp181,3 milyar (12 bulan anggaran), terjadi peningkatan yang sangat
signifikan, yakni sebesar 59% (Tabel 9). Terjadinya peningkatan APBD sebesar itu tidak lain
disebabkan oleh besarnya jumlah DAU (Rp260.0 milyar) yang diterima oleh Kabupaten
Minahasa. Jumlah DAU ini lebih besar dari perolehan realisasi transfer penerimaan dari
pemerintah pusat sebelumnya dalam bentuk Subsidi Daerah Otonom (SDO) dan DPD yang
jumlahnya setara dengan Rp150,8 milyar (TA 2000), dan Rp120,5 milyar (TA 1999/2000).
Jika dilihat dari sudut pandang jumlah dana yang dikelola oleh pemda (APBD), dapat
dikatakan bahwa pelaksanaan otonomi daerah telah membawa keberuntungan tersendiri bagi
Pemda Kabupaten Minahasa.

Tidak seperti Propinsi Sulut yang jumlah DAU-nya tidak mencukupi untuk menutup belanja
rutin, DAU yang diterima Pemda Kabupaten Minahasa justru surplus. Dengan Jumlah
belanja rutin direncanakan sebesar Rp236,9 milyar, surplus yang diciptakan oleh DAU
mencapai Rp23,1 milyar. Ditambah dengan penerimaan dari pos PAD, bagi hasil pajak dan
bukan pajak yang masing-masing jumlahnya ditargetkan sebesar Rp15,9 milyar dan Rp12,3
milyar, maka potensi dana yang tersedia untuk belanja pembangunan jumlahnya mencapai
Rp51,3 milyar (Lampiran Tabel B). Jumlah ini lebih besar dari pada anggaran yang
dialokasikan untuk belanja pembangunan pada TA 2000 (setara dengan Rp27,5 milyar),
maupun TA 1999/2000 (Rp20,3 milyar).
Berkaitan dengan DAU, persoalan yang dirasakan pemda agak menggangu adalah
menyangkut prosedur pencairannya yang dilakukan tiap bulan. Untuk tujuan pembayaran
gaji, prosedur demikian tidak menjadi masalah. Tetapi, penggunaan DAU untuk alokasi
belanja pembangunan ternyata mempunyai persoalan tersendiri, terutama dalam kaitannya
dengan mekanisme pembayaran kepada kontraktor (rekanan pemda).

Pendapatan Asli Daerah (PAD). Tingkat kecukupan DAU yang diterima Kabupaten
Minahasa ternyata tidak mengendurkan semangat pemda dalam menggali sumber-sumber
PAD. Setelah menuntaskan berbagai perda yang mengatur kelembagaan baru daerah dan
peraturan tentang desa, prioritas pemda selanjutnya adalah membuat berbagai perda tentang
pungutan atau retribusi daerah. Pada tahun 2000, Pemda Kabupaten Minahasa telah
memberlakukan 35 perda baru, 16 perda di antaranya mengatur tentang pungutan atau
retribusi daerah, termasuk 6 perda perobahan.

Pembuatan berbagai perda pungutan ini tidak lain adalah untuk meningkatkan penerimaan
daerah dari pos PAD. Tabel 11 menunjukkan bahwa pada TA 2001 Kabupaten Minahasa
mentargetkan perolehan PAD sebesar Rp15,9 milyar atau naik 38% dibandingkan dengan
realisasi PAD TA 2000 (setara dengan Rp9.9 milyar).

Untuk merealisasikan target PAD tersebut, strategi umum yang diterapkan pemda berupa
intensifikasi terhadap obyek pungutan yang sudah berlaku dan ekstensifikasi atau penciptaan
sumber pungutan baru. Untuk intensifikasi pungutan yang tergolong cukup besar di
antaranya terdapat dalam pos Pajak Air Bawah Tanah dan Air Permukaan, retribusi
pelayanan kesehatan, pelayanan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan akta catatan sipil, dan
tempat rekreasi. Masing-masing pos penerimaan ini ditargetkan meningkat lebih dari 50%
dibandingkan dengan perolehan realisasi pada TA 2000.

Sementara itu untuk ekstensifikasi, dari 16 perda baru di atas 6 di antaranya sudah efektif
diberlakukan mulai TA 2001, yaitu jenis dan tarif pungutan pada Dinas Perhubungan dan
Telekomunikasi, pemeriksaaan alat pemadam kebakaran, jasa ketatausahaan, penjualan
perikanan, rumah potong hewan, dan tempat pendaratan kapal. Dari keenam Jenis pungutan
ini diharapkan mampu memberikan kontribusi PAD sebesar Rp2.0 milyar. Di luar pos pajak
dan retribusi daerah, kontribusi utama yang diharapkan mampu merealisasikan peningkatan
PAD tersebut adalah pos penerimaan sumbangan pihak ketiga (khususnya pertambangan
emas PT Newmount Minahasa Raya) yang ditargetkan sebesar Rp7 milyar. Tidak diperoleh
penjelasan lebih lanjut mengapa pos ini ditargetkan sedemikian besar. Padahal pada TA
2000, realisasi penerimaan dari pos ini hanya Rp241 juta (dari target sebesar Rp2,3 milyar).
Upaya penggalian sumber-sumber PAD yang dilakukan oleh Kabupaten Minahasa tidak
terbatas pada perda-perda yang telah disahkan tersebut. Berdasarkan hasil kajian Tim
Pengkajian Produk Hukum di Bagian Hukum, mereka memperkirakan masih ada sekitar 89
jenis potensi sumber PAD yang bisa digarap. Beberapa bentuk pungutan yang
dipertimbangkan dan atau sudah dirumuskan untuk diberlakukan di antaranya adalah:

1) Di sektor perkebunan, Kabupaten Minahasa pernah berencana membuat perda tentang


pungutan pada perdagangan komoditi cengkeh dan kelapa, bahkan raperdanya telah
disusun. Untuk sementara Ini raperda tersebut tidak diproses lebih lanjut karena pihak
propinsi juga sedang merumuskan hal yang sama. Di sektor tanaman pangan sudah
dipersiapkan raperda tentang pungutan pada komoditi sayuran.
2) Di sektor tenaga kerja, pungutan yang direncanakan dikaitkan dengan pelayanan perizinan
TKI yang selama ini masih menjadi kewenangan propinsi.
3) Kabupaten Minahasa telah membuat Raperda tentang Retribusi Hasil Hutan Ikutan,
sementara untuk aspek lainnya di sektor kehutanan masih tarik menarik dengan pusat
maupun propinsi.
4) Pengaturan dan atau pungutan di sektor pertambangan belum banyak yang bisa dilakukan.
Hal ini dikarenakan pemda masih menunggu berakhirnya kontrak antara pemerintah
dengan PT. Newmount pada 2003. Meskipun demikian pemda berharap PT Newmount
dapat memberikan kontribusi melalui Sumbangan Pihak Ketiga dalam jumlah yang relatif
besar. Tahun ini ditargetkan sebesar Rp7 milyar.
5) Beberapa bentuk pungutan yang saat ini telah diberlakukan di kabupaten/kota lainnya
juga dipertimbangkan untuk diberlakukan di Kabupaten Minahasa. Misalnya pungutan
atas TV yang telah diberlakukan di Kota Manado, kemungkinan akan diterapkan pula di
Kabupaten Minahasa. Hal yang sama juga terjadi dengan retribusi pedagang atau
penjualan keliling (surat izin berjualan keliling sudah diatur dalam Perda No. 22, 2000).
pungutan kepada penjahit, salon kecantikan dan gunting rambut.
BAB III

PENUTUP
Kesimpulan
Otonomi daerah sebagai hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan Konstitusi, sebagai dasar dari segala peraturan
perundang-undangan, menghendaki adanya otonomi daerah secara tegas sebagaimana
disebut dalam penjelasan pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
tahun 1945. Untuk melaksanakan otonomi daerah sendiri terdapat beberapa cara dalam
melaksanakannya, antara lain adalah dengan menggunakan konsep desentralisasi dan
dekonsentrasi.

Desentralisasi sebagai bentuk pelaksanaan otonomi daerah, adalah penyerahan wewenang


oleh badan-badan umum yang lebih tinggi kepada badan-badan umum yang lebih rendah
untuk secara mandiri dan berdasarkan pertimbangan kepentingan sendiri mengambil
keputusan pengaturan dan pemerintahan, serta struktur wewenang yang terjadi dari itu.
Manfaat dari desentralisasi sendiri adalah untuk mengefisiensikan dan mengefektifkan
pelaksanaan tugas pemerintah, memungkinkan terjadinya inovasi pada perangkat
pelaksana tugas pemerintahan / aparatur negara, serta meningkatkan pula motivasi moral,
komitmen dan produktivitas dari perangkat pelaksana tugas pemerintah aparatur negara.
Dalam hal bentuk, desentralisasi sebagaimana disebutkan dalam definisinya, berbentuk
penyerahan wewenang bermakna sebagai suatu peralihan kewenangan secara delegasi,
atau lazim disebut delegation of authority Dengan demikian, pemberi delegasi kehilangan
kewendangan itu, semua beralih kepada penerima delegasi Dilihat dari pembiayaannya,
kegiatan desentralisasi dibiayai oleh Anggaran Pendapatan Belanja Daerah. Hal ini
karena urusan pemerintah yang sudah diserahkan menjadi kewenangan pemerintah
daerah bukan menjadi kewenangan pemerintah pusat lagi, maka wajar bila
pembiayaannya berasal dari daerah itu sendiri.Setelah desentralisasi dilaksanakan,
diharapkan terciptanya suprastruktur dan infrastruktur politik yang demokratik berbasis
pada kedaulatan rakyat, terciptanya pemerintahan daerah yang efektif, efisien, setara, dan
terciptanya kesejahteraan masyarakat secara luas dan merata.

Maka dapat disimpulkan bahwasanya desentralisasi dan dekonsentrasi merupakan bentuk


realisasi pelaksanaan dari otonomi daerah dengan karakteristik masing-masing, yang
diantara kedua hal tersebut mengatur bidangnya masing- masing. Dalam hal
pelaksanaannya di Indonesia, otonomi daerah sebagai konsep awal dari desentralisasi dan
dekonsentrasi masih belum terlaksana dengan baik. Hal ini antara lain karena belum
terciptanya suatu grand design sebagai guideline bagi pemerintah untuk melaksanakan
otonomi daerah. Maka dari itu, grand design tersebut menjadi salah satu solusi untuk
memaksimalkan pelaksanaan desentralisasi dan dekonsentrasi sebagai bentuk
pelaksanaan konsep otonomi daerah sebagaimana telah disinggung sebelumnya bersama
pula dengan solusi-solusi lainnya.

Saran
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari masih jauh dari kesempumaan dan
banyak tersetia kesalahan. Mulai dari bahasa, materi, dan penyusunannya. Oleh karena
itu, penulis sangat mengharapkan kritik. saran, dan masukan yang dapat membangun
penulisan makalah ini. Semoga dapat menambah ilmu pengetahuan dan pemahaman
terkait materi di atas.
DAFTAR PUSTAKA

Sjafrizal, 2014. Perencanaan Pembangunan. Raja Grafindo Persada, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai