Anda di halaman 1dari 5

“Amanah Kecintaan”

Mentari bersinar gagah di atas ranting pepohonan bumi Goreta Pamekasan, kokok
ayam serta kicau burung yang terus berkumandang terasa ruah menyegarkan tubuh pagi yang
masih gemulai. Pemuda berdasi tegak menghadap ke arah barat dengan siap menunggangi
motor merahnya, terlihat di saku bagian atas jas yang dikenakan rupanya Mahasiswa STKIP
Al Hikmah Surabaya Feri Indra Mustofa namanya. Pemuda tersebut berangkat ke Kota Arek
Lancor Pamekasan dengan tujuan melaksanakan amanah dari ustaz-ustazah tercinta, rasa
semangat pun membara menginjakkan kaki di sekolah tercinta yakni, SMADA.
Terjun ke lantai Citra Wiyata Mandala simbol perjuangan dari sekolah SMAN 2
Pamekasan untuk melaksanakan kegiatan observasi yang diperintahkan ustaz-ustazah di
Kampus. Dua pekan lamanya kini banyak menilik kisah menarik baik dari siswa, guru, dan
juga warga sekolah. Sejak pertama kali menapaki sekolah pada hari senin, 21 Januari 2019
bertemulah dengan guru pamomg pengajar bahasa Indonesia kelas XI yaitu Ibu Naylis
Saadah, beliau yang membantu sekaligus mempercayai saya sebagai peneliti atau asisten
ketika mengajar kelas XI-Mipa 1,2 dan 3.
Bermula dari memasuki kelas XI-Mipa 3 puluhan siswa dan siswi terperanga kaget
dengan kehadiran saya, dikiranya pengawas dari Dinas Pendidikan karena dari tampilan
layaknya anggota DPR yang berdasi. Ibu Naylis mengenalkan saya kepada siswa-siswinya
dengan sedikit tersenyum ruah, “Masnya di belakang itu mahasiswa STKIP Al Hikmah
Surabaya yang bergelut dalam program studi bahasa Indonesia, tentunya alumni dari sini dan
keberadaanya disini untuk observasi di kelas ini.” Ujarnya.
Jam pelajaran berakhir, semua ilmu yang diajarkan Ibu Naylis kepada siswanya
membuat saya menumpahkan banyak tetesan tinta di kertas laporan observasi, banyaknya hal
menarik dan juga permasalahan yang sudah umunya terjadi di sekolah-sekolah. Azan zuhur
sudah berkumandang saya dan sebagian siswa beranjak ke musala SMAN 2 Pamekasan.
Matahari mulai pucat karena mendung menyelimuti dikala jam terakhir di sekolah,
Ibu Naylis masuk ke kelas XI Mipa 1 dengan semangat yang tak pernah pudar
membangkitkan siswa-siswi yang duduk lemas untuk semangat, “Semangat pagi!!!” Ibu
Naylis peragakan ke siswa agar mengikutinya “Yes, yes, yes, luar biasa.” Suara keras dengan
berbagai gerakan siswa kini sudah terlaksana.” sekarang kita belajar materi tentang
mempersiapkan proposal.” Ujar Ibu Naylis “Asssiapp Buuu.” Dengan sedikit bergurau siswa
menjawabnya.
***
Berlanjut dipertemuan berikutnya, kali ini berbeda dengan sebelumnya sebab Ibu
Naylis tidak bisa masuk ada keperluan keluar kota jadi beliau mempercayakan semua kelas
yang diajar hari itu kepada saya. Masuk ke kelas XI-Mipa 2 dengan wajah sumeringah siswa
dan siswi di kelas terkejut dikiranya mau apa karena banyak yang mengenali saya.
“Menuju mipa dua langkah berirama, kulihat senyumnya manis nan wajahnya ceria.
Tutur salam kuucapkan pertama, Assalamualaikum saudaraku yang berbahagia.” Puisi
lama saya kumandangkan.
“Walaikumsalam Wr. Wb.” Jawab siswa.
“Terang cahaya bagaikan lentera, menyinari kehidupan dunia. Perkenalkan nama saya
Feri Indra, senyum sapa dari saya semoga kalian bahagia.” Lanjut berpantun.
“Cuit, cuit, ooo… Plok, plok, plok.” Teriakan siswa dan juga menepukkan tangannya.
“Bulan Januari hujannya lebat, rintik airnya gemerlap di kaca. Saya yakin Ipa dua
hebat-hebat, mari kita serukan salam bahasa.”
“shshsyajkanshsjkskks.,.,.,.” Semua berbisik bingung.
“Ada yang tahu salam bahasa?” Tanya saya.
“Tidak...” Tangkasnya.
“Kalau saya ucapkan salam bahasa, kalian balas dengan... Junjung bahasa Indonesia,
lestarikan bahasa daerah, kuasai bahasa asing, siap ya!”
“Baik kakak, pak, kakak ganteng...” Sahutnya menggoda.
“Salam bahasa!”
“Junjung bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah, kuasai bahasa asing...”
“Tepuk tangan untuk kita semua”
“Plok, plok, plok, plok...”Riuh tepuk tangan dari siswa.
Suasana kelas hidup tak seperti biasanya kalau pelajaran bahasa Indonesia yang
terjadi kebanyakan siswa yang mengantuk, tapi kali ini tidak. Banyak siswa yang bertanya-
tanya tentang saya rasa kaget bergelimang dengan menyatakan “perasaan kakak hanya
kemarin lulus kok langsung mengajar, menarik.” Ujar siswi bernama Herlina.
Mengisi kelas saat itu bukanlah materi pelajaran yang saya utamakan, tetapi
penawaran yang menjadi ajuan kepada siswa-siswi, mau belajar apa sekarang. Lanjut materi
dari Ibu Naylis, berbagi pengalaman, bercerita, istirahat, berbagai tanggapan dari siswa
terlontar. Karena banyaknya siswa yang setuju berbagi pengalaman jadi sekarang materinya
saling berbagi pengalaman tetapi semua harus patuh diam mendengarkan, siap kak.
Raut wajah penghuni kelas penuh rasa senang hingga tertawa lepas di kala itu, saya
menjelaskan tentang latar belakang saya dan juga berbagai pertanyaan yang diajukan
sesampai ada sebagian siswa tersindir dengan penjelasan saya, semua tertawa lepas seolah-
olah hiburan belaka karena ada hal menarik di situ yang berkenaan dengan remaja,
pendidikan, serta agama menjadi topiknya.
Bel panjang sekolah pun berbunyi banyak warna dan berbagai rasa yang terjadi saat
itu, pulang ke bumi Goreta dengan kabar gembira yang tercipta meskipun sekian kilo meter
harus ditempuh dengan motor Honda yang saya juluki ‘Sapi Kerrab Just Calm”. Indahnya
hari itu sangatlah terasa puluhan siswa merindu, begitu pun saya wahai pejuang bangsa
terbayang-bayang akan impian.
Hari-hari selanjutnya tidak jauh beda dari sebulumnya, mengikuti pelajaran Ibu
Naylis bersandar di kursi belakang mengamati jalannya pembelajaran, mendekati Ibu Naylis
sebuah permintaan dari saya agar menjadi narasumber dalam beberapa skrip pertanyaan
wawancara yang saya ajukan kepadanya. Permintaan kedua agar tercipta kenangan semua
siswa kelas XI yang diajarkan beliau, saya kunjungi satu-persatu ke kelas untuk meminta
dokumentasi berupa foto bersama dan juga video testimoni berserukan salam bahasa.
Tak ada permainan khusus yang tecipta di SMADA, hanyalah semangat motivasi
yang menjadi kenangan dan menyertai tawa serta rindu yang mendekap hati kenanga.
Berpamitan dengan siswa beserta guru-guru karena berakhirnya kegiatan observasi selama
dua pekan ini, sungguh tak terasa datangnya perpisahan sehingga membuat lara.
***
Cerah matahari pagi kini menyengat tubuh dari ujung kepala hingga jari-jemari
tangan berkeringat manja, kegiatan observasi tidaklah berakhir hanya di satu titik saja.
Mendatangi sekolah SMPN 1 Waru Pamekasan tempat saya menimba ilmu 7 tahun lalu,
bertemulah guru-guru tercinta disambutlah dengan baik berbagai pertanyaan terlontar saat itu
yang pada intinya sambutan baik ada padaku.
Beberapa menit berselang datanglah seorang guru bahasa yang cantik jelita berparas
muslimah duduk di sebelah saya, “Asslamualaikum Subhil Khairi Yamuallim” dengan degup
jantung kini berguncang saya menyapanya tak tenang hati bergelimang kini terasa.

“Walaikum Salam, ada yang perlu saya bantu Feri?” Tanya guru pamong.
“Ini dengan Ibu Yunita kan?” Tanyak balik Feri.
“Iya benar, Feri kesini mau penelitiankah? Tangkasnya.
“Benar sekali Bu, saya diberikan amanah oleh Ustaz-Ustazah di Kampus untuk
melaksanakan kegiatan observasi ke sekolah-sekolah, kebetulan saya memilih disini.”
“Jadi apa yang perlu Ibu bantu buat Feri?”
“Saya butuh guru bahasa Indonesia sebagai objek penelitian ketika pembelajaran nanti
dengan tujuan memperoleh ilmu dan pengalaman baru untuk saya sebagai calon guru
bahasa nantinya.” Ungkapan saya sedikit menjelaskan di ruang formal.
“Baik kalau begitu, mari ikut saya ke kelas sekarang.” Ibu Yunita mengajak.
Sambutan baik dari guru pamong kini terasa mengikuti jejaknya ke kelas yang diajar
yaitu di ruang media, banyak pertanyaan yang saya ungkapkan mulai dari jadwal hingga latar
belakang kepada beliau begitupun sebaliknya terhadap saya. Semua siswa dan siswi yang ada
di ruangan itu kaget dengan kedatangan saya lirik-melirik sudah bermula saat aku duduk di
kursi belakang, sementara itu Ibu Yunita menerangkan di depan dengan menggunakan media
PowerPoint.
***
Sinar pagi tidak jauh berbeda dengan kemarin, tiba di sekolah saya bergegas
memasuki kelas VIII A kulihat Ibu Yunita bersiap di mejanya untuk mengajar. Kusapa
dengan lembut serta kupandangi kini Ibu Yunita semakin bersinar dengan sedikit senyuman
manis tumpah ruah di balik wajahnya, membuatku senang adanya kegembiraan di hatinya
walaupun saya datang terlambat ke kelas. “Apa itu teks observasi yang kemarin Ibu
terangkan?” Ibu Yunita mulai mengajar.
Duduk di kursi paling belakang saya mengikuti pembelajarannya, mengamati Ibu
Yunita yang sedang mengajar serta suasana kelas yang terjadi saat itu. Tidak sengaja saya
mengeluarkan kertas kosong menumpahkan tetes tinta berupa syair-syair, mengamati ibu
guru yang sangat menarik dari bahan ajarnya beserta senyum-senyum manis yang
memberikan aura positif sehingga siswa tertarik begitu juga saya.
Malam indah dipenuhi bintang-bintangya begitu pun rembulan yang tak mau kalah
dengan pancaran sinarnya, membuat aku duduk sendirian di teras depan rumah dengan
menatap indahnya alam di atas sana. Kini pikiran tiada henti terbayang layaknya setan
menggoda namun nuansa Islami kitab suci tetap berbunyi, antara bahan ajar atau senyum
manisnya kini membayangkan pejuang wanita pagi tadi.
“Kukuruyyuk, kukuruyyyuk, kukuruyyuk…” Suara ayam.
Pagi masih hijau dengan bintang fajar yang menyelimuti langit, suara kokok ayam
seolah berzikir mengundang raga segera bersuci. Rembulan hampir pudar gawai yang
menjadi pegangan kini bergetar, suara pesan dari Ibu Yunita tak bisa masuk harap digantikan
karena sakit melanda, hati sedih entah karena anak bangsa tak lagi diajar atau mata tak
sanggup kehilangan senyum manisnya.
“Assalamualaikum Wr. Wb.”
“Walaikumsalam Wr. Wb.” Jawab siswa.
“Selamat pagi dan bagaimana kabar kalian sekarang?” Tanyaku.
“Alhamdulillah baik, luar biasa”
“Hari ini kita belajar bareng, sebelum itu ada yang tahu ibu Yunita kemana?”
“Tidak… Emang kemana ibu Yunita?” Tanya siswa.
“Ibu Yunita tidak bisa hadir karena sakit, kita doakan semoga ibu Yunita cepat
sembuh dan bisa bergabung lagi dengan kita.”
“Amin…”
Kerinduan pun terasa, tiga hari lamanya tidak hadir membela sepinya hati, anak
bangsapun sedikit gelisah dengan guru sejati yaitu perempuan islami yang senyumnya
membuat iri karena tak ada yang menginspirasi. Belajar antara sedih hati dan semangat yang
masih menepi tak kubiarkan siswa larut dalam kesedihan, secuil kataku ungkapkan dengan
semangat berkobar motivasi akhirnya siswa gembira tiada tara.
Hari-hari gemulai atau mentari yang hampir pucat kini kembali cerah merasuk sukma
seolah-olah ada kebanggaan yang terasa, tampaknya ibu Yunita sudah bisa masuk ke sekolah.
Dengan bangga lapang dada diri meminta untuk wawancara dengan beliau, tanggapan yang
mempesona detik-perdetik rasa terkesima terus mendekap sungguh belajar aku darinya
ungkapan yang terpapar kini melekat dalam akal.
Bisik-bisik di rebana telingaku serta batin yang selalu berdegup kencang seolah ingin
mengungkapkan ada cinta yang mengalir tapi tak tau asalnya. Mengikuti pembelajaran ibu
Yunita serasa hati berdosa apakah ini cinta atau hanya ilusinasi belaka, kali ini berbeda duduk
di depan bersama dengan jarak terpisah sesuai agama senyumnya meruah lagi keringat
bercucur serasa cemburu dengan hati yang tidak tenang di sampingnya, entah kenapa dan ada
apa.
Ikatan siswa, guru senior dan junior tetap terjalin mesra kala itu, dokumentasi beserta
bingkisan menyertai suasana pagi di ruang kelas. Ucapan terima kasih berupa kenang untuk
siswa beserta guru dalam kegiatan observasi terakhirku mewarisi berjuta kenangan serta
pengetahuan, tak ada duka di sepanjang jalan yang terjalin hanyalah pengabdian kepada
siswa penerus bangsa. Indahnya perjalanan observasi mengisahkan interaksi yang bisa
dikatakan awal mula membangun kecintaan untuk anak negeri dan juga guru teka-teki SMP
Negeri 1 Waru Pamekasan.

Pamekasan, 15 Februari 2019

-------------Selesai---------------

Anda mungkin juga menyukai