Anda di halaman 1dari 6

“Cinta Hampa Mending Cita-cita”

Karya: Feri Indra Musofa

Hujan menggenang di bumi pahlawan kala


matahari jatuh di kaki bumi. Pemuda gagah berdiri
tiba di sekolah tercintanya STKIP Al Hikmah
Surabaya, bersama keluarganya di hantar menaiki
mobil mini putih berhenti tepat di depan pintu
gerbang masjid. Pemuda gagah berambut klimis rapi
biasa di sapa Gibran Khairil Mustofa kini beriringan
dengan lelaki dewasa yang berdampingan bersama
perempuan menuju pintu masuk utama kampus,
keduanya sering di sapa Abah dan Ibuk oleh Gibran.

Gibran dilahirkan di Pulau Garam Madura oleh sepasang suami-istri yang bernama
Abdullah jalal Mustofa dan siti Maghfirah tepatnya di pesisir pantai Desa Goreta. Bukan
keturunan darah biru, sejak kecil kehidupannya sederhana. Gibran memiliki keinginan besar
dengan ibadah sebagai pegangan dan juga nyali yang tak kunjung padam, ia bercita-cita
menjadi seorang guru atau manusia yang bermanfaat kepada sesama.

Sejak mengenal huruf hijaiyah maupun alfabert Gibran selalu belajar dan bertanya
kepada guru begitu juga pada orang tuanya. Kebiasaan sehari-hari dengan belajar, kini
sungguh bermanfaat sedari kelas satu SD hingga lulus ia menjadi salah satu aktor yang
dikenal sisi kecerdasannya dalam bersaing di sekolah dengan mendapat penghargaan bintang
kelas.

Patuh sedari kecil kepada guru dan juga orang tua sudah menjadi karakter dasar.
Beribadah mengenal Alquran serta sunnah sebagai pedoman muslim seperti halnya salat
berjamaah ke masjid sudah menjadi kebiasaanya. Mengaji di musala serta belajar di sekolah
tidak pernah absen sehingga guru-gurunya banyak memujinya. Tanpa keluhan tak punya
uang sangu tak jadi perhatian besar bagi seorang Gibran, yang penting ia bisa belajar di
sekolah maupun di musala. Begitu rajin layaknya pengembara mengincar target atau mangsa
atau pelajar yang haus ilmu.

***
Cita-cita yang mulia terbangun sedari kecil, hampir saja musnah oleh godaan bidadari
dunia fana. Gibran setelah beranjak dewasa menduduki bangku SMA ia sering tidak fokus
belajar pasalnya terpana oleh kecantikan wanita seberang kelasnya. Bermula dari pandangan,
menceritakan rasa pada teman, memberanikan diri mendekat untuk berkomunikasi lisan
secara berpapasan, sampai akhirnya bermesraan di media sosial. Gibran yang dulu tampak
pudar di penghujung asa.

Dini Nurlaili wanita idaman yang selalu menjadi perhatian, berhijab cantik dan
bibirnya tipis. Senyum manisnya sumringah, badannya yang sexi membuat para lelaki gagal
fokus melihatnya. kerudung andalan berwarna putih kini memperindah pesonanya setiap
saat, hingga Gibran Khairil Mustofa jatuh cinta denga wanita kelahiran Ronggosekowati
tersebut.

Sore hari matahari yang bergerak cepat mengelilingi porosnya segera tiba di ufuk
barat, Gibran bersama sepeda motornya tiba di rumah Dini.

“Assalamualaikum Wr.Wb.” Gibran menghampiri Dini dengan wajah senyum berseri-


seri.
“Walaikumsalam Wr.Wb.”
“Kamu semakin hari, kok makin cantik ya Bee?” Rayu Gibran dengan panggilan Bee
sebagai simbol rasa sayang.
“Biasa saja Bee, kamu itu loo makin gagah dan keren” Balasnya Dini.
“Ayo kita jalan Bee!” Ajak Gibran.
“Emang agenda hari ini kemana?”
“Seperi biasalah sore begini kita pandangi keindahan ciptaan tuhan, yaitu senja sore.”
Nada-nada rayu Gibran pun diperagakan.
“Baik kalau begitu, kita nunggu apa lagi ayo cussssss... berangkkat!!!” Respon dini
dengan senyumnya yang genit saking bahagianya.
“Dreen...Dreen...Dreen...” Suara motor Gibran meninggalkan rumah Dini.

Perjalanan yang tak memakan waktu lama, 9 km bisa ditempuh dengan waktu 10
menit dengan tualang menggunakan motor. Hampir setiap sore Gibran mengajak Dini melihat
indahnya senja atau sunset kata orang barat, es krim serta cokelat kini menjadi lengkap
keduanya karena sudah biasa saat menikmati senja. Keindahan senja sore di pantai Dejuang
sungguh menarik pengunjung para pemuda milenal untuk bersenang-senang bersama
kekasihnya sembari menikmati keindahan pantai tersebut.
“Be kamu lihat itu senja dan amati apa yang terjadi, atau apa yang kamu temukan
disitu?” Tanya Gibran menatap ke arah barat bersama jari telunjuknya.
“Saya tidak tahu Bee, senja sore hampir setiap hari aku lihat tetap saja begitu dan
kalau hujan pasti gak ada” Jawab dini dengan centil.
“Bukan itu, kenapa aku bertanya seperti itu ayo?”
“Gak tahu, emang kenapa?” Dahi Dini mengernyit keheranan.
“Aku tanya seperti itu sama halnya dengan kenapa aku mengajakmu ke sini yang
hampir tiap hari. Berjuta keindahan yang menjadi alasan bagiku Bee” Gibran menatap mesra
Dini.
“Kamu buat penasaran saja Bee, emang apa artinya sih.” Dini semakin bergejolak rasa
penasarannya.
“Saya ibaratkan senja di atas laut itu seperti kamu, bagaimana aku mengejar cintamu
yang begitu sulit atau lama untuk jatuh dalam pelukanku. Dulu kamu kulihat pucat sebelum
aku punya rasa, setelah aku mencintaimu kini makin terang dan nampak auramu sama halnya
seperti senja ini. Begitu pula kalau senja berganti malam yang selalu menemani dengan
kecerahan laksana bulan purnama. Begitu indahnya senja ini ku ukir di benakku, semoga
sampai suatu saat rupa senja sama sepertimu siang ia cerah malampun ia bersinar.” Ungkapan
kata puitis dari Gibran membuat hati dan tatapan Dini semakin berbunga-bunga.
“Ehemmm... kamu bisa saja sayang, aku terpana akan cintamu, layaknya serigala
mengaung dan bergegas mencuri hatiku” Dini tersenyum memandang sembari mencubit bibir
Gibran.
Melewati keindahan senja sore di Pantai Dejuang membuat hati keduanya senang dan
semakin lekat seperti hanyal suami-istri tanpa akad. Keindahan cinta di masa-masa SMA
sangatlah luar biasa untuk sebuah kenangan apalagi kebawa hingga ke singgasana pernikahan
meniti jalan surga.

***

Ujian sekolah semakin dekat 3 bulan lagi. Gibran tetap asyik dengan cintanya, cita-
cita yang amat besar darinya kini tak lagi dipandang entah tangga apa yang harus di pakai
untuk mencapai kesempurnaan cinta merelakan hati menyayat segalanya. Namanya juga cinta
kata pemuda zaman now.

“Assalamualikum Be”
“Walaikumsalam”
“Gimana kabarmu, malam-malam begini kamu ngapain bee?” Tanya Gibran.
“Aku baik-baik saja, gak tahu sibuk mikirin pangeranku sedang apa ia disana?”
“Oalah masak sih adinda lagi mikirin pangeran?”
“Iya-iyalah takut pangerannya mengembara terus, nanti pas ketemu sama ratu buaya
dimangsa.”
“hehe bisa saja kamu Bee, gak mungkinlah kan pangerannya sakti.”

Kesempurnaan cinta dengan canda tawa masih terjalin rapi begitu romantis cinta
Romeo dan Juliet kedua.

Sore hari gerimis, cucuran air hujan jatuh di permukaan Gibran dengan hati tegar
pergi menemui teman lamanya. Tiga perempuan cantik menunggu di gardu modern taman
kenangan asri Runggosekowati. tanpa seizin Dini, Gibran pun memberanikan dirinya
menemui ketiga teman lamanya, banyak hal yang diperbincangkan seraya ada badan magnet
yang ada di organ tubuh Gibran, ketiga wanita itu langsung tertarik kepada Gibran lantas apa
penyebabnya ia langusung meminta nomor telepon Gibran.

“Triiitt... truttt... trittt, halo?”

Malam rembulan yang pucat sedang bersembunyi tak seperti biasanya, seorang
bidadari hati Gibran yang biasa di sapa tiap malam kini tak di dahulukan. Tiga wanita yang
bertemu sore tadi mencuri strat menelpon Gibran, berbagai obrolan pun terlontar dari
pengantar hingga daftar pustaka, Gibran yang bijak tetap saja menanggapinya.

Setengah jam berlalu disentuh kembali gawai Gibran tampaknya Dini menelpon.
diangkatnya Dini tanpa salam tiba-tiba marah, sebab Gibran tak biasanya lama mengangkat
telepon darinya dengan berbagai pertanyaan sibuk lantaran apa yang membuat setengah jam
lamanya Dini menunggu. Gibran terdiam tanpa kata dia hendak bersilat lidah namun keburu
Dini menutup teleponnya.

Esok hari setelah mentari pagi yang cerah menerangi sudut kota Ronggosekowati,
Gibran terdiam dalam langkahnya ia duduk di teras rumah dengan pandangan kosong seperti
adanya bencana yang akan tiba. Dini yang sibuk dengan gawai memainkan jari-jarinya
tampak mencari nomor telepon Gibran. Kejadian semalam kini menuntut di pagi hari yang
cerah, Dini yang tak lagi anggun menghadapi Gibran kini amarahnya besar lantaran ia
mendengar informasi tentang kekasihnya bersama teman lamanya di taman tanpa
sepengetahuan darinya.

“Halo”
“Oh iya Bee, kamu dimana apa kabar kamu hari ini?’
“Udahlah jangan basa-basi,aku ingin penjelasanmu mengenai ketiga wanita yang
berada di taman kemarin bersamamu?” Dini tanpa sedu-sedan menelpon Gibran.
“Maksud kamu apa, itu teman lamaku?” Gibran membela diri sedikit menjelaskan.
“Udahlah emang kenapa kamu gak memberitahuku tentang itu, aneh kamu”
“Sebenarnya sepele Bee, maaf aku lupa”
“Alah alasan.. kamu jahat bee ya sudah sekarang kita putus, tolong jangan ganggu aku
lagi terima kasih selama ini.” Dini dengan titik berat mengumpal dalam hatinya dengan cucur
air mata yang tumpah deras mengihklaskan cintanya kandas.

Cinta yang terbangun dengan kemesraan serta kesuciaan kini rancu terbang di terpa
pusaran puting beliung hingga tak ada bekas kenang kecuali air mata yang terungkap. Raut
muka Gibran tempo hari dengan senyum merekah kini sudah saatnya kesedihan tercurah
sehingga menjadi sebuah salah. Tak bisa dipadamkan dengan senyum hanya surat Alquran
sebagai penawar. Setelah sekian lama Gibran larut dalam sebuah cinta tamaknya ia sudah
sadar akan angan yang dulu pernah di impikan, kembali ke masa dulu lagi dengan ideologi
cerdasnya yang peduli atas cita-cita sebagai seorang guru pintar, rajin, suka menulis, dan
berprestasi itu impian yang tak akan membohongi.

Langkah Gibran terdengar mengetuk pintu memasuki ruang kelas Sekolah Tinggi
Keguruan Al Hikmah Surabaya. Memandang kursi kuliah, Papan tulis, spidol, proyektor dan
anehnya jari Gibran menunjuk bangku depan dekat papan tulis seraya berkata satu saat aku
berdiri di depan sana.

Hening...

Surabaya, 15 Maret 2019


Penulis bernama Feri Indra Mustofa, lahir di Pamekasan.
Mahasiswa S-1 STKIP Al Hikmah Surabaya, Program Studi
Pendidikan Bahasa Indonesia. Aktif di organisasi KMP (Komunitas
Mahasiswa Pendidikan) dan Divisi Tarbiyah BEM Ma’had STKIP
Al Hikmah Surabaya.

Email: Indrafery073@gmail.com
No. Hp: 085259996188/085729206203
No. Rekening: 140-00-1562540-4 (Mandiri)

Anda mungkin juga menyukai