Anda di halaman 1dari 39

PENGENDALIAN BANJIR JAKARTA DENGAN INFRASTRUKTUR

TERPADU BAWAH TANAH

MAKALAH

Disusun sebagai syarat untuk tugas mata kuliah Rekayasa Sungai pada Jurusan Teknik Sipil
Fakultas Teknik Universitas Siliwangi Tasikmalaya

Oleh:
Fahri Agung Nugraha Saparuloh 197011014 Kelas A
Annisa Bunga Oktavianti 197011003 Kelas B
Amalia Nur Rizki 197011004 Kelas B
Reni Alfiatun Mu'minah 197011053 Kelas B
Muhammad Lutfi Nur Arifin 197011060 Kelas B
Hana Devina Rihhadatul'aisy 197011084 Kelas B

JURUSAN TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK


UNIVERSITASI SILIWANGI
TASIKMALAYA
2022
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ............................................................................................................ i

DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. iii

DAFTAR TABEL .................................................................................................. iv

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah ................................................................................. 2

1.3 Maksud dan Tujuan Makalah ............................................................... 2

1.3.1 Maksud ...................................................................................... 2

1.3.2 Tujuan ........................................................................................ 2

1.4 Sistematika Penulisan ........................................................................... 3

BAB II LANDASAN TEORI ................................................................................. 4

2.1 Banjir .................................................................................................... 4

2.2 Penyebab Banjir............................................................................. 5

2.3 Dampak Banjir............................................................................... 7

2.4 Pengendalian Banjir .............................................................................. 9

2.5 Infrastrutur Terpadu Bawah Tanah ............................................... 9

BAB III PEMBAHASAN ..................................................................................... 10

3.1 Mekanisme Infrastruktur Terpadu Bawah Tanah ............................... 10

3.1.1 ITBT (Infrastruktur Bawah Tanah) – 1.................................... 10

3.1.2 ITBT (Infrastruktur Bawah Tanah) – 2.................................... 11

3.2 Efektifitas Infrastruktur Terpadu Bawah Tanah ................................. 12

3.2.1 Efektifitas Pengendalian Banjir ITBT-1 .................................. 12

3.2.2 Efektifitas Pengendalian Banjir ITBT-2 .................................. 15

3.3 Penerapan Infrastruktur Terpadu Bawah tanah .................................. 18

3.4 Kekurangan dan Kelebihan Infrastruktur Terpadu Bawah Tanah ...... 19


3.4.1 Kekurangan Infrastruktur Terpadu Bawah Tanah ................... 19

3.4.2 Kelebihan Infrastruktur Terpadu Bawah Tanah ...................... 19

3.5 Bagian-bagian Infrastruktur Terpadu Bawah Tanah .......................... 20

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 29

4.1 Kesimpulan ......................................................................................... 29

4.2 Saran ................................................................................................... 30

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 31


DAFTAR GAMBAR

Gambar 3. 1 Rencana Infrastruktur Bawah Tanah dari Bale Kembang ke BKB .. 11

Gambar 3. 2 Skema ITBT-1 .................................................................................. 11

Gambar 3. 3 Usulan ITBT-2 dari Ulujami ke Tanah Abang................................. 12

Gambar 3. 4 Skema ITBT-2 .................................................................................. 12

Gambar 3. 5 Hujan rencana periode ulang 100 tahun ........................................... 13

Gambar 3. 6 Distrik yang berpengaruh dan yang terdampak................................ 14

Gambar 3. 7 Genangan yang mengalami peningkatan dan penurunan ................. 15

Gambar 3. 8 Perubahan Hidrograf Banjir di Sungai Pesanggrahan ...................... 16

Gambar 3. 9 Distrik yang berpengaruh dan yang terkena dampak akbibat ITBT-2

............................................................................................................................... 17

Gambar 3. 10 Inflow Facilities.............................................................................. 21

Gambar 3. 11 Penampang Poros No. 1 ................................................................. 22

Gambar 3. 12 Penampang Poros No. 2 ................................................................. 22

Gambar 3. 13 Penampang Poros No. 5 ................................................................. 23

Gambar 3. 14 Tunnels ........................................................................................... 23

Gambar 3. 15 Mesin Perisai .................................................................................. 24

Gambar 3. 16 Tampilan Luas Ryukyukan ............................................................ 25

Gambar 3. 17 Pressure – Adjusting Water Tank................................................... 25

Gambar 3. 18 Bird’s-Eye View of Drainage-Pump Station .................................. 26

Gambar 3. 19 Gas Turbine (a) dan Bladed Wheel (b) .......................................... 27

Gambar 3. 20 Drainage Sluiceway........................................................................ 27


DAFTAR TABEL

Tabel 3. 1 Indikasi perubahan luas genangan dengan ITBT-1.............................. 16

Tabel 3. 2 Perubahan Luas Genangan Akibat ITBT-2 .......................................... 18

Tabel 3. 3 Spesifikasi Poros .................................................................................. 21

Tabel 3. 4 Spesifikasi Terowongan ....................................................................... 25


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Provinsi DKI Jakarta sebagai pusat perekonomian Negara Indonesia dengan

segala kegiatan pembangunannya yang selama ini dilaksanakan oleh pemerintah

menghadapi permasalahan yang kompleks. Bencana yang berpotensi melanda

wilayah Jakarta adalah banjir, kebakaran dan gempa bumi. Bencana yang menjadi

perhatian khusus bagi Jakarta adalah banjir. Banjir di Jakarta terbagi menjadi dua,

yaitu banjir yang disebabkan oleh meluapnya sungai-sungai karena curah hujan

yang tinggi dan banjir yang terjadi karena kiriman dari daerah hulu, yaitu Bogor.

Terjadinya banjir di Jakarta juga disebabkan oleh sistem drainase yang tidak

berfungsi dengan optimal serta tersumbatnya sungai dan saluran air oleh sampah.

Selain itu, dibangunnya hunian pada lahan basah atau daerah resapan air serta

semakin padatnya pembangunan fisik menyebabkan kemampuan tanah menyerap

air menjadi sangat berkurang. Hal lainnya adalah pembangunan prasarana dan

sarana pengendalian banjir yang belum berfungsi maksimal. Ada 13 sungai dan

anak sungai yang mengalir ke Jakarta. Sungai ini sebagian besar polanya meander

atau berkelak-kelok. Mulai dari Kali Angke, Pesanggrahan, Ciliwung, dan Kali

Krukut. DAS Krukut memiliki luas ± 84,9 km2 dengan panjang sungai utama ± 40

Km. Dengan adanya perkembangan pemanfaatan lahan di bagian hulu dan tengah

DAS Krukut, maka secara langsung berpengaruh terhadap volume aliran

permukaan (run off) yang mengalir ke Kali Krukut. (Sugiyo, 2008:1) Dengan

adanya perkembangan pemanfaatan lahan di bagian hulu dan tengah DAS Krukut,

maka secara langsung berpengaruh terhadap volume aliran permukaan (run off)
yang mengalir ke Kali Krukut. Kali Krukut termasuk Wilayah Sungai Ciliwung

Cisadane dan merupakan bagian dari sistem drainase kota. Ketika musim hujan tiba,

Kali Krukut meluap khususnya di daerah Kemang, Jalan Kapten Tendean dan

daerah lain yang rawan banjir dapat menghentikan kegiatan ekonomi yang

menimbulkan kerugian. Perlu adanya perencanaan pengendalian banjir yang tepat

untuk menangani permasalahan banjir pada sistem Kali Krukut dengan

membahasnya sebagai satu kesatuan sistem. Dalam tugas rekayasa sungai ini,

penulis akan mencari solusi yang tepat berupa perencanaan pengendalian banjir

secara non struktural, yaitu dengan infrastruktur terpadu bawah tanah.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang timbul dari latar belakang penelitian adalah sebagai

berikut:

1. Bagaimana mekanisme Infrastruktur Terpadu Bawah Tanah?

2. Bagaimana kekurangan dan kelebihan Infrastruktur Terpadu Bawah Tanah?

3. Bagaimana efektifitas Infrastruktur Terpadu Bawah Tanah?

4. Bagaimana penerapan Infrastruktur Terpadu Bawah Tanah?

5. Bagaimana bagin-bagian dari Infrastruktur Terpadu Bawah Tanah?

1.3 Maksud dan Tujuan Makalah

1.3.1 Maksud

Maksud dari makalah ini adalah untuk memnuhi tugas rekayasa sungai dan

membuat literasi mengenai pengendalian banjir.

1.3.2 Tujuan

1. Mengetahui mekanisme Infrastruktur Terpadu Bawah tanah.

2. Mengetahui kekurangan dan kelebihan Infrastruktur Terpadu Bawah tanah.


3. Mengetahui Efektifitas Infrastruktur Terpadu Bawah tanah.

4. Mengetahui penerapan Infrastruktur Terpadu Bawah tanah.

1.4 Sistematika Penulisan

BAB I : PENDAHULUAN

Berisi latar belakang mengenai topik penelitian, rumusan

masalah yang timbul akibat latar belakang, maksud dan

tujuan, batasan masalah untuk menjaga konsistensi

penulisan serta sistematika penulisan.

BAB II : LANDASAN TEORI

Menguraikan tentang landasan teori yang valid dan reliabel

mengenai banjir, infrastruktur terpadu bawah tanah, dan

pengendalian banjir.

BAB III : PEMBAHASAN

Hasil analisis data dan pembahasan mengenai Infrastruktur

Terpadu Bawah Tanah.

BAB IV : PENUTUP

Berisi kesimpulan dan saran dari hasil daru studi literatur

mengenai Infrastruktur Terpadu Bawah Tanah.


BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Banjir

Banjir dapat berupa genangan pada lahan yang biasanya kering seperti pada

lahan pertanian, permukiman, pusat kota. Banjir dapat juga terjadi karena

debit/volume air yang mengalir pada suatu sungai atau saluran drainase melebihi

atau diatas kapasitas pengalirannya. Luapan air biasanya tidak menjadi persoalan

bila tidak menimbulkan kerugian, korban meninggal atau luka-luka, tidak

merendam permukiman dalam waktu lama, tidak menimbulkan persoalan lain bagi

kehidupan sehari-hari. Bila genangan air terjadi cukup tinggi, dalam waktu lama,

dan sering maka hal tersebut akan mengganggu kegiatan manusia.

Dalam sepuluh tahun terakhir ini, luas area dan frekuensi banjir semakin

bertambah dengan kerugian yang makin besar (BNPB, 2013). Di Indonesia banjir

sudah lama terjadi. Di Jakarta, misalnya, banjir sudah terjadi sejak 1959, ketika

jumlah penduduk masih relative sedikit. Banjir Jakarta terjadi sejak 1621, kemudian

disusul banjir 1878, 1918, 1909, 1918, 1923, 1932 yang menggenangi permukiman

warga karena meluapnya air dari sungai Ciliwung, Cisadane, Angke.

Setelah Indonesia merdeka, banjir masih terus terjadi di Jakarta pada 1979,

1996, 1999, 2002, 2007 (kompasiana, 2012; Fitriindrawardhono, 2012). Seperti

pada tahun-tahun sebelumnya, selama musim hujan seperti bulan Januari-Februari,

semua pihak (baik pemerintah maupun masyarakat) biasanya khawatir datangnya

bencana banjir. Curah hujan pada periode tersebut biasanya lebih tinggi dari bulan

lainnya (BMKG, 2013). Oleh karena itu masyarakat yang bertempat tinggal di

kawasan rawan banjir (bantaran sungai, dataran banjir, pantai, dll) atau yang rutin
mengalami banjir, biasanya sudah siap dengan kemungkinan terburuk mengalami

banjir, apalagi bila tempat tinggalnya berada dekat tubuh perairan khususnya

sungai.

2.2 Penyebab Banjir

Kawasan di DKI Jakarta kurang-lebih seluas 50% tumbuh dan berkembang

di dataran banjir 13 sungai, sehingga genangan yang diakibatkan luapan air sungai

tersebut dapat mebimbulkan masalah banjir. Masalah banjir ini semakin lama

semakin bertambah dan mengalami peningkatan seiring dengan laju pertumbuhan

penduduk dan pertambahan lahan di daerah bantaran sungai yang berubah menjadi

kawasan permukiman penduduk.

Menurut Prihatin (2013) menyatakan bahwa banyak factor yang menjadi

penyebab banjir di wilayah DKI Jakarta. Secara keseluruhan, yang menjadi faktor

pemicu awal adalah terjadinya perubahan-perubahan besar dan signifikan pada

sector tata ruang di beberapa kota, seperti wilayah DKI Jakarta, wilayah Bogor,

wilayah Depok, wilayah Tangerang dan wilayah Bekasi. Dengan perubahan-

perubahan yang terjadi ini menyebabkan penurunan jumlah daerah yang seharusnya

berfungsi sebagai daerah resapan air hujan, karena penurunan jumlah daerah ini,

maka air hujan yang turun ke bumi mengalir ke jalanan dan tidak meresap ke dalam

tanah.

Menurut Pemerintah Provinsi DKI Jakarta (2010) menyatakan bahwa banjir

yang terjadi di wilayah DKI Jakarta sangat bertalian erat dengan banyaknya factor-

faktor, seperti pembangunan fisik di kawasan tangkapan air di hulu yang kurang

tertata dengan baik, laju urbanisasi yang terus meningkat, perkembangan

perekonomian dan terjadinya perubahan iklim global. Lebih lanjut Pemerintah


Provinsi DKI Jakarta menjelaskan bahwa sejak era pemerintahan colonial Belanda

pun sudah sangat dipusingkan dengan permasalahan banjir ini dan juga

permasalahan lainnya seperti tata kelola air di Jakarta. Kemudian hanya berselang

sekitar dua tahun saja setelah Batavia dibangun sekitar tahun 1621 lengkap dengan

system kanalnya, kota ini mengalami banjir kembali. Kemudian banjir besar terjadi

kembali pada tahun 1918 yang membuat hamper seluruh kota tergenang air.

Berdasarkan laporan pada saat itu ketinggian air banjirnya adalah sekitar

satu meter atau sekitar setinggi dada orang dewasa. Salah satu upaya dari

penanggulangan banjir yang dilakukan oleh Pemerintah Kolonial Belanda saat itu

adalah dengan membangun saluran air yang disebut sebagai Banjir Kanal Barat

pada tahun 1922. Pembangunan Banjir Kanal Barat ini merupakan ide dari seorang

ahli tata kelola air, yaitu Herman van Breen.

Menurut Direktorat Pengairan dan Irigasi menyatakan bahwa terjadinya

serangkaian banjir dalam waktu yang relative pendek dan terulang setiap tahunnya,

menuntut upaya lebih besar untuk mengantisipasinya, sehingga kerugian dapat

diminamalkan. Berbagai upaya pemerintah yang bersifat struktural (structural

approach), pada kenyataannya masih jauh untuk dapat menanggulangi masalah

banjir di DKI Jakarta. Upaya dalam penanggulangan banjir ini di DKI Jakarta ini

selama ini lebih berfokus kepada penyediaan bangunanbangunan fisik pengendali

banjir untuk mengurangi dampak dari bencana banjir.

Menurut Aminudin, (2013) banjir adalah bencana yang diakibatkan curah

hujan yang tinggi dengan tidak diimbangi dengan saluran pembuangan air yang

memadai sehingga dapat merendam wilayah-wilayah yang tidak dikehendaki oleh

orang-orang yang ada di sana. Banjir yang terjadi ini juga dapat disebabkan karena
terjadinya jebol pada system aliran air yang ada, sehingga daerah yang lebih rendah

terkena dampak dari kiriman banjir.

Kemudian menurut Kodoatie, et, al 2002 dalam Nurhaimi A dan Sri Rahayu

(2014) ada dua factor yang menjadi penyebab terjadinya banjir, yaitu penyebab

yang bersifat alami dan penyebab yang bersifat tidak alami (dari aktivitas manusia).

Contohnya yang bersifat alami adalah : (a) hujan lebat; (b) pengaruh geografi pada

sungai di daerah hulu dan hilir; (c) pengendapan sedimen; (d) system jaringan

drainase tidak berjalan dengan baik; (e) pasang surut air laut. Kemudian contoh

yang bersifat tidak alami (aktivitas manusia) adalah : (a) perubahan daerah

pengalihan sungai yang disebabkan karena penggundulan hutan; (b) pembuangan

sampah ke sungai; (c) kurangnya terpelihara bangunan pengendali banjir; (d)

kurangnya terpelihara alur sungai.

2.3 Dampak Banjir

Kerugian ekonomi dari banjir dan longsor yang terjadi sangat besar, mulai

dari kerugian langsung seperti rusaknya rumah, baik ringan maupun berat, barang-

barang yang rusak dan hilang akibat terkena banjir, sampai dengan mobil dan motor

yang terendam air. Banjir juga mengakibatkan rusaknya infrastruktur fisik dan

prasarana sosial, seperti gedung sekolah, rumah ibadah dan puskesmas, serta

Bandara Halim Perdana Kusuma yang ditutup sementara dan semua penerbangan

dialihkan ke Bandara SoekarnoHatta (Kompas, 7 Januari 2020).

Banjir yang terjadi di beberapa wilayah Jabodetabek sejak 1 Januari 2020

hingga sekarang juga berdampak besar bagi perekonomian. Kerugian ekonomi

akibat bencana tersebut menurut peneliti senior Institute for Development of

Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira Adhinegara berbeda dengan


banjir pada tahun 2007, mencapai Rp10 triliun lebih (IDX, 3 Januari 2020) Dampak

ekonomi banjir yang kedua adalah diperkirakan akan meningkatkan inflasi volatile

foods, sehingga inflasi dapat meningkat tinggi dan meleset dari target APBN Tahun

2020 sebesar 3,1%. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS).

Suhariyanto mengungkapkan jika banjir tidak dapat diatasi dengan cepat

akan berdampak signifikan pada inflasi, khususnya pangaruh negatif terhadap

inflasi Januari 2020 (Bisnis Indonesia, 6 Januari 2020). Selain itu, pasokan bahan

baku, bahan makanan, dan produk jadi menjadi tidak lancar. Sektor perdagangan

besar hingga ritel juga terganggu karena jalur distribusi yang tersendat. Pedagang

di pasar tradisional juga kebingungan mendapatkan pasokan barang, khususnya

sayuran segar dan komoditas pangan lainnya seperti ikan laut. Pasokan yang

tersendat tersebut adalah dampak dari banjir yang menimbulkan naiknya harga

barang di pasar secara signifikan. Hal ini diperparah dengan curah hujan yang tinggi

menurut prakiraan cuaca oleh BMKG, baru mencapai puncaknya pada Februari dan

Maret (Bisnis Indonesia, 6 Januari 2020).

Dampak ekonomi lainnya adalah kerugian yang dialami oleh pedagang ritel.

Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Mendey menjelaskan

kerugian akibat banjir ada dua jenis, yaitu potential loss dan fix loss. Kerugian

potential loss dihitung dari kerugian berdasarkan jumlah toko yang tutup akibat

banjir dengan jumlah penduduk yang terdampak banjir, serta dengan

memperhitungkan rata-rata pengeluaran masyarakat pada akhir tahun 2019. Saat

ini, perusahaan ritel anggota Aprindo yang terkena dampak banjir di DKI Jakarta

mencapai hampir Rp1 triliun. Sedangkan untuk fix loss belum dapat dihitung

karena masih menunggu data dari APINDO (Suara Pembaruan, 7 Januari 2020).
2.4 Pengendalian Banjir

Pengendalian banjir di Jakarta sudah dilakukan sejak jaman kolonial. Banjir

yang terjadi di Batavia pada saat itu telah menyebabkan kota tersebut lumpuh. Pada

awal perencanaan kota ini, dimaksudkan untuk membangun kota menyerupai kota-

kota yang ada di Belanda, sehingga banyak dibangun kanalkanal. Sampai dengan

saat ini, banyak infrastruktur pengendalian banjir yang telah dibangun.

2.5 Infrastrutur Terpadu Bawah Tanah

Infrastruktur Terpadu Bawah Tanah (ITBT) seperti yang diusulkan oleh

pengembang kepada pemerintah dalam rangka untuk mengurangi kemacetan dan

resiko banjir di Jakarta. Enam trase yang diusulkan oleh pengembang terdapat dua

trase yang digunakan untuk pengendalian banjir yaitu ITBT-1 dan ITBT-2.

Efektivitas kedua trase yang diusulkan untuk pengendalian banjir di Jakarta

diuraikan pada subbab berikutnya.


BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Mekanisme Infrastruktur Terpadu Bawah Tanah

Infrastruktur Terpadu Bawah Tanah (ITBT) seperti yang diusulkan oleh

pengembang kepada pemerintah dalam rangka untuk mengurangi

kemacetan dan resiko banjir di Jakarta. Enam trase yang diusulkan oleh

pengembang terdapat dua trase yang digunakan untuk pengendalian

banjir yaitu ITBT-1 dan ITBT-2. Efektivitas kedua trase yang diusulkan

untuk pengendalian banjir di Jakarta diuraikan pada subbab berikutnya.

3.1.1 ITBT (Infrastruktur Bawah Tanah) – 1

Pengendalian banjir dengan ITBT-1 yaitu melalui Bale Kambang ke

Manggarai. Sistem ini termasuk ke bagian sistem pengendalian banjir wilayah

tengah. ITBT-1 yang diusulkan melalui Terowongan dari Sungai Ciliwung ke

Banjir Kanal Barat bertujuan untuk menggurangi genangan banjir di daerah

Kampung Melayu dan sekitarnya. Permasalahan banjir di Kampung Melayu dan

sekitarnya sudah menjadi rutinitas di setiap musim penghujan. Karena daerahnya

yang berpemukiman padat menyebabkan beberapa alur sungai yang ada mengalami

penyempitan sehingga kapasitas salurannya menjadi berkurang. Upaya terowongan

dari Sungai Ciliwung ke Banjir Kanal Barat (BKB) diharapkan dapat memotong

puncak banjir yang terjadi di Sungai Ciliwung sehingga mengurangi beban aliran

banjir menggalir di daerah Kapung melayu dan sekitarnya sehingga dapat

menurunkan muka air banjir. Terowongan ini bertujuan untuk mengalihkan

sebagian aliran banjir yang melewati daerah rawan banjir di Sungai Ciliwung.

Rencana trase Infrastruktur Bawah Tanah dan daerah banjir yang dikendalikan
dapat dilihat pada Gambar 3. 1 dan skema rencana tunnel di bawah tanah dapat

dilihat pada Gambar 3. 2.

Gambar 3. 1 Rencana Infrastruktur Bawah Tanah dari Bale Kembang ke


BKB

Gambar 3. 2 Skema ITBT-1

3.1.2 ITBT (Infrastruktur Bawah Tanah) – 2

Infrastruktur Terpadu Bawah Tanah ke-2 masuk dalam sistem pengendalian

banjir di wilayah barat. Infrastruktur Terpadu Bawah Tanah ke-2 berfungsi untuk

mengendalikan banjir yang terjadi di daerah Daan Mogot dan sekitarnya, yang

diakibatkan oleh meluapnya Sungai Pesanggrahan dan mengurangi beban di

Cengkareng Drain. ITBT-2 dilakukan dengan pendekatan struktur dengan membuat

terowongan untuk mengalirkan banjir dari Sungai Pesanggrahan di Ulujami ke

Banjir Kanal Barat di Tanah Abang. Adapun rencana jalur dari ITBT-2 dapat dilihat
pada Gambar 3. 3. Dimensi terowongan yang digunakan dalam simulasi adalah

berupa double tunnel masing-masing berdiameter 12 m. Adapun skematisasi dari

ITBT-2 dapat dilihat pada Gambar 3. 4.

Gambar 3. 3 Usulan ITBT-2 dari Ulujami ke Tanah Abang

Gambar 3. 4 Skema ITBT-2

3.2 Efektifitas Infrastruktur Terpadu Bawah Tanah

3.2.1 Efektifitas Pengendalian Banjir ITBT-1

Terowongan dari Sungai Ciliwung ke BKB seperti yang telah disebutkan

sebelumnya merupakan salah satu alternatif untuk menggurangi genangan banjir di

Jakarta, khususnya di daerah upstream Manggarai. Pengendalian banjir ini dapat

dinilai efektif jika dapat mengurangi risiko banjir di daerah layanannya. Untuk
mengetahui seberapa besar efektivitas dari pengendalian banjir ini, maka dilakukan

analisis terhadap profil muka air banjir di sepanjang sungai.

Berdasarkan model banjir di Jakarta yang telah dihasilkan sebelumnya,

selanjutnya dikembangkan model dengan membuat terowongan dari Sungai

Ciliwung ke BKB. Model banjir yang telah dibentuk ini, digunakan untuk menilai

efektivitas pengendalian banjir. Kinerja pengendalian banjir tersebut dilihat dengan

melakukan simulasi terhadap data hujan rencana 100 tahun. Besarnya hujan rencana

100 tahun di daerah aliran sungai-sungai yang masuk ke Jakarta dapat dilihat pada

Gambar 5. Perhitungan hujan rencana tersebut dilakukan secara regional dengan

metode L-Moment (Ginting, 2015). Kisaran hujan rencana yang terjadi di daerah

aliran sungai-sungai yang masuk ke Jakarta sekitar 200 mm sampai dengan 276 mm

selama satu hari.

Gambar 3. 5 Hujan rencana periode ulang 100 tahun


Pengurangan debit puncak banjir tersebut tidak disertai dengan

pengurangan luas genangan banjir di Jakarta. Pengurangan luas genangan hanya


terjadi pada daerah yang dikurangi debit banjirnya, namun pada lokasi yang

menerima beban lebih dari pengalihan tersebut akan bertambah luas genangannya.

Oleh karena hal tersebut, maka dilakukan analisis terhadap daerah yang akan

berdampak terhadap pendekatan yang dilakukan tersebut seperti terlihat pada

Gambar 3. 6.

Gambar 3. 6 Distrik yang berpengaruh dan yang terdampak


DKI Jakarta telah dibagi menjadi 18 distrik dalam 3 sistem pengendalian

banjir yaitu sistem wilayah barat, sistem wilayah tengah dan sistem wilayah timur.

Dari ke-18 distrik ini, akan dilihat distrik mana yang akan berpengaruh dan yang

terkena dampak akibat dari pada flood measure yang diterapkan. Berdasarkan

analisis dari genangan banjir yang telah dilakukan terhadap pendekatan ITBT-1,

maka diperoleh hasil bahwa terdapat beberapa distrik yang akan terkena dampak

seperti adanya peningkatan luas genangan pada distrik tertentu dan adanya

pengurangan genangan pada distrik tertentu seperti pada Gambar 15. Besaran

perubahan kedalaman genangan yang terjadi akibat dari ITBT-1 ini dapat dilihat

pada Gambar 3. 7.
Gambar 3. 7 Genangan yang mengalami peningkatan dan penurunan

3.2.2 Efektifitas Pengendalian Banjir ITBT-2

Upaya Pengendalian banjir yang dilakukan tersebut adalah untuk

mengurangi beban aliran sungai Pesanggrahan terhadap daerah rawan banjir di

sekitar Jalan Daan Mogot. Upaya yang dilakukan ini tentu saja akan berdampak

terhadap luas genangan banjir yang terjadi di Jakarta.

Berdasarkan simulasi model dengan penerapan ITBT-2 ke BKB, maka

dihasilkan perubahan debit puncak banjir yang menuju Cengkareng Drain semakin

berkurang. Debit puncak banjir yang terjadi di titik intake tunnel sekitar 204 m3/s

dan yang menuju ke tunnel sekitar 125 m3/s sehingga yang diteruskan melalui

Sungai Pesanggrahan sekitar 78 m3/s. Berdasarkan hasil ini, maka dapat diketahui

efektivitas dari ITBT-2 dalam mengurangi puncak banjir di Sungai Pesanggrahan

sekitar 61%. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 3. 8.


Gambar 3. 8 Perubahan Hidrograf Banjir di Sungai Pesanggrahan

Perubahan debit puncak banjir di Sungai Pesanggrahan hanya dapat

mengurangi resiko banjir di daerah hilir dari Sungai Pusanggrahan, namun akan

menambah beban di BKB sehingga menambah resiko banjir di area BKB. Untuk

melihat hal ini, maka dilakukan simulasi banjir dengan 2D agar diperoleh daerah

yang mengalami genangan banjir dibandingkan dengan genangan banjir sebelum

dilakukan ITBT-2.

Tabel 3. 1 Indikasi perubahan luas genangan dengan ITBT-1

Untuk melihat daerah yang terkena dampak, maka dapat diidentifikasi,

bahwa distrik yang akan berpengaruh dari flood measure ini adalah yang masuk
dalam sistem wilayah barat dan tengah, seperti terlihat pada Gambar 9. Distrik yang

berpengaruh belum tentu akan terkena dampak akibat dari ITBT-2, dan hal ini dapat

dilihat pada Gambar 3. 9 bahwa dengan adanya ITBT-2 terdapat distrik yang

mengalami penurunan genangan dan penambahan luas genangan pada distrik yang

terkena dampak.

Gambar 3. 9 Distrik yang berpengaruh dan yang terkena dampak akbibat


ITBT-2
Untuk melihat secara detail perubahan genangan yang terjadi dimasing-

masing distrik maka dapat dilihat pada Tabel 3. 2. Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat

secara keseluruhan, bahwa luas genangan yang terjadi di Jakarta mengalami

penurunan. Penurunan yang terjadi tidak terlalu signifikan dalam mengurangi

genangan banjir di Jakarta.


Tabel 3. 2 Perubahan Luas Genangan Akibat ITBT-2

3.3 Penerapan Infrastruktur Terpadu Bawah tanah

Metropolitan Area Outer Underground Discharge Channel atau Saluran

Pembuangan Bawah Tanah Area Luar Metropolitan. adalah sebuah proyek

infrastruktur air bawah tanah di Kasukae, Saitama, Jepang. Merupakan fasilitas

pengalihan air banjir bawah tanah terbesar di dunia, dibangun untuk mengurangi

meluapnya saluran air utama kota dan sungai selama musim hujan dan topan.

Terletak di antara Showa dan Kasukabe di prefektur Saitama, di pinggiran kota

Tokyo di Area Tokyo Raya.

Pekerjaan proyek dimulai pada tahun 1992 dan selesai pada awal tahun

2006. dan dikenal pula sebagai Proyek G-Can atau “Terowongan Bawah Tanah”.

Sistem terowongan beton ini terdiri dari lima silo penahanan beton dengan

ketinggian 65 m dan diameter 32 m, dihubungkan oleh 6,4 km terowongan, 50 m

di bawah permukaan , serta tangki air besar dengan tinggi 25,4 m, panjang 177 m,

lebar 78 m, dan dengan 59 tiang besar yang dihubungkan dengan 78 10 MW (13.000

hp) pompa yang dapat memompa hingga 200 ton air ke Sungai Edo per detik.
Sekitar tujuh kali setahun, sistem ini mengalihkan air dari hujan badai besar dan

menjaga agar jalan-jalan di Tokyo tidak berubah menjadi sungai deras.

Sistem yang rumit ini terdiri dari lima silo pengumpulan besar yang

dihubungkan oleh terowongan sepanjang empat mil. Masing-masing silo berukuran

cukup besar untuk menyimpan seluruh Patung Liberty. Saat hujan lebat, air masuk

melewati silo dan mengalir di sepanjang terowongan sentral, sebelum masuk ke

tangki penahan tekanan, dan dibuang ke Teluk Tokyo.

3.4 Kekurangan dan Kelebihan Infrastruktur Terpadu Bawah Tanah

3.4.1 Kekurangan Infrastruktur Terpadu Bawah Tanah

a. Pembangunannya lebih mahal dan lebih lama dikarenakan Underground

Floodway memiliki sistem yang jauh lebih besar dan kompleks

dibandingkan dengan di permukaan. Selain itu, pembangunan Underground

Floodway yang lebih mahal menyebabkan sulitnya mencari investor.

b. Jika terjadi banjir, terowongan banjir bawah tanah mengurangi dampak

banjir di satu area, tetapi dapat menyebabkan banjir di bagian hilir di area

lain. Hal ini terjadi karena sejumlah besar air bergerak cepat melalui

terowongan. Jika fasilitas aliran keluar tidak dibangun dengan baik maka

erosi tepian hilir, banjir, dan kerusakan lingkungan sekitar dapat terjadi.

3.4.2 Kelebihan Infrastruktur Terpadu Bawah Tanah

a. Memecahkan permasalahan keterbatasan lahan, yang mana floodway

permukaan tanah memerlukan lahan yang terbilang luas, ditinjau dari segi

efisiensi, floodway bawah tanah tidak memerlukan lahan kosong yang mana

floodway baik jika dibuat lebih dekat ke daerah sungai hilir atau langsung

ke laut. Sedangkan floodway bawah tanah dapat dibuat tanpa


mempertimbangkan ketersediaan lahan meskipun diatasnya terdapat

pemukiman.

b. Dapat membuat jalur floodway yang lebih pendek untuk outfall ke sungai

bagian hilir atau langsung ke laut. Dalam pembuatan floodway diharapkan

memiliki jalur yang pendek untuk mengalirkan ke bagian hilir, jika terdapat

permukiman, sulit untuk menemukan jalur terpendek untuk mengalirkan

debit. Sedangkan floodway bawah tanah, lebih mudah menemukan jalur

terpendek.

c. Dapat menentukan titik genangan untuk pembangunan tunnel, hal ini lebih

efisien karena penanggulangan banjir langsung pada daerah banjir sehingga

dapat memperpendek jalur banjir.

d. Menyediakan penyimpanan sementara untuk aliran banjir dan sewage

system yang tidak mampu dialirkan secara bersamaan dalam suatu badan air

guna mengurangi debit puncak banjir di hilir, dimana pada saat terjadi debit

banjir pada bagian hulu kemudian air akan disalurkan ke terowongan dan

dikendalikan dengan pompa yang dapat mengalirkan debit ke hilir, sehingga

tidak terjadi luapan di hilir sungai.

e. Mengatasi kelangkaan air baku, yang mana selain dialirkan ke sungai atau

pun langsung ke laut, jalur banjir pun dapat dialirkan ke instalasi

pengelolaan air bersih sebagai pasokan.

3.5 Bagian-bagian Infrastruktur Terpadu Bawah Tanah

a. Inflow Facilities
Gambar 3. 10 Inflow Facilities

Air banjir dialirkan ke saluran pembuangan bawah tanah area luar

metropolitan di tanggul pelimpah sungai. Jika ketinggian air melebihi

ketinggian tanggul pelimpah, maka secara alami air banjir akan mengalir ke

inflow facilities. Ketinggian tanggul pelimpah diatur pada ketinggian yang

hampir sama dengan ketinggian tanah terendah didekatnya, sehingga dapat

berfungsi secara efektif bahkan pada saat banjir skala kecil hingga

menengah.

b. Shaft

Tabel 3. 3 Spesifikasi Poros

Shaft berfungsi untuk memelihara dan mengontrol aliran banjir dan saluran

debit. Poros nomor 1 s.d. 5 adalah poros dalam yang terhubung satu sama

lain melalui terowongan bawah tanah dan digunakan untuk mengambil air

banjir dari sungai. Digunakan juga untuk memasang sistem ventilasi dan

operasi lainnya, dan memainkan peran penting dalam pemeliharaan serta


pengelolaan saluran pembuangan bawah tanah metropolitan outer area.

Terdiri dari silinder raksasa dengan kedalaman sekitar 70 m dan diameter

dalam sekitar 30 m, membuatnya cukup besar untuk menampung pesawat

ulang-alik atau patung Liberty.

Gambar 3. 11 Penampang Poros No. 1

Gambar 3. 12 Penampang Poros No. 2


Gambar 3. 13 Penampang Poros No. 5
c. Tunnels

Gambar 3. 14 Tunnels
Sungai bawah tanah ini dibangun untuk mengalirkan air banjir yang

mengalir dari Nakagawa, Kuramatsu, Oootoshifurutone dan sungai lainnya

ke Sungai Edogawa. Terdiri dari terowongan dengan diameter dalam sekitar

10m dan panjang total keseluruhan 6,3km yang menghubungkan lima


poros. Terowongan ini dibangun di bawah Route 16 pada kedalaman 50m.

Dapat mengalirkan air banjir dengan kecepatan hingga 200m3/detik.

Gambar 3. 15 Mesin Perisai


Terowongan (sungai bawah tanah) menggunakan metode perisai. Metode

slurry shield tertutup dipilih karena konstruksi dilakukan jauh di bawah

tanah (50m di bawah permukaan tanah) dan diperlukan bukaan yang besar

(diameter bagian dalam terowongan adalah 10,6m). Terowongan perisai

adalah terowongan yang dibuat oleh tabung baja silinder yang menggali

sambil mendorong tanah menjauh. Ekskavator yang dilengkapi dengan

tabung baja silindris ini menggali tanah sekaligus melindungi alat berat dari

tanah dan pasir di bagian depan, dan mendorong mesin pelindung ke depan.

Di belakang mesin pelindung yang menonjol, "segmen" secara otomatis

dirakit dalam bentuk silinder. Proses ini diulang untuk membuat

terowongan penuh.
Gambar 3. 16 Tampilan Luas Ryukyukan
Tabel 3. 4 Spesifikasi Terowongan

d. Pressure – Adjusting Water Tank

Gambar 3. 17 Pressure – Adjusting Water Tank

Tangki air yang sangat besar ini, dibangun di sekitar 22 m di bawah tanah

untuk mengurangi aliran air dari terowongan bawah tanah dan


mengalirkannya dengan lancar ke Sungai Edogawa, memiliki panjang 177

m, lebar 78 m, dan tinggi 18 m.

Ini menstabilkan pengoperasian pompa dan menyesuaikan perubahan

tekanan air mendadak yang dapat diakibatkan oleh penghentian darurat.

Masing-masing dari 59 pilar tersebut memiliki panjang 7 m, lebar 2 m,

tinggi 18 m, dan berat 500 ton. Mereka berdiri menopang langit-langit

tangki sehingga tampak seperti kuil yang dibangun di bawah tanah.

e. Drainage – Pump Station

Gambar 3. 18 Bird’s-Eye View of Drainage-Pump Station


Stasiun Pompa Drainase Showa dianggap sebagai jantung dari Saluran

Pembuangan Bawah Tanah Metropolitan Outer Area karena memainkan

dua peran kunci. Salah satunya adalah membuang air banjir yang mengalir

dari terowongan bawah tanah, dari tangki air pengatur tekanan dan melalui

pompa raksasa dan saluran air drainase, ke Sungai Edogawa. Yang lainnya

adalah mengoperasikan dan memantau semua fasilitas aliran masuk secara

terpusat.
(a) (b)

Gambar 3. 19 Gas Turbine (a) dan Bladed Wheel (b)

Empat pompa raksasa, yang terbesar dari jenisnya di Jepang dengan

kapasitas drainase 50 m3/detik, telah dipasang. Menggunakan turbin gas,

mereka memutar roda berbilah yang disebut impeller dengan kecepatan

tinggi untuk memberikan energi (gaya angkat dan sentrifugal) ke air dan

menghasilkan aliran air. Turbin gas yang digunakan adalah versi modifikasi

dari turbin yang dirancang untuk pesawat, dengan karakteristik utamanya

adalah ukurannya yang ringkas, dan mengurangi kebisingan dan getaran.

Kapasitas drainase maksimum adalah 200m3 (setara dengan kolam renang

25 m penuh air) per detik.

f. Drainage Sluiceway

Gambar 3. 20 Drainage Sluiceway


Fasilitas ini digunakan untuk mengalirkan air banjir dari Saluran Debit

Bawah Tanah Metropolitan Outer Area. Air banjir yang dihisap oleh pompa

di stasiun pompa drainase dialirkan ke Sungai Edogawa melalui enam

saluran drainase, masing-masing berukuran 5,4mx 4,2m. Ini juga mencegah

aliran balik dari Sungai Edogawa.


BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

a. Provinsi DKI Jakarta sebagai pusat perekonomian Negara Indonesia dengan

segala kegiatan pembangunannya yang selama ini dilaksanakan oleh

pemerintah menghadapi permasalahan yang kompleks. Bencana yang

berpotensi melanda wilayah Jakarta adalah banjir, kebakaran dan gempa

bumi. Bencana yang menjadi perhatian khusus bagi Jakarta adalah banjir.

Banjir di Jakarta terbagi menjadi dua, yaitu banjir yang disebabkan oleh

meluapnya sungaisungai karena curah hujan yang tinggi dan banjir yang

terjadi karena kiriman dari daerah hulu, yaitu Bogor.

b. Mekanisme underground floodwat terdiri dari ITBT-1 dan ITBT-2. ITBT-

1 yang diusulkan melalui Terowongan dari Sungai Ciliwung ke Banjir

Kanal Barat bertujuan untuk menggurangi genangan banjir di daerah

Kampung Melayu dan sekitarnya. Sedangkan ITBT-2 dilakukan dengan

pendekatan struktur dengan membuat terowongan untuk mengalirkan banjir

dari Sungai Pesanggrahan di Ulujami ke Banjir Kanal Barat di Tanah

Abang.

c. Efektivitas (Pengurangan Luas Genangan) dari ITBT1 dan ITBT-2 masih

dapat diimbangi dengan melakukan Normalisasi Sungai, Namun apabila

diperuntukkan untuk mengantisipasi banjir dimasa mendatang maka perlu

dipertimbangkan ITBT-1 ke BKT.

d. Kurangan underground floodway yaitu pembuangannya lebih mahal dan

lama serta jika terjadi banjir, terowongan banjir bawah tanah mengurangi
dampak banjir di satu area, tetapi dapat menyebabkan banjir di bagian hilir

di area lain.

e. Kelebihan underground floodway yaitu dapat memecahkan permasalahan

keterbatasan lahan, dapat membuat jalur floodway yang lebih pendek, dapat

menentukan titik genangan untuk pembangunan tunnel, dan dapat

mengatasi kelangkaan air baku.

f. Penerapan infrastruktur terpadu bawah tanah ini yaitu Metropolitan Area

Outer Underground Discharge Channel atau Saluran Pembuangan Bawah

Tanah Area Luar Metropolitan.

g. Bagian-bagian underground floodway terdiri dari inflow facilities, shaft,

tunnels, pressure-adjusting water tank, drainage – pump station, dan

drainage sluiceway.

4.2 Saran

Berdasarkan pembahasan mengenai infrastruktur bawah tanah

sebelumnya, maka diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengatasi

kekurangan dari underground floodway sebagai pengendalian banjir.


DAFTAR PUSTAKA

Avianto, T. W., Putro, U. S., & Hermawan, P. (2017). Development of Spatial-

System Dynamics Model for Food Security Policy in Indonesia: A Generic

Sub-Model Simulation. Jurnal Manajemen Teknologi, 16(2), 156–169.

https://doi.org/10.12695/jmt.2017.16.2.4

Barlas, Y. (1996). Formal Aspects of Model Validity and Validation in System

Dynamics. Sozial- Und Präventivmedizin SPM, 12(3), 183–210.

https://doi.org/10.1007/BF01305369

Forrester, J. W. (1994). System dynamics, systems thinking, and soft OR. System

Dynamics Review, 10(2–3), 245–256. https://doi.org/10.1002/sdr.4260100211

Hermawan, N. (2020). Analisis Kebutuhan Air Irigasi Berbasis Regulasi Jadwal

Tanam dan Reduksi Lahan Tanam pada Daerah Irigasi Cimulu. Jurnal Ilmiah

Teknik Sipil, 1(2), 63–69.

Hidayat, A. K., & Empung. (2016). ANALISIS CURAH HUJAN EFEKTIF DAN

CURAH HUJAN DENGAN BERBAGAI PERIODE ULANG UNTUK

WILAYAH KOTA TASIKMALAYA DAN KABUPATEN GARUT. 2(2), 121–

126.

Kementerian Pekerjaan Umum. (2013). Standar Perencanaan Irigasi KP-01.

Litsaniyah, A. (2018). Evaluasi dan Rasionalisasi Kerapatan Sistem Pos Hujan dan

Pos Duga Air dengan Metode Stepwise di Sub DAS Lesti [Brawijaya

University]. In Jurnal ….

http://pengairan.studentjournal.ub.ac.id/index.php/jmtp/article/view/23

Mori, K. (2003). Manual on Hydrology (S. Sosrodarsono & K. Takeda (eds.); 9th

ed.). PT Pradnya Pratama.


Phan, T. D., Bertone, E., & Stewart, R. A. (2021). Critical Review of System

Dynamics Modelling Applications for Water Resources Planning and

Management. Cleaner Environmental Systems, 2(March), 100031.

https://doi.org/10.1016/j.cesys.2021.100031

Retnowati, F. (2018). Optimasi Pemanfaatan Air di Daerah Irigasi Menggunakan

Program Linier. Brawijaya University.

Sasminto, R. A., Tunggul, A., & Rahadi, J. B. (2014). Spatial Analysis for Climate

Determination of Schmidt-Ferguson and Oldeman Classifications in Ponorogo

City. Jurnal Sumberdaya Alam Dan Lingkungan, 1(1), 51–56.

Soemarto. (1987). Hidrologi Teknik. Usaha Nasional.

Soewarno. (1995). Hidrologi Aplikasi Metode Statistik untuk Analisa Data (9th

ed.). NOVA.

Sterman, J. D. (2000). Business Dynamics: Systems Thinking and Modeling for a

Complex Worls. In McGraw-Hill (Vol. 34, Issue 1).

http://www.lavoisier.fr/notice/frJWOAR6SA23WLOO.html

Suprayogi, I., Rinaldi, & Prasetio, T. D. (2013). Bangkitan Data Debit pada Daerah

Pengaliran Sungai dengan Menggunakan Pendekatan Metode Thomas -

Fiering (Studi Kasus: Lubuk Ambacang – DAS Indragri).

Triatmodjo, B. (2008). Hidrologi Terapan (1st ed.). Beta Offset.

Trilestari, E. W., & Almamalik, L. (2008). System Thinking Suatu Pendekatan

Pemecahan Permasalahan yang Kommpleks dan Dinamis (Issue August).

https://www.researchgate.net/publication/326893544_Systems_Thinking_Su

atu_Pendekatan_Pemecahan_Permasalahan_yang_Kompleks_dan_Dinamis

Van de Goor, G. A. W., & Zijlstra, G. (1968). Irrigation Requjrements for Double
Cropping of Lowland Rice (Issue Publication / International Institute for Land

Reclamation and Improvement; No. no. 14). Veenman.

https://edepot.wur.nl/61327

Anda mungkin juga menyukai