Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

PEMIKIRAN ABU YAZID AL-BUSTHAMI DAN PENGARUHNYA


TERHADAP PENDIDIKAN ISLAM

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Pendidikan Islam

Dosen pengampu : Asep Irfan Fahmi, S.Pd., M.Pd

Disusun oleh :

Azmi Rohmanul Ula

Rifqi Hidayatul Mutaqin

Fitri Nur’aeni

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA ARAB


FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM CIPASUNG
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT. Tuhan yang maha esa.
Yang senantiasa melimpahkan rahmat-Nya kepada kami sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah kami berjudul “pemikiran Abu Yazid Al-Busthami dan
pengaruhnya terhadap pendidikdan islam”
Dalam menyelesaikan karya tulis ilmiah ini melalui bimbingan dari dosen
mata kuliah kami yaitu dosen mata kuliah Filsafat. Tak lepas dari do’a orang tua
kami untuk anaknya yang sedang menuntut ilmu dan kerja sama kelompok yang
mempelancar proses pembuatan karya ini. Untuk itu, kami sangat saling
berterimakasih baik satu sama lain dan kepada pihak yang bersangkutan.
Semoga bantuan yang telah diberikan oleh berbagai pihak kepada kami
senantiasa mendapat balsan pahala dari Allah SWT, dan semoga karya tulis
sederhana ini dapat memberikan kontribusi positif kepada pembaca dalam
memahami Filsafat pemikiran Abu Yazid Al-busthami

Tasikmalaya, Desember 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................... i


DAFTAR ISI ...................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
1.2 LATAR BELAKANG ........................................................................... 1
1.2 RUMUSAN MASALAH ....................................................................... 2
1.3 TUJUAN ............................................................................................... 2
BAB II ISI .......................................................................................................... 3
2.1 BIOGRAFI ABU YAZID AL-BUSTHAMI .......................................... 3
2.2 PEMIKIRAN ABU YAZID AL-BUSTHAMI ....................................... 6
2.2.1 AL-FANA DAN AL-BAQA' ................................................................. 6
2.2.2 Al ITTIHAD ...........................................................................................10
2.3 KARYA-KARYA ABU YAZID AL-BUSTHAMI .............................. 15
2.4 PENGARUH PEMIKIRAN IBNU ARABI TERHADAP PENDIDIKAN
ISLAM ................................................................................................ 16
BAB III PENUTUP .......................................................................................... 19
3.1 KESIMPULAN ................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 20

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.2 LATAR BELAKANG

Filsafat merupakan bagian dari hasil kerja berpikir dalam mencari hakikat
segala sesuatu secara sistematis, radikal dan universal. Sedangkan filsafat Islam
itu sendiri adalah hasil pemikiran filosof tentang ketuhanan, kenabian, manusia
dan alam yang disinari ajaran Islam dalam suatu aturan pemikiran yang logis
dan sistematis serta dasar-dasar atau pokok-pokok pemikirannya dikemukakan
oleh para filosof Islam. Ketika filsafat Islam dibicarakan, maka yang terbayang
dalam pemahaman kita adalah beberapa tokoh yang disebut sebagai filosof
muslim seperti Al-Kindi, Ibnu Sina, Al-Farabi, Ibnu Rusyd, Al-Ghazali, dan
seterusnya. Kehadiran para tokoh ini memang tidak bisa dihindarkan, tidak saja
karena dari merekalah kita dapat mengenal filsafat islam, akan tetapi juga
karena pada mereka benih-benih filsafat Islam dikembangkan.

Adapun yang akan dibahas di dalam makalah ini adalah tokoh filsafat
muslim yang bernama Abu Yazid Al-busthami satu seorang tokoh sufi yang
pemikirannya sangat mengagumkan. Agar kita semua bisa lebih tahu tentang
Tokoh sufi ini, maka dalam makalah ini, penulis akan membahas tentang tokoh
tersebut beserta pemikiran-pemikirannya.

1
1.2 RUMUSAN MASALAH
1.2.1 Bagaimana biografi Abu Yazid Al-Busthamii?
1.2.2 Apa saja pemikiran Abu Yazid Al-Busthami?
1.2.3 Apa saja karya-karya Abu Yazid Al-Busthami?
1.2.4 Bagaimana pengaruh pemikiran Abu Yazid Al-Busthami terhadap
pendidikan islam?

1.3 TUJUAN
1.3.1 Mengetahui biografi Abu Yazid Al-Busthami.
1.3.2 Mengetahui pemikiran Abu Yazid Al-Busthami.
1.3.3 Mengetahui karya-karya Abu Yazid Al-Busthami.
1.3.4 Mengetahui pengaruh pemikiran Abu Yazid Al-Busthami terhadap
pendidikan islam.

2
BAB II
ISI

2.1 BIOGRAFI ABU YAZID AL-BUSTHAMI

Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Taifur bin Isa Surusyan, juga dikenal
dengan Bayazid. Dia dikenal sebagai salah seorang sufi kenamaan Persia abad ke-
III dari Bistam wilayah Qum, lahir pada tahun 874 M dan wafat pada usia 73 tahun.
Ayah Abu Yazid al-Bustami adalah seorang pemimpin di Bistam dan ibunya
seorang yang zahid, sedangkan kakeknya seorang Majusi yang memeluk Islam dan
menganut madzhab Hanafi. Ibunya juga seorang zahid, dan Abu Yazid al-Bustami
amat patuh kepadanya.
Sungguhpun orang tuanya sebagai pemuka di Bistam, Abu Yazid al-
Bustami hidup sederhana dan sangat menaruh kasih sayang kepada fakir miskin.
Abu Yazid tidak pernah makan buah melon karena dia tidak tahu bagaimana cara
Rasul memotongnya, ia khawatir menyalahi sunnah Rasul. Abu Yazid al-Bustami
adalah seorang ahli sufi yang terkenal di Persia sekitar abad ketiga hijriyah. Ia
disebut-sebut sebagai sufi yang pertama kali memperkenalkan faham fana’dan
baqa. Sebelum ia mendalami tasawuf ia mempelajari ilmu fiqhi terutama mazhab
Hanafi. Ia memperingatkan manusia agar tidak terpedaya dengan seseorang
sebelum melihat sebagaimana ia melakukan perintah dan meninggalkan larangan
Tuhan, menjaga ketentuan-ketentuan dan melaksanakan syari’at-Nya.
Abu Yazid al-Bustami jarang keluar dari Bistam, dan ketika kepadanya
dikatakan bahwa orang yang mencari hakikat salalu berpindah dari satu tempat ke
tempat yang lain, ia menjawab: “Temanku (maksudnya Tuhan) tidak pernah
bepergian dan oleh karena itu akupun tidak bergerak dari sini.” Sebagian besar dari
waktunya ia gunakan untuk beribadat dan memuja Tuhan.
Perjalanan Abu Yazid al-Bustami untuk menjadi seorang sufi memakan
waktu puluhan tahun. Sebelum membuktikan dirinya sebagai seorang sufi, ia
terlebih dahulu menjadi seorang fakih dari Mazhab Hanafi. Salah seorang gurunya
yang terkenal adalah Abu Ali al-Sindi. Ia mengajarkan ilmu tauhid, ilmu hakikat,
dan ilmu lainnya kepada Abu Yazid. Hanya saja ajaran sufi Abu Yazid tidak
ditemukan dalam buku.

3
Proses menjalani kehidupan zuhud selama 13 tahun, Abu Yazid al-Bustami
mengembara di gurun-gurun pasir di Syam, hanya dengan tidur, makan, dan minum
yang sedikit sekali. Pengikut al-Bustami kemudian mengembangkan ajaran tasawuf
dengan membentuk suatu aliran tarikat bernama Taifuriyah yang diambil dari
nisbah al-Bustami yakni Taifur. Pengaruh terikat ini masih dapat dilihat dibeberapa
dunia Islam seperti Zaousfana’’, Maghrib (meliputi Maroko, al-Jazair, Tunisia),
Chittagong dan Bangladesh. Makam al-Bustami terletak ditengah kota Biston dan
dijadikan objek ziarah oleh masyarakat. Sebagian masyarakat mempercayai sebagai
wali atau orang yang memiliki kekeramatan. Sultan Moghul, Muhammad
Khudabanda memberi kubah pada makamnya pada tahun 713 H/1313 M atas saran
penasehat agama sultan bernama Syaikh Syafaruddin.
Abu Yazid al-Bustami mengatakan “Dua belas tahun lamanya aku menjadi
penempa; besi bagiku. Kulempar diriku dalam tungku riyadhah. Kubakar dengan
api mujahadah. Kuletakkan di atas alas penyesalan diri sehingga dapatlah kujumpai
sebuah cermin diriku sendiri. Lima tahun lamanya aku menjadi cermin diriku yang
selalu kukilapkan dengan bermacam-macam ibadah dan ketaqwaan. Setahun
lamanya aku memandang cermin diriku dengan penuh perhatian, ternyata diriku
kulihat terlilit sabu takabbur, kecongkakan, ujub, riya’, ketergantungan kepada
ketaatan dan membanggakan amal. Kemudian aku beramal selama lima tahun
sehingga sabuk itu putus dan aku merasa memeluk Islam kembali. Kupandang para
mahluk dan aku lihat mereka semua mati, sehingga aku kembali dari jenaah mereka
semua. Aku sampai kepada Allah dengan pertolonganNya tanpa perantara mahluk”.
Kepribadian Abu Yazid al-Bustami sangat menonjol di kalangan kaum sufi
Persia. Tidak banyak sufi yang mengesankan dan sekaligus membingungkan orang-
orang sezamannya dan zaman-zaman sesudahnya. Dia yang memulai
memperkenalkan konsep ittihad atau penyatuan asketis dengan Tuhan, penyatuan
tersebut menurutnya dilalui dengan beberapa proses, mulai fana’ dalam dicinta,
bersatu dengan yang dicinta, dan kekal bersamanya. Jadi wajar jika al-Bistami
dianggap oleh Nicholson, sebagaimana yang dikutip oleh Lammen, sebagai pendiri
tasawuf dengan ide orisinil tentang wahdatul wujud di timur sebagaimana theosofi
yang merupakan kekhasan pemikiran Yunani.

4
Pengalaman Abu Yazid al-Bustami yang ucapannya (pada saat sukr)
kadang-kadang sulit dipahami oleh orang awam, menyebabkan sebagian ulama
menentangnya, sehingga ia sementara waktu pernah mengasingkan diri di Bistam.
Ia pun meninggal di tempat pengasingannya.260H. /874M. makamnya yang terletak
di tengah kota itu, banyak diziarahi pengunjung. Pada tahun 713 H/1313 M., di atas
makamnya dibangun sebuah kubah atas perintah Sultan Mongol. Makam Abu
Yazid terletak di pusat kota Bistami yang banyak diziarahi oleh para pengunjung.
Sebuah kubah didirikan di atas makamnya pada tahun 713 H/1313 M atas perintah
Sultan Mongol bernama Muhammad Khudabanda, seorang sultan yang berguru
pada Syekh Syaraf al-Din (keturunan Abu Yazid).

5
2.2 PEMIKIRAN IBNU ARABI

2.2.1 AL-FANA DAN AL-BAQA

Wahdatul Ajaran tasawuf terpenting Abu Yazid adalah Fana` dan Baqa`.
Secara harfiah fana` berarti meninggal dan musnah, dalam kaitan dengan sufi,
maka sebutan tersebut biasanya digunakan dengan proposisi: fana`an yang
artinya kosong dari segala sesuatu, melupakan atau tidak menyadari sesuatu.
Sedangkan Dari segi bahasa kata fana` berasal dari kata bahasa Arab
yakni faniya-yafna yang berarti musnah, lenyap, hilang atau hancur. Dalam
istilah tasawuf, Fana adakalanya diartikan sebagai keadaaan moral yang luhur.
Dalam hal ini, Abu Bakar al-Kalabadzi (W.378 H/988 M) mendefinisikannya
“hilangnya semua keinginan hawa nafsu seseorang, tikdak ada pamrih dari
segala perbuatan manusia, sehingga ia kehilangan segala perasaaannya dan
dapat memebedakan sesuatu secara sadar, dan ia telah menghilangkan semua
kepantingan ketika berbuat sesuatu”.
Sedangkan dalam Sufism and syari`ah kata fana` berarti to die and
disappear. (mati dan menghilang). Al-Fana` juga berarti memutuskan hubungan
selain Allah, dan mengkhususkan untuk Allah dan bersatu dengannya.
Adapun arti fana` menurut kalangan sufi adalah hilangnya kesadaran
pribadi dengan dirinya sendiri atau dengan sesuatu yang lazim digunakan pada
diri. Pendapat lain, fana` berarti bergantinya sifat-sifat kemanusiaan dengan
sifat-sifat ketuhanan, dapat pula berarti hilangnnya sifat-sifat yang tercela.
Selain itu Mustafa Zuhri mengatakan bahwa yang dimaksud dengan fana`
adalah lenyapnya indrawi atau ke-basyariahan, yakni sifat manusia yang suka
pada syahwat dan hawa nafsu. Orang yang telah diliputi hakikat ketuhanan,
sehingga tiada lagi melihat dari pada alam wujud ini, maka dikatakan ia telah
fana` dari alam cipta atau dari alam makhluk.

6
Sedangkan Abdurrauf Singkel mengungkapkan tentang fana` dan ini
menurut istilah para sufi adalah berarti hilang dan lenyap, sedangkan lawan
katanya adalah baqa`, dan lebih jelasnya sebagaimana disebutkan dalam kitab
al-Jawahir, fana` adalah kemampuan seorang hamba memandang bahwa Allah
ta`ala berada pada segala sesuatu.
Dalam menjelaskan pengertian fana’, al-Qusyairi menulis, “Fananya
seseorang dari dirinya dan dari makhluk lain terjadi dengan hilangnya
kesadaran tentang dirinya dan makhluk lain. Sebenarnya dirinya tetap ada,
demikian pula makhluk lain, tetapi ia tak sadar lagi pada diri mereka dan pada
dirinya. Kesadaran sufi tentang dirinya dan makhluk lain lenyap dan pergi
ke dalam diri Tuhan dan terjadilah ittihad.”
Dengan demikian fana` bagi seorang sufi adalah mengharapkan
kematian itera, maksudnya adalah mematikan diri dari pengaruh dunia.
Sehingga yang tersisa hidup didalam dirinya hanyalah Tuhan semesta.
Jadi seorang sufi dapat bersatu dengan tuhan, bila terlebih dahulu ia
harus menghancurkan dirinya, selama ia masih sadar akan dirinya, ia tidak akan
bersatu dengan tuhan.Penghancuran diri tersebut senantiasa diiringi dengan
baqa`, yang berarti to live and survive (hidup dan terus hidup),
Adapun baqa`, berasal dari kata baqiya. Artinya dari segi bahasa adalah
tetap, sedangkan berdasarkan istilah tasawuf berarti mendirikan sifat-sifat
terpuji kepada Allah. Dalam kaitan dengan Sufi, maka sebutan Baq` biasanya
digunakan dengan proposisi: baqa` bi, yang berarti diisi dengan sesuatu, hidup
atau bersama sesuatu.
Dalam kamus al-Kautsar, baqa` berarti tetap, tinggal, kekal. Bisa juga
berarti memaafkan segala kesalahan, sehingga yang tersisa adalah kecintaan
kepadanya.
Dalam tasawuf, fana` dan Baqa` itu beriringan, sebagaiamana
dinyatakan oleh para ahli tasawuf: “Apabila nampaklah nur kebaqaan, maka
fanalah yang tiada, dan baqalah yang kekal. Tasawuf itu ialah fana` dari dirinya
dan baqa` dengan tuhannya, karena hati mereka bersama Allah”.

7
Sebagai akibat dari fana` adalah baqa`. Baqa` adalah kekalnya sifat-sifat
terpuji, dan sifat-sifat tuhan dalam diri manusia. Karena lenyapnya (fana`) sifat-
sifat basyariah, maka yang kekal adalah sifat-sifat ilahiah.
Pencapaian Abu Yazid ke tahap fana` dicapai setelah meniggalkan
segala keinginan selain keinginan kepada Allah, seperti tampak dalam
ceritanya.“Setelah Allah menyaksikan kesucian hatiku yang terdalam, aku
mendengar puas dari-Nya. Maka, diriku dicap dengan keridaan-Nya.
“Engkaulah yang aku inginkan,” jawabku, “karena Engkau lebih utama
daripada anugrah lebih besar daripada kemurahan, dan melalui engkau aku
mendapat kepuasan dalam diri-Mu…”
Jalan menuju fana` menurut Abu Yazid dikisahkan dalam mimpinya
menatap tuhan, ia bertanya, “Bagaimana caranya agar aku sampai pada-Mu?”
Tuhan menjawab, “Tinggalkan diri (Nafsu)mu dan kemarilah.”

Abu Yazid sendiri pernah melontarkan kata fana` pada salah satu
ucapannya:

َّ ‫أَع ِْرفُهُ َحت‬


َ ‫ى فَنَيْتُ ث ُ َّم‬
ُ‫ع َر ْفتُهُ ِب ِه فَ َح َييْت‬

Artinya:
“Aku tahu pada tuhan melalui diriku hingga aku fana`, kemudian aku
tahu pada-nya melalui dirinya maka aku pun hidup.”
Paham baqa` tidak dapat dipisahkan dengan paham fana` karena
keduanya merupakan paham yang berpasangan. Jika seorang sufi sedang
mengalami fana`, ketika itu juga ia sedang menjalani baqa`.
Dalam menerangkan kaitan antara fana` dan baqa` al-Qusyairi
menyatakan, “Barangsiapa meninggalkan perbuatan-perbuatan tercela, maka ia
sedang fana` dari syahwatnya. Tatkala fana` dari syahwatnya, ia baqa` dalam
niat dan keikhlasan ibadah;… Barangsiapa yang hatinya zuhud dari khidupan
maka ia sedang fana` dari keinginannya, berarti pula sedang baqa` dalam
ketulusan inabahnya…”

8
Tetapi fana` dan baqa` yang sangat esensial dan penting bagi sufisme
sebenarnya bukan yang satu atau yan lain, tetapi ia adalah; pengalaman afektif.
Dalam rangka memahami pengalaman ini, maka para Sufi harus mengikuti
prosedur. Dalam qaul al-Jamil, seorang Sufi India terkemuka, Syah Wali Allah
(wafat 1176/1762) merinci prosedur dari tiga organisasi Sufi Utama, yaitu
Qadariyyah, Chistiyyah dan Naqsyabandiyyah. Mereka tegak dalam prinsip
yang sama, walau berbeda dalam rinci. Berikut akan diringkaskan prosedur
yang diikuti oleh thariqat Qadariyyah.
Seorang calon Sufi pertama kali harus mengikuti tahap persiapan. Ia
harus mempunyai iman yang besar, menjauhi perbuatan munkar, menjauhi
dosa-dosa besar (kaba-ir) dan menjauhi dosa-dosa kecil (shagha-ir) sebanyak
mungkin. Ia harus shalat wajib dan berbagai kewajiban (fara-id) yang
diwajibkan syariah atasmya dan menjalankan sunnah Rasul yang terpuji.
Dengan demikian, Sesuatu didalam diri sufi akan fana atau hancur dan
sesuatu yang lain akan baqa atau tinggal. Dalam iterature tasawuf
disebutkan, orang yang fana dari kejahatan akan baqa (tinggal) ilmu dalam
dirinya; orang yang fana dari maksiat akan baqa (tinggal) takwa dalam dirinya.
Dengan demikian, yang tinggal dalam dirinya sifat-sifat yang baik. Sesuatu
hilang dari diri sufi dan sesuatu yang lain akan timbul sebagai gantinya.
Hilang kejahilan akan timbul ilmu. Hilang sifat buruk akan timbul sifat baik.
Hilang maksiat akan timbul takwa.

9
2.2.2 AL ITTIHAD

Ittihad secara secara bahasa berasal dari kata ittahada-yattahidu yang


artinya (dua benda) menjadi satu, yang dalam istilah Para Sufi adalah satu
tigkatan dalam tasawuf, yaitu bila seorang sufi merasa dirinya bersatu
dengan tuhan. Yang mana tahapan ini adalah tahapan selanjutnya yang
dialami seorang sufi setelah ia melalui tahapan fana` dan baqa`. Dalam
tahapan ittihad, seorang sufi bersatu dengan tuhan. Antara yang mencintai
dan yang dicintai menyatu, baik subtansi maupaun perbuatannya.
Harun Nasution memaparkan bahwa ittihad adalah satu tingkatan
ketika seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan tuhan, satu tingkatan
yang menunjukkkan bahwa yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi
satu, sehinggga salah satu dari mereka dapat memanggil yang satu lagi
dengan kata-kata, “Hai aku…”.
Dengan mengutip A.R. al-Baidawi, Harun menjelaskan bahwa
dalam ittihad yang dilihat hanya satu wujud sunggguhpun sebenarnya ada
dua wujud yang berpisah satu dari yang lain. Karena yang dilihat dan
dirasakan hanya satu wujud, maka dalam ittihad telah hilang atau tegasnya
antara sufi dan tuhan.
Dalam ittihad. Identitas telah hilang, identitas telah menjadi satu.
Sufi yang bersangkutan, karena fana`-nya tak mempunyai kesadaran lagi
dan berbicara dengan nama tuhan.
Dalam hal ini, Dr. Muhammad Abd. Haq Ansari dalam bukunya
menyatakan; Ada dua tingkat penyatuan (ittihad) yang biasa dibedakan yaitu
merasa bersatu dengan tuhan, tetapi tetap menyadari perbedaan dirinya
dengan tuhan; inilah ydng disebut tingkat bersatu (maqam i-jam`). Pada
tahap selanjutnya adalah kesadaran dari ketiadaan yang bersama-sama dan
mistik adalah kesadaran akan adanya Maha Zat yang sangat berbeda. Kaum
Sufi memandangnya sebagai tingkat kebersatuan mutlak (Jam`al al-jam`;
secara harfiah adalah bersatunya kebersatuan).

10
Al-Ghazali menjelaskan kebersatuan mutlak ini sebagai berikut;
Apabila Makrifat mencapai pengalaman yang lebih tinggi, maka mereka
akan bersaksi akan tiadanya sesuatu yang terlihat kecuaki satu Zat yang
maha ada (al-haqq). Bagi sebagian orang, ini adalah perwujudan intelektual.
Tetapi bagi yang lain, ia merupakan pengalamn afektif (hal-an wa dzauq-
an); pluralitas menghilang darinya secara bersama-sama. Mereka merasa
terserap ke dalam kesatuan Murni (al-Fardaniyyat al-Mahdhah), kehilangan
intelektunya secara utuh, pingsan dan bingung. Mereka tidak lebih sadar
akan sesuatu kecuali selain Tuhan, bahakan terhadap dirinya sendiri
sekaipun baginya, tiada sesuatu yang ada kecuali Tuhan; sebagi akibatnya
mereka dalam keadaan kehinlangn fikiran sadar (sukr) yang telah
meniadakan kemampunanya untuk mengendalikan nalar. Salah satu dari
mereka berkata: “Aku adalah Tuhan”, sedang yang lain menyatakan:
“Sucikanlah aku, (lihatlah) betapa agungnya aku”; sedang yang ketiga
berkata: “ Tiada sesuatu dibalik jubah ini keculai Tuhan”. Apabila
pengalaman mistik ini menera, biasnya disebut ketiadaan (fana`) atau
bahkan ketiadaan dari ketiadaan (fana` al-fana`). Baginya ia menjadi tidak
sadar akan dirniya dan tidak sadar akan ketidaksadarannya (fana`), karena
ia tidak sadar akan dirinya dalam keadan demikian atau kelupaannya akan
diri. Apabila ia sadar akan kelupaannya, berarti ia mulai menyadari diri-nya
sendiri. Keadaan ini disebut sebagai penyatuan (ittihad) tetapi tentu saja
dalam bahasa kiasan (majaz) dan dalam bahasa kenyataan (al-haqiqah)
berarti pengakuan akan keesaan (tauhid).
Ketika sampai ke ambang pintu ittihad dari sufi keluar ungkapan-
ungkapan ganjil yang dalam istilah sufi disebut syatahat (ucapan teopatis).

11
Dengan fana`-Nya Abu Yazid meninggalkan dirinya dan pergi ke
hadirat tuhan. Bahwa ia telah berada dekat pada tuhan dapat dilihat dari
Syathahat[26] yang diucapkannya. Ucapan-ucapan yang demikian belum
pernah didengar dari sufi sebelum Abu Yazid, umpamanya:

َ ‫َّب م ِْن ُحبِ ْي لَكَ فَأَنَا‬


‫ع ْبد ٌ فَ ِقي ٌْر‬ َ ‫لَسْتُ أَتَعَج‬

‫َّب م ِْن ُح ِبكَ ِل ْي َوأ َ ْنتَ َم ِلكٌ قَ ِدي ٌْر‬


ُ ‫َولَكِنِ ْي أَت َ َعج‬

Artinya:
“Aku tidak heran terhadap cintaku pada-mu karena aku hanyalah
hamba yang hina, tetapi aku heran terhadap cinta-Mu padaku. Karena
engkau adalah Raja Mahakuasa”
Tatkala berada dalam tahapan ittihad, Abu Yazid berkata:

َ‫ فَأ َ ْنتَ أَنَا َوأَنَا أ َ ْنت‬: ُ‫غي َْركَ فَقُ ْلت‬


َ ‫ يَا أَبَا يَ ِز ْيدَ إِنَّ ُه ْم كُلَّ ُه ْم خ َْل ِق ْي‬: َ‫قَال‬

Artinya:
“Tuhan berkata, ”Semua mereka –kecuali engkau- adalah
makhluk.” Aku pun berkata, “Engkau adalah aku dan aku adalah Engkau.”

Selanjutnya Abu Yazid berkata lagi:

.ُ ‫ أ َ ْنتَ الف َْرد‬:‫ فَقَا َل لِي‬،‫ يَا أَنَا‬:ِ‫ فَقُ ْلتُ بِه‬، َ‫ يَا أ َ ْنت‬:‫ فَقَالَ لِي‬.‫ار الكُ ُّل بِالكُ ِل َواحِ دًا‬َ ‫ص‬َ ‫ار ال َك ِل َمةُ َواحِ دَة ً َو‬ َ ‫ص‬َ َ‫ط َع ال ُمنَا َجةُ ف‬ َ َ‫فَا ْنق‬
‫ أَنَا أَنَا‬: َ‫ أ َ ْنتَ أ َ ْنت‬:‫ أَنَا الف َْرد ُ قَا َل لِي‬: ُ‫قُ ْلت‬

Artinya:
“Konversasi pun terpututs, kata menjadi satu, bahkan seluruhnya
menjadi satu. Ia pun berkata, “Hai engkau, “Aku pun- dengan perantaraan-
Nya enjawab, “Hai Aku, “Ia berkata, “Engkaulah yang satu. “engakau
adalah Engkau.” Aku balik menjawab, “Aku adalah Aku.”

12
‫إِن ِْي أَنَا هللاُ الَ إِلَهَ إِالَّ أَنَا فَا ْعبُدْنِي‬

Artinya:
“Tidak ada tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku.”

Suatu ketika seseorang melewati rumah Abu Yazid dan mengetuk


pintu, Abu Yazid bertanya, “Siapa yang engkau cari?” Orang itu menjawab,
“Abu Yazid”, Abu Yazid berkata. ”Pergilah, di rumah ini tidak ada, kecuali
Allah yang maha kuasa dan Mahatinggi.
Dialog antara Abu Yazid dengan Tuhan ini menggambarkan bahwa
ia dekat sekali dengan Tuhan. Godaan Tuhan untuk mengalihkan perhatian
Abu Yazid ke makhluk-Nya ditolak Abu Yazid. Ia tetap meminta bersatu
dengan Tuhan. Ini kelihatan dari kata-katanya, “Hiasilah aku dengan
keesaan-Mu.” Permintaan Abu Yazid dikabulkan Tuhan dan terjadilah
persatuan, sebagaimana terungkap dari kata-kata berikut ini, “Abu Yazid,
semuanya kecuali engkau adalah makhluk-Ku.” Akupun berkata, aku
adalah Engkau, Engkau adalah aku dan aku adalah Engkau.”
Ucapan-ucapan Abu Yazid diatas kalau diperhatikan secara sepintas
memberikan kesan bahwa ia syirik kepada Allah. Karena itu didalam sejarah
ada sufi yang ditangkap dan dipenjarakan karena ucapannya
membingungkan golongan awam.
Sebenarnya apa yang dikatakan oleh Abu Yazid. Menurut penulis
bukan berarti bahwa Abu Yazid sebagai tuhan, akan tetapi kata-kata itu
adalah suara tuhan yang disalurkan melalui lidah Abu Yazid yang sedang
dalam keadaan fana`an nafs.
Abu Yazid tidak mengakui dirinya sebagai tuhan seperti Fir`aun.
Proses ittihad di sisis Abu yazid adalah naiknya jiwa manusia ke hadirat
Allah, bukan melalui reinkarnasi, sirnanya segala sesuatu dari kesadaran dan
pandangannya yang disadari dan dilihat hanya hakikat yang satu yakni
Allah. Bahkan dia tidak melihat dan menyadari dirnya sendiri, karena
dirinya terlebur dalam dia yang dilihat.

13
2.3 KARYA-KARYA ABU YAZID AL-BUSTHAMI

Abu Yazid Al-Busthami tidak meninggalkan karya tulis, tetapi ia mewariskan


sejumlah ucapan dan ungkapan mengenai pemahaman tasawwufnya yang
disampaikan oleh murid-muridnya dan tercatat dalam beberapa kitab tasawwuf
klasik, seperti
1. ar-Risalah al-Qusyairiyyah (Risalah Qusyairiyah),
2. Tabaqat as-Sufiyyah (tingkatan-tingkatan sufi),
3. Kasyf al-Mahjub (menyingkap tabir),
4. Tazkirah al-Auliya (peringatan para wali),
5. al-Luma (yang cemerlang).
Di antara ungkapannya disebut oleh kalangan sufi dengan istilah satahat, yaitu
ungkapan sufi ketika berada di pintu gerbang ittihad (kesatuan dengan Allah SWT)

14
2.4 PENGARUH PEMIKIRAN ABU YAZID AL-BUSTHAMI
TERHADAP PENDIDIKAN ISLAM

Nilai-nilai pendidikan dalam pemikiran tasawuf Abu Yazid Al-busthami


cenderung kepada pemikiran atau konsep dalam tasawuf yaitu ajaran al fana’, al
baqa’, dan ittihad.
1. Fana merupakan proses menghancurkan diri bagi seorang sufi agar
dapat bersatu dengan Tuhan.
2. Baqa artinya tetap, terus hidup. Jadi baqa adalah sifat yang
mengiringi dari proses fana dalam penghancuran diri untuk
mencapai ma’rifah.
3. Ittihad artinya bahwa tingkatan seorang sufi telah merasa dirinya
bersatu dengan Tuhan.
Segi kontroversi dari pengalaman abu yazid serta perkataannya yang terkadang
sulit dipahami oleh orang awam (orang biasa), bahkan sebagian para ulama ada
yang menentangnya yaitu :
1. Syatahat
Pada saat mengalami fana, munculah syatahat (ungkapan-
ungkapan aneh) dari lidah Abu Yazid. Abu Nashr al-Sarraj berpendapat
bahwa syatahat itu menggambarkan pencapaian kondisi spiritual sang
sufi yang lebih tinggi. Contohnya :
1) "Tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku. Maha
Suci Aku, Maha Suci Aku, Maha Besar Aku."
2) "Sesungguhnya aku adalah Allah, tidak ada Tuhan kecuali
Aku, maka sembahlah Aku, Maha Suci Aku, Maha Suci
AKu, alangkah Maha Agungnya keadaanku." Ini
diucapkannya saat sedang menunaikan shalat shubuh
berjama'ah yang membuat orang-orang tercengang dan
menganggapnya gila.
3) "Apabila jahannam melihatku, maka ia akan menyurut."

15
Seseorang pernah menyampaikan kepada Syekh Junaid mengenai
syatahat yang diucapkan oleh Abu Yazid ("Maha Suci Aku! Maha Suci
Aku! Aku inilah Tuhanku Yang Maha Luhur"),namun hal itu justru
mendapatkan respon yang positif.[1][28][32] Dia berkata, "Abu Yazid
begitu terpesona ketika melihat keagungan Allah, sehingga dia
mengucapkan apa yang telah membuatnya terpesona." Dan juga Syeikh
Abdul Qadir Jaelani menanggapi dengan perkataannya, "Tidaklah hal itu
divonis kecuali saat berkata itu, sufi sedang dalam keadaan sadar. Namun
jika ia dalam keadaan sadar, maka hukuman akan diberlakukan atasnya."
Pendapat lain datang dari Ibnu Taimiyah dan Imam Al-Ghazali yang
mempunyai pemikiran sama, yakni bahwa kata-kata seperti “Maha Suci
aku, tidak ada dalam jubahku kecuali Allah”, dan perkataan lainnya ketika
sedang mabukk cinta pada Tuhan, sebaiknya disimpan dan tidak perlu
diriwayatkan.
berbeda dengan Ibnu al-Jauzi, ia mengatakan bahwa barang siapa
yang mengucapkan kata-kata tersebut, siapapun dia, maka tergolong
zindiq (orang yang kufur/ keluar dari Islam) dan harus dibunuh karena
sikap yang menyepelekan sebagai akibat dari penentangan. Menurutnya,
sebaiknya lilin didekatkan ke wajahnya dan jika ia tersulut maka katakan
kepadanya, "Inilah bara neraka". Selanjutnya, ada Abu al-Fadhl al-Falaki
yang dalam kitabnya berjudul al-Nur min Kalami Thaifur menuliskan
banyak kekeliruan yang dilakukan oleh Abu Yazid.

16
2. Mi'raj
Abu Yazid juga menuai kontroversi mengenai Mi'raj (naik ke
langit, yang mana Nabi Muhammad pernah melakukan perjalan dari
Jerusalem menuju langit ketujuh) yang dialaminya. Abu Yazid sangat
tertarik pada pengalaman spiritual yang tinggi dari Nabi Muhammad saw
tersebut] Ia juga memimpikan dan mendapatkannya.
Kisahnya dimulai saat dia bermimpi mengalami mi'raj, naik ke
langit dengan membawa kerinduan mencari Allah, ingin bersatu dan
tinggal bersama-Nya untuk selamanya. Saat itu ia mendapatkan ujian,
Allah memperlihatkannya berbagai macam karunia, menawarkan
kekuasaan atas seluruh langit, tetapi ia berpaling karena ia tahu bahwa
semua itu hanyalah ujian.[1][3] Lalu dia berkata, "Wahai kekasihku
keinginanku bukanlah itu semua."[1][3] Selanjutnya ia naik ke langit
kedua, di sana terlihat para malaikat bersayap yang terbang ke bumi seratus
ribu kali setiap hari untuk melihat para wali (kekasih Allah) yang mana
mereka memiliki wajah bersinar seperti matahari.[1][3]

Kemudian ia terus naik dan sampai pada langit ke tujuh. Tiba-tiba


terdengar sebuah sahutan, "Hai Abu Yazid, berhentilah! Kau sudah sampai
pada tujuanmu". Namun dirinya tidak mempedulikan hal tersebut dan terus
terbang. Tuhan yang melihat ketulusan dan kerinduan mencari-Nya,
mengubahnya menjadi seperti seekor burung yang dapat terbang. Ia
melintasi kerajaan-kerajaan, menembus hijab (penghalang) demi hijab
sampai salah satu malaikat menemuinya dan menyerahkan sebuah pilar
cahaya dan berkata, "Ambilah!". Ia berkata bahwa saat itu langit dan
seluruh isinya berlindung di bawah makrifatnya (pengetahuan), mencari
cahaya dalam cahaya kerinduan, dan perhatian yang seluruhnya untuk
mencari Allah. Dia terbang lagi sampai bertemu dengan malaikat-malaikat
yang jumlahnya seperti bintang di langit yang memancarkan sinar. Ketika
Tuhan melihat ketulusannya, Dia berkata, "Hai orang pilihan-Ku,
mendekatlah pada-Ku dan naiklah ke hamparan keindahan-Ku. Kau adalah
pilihan dan kekasih-Ku di antara makhlu-Ku." Kemudian Abu Yazid
meleleh seperti melelehnya timah dalam panasnya api. Ia menceritakan
17
bahwa kemudian Allah mengubahnya menjadi bentuk lain yang tidak dapat
dijelaskan.Tuhan membawa Abu Yazid menjadi sangat dekat dengan-Nya
melebihi dekatnya ruh dengan tubuh.
Kisah di atas dapat menunjukkan bahwa Abu Yazid memperoleh
satu pengalaman spiritual seperti apa yang didapatakan oleh Rasulullah,
yakni dimi’rajkan ke langit untuk menghadap Tuhan sekaligus
menyaksikan berbagai tanda kebesaran dan kekuasaan yang dimiliki-Nya.
Kendati memiliki pengalaman spiritual yang sama, tetapi Abu Yazid tidak
pernah mengatakan memiliki kualitas keruhaniannya yang setaraf dengan
Nabi Muhammad yang diyakini umat Islam sebagai Nabi yang paling
mulia. Namun dia hanya berkata, "Tigapuluh ribu tahun aku terbang di
dalam kemuliaan-Nya (Allah), kemudian di dalam keesaan-Nya. Lalu aku
juga menjelajahi empat ribu padang belantara. Ketika sampai ke akhir
penjelajahan, ternyata aku masih berada di tahap awal kenabian." Dia juga
berkata bahwa karunia ilmu yang dianugerahkan kepadanya dibandingkan
dengan apa yang dianugerahkan kepada Nabi Muhammad, layaknya
tetesan-tetesan madu dibanding dengan sekarung besar madu.

Kisah mi’raj dan ungkapan-ungkapan syatahat Abu Yazid seperti


yang juga dilakukan oleh Mansur Al-Hallaj (dihukum mati karena paham
wahdatul wujud nya (penyatuan jiwa antar manusia dengan Allah) pada
tahun 922 M) telah mengundang banyak kontroversi di kalangan para
ulama’ pada umumnya dan sufi pada khususnya. Ada golongan yang
menganggap kisah itu hanyalah karangan saja, ada juga yang mengecam
syatahatnya sebagai perkataan dari orang yang sudah gila. Sebaliknya, ada
juga golongan yang dapat memahami sekaligus menghargai mimpi dan
syatahatnya, sehingga dianggap sebagai suatu kewajaran yang muncul
pada sufi yang sedang mabuk cinta pada Tuhannya dan sedang tidak dalam
kesadaran seperti biasanya.

18
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Jadi, Abu Yazid Al-Bustami ialah salah seorang tokoh sufi yang memiliki
tiga ajaran tasawuf, yakni: fana, baqa, dan ittihad. fana merupakan proses
menghancurkan diri bagi seorang sufi agar dapat bersatu dengan
Tuhan. Baqa artinya tetap, terus hidup. Jadi baqa adalah sifat yang mengiringi
dari proses fana dalam penghancuran diri untuk mencapai
ma’rifah. Ittihad artinya bahwa tingkatan seorang sufi telah merasa dirinya
bersatu dengan Tuhan. Beliau tidak meninggalkan karya. Abu Yazid
mempunyai 113 orang guru, salah seorang gurunya yang terkenal adalah Abu
Ali As-Sindi.

19
DAFTAR PUSTAKA

https://id.wikipedia.org/wiki/Abu_Yazid_Al-Busthami , diakses pada


tanggal 26 Desember 2021 pukul 21.34
As. Asmaran. (2002). Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: PT Raja
Grafindo.
Rifa’i, Bachrun & Mud’is, Hasan. (2010). Filsafat Tasawuf. Bandung:
Pustaka Setia.
Sholihin, M & Anwar, Rosihon. (2008). Ilmu Tasawuf. Bandung:
Pustaka Setia.
Mukhlasin, Ahmad & Adibudin Al Halim, A. (2020). Ajaran Tasawuf
Abu Yazid Al-Busthami.
https://ejournal.iaiig.ac.id/index.php/amk/article/view/179 ,
diaskes pada tanggal 26 Desember 2021 pukul 21.58
Syekhu. (2009). Abu Yazid Al-Bustami Dengan Konsep Tasawufnya.
https://jaringskripsi.wordpress.com/2009/09/27/abu-yazid-al-
bustami-dengan-konsep-tasawufnya/ , diakses pada tanggal 26
Desember 2021 pukul 22.02
Mansur, H. & M, Laily. (2002). Ajaran dan Teladan Para Sufi.
Jakarta: PT Raja Grafindo.
Mustofa, H. A. (1999). Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.
Mushlihin. (2011). Biografi Abu Yazid al-Bustami; Bayazid.
https://www.referensimakalah.com/2011/09/abu-yazid-al-
bustami-dari-faqih-menjadi_662.html , diakses pada tanggal 26
Desember 2021 pukul 22.10
Al-Aththar, Fariduddin. (1983) Warisan Para Auliya. Terj. Anas
Mahyudin. Bandung: Pustaka.
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. (1995) Islam dan Filsafat Sains.
Terj. Saiful Muzani. Bandung: Mizan.

20

Anda mungkin juga menyukai