Anda di halaman 1dari 74

KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

NOMOR: 1451 K/10/MEM/2000


TENTANG
PEDOMAN TEKNIS PENYELENGGARAAN TUGAS PEMERINTAHAN DI
BIDANG PENGELOLAAN AIR BAWAH TANAH

MENTERI ENERGI DAN SUMBERDAYA MINERAL

Menimbang: a. bahwa sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 6 dan Pasal 9


Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai
Daerah Otonom, perlu menetapkan Pedoman Teknis
Penyelenggaraan Tugas Pemerintahan di Bidang Pengelolaan
Air Bawah Tanah;
a. bahwa Pedoman Teknis sebagaimana dimaksud dalam huruf
a dapat digunakan oleh Badan Legislatif Daerah maupun
Badan Eksekutif Daerah dalam menetapkan peraturan
perundang-undangan di bidang pengelolaan air bawah tanah;

Mengingat: 1. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-


ketentuan Pokok Pertambangan (LN Tahun 1967 Nomor 22,
TLN Nomor 2831);
2. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan (LN
tahun 1974 Nomor 65, TLN Nomor 3046);
3. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya (LN Tahun 1990
Nomor 49, TLN Nomor 3419);
4. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan
Ruang (LN tahun 1992 Nomor 115, TLN Nomor 3501);
5. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah (LN Tahun 1997 Nomor 41, TLN Nomor
3685);
6. Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup (LN tahun 1997 Nomor 68, TLN Nomor
3699);
7. Undang-undang Nomor 18 tahun 1999 tentang Jasa
Konstruksi (LN Tahun 1999 Nomor 54, TLN Nomor 3833);
8. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah (LN Tahun 1999 Nomor 60, TLN Nomor 3839);

__________________________________________________________________PT. ERM Indonesia


MPE1451-2000.PDF 1
9. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah (LN Tahun
1999, Nomor 72, TLN Nomor 3848);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 22 tahun 1982 tentang Tata
Pengaturan Air (LN Tahun 1982 Nomor 37, TLN Nomor 3225);
11. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1997 tentang Pajak
Daerah (LN Tahun 1997 Nomor 54, TLN Nomor 3691);
12. Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1999 tentang Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hiudp (LN Tahun 1999
Nomor 59, TLN Nomor 3838);
13. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai
Daerah Otonom (LN tahun 2000 Nomor 54, TLN Nomor 3952);
14. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2000 tentang Usaha
dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi (LN Tahun 2000
Nomor 63, TLN Nomor 3955);
15. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Peran
Masyarakat Jasa Konstruksi (LN Tahun 2000 Nomor 64, TLN
Nomor 3956);
16. Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2000 tentang
Penyelenggaraan Pembinaan Jasa Konstruksi (LN Tahun 2000
Nomor 65, TLN Nomor 3957);
17. Keputusan Presiden Nomor 64 Tahun 1972 tentang
Pengaturan, Pengurusan, dan Penguasaan Uap Geoterrnal,
Sumber Air Bawah Tanah dan Mata Air Panas;
18. Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang
Pengelolaan Kawan Lindung;
19. Keputusan Presiden Nomor 234/M Tahun 2000 tentang
Susunan Kabinet Periode Tahun 1999 sampai dengan 2004;
20. Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 1748
Tahun 1992 tanggal 31 Desember 1992 sebagaimana telah
diubah dengan Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi
Nomor 169 Tahun 1998 tanggal 17 Februari 1998 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Direktorat Jenderal Listrik dan
Pengembangan Energi;

MEMUTUSKAN

Menetapkan: KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA


MINERAL TENTANG PEDOMAN TEKNIS
PENYELENGGARAAN TUGAS PEMERINTAHAN DI BIDANG
PENGELOLAAN AIR BAWAH TANAH

__________________________________________________________________PT. ERM Indonesia


MPE1451-2000.PDF 2
BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Departemen adalah Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral.
2. Direktorat Jenderal adalah Direktorat Jenderal yang bidang tugasnya meliputi
bidang air bawah tanah.
3. Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) adalah lembaga sebagaimana
dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2000.
4. Asosiasi adalah asosiasi perusahaan pengeboran air bawah tanah atau asosiasi
juru bor air bawah tanah yang telah mendapat akreditasi dari LPJK sesuai
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 200.
5. Badan Usaha adalah lembaga swasta atau pemerintah yang salah satu
kegiatannya melaksanakan usaha dibidang air bawah tanah.
6. Perusahaan pengeboran air bawah tanah adalah Badan Usaha yang sudah
mendapat izin untuk bergerak dalam bidang pengeboran air bawah tanah.
7. Menteri adalah Menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi
air bawah tanah.
8. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang mempunyai kewenangan di
bidang air bawah tanah.
9. Gubernur adalah Gubernur sesuai dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun
1999.
10. Bupati adalah Bupati sesuai dengan Undang-undang Nomor 22 tahun 1999.
11. Walikota adalah Walikota sesuai dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun
1999.
12. Air bawah tanah adalah semua air yang terdapat dalam lapisan pengandung
air di bawah permukaan tanah, termasuk mata air yang muncul secara alamiah
di atas permukaan tanah.
13. Pengelolaan air bawah tanah adalah arti luas mencakup segala usaha
inventarisasi, pengaturan pemanfaatan, perizinan, pembinaan, pengendalian
dan pengawasan serta konservasi air bawah tanah.
14. Hak guna air adalah hak untuk memperoleh dan menggunakan air bawah
tanah untuk keperluan tertentu.
15. Cekungan air bawah tanah adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh batas-
batas hidrogeologi dimana semua kejadian hidrogeologi seperti proses
pengimbuhan, pengaliran, pelepasan air bawah tanah berlangsung.

__________________________________________________________________PT. ERM Indonesia


MPE1451-2000.PDF 3
16. Akuifer atau lapisan pembawa air adalah suatu lapisan batuan jenuh air di
bawah permukaan tanah yang dapat menyimpan dan meneruskan air dalam
jumlah cukup dan ekonomis.
17. Pengambilan air bawah tanah adalah setiap kegiatan pengambilan air bawah
tanah yang dilakukan dengan cara penggalian, pengeboran, atau dengan cara
membuat bangunan menurap lainnya untuk dimanfaatkan airnya dan atau
tujuan lain.
18. Inventarisasi air bawah tanah adalah kegiatan pemetaan, penyelidikan,
penelitian, eksplorasi, evaluasi, pengumpulan dan pengelolaan data air bawah
tanah.
19. Konservasi air bawah tanah adalah pengelolaan air bawah tanah untuk
menjamin pemanfaatannya secara bijaksana dan menjamin kesinambungan
ketersediaannya dengan tetap memelihara serta mempertahankan mutunya.
20. Pencemaran air bawah tanah adalah masuknya atau dimasukkannya unsur,
zat, komponen fisika, kimia atau biologi ke dalam air bawah tanah oleh
kegiatan manusia atau oleh proses alami yang mengakibatkan mutu air bawah
tanah turun sampai ke tingkat tertentu sehingga tidak lagi sesuai dengan
peruntukannya.
21. Pembinaan adalah segala usaha yang mencakup pemberian pengarahan,
petunjuk, bimbingan, pelatihan dan penyuluhan dalam pelaksanaan
pengelolaan air bawah tanah.
22. Pengendalian adalah segala usaha yang mencakup kegiatan pengaturan,
penelitian dan pemantauan pengambilan air bawah tanah untuk menjamin
pemanfaatannya secara bijaksana demi menjaga kesinambungan ketersediaan
dan mutunya.
23. Pengawasan adalah kegiatan yang dilakukan untuk menjamin tegaknya
peraturan perundang-undangan pengelolaan air bawah tanah.
24. Persyaratan teknik adalah ketentuan teknik yang harus dipenuhi untuk
melakukan kegiatan dibidang air bawah tanah.
25. Prosedur adalah tahapan dan mekanisme yang harus dilalui dan diikuti untuk
melakukan kegiatan dibidang air bawah tanah.
26. Pedoman adalah acuan di bidang air bawah tanah yang bersifat umum yang
harus dijabarkan lebih lanjut dan dapat disesuaikan dengan karakteristik dan
kemampuan daerah setempat.
27. Sumur pantau adalah sumur yang dibuat untuk memantau muka dan atau
mutu air bawah tanah pada akuifer tertentu.
28. Jaringan sumur pantau adalah kumpulan sumur pantau yang tertata
berdasarkan kebutuhan pemantauan terhadap air bawah tanah suatu cekungan
air bawah tanah.

__________________________________________________________________PT. ERM Indonesia


MPE1451-2000.PDF 4
BAB II
ASAS DAN LANDASAN

Pasal 2
(1) Pengelolaan air bawah tanah didasarkan atas asas-asas:
a. Fungsi social dan nilai ekonomi;
b. Kemanfaatan umum;
c. Keterpaduan dan keserasian;
d. Keseimbangan;
e. Kelestarian;
f. Keadilan;
g. Kemandirian;
h. Transparansi dan akuntabilitas publik;
(2) Teknis pengelolaan air bawah tanah berlandasan pada satuan wilayah
cekungan air bawah tanah.
(3) Hak atas air bawah tanah adalah hak guna air.

BAB III
PENGELOLAAN

Pasal 3
(1) Pengelolaan cekungan air bawah tanah yang berada di dalam satu wilayah
Kabupaten/Kota ditetapkan oleh Bupati/Walikota.
(2) Pengelolaan cekungan air bawah tanah yang melintasi wilayah Propinsi atau
Kabupaten/Kota ditetapkan oleh masing-masing Gubernur atau
Bupati/walikota berdasarkan kesepakatan Bupati/Walikota yang bersangkutan
dengan dukungan koordinasi dan fasilitasi dari Gubernur.
(3) Teknis pengelolaan air bawah tanah dilakukan melalui tahapan kegiatan:
a. Inventarisasi;
b. Perencanaan pendayagunaan;
c. Konservasi;
d. Peruntukan pemanfaatan;
e. Perizinan;
f. Pembinaan dan pengendalian;
g. Pengawasan.

__________________________________________________________________PT. ERM Indonesia


MPE1451-2000.PDF 5
BAB IV
INVENTARISASI

Pasal 4
(1) Kegiatan inventarisasi meliputi kegiatan pemetaan, penyelidikan, penelitian,
eksplorasi, evaluasi, pengumpulan dan pengelolaan data air bawah tanah yang
meliputi:
a. Sebaran cekungan air bawah tanah dan geometri akuifer;
b. Kawasan imbun (recharge area) dan lepasan (discharge area);
c. Karakteristik akuifer, dan potensi air bawah tanah;
d. Pengambilan air bawah tanah;
e. Data lain yang berkaitan dengan air bawah tanah.
(2) Semua data sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah milik negara yang
dimanfaatkan untuk kepentingan umum.
(3) Kegiatan inventarisasi air bawah tanah dilakukan dengan memperhatikan
kepentingan umum dan Pemerintah dalam rangka penyusunan rencana atau
pola induk pengembangan terpadu air bawah tanah dan pemanfaatannya.
(4) Inventarisasi air bawah tanah dalam rangka pengelolaan air bawah tanah
dilaksanakan oleh Menteri, Gubernur dan Bupati/Walikota.
(5) Pelaksanaan kegiatan evaluasi potensi air bawah tanah dilakukan sesuai
dengan pedoman sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Keputusan
Menteri ini,

BAB V
PERENCANAAN PENDAYAGUNAAN

Pasal 5
Kegiatan perencanaan pendayagunaan air bawah tanah dilaksanakan sebagai dasar
pengelolaan air bawah tanah pada satuan wilayah cekungan air bawah tanah.

Pasal 6
(1) Perencanaan pendayagunaan air bawah tanah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5, didasarkan pada hasil pengelolaan dan evaluasi data inventarisasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1).
(2) Perencanaan pendayagunaan air bawah tanah dalam rangka pengelolaan,
pemanfaatan dan perlindungan air bawah tanah dilaksanakan oleh Menteri,
Gubernur, Bupati/Walikota dan melibatkan masyarakat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
__________________________________________________________________PT. ERM Indonesia
MPE1451-2000.PDF 6
(3) Pelaksanaan perencanaan pendayagunaan air bawah tanah dilakukan sesuai
dengan pedoman sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Keputusan
Menteri ini.
(4) Pelaksanaan penentuan debit pengambilan air bawah tanah dan penentuan
debit penurapan mata air dilakukan sesuai dengan pedoman sebagaimana
tercantum dalam Lampiran II Keputusan Menteri ini.

BAB VI
KONSERVASI

Pasal 7
(1) Untuk mencegah terjadinya kerusakan air bawah tanah, lingkungan
keberadannya dan lingkungan sekitarnya, serta untuk perlindungan dan
pelestarian air bawah tanah, maka perlu dilakukan upaya konservasi air bawah
tanah.
(2) Konservasi air bawah tanah bertumpu pada asas kemanfaatan, kesinambungan
ketersediaan, dan kelestarian air bawah tanah, serta lingkungan keberadannya.
(3) Pelaksanaan konservasi air bawah tanah didasarkan pada:
a. Kajian identifikasi dan evaluasi cekungan air bawah tanah;
b. Kajian kawasan imbuh (recharge area) dan lepasan (discharge area);
c. Perencanaan pemanfaatan;
d. Informasi hasil pemantauan perubahan kondisi air bawah tanah.

Pasal 8
(1) Dalam upaya konservasi air bawah tanah dilakukan pemantauan terhadap
perubahan muka dan mutu air bawah tanah melalui sumur pantau.
(2) Penetapan jaringan sumur pantau dalam satu cekungan air bawah tanah lintas
Propinsi dan atau Kabupaten/Kota dilakukan berdasarkan kesepakatan
Bupati/Walikota yang bersangkutan dengan dukungan koordinasi dan fasilitas
Gubernur.
(3) Bupati/walikota sesuai lingkup kewenangan masing-masing menetapkan
jaringan sumur pantau pada cekungan air bawah tanah dalam satu wilayah
Kabupaten/Kota.

Pasal 9
(1) Menteri, Gubernur dan Bupati/Walikota melakukan upaya konservasi air
bawah tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.

__________________________________________________________________PT. ERM Indonesia


MPE1451-2000.PDF 7
(2) Gubernur, Bupati/Walikota dalam mengelola air bawah tanah bertanggung
jawab memelihara kelestarian lingkungan keberadaan air bawah tanah dan
lingkungan sekitarnya.
(3) Setiap pemegang izin pengambilan air bawah tanah dan izin pengambilan mata
air, wajib melaksanakan konservasi air bawah tanah sesuai dengan fungsi
kawasan yang ditetapkan sesuai tata ruang wilayah yang bersangkutan.

BAB VII
PERUNTUKAN PEMANFAATAN

Pasal 10
(1) Peruntukan pemanfaatan air bawah tanah untuk keperluan air minum
merupakan prioritas utama di atas segala keperluan lain.
(2) Urutan prioritas peruntukan air bawah tanah adalah sebagai berikut:
a. Air minum;
b. Air untuk rumah tangga;
c. Air untuk peternakan dan pertanian sederhana;
d. Air untuk industri;
e. Air untuk irigasi;
f. Air untuk pertambangan;
g. Air untuk usaha perkotaan;
h. Air untuk kepentingan lainnya.
(3) Urutan prioritas peruntukan pemanfaatan air bawah tanah sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) dapat berupa dengan memperhatikan kepentingan
umum dan kondisi setempat.
(4) Peruntukan pemanfaatan air bawah tanah ditetapkan oleh Gubernur,
Bupati/Walikota sesuai lingkup kewenangan masing-masing.
BAB VIII
PERIZINAN

Pasal 11
(1) Kegiatan eksplorasi, pengeboran termasuk penggalian, penurapan dan
pengambilan air bawah tanah hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh
izin.
(2) Izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri dari:
a. Izin eksplorasi air bawah tanah;
b. Izin pengeboran air bawah tanah;
__________________________________________________________________PT. ERM Indonesia
MPE1451-2000.PDF 8
c. Izin penutapan mata air;
d. Izin pengambilan air bawah tanah;
e. Izin pengambilan mata air.
(3) Izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diberikan oleh Bupati/Walikota
berdasarkan hasil kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 6 dan
Pasal 10.

Pasal 12
(1) Prosedur pemberian izin eksplorasi air bawah tanah dilakukan sesuai dengan
pedoman sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV Keputusan Menteri ini.
(2) Prosedur pemberian izin pengeboran dan izin pengambilan air bawah tanah
dilakukan sesuai dengan pedoman sebagaimana tercantum dalam Lampiran V
Keputusan Menteri ini.
(3) Prosedur pemberian izin penurapan mata air dan izin pengambilan mata air
dilakukan sesuai dengan pedoman sebagaimana tercantum dalam Lampiran VI
Keputusan Menteri ini.

Pasal 13
(1) Pengeboran air bawah tanah hanya dapat dilakukan oleh:
a. Badan Usaha yang mempunyai Izin Perusahaan Pengeboran Air Bawah
Tanah dan juru bornya telah mendapatkan Surat Izin Juru Bor.
b. Instansi/Lembaga Pemerintah yang instalasi bornya telah mendapat
Surat Tanda Instalasi Bor dari Asosiasi, dan telah memperoleh registrasi
dari LP JK sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Izin usaha perusahaan pengeboran air bawah tanah (SIPPAT) dan izin juru bor
(SIJB) diberikan oleh Bupati/Walikota, sesuai lingkup kewenangan masing-
masing setelah mendapatkan sertifikat klasifikasi dan kualifikasi dari Asosiasi
dan telah memperoleh registrasi dari LPJK.
(3) Prosedur pemberian izin perusahan pengeboran air bawah tanah dilakukan
sesuai dengan pedoman sebagaimana tercantum dalam Lampiran VII
Keputusan Menteri ini.
(4) Prosedur pemberian izin juru bor air bawah tanah dilakukan sesuai dengan
pedoman sebagaimana tercantum dalam Lampiran VII Keputusan Menteri ini.

Pasal 14
(1) Pengambilan air bawah tanah untuk keperluan air minum dan air rumah
tangga sampai batas-batas tertentu tidak diperlukan izin.
(2) Pengaturan batas-batas tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di atas
ditetapkan lebih lanjut oleh Bupati/Walikota.

__________________________________________________________________PT. ERM Indonesia


MPE1451-2000.PDF 9
BAB IX
PEMBINAAN, PENGENDALIAN, DAN PENGAWASAN

Pasal 15
(1) Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota sesuai lingkup kewenangan masing-
masing melakukan upaya pembinaan pendayagunaan pengambilan air bawah
tanah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Pengendalian dan pengawasan dalam rangka kegiatan eksplorasi air bawah
tanah, pengeboran dan atau penurapan mata air, pengambilan air bawah tanah
dan pencemaran serta kerusakan lingkungan air bawah tanah dilakukan oleh
Bupati/Walikota dan masyarakat.
(3) Pedoman teknik pengawasan pelaksanaan konstruksi sumur produksi air
bawah tanah dilaksanakan sesuai dengan pedoman sebagaimana tercantum
dalam Lampiran IX Keputusan Menteri ini.

Pasal 16
Bupati/Walikota menangguhkan setiap pengambilan air bawah tanah yang
mengganggu keseimbangan air bawah tanah setempat dan atau terjadinya kerusakan
lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB X
PEMBIAYAAN

Pasal 17
(1) Setiap pengambilan dan atau pemanfaatan air bawah tanah dikenakan
pungutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Pembiayaan kegiatan konservasi air bawah tanah dibebankan pada APBD dan
atau APBN yang berasal dari pungutan air bawah tanah sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan sumber dana lainnya.
(3) Persyaratan teknik penentuan nilai perolehan air dan pemanfaatan air bawah
tanah sebagai dasar dalam penetapan pajak pemanfaatan air bawah tanah
sesuai dengan pedoman sebagaimana tercantum dalam Lampiran X Keputusan
Menteri ini.

__________________________________________________________________PT. ERM Indonesia


MPE1451-2000.PDF 10
BAB XI
DATA AIR BAWAH TANAH

Pasal 18
(1) Data air bawah tanah yang didapat dari pelaksanaan kegiatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 6 ayat (1), disampaikan kepada
Direktur Jenderal.
(2) Semua data yang ada pada Instansi/Lembaga Pemerintah dan Swasta yang
belum pernah disampaikan kepada Departemen Energi dan Sumber Daya
Mineral dilaporkan kepada pemberi izin dengan tembusan kepada Direktur
Jenderal.
(3) Data sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) secara nasional
dikumpulkan dan dikelola oleh Direktur Jenderal.
(4) Direktorat Jenderal merupakan pusat data dan informasi air bawah tanah yang
terbuka untuk umum.
(5) Gubernur dan atau Bupati/Walikota mengumpulkan dan mengelola data serta
informasi air bawah tanah dan disampaikan kepada Direktur Jenderal.
(6) Data air bawah tanah yang didapat dari pelaksanaan kegiatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11, wajib disampaikan kepada Direktur Jenderal sesuai
dengan pedoman sebagaimana tercantum dalam Lampiran XI Keputusan
Menteri ini.

BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 19
Semua izin dalam bidang air bawah tanah yang telah diterbitkan sebelum ditetapkan
Keputusan Menteri ini, masih tetap berlaku sampai dengan berakhirnya izin yang
bersangkutan.

BAB XIII
PENUTUP

Pasal 20
Kebijakan dalam bentuk pengaturan kewenangan dan pedoman-pedoman lainnya
yang dipandang perlu dan belum tercantum dalam Pedoman Teknis ini akan diatur
dan ditetapkan kemudian.

__________________________________________________________________PT. ERM Indonesia


MPE1451-2000.PDF 11
Pasal 21
Dengan ditetapkan Keputusan Menteri ini, maka:
1. Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 02.P/101/M.PE/1994
tentang Pengurusan Administratif Air Bawah Tanah;
2. Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 1945.K/101/M.PE/1995
tentang Pedoman Pengelolaan Air Bawah Tanah Untuk Daerah Tingkat II;
3. Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 1946.K/101/M.PE/1995
tentang Perizinan Pengeboran dan Pengambilan Air Bawah Tanah Untuk
Kegiatan Usaha Pertambangan dan Energi dan peraturan pelaksanaannya,
dinyatakan tidak berlaku.

__________________________________________________________________PT. ERM Indonesia


MPE1451-2000.PDF 12
Pasal 22
Keputusan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di: Jakarta


Pada tanggal: 3 November 2000
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral

ttd

Purnomo Yusgiantoro

Tembusan:
1. Presiden Republik Indonesia
2. Wakil Presiden Republik Indonesia
3. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian
4. Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah
5. Menteri Negara Lingkungan Hidup
6. Sekretaris Jenderal Dep. Energi dan Sumber Daya Mineral
7. Inspektur Jenderal Dep. Energi dan Sumber Daya Mineral
8. Para Direktur Jenderal di lingkungan Dep. Energi dan Sumber Daya Mineral
9. Para Gubernur di seluruh Indonesia
10. Para Bupati/Walikota di seluruh Indonesia

__________________________________________________________________PT. ERM Indonesia


MPE1451-2000.PDF 13
LAMPIRAN I : KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA
MINERAL
NOMOT : 1451 K/10/MEM/2000
TANGGAL : 3 November 2000

PEDOMAN TEKNIS EVALUASI POTENSI AIR BAWAH TANAH

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Peran air bawah tanah semaikn lama semakin pentin dan strategis, karena
menyangkut kebutuhan pokok hajat hidup orang banyak dalam berbagai
aktivitas masyarakat. Agar pemanfaatan air abwah tanah dapat dilakukan
secara berkelanjutan dengan tetap mempertimbangkan potensi
ketersediaan dan perubahan-perubahan yang terjadi akibat
pemanfaatannya tidak menimbulkan dampak negatif yang berarti baik
bagi air bawah maupun lingkungan disekitarnya, maka diperlukan
evaluasi potensi air bawah tanah sebagai dasar perencanaan dan
pengembangannya. Oleh karena itu, sebagai perangkat pendukung
diperlukan pedoman teknis evaluasi potensi air bawah tanah.
B. Maksud dan Tujuan
Pedoman teknis evaluasi potensi air bawah tanah ini dimaksudkan
sebagai acuan dalam pelaksanaan evaluasi potensi air bawah tanah
dengan skala 1:100.000 atau lebih besar, dalam rangka perencanaan dan
pengembangan air bawah tanah. Tujuan evaluasi potensi air bawah tanah
adalah untuk mengoptimalkan pengambilan air bawah tanah yang
berasaskan antara lain kemanfaatan, kesinambungan, dan pelestarian air
bawah tanah.
C. Ruang Lingkup
Pedoman teknis evaluasi potensi air bawah tanah ini meliputi metode dan
tahapan evaluasi, ketentuan umum; kegiatan evaluasi potensi air bawah
tanah yang meliputi pengumpulan data, evaluasi geometri dan
konfigurasi system akuifer berikut parameter-parameternya, jumlah dan
mutu air bawah tanah, penentuan daerah imbun dan daerah lepasan,
penentuan tingkat potensi air bawah tanah, dan pelaporan.
D. Metode dan Tahapan Evaluasi
Evaluasi potensi air bawah tanah dilakukan dengan metode gabungan
antara deduktif, empirik, analitik, dan estimasi kuantitatif, dengan
melalui tahapan-tahapan:
1. Pengumpulan data air bawah tanah dan yang berkaitan, baik data primer
maupun sekunder;
__________________________________________________________________PT. ERM Indonesia
MPE1451-2000.PDF 14
2. Evaluasi dan analisis data terkumpul;
3. penyusunan peta-peta tematik dan peta potensi air bawah tanah;
4. Penyusunan laporan.
E. Sasaran
Sasaran yang akan dicapai adalah tersediannya informasi potensi air
bawah tanah dengan tingkatan maju (advance), dalam arti informasi
tersebut sudah mengandung evaluasi yang semi-kuantitatif hingga
kuantitatif sehingga layak dipakai acuan untuk perencanaan dan
pengembangan dalam perencanaan pendayagunaan air bawah tanah.

II. PENGERTIAN
1. Air bawah tanah tertekan atau air bawah tanah bebas adalah air bawah
tanah yang terdapat dalam akuifer tak tertekan.
2. air bawah tanah tertekan atau air tanah artois adalah air bawah tanah
yang terdapat dalam akuifer tertekan.
3. akuifer tak tertekan adalah akuifer yang dibatasi di bagian atasnya oleh
muka air bertekanan sama dengan tekanan udara luar (1 atmosfer) dan
dibagian bawahbta oleh lapisan kedap air; muka air tanah pada akuifer
ini disebut muka air preatik.
4. Akuifer tertekan atau akuifer yang dibatasi di bagian atas dan bawahya
oleh lapisan kedap air; muka air bawah tanah pada akuifer ini disebut
muka pisometrik yang mempunyai tekanan udara luar.
5. Akuifer semi-tertekan aau akuifer bocor adalah akuifer yang diabtasi di
bagian atasnya oleh lapisan lambat air dan di bagian bawahnya oleh
lapisan kedap air, muka air bawah tanah pada akuifer ini disebut muka
pisometrik yang mempunyai tekanan lebih besar dari tekanan udara luar.
6. Akuiklud atau lapisan kedap air adalah suatu lapisan jenuh air yang
mengandung air tetapi melepaskan air dalam arah mendatar, tetapi
melepaskan air cukup berarti ke arah vertical.
7. Akuitar atau lapisan kebal air adalah suatu lapisan sedikit lulus air yang
tidak mampu melepaskan air dalam arah mendatar, tetapi melepaskan air
cukup berarti ke arah vertical.
8. Akuitar atau lapisan kebal air adalah suatu lapisan kedap air yang tidak
mampu mengandung dan meneruskan air.
9. Uji pemomaan adalah satu cara untuk menentukan karakteristik
hidraulika akuifer dan non-akuifer yang bertindak sebagai penekan.
10. Koefisien kelulusan (k) adalah angka yang menentukan kemampuan
meluluskan air di dalam rongga-rongga batuan tanpa mengubah sifat-
sifat airnya, dengan dimensi [panjang/waktu], missal [m/detik].
11. Koefisien kelulusan (T) adalah angka yang menunjukkan banyaknya air
yang dapat mengalir melalui suatu bidang vertical setebal akuifer,

__________________________________________________________________PT. ERM Indonesia


MPE1451-2000.PDF 15
selembar satu satuan panjang dengan landaian hidraulika 100%; dengan
dimensi [panjang2/waktu], missal [m2/hari].
12. Kapasitas jenis (Qs) adalah debit air yang diperoleh pada setiap
penurunan muka air bawah tanah sepanjang satu satuan panjang dalam
suatu sumur pompa pada akhir periode pemompaan; dengan dimensi
[panjang3/waktu/panjang], missal [liter/detik/m].
13. Serahan jenis (Sy) adalah volume air yang dibebaskan atau diberikan oleh
suatu satuan isi akuifer jika dapat meniris (mengalir sendiri) secara bebas
oleh gaya berat atau kesarangan efektif adalah perbandingan dalam
persen (%) antara air yang dapat diambil dari tanah atau batuan yang
jenuh air dan volume total tanah atau batuan
14. Koefisien simpanan (S) adalah volume air yang dilepaskan dari atau
dimasukkan ke dalam akuifer setiap satu luas akuifer pada satu satuan
perubahan kedudukan muka air bawah tanah; koefisien cadangan tidak
berdimensi [-].
15. Debit optimum (Qopt) adalah volume air yang dapat dikeluarkan dalam
setiap satuan waktu tertentu tanpa menimbulkan kerusakan pada akuifer
yang disadap; dengan dimensi [panjang3/waktu], missal [liter/detik].
16. Daur hidrologi adalah istilah yang digunakan untuk menyatakan
peredaran air dalam keadaannya yang berupa bahan cair, uap air, dan
padat dari lautan ke udara, dari udara ke daratan, di atas permukaan
daratan atau di bawah tanah dan kembali ke laut.
17. Limpasan permukaan (RO) adalah air yang mencapai sungai tanpa
mencapai permukaan air bawah tanah, yakni curah hujan dikurangi
sebagian dari besarnya infiltrasi, air yang tertahan dan genangan; dengan
dimensi [panjang3/waktu], misal [liter/detik].
18. Evapotranspirasi atau penguap-keringatan (ET) adalah jumlah penguapan
dan pengeringatan yang berasal dari permukaan yang basah (permukaan
air atau tanah terbuka) dan tetumbuhan ke dalam atmosfera; dengan
dimensi [panjang/waktu], misal [mm/tahun].
19. Hidrograf muka air bawah tanah adalah bentuk ungkapan informasi yang
menggambarkan hubungan antara kedudukan muka air bawah tanah dan
waktu.
20. Peta potensi cekungan air bawah tanah adalah ungkapan informasi yang
menggambarkan dimensi, geometri dan karakteristik akuifer dan non
akuifer serta jumlah ketersediaan dan mutu air bawah tanah.

III. EVALUASI POTENSI AIR BAWAH TANAH


Evaluasi potensi air bawah tanah merupakan kegiatan lanjutan setelah evaluasi
hidrogeologi berskala regional, yakni pemetaan hidrogeologi sistematis skala
1:250.000. Evaluasi potensi air bawah tanah ini didasarkan atas cekungan air
bawah tanah dengan skala lebih besar atau sama dengan 1 :100.000.
Evaluasi potensi air bawah tanah mencakup kegiatan:

__________________________________________________________________PT. ERM Indonesia


MPE1451-2000.PDF 16
A. Pengumpulan Data
1. Data primer air bawah tanah dan yang berkaitan dikumpulkan
secara in-situ, yakni dari suatu kegiatan survei lapangan meliputi:
a. Pengamatan dan pemutakhiran data geologi;
b. Evaluasi titik minatan hidrogeologi dan hidrologi meliputi
sumur gali, sumur pasak, sumur bor, mataair dan fasilitas lain
yang serupa (rembesan, kolam, danau, rawa, sungai);
c. Pengukuran geofisika;
d. Pengeboran sumur eksplorasi;
e. Uji pemompaan pada sumur eksplorasi dan sumur terpilih;
f. Pengambilan contoh air bawah tanah untuk analisis fisika,
kimia, maupun bakteriologi.
2. Data sekunder air bawah tanah dan yang berkaitan dikumpulkan
dari berbagai sumber, meliputi:
a. Peta topografi dan peta geologi skala 1:100.000 atau lebih
besar;
b. Data hasil kegiatan pengeboran;
c. Data hasil pengukuran geofisika;
d. Data fisik dan kimia air bawah tanah;
e. Data hidroklimatologi;
f. Data hidrologi berupa aliran sungai dan air permukaan
lainnya;
g. Data jenis tanah dan tanaman penutup serta tata guna lahan;
h. Data penggunaan air bawah tanah.
B. Penentuan Geometri Cekungan dan Konffigurasi Sistem Akuifer
1. Geometri cekungan air bawah tanah meliputi:
a. Penentuan batas lateral cekungan air bawah tanah berikut
tipenya;
b. Penentuan batas vertical bagian atas dan bagian bawah
cekungan air bawah tanah.
2. Konfigurasi system akuifer meliputi:
a. Penentuan sebaran lateral akuifer dan non-akuifer disajikan
dalam suatu bentuk peta tematik, misal peta satuan
hidrogeologi (map of hydrogeological units);
b. Penentuan sebaran vertical akuifer dan non-akuifer yang
mempunyai karakteristik hidraulika yang relatif sama, misal
kedudukan muka air bawah tanahnya, dikelompokkan
menjadi satu system (akuifer atau non-akuifer) dilakukan
dengan cara:
__________________________________________________________________PT. ERM Indonesia
MPE1451-2000.PDF 17
1) Membuat penampang hidrogeologi;
2) Menentukan kedalaman bagian atas system akuifer;
3) Menentukan kedalaman bagian bawah system akuifer.
c. Penentuan model konseptual system akuifer berdasarkan
butir a dan b di atas untuk memudahkan di dalam
penghitungan neraca air pada cekungan air bawah tanah
tersebut.
C. Penentuan Parameter Akuifer dan Non Akuifer
Parameter akuifer dan non-akuifer yang ditentukan meliputi:
1. Koefisien kelulusan (k) suatu akuifer atau non-akuifer ditentukan
berdasarkan:
a. Uji lapangan melalui uji akuifer, uji peker (packer test), dan uji
perkolasi;
b. Uji laboratorium dengan metode falling head, constant head,
dan analisis ukuran butir;
c. Metode deduktif dilakukan dengan memperhatikan macam,
sifat sifat fisik, dan penyusun utama batuan serta
membandingkannya dengan koefisien kelulusan yang
terdapat dalam berbagai sumber.
2. Koefisien keterusan (T) daru suatu akuifer atau non-akuifer
ditentukan dengan:
a. Uji lapangan dilakukan melalui uji akuifer;
b. Metode gabungan antara deduktif dan analitis dengan
mengalikan koefisien kelulusan (k) hasil deduksi dan
ketebalan akuifer (D).
3. Koefisien simpanan (S) dari suatu akuifer atau non-akuifer
ditentukan melalui uji akuifer.
D. Penentuan Jumlah Air Bawah Tanah
Penentuan jumlah air bawah tanah dilakukan melalui penghitungan
parameter-parameter-parameter jumlah sebagai berikut:
1. Imbunan air bawah tanah ke dalam suatu akuifer diperkirakan
secara kuantitatif, antara lain dengan metode persentase curah
hujan (precipitation percentage), neraca khlorida (chloride balance),
dan hidrograf sumur (well hydrograph);
2. Aliran air bawah tanah yang masuk ke dalam suatu cekungan air
bawah tanah atau yang ke luar dari cekungan dihitung antara lain
dengan jejaring aliran (flow net) dan menerapkan persamaan Darcy;
3. Debit optimum yang dihasilkan dari setiap system akuifer di suatu
cekungan air bawah tanah ditentukan dengan dua cara, yakni:
a. Uji sumur untuk menentukan parameter sumur yang meliputi
debit optimum (Qopt) dan debit jenis (Qs);
__________________________________________________________________PT. ERM Indonesia
MPE1451-2000.PDF 18
b. Estimasi kuantitatif dilakukan untuk menentukan Qopt areal
pada suatu cekungan air bawah tanah dilakukan melalui
tahapan:
1) Penentuan ketebalan (D) setiap system akuifer;
2) Penentuan koefisien kelulusan (k) setiap system akuifer;
3) Penentuan koefisien keterusan (T) setiap system akuifer;
4) Penentuan debit jenis (Qs) setiap system akuifer;
5) Penentuan debit optimum (Qopt) setiap sumur pada setiap
system akuifer dengan menurunkan muka air bawah tanah
sampai kedudukan kritis.
4. Jarak minimum antar sumur ditentukan agar debit optimum pada
setiap sumur yang dibuat dapat dicapai yang ditentukan
berdasarkan uji pemompaan yang dilengkapi dengan sumur-sumur
pengamat (observation wells);
5. Neraca air pada suatu cekungan air bawah tanah dilakukan untuk
menentukan angka besaran beberapa komponen daur hidrologi
(hydrologic cycle) yang dilakukan sebagai berikut:
a. Analisis data hidroklimatologi untuk memperoleh besaran
komponen daur hidrologi, yakni curah hujan areal (P),
evapotransiprasi (ET), dan limpasan permukaan (R);
b. Penghitungan neraca air untuk menentukan jumlah air bawah
tanah dilakukan dengan mempertimbangkan model koseptual
system akuifer pada cekungan air bawah tanah yang dikaji,
komponen daur hidrologi. Dan menerapkan persamaan
neraca air.
E. Penentuan Mutu Air Bawah Tanah
Dilakukan melalui:
1. Evaluasi hidrokimia untuk mendapatkan informasi tentang asal
usul (genesa), kecepatan dan arah pergerakan, dan imbunan serta
lepasan air bawah tanah;
2. Evaluasi bakteriologi untuk mengatahui kandungan bakteri patogen
dan coli di dalam air bawah tanah dengan tujuan untuk mendeteksi
polusi biologi terhadap air bawah tanah serta menguji kelayakan
penggunaannya untuk keperluan air minum;
3. Evaluasi peruntukan untuk mengatahui kelayakan penggunaan air
bawah tanah bagi berbagai keperluan seperti air minum, rumah
tangga, industri, dan pertanian.
F. Penentuan Daerah Imbun dan Daerah Lepasan Air Bawah Tanah
Dilakukan dengan cara menumpangtindihkan (overlay) antara peta muka
preatik dan peta muka pisometrik. Garis perpotongan antara muka preatik
dan muka pisometrik adalah garis engsel (hinge line) tersebut merupakan
batas antara daerah imbun dan daerah lepasan.
__________________________________________________________________PT. ERM Indonesia
MPE1451-2000.PDF 19
Apabila data muka preatik dan muka pisometrik tidak tersedia secara
memadai, penentuan batas antara daerah imbun dan daerah lepasan
dilakukan dengan cara pendekatan yang mengacu kepadaa konsepsi
hidrogeologi yang berlaku.
G. Penentuan Tingkat Potenisi Air Bawah Tanah
Tingkat potensi air bawah tanah di suatu cekungan disajikan dalam Peta
Potensi Cekungan Air Bawah Tanah skala 1:100.000 atau lebih besar, yang
menyajikan penilaian secara areal tentang kemungkinan pengembangan
air bawah tanah untuk keperluan air minum. Kemungkinan
pengembangan air bawah tanah didasarkan atas 2 (dua) kelompok criteria
yang berkaitan dengan penilaian jumlah dan mutu air bawah tanah.
1. Kelompok Kriteria Jumlah
Jumlah air bawah tanah yang dapat dieksploitasi dinilai
berdasarkan harga parameter akuifer dan parameter sumur secara
areal (areal values), meliputi koefisien keterusan (T), debit jenis (Qs),
dan debit optimum (Qopt).
Berdasarkan criteria jumlah, dibedakan menjadi 3 (tiga) kelas yakni:
a. Besar, jika debit optimum setiap sumur lebih dari 10
liter/detik;
b. Sedang, jika debit optimum setiap sumur antara 2.0-10
liter/detik;
c. Kecil, jika debit optimum setiap sumur kurang dari 2.0
liter/detik.
Pada setiap kelas di atas, perlu ditentukan jarak minimum antar
sumur agar debit optimum dapat dicapai.
2. Kelompok Kriteria Mutu
Dari sisi mutu, kelayakan air bawah tanah untuk keperluan air
minum didasarkan atas kandungan unsur/senyawa anorganik
utama seperti besi (Fe), mangan (Mn), khlorida (CI), nitrat (NO3),
nitrit (NO2), sulfat (SO4), derajat kesaman (pH), dan jumlah zat
padat terlarut (TDS), menurut standar Departemen Kesehatan
(Tabel 1).
Tabel 1. Standar Air Minum DepKes untuk Unsur/Senyawa Kimia
Utama
Unsur/Senyawa Nilai Maksimum yang Nilai Maksimum yang
Disarankan [mg/liter] Diperbolehkan [mg/leter]
Fe 0,1 0,1
Mn 0,05 0,5
CI 200 600
NO3 - 20
NO2 - 0,0
__________________________________________________________________PT. ERM Indonesia
MPE1451-2000.PDF 20
SO4 200 400
PH - 7,5
TDS 500 1.500

Berdasarkan criteria mutu, dibedakan menjadi 3 (tiga) kelas yakni:


a. Baik, jika kandungan unsur/senyawa anorganik di dalam air
bawah tanah di bawah nilai maksimum yang disarankan;
b. Sedang, jika kandungan unsur/senyawa anorganik di dalam
air bawah tanah nilai maksimum yang disarankan dan nilai
maksimum diperbolehkan;
c. Jelek, jika kandungan unsur/senyawa anorganik di dalam air
bawah tanah di atas nilai maksimum yang diperbolehkan.
3. Wilayah Potensi Air Bawah Tanah
a. Berdasarkan criteria jumlah dan mutunya, pada setiap system
akuifer dapat dibedakan menjadi 4 (empat) wilayah potensi
air bawah tanah, yakni (gambar 1):
1) Tinggi, jika setiap sumur yang dibuat (dengan jarak
antar sumur tertentu) menghasilkan Qopt lebih dari 10
liter/detik dengan mutu air baik;
2) Sedang, jika setiap sumur yang dibuat (dengan jarak
antar sumur tertentu) menghasilkan Qopt antara 2,0-10
liter/detik atau lebih dari 10 liter/detik dengan mutu air
baik –sedang;
3) Rendah, jika setiap sumur yang dibuat (dengan jarak
antar sumur tertentu) menghasilkan Qopt kurang dari
2,0 liter/detik dengan mutu air baik-sedang;
4) Nihil, jika setiap sumur yang dibuat menghasilkan air
dengan mutu jelek.
b. Dalam suatu cekungan air bawah tanah, dimana di dalamnya
dijumpai 2 (dua) system akuifer, yakni system akuifer dangkal
(tak tertekan) dan system akuifer dalam (tertekan), maka
tingkat potensi di cekungan tersebut diketahui dengan cara
menumpangtindihkan (overlay) antara tingkat potensi pada
system akuifer dangkal dan system akuifer dalam.

Gambar 1. Matriks Potensi Air Bawah Tanah


IV. PELAPORAN
Hasil akhir dari evaluasi potensi air bawah tanah dituangkan dalam bentuk
laporan tertulis yang berisi uraian pembahasan dan dilengkapi dengan sajian:

__________________________________________________________________PT. ERM Indonesia


MPE1451-2000.PDF 21
a. Peta utama berupa Peta Potensi Cekungan Air Bawah tanah Skala 1:
100.000 atau lebih besar, yang di dalamnya memberikan informasi tentang
wilayah potensi, konfigurasi dan parameter system akuifer, parameter
sumur, daerah imbun dan daerah lepasan;
b. Peta-peta hidrogeologi tematik skala 1: 100.000 atau lebih besar, antara
lain Peta Morfologi, Peta Satuan Hidrogeologi, Peta Kedalaman Bagian
Atas Sistem Akuifer, Peta Kedalaman Bagian Sistem Akuifer, Peta Mutu
Air Bawah Tanah;
c. Gambar, sketsa, grafik, dan table hasil analisis dan penghitungan.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral

Purnomo Yusgiantoro

__________________________________________________________________PT. ERM Indonesia


MPE1451-2000.PDF 22
LAMPIRAN II : KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER
DAYA MINERAL
NOMOR : 1451 K/10/MEM/2000
TANGGAL : 3 November 2000

PEDOMAN TEKNIS PERENCANAAN PENDAYAGUNAAN


AIR BAWAH TANAH

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Air bawah tanah saat ini sudah tidak lagi merupakan komoditi bebas
tetapi telah menjadi komoditi ekonomi yang mempunyai peran penting
bahkan di beberapa tempat menjadi strategis.
Pemanfaatan air bawah tanah yang terus meningkat dapat menimbulkan
dampak negatif terhadap air bawah tanah itu sendiri maupun lingkungan
di sekitarnya, diantaranya berkurangnya jumlah dan mutu air bawah
tanah, penyusupan air laut dan amblesan tanah.
Agar pemanfaatannya dapat optimal tanpa menimbulkan dampak
negatif, maka diperlukan pedoman perencanaan pendayagunaan air
bawah tanah.
B. Maksud dan Tujuan
Pedoman ini dimaksudkan sebagai acuan dalam pendayagunaan air
bawah tanah yang berwawasan lingkungan.
Tujuannya adalah untuk menyeragamkan kesatuan tindak perencanaan
pendayagunaan air bawah tanah sehingga pemanfaatan air bawah tanah
dapat dilakukan secara bijaksana sesuai dengan rencana peruntukan,
prioritas pemanfaatan dan potensi ketersediaannya.

II. PENGERTIAN
1. Pendayagunaan air bawah tanah adalah pemanfaatan air bawah tanah
secara optimal dan berkelanjutan.
2. Daerah imbuh air bawah tanah adalah suatu wilayah di mana proses
pengimbunan air tanah berlangsung, yang ditandai oleh kedudukan
muka preatik lebih tinggi dari pada muka pisometrik.
3. Daerah lepasan air bawah tanah adalah suatu wilayah di mana proses
pelepasan air tanah berlangsung, yang ditandai oleh kedudukan muka
preatik lebih rendah dari pada muka pisometrik;

__________________________________________________________________PT. ERM Indonesia


MPE1451-2000.PDF 23
4. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) adalah kajian
mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan
pengambilan air bawah tanah yang direncanakan pada lingkungan hidup
yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan serta
penyelenggaraan usaha dan atau kegiatan.
5. Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) adalah dokumen yang
mengandung upaya penanganan dampak terhadap lingkungan hidup
yang dimbulkan akibat dari rencana usaha dan/atau kegiatan
pengambilan air bawah tanah.

III. TAHAPAN PERENCANAAN PENDAYAGUNAAN AIR BAWAH TANAH


Perencanaan pendayagunaan air bawah tanah yang berwawasan lingkungan
didasarkan pada tahapan yang mencakup: inventarisasi potensi air bawah
tanah, perecanaan pemanfaatan, perizinan, pengawasan dan pengendalian,
serta koservasi air bawah tanah.
A. Inventarisasi Potensi Air Bawah Tanah
Inventarisasi potensi air bawah tanah merupakan fungsi paling
menentukan dalam pendayagunaan air bawah yang berwawasan
lingkungan karena ketersediaan dan potensi air bawah tanah suatu
daerah ditentukan oleh factor alami, merupakan sesuatu yang diterima
apa adanya sebesar kemampuan alam itu sendiri.
Langkah awal dari inventarisasi potensi air bawah tanah adalah
inventarisasi seluruh aspek air abwah tanah yang ada untuk mengetahui
potensinya, melalui kegiatan pemetaan, penyelidikan, penelitian,
eksplorasi dan evaluasi, mengumpulkan dan mengelola data air bawah
tanah.
Kegiatan inventarisasi di atas dilakukan melalui pengumpulan, evaluasi,
dan analisis data untuk memperoleh:
1. Informasi batas cekungan air bawah tanah;
2. Informasi dimensi, geometri dan parameter akuifer;
3. Informasi mengenai daerah imbuh dan daerah lepasan air bawah tanah;
4. Informasi jumlah air bawah tanah;
5. Informasi mutu air bawah tanah;
6. Informasi jumlah pengambilan air bawah tanah;
7. Informasi lainnya yang diperlukan.
Mengingat sifat dari air bawah tanah yang dinamis maka dieprlukan
pemutakhiran informasi-informasi tersebut di atas sesuai dengan
perkembangan pengambilan air bawah tanah.
Dari hasil kegiatan inventarisasi tersebut maka akan diperoleh informasi
potensi sumberdaya air abwah tanah.

__________________________________________________________________PT. ERM Indonesia


MPE1451-2000.PDF 24
B. Perencanaan Pemanfaatan Air Bawah Tanah
Penyusunan perencanaan pemanfaatan air bawah tanah untuk memenuhi suatu
permintaan dapat dilakukan dengan mempertimbangkan:
1. Kebutuhan air bawah tanah untuk jangka panjang berdasarkan
perkembangan pemanfaatan air bawah tanah yang telah ada dan rencana
pengambangan air bawah tanah selanjutnya;
2. Rekaan (model simulasi matematis) kondisi hidrogeologi mirip keadaan
alami;
3. Perencanaan pemanfaatan air bawah tanah dalam kurun waktu terentu
sesuai kuota pengambilan air bawah tanah yang aman sehingga
pemanfaatannya tidak sampai menimbulkan dampak negatif.
4. Pemanfaatan air bawah tanah untuk memenuhi permintaan harus lebih
kecil atau maksimum sama dengan daya dukung ketersediannya secara
alami;
5. Lokasi-lokasi yang kondisi lingkungan air bawah tanahnya telah rawan
atau kritis dilakukan pengaturan pengambilan serta peruntukannya lebih
lanjut sesuai kemampuan ketersediannya serta bagi yang telah ada wajib
dilakukan pengurangan debit pengambilan;

C. Perizinan
Kegiatan pengeboran atau penurapan mataair dan pengambilan air bawah
tanah dapat dilakukan setelah memperoleh izin pengeboran atau penurapan
mataair (SIP) dan izin pengambilan air bawah tanah atau izin pengambilan mat
air (SIPA) dengan ketentuan sebagai berikut:
6. Peruntukan pemanfaatan air abwah tanah untuk keperluan air minum
dan rumah tangga adalah merupakan prioritas utama di atas segala
keperluan lain:
7. Pemanfaatan air bawah tanah pada akuifer bebas, diprioritaskan untuk
keperluan air minum dan rumah tangga;
8. Pengambilan air bawah tanah untuk keperluan lain tidak mengganggu
keperluan untuk rumah tangga;
9. Dalam pengaturan pemanfaatan didasarkan atas urutan prioritas
peruntukan serta memperhatikan kepentingan umum dan kondisi
setempat.
Izin-izin tersebut selain sebagai perwujudan aspek legalistas juga
dimaksudkan untuk membatasi pengambilan air abwah tanah melalui
ketnetuan-ketentuan teknis yang harus dipatuhi oleh pemegang izin, agar
pengambilan air bawah tanah sesuai dengan daya dukung ketersediannya
secara alami.

__________________________________________________________________PT. ERM Indonesia


MPE1451-2000.PDF 25
D. Pengawasan dan Pengendalian
Keberhasilan pendayagunaan air bawah tanah yang berwawasan lingkungan
sangat tergantung pada fungsi pengawasan dan pengendalian sehingga
keberlanjutan pemanfaatan air bawah tanah dapat terwujud.
10. Pengawasan
Kegiatan pengawasan meliputi:
a. Pengawasan pelaksanaan persyaratan teknik yang tercantum dalam
SIP dan SIPA;
b. Pengawasan terhadap pelaksanaan UKL dan UPL atau AMDAL;
c. Pengawasan terhadap kemungkinan terjadinya pencemaran dan
kerusakan lingkungan air bawah tanah.
2. Pengendalian
Kegiatan pengendalian meliputi:
d. Kegiatan pemantauan:
1) Pemantauan jumlah dan mutu air bawah tanah;
2) Pemantauan dampak lingkungan akibat pendayagunaan air
abwah tanah;
3) Pematnauan perubahan penggunaan dan fungsi lahan.
e. Pembuatan peta pengedalian pengambilan air bawah tanah yang
mencakup penentuan:
1) Zonasi air bawah tanah (aman, rawan, kritis, dan ruak);
2) Kedalaman akuifer yang aman untuk disadap;
3) Kuota debit pengambilan air bawah tanah berdasarkan
potensi ketersediannya;
4) Debit pengambilan air bawah tanah berdasarkan
peruntukannya.
f. Melakukan pengenaan sanksi administrative dan sanksi hukum
sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku terhadap
pelakana pengeboran dan atau pengguna air bawah tanah apabila
terjadi kerusakan lingkungan akiabt pengambilan air bawah tanah.
E. Konservasi Air Bawah Tanah
Konservasi air bawah tanah adalah pengelolaan air bawah tanah untuk
menjamin pemanfaatannya secara bijaksana dan menjamin ketersediannya
dengan tetap memelihara serta meningkatkan mutunya. Pada dasarnya
merupakan tindakan yang perlu dilakukan dalam pendayagunaan sumberdaya
air bawah agar pemanfaatannya dapat optimum dan berkesinambungan tanpa
menimbulkan dampak negatif terhadap kondisi dan lingkungan sumberdaya
air bawah tanah tersebut.

__________________________________________________________________PT. ERM Indonesia


MPE1451-2000.PDF 26
Upaya teknik yang dapat dilakukan dalam pelaksanaan konservasi ari bawah
tanah meliputi:
1. Memaksimalkan pengmbunan air abwah tanah;
2. Pengaturan pengambilan air abwah tanah;
3. Perlindungan air bawah tanah

Menteri Energi dan Sumber

Purnomo Yusgiantoro

__________________________________________________________________PT. ERM Indonesia


MPE1451-2000.PDF 27
LAMPIRAN III : KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA
MINERAL
NOMOR : 1451 K/10/MEM/2000
TANGGAL : 3 November 2000

PEDOMAN TEKNIS PENENTUAN DEBIT PENGAMBILAN AIR BAWAH


TANAH

I. PENDAHULAN
A. Latar Belakang
Pengambulan air bawah tanah perlu dilakukan secara terkendali dengan
mempertimbangkan asas kemanfaatan, kesinambungan ketersediaan, keadilan
dan kelestarian air bawah tanah beserta lingkungan keberadannya.
Salah satu aspek penting dalam pengendalian pengambilan air bawah tanah
adalah penentuan debit pengambilan yang diperbolehkan, oleh karena itu perlu
pedoman penentuan debit pengambilan air bawah tanah.
B. Maksud dan Tujuan
Pedoman teknis penentuan debit pengambilan air bawah tanah dimaksudkan
sebagai acuan dalam menentukan besarnya debit pengambilan agar sesuai
dengan daya dukung ketersediannya.
Tujuannya adalah sebagai dasar penentuan debit pengambilan air bawah tanah
yang dituangkan dalam surat izin pengambilan air bawah tanah (SIPA).
C. Ruang Lingkup
Ruang lingkup pedoman ini meliputi penentuan debit pengambilan air bawah tanah
pada akuifer tidak tertekan dan akuifer serta debit mata air.

II. PENGERTIAN
1. Karakteristik akuifer adalah sifat dasar hari hidraulik suatu akuifer,
diantaranya nilai keterusan, nilai kelulusan, nilai koefisien simpanan.
2. Produktivitas akuifer adalah kemampuan akuifer menghasilkan air
bawah tanah dihitung jumlah tertentu.
3. muka air bawah tanah adalah permukaan air bawah tanah didalam
sumur dihitung dari muka tanah setempat atau muka laut.
4. Peta hidrogeologi skala > 1:100.000 adalah bentuk ungkapan informasi
yang menggambarkan pelamparan akuifer dan non akuifer bersama-sama
dengan kondisi geologi, curah hujan, tampilan air permukaan,
kemungkinan luah sumur dan hidrokimia pada akuifer endapan
permukaan dan akuifer batuan dasar, untuk memahami rezim air bawah
tanah suatu daerah/wilayah/kawasan.

__________________________________________________________________PT. ERM Indonesia


MPE1451-2000.PDF 28
5. Peta konservasi cekungan air bawah tanah adalah bentuk ungkapan
informasi yang menggambarkan pengaturan kedalaman penyadapan,
pembatasan debit sumur produksi, pengaturan peruntukan pemanfaatan,
serta zonasi kondisi air bawah tanah aman, rawan, kritis atau rusak.
6. Peta buaian muka air bawah tanah adalah bentuk ungkapan informasi
yang ,menggambarkan perbedaan kedudukan muka air bawah tanah
pada akuifer tidak tertekan pada saat kedudukan kedalaman maksimum
dan minimum suatu daerah/wilayah/kawasan.
7. Peta jaringan aliran air bawah tanah adalah bentuk ungkapan informasi
yang menggambarkan lebar kuifer, garis kesamaan muka air bawah
tanah, arah aliran air bawah tanah serta jumlah air bawah tanah pada
setiap segmen aliran air bawha tanah suatu daerah/wilayah/kawasan.

III. PENENTUAN DEBIT PENGAMBILAN AIR BAWAH TANAH PADA


AKUIFER TIDAK TERTEKAN.
Penentuan debit pengambilan air bawah tanah pada akuifer tidak tertekan
dengan mempertimbangkan:
1. Peta Hidrogeologi Skala > 1:100.000.
Dara peta ini dapat diperoleh gambaran secara kualitatif/semi kuantitatif
mengenai satuan hidrogeologi dan kemungkinan luah sumur pada
akuifer tidak tertekan dan hidrokimia air bawah tanah tidak tertekan;
2. Peta Potensi Cekungan Air Bawah Tanah Skala > 1:100.000
Dari peta ini diperoleh informasi secara semi-kuantitatif/kuantitatif
mengenai kedalaman akuifer tidak tertekan, muka air bawah tanah tidak
tertekan, debit optimum dan jarak antara sumur, dan mutu air bawah
tanah tidak tertekan.
3. Peta Kedalaman Muka Air Bawah Tanah Tidak Tertekan Skala > 1:50.000
Dari peta dapat diperoleh informasi kedudukan muka air bawah tanah
maksimum (musim penghujan), muka air bawah tanah minimum (musim
kemarau) serta besar buaian muka air bawah tanah dan arah alirannya;
4. Peta Jaringan Aliran Air Bawah Tanah Tidak Tertekan Skala > 1:50.000
Dari peta ini dapat diperoleh informasi rinci mengenai lebar akuifer, garis
kesamaan muka air bawah tanah, arah aliran air bawah tanah serta
jumlah aliran air bawah tanah pada setiap segmen;
5. Peta Konservasi Cekungan Air Bawah Tanah Skala > 1:50.000
Peta ini khusus digunakan pada daerah yang pengambilan air abwah
tanahnya telah intensif. Dari peta ini diperoleh informasi mengenai
daerah-daerah yang pengambilan air bawah tanah pada akuifer tidak
tertekan yang perlu dibatasi.
6. Hasil Uji Pemompaan

__________________________________________________________________PT. ERM Indonesia


MPE1451-2000.PDF 29
Dari hasil analisi data uji pemompaan dapat diperoleh informasi
mengenai debit pengambilan air bawah tanah optimum sesuai kondisi air
abwah tanah setempat.
Atas dasar pertimbangan tersebut dia tas, debit maksimum pengambilan
air bawah tanah pada akuifer tidak tertekan yang diperbolehkan adalah
sama dengan pengambilan yang menyebabkan penurunan muka air
bawah tanahnya sebesar 60% dari tebal air pada saat muka air bawah
tanah minimum.

IV. PENENTUAN DEBIT PENGAMBILAN AIR BAWAH TANAH PADA


AKUIFER TERTEKAN
Penentuan debit air bawah tanah pada akuifer tertekan dengan mempertimbangkan:
1. Pate Hidrogeologi Skala > 1:100.000
Dari peta ini dapat diperoleh gambaran secara kualitatif/semi-
kuantitatif/kuantitatif mengenai satuan hidrogelogi dan kemungkinan
luah sumur pada akuifer tertekan dan hidrokimia air bawah tanah
tertekan;
2. Peta Potensi Cekungan Air Bawah Tanah Skala > 1:100.000
Dari peta ini dapat diperoleh informasi secara semi-kuantitatif/kuantitatif
mengenai kedalaman akuifer tertekan, muka air bawah tanah tertekan,
debit optimum dan jarak antar sumur, dan mutu air bawah tanah
tertekan;
3. Peta Jaringan Aliran Air Bawah Tanah Tertekan Skala > 1:50.000
Dari peta ini dapat diperoleh informasi rinci mengenai lebar akuifer, garis
kesamaan muka air tanah, arah aliran air bawah tanah serta jumlah aliran
air bawah tanah pada setiap segmen;
4. Peta Konservasi Cekungan Air Bawah Tanah Skala > 1:50.000
Peta ini khusus digunakan pada daerah yang pengambilan air bawah
tanahnya intensif. Dari peta ini dapat diperoleh informasi mengenai
daerah-daerah yang pengambilan air bawah tanah akuifer tertekan yang
perlu dibatasi;
5. Hasil Uji Pemompaan
Dari hasil analisis data uji pemompaan dapat diperoleh informasi
mengenai debit optimum pengambilan air bawah tanah pada akuifer
tertekan sesuai kondisi air bawah tanah setempat.
Atas dasar pertimbangan tersebut di atas, debit maksimum pengambilan
air bawah tanah pada akuifer tertekan yang diperbolehkan adalah sama
dengan pengambilan yang menyebabkan penurunan muka air bawah
tanah hingga kedalaman bagian atas lapisan penekan (confininf layer),
yaitu lapisan kedap air atau lapisan lambat air yang menutuo akuifer
tertekan tersebut.

__________________________________________________________________PT. ERM Indonesia


MPE1451-2000.PDF 30
PENENTUAN DEBIT PENURAPAN MATAAIR
Penentuan debit menurapan mataair dengan mempertimbangkan:
Peta Hidrogeologi Skala > 1:100.000
Dari peta ini diperoleh informasi mengenai lokasi, debit mataair, mutu air, dan jenis
mataair,
Debit debit mataair
Data debit mataair yang diperlukan adalah debit bulanan minuman dan bulanan
maksimum, sekurang-kurangnya selama periode pengukuran 1 (satu) tahun;
Pengambilan air bawah tanah dari mataair diperhitungkan berdasarkan debit aliran
secara alamiah, dalam arti tidal dilakukan dengan rekayasa teknik untuk
meningkatkan debit pengambilan dengan mengubah cara pemunculannya;
Data pemanfaatan mataair yang telah ada seperti untuk irigasi dan air minum serta
rumah tangga bagi penduduk sekitar.
Atas dasar pertimbangan tersebut di atas, maka debit maksimum menurapan
,mataair adalah debit minimum mataair yang keluar secara alamiah dikurangi
dengan debit pemanfaatan yang telah ada.

Menteri Energi dan Sumber Daya Minera

Purnomo Yusgiantoro

__________________________________________________________________PT. ERM Indonesia


MPE1451-2000.PDF 31
LAMPIRAN IV : KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA
MINERAL
NOMOR : 1451 K/10/MEM/2000
TANGGAL : 3 November 2000

PROSEDUR PEMBERIAN IZIN EKSPLORASI AIR BAWAH TANAH

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sumberdaya air bawah tanah saat ini sudah tidak lagi merupakan komoditi bebas
namun telah menjadi komoditi ekonomi yang mempunyai peran vital bahkan di
beberapa tempat strategis.
Di lain pihak pemanfaatan air bawah tanah yang terus meningkat dalam sumberdaya
air bawah tanah itu sendiri, seperti penurunan muka air bawah tanah, penurunan
mutu air bawah tanah, penyusupan air laut maupun amblesan tanah.
Oleh sebab itu diperlukan prosedur pemberian izin eksplorasi air bawah tanah agar
data dan informasi air bawah tanah dapat diperoleh secara akurat untuk
dipergunakan dalam perencanaan pemanfaatan air bawah tanah yang berwawasan
lingkungan.
B. Maksud dan Tujuan
Prosedur pemberian izin ekpslorasi air bawah tanah ini dimaksudkan sebagai acuan
yang perlu dilaksanakan dalam rangka pemberian izin eksplorasi air bawah tanah.
Tujuannya adalah untuk menyeragamkan kesatuan tindak dalam pemberian izin
eksplorasi air bawah tanah, sehingga data dan informasi yang diperoleh dapat
dimanfaatkan bagi perencanaan pemanfaatan air bawah tanah.

II. PENGERTIAN
Eksplorasi air bawah tanah adalah penyelidikan air bawah tnah detail untuk
menetapkan lebih teliti/seksama tentang seabran dan karakteristik sumber air
tersebut.
Perusahaan pengeboran air bawah tanah adalah Badan Usaha yang sudah mendapat
izin untuk bergerak dalam bidang pengeboran air bawah tanah.
Sumur bor produksi adalah sumur bor yang dibuat untuk mengambil air bawah
tanah pada satu atau lebih akuifer.
Badan usaha adalah lembaga swasta atau pemerintah yang salah satu kegiatannya
melaksanakan usaha dibidang air bawah tanah.

__________________________________________________________________PT. ERM Indonesia


MPE1451-2000.PDF 32
III. PROSES ADMINISTRASI IZIN EKSPLORASI AIR BAWAH TANAH
A. Ketentuan Umum
Untuk kegiatan eksplorasi pada cekungan air bawah tanah diperlukan persyaratan
teknik.
Persyaratan teknik untuk kegiatan eksplorasi air bawah tanah pada cekungan air
bawah tanah lintas Propinsi dan/atau Kabuapten/Kota dikeluarkan atas kesepakatan
Bupati/Walikota yang bersangkutan dengan dukungan koordinasi dan fasilitas
Gubernur.
Badan Usaha atau Instansi/Lembaga Pemerintah yang terbukti melakukan kegiatan
eksplorasi air bawah tanah tanpa izin dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
B. Izin Eksplorasi Air Bawah Tanah
Persyaratan, meliputi:
Pengajuan proposal kegiatan yang berisi:
Maksud dan tujuan kegiatan;
Rencana kerja dan peralatan;
Peta topografi skala 1:50.000 yang mencantumkan lokasi rencana eksplorasi air bawah
tanah;
Daftar tenaga ahli dalam bidang air bawah tanah yang dimiliki;
Salinan atau fotocopy Surat Izin Perusahaan Pengeboran Air Bawah Tanah (SIPPAT),
Surat Tanda Instalasi Bor (STIB) dan Surat Izin Juru Bor (SIJB) yang sah jika akan
melakukan pengeboran eksplorasi air bawah tanah yang dilaksanakan oleh Badan
Usaha;
Salinan atau fotocopy STIB dan SIJB yang sah jika akan melakukan pengeboran
eksplorasi air bawah tanah yang dilaksanakan oleh Instansi/Lembaga Pemerintah.
Persyaratan lain yang ditetapkan oleh Bupati/Walikota.
Apabila persyaratan permohonan lengkap maka berdasarkan persyaratan teknik
diberikan izin eksplorasi air bawah tanah kepada pemohon, atau permohonan izin
ditolak dengan alas an penolakannya.
Di dalam izin eksplorasi air bawah tanah dicantumkan ketentuan yang wajib
dilaksankan oleh pemegang izin:
Masa berlaku izin;
Permohonan perpanjangan izin harus diajukan sebelum jangka waktu izin berakhir;
Hanya dapat melaksanakan satu rencana kegiatan untuk setiap permohonan;
Jika sumur bor eksplorasi dijadikan sumur bor produksi maka pihak pemakai sumur
bor tersebut harus mendapatkan sura izin pengambilan air abwah tanah dari
Bupati/Walikota, sedangkan jika sumur tidak digunakan wajib ditutup.
Hasil kegiatan eksplorasi air bawah tanah wajib dilaporkan kepada Bupati/Walikota.
Ketentuan lain yang ditetapkan oleh Bupati/Walikota.

__________________________________________________________________PT. ERM Indonesia


MPE1451-2000.PDF 33
Perpanjangan Izin Eksplorasi Air Bawah Tanah
Izin eksplorasi air bawah tanah dapat diperpanjang dengan mengajukan:
Proposal kegiatan lanjutan yang berisi:
Salinan/fotocopy izin eksplorasi air bawah tanah yang akan berakhir masa
berlakunya;
Alasan permohonan perpanjangan izin;
Maksud dan tujuan kegiatan lanjutan;
Rencana kerja lanjutan;
Persyaratan lain yang ditetapkan oleh Bupati/WALikota.
Jika melewati batas waktu yang telah ditetapkan dari masa berlakunya izin, maka
izin tidak dapat diperpanjang.

Menteri Energi dan Sumber Daya


Minera

Purnomo Yusgiantoro

__________________________________________________________________PT. ERM Indonesia


MPE1451-2000.PDF 34
LAMPIRAN V : KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA
MINERAL
NOMOR : 1451 K/10/MEM/2000
TANGGAL : 3 November 2000

PRODESUR PEMBERIAN IZIN PENGEBORAN DAN IZIN PENGAMBILAN AIR


BAWAH TANAH

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Air bawah tanah memegang peran penting sebagai salah satu sumber pasokan
kebutuhan akan air untuk berbagai keperluan.
Pemanfaatan air bawah tanah yang meningkat dari tahun ke tahun
telahmenimbulkan dampak berupa penurunan muka air bawah tanah, penurunan
mutu air, penyusupan air laut di daerah pantai, dan amblesan tanah. Oleh karena itu
diperlukan pengelolaan sumberdaya air bawah tanah agar suberdaya tersebut tetap
berkelanjutan ketersediaan dan pemanfaatannya.
Mengingat salah satu aspek penting dalam pengelolaan tersebut adalah pengautran
lokasi pengambilan, kedalaman penydapan, dan pembatasan debit pengambilan air
bawah tanah yang dituangkan dalam bentuk izin pengeboran dan izin pengambilan
air bawah tanah, maka diperlukan pedoman pemberian izin pengeboran dan izin
pengambilan air bawah tanah.
B. Maksud dan Tujuan
Prosedur pemberian izin pengeboran (SIP) dan izin pengambilan air bawah tanah
(SIPA) dimaksudkan sebagai acuan dalam pemberian SIP dan SIPA.
Dalam proses pemberian izin pengeboran dan izin pengambilan air bawah tanah
pada cekungan air bawah tanah lintas Ppinsi dan atau Kabuapten/Kota diperlukan
persyaratan teknik berdasarkan kesepakatan Bupati/Walikota yang bersnagkutan
dengan dukungan koordinasi dan fasilitasi Gubernur.
Tujuannya agar pengambilan air bawah tanah sesuai dengan ketersediannya serta
tidak mengganggu keseimbangan air bawah tanah dan lingkungan sekitarnya.

II. PENGERTIAN
1. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) adalah kajian
mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan atau kegiatan yang
direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses
pengambilan keputusan serta penyelenggaraan usaha dan atau keigatan.
2. Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) adalah dokumen yang
mengandung upaya penangan dampak terhadap lingkungan hidup yang
ditimbulkan akibat dari rencana usaha dan atau keigatan.

__________________________________________________________________PT. ERM Indonesia


MPE1451-2000.PDF 35
3. Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) aalah dokumen yang
mengandung upaya pemantauan komponen lingkungan hidup yang
terkena dampak akiabt dari rencana usaha dan atau kegiatan.
4. Muka air bawah tanah adalah permukaan air bawah tanah di dalam
sumur bor dihitung dari muka tanah setempat atau titik acuan lain.
5. Sumur bor produksi air bawah tanah adalah sumur bor yang dibuat
untuk mengambil air bawah tanah pada satu atau lebih lapisan akuifer
tertentu.
6. konstruksi sumurbor adalah instalasi sumurbor yang terpasang setelah
proses pembuatan sumurbor selesai, yang terdiri atas pipa lindung,
saringan, pembalut kerikil, penyekat lempung dan penyekat semen.
7. pipa jambang adalah susunan pipa dengan diameter tertentu pada
bangunan konstruksi sumur bor mulai dari permukaan tanah sampai
kedalaman tertentu yang berfungsi untuk menampung air bawah tanah
dan penepatan pompa.
8. Pipa naik adalah susunan pipa dengan diameter tertentu pada bangunan
konstruksi sumurbor yang terletak di bawah pipa jambang. Berfungsi
sebagai sarana air bawah tanah naik sampai ke pipa jambang.
9. Saringan adalah pipa yang berlubang atau bercelah-celah dengan
diameter tertentu di bagian dindingannya dan berfungsi menyaring air
bawah tanah ke dalam sumur bor.
10. Pembalut kerikil adalah pembalut yang terbentuk dari kerikil yang
diisikan ke dalam ruang antara dinding lubang bor dan pipa saringan,
yang berfungsi untuk menjaga kemampuan saringan dalam meluluskan
air dan menahan butir-butir batuan lepas yang akan masuk ke dalam
sumur bor.
11. Penyekat lempung adalah penyekat yang terbentuk dari lempung yang
dimaksuukan ke dalam ruang antara dinding lubang bor dan pipa naik di
atas dan di bawah pembalut kerikil.
12. Penyekat semen adalah penyekat yang terbentuk dari bubur semen yang
diinjeksikan ke dalam ruang antara dinding lubang bor dan pipa jambang
di atas penyekat lempung yang menutupi pembalut kerikil. Penyekat
semen berguna untuk mencegah tercemarnya air bawah tanah, serta
untuk menahan agar dinding lubang bor tidak runtuh.

III. PROSES ADMINISTRASI IZIN


A. Izin Pengeboran Air Bawah Tanah (SIP)
1. Persyaratan, meliputi:
1. Peta situasi berskala 1:10.000 atau lebih besar, dan peta topografi, skala
1:50.000 yang memperlihatkan titi lokasi rencana pengeboran air bawah
tanah;
2. Informasi mengenai rencana pengeboran air bawah tanah;
__________________________________________________________________PT. ERM Indonesia
MPE1451-2000.PDF 36
3. Salinan atau fotocopy Surat izin Perusahaan Pengeboran Air Bawah
Tanah (SIPPAT), Surat Tanda Insalasi Bor (STIB) dan Surat Izin Juru Bor
(SIJB) yang masih berlaku;
4. Dokumen UKL dan UPL untuk pengambilan air bawah tanah kurang dari
50 (lima puluh) 1/detik, sedangkan untuk pengambilan air bawah tanah
sama atau lebih besar dari 50 (lima puluh) 1/detik dari satu sumur
produksi pada kawasan kurang dari 10 (sepuluh) hektar harus dilengkapi
dokumen AMDAL;
5. Tanda bukti kepemilikan 1 (satu) buah sumur pantau yang dilengkapi
alat perekam otomatis muka air (Automatic Water Level Recorder-
AWLR), bagi pemohon sumur kelima atau kelipatannya atau jumlah
pengambilan air bawah tanah sama atau lebih besar dari 50 (lima puluh)
1/detik dari satu atau beberapa sumur pada kawasan kurang dari 10
(sepuluh) hektar.
6. Persyaratan lainnya yang ditetapkan oleh Bupati/Walikota.
2. Apabila persyaratan lengkap maka Bupati/Walikota:
1. Untuk rencana pengeboran yang berlokasi pada cekungan air bawah
tanah dalam satu wilayah Kabupaten/Kota, memberikan SIP kepada
pemohon atau menolak permohonan pengeboran disertai dengan
alasannya dengan tembusan kepada Direktur Jenderal, Gubernur dan
pelaksana pengeboran;
2. Untuk rencana pengeboran yang berlokasi pada cekungan air bawah
tanah lintas Propinsi dan atau Kabupaten/Kota memberikan SIP kepada
pemohon berdasarkan persyaratan teknik untuk isin pengeboran yang
telah disepakati oleh Bupati/Walikota yang bersangkutan atau menolak
permohonan disertai alas an bahwa pengambilan air bawah tanah tidak
memungkinkan lagi dengan tembusan kepada Direktur Jenderal,
Gubernur dan pelaksana pengeboran.
3. Dalam SIP dicantumkan persyaratan teknik untuk pengeboran air bawah
tanah dan ketentuan-ketentuan, meliputi:
1. Nomor registrasi sumur :
2. Lokasi titik pengeboran :
Kampung : Desa/Kelurahan:
Kecamatan : Kota KAbupaten
Propinsi :
Koordinat (UTM) N/T :
U/S :
Zona
3. Pelaksanaan pengeboran :
1). Instansi/Lembaga/PT/CV :
2). Alamat
__________________________________________________________________PT. ERM Indonesia
MPE1451-2000.PDF 37
3). No. dan Tanggal SIPPAT
4). No. dan Tanggal STIB
5). No. dan Tanggal SIJB
4. Kedalaman akuifer yang disadap.
5. Rancang bangun konstruksi sumur, meliputi:
1). Kedalaman sumurbor
2). Diameter dan panjang pipa jambang
3). Diameter dan panjang pipa saringan
4). Diameter dan panjang pipa naik
5). Diamter dan panjang pipa pisometer
6). Kedudukan pembalut kerikil
7). Kedudukan penyekat semen
8). Kedudukan pipa pisometer
6. Perusahaan peemohon wajib memberitahukan kepada Bupati/Walikota
tentang rencana pelaksanaan konstruksi sumur dan uji pemompaan dan
pelaksanaanny harus disaksikan oleh petugas yang berwenang;
7. Perusahaan pemohon wajib mengirimkan laporan hasil kegiatan
pengeboran setelah pengeboran selesai kepada Bupati/Walikota dengan
tembusan kepada Direktur dan Gubernur yang berisi:
1). Gambar penampang litologi/batuan dan hasil logging sumur
2). Gambar penampang penyelesaian konstruksi sumur
3). Hasil analisis dan uji pemompaan
4). Hasil analisis fisika dan kimia air bawah tanah.
8. Masa berlaku SIP air bawah tanah sesuai Peraturan Daerah
Kabuapten/Kota;
9. Ketentuan lain yang ditetapkan oleh Bupati/Walikota.
B. Izin Pengambilan Air Bawah Tanah (SIPA)
1. Persyaratan, meliputi:
a. Laporan penyelesaian pengeboran sumur dan dilampiri:
1). Izin Pengeboran (SIP);
2). Gambar penampang litologi/batuan dan hasil rekaman
logging sumur;
3). Gambar bagan penampang penyelesaian konstruksi
sumurbor;
4). Berita acara pengawasan pemasangan konstruksi sumurbor;
5). Berita acara uji pemompaan;

__________________________________________________________________PT. ERM Indonesia


MPE1451-2000.PDF 38
6). Laporan uji pemompaan;
7). Hasil analisis fisika dan kimia air bawah tanah.
b. Persyaratan lain yang ditetapkan oleh Bupati/Walikota.
2. Apabila persyaratan lengkap, maka Bupati/Walikota:
a. Untuk rencana pengambilan air bawah tanah yang berlokasi pada
cekungan air bawah tanah dalam satu wilayah Kabuaptemn/Kota,
memberikan SIPA kepada pemohon atau menolak permohonan
disertai alasannya dengan tembusan kepada Direktur Jenderal,
Gubernur;
b. Untuk rencana pengambilan air bawah tanah yang berlokasi pada
cekungan air bawah tanah lintas Propinsi dan atau Kabuapten/Kota
memberikan SIPA kepada pemohon berdasarkan persyaratan teknik
untuk SIPA yang telah disepakati oleh Bupati/Walikota yang
bersangkutan atau menolak permohonan disertai alasannya dengan
tembusan kepada Direktur Jenderal Gubernur.
3. Dalam SIPA dicantumkan persyaratan teknik untuk pengambilan air
bawah tanah dan ketentuan-ketentuan, meliputi:
a. Nomor registrasi sumur :
b. Lokasi titik pengeboran :
Kampung : Desa/Kelurahan:
Kecamatan :
Koordinat (UTM) B/T :
U/S
Zona :
c. Jumlah maksimum pengambilan air bawah tanah yang
diperbolehkan;
d. Kapasitas dan kedudukan pompa;
e. Jika pengambilan air bawah tanah melebihi ketentuan jumlah
maksimum air bawah tanah yang diizinkan maka perusahaan
pemohon akan dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan yang
berlaku;
f. Kewajiban perusahaan pemohon untuk:
1). Memasang meter air
2). Melaporkan jumlah pengambilan air bawah tanah setiapbulan
kepada Bupati/Walikota
3). Menyediakan air bawah kepada masyarakat apabila
diperlukan sebanyak-banyaknya 10% *sepuluh persen)
dihitung dari jumlah maksimum air bawah tanah yang
diizinkan,

__________________________________________________________________PT. ERM Indonesia


MPE1451-2000.PDF 39
4). Mendaftar ulang SIPA sebelum masa berlaku SIPA berakhir.
g. Masa berlaku izin pengambilan air bawah tanah sesuai peraturan
daerah Kabuapten/Kota;
h. Ketentuan lain yang ditetapkan oleh Buapti/Walikota.
C. Daftar ulang Izin Pengambilan Air Bawah Tanah (Daftar ulang SIPA)
1. Persyaratan, meliputi:
a. Salinan fotocopy SIPA yang terakhir;
b. Salinan/fotocopy surat keterangan jumlah pengambilan air abwah
tanah satu bulan sejak SIPA berlaku dan pengambilan 3 (tiga) bulan
terakhir, sesuai surat ketetapan pajak pemanfaatan air bawah tanah;
c. Hasil analisis fisika dan kimia air bawah tanah yang terakhir pada
saat sumur yang akan diperpanjang dari laboratorium rujukan;
d. Persyaratan lain yang ditentukan Bupati/Walikota.
2. Apabila persyaratan lengkap, maka Bupati/Walikota:
a. Untuk rencana perpanjangan pengambilan air bawah tanha yang
berlokasi pada cekungan air bawah tanah dalam satu wilayah
Kabupaten/Kota, memberikan perpanjangan SIPA atau menolak
permohonan perpanjangan SIPA disertai alasannya dengan
tembusan kepada Direktur Jenderal dan Gubernur;
b. Untuk rencana perpanjangan pengambilan air bawaht tanah yang
berlokasi pada cekungan air bawah tanah lintas Propinsi dan atau
Kabupaten dan atau Kota, memberikan perpanajngan SIPA kepada
pemohon berdasarkan persyaratan teknik untuk perpanjangan SIPA
yang telah disepakati oleh Bupati/Walikota yang bersangkutan
atau menolak permohonan disertai alasannya dengan tembusan
kepada Direktur Jenderal dan Gubernur.
3. Dalam daftar ulang SIPA dicantumkan persyaratan teknik untuk
pengambilan air bawah tanah dan ketentuan-ketentuan, meliputi:
a. Nomor registrasi sumur :
b. Lokasi titik pengeboran :
Kampung :
Kecamatan :
Propinsi :
Koordinat (UTM) B/T :
U/S :
Zona ;
c. Jumlah maksimum pengambilan air bawah tanah yang
diperbolehkan;

__________________________________________________________________PT. ERM Indonesia


MPE1451-2000.PDF 40
d. Jika pengambilan air bawah tanah melebihi ketentuan jumlah
maksimum air bawah tanah yang diizinkan maka perusahaan
pemohon akan dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan yang
berlaku;
e. Kewajiban perusahana pemohon untuk:
1). Melaporkan pengambilan air bawah tanah setiap bulan
kepada Bupati/Walikota
2). Menyediakan air bawah tanah kepada masyarakat apabila
diperlukan sebanyak-banyaknya 10% dihitung dari jumlah
maksimum air bawah tanah yang diizinkan.
3). Daftar ulang SIPA sebelum masa berlaku SIPA berakhir.
Masa berlaku SIPA sesuai Peraturan Daerah Kabupaten/Kota;
Ketentuan lain yang ditetapkan oleh Bupati/Walikota.

Menteri Energi dan Sumber Daya


Mineral

Purnomo Yusgiantoro

__________________________________________________________________PT. ERM Indonesia


MPE1451-2000.PDF 41
LAMPIRAN VI : KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA
MINERAL
NOMOR : 1451 K/10/MEM/2000
TANGGAL : 3 November 2000

PROSEDUR PEMBERIAN IZI PENURAPAN DAN IZIN PENGAMBILAN


MATAAIR

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Air bawah tanah yang berasal dari mataair memegang peran penting sebagai salahs
atu sumber pasokan kebutuhan akan air untuk berbagai keperluan.
Pemanfaatan air bawah tanah yang meningkat telah menimbulkan konflik antara
keperluan penduduk, irigasi pertanian dan industri. Oleh karena itu diperlukan
pengelolaan agar air abwah tanah dari mataair tersebut tetap berkelanjutan
ketersediaan dan pemanfaatannya.
Mengingat salah satu aspek penting dalam pengelolaan tersebut adalah pengaturan
debit pengambilan mataair yang dituangkan dalam bnetuk izin penurapan dan izin
pengambilan mataair, maka diperlukan pedoman pemberian izin penurapan dan izin
pengambilan mataair.
B. Maksud dan Tujuan
Prosedur pemberian izin penurapan (SIP) dan izin pengambilan mataair (SIPMA)
dimaksudkan sebagai acuan dalam pemberian SIP dan SIPMA.
Dalam proses pemberian izin penurapan dan izin pengambilan mataair pada
cekungan air bawah tanah lintas Propinsi dan atau Kabuapten/Kota diperlukan
persyaratan teknik berdasarkan kesepakatan Bupati/Walikota yang bersankgutan
dengan dukungan koordinasi dan fasilitasi Gubernur.
Tujuannya agar pengambilan air bawah tanah dari mataair, sesuai dengan
ketersediannya serta tidak mengganggu keseimbangan air bawah tanah dan
lingkungan sekitarnya.

II. PENGERTIAN
1. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) adalah kajian
mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan atau kegiatan yang
direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses
pengambilan keputusan serta penyelenggaraan usaha dan atau kegiatan;
2. Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) adalah dokumen yang
mengandung upaya penanganan dampak terhadap lingkungan hidup
yang ditimbulkan akibat dari rencana usaha dan atau kegiatan;

__________________________________________________________________PT. ERM Indonesia


MPE1451-2000.PDF 42
3. upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) adalah dokumen yang
mengandung upaya pemantauan komponen lingkungan hidup yang
terkena dampak akibat dari rencana usaha dan atau kegiatan.

III. PROSES ADMINISTRASI IZIN


A. Izin Penurapan (SIP)
1. Persyaratan, meliputi
a. Peta situasi berskala 1:10.000 atau lebih besar, dan peta topografi,
skala 1:50.000 yang memeprlihatkan titik lokasi rencana penurapan
mataair;
b. Informasi mengenai rencana penurapan mataair dilengkapi gambar
rancangan bangunan rencana penurapan mataair yang telah
disetujui oleh instansi yang berwenang;
c. Dokumen UKL dan UPL untuk pengambilan mataair kurang dari 50
1/detik, sedangkan dari mataair harus dilengkapi dokumen Amdal;
d. Persyaratan lainnya yang ditetapkan oleh Bupati/Walikota.
2. Apabila persyaratan lengkap maka Bupati/Walikota
a. Untuk rencana penurapan mataair yang berlokasi pada cekungan
air bawah tanah dalam satu wilayah Kabupaten/Kota, memberikan
SIP kepada pemohon atau menolak permohonan penurapan disertai
dengan alasannya dengan tembusan kepada Direktur Jenderal,
Gubernur dan pelaksana pembuat bangunan penurapan;
b. Untuk rencana penurapan mataair yang berlokasi pada cekungan
air bawah tanah lintas Propinsi dan atau Kabuapten/Kota
memberikan SIP kepada pemohon berdasarkan persyaratan teknik
untuk izin penurapan mataair yang telah disepakati oleh
Bupati/Walikota yang bersangkutan atau menolak permohonan
disertai alas an bahwa pengambilan mataair tidak memungkinkan
lagi, dengan tembusan kepada Dikrektur Jenderal, Gubernur dan
pelaksana pembuat bangunan penurapan.
3. Dalam SIP dicantumkan persyaratan teknik untuk penurapan mataair dan
ketentuan-ketentuan, meliputi:
a. Nomor Nomor registrasi sumur :
b. Lokasi titik penurapan:
Kampung :
Kecamatan :
Propinsi :
Koordinat (UTM) B/T :
U/S :

__________________________________________________________________PT. ERM Indonesia


MPE1451-2000.PDF 43
Zona ;
c. Pelaksana pembuatan bangunan
Penurapan
1). Instansi/Lembaga/PT/CV
2). Alamat
d. Rancang bangun konstruksi bangunan penurapan;
e. Perusahaan pemohon wajib memberitahukan kepada
Bupati/Walikota tentang rencana pelaksanaan bangunan
penurapan dan pelaksanannya harus disaksikan oleh petugas yang
berwenang;
f. Perusahaan pemohon wajib mengirimkan laporan hasil kegiatan
penurapan setelah penurapan selesai kepada Bupati/Walikota
dengan tembusan kepada Direktur Jenderal dan Gubernur yang
berisi:
1). Gambar penyelesaian konstruksi bangunan penurapan;
2). Hasil pengukuran debit mataair;
3). Hasil analisis fisika dan kimia air.
g. Masa berlaku SIP sesuai Peraturan Daerah Kabuapten/Kota;
h. Ketentuan lain yang ditetapkan oleh Bupati/Walikota.
B. Izin Pengambilan Mataair (SIPMA)
1. Persyaratan meliputi:
a. Laporan penyelesaian penurapan mataair dan dilampiri:
1). Izin penurapan (Sip);
2). Gambar penyelesaian konstruksi bangunan penurapan;
3). Berita acara pengawasan pelaksanaan konstruksi bangunan
penurapan;
4). Hasil analisis fisika dan kimia air.
b. Persyaratan lain yang lengkap, maka Bupati/Walikota.
2. Apabila persyaratan lengkap, maka Bupati/Walikota:
a. Untuk rencana pengambilan mataair yang berlokasi pada cekungan
air abwah tanah dalam satu wilayah Kabuapten/Kota, memberikan
SIPMA kepada pemohon atau menolak permohonan disertai
alasannya dengan tembusan kepada Direktur Jenderal dan
Gubernur;
b. Untuk rencana pengambilan mataair yang berlokasi pada cekungan
air bawah tanah lintas Propinsi dan atau Kabuapten/Kota
memberikan SIPMA kepada pemohon berdasarkan persyaratan
teknik untuk SIPMA yang telah disepakati oleh Bupati/Walikota
__________________________________________________________________PT. ERM Indonesia
MPE1451-2000.PDF 44
yang bersangkutan atau menolak permohonan disertai alasannya,
dengan tembusan kepada Direktur Jenderal dan Gubernur.
3. Dalam SIPMA dicantumkan persyaratkan teknik untuk pengambilan
mataair dan ketentuan-ketentuan, meliputi:
a. Nomor Nomor registrasi sumur :
b. Lokasi titik penurapan:
Kampung :
Kecamatan :
Propinsi :
Koordinat (UTM) B/T :
U/S :
Zona ;
c. Jumlah maksimum pengambilan mataair yang diperbolehkan;
d. Kapasitas pompa;
e. Pompa (apabila digunakan) hanya boleh dipasang pada bak
penampung (reservoir) bukan di bangunan penurapan;
f. Jika pengambilan mataair melebihi ketentuan jumlah maksimum
yang diizinkan maka perusahaan pemohon akan dikenakan sanksi
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
g. Kewajiban perusahaan pemohon untuk:
1). Memasang meter air;
2). Melaporkan jumlah pengambilan mataair setiap bulan kepada
Bupati/Walikota;
3). Menyediakan air bawah tanah kepada masyarakat apabila
diperlukan sebanyak-banyaknya 10% dihitung dari jumlah
maksimum air bawah tanah yang diizinkan;
4). Mendaftar ulang SIPMA sebelum masa berlaku SIPMA
berakhir.
h. Masa berlaku SIPMA sesuai Peraturan Daerah Kabuapten/Kota;
i. Ketentuan lain yang ditetapkan oleh Buapti/Walikota.
C. Daftar Ulang Izin Pengambilan Mataair (Daftar ulang SIPMA)
1. Persyaratan, meliputi:
a. Salinan fotocopy SIPMA yang terakhir;
b. Salinan/fotocopy surat keterangan jumlah pengambilan mataair
satu bulan sejak SIPMA berlaku dan pengambilan 3 (tiga) bulan
terakhir, sesuai surat ketetapan pajak pemanfaatan air bawah tanah
(mataair);
__________________________________________________________________PT. ERM Indonesia
MPE1451-2000.PDF 45
c. Hasil analisis fisika dan kimia air yang terakhir pada saat sumur
yang akan di daftar ulang dari laboratorium rujukan;
d. Persyaratan lain yang ditentukan Bupati/Walikota.
2. Apabila persyaratan lengkap, maka Bupati/Walikota:
a. Untuk rencana daftar ulang pengambilan mataair yang berlokasi
pada cekungan air bawah tanah dalam satu wilayah
Kabupaten/Kota, memberikan daftar ulang SIPMA atau menolak
permohonan daftar ulang SIPMA disertai alasannya dengan
tembusan kepada Direktur Jenderal dan Gubernur;
b. Untuk rencana daftar ulang pengambilan mataair yang berlokasi
pada cekungan air abwah tanah lintas Propinsi dan atau Kabuapten
dan atau Kota, memberikan daftar ulang SIPMA kepada pemohon
berdasarkan persyaratan teknik untuk daftar ulang SIPMA yang
telah disepakati oleh Bupati/Walikota yang bersangkutan atau
menolak permohonan disertai alasannya dengan tembusan kepada
Direktur Jenderal dan Gubernur.
3. Dalam daftar ulang SIPMA dicantumkan persyaratan teknik untuk
pengambilan mataair dan ketentuan-ketentuan, meliputi:
a. Nomor registrasi mataair :
b. Lokasi titik penurapan :
Kampung :
Kecamatan :
Propinsi :
Koordinat (UTM) B/T :
U/S :
Zona :
c. Jumlah maksimum pengambilan mataair yang diperbolehkan;
d. Jika pengambilan mataair melebihi ketentuan jumlah maksimum
mataair yang diizinkan maka perusahaan pemohon akan dikenakan
sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
e. Kewajiban perusahaan pemohon untuk:
1). Melaporkan pengambilan mataair setiap bulan kepada
Bupati/Walikota;
2). Menyediakan air kepada masyarakat apabila diperlukan
sebanyak-banyaknya 10% dihitung dari jumlah maksimum
mataair yang diizinkan;
3). Daftar ualng SIPMA sebelum masa berlaku SIPMA berakhir.
f. Masa berlaku daftar ulang SIPMA sesuai Peraturan Daerah
Kabuapten/Kota;
__________________________________________________________________PT. ERM Indonesia
MPE1451-2000.PDF 46
g. Ketentuan lain yang ditetapkan oleh Bupati/Walikota.

Menteri Energi dan Sumber Daya


Minera

Purnomo Yusgiantoro

__________________________________________________________________PT. ERM Indonesia


MPE1451-2000.PDF 47
LAMPIRAN VII : KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA
MINERAL
NOMOR : 1451 K/10/MEM/2000
TANGGAL : 3 NOVEMBER 2000

PROSEDUR PEMBERIAN IZIN PERUSAHAAN PENGEBORAN AIR BAWAH


TANAH

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sumberdaya air bawah tanah telah memberikan peran penting dalam menunjang
pembangunan di Indonesia, yakni dalam pemasokan kebutuhan akan air, terutama
untuk keperluan air minum, pertanian, dan industri.
Sumberdaya air bawah tanah di satu pihak mempunyai peran cukup penting dalam
menunjang pembangunan, namun dipihak lain, karena peningkatan yang terus
menerus pemakaian sumberdaya itu, telah menimbulkan dampak negatif terhadap
sumberdaya itu sendiri di beberapa daerah yakni berupa penurunan muka air bawah
tanah, penurunan mutu air, penyusupan air laut di daerah pantai, dan amblesan
tanah.
Mengingat pengambilan air bawah tanah pada umumnya diakibatkan oleh budidaya
manusia melalui cara pengeboran, maka secara langsung atau tidak langsung
pelaksana pengeboran air abwah tanah memegang peran dalam upaya mengurangi
kerusakan lingkungan air abwah tanah.
B. Maksud dan Tujuan
Prosedur ini dimaksudkan sebagai acuan dalam rangka pemberian Izin Perusahaan
Pengeboran Air Bawah Tanah(SIPPAT).
Tujuannya adalah untuk menyeragamkan kesatuan tindak cara pemrosesan
permohonan SIPPAT dan kewajiban yang perlu dilaksanakan oleh perusahaan
pengeboran pemegang SIPPAT dalam menjalankan kegiatannya.

II. PENGERTIAN
1. Lembaga Pengemabngan Jasa Konstruksi (LPJK) adalah Lemabga sesuai
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2000.
2. Asosiasi adalah asosiasi juru bor air bawah tanah yang telah mendapat
akreditasi dari LPJK.
3. Klasifikasi adalah Klasifikasi sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor
28 Tahun 2000.
4. Kualifikasi adalah Kualifikasi sesuai dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 28 Tahun 2000.

__________________________________________________________________PT. ERM Indonesia


MPE1451-2000.PDF 48
5. Sertifikasi adalah Sertifikasi sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor
28 Tahun 2000.
6. Akreditasi adalah Akrediatasi sesuai dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 28 Tahun 2000.

III. KETENTUAN UMUM


1. Bentuk usaha pengeboran air bawah tanah termasuk salah satu sub
bidang usaha jasa pelaksanaan konstruksi
2. Bentuk usaha dapat berupa orang perseorangan, bidang usaha nasional
baik yang berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum dan badan
usaha asing serta harus mendapatkan klasifikasi dan kualifikasi yang
dinyatakan dengan sertifikasi dan Lembaga Pengembangan Jasa
Konstruksi (LPJK) atau Asosiasi Perusahaan Pengeboran Air Bawah
Tanah yang mendapat akreditasi dari LPJK.
3. SIPPAT diberikan oleh Bupati/Walikota sesuai dengan tempat domisili.
4. Perusahaan/perorangan bukan pemegang SIPPAT yang melakukan
pengeboran, dikenakan sanksi hukum sesuai dengan peraturan yang
berlaku dan dilakukan penyitaan instalasi bor.
5. Pengeboran untuk keperluan rumah tangga dengan pengambilan debir
maksimal 100M3/bulan dapat dilakukan oleh perorangan tanpa SIPPAT.
6. SIPPAT dengan klasifikasi dan kualifikasi golongan I, II, III, dan IV
berlaku di seluruh wilayah Republik Indonesia.

IV. PROSES ADMINISTRASI SIPPAT


A. SIPPAT Baru
1. Persyaratan, meliputi:
a. Surat pernyataan kepemilikan instalasi bor bermaterai;
b. Foto instalasi bor berukuran 9X12 cm dan 4X6 cm, masing-masing
sebanyak 3 (tiga) lembar;
c. Data telnis instalasi bor (Daftar Isian terlampir);
d. Salinan sertifikasi klasifikasi dan sertifikasi kualifikasi badan usaha
yang dikeluarkan oleh Asosiasi dan telah diregistrasi di LPJK.
e. Persyaratan lain yang ditentukan oleh Bupati/Walikota.
2. Jika persyaratan permohonan lengkap, Bupati/Walikota.menerbitkan
SIPPAT atau menolak permohonan SIPPAT disertai dengan alas an
penolakannya;
3. Bupati/Walikota dapat menolak permohonan izin perusahaan
pengeboran air bawah tanah disertai dengan alas an penolakannya

__________________________________________________________________PT. ERM Indonesia


MPE1451-2000.PDF 49
4. Di dalam SIPPAT dicantumkan ketentuan-ketentuan yang harus
dilaksanakan atau ditaati oleh pemegang SIPPAT yaitu:
a. Setiap perubahan instalasi bor harus mendapatkan STIB berikut plat
Nomor Instalasi Bor yang baru dari Asosiasi yang telah diakreditasi
oleh LPJK;
b. Setiap instalasi bor harus dijalankan oleh seorang Juru Bor yang
mempunyai Sura Ijin Bor (SIJB);
c. Pelaksanaan pengeboran wajib diawasi oleh tenaga ahli/asisten ahli
dalam bidang geologi atau di bidang hidrogeologi;
d. Pemegang SIPPAT wajib melaporkan hasil kegiatan usahanya
secara tertulis dan mengirimkan laporan teknik hasil pengeboran
kepada Bupati/Walikota
e. Menyampaikan laporan hasil pengeboran sesuai standar yang telah
ditentukan kepada Bupati/Walikota.
f. Tindakan perusahaan yang bertentangan dengan ketentuan-
ketentuan tersebut di atas atau ketentuan-ketentuan lain yang
berlaku dibidang air bawah tanah dapat mengakibatkan dicabutnya
SIPPAT serta dikenakan sanksi-sanksi lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
g. Pemilik/pengurus perusahaan pemegang SIPPAT yang terbukti
telah melakukan pelanggaran melakukan pengeboran tanpa izin
lebih dari 2 (dua) kali tidak diizinkan bergerak dibidang
pengeboran air bawah tanah.
h. Perusahaan pemegang SIPPAT yang terbukti melakukan
pengeboran tanpa izin dikenakan sanksi hukum dan penyegelan
instalasi bor.
i. Memperpanjang SIPPAT sebelum habis masa berlakunya.
j. Ketentuan lain yang ditentukan oleh Bupati/Walikota.
B. Perpanjangan SIPPAT
1. SIPPAT dapat diperpanjang dengan mengajukan permohonan kepada
Bupati/Walikota;
2. Persyaratan perpanjangan SIPPAT dengan melampirkan:
Sertifikat klasifikasi dan sertifikat kualifikasi badan usaha yang telah mendapat
penilaian ulang dari Asosiasi dan telah diregistrasi oleh LPJK;
Persyaratan lain yang ditentukan oleh Bupati/Walikota.

Menteri Energi dan Sumber daya Mineral

Purnomo yusgiantoro
__________________________________________________________________PT. ERM Indonesia
MPE1451-2000.PDF 50
LAMPIRAN VIII : KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA
MINERAL
NOMOR : 1451 K/10/MEM/2000
TANGGAL : 3 NOVEMBER 2000

PROSEDUR PEMBERIAN IZIN JURU BOR AIR BAWAH TANAH

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sumberdaya air bawah tanah telah memebrikan peran penting dalam menunjang
pembangunan, terutama untuk keperluan air minum, pertanian, dan industri.
Pemanfaatan air bawah tanah yang meningkat telah menimbulkan dampak negatif
berupa penurunan muka air bawah tanah, penurunan mutu air, penyusupan air laut
di daerah pantai, dan amlesan tanah. Oleh karena itu diperlukan pengelolaan
sumberdaya air bawah tanah agat pemanfaatan sumberdaya tersebut tetap
berkelanjutan.
Mengingat air bawah tanah yang dimanfaatkan tersebut hampir seluruhnya akibat
budidaya manusia melalui cara pengeboran, maka langsung atau tidak langsung.
Juru Bor air bawah tanah memegang peran dalam upaya pengelolaan air bawah
tanah terutama untuk mengurangi kerusakan lingkungan air bawah tanah
B. Maksud dan Tujuan
Prosedur pemberian Izin Juru Bor Air Bawah Tanah dimaksudkan sebagai acuan
dalam rangka pemberian Izin Juru Bor air Bawah Tanah.
Tujuannya adalah untuk menyeragamkan kesatuan tindak dalam pemebrian Surat
Izin Juru Bor Air Bawah Tanah, dan memberikan penjelasan tentang kewajiban Juru
Bor sebagai pemegang izin dalam melaksanakan pengeboran.

II. PENGERTIAN
1. Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) adalah Lembaga sesuai
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2000.
2. Asosiasi adalah asosiasi juru bor air bawah tanah yang telah mendapat
akreditasi dari LPJK sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2000.
3. Klasifikasi adalah klasifikasi sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor
28 Tahun 2000.
4. Kualifikasi adalah kualifikasi sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor
28 Tahun 2000.
5. Sertifikat adalah Sertifikat sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 28
Tahun 2000.
6. Akreditasi adalah Akreditasi sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor
28 Tahun 2000.
__________________________________________________________________PT. ERM Indonesia
MPE1451-2000.PDF 51
III. KETENTUAN UMUM
1. Juru bor air bawah tanah termasuk penanggung jawab teknik usaha dasar
pelaksanaan konstruksi sub bidang pengeboran air bawah tanah;
2. Penanggung jawab teknik usaha jasa pelaksanaan konstruksi sub bidang
pengeboran air bawah tanah harus memiliki sertifikat keterampilan kerja
atau keahlian kerja yang diterbitkan oleh Asosiasi Profesi yang telah
mendapat akreditasi dari LPJK;
3. Surat Izin Juru Bor (SIJB) air bawah tanah diberikan oleh
Bupati/Walikota;
4. Masa berlaku SIJB sesuai Peraturan Daerah setempat;
5. SIJB berlaku di seluruh Indonesia.

IV. PROSES ADMINISTRASI IZIN JURU BOR AIR BAWAH TANAH


A. Izin Juru Bor
1. Persyaratan, meliputi:
a. Salinan ijazah calon juru bor dengan pendidikan paling rendah
SMU atau sederajat;
b. Pengalaman kerj calon Juru Bor lebih kurang 3 (tiga) tahun dibidang
pengeboran air bawah tanah (dilengkapi dengan bukti-bukti
pengalaman kerja);
c. Pas foto calon Juru Bor ukuran 2X3 cm, sebanyak 3 (tiga) lembar;
d. Fotocopy KTP calon juru bor;
e. Sertifikat keterampilan kerja dan sertifikat kerja dari Asosiasi dan
telah diregistrasi oleh LPJK;
f. Persyatatan lengkap, maka Bupati/Walikota.
2. Jika permohonan lengkap, maka Bupati/Walikota memberikan Izin Juru
Bor atau menolak permohonan izin disertai alas an penolakannya.
3. Di dalam surat izin juru bor dicantumkan ketentuan-ketentuan yang
harus dilaksanakan atau ditaati oleh pemegang izin antara lain:
a. Pemegang SIJB dapat melakukan pengeboran selama SIJB-nya
masih berlaku;
b. Izin Juru Bor tidak meliputi Izin Pengeboran (SIP) dan Izin
Pengambilan Air Bawah tanah (SIPA);
c. Setiap perubahan domisili wajib dilaporkan;
d. Pemegang Izin Juru Bor tidak melakukan pengebroan
tanpa/sebelum mendapat SIP;

__________________________________________________________________PT. ERM Indonesia


MPE1451-2000.PDF 52
e. Sebelum masa Izin Juru Bor berakhir, harus mengajukan
permohonan perpanjangan, dan apabila masa tersebut di atas
berakhir belum mengajukan permohonan, maka Juru Bor dianggap
tidak aktif lagi;
f. Tindakan pemegang izin yang bertentangan dengan ketentuan-
ketentuan tersebut diatas dapat mengakibatkan dicabutnya Izin
Juru Bor, serta di kenakan sanksi sesuai dengan ketnetuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
g. Ketentuan lain yang ditetapkan Bupati/Walikota.
B. Perpanjangan Izin Juru Bor
Izin juru bor air bawah tanah dapat diperpanjang dengan mengajukan permohonan
kepada Bupati/Walikota, dengan melampirkan persyaratan:
1. Salinan/fotocopy Izin Juru Bor yang akan berakhir masa berlakunya;
2. Pas foto Juru Bor ukuran 2X3 cm, sebanyak 3 (tiga) lembar;
3. Fotocopy KTP;
4. Surat keterangan berbadan sehat dari dokter;
5. Sertifikat klasifikasi dan sertifikat kualifikasi keterampilan kerja atau
keahlian kerja yang telah mendapat penilaian ulang dan asosiasi dan telah
diregistrasi oleh LPJK;
6. Persyaratan lain yang dtetapkan Bupati/Walikota.

Menteri Energi dan Sumber Daya


Mineral

Purnomo Yusgiantoro

__________________________________________________________________PT. ERM Indonesia


MPE1451-2000.PDF 53
LAMPIRAN IX : KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA
MINERAL
NOMOR : 1451 K/10/MEM/2000
TANGGAL : 3 NOVEMBER 2000

PEDOMAN TEKNIK PENGAWASAN PELAKSANAAN KONSTRUKSI SUMUR


PRODUKSI AIR BAWAH TANAH

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keberadaan sumberdaya air bawah tanah memegang peran penting seabgai salah
satu sumber pasokan kebutuhan akan air untuk berbagai keperluan. Agar
sumberdaya air bawah tanah tetap berkelanjutan perlu pengendalian dalam
pengambilannya.
Salah satu aspek penting dalam pengendalian air bawah tanah adalah ketepatan
pemasangan konstruksi sumur produksi sesuai dengan kondisi air bahwa tanah
setempat, oleh karena itu diperlukan pedoman teknik pengawasan pelaksanaan
konstruksi sumur produksi air bawah tanah.
B. Maksud dan Tujuan
Pedoman teknik pengawasan pelaksanaan konstruksi sumur produksi air bawah
tanah dimaksudkan sebagai acuan dalam pengawasan pelaksanaan pembautan dan
perbaikan/penyempurnaan konstruksi sumur produksi air bawah tanah.
Tujuannya adalah agar pelaksanaan pembuatan dan perbaikan/penyempurnaan
konstruksi sumur produksi sesuai dengan ketentuan teknis yang tercantum dalam
Surat Izin Pengeboran (SIP) serta mempertimbangkan kondisi air bawah tanah
setempat.

II. PENGERTIAN
1. Pengawasan adalah kegiatan yang dilakukan untuk menjamin tegaknya
peraturan perundang-undangan dibidang air bawah tanah.
2. Sumur produksi air bawah tanah adalah sumur yang dibuat untuk
mengambil air bawah tanah pada satu atau lebih akuifer, meliputi
sumurbor dan sumur pasak.
3. Konstruksi sumur adalah instalasi sumur yang terpasang setelah proses
pengeboran atau penggalian serta penyelesaian sumur selesai, yang
terdiri atas pipa jambang, saringan, pipa naik, pipa pisometer, kerikil
pembalut, lempung penyekat dan semen penyekat.
4. Pipa jambang adalah susunan pipa dengan diameter tertentu pada
bangunan konstruksi sumur mulai dari permukaan tanah sampai
kedalaman tertentu yang berfungsi untuk menampung air bawah tanah
dan penepatan pompa.

__________________________________________________________________PT. ERM Indonesia


MPE1451-2000.PDF 54
5. Pipa naik adalah susunan pipa dengan diameter tertentu pada bangunan
konstruksi sumur yang terletak di bawah pipa jambang, befungsi sebagai
sarana air bawah tanah naik sampai ke pipa jambang.
6. Pipa saringan pipa yang berlubang-lubang atau bercelah-celah dengan
ukuran tertentu di bagian dindingnya untuk memungkinkan masuknya
air bawah tanah ke dalam sumur;
7. Pipa pisometer adalah pipa dengan lubang-lubang pada dindingnya yang
dipasang di luar pipa jambang dan pipa naik serta pipa saringan di dalam
lubang bor untuk pemantauan muka air bawah tanah;
8. Kerikil pembalut adalah pembalut yang terbnetuk dari kerikil yang
diisikan ke dalam ruang antara dinding lubang bor dan saringan, yang
berfungsi untuk menjaga kemampuan saringan dalam meluluskan air dan
menahan butir-butir batuan lepas yang akan masuk ke dalam sumur;
9. Lempung penyekat adalah penyekat yang terbentuk dari lempung yang
dimasukkan ke dalam ruang antara dinding bor dan pipa naik;
10. Semen penyekat adalah penyekat yang terbnetuk dari bubur semen yang
diinjeksikan ke dalam ruang antara dinding lubang bor dan pipa jambang
atau pipa baik. Penyekat semen berguna untuk mencegah tercemarnya air
bawah tanah, serta untuk menahan agar dinding lubang bor tidak runtuh.

III. PENGAWASAN PELAKSANAAN KONSTRUKSI SUMUR PRODUKSI


A. Pengawasan Pelaksana dan Pralatan
Pengawasan terhadap pelaksana dan peralatan konstruksi sumur dari
Lembaga/Instansi Pemerintah atau perusahaan pengeboran pemegang Surat Izin
Perusahaan Pengeboran Air Bawah Tanah (SIPPAT), meliputi:
1. Juru Bor yang memiliki Surat Izin Juru Bor (SIJB) yang masih berlaku;
2. Surat Tanda Instalansi Bor (STIB) berikut plat Nomor Instalasi Bor yang
masih berlaku;
3. Peralatan Keselamatan kerja sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
B. Pengawasan Bahan-bahan Konstruksi Sumur
Pengawasan terhadap bahan yang akan dipakai untuk konstruksi sumur meliputi:
1. Pipa
a. Pipa jambang dan pipa naik
Diamter dan panjang pipa jambang serta pipa naik harus sesuai
ketentuan yang tercantum dalam SIP serta mempertimbangkan
kondisi air bawah tanah setempat.
b. Pipa saringan
1). Jenis pipa saringan sesuai SNI

__________________________________________________________________PT. ERM Indonesia


MPE1451-2000.PDF 55
2). Celahan (slot) pipa saringan menyesuaikan dengan akuifer
yang akan disadap.
3). Diameter dan panjang pipa saringan harus sesuai ketentuan
yang tercantum dalam SIP serta mempertimbangkan kondisi
air bawah tanah setempat.
c. Pipa pisometer
Diameter dan panjang pipa pisometer harus sesuai ketentuan yang
tercantum dalam SIP serta mempertimbangkan konsisi air bawah
tanah setempat.
2. Kerikil pembalut
a. Kerikil pembalut harus dipilih yang tidak mudah berubah bentuk,
tidak lapuk, berbutir berbundar, diutamakan yang mempunyai
kandungan silica tinggi, dan tidak mengandung gamping, zat
organic, Lumpur dan kotoran lainnya, atau kerikil artificial;
b. Diameter kerikil pembalut menyesuaikan dengan celah pipa
saringan yang akan dipasang.
3. Lempung penyekat
Lempung penyekat harus dipakai lempung yang memenuhi syarat atau
yang diproduksi khusus untuk keperluan konstruksi sumur.
4. Semen penyekat
a. Komposisi bubur semen yang dipakai 40 (empat puluh) kilogram
semen setiap 22 (dua puluh dua) liter air.
b. Semen yang digunakan harus memenuhi SNI 15-2049-1994 (Mutu
dan cara uji Portland semen jenis I).

C. Pengawasan Pelaksanaan Pemasangan Konstruksi Sumur


Diameter lubang bor minimal harus lebih besar 100 (seratus) millimeter (4 inchi) dari
diameter pipa jambang, dan minimal harus lebih besar 150 (seratus lima puluh)
millimeter (6 inchi) dari diameter pipa naik dan saringan yang akan dipasang.
Pengawasan pelaksanaan pemasangan konstruksi sumur meliputi:
1. Pipa jambang dan pipa naik harus ditempatkan sesuai dengan ketentuan
yang tercantum sesuai SIP serta mempertimbangkan kondisi air bawah
tanah setempat;
2. Kedudukan pipa saringan ditempatkan pada kedudukan akuifer yang
akan disadap, sesuai dengan ketnetuan yang tercantum dalam SIP serta
mempertibangkan kondisi air bawah tanah setempat;
3. Pipa pisometer berdiameter minimal 19 (sembilan belas) mm (3/4 inchi)
dengan lubang-lubang pada dindingnya harus ditempatkan pada tengah-
tengah akuifer yang disadap;

__________________________________________________________________PT. ERM Indonesia


MPE1451-2000.PDF 56
4. Penepatan kerikil pembalut di antara lubang bor dan pipa saringan yang
dipasang;
5. Kedudukan lempung penyekat di antara dinding lubang bor dan pipa
naik;
6. Kedudukan semen penyekat di antara dinding lubang bor dan pipa
jambang atau pipa naik sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam
SIP dengan mempertimbangkan kondisi air bawah tanah setempat.
Contoh gambar konstruksi sumur produksi sebagaimana terlampir.

IV. PELAPORAN
Hasil pengawasan pelaksanaan pemasangan konstruksi sumur produksi dituangkan
dalam bentuk Berita Acara Pengawasan Pelaksanaan Pemasangan Konstruksi Sumur
Produksi.
Daftar Isian Berita Acara Pengawasan Pelaksanaan Konstruksi Sumur Produksi
sebagaiaman terlampir.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral

Purnomo Yusgiantoro

__________________________________________________________________PT. ERM Indonesia


MPE1451-2000.PDF 57
Gambar 1
Pedoman Teknik Pengawasan Pelaksanaan Konstruksi Sumur Produksi Air Bawah
Tanah

__________________________________________________________________PT. ERM Indonesia


MPE1451-2000.PDF 58
__________________________________________________________________PT. ERM Indonesia
MPE1451-2000.PDF 59
Daftar Isian 1
Pedoman Teknik Pengawasan Pelaksanaan Kosntruksi Sumur Produksi Air Bawah
Tanah

KEPALA SURAT

BERITA ACARA PENGAWASAN PELAKSANAAN KONSTRUKSI SUMUR


PRODUKSI
Nomor: ……………………

Pada hari
ini………………………..tanggal…………….bulan…………………tahun………..kami
yang bertanda tangan di bawah ini:
1……………………………….Jabatan……………………………………………….
2……………………………..Jabatan…………………………………………………
3…………………………….Jabatan………………………………………………….
4……………………………….Jabatan………………………………………………..
berdasarkan surat perintah…………………….Nomor………………..tanggal
…………..telah melaksanakan pengawasan pelaksanaan konstruksi sumur produksi
pada Instansi/perusahaan/perorangan:
1. Nama :
a. Alamat :
b. Lokasi sumurbor :
Koordinat : B/T…………………..U/S…………
Zone :……………………………………….
c. Sumur ke :……………………………………….
2. Surat Izin Pengeboran Air : Nomor:
Bawah Tanah (Terlampir) Tanggal:
3. Konstruksi Sumur (Gambar :
Terlampir)
a. Kedalaman sumur :…………………….…………..meter
b. Diameter dan panjang pipa jambang :……………inchi, ………meter
c. Kedudukan pipa saringan : 1)…………….s.d. …………...meter
: 2)……………s.d. …………..meter
: 3)………s.d. ……….meter…..inchi
: 4)………s.d. ………meter……inchi
__________________________________________________________________PT. ERM Indonesia
MPE1451-2000.PDF 60
: 5)……..s.d. ………meter……..inchi
d. Diameter dan panjang pipa :……inchi……………………..meter
Naik
e. Diameter dan panjang pipa :………..inchi…………………meter
Pisometer
f. Kedudukan pembalut kerikil :…………..s.d. ………………meter
g. Kedudukan penyekat semen :………….s.d. ………………..meter
h. Keterangan :……………………………………….
Pelaksanaan konstruksi pada sumur tersebut di atas terlaksana dengan baik
Demikian Berita Acara dibuat dan ditandatagani bersama

Pimpinan/Kuasa Perusahaan ketua Tim Pengawas

Ttd, ttd,

Cap perusahaan Cap instansi yang melaksanakan


pengawasan
(……………………) (…………………………….)
NIP…………………………
Anggota pengawas Tandatangan
1……………………… ………………………………
2……………………………….. ………………………………
3………………………….. ………………………………

*) Coret yang tidak perlu

__________________________________________________________________PT. ERM Indonesia


MPE1451-2000.PDF 61
LAMPIRAN X : KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA
MINERAL
NOMOR : 1451 K/10/MEM/2000
TANGGAL : 3 NOVEMBER 2000

PEDOMAN TEKNIS PENENTUAN NILAI PEROLEHAN AIR DARI


PEMANFAATAN AIR BAWAH TANAH DALAM PENGHITUNGAN PAJAK
PEMANFAATAN AIR BAWAH TANAH

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berdasarkan kenyataan, air bawah tanah masih merupakan andalah utama sebagai
sumber air bersih bagi masyarakat baik untuk keperluan rumah tangga sederhana
yang bersifat tidak komersial maupun untuk keperluan komersial misalnya industri,
perhotelan, perkantoran umum atau perdagangan, pemukiman mewah atau
apartemen, pertanian, perikanan, peternakan, dll.
Peningkatan pengambilan air bawah tanah lama kelamaan akan menimbulkan
dampak lingkungan. Di daerah perkotaan dan kawasan industri pengambilan air
bawah tanah dengan intensitas tinggi mengakibatkan berkurangnya sumberdaya air
bawah tanahsehingga sering menimbulkan konflik pengambilan air bawah tanah.
Secara alami air bawah tanah tidak dibatasi oleh batas wilayah administrasi maupun
batas kepemilikan lahan, sehingga air bawah tanah merupkana sumberdaya alam
milik bersama artinya pengambilan di suatu tempat akan berpengaruh pada tempat
lain di sekitarnya. Karena besarnya pengambilan air bawah tanah tidak sama, maka
demi keadilan pengambil dnegan volume yang lebih besar pada prinsipnya harus
memberikan kompensasi kepada pengambil yang volume pengambilannya lebih
kecil. Kompensasi tersebut diwujudkan dalam bentuk pajak pemanfaatan air bawah
tanah.
B. Maksud dan Tujuan
Pedoman ini ditunjukan sebagai acuan untuk menghitung besarnya Nilai Perolehan
Air dari pemanfaatan air bawah tanah. Manfaat utama pedoman ini adalah untuk
mememberikan pegangan bagi Pemerintah Daerah dalam menentukan Nilai
Perolehan Air dari pemanfaatan air bawah tanah sesuai dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 1997 Pajak Daerah.
C. Ruang Lingkup
Pedoman ini berisi uraian dan penjelasan tentang cara menentukan dan menghitung
Nilai Perolehan Air dan pemanfaatan air bawah tanah terutama komponen dari
Harga Dasar Air disertai dengan lampiran contoh perhitungannya.

__________________________________________________________________PT. ERM Indonesia


MPE1451-2000.PDF 62
II. PENGERTIAN
1. Nilai Perolehan Air (NPA) adalah nilai air bawah tanah yang telah
diambil dan dikenal pajak pemanfaatan air bawah tanah, besarnya sama
dengan volume air yang diambil dikalikan denga harga dasar air.
2. Harga Dasar Air (HAD) adalah harga air bawah tanah per satuan volume
yang akan dikenal pajak pemanfaatan air bawah tanah, besarnya sama
dengan harga air baku dikalikan dengan factor nilai air.
3. harga Air Baku (HAB) adalah harga rata-rata air bawah tanah per satuan
volume di suatu daerah yang besarnya sama dengan nilai invenstansi
untuk mendapatkan air bawah tanah tersebut dibagi dengan volumen
produksinya.
4. Faktor Nilai Air (FNA) adalah suatu bobot nilai dari komponen
sumberdaya alam dan kompensasi pemulihan, peruntukan dan
pengelolaan, besarnya ditentukan berdasarkan subyek kelompok
pengguna air serta volume pengambilannya.
5. Kompensasi pemulihan adalah biaya yang dipungut untuk upaya
pemulihan atas kerusakan lingkungan yang telah maupun akan terjadi
akibat pengambilan air bawah tanah.
6. Kompensasi peruntukan danpengelolaan adalah biaya yang dipungut
dengan subsidi silang pengambilan air bawah tanah.
7. NPABT adalah Nilai Perolehan Air Bawah Tanah.

III. KOMPONEN NILAI PEROLEHAN AIR


A. Dasar Pengenaan Pajak
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 1997, dasar pengenaan pajak
pemanfaatan air adalah nilai perolehan air (NPA) yang nilainya ditentukan oleh
sebagian atau seluruh factor berikut ini:
1. Jenis sumber air;
2. Lokasi sumber air;
3. Volume air yang diambil;
4. Kualitas air;
5. Luas areal tempat pemakaian air;
6. Musim pengambilan air;
7. Tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan air
dan/atau pemanfaatan air.
Besarnya pajak pemanfaatan air bawah tanah maksimum adalah:
Pajak pemanfaatan air bawah tanah = 20%xNPA

__________________________________________________________________PT. ERM Indonesia


MPE1451-2000.PDF 63
B. Nilai Perolehan Air
Nilai Perolehan Air mengandung dua komponen ialah Volume dan Harga dasar Air
(HDA). Komponen yang berupa volume adalah besarnya pengambilan air.
Sedangkan komponen Harga Dasar Air besarnya ditentukan dari:
1. Komponen Sumberdaya Alam
Komponen sumberdaya alam air bawah tanah nilainya ditentukan oleh
factor jenis air bawah tanah, lokasi sumber air bawah tanah, dan kualitas
air bawah tanah.
a. Jenis Air Bawah Tanah
Jenis sumber air bawah tanah terdiri atas air bawah tanah dangkal
dan air bawah tanah dalam termasuk mata air:
1). Air bawah tanah dangkal sebagai sumberdaya alam
mempunyai kemudahan dalam pengambilannya tetapi rawan
terhadap pencemaran dan pada umumnya mempunyai
potensi yang terbatas. Air bawah tanah dangkal didenfiniskan
sebagai air yang terdapat dalam akuifer bebas.
2). Air bawah tanah dalam sebagai sumberdaya alam mempunyai
tingkat kesulitan yang lebih tinggi dibandingkan dengan air
bawah tanah dangkal dalam hal pengambilannya, tetapi
umumnya mempunyai potensi yang besar dan tidak mudah
terkena pencemaran.
3). Mataair sebagai sumberdaya alam umumnya mempunyai
potensi serta tingkat kesulitan pengambilan yang sangat
beragam, tergantung besarnya debit serta lokasi
pemunculannya.
b. Lokasi Sumber Air Bawah Tanah
Potensi sumberdaya air bawah tanah tidak merata di seluruh daerah
dan keberadannya tidak dibatasi oleh wilayah administrasi maupun
lahan kepemilikan. Nilai strategis sumber air bawah tanah
tergantung dari keberadaan sumber air alternatif lainnya. Air bawah
tanah di suatu lokasi mempunyai sifat yang strategis dan vital,
apabila tidak ada sumber air alternatif lain yang dapat dipakai
sebagai sumber air baku, misalnya air sungai ataupun air yang
dipasok oleh jaringan air bersih (PDAM) sehingga air bawah tanah
menjadi satu-satunya sumber air di lokasi atau daerah tersebut.
Berdasarkan keberadaan sumber air alternatif tersebut maka nilai
strategis air bawah tanah dapat di bedakan menjadi dua daerah:
1). Daerah di luar jangkauan sumber air alternatif
2). Daerah di dalam jangkauan sumber air alternatif
c. Kualitas Air Bawah Tanah
Kualitas sumberdaya air bawah tanah tergantung pada komposisi
batuan yang membentuk akuifer serta pengaruh dari luar, misalnya

__________________________________________________________________PT. ERM Indonesia


MPE1451-2000.PDF 64
air laut dan sumber pencemaran. Secara umum kualitas air
dibedakan menjadi dua ialah:
1). Kualitas baik untuk bahan baku air minum
2). Kualitas jelek untuk bahan baku air minum
Kualitas air jelek misalnya mempunyai kadar salinitas yang tinggi
sehingga bersifat payau ataupun asin atau tidak layak untuk
dijadikan bahan baku air minum.
2. Komponen Kompensasi Pemulihan
Kompensasi Pemulihan air bawah tanah merupakan biaya bagi usaha
perbaikan perubahan lingkungan akibat pengambilan air bawah tanah.
Konpensasi ini dikenakan bagi semua jenis pengambilan air bawah tanah
dan bagi semua tingkat dampak pengambilan air bawah tanah, baik telah
ataupun belum menimbulkan kerusakan lingkungan.
Biaya kompensasi pemulihan kerusakan lingkungan tersebut meliputi:
a. Biaya pemulihan yang diperlukan akibat terjadi penurunan muka
air bawah tanah;
b. Biaya pemulihan yang diperlukan akibat terjadi salinisasi;
c. Biaya pemulihan yang diperlukan akibat terjadi penurunan muka
tanah (land subsidence);
d. Biaya pemulihan yang diperlukan akibat terjadi pencemaran air
bawah tanah.
Semakin besar volume pengambilan air bawaht anah maka semakin besar
pula resiko kerusakannya sehingga besarnya kompensasi ditentukan
secara progresif tergantung besarnya volume pengambilan air bawah
tanah.

3. Komponen Kompensasi Peruntukan dan Pengelolaan


Penggunaan air bawah tanah dipriositaskan untuk air minum serta dibedakan
berdasarkan sumyek pemakaiannya. Selain itu air bawah tanah dikelola agar dapat
dimanfaatkan secara optimal dan berkesinambungan. Untuk itu pemakai air bawah
tanah perlu dikenai kompensasi biaya peruntukan dan pengelolaan yang dibedakan
sebagai berikut:
a. Non Noaga;
b. Niaga Kecil;
c. Industri Kecil;
d. Niaga Besar;
e. Industri Besar.
Setiap kelompok pemakai dikenai biaya peruntukan yang berbeda dimana usaha non
niaga paling kecil dan usaha industri paling besar pungutannya.

__________________________________________________________________PT. ERM Indonesia


MPE1451-2000.PDF 65
Bila dipandang perlu setiap kelompok tersebut masih dapat diperinci atau dibedakan
menjadi beberapa jenis pemakai disesuaikan dengan kondisi daerah setempat.

IV. PENENTUAN NILAI PEROLEHAN AIR


Nilai Perolehan Air ditentuka berdasarkan serta komponen sumberdaya alam,
komponen kompensasi untuk pemulihan, peruntukan dan pengelolaan. Masing-
masing komponen tersebut ditetapkan nilainya berdasarkan criteria yang telah
disebutkan di atas.
A. Bobot Komponen Sumberdaya Alam
Berdasarkan kriteria air bawah tanah yang merupakan gabungan dari komponen
sumberdaya air bawah tanah maka dibedakan menjadi tida tingkat bobot yang
dihitung secara eksponensial terhadap nilai peringkatnya.
1. Suatu daerah yang mempunyai sumberdaya air bawah tanah dengan
potensi besar baik kualitas maupun kuantitas tetapi terhadap sumberdaya
air alternatif mempunyai peringkat 3 maka diberi bobot 9.
2. Suatu daerah yang mempunyai sumberdaya air bawah tanah dengan
potensi besar baik kualitas maupun kuantitas tetapi tidak terhadap
sumberdaya air alternatif mempunyai peringkat 2 maka diberi bobot 4.
3. Suatu daerah yang mempunyai sumberdaya air bawah tanah dengan
potensi kecil karena kualitasnya jelek mempunyai peringkat 1 maka diberi
bobot 1.
Bobot tersebut dihitung secara eksponensial pangkat dua terhadap nilai
peringkatnya. Nilai eksponen dua tersebut merupakan nilai rata-rata sumberdaya air
bawah tanah, tetapi dimungkinkan nilai eksponen lebih kecil atau lebih besar dari
nilai dua tersebut tergantung keadaan sumberdaya air bawaht anah setempat dan
ketentuan daerah.
Berdasarkan kombinasi komponen air bawah tanah sebagai sumberdaya alam
sebagaimana diuraikan di atas maka dapat dikelompokkan dan diberikan bobot
berdasarkan nilai potensinya sebagai berikut:

Tabel a: Bobot komponen sumberdaya alam


No Kriteria Peringk Bobot
1 Air bawah tanah, kualitas baik, ada sumber 3 9
air
2 Alternatif 2 4
3 Air bawah tanah, kualitas baik, tidak ada 1 1
sumber air alternatif
Air bawah tanah, kualitas jelak

__________________________________________________________________PT. ERM Indonesia


MPE1451-2000.PDF 66
Bobot tersebut diatas dipakai seabgai factor pengali terhadap harga air bawku air
bawah tanah. Harga air baku air bawah tanah mengacu pada biaya investasi
eksploitasi air bawah tanah rata-rata di suatu daerah.
B. Bobot Komponen Kompensasi
Bobot komponen kompensasi untuk usaha pemulihan, peruntukan dan pengelolaan
(selanjutnya disebut sebagai kompensasi) ditetapkan terutama berdasarkan jenis
penggunaan (subyek pengambil) dan volume pemakaiannya setiap bulan secara
progresif seabgai berikut:
Tabel B: Bobot komponen kompensasi
No Peruntukan 0-50 m3 51-500 m3 501-1000 1001-2500 > 2500 m3
m3 m3
1 Non Niaga 1 1,1 1,2 1,3 1,4
2 Niaga Kecil 2 2,2 2,4 2,6 2,8
3 Industri Kecil 3 3,3 3,6 3,9 4,5
4 Niaga Besar 4 4,4 4,8 5,2 5,6
5 Industri Besar 5 5,5 6,0 6,5 7,0

Nilai bobot setiap kelompok tersebut dipakai sebagai pengali terhadap harga air
baku. Nilai bobot tersebut ditetapkan berdasarkan ketnetuan daerah, nilai bobot lebih
kecil atau lebih
C. Prosentase Komponen Harga Dasar AIR
Setiap komponen Harga Dasar Air mempunyai prosentase masing-masing yang
besarnya sebagai berikut:
Tabel c: Bobot komponen Harga Dasar Air
No. Komponen Bobot
1 Sumberdaya Alam 60%
2 Kompensasi Pemulihan, 40%
Peruntukan dan
Pengelolaan

D. Harga Air Baku


Air baku dalam pengertian ini merupakan air yang berasal dari air bawah tanah
termasuk mata air yang telah diambil dari sumberdaya dan telah siap untuk
dimanfaatkan. Harga air baku merupakan nilai rupiah dari biaya eksploitasi atau
investasi untuk mendapatkan air baku tersebut besarnya yang ditentukan oleh
Daerah.
E. Rumusan Nilai Perolehan Air
Berdasarkan berbagai komponen tersebut di atas maka Faktor Nilai Air dapat
dirumuskan sebagai berikut:
__________________________________________________________________PT. ERM Indonesia
MPE1451-2000.PDF 67
Sumberdaya alam (tabel c) = 60% dikalikan Bobot Komponen Sumberdaya alam
(tabel a)
Kompensasi (tabel c) = 40% dikalikan Bobot Komponen Kompensasi (tabel b)

Harga Dasar Air sebagai berikut:


HAD = (Faktor Nilai Air) x (Harga Air Baku)
Nilai Perolehan Air dirumuskan sebagai berikut:
BPA = (Volume) x (Faktor Nilai Air) x (Harga Air Baku)

Contoh Cara Perhitungan Nilai Perolehan Air


1. Perhitungan Harga Air Baku
Missal di suatu daerah untuk mendapatkan air baku digunakan sumurbor dalam
dengan perincian harga eksploitasi seabgai berikut:
Pembuatan sumur bor kedalaman 150 m Rp 150.000.000,00
Biaya operasional selama 5 tahun Rp 60.000.000,00
Jumlah Rp 210.000.000,00
Umur produksi sumurbor tersebut dimisalkan 5 tahun, debit sumurr 50 m3/hari
sehingga volume pengambilan atau produksi air selama 5 tahun = 5x365x50 m3 =
91.250 m3
Sehingga Harga Air Baku = Rp 210.000.000/91.250 m3 = Rp 2.301/m3
Untuk memperoleh harga air baku yang berasal dari mataair dapat digunakan
perhitungan seperti di atas dengan memasukkan komponen biaya penurapan,
perpipaan dan biaya pengolahan.
2. Perhitungan Nilai Perolehan Air
a. Pengguna air bawah tanah untuk keperluan Non Niaga
Jumlah volume pemanfaatan air bawah tanah 3000 m3, kualitas baik, ada sumber air
alternatif (di dalam daerah jaringan PDAM) maka perhitungan NPA sebagai berikut:
Perhitungan Faktor Nilai Air
Volume 0-50 m3
Komponen Sumberdaya Alam = 9x0,6 = 5,4
Komponen Kompensasi = 1x0,4
Jumlah Faktor Nilai Air = 5,8
Volume 51-500 m3
Komponen Sumberdaya Alam = 9x0,6 = 5,4
Komponen Komensasi = 1,1x0,44

__________________________________________________________________PT. ERM Indonesia


MPE1451-2000.PDF 68
Jumlah Faktor Nilai Air = 5,84
Volume 501-1000 m3
Komponen Sumberdaya Alam = 9x0,6 = 5,4
Komponen Kompensasi = 1,2x0,4 = 0,48
Jumlah Faktor Nilai Air = 5,88
Volume 1001-2500 m3
Komponen Sumberdaya Alam = 9x0,6 = 5,4
Komponen Kompensasi = 1,3x0,4 = 0,52
Jumlah Faktor Nilai Air = 5,92
Volume 2500-3000 m3
Komponen Sumberdaya Alam = 9x0,6 = 5,4
Komponen Kompensasi = 1,4x0,4 = 0,56
Jumlah Faktor Nilai Air = 5,96

Perhitungan Nilai Perolehan Air


(Volume x HArga Dasar Air) = (Volume x FAktor Nilai Air x Harga Air Baku)
Volume 0-50 m3 = 50 X 5.80 X Rp 2.301 = Rp 667.290
Volume 51-500 m3 = 450 X 5,84 X Rp 2.301 = Rp 6.047.028
Volume 501-1000 m3 = 500 X 5,88 X Rp 2.301 = Rp 6.764.940
Volume 1001-25000 = 1500 X 5,92 X Rp 2.301 = Rp
m3 20.432.880
Volume 2500-3000 = 500 X 5,96 X Rp 2.301 = Rp 6856.980
m3
NPA = Rp
40.769.118

Pajak pemanfaatan air bawah tanah = 20% x NPA = Rp 8.153.823


Pengguna air bawah tanah untuk keperluan Niaga Besar
Jumlah volume pemanfaatan air bawah tanah 3000 m3, kualitas baik, ada sumber air
alternatif (di dalam daerah jaringan PDAM) maka perhitungan NPA sebagai berikut:
Perhitungan Faktor Nilai Air
Volume 0-50 m3
Komponen Sumberdaya Alam = 9 x 0,6 = 5,4
Komponen Kompensasi = 4 x 0,4 = 1,6
Jumlah Faktor Nilai Air = 6,0
Volume 51-500 m3
__________________________________________________________________PT. ERM Indonesia
MPE1451-2000.PDF 69
Komponen Sumberdaya Alam = 9x 0,6 = 5,4
Komponen Kompensasi = 4,4 x 0,4 = 1,76
Jumlah Faktir Nilai Air
Volume 501-1000 m3
Komponen Sumberdaya Alam = 9 x 0,6 = 5,4
Komponen Kompensasi = 4,8 x 0,4 = 1,92
Jumlah Faktor Nilai Air = 7,32
Volume 1001-2500 m3
Komponen Sumberdaya Alam = 9 x 0,6 = 5,4
Komponen Kompensasi = 5,6 x 0,4 = 2,24
Jumlah Faktir Nilai Air
Perhitungan Nilai Perolehan Air
(Volume x Harga Dasar Air) = (Volume x Faktor Nilai Air x Harga Air Baku)
Volume 0-50 m3 = 50 x 6,00 x Rp 2.301 = Rp 690.300
Volume 51-500 m3 = 450 x 7,16 x Rp 2.301 = Rp 7.413.822
Volume 501 – 1000 m3 = 500 x 7,32 x Rp 2.301 = Rp 8.421.660
Volume 1001 – 2500 m3 = 1500 x 7,48 x Rp 2.301 = Rp 25.817.220
Volume 2500 – 3000 m3 = 500 x 7,64 x Rp 2.301 = Rp 8.789.820
NPA = Rp 51.132.822
Pajak pemanfaatan air bawah tanah = 20% x NPA = Rp 10.226..564
Penggunaan air bawah tanah untuk keperluan Non Niaga
Jumlah volume pemanfaatan air bawah tanah 3000 m3, kualitas baik, tidak ada
sumber alternatif (di luar jaringan PDAM) maka perhitungan NPA sebagai berikut:
Perhitungan Faktor Nilai Air
Volume 0 – 50 m3
Komponen Sumberdaya Alam = 4 x 0,6 = 2,4
Komponen Kompensasi = 1,1 x 0,4
Jumlah Faktor Nilai Air = 2,8
Volume 51 – 500 m3
Komponen Sumberdaya Alam = 4 x 0,6 = 2,4
Komponen Kompensasi = 1,1 x 0,4 = 0,44
Jumlah Faktor Nilai Air = 2,84
Volume 501 – 1000 m3
Komponen Sumberdaya Alam = 4 x 0,6 = 2,4
Komponen Kompensasi = 1,2 x 0 4 = 0,48
__________________________________________________________________PT. ERM Indonesia
MPE1451-2000.PDF 70
Jumlah Faktor Nilai Air = 2,88
Volume 1001 – 2500 m3
Komponen Sumberdaya Alam = 4 x 0,6 = 2,4
Komponen Kompensasi = 1,3 x 0,4 = 0,52
Jumlah Faktor Nilai Air = 2,92
Volume 2500 – 3000 m3
Komponen Sumberdaya Alam = 4 x 0,6 = 2,4
Komponen Kompenasai = 1,4 x 0,4 = 0,56
Jumlah Faktor Nilai Air = 2,96
Perhitungan Nilai Perolehan Air
(Volume x Harga Dasar Air ) = (Volume x Faktor Nilai Air x Harga Air Baku)
Volume 0 – 50 m3 = 50 x 2.80 x Rp 2.301 = Rp 322.140
Volume 50 – 500 m3 = 450 x 2,84 x Rp 2.301 = Rp 2.940.678
Volume 501 – 1000 m3 = 500 x 2,88 x Rp 2.301 = Rp 3.313.440
Volume 1001 – 2500 m3 = 1500 x 2,92 x Rp 2.301 = Rp 10.078.380
Volume 2500 – 3000 m3 = 500 x 2,96 x Rp 2.301 = Rp 3.405.480
NPA = Rp 20.060.118
Pajak pemanfaatan air bawah tanah = 20% x NPA = RP 4.012.023
Penggunaan air bawah tanah untuk keperluan Niaga Besar
Jumlah volume pemanfaatan air bawah tanah 3000 m3, kualitas baik, tidak ada
sumber air altrnatif (di luar daerah jaringan PDAM) maka perhitungan NPA sebagai
berikut
Perhitungan Faktor Nilai Air
Volume 0 – 50 m3
Komponen Sumberdaya Alam = 4 x 0,6 = 2,4
Komponen Kompensasi = 4 x 0,4 = 1,6
Jumlah Faktor Nilai Air = 4,0
Volume 51 – 500 m3
Komponen Sumberdaya Alam = 4 x 0,6 = 2,4
Komponen Kompensasi = 4,4 0,4 = 1,76
Jumlah Faktor Nilai Air = 4,16
Volume 501 – 1000 m3
Komponen Sumberdaya Alam = 4 x 0,6 = 2,4
Komponen Kompensasi = 4,8 x 0,4 = 1,92
Jumlah Faktor Nilai Air = 4,32
__________________________________________________________________PT. ERM Indonesia
MPE1451-2000.PDF 71
Volume 1001 – 2500 m3
Komponen Sumberdaya Alam = 4 x 0,6 = 2,4
Komponen Kompensasi = 4 x 0,6 = 2,4
Jumlah Faktor Nilai Air = 4,48
Volume 2500 – 3000 m3
Komponen Sumberdaya Alam = 4 x 0,6 = 2,4
Komponen Kompensasi = 5,6 x 0,4 = 2,24
Jumlah Faktor Nilai Air = 4,64
Perhitungan Nilai Perolehan Air
(Volume x Harga Dasar Air) = (Volume x Faktor Nilai Air x Harga Air Baku)
Volume 0 – 50 m3 = 50 x 4.00 x Rp 2.301 = Rp 460.200
Volume 50 – 500 m3 = 450 x 4.16 x Rp 2.301 = Rp 4.307.472
Volume 501 = 1000 m3 = 500 x 4,32 x Rp 2.301 = Rp 4.970.160
Volume 1001 – 2500 m3 = 1500 x 4,48 x Rp 2.301 = Rp 15.462.720
Volume 2500 – 3000 m3 = 500 x 4.64 x Rp 2.301 = Rp 5.338.320
NPA = Rp 30.538.872
Pajak pemanfaatan air bawah tanah = x NPA = Rp 6.107.774

Penutup
Pedoman ini berisi tentang garis besar yang masih dimungkinkan untuk dirinci oleh
Daerah baik mengenai pembagian kelompok maupun besarnya bobot penialian yang
disesuaikan dengan kondisi sumberdaya air bawah tanah serta kondisi social
ekonomi Daerah setempat.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral

Purnomo Yusgiantoro

__________________________________________________________________PT. ERM Indonesia


MPE1451-2000.PDF 72
LAMPIRAN XI : KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA
MINERAL
NOMOR : 1451 K/10/MEM/2000
TANGGAL : 3 November 2000

PEDOMAN PELAPORAN PENGAMBILAN AIR BAWAH TANAH

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pengambilan air bawah tanah akan mempengaruhi terhadap ketersediaan air bawaht
anah dan kondisi lingkungan keberadannya. Apabila jumlah pengambilan air bawaht
tanah tidak diketahui dan ternyata telah melampaui batas keseimbangan antara
kemampuan imbuhan dengan jumlah pengambilannya, maka akan menimbulkan
dampak negatif terhadap lingkungan. Dampak negatif tersebut dapat berupa
penurunan jumlah maupun mutu air bawah tanah.
Pengelolaan air abwah tanah berorentasi pada kelestarian lingkungan, serta
pemanfaatannya yang berlangsung secara berkelanjutan perlu dibudayakan. Salah
satu langkah yang dilakukan adalah pemantauan terhadap jumlah pengambilan air
bawah tanah dalam kurun waktu tertentu.
Informasi jumlah pengambilan air bawah tanah diperoleh melalui pelaporan
pengambilan air bawah tanah dari setiap titik pengambilan.
B. Maksud dan Tujuan
Pedoman ini dimaksudkan sebagai acuan pengambilan air bawah tanah dalam
melaporkan kegiatan pengambilan air bawah tanah.
Tujuannya adalah untuk mengatur tata cara serta penyeragaman pelaporan
pengambilan air bawah tanah dari seluruh titik pengambilan sehingga menghasilkan
data yang lengkap hingga memudahkan dalam pengelolaan data air bawah tanah.
C. Ruang Lingkup
Pedoman pelaporan pengambilan air bawah tanah ini mencakup sasaran; pengertian;
ketentuan teknis, pelaksana isis laporan dan periode pelaporan.
D. Sasaran
Sasaran pembuatan pedoman pelaporan pengambilan air bawah tanah adalah:
1. Untuk mengetahui jumlah air bawah tanah yang telah diambil di suatu
daerah.
2. Untuk mengawasi pelaksanaan pengambilan air bawah tanah sesuai
dengan Surat Izin Pengambilan Air Bawah Tanah (SIPA).
II. PENGERTIAN
1. Jumlah pengambulan air bawah tanah adalah volum air bawah tanah
dalam satuan volume yang diambil dari sumurgali, sumur pasak,
sumurbor atau mataair setiap bulan.
__________________________________________________________________PT. ERM Indonesia
MPE1451-2000.PDF 73
2. Debit pemompaan adalah volume (liter atau m3] air yang dipompa per
satuan waktu [menit, jam atau hari].
3. Lama pemompaan adalah lama atau durasi dilakukannya pemompaan
setiap hari.
4. Meter air atau alat ukur lainnya adalah alat untuk menghitung volume air
yang ,mengalir di dalam pipa atau saluran yang telah ditera oleh instansi
yang berwenang.

III. Ketentuan Teknis


A. Pelaksana
Pelaporan pengambilan air bawah tanah dilaksanakan oleh pengambilan air bawah
tanah yang ditunjukan kepada Bupati/Walikota dengan tembusan kepada Direktur
Jenderal dan Gubernur.
B. Isi laporan
Laporan pengambilan air bawah tanah terdiri dari:
Nama perusahaan;
Alamat perusahaan;
Lokasi pengambilan air bawah tanah (sumurnor, sumurpasak, sumurgali atau
mataair, dsb) meliputi Desa/Kelurahan, Kecamatan

__________________________________________________________________PT. ERM Indonesia


MPE1451-2000.PDF 74

Anda mungkin juga menyukai