Anda di halaman 1dari 15

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

( Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Sektor Air Minum ) Peraturan Perundang_Undangan
Judul Intisari Sumber Daya Air

Undang-Undang
UU No. 7 Tahun 2004 menggantikan UU
No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan
Sumber Daya Air Memungkinkan peran serta swasta di bidang penyediaan air bersih, pemakaian sumber
daya air untuk kebutuhan rumah tangga memiliki prioritas tinggi dibandingkan untuk kebutuhan lainnya,
membuka pembentukan Badan Regulator Nasional Air Bersih & Sanitasi, termasuk juga di tingkat provinsi
sepanjang dibutuhkan

Peraturan Pemerintah
PP No. 22 Tahun 1982 Tata Pengaturan Air Masih mengacu pada UU No. 11
Tahun 1974 tentang Pengairan
PP No. 77 Tahun 2001 Irigasi Masih mengacu pada UU No. 11
Tahun 1974 tentang Pengairan
PP No. 27 Tahun 1991 Rawa Masih mengacu pada UU No. 11
Tahun 1974 tentang Pengairan
PP No. 35 Tahun 1991 Sungai Masih mengacu pada UU No. 11
Tahun 1974 tentang Pengairan
PP No. 6 Tahun 1981 Iuran Pembayaran Eksploitasi dan Pemeliharaan Prasarana Pengairan
Masih mengacu pada UU No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan
PP No. 82 Tahun 2000 Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air

Keputusan Presiden
Keppres No. 7 Tahun 1981 Penetapan Perusahaan Umum “Otorita Jatiluhur” sebagai perusahaan yang
dapat Menarik dan Menerima Iuran Pembiayaan Eksploitasi dan Pemeliharaan Prasarana Pengairan
Keppres No. 58 Tahun 1990 Kewenangan Perum Jasa Tirta sebagai Perusahaan yang dapat Menarik Iuran
Eksploitasi dan Pemeliharaan Prasarana Pengairan

Peraturan / Keputusan Menteri

Permen PU No. 48/PRT/1990 Pengelolaan Atas Air dan atau Sumber Air Pada Wilayah Sungai
Permen PU No. 49/PRT/1990 Tata Cara dan Persyaratan Izin Penggunaan Air dan atau Sumber Air
Permen PU No. 45/PRT/1990 Pengendalian Mutu Air pada Sumber-sumber Air
Permen No. 63/PRT/1993 Garis Sempadan Sungai, Daerah Manfaat Sungai Daerah Penguasaan Sungai
dan Bekas Sungai
Permen PU No. 64/PRT/1993 Reklamasi Rawa
Permen PU No. 39/PRT/1989 Pembagian Wilayah Sungai
Permen PU No. 65/PRT/1993 Penyuluhan Pengairan
Permen PU No. 72/PRT/1997 Keamanan Bendungan
Kepmen PU No. 458/KPTS/1986 Ketentuan Pengamanan Sungai dalam hubungan dengan Penambangan
Galian Golongan C
Permentaben No. 02.P/101/M.PE/1994 Pengurusan Administrasi Air Bawah Tanah
Kepmenkoek No. Kep-15/M.EKON/12/2001 Pembentukan Sekretariat Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber
Daya Air

Penyediaan Air Bersih


Peraturan / Keputusan Menteri

Permenkes No. 416/MENKES/PER/IX/1990 Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air Standar mutu air
minum dan air bersih yang perlu dipenuhi oleh penyelenggara pelayanan air bersih/minum.

Permdagri No. 2 Tahun 1998 Pedoman Penetapan Tarif Air Minum Pada Perusahaan Daerah Air Minum

SKB Dagri dan MenPU No. 3 Tahun 1984, No. 3/KPTS/1984


Prosedur Pengusulan Pengadaan Proyek Air Bersih Pengelolaan Sementara dan Penyerahan dan
Pengelolaannya Inmendagri No. 8 Tahun 1998 Petunjuk Pelaksanaan Penetapan Tarif Air Minum Pada
Perusahaan Daerah Air Minum

Kepdirjen Cipta Karya No. 62/KPTS/CK/1998


Petunjuk Teknis Perencanaan, Pelaksanaan dan Pengawasan Pembangunan Pengelolaan Sistem
Penyediaan Air Minum Perdesaan

Kepdirjen Cipta Karya No. 61/KPTS/CK/1998 Petunjuk Teknis Perencanaan, Pelaksanaan dan
Pengawasan Pembangunan, Pengelolaan Sistim Penyediaan Air Minum Kota

Undang-Undang Lingkungan Hidup

UU No. 23 Tahun 1997 Pengelolaan Lingkungan Hidup

Keputusan Presiden
Keppres No. 196 Tahun 1998 Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Perubahan atas Keppres No. 101
Tahun 2001 Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Orgnisasi dan Tata Kerja Menteri Negara
Perubahan atas Keppres No. 108 Tahun 2001 Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Menteri Negara

Peraturan / Keputusan Menteri


Kepmenneg LH No. 17 Tahun 2001 Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan Yang Wajib Dilengkapi
dengan Analisi Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL)

Kempenneg LH No. 40 Tahun 2000 Pedoman Tata Kerja Komisi Penilai Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Hidup
Kepmenneg LH No. 41 Tahun 2000 Pedoman Pembentukan Konisi Penilai Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Hidup Kabupaten/Kota Kepmenneg LH No. 2 Tahun 2000 Panduan Penilaian Dokumen
AMDAL
Kepmenneg LH No. 5 Tahun 2000 Panduan Penyusunan AMDAL Kegiatan Pembangunan di Daerah Lahan
Basah
Kepmenneg LH No. 4 Tahun 2000 Panduan Penyusunan AMDAL Kegiatan Pembangunan Permukiman
Terpadu
Kepmenneg LH No. 57/MENLH/12/1995 Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Usaha atau Kegiatan
Terpadu/Multisektor
Kepmeneng LH No. 42 Tahun 2000 Susunan Keanggotaan Komisi Penilai dan Tim Teknis Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup Pusat
Kepmenneg LH No. Kep-12/MENLH/3/1994 Pedoman Umum Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya
Pemantauan Lingkungan

Air Limbah
Peraturan/Keputusan Menteri
Kepmenneg LH No. Kep- 51/MENLH/10/1995 Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri
Kepmenneg LH No. Kep - 42/MENLH/10/1996 Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Minyak dan Gas
serta Panas Bumi
Kepmenneg LH No. Kep - 52/MENLH/10/1995 Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Hotel
Kepmenneg LH No. Kep- 58/MENLH/12/1995 Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Rumah Sakit
Kepmenneg LH No. Kep- 35A/MENLH/7/1995 Program Penilaian Kinerja Perusahaan/Kegiatan Usaha
dalam Pengendalian Pencemaran dalam Lingkup Kegiatan Prokasih (Proper Prokasih)
Kepmenneg LH No. Kep-35/MENLH/1995 Program Kali Bersih

Undang-undang Kerja Sama Pemerintah dengan Pihak Swasta


UU No. 18 Tahun 1997 Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Keputusan Presiden
Keppres No. 74 Tahun 2001 Tata Cara Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Keppres No. 7 Tahun 1998 Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha Swasta dalam Pembangunan
dan/atau Pengelolaan Infrastruktur

Peraturan/Keputusan Menteri
Permendagri No. 4 Tahun 1990 Tata Cara Kerjasama Antara Perusahaan Daerah dengan Pihak Ketiga
Kepmenotda No. 43 Tahun 2000 Pedoman Kerjasama Perusahaan Daerah dengan Pihak Ketiga
Kepmenneg/Bappenas No. Kep.319/KET/10/1998 Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha
Swasta Dalam Pembangunan dan atau Pengelolaan Infrastruktur SE Menkowasbangpan tanggal 11 Juni
1998 Langkah-langkah menghapuskan KKN dan Perekonomian Nasional

Instruksi Menteri
Inmendagri No. 21 Tahun 1996 Petunjuk Kerjasama Antara Perusahaan Daerah Air Minum dengan Pihak
Swasta

Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Peraturan/Keputusan Menteri


SKB Mendagri dan Men PU No. 4 Tahun 1984, No. 27/KPTS/1984 Pembinaan Perusahaan Daerah Air
Minum
Permendagri No. 1 Tahun 1987 Penyerahan Prasarana Lingkungan, Utilitas Umum dan dasilitas Sosial
Perumahan kepada Pemerintah Daerah
Kepmendagri No. 16 Tahun 1991 Pedoman Sistim Akuntansi Perusahaan daerag Air Minum
Permendagri No. 7 Tahun 1998 Kepengurusan Perusahaan daerah Air Minum
Kepmendagri No. 47 Tahun 1998 Pedoman Penilaian Kinerja Perusahaan daerah Air Minum
Inmendagri No. 30 Tahun 1990 Penyerahan Prasarana Lingkungan Utilitas Umum dan Fasilitas Sosial
Perumahan Kepada Pemerintah Daerah
Undang-undang Perlindungan Konsumen

UU No. 8 Tahun 1999 Perlindungan Konsumen

Peraturan Pemerintah
PP No. 57 Tahun 2001 Badan Perlindungan Konsumen Nasional
PP No. 58 Tahun 2001 Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen

Peraturan/Keputusan Menteri
Kepmenindag No. 301/MPP/Kep/10/2001 Pengangkatan Pemberhentian Anggota dan sekretariat Badan
Penyelsaian Sengketa Konsumen
Kepmenindag Noi. 302/MPP/Kep/10/2001 Pendaftaran Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya
Masyarakat
I. PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 mengamanatkan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat.
Amanat UUD 1945 ini merupakan landasan pembangunan pertambangan dan energi untuk memanfaatkan
potensi kekayaan sumberdaya alam mineral dan energi yang dimiliki secaraoptimal dalam mendukung
pembangunan nasional yang berkelanjutan.Sumberdaya alam mineral dan energi memiliki ciri-ciri khusus
yangmemerlukan pendekatan sesuai dengan pengembangannya. Ciri khusus sektor pertambangan yang
perlu diperhatikan dalam pembangunan pertambangan, antara lain sumberdaya alam
pertambanganmenempati sebaran ruang tertentu di dalam bumi dan dasar laut, terdapat dalam jumlah
terbatas dan pada umumnya tak terbarukan. Pengusahaannya melibatkan investasi dan kegiatan sarat
risiko, yang seringkali harus padat modal dan teknologi. Proses penambangan memilikipotensi daya ubah
lingkungan yangtinggi. Hasil tambang mineral dan energimempunyai fungsi ganda, terutama sebagai
sumber bahan baku industri danenergi, baik untuk kebutuhan dalam negeri maupun ekspor. Usaha
pertambangan mampu berperan sebagai penggerak mula dan ujung tombak pembangunandaerah, di
samping perannya dalam memenuhi hajat hidup masyarakat luas.Potensi bijih nikel di Indonesia sudah
diketahui sejak lama. Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki kandungan bahan tambang yang
besar, baik yang telah maupun yang belum ditambang. Pasar nikel dunia tetap kuat pada Tahun 1990,
dimana permintaan nikel dunia semakin meningkat terutama negara-negaraEropa dan Asia yang ditaksir
berjumlah 370 juta ton.Menurut Wahju dan Slamet(1992) pada saat ini kegiatan
penambangan,pengolahandan pemurnian nikel dilakukan oleh sekitar 45 perusahaan yangberbeda, berada
di 28 negara, termasuk tujuh negara komunis.

INCO Limitedmemperkirakan bahwa produk nikel pasar bebas di Tahun1990 sebesar1,25 milyar ton dan
ekspor negara-negara komunis kepasar bebas sebesar200 juta ton. Jumlah 1,45 milyar ton ini kurang
lebih sama dengan permintaan pasar bebas Tahun1989.

Dunia pertambangan sering dianggap sebagai perusakan alam dan lingkungan, oleh karena itu negara
dengan cadangantambang yang cukup besar sepertiIndonesia sudah harus memiliki pedoman standar
lingkunganpertambangan.Provinsi Maluku Utara dikenal dengan daerah penghasil nikel.Unit
BisnisPertambangan Nikel (UBPN) Daerah Operasi Maluku Utara adalah salah satu unit produksi PT.
Aneka Tambang Tbk, yang pekerjaan penambangan dilaksanakan 90% oleh kontraktor, sedangkan
pengawasannya di bawah UBPN Daerah Operasi Maluku Utara. Ada 3 (tiga) daerah penambangan yaitu :
1.Pulau Gee dilaksanakan oleh PT. Minerina Bakti.2.TanjungBuli dilaksanakan oleh PT. Yudistira Bumi
Bhakti.3.Mornopo yang dilaksanakan oleh PT. Minerina Bakti.Endapan bijih nikel yang terdapat di Tanjung
Buli ini termasuk jenis endapan bijih Nikel “laterit” yang terbentuk dari hasil pelapukan ( Laterisasi )
batuanUltrabasa Peridotit. Sistem penambangan yang diterapkanoleh PT. Yudistira Bumi Bhakti adalah
sistem tambang terbuka ( Open Cut Mining ) dengan membuat jenjang( Bench ) sehingga terbentuk lokasi
penambangan yang sesuai dengankebutuhan penambangan. Metode penggalian dilakukan dengan cara
membuat jenjang serta membuang dan menimbun kembali lapisan penutup dengan cara back fillingdan
dengan sifat selective mining yang diterapkan per blokpenambangan serta menyesuaikan kondisi
penyebaran bijih nikel. Bijih yangakan ditambang ditetapkan berdasarkan cut of grade 1,2% nikel, Suhala
et al. (1995).Kegiatan penambangan yang dilakukan di perusahaan ini terdiri dari : pembabatan
( Clearing ), pengupasan Overburden ( Top Soil dan Limonit ), penggalian dan pengangkutan ( Saprolit )
dan pembuatan jenjang (bench). Ekstraksi bahan mineral dengan sistemtambang terbuka sering
menyebabkan terpotongnya puncak bukit dan menimbulkan lubang yang besar. Seperti halnya pada
tambang nikel, bila tidak dilakukan reklamasilahanpasca penambanganmaka akan menghasilkan relief
morfologi yang ekstrim , berupa bukit ataugundukan dan cekungan-cekungan besar. Pada waktu musim
hujan, cekunganbesar tersebut berubah menjadi danau. Dampak negatif pasca
penambangannikelterhadap kondisi fisik permukaan bumi seperti tersebut bertolak belakang dengan
kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan.

Sumberdaya mineral yang ada di Indonesia saat ini merupakan sumberpendapatan negara dan dapat
mengalahkan sektor ekonomi di tingkat masyarakat dan keberadaannyalebih banyak di kawasan hutan.
Hutan dan sumberdaya alam lain seperti tanah dan sumber-sumber air semestinya tidak boleh rusak
selama pasca penambangan. Sandy (1982), keinginan untuk menggalakkan kehidupanekonomi yang
dinamis demi kehidupan masyarakat umum, tidak berartidibolehkan mengorbankan kelestarian lingkungan.
Dalam kenyataannya, aktivitas sektor-sektor pertambangan di beberapa tempat atau lokasi sering
mendatangkan masalah berupa penurunan kualitas lingkungan.Menurut Lubis (1997), permasalahan
degradasi kualitas lingkungan yangdisebabkan oleh pertambangan, termasuk masalah melakukan
reklamasi lahanpascapenambangansudah menjadi isu nasional. Salah satu hal penting dalam aktivitas
industri penambangannikel dengan sistem tambang terbuka di Indonesiaadalah bagaimana melakukan
reklamasi lahan dan mengembalikan agarkelestarian lingkungan tetap terjaga.Perluasan daerah
penambangandibeberapa daerah di bagian timur Pulau Halmahera,makaluas wilayah yang akan
mengalami gangguan danlingkunganyangtercemar karena adanya kegiatan penambangan
yangmenghasilkan limbah dalam bentuk tailing atau limbah batuan akanbertambah.Reklamasi lahan pasca
penambangan merupakan kegiatan yangdiwajibkan oleh undang-undang.Pembangunan yang berwawasan
lingkungandan berkelanjutan, reklamasi lahan pasca penambangan merupakanbagianintegral dari usaha
pertambangan mutlak diperlukan. Keberhasilan reklamasi sangat tergantung dari sistem kebijakan
pemerintah, kesadaran manajemen, kemampuan perusahaan dan keterlibatan masyarakat.Di lain pihak
kemampuan perusahaan sangat tergantung pada banyak faktor, antara lain mineral yang di gali, keadaan
setempat, faktor lingkungan, kelayakan ekonomis, serta tersedianya dana. Semua faktor tersebut
merupakan faktorperencanaan yang harus dituangkan ke dalam suatu konsep reklamasi yang jelas dan
dapat dilaksanakan. Implementasi konsep reklamasi ini memerlukankebijaksanaan dan program reklamasi
tersendiri agar tujuan yang diinginkan oleh pemerintah, pengusaha dan masyarakat setempat dapat
tercapai.

1.2. Kerangka Pemikiran

Penambangan merupakan kegiatan yang diawali dengan eksplorasi dan diakhiri dengan pemurnian.
Ekstraksi mineral tersebut mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan dan lahan. Secara umum tanah
daerah penambangan memiliki fragmen batuan yang lebih banyak, bulkdensity dan porositas yang
bervariasi, kapasitas memegang air yang lebih rendah dibandingkan dengan tanah asli, sedangkan secara
kimia, tanah akibat penambangan memiliki pH yang relatif lebih masam,kandungan karbon dan nitrogen
lebih rendah, kandungan basa-basa yang lebihtinggi, tetapi kapasitas memegang unsur hara lebih rendah
dibandingkan dengan tanah asli. Hal ini mengakibatkan tanah kurang baik digunakan sebagai media
tumbuh tanaman dan tumbuhan,kecuali setelah melalui proses suksesi alami yang memerlukan waktu
bertahun-tahun(Bradshaw, 1983 dalam Badri,2004).Logam berat yang berada di batuan sisa dan tailing
juga berpotensi merusak pertumbuhan tanaman dan mengakibatkan kontaminasi air permukaan maupun
air tanah. Selain itu, kegiatan penambangan dan pemrosesan melakukan transportasi, penyimpanan dan
penggunaan berbagai bahan berbahaya, seperti bahan bakar, pelumas dan logam berat yang terkandung
di alam. Jika bahan-bahan ini tidak dikelola dengan baik, akan berpotensi mengkontaminasi tanah, air dan
sedimen serta menyebabkan resiko yang terus menerus terhadap kesehatan manusia dan lingkungan.
Untuk mengetahui kualitas lahan sekitar lokasi penambangan dapat digunakan parameter berupa dampak
penambangan pada tanah, air dan sedimen.Dampak tersebut di atas memerlukan suatuarahan strategi
kebijakanreklamasilahanpasca penambangan yang tepat. Selain itu perlu diingat bahwa reklamasi lahan
pasca penambanganmerupakan kepentingan masyarakat banyak sehingga tujuan reklamasi harus
mengakomodir aspek ekologi, ekonomi, sosial serta kelembagaan.

Untuk mendapatkan skenarioarahanstrategi kebijakanreklamasi lahan pasca penambangan nikel pada


lahan konsesiPT. AnekaTambang Tbk Unit Bisnis Pertambangan Nikel Daerah Operasi Maluku Utara
Kabupaten Halmahera Timurmaka digunakan pendekatan AnalyticalHierarchyProcess (AHP). AHP
merupakan metode yang memodelkan permasalahan yang tidak terstruktur seperti dalam bidang ekologi,
ekonomi, sosial dan kelembagaan. Pada dasarnya, AHP ini didesain untuk menangkap secara rasional
persepsi stakeholders yang berhubungan dengan permasalahan reklamasi lahan pascapenambangannikel,
melalui suatu prosedur yang di desain untuk sampai pada suatu skala preferensi diantara berbagai set
alternatif sehingga diperoleh output arahanstrategi kebijakan reklamasi lahan pasca penambangan yang
berkelanjutan.Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian Pengelolaan Lahan Pasca Penambangan Tanah
Air Sedimen Arahan Strategi Kebijakan Reklamasi Lahan Pasca Penambangan Yang Berkelanjutan
Ekologi Ekonomi Sosial Kelembagaan Penurunan Kualitas Lingkungan AHP Kualitas Lahan Rendah Lahan
Pasca Eksploitasi

1.3.Perumusan Masalah

Mekanisasi peralatan pada kegiatan penambangan telah menyebabkan skalakegiatan penambangan


semakin besar. Perkembangan teknologi pengelolaanmenyebabkan ekstraksi bijih nikel yang berkadar
rendah menjadi lebih ekonomis untuk di tambang, sehingga aktifitas penambangan menjadi semakin luas
dandalampada lapisan bumi yang harus di gali, hal ini menimbulkan dampak lingkungan yang sangat
besar. Seperti halnya aktivitas pertambangan lainnya di Indonesia,pertambangan nikel di PT.Aneka
Tambang Tbkyang dikerjakan oleh PT. Yudistira Bumi Bhaktitelah menimbulkan dampak kerusakan
lingkungan hidupseperti:(a) tanah menjadi miskin unsur hara, pH rendah, pemadatan, kemampuan tanah
menahan air rendah dan bakteri pengurai tidak ada, sehingga pertumbuhan tanaman pun lambat dan (b)
hilangnya vegetasi alami dan berubahnya ekosistem lingkungan yang menyebabkan erosi, sedimentasi,
run-off dan perubahan iklim mikro.Dampak lingkungan tersebut menimbulkan wacana yang mengarah
kepadaperencanaan pencegahan degradasi sumberdaya lahan lebih lanjut.Dua pertanyaan yang
diperlukan untuk menjawab wacana tersebut adalah:(a) bagaimana kondisi karakteristik lahan pasca
penambangan setelah berakhirnya masa penambangan dan (b) bagaimana arahanstrategi kebijakan
pengelolaanlahan yang tepat untuk memulihkan kondisi tanah pasca penambangan?

1.4. Tujuan Penelitian

Tujuan diadakannya penelitian ini adalah : 1.Mengetahui kondisi ekologi, ekonomi, sosial dan kelembagaan
pada daerahreklamasi lahan pasca penambangan.2.Menentukanarahanstrategi kebijakan reklamasi lahan
pasca penambangan.

1.5. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengetahui formulasi yang tepat dalam menetapkan arahan strategi
kebijakan reklamasi lahan pasca penambangan dan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi
semua stakeholders

dalam pengelolaan maupun pemanfaatan lahan pasca penambangan, sehingga akan tercapai pengelolaan
lingkungan dan sumberdaya lahan secara lestari dan berkelanjutan.

Masalah perair minuman di Indonesia

Air minum di Indonesia, atau bisa juga disebut sebagai air bersih, karena saat ini kita belum dapat
memenuhi kualitas air langsung minum. Berikut tulisan yang disampaikan oleh Poedjastanto dalam hal
pengembangan air minum di Indonesia.

A. Usulan Pemikiran Program Pengembangan Air minum sampai tahun 2014

1. Pengembangan kelembagaan secara Ad-Hoc, untuk lebih mengoperasionalisasikan sinkronisasi

tugas Interdep.
a. Mencermati budaya administrasi yang ada di Indonesia, nampaknya efektifitas dari suatu pola
administrasi lebih dimungkinkan dengan pembentukkan unit tugas yang spesifik ( Ad-Hoc), dan
fungsi koordinasi merupakan suatu sasaran tersendiri (bukan merupakan suatu proses yang terjadi
dengan sendirinya sebagai suatu konsekuensi pelaksanaan tupoksi dari suatu unit kerja). Fakta
inilah yang seringkali tidak disadari sehingga dibentuk suatu unit kerja dengan tugas spesifik ( task
force). Seperti misalnya pembentukkan BPPSPAM yang seharusnya tugas tersebut sudah melekat
secara implisit didalam unit struktural yang ada. Itupun dengan terbentuknya BPPSPAM yang
keanggotaannya mencakup berbagai stake holder ternyata masih memerlukan unit Ad-Hoc lainnya
agar anggota yang ada pada BPPSPAM mampu memberikan fungsi sebagaimana fungsi yang
diembannya.

a. Anggota yang mewakili pemerintah (semua instansi pemerintah yang berkaitan dengan perair-
minuman, jadi bukan hanya mewakili Kementerian PU saja). Dalam hal ini kami mengusulkan
suatu komite/tim koordinasi kebijakan air minum yang beranggotakan para pejabat eselon I dari
berbagai Departemen yang terkait dengan perair-minuman. Kepala tim koordinasi kami usulkan
dijabat oleh Dirjen Cipta Karya. Dengan demikian anggota yang mewakili pemerintah di BPPSPAM
mendapatkan arahan yang sudah terpadu dari kepala tim koordinasi kebijakan air minum. c.q.
Dirjen Cipta Karya.

b. Pembentukkan tim koordinasi kebijakan air minum ini menurut hemat kami sangat penting
karena merupakan keterpaduan kebijakan secara nasional yang :
- Data untuk kebijakan disiapkan oleh BPPSPAM,
- Data dari lapangan tersebut diperlukan untuk perumusan kebijakan nasional yang lebih
terpadu dalam bidang perair-minuman,
- Kebijakan yang telah terpadu berdasar data lapangan maupun masukan dari berbagai
Departemen dapat dilapokan secara utuh kapada Menteri PU.

c. Departemen yang terkait dengan perair-minuman dan mewakilkan pejabanya di tim koordinasi
kebijakan air minum adalah Departemen Kesehatan, Departemen Keuangan, Departemen Dalam
Negeri, Departemen Pariwisata dan Budaya, Departemen Sosial, Departemen Perindustrian, dan
Departemen Pertahanan.

d. Jadi unit Ad-Hoc adalah solusi ala Indonesia untuk menutup kelemahan budaya proses
koordinasi dari para administratur pemerintahan.

2. Perkuatan Dinas PU Cipta Karya di tingkat provinsi, kabupaten/kota dengan membentuk Sub
Dinas Air Minum.

Dengan adanya pembatasan jumlah dinas di Pemerintah Daerah, sementara kebutuhan adanya
dinas air minum sebagai aparat kepala daerah (sebagai regulator dan bukan operator) merupakan
salah satu alasan untuk disusunya Undang-undang Air Minum. Mengingat pentingnya
pembangunan sistem air minum bagi masyarakat diperkotaan maupun diperdesaan maka perlu di
pertimbangkan peningkatan eselon (di dinas PU) untuk urusan air minum dari eselon IV menjadi
eselon III.

Dengan adannya posisi struktural yang cukup ditingkat Pemda untuk urusan air minum,
diharapkan dapat menghentikan tata kerja pemerintah yang kurang tepat saat ini yaitu
menyerahkan perencanaan dan pembangunan air minum kepada PDAM yang seharusnya
berfungsi hanya sebagai operator dan bukan sebagai regulator,

3. Program kaderisasi Tenaga Ahli/pengembangan SDM Air Minum pada tingkat kabupaten/kota,
provinsi, maupun pusat.

Ketiadaan Tenaga Ahli dan terampil/SDM bidang air minum ditingkat Pemerintah Daerah, harus
segera diantisipasi dalam waktu secepatnya, yang salah satu kami usulkan adalah program
kaderisasi tenaga ahli dan terampil/SDM dalam bidang air minum dalam skala nasional yaitu
dengan beasiswa dan ikatan dinas melalui Departemen PU di Akademi/Sekolah Tinggi Teknik
Sapta Taruna dengan calon mahasiswa yang diperoleh melalui jalur PMDK dari SMU unggulan
yang ada didaerah. Lulusannya segera ditempatkan di Departemen PU atau Dinas PU untuk
mendapatkan pengalaman kerja yang cukup sebagai pelatihan/praktek.

4. Penyusunan Undang-undang Air Minum yang lebih komprehensif dan filosofis

Keterbatasan filosofi tentang air minum sebagai kebutuhan dasar dan hak asasi manusia dalam
Undang-undang Sumber Daya Air membawa dampak bahwa PP 16 tahun 2005 kurang
mendorong para pemangku kepentingan untuk tercapainya pelayanan air minum yang sesuai
dengan kebutuhan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat baik diperkotaan dan perdesaan.

5. Pembentukan BUMN Air Minum yang lebih menjamin keterjangkauan air minum bagi
masyarakat

a. Rendahnya nilai ekonomi air minum bagi sebagian besar masyarakat Indonesia telah membawa
dampak buruknya manajemen teknik maupun manajemen keuangan di BUMD/PDAM, terbatasnya
wilayah pelayanan dan kapasitas ekonomi masyarakat berakibat beratnya proses subsidi,

b. Rendahnya kepedulian Pemerintah Daerah untuk memberikan subsidi bagi pengembangan dan
pelayanan air minum kepada masyarakat didaerah (kabupaten/kota),

c. Kepedulian Pemerinta (pusat) tentang pengembangan sistem air minum dalam bentuk APBN
tidak diikuti oleh operator/pengelola sistem pelayanan air minum (melainkan diserah-terimakan
kepada BUMD/PDAM melalui Pemda, yang notabane kepedulian terhadap air minum sangat
terbatas/rendah),

d. Dengan pembentukan BUMN yang mempunyai wilayah operasi secara nasional ditambah
dengan kepedulian pemerintah yang diamanatkan oleh Undang-undang Dasar 1945 dan Undang-
undang Air Minum (yang harus disusun dan disetujui DPRRI), maka akan lebih memudahkan
proses subsidi yang dilakukan pemerintah sehingga keterjangkauan dan aksesibilitas air minum
bagi masyarakat menjadi lebih baik dan mudah

6. Penegasan kembali fungsi Departemen PU sebagai lembaga Pemerintah (Departemen) yang


menjadi pusat rujukan masalah teknik teknologis bidang ke-PU-an (yang dalam hal ini teknik
teknologi Air Minum).

a. Pendekatan pembangunan terutama bidang ke-PU-an mulai Pelita I sampai dengan Pelita VI
(mulai bidang perencanaan, perancangan dan konstruksi) yang dikerjakan oleh pihak swasta
selain membuka lapangan kerja, industri/jasa konstruksi, dan perputaran ekonomi tetapi juga
membawa dampak kurang terlatihnya SDM di Departemen PU dalam bidang teknik teknologis
khususnya air minum, kondisi ini kurang terantisipasi oleh manajemen dan diperberat dengan tidak
adanya penerimaan PNS di Departemen PU selama lebih dari 10 tahun sehingga praktis naluri,
keahlian dan keterampilan khususnya dalam bidang teknik teknologis khususnya air minum
menjadi sangat terbatas,

b. Tentu saja tidak seharusnya kita mengulangi/kembali pada cara-cara pembinaan kemampuan
substansial ke-PU-an pada para karyawan Departemen PU, karena :
- Diperlukan investasi yang sangat tinggi/penyediaan prasarana dan sarana
- Perlu waktu yang panjang (minimal 20 tahun)
- Selama lebih dari 25 tahun kita/Departemen PU telah membina dan mengembangakan industri/jasa
konstruksi bidang ke-PU-an (konsultan, pabrikan, pemasok, kontraktor)
- Kemajuan/perkembangan bidang teknik teknologis khususnya perair-minuman bukan monopoli
Departemen PU, tetapi juga dilakukan oleh kalangan swasta/dunia usaha
Oleh karena itu kami mengusulkan pengembangan konsep EPC ( Engineering Procurement Contractor ),
yang mana pekerjaan perencanaan dan/atau perancangan maupun konstruksi dilakukan oleh satu badan
usaha (BUMN, BUMD, dan BUS), bentuk ini juga disebut sebagai out put bast contract atau turn-key.

Untuk dapat terjadinya pembinaan konsep EPC tersebut, Kementerian PU perlu menyiapkan :

1. Tenaga fungsional ahli maupun terampil


2. Tenaga fungsional ahli maupun terampil diberi atau dibebani tugas-tugas manajerial substansial (detil
pekerjaan substansial dilakukan oleh pihak kedua atau swasta/konsultan, pabrikan, dan kontraktor)
3. Upaya untuk memberikan pelatihan/pengalaman kerja bagi para karyawan/pejabat fungsional ahli
pertama sampai dengan madya sebaiknya dimagangkan pada para stake holder di dunia usaha (konsultan
atau kontraktor), yang jika dimungkinkan dari perusahaan asing yang diharapkan terjadi transfer of
teknologi dan knowledge dan knewhow
4. Kementerian PU perlu melengkapi dokumen tender untuk EPC dan dokumen tatacara mengevaluasi
tender EPC
5. Memperkaya dan meningkatkan standar yang sesuai dengan kaidah-kaidah teknik serta
memperhitungkan kemampuan pembiayaannya oleh pemerintah dan cocok dengan kondisi sosial,
ekonomi dan budaya masyarakat.

c. Secara bertahap dilakukan pemetaan daerah wilayah yang mempunyai kondisi rawan air minum/KRAM
(untuk daerah yang sudah mempunyai sistem pelayanan air minum), dan Potensi Rawan Air Minum/PRAM
(untuk daerah atau wilayah yang belum mempunyai sistem pelayanan air minum) dan perlunya menyusun
peta daerah/wilayah tentang kondisi rawan air minum secara nasional. Peta ini sangat penting dalam
pemrograman pembangunan / penanganan air minum secara nasional pula.

Jadi pembangunan air minum tidak didasarkan semata-mata pada target jumlah kota ataupun prosentase
cakupan penduduk yang harus mendapatkan pelayanan air minum, karena pendekatan kebijakan yang
terdahulu didasarkan pada azas pemerataan dan mengarah pada supply-driven, hal mana tidak mengikuti
filosofi bahwa air minum adalah kebutuhan pokok manusia yang seharusnya berbentuk demand-driven
yang indikatornya adalah kerawanan akan air minum. Diharapkan dalam 5 tahun ke muka (sampai dengan
2014) daerah/wilayah yang termasuk KRAM sudah terselesaikan secara menyeluruh dan baik, sehingga
dengan sendirinya :
• Cakupan penduduk yang dapat
pelayanan air minum prosentasenya akan
meningkat dan didasarkan pada kebutuhan
akan air minum yang merupakan
kebutuhan pokok (dan bukan didasarkan
pada peningkatan cakupan pelayanan
semata tanpa memperhatikan
daerah/wilayah mana yang benar-benar
membutuhkan ketersediaan air minum
secara baik.

• Diharapkan tidak terjadi lagi kasus dan


penanganan yang sporadis serta tergesa-
gesa tentang kerawanan air
minum/kekeringan (apalagi pengertian kekeringan seringkali kurang disadari bahwa yang dimaksud
dengan kekeringan adalah terminologi Ditjen SDA yang secara historis tradisional lebih mendukung
ketersediaan air untuk pengairan / persawahan dan bukan untuk kebutuhan air minum).

Perihal terminologi KRAM ini akan kami laporkan secara khusus sebagai tulisan kami yang telah kami
mulai sejak tahun 2005 (masih menjabat sebagai Direktur Pengembangan Air Minum), tetapi nampaknya
sampai saat ini hal tersebut belum dilanjutkan/dituntaskan oleh Direktorat Pengembangan Air Minum.

7. Memperkaya/memperbanyak standar dan pedoman teknik (dalam hal ini air minum, misalnya
tentang standar harga air minum untuk setiap jenis sistem penyediaan air minum dengan variasi
besaran kapasitas dan kualitas air minum yang dihasilkan.

Perlu dipikirkan untuk membuat standar kualitas air minum yang mempunyai peringkat, mengingat bahwa
kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat di setiap wilayah berbeda-beda (Perdesaan, IKK, Kota
Kecil, Kota sedang, Kota Besar dan Metro); standar ini dikeluarkan oleh menteri kesehatan atas usulan dan
pemikiran Kementerian PU yang telah mempertimbangkan keterjangkauan kemampuan teknik teknologis
yang tersedia di Indonesia.

Hal ini menurut hemat kami perlu segera disusun adalah standar harga air minum nasional (harga air
minum yang dihitung berdasarkan besaran investasi dan biaya operasi pemeliharaan tahunan nya,
berdasarkan prinsip-prinsip ekonomi teknik; belum memperhitungkan besaran profit untuk operator/BUMD,
BUMN, BUS).

Harga air minum nasional ini sebaiknya segera ditetapkan oleh Menteri PU sebagai Menteri yang
mempunyai tugas dan kompetensi dalam pengembangan sistem air minum nasional dan untuk mencegah
terjadinya negosiasi antara Pemerintah Daerah dengan calon operator/investor secara irasional (operator
mengusulkan harga yang terlalu tinggi sedangkan Pemda mengusulkan harga yang terlalu rendah karena
ketiadaan standar harga air minum yang dapat dipedomani).

Harga air minum nasional ini harus dapat diformulasikan berdasarkan kualitas sumber air, jarak sumber air
dan unit produksi air ke daerah pelayanan serta besaran kapasitas.
8. Mengusulkan kepada Menteri yang mengurusi bidang kesehatan masyarakat (Menteri Kesehatan)
tentang standar kualitas air minum yang lebih terjangkau dari sisi teknik teknologis dan sosial
ekonomi budaya masyarakat.

Khusus mengenai standar kualitas air minum Indonesia menurut hemat kami sangat penting untuk segera
ditindak lanjuti oleh Menteri yang mengurusi kesehatan masyarakat (Menteri Kesehatan) atas usulan
Menteri PU, hal ini untuk mencegah terjadinya over invesment karena teknologi yang diterapkan terlalu
canggih untuk menghasilkan suatu kualitas air minum yang tidak dibutuhkan oleh masyarakat
penggunannya (tidak sepadan dengan kondisi sosekbud masyarakat).

Juga untuk mencegah pengertian yang berlebihan dari para investor swasta untuk air minum (karena
dalam standar kualitas air minum Indonesia saat ini yang dikeluarkan oleh Menteri Kesehatan sangat
kurang mempertimbangkan keterjangkauan teknik teknologis Indonesia dan sangat mirip dengan standar
kualitas air minum di negara-negara maju/Eropa dan Amerika yang kondisi sosekbud-nya sangat jauh
berbeda dengan masyarakat di Indonesia).

9. Sebaiknya Kementerian PU mulai mempelopori aplikasi teknologi membran untuk pengolahan air payau,
air asin, dan air laut.

a. Pembangunan sistem pelayanan air minum di Indonesia yang sudah dilakukan sejak 35 tahun terakhir
ini berakibat sudah terpakainya sumber-sumber air baku yang layak dan terjangkau secara ekonomi teknik
bagi masyarakat, hal ini berakibat sumber-sumber air baku yang layak secara teknoekonomis sudah
semakin langka (harus memanfaatkan sumber air baku yang sangat jauh dari daerah pelayanan sehingga
membutuhkan investasi pipa transmisi yang sangat tinggi),

b. Lamban dan rumitnya mekanisme sumber-sumber air baku yang juga mengakibatkan menurunnya debit
air baku yang dapat diambil untuk penyediaan air minum,

c. Panjangnya garis pantai di Indonesia dan kesulitan baik geografis maupun sosekbud masyarakat pesisir
dan masyarakat di pulau terluar mendorong kita/Departemen PU untuk segera mengembangkan teknologi
pengolahan air payau (di muara sungai), air asin, dan air laut (ada banyak teknologi proses yang sudah
dikembangkan diluar Departemen dan tidak atau belum dikembangkan oleh Kementerian PU, salah satu
misal adalah teknologi membran), sebenarnya dengan konsep EPC sebagaimana telah kami sampaikan
pada butir 6 diatas perlu segera dikembangkan program penyediaan air minum di 10.000 desa
pesisir/nelayan dan 17.000 pulau kecil/pulau terluar.

Program ini akan menjadi program yang sangat strategis dari Kementerian PU bukan saja ditinjau dari
aspek peningkatan kesejahteraan rakyat tetapi juga aspek perekonomian baik mikro maupun makro dan
dari aspek ketahanan nasional.

10. Intensifikasi pengembangan sistem air minum di daerah perbatasan dan pulau-pulau terluar.

Butir ini adalah sasaran jangka menengah sampai dengan 2014 sebagai kelanjutan implementasi program
yang kami usulkan pada butir 9 diatas, karena apabila butir 9 diatas dapat di implementasikan maka kita
segera mempunyai laboratorium lapangan yang realistik dan dapat dilakukan penelitian oleh Balitbang
Kementerian PU yang bekerja sama dengan berbagai pakar/peneliti yang ada di banyak perguruan tinggi
di Indonesia.

B. Usulan Pemikiran Program 100 hari Bidang Air Minum bagi Presiden SBY :

1. Program penyediaan air minum desa pesisir seluruh indonesia (kurang lebih 10.000 desa pesisir)
dengan aplikasi teknologi membran energi rendah dan sumber energi alternatif (sinar matahari dan
angin),

2. Peningkatan Kapasitas Produksi dengan cara Up – Rating dan/atau ekstensifikasi Kapasitas


Produksi Sistem Penyediaan Air Minum Kota Metro/Besar,

3. Peningkatan Efisiensi Sistem Air Minum Kota Metro/Besar dengan cara menekan angka kebocoran
menjadi maksimal 40 % melalui KPS dengan konsep Profit Sharing,

4. Program Air Minum Kawasan Perbatasan dan Pulau Terluar,

5. Penyusunan RUU Air Minum dengan penyiapan kajian akademik dan materi rancangan itu sendiri,

Anda mungkin juga menyukai