Anda di halaman 1dari 74

ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG BAGI HASIL PENGELOLAAN

LAHAN PARKIR OBJEK WISATA


(Studi di Pantai Sebalang Lampung Selatan)

SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana S-1 dalam Ilmu Syariah

Oleh:

SELLY SELVIANA
NPM. 1721030411
Program Studi: Hukum Ekonomi Syariah (Muamalah)

FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
RADEN INTAN LAMPUNG
1442 H / 2021 M
ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG BAGI HASIL PENGELOLAAN
LAHAN PARKIR OBJEK WISATA
(Studi di Pantai Sebalang Lampung Selatan)

Skripsi
Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Guna
Memperoleh Gelar Sarjana S-1 dalam Ilmu Syariah

Oleh:

SELLY SELVIANA
NPM. 1721030411

Program Studi : Hukum Ekonomi Syariah (Muamalah)

Pembimbing I : Dr. Liky Faisal, S.Sos., M.H


Pembimbing II: Frenki, M.Si

FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
RADEN INTAN LAMPUNG
1442 H / 2021 M
ii

ABSTRAK

Seiring dengan berkembangnya objek wisata pantai sebalang membuat para


pengunjung bertambah hal ini menyebabkan terjadinya praktik bagi hasil pengelolaan
lahan parkir antara pihak pemilik lahan dengan pengelola lahan parkir. Sistem yang
digunakan ialah mudharabah, dimana diperjanjikan adanya pembagian hasil atas
keuntungan dan kerugian yang akan didapat antara kedua belah pihak. Bagi hasil
pengelolaan lahan parkir objek wisata antara pihak pemilik dan pengelola lahan
parkir dalam hal keuntungan dibagi dua dengan presentase 30% pemilik lahan dan
70% pihak pengelola yang terdiri dari 3 orang, sedangkan jika terjadi kerugian
maka kerugian tersebut akan ditanggung oleh pihak pengelola saja.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana pelaksanaan
kerjasama sistem bagi hasil pengelolaan lahan parkir objek wisata pantai sebalang
serta bagaimana analisis hukum Islam tentang bagi hasil pengelolaan lahan parkir
objek wisata pantai sebalang ditinjau menurut akad mudharabah. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui pelaksanaan kerjasama sistem bagi hasil
pengelolaan lahan parkir objek wisata pantai sebalang dan untuk mengetahui
analisis hukum Islam tentang bagi hasil pengelolaan lahan parkir objek wisata
pantai sebalang. Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research)
yang dilakukan di lahan parkir objek wisata pantai sebalang. Sumber data yang
penulis gunakan adalah terdiri dari sumber data primer yaitu data yang diperoleh
dari hasil wawancara dan observasi dari kedua belah pihak yaitu pemilik lahan
dan pengelola dan sumber data sekunder yaitu data yang diperoleh melalui buku-
buku yang berkaitan dengan penelitian ini. Setelah data terkumpul, selanjutnya
akan dianalisis dengan kualitatif melalui cara berfikir induktif.
Berdasarkan hasil penelitian, praktek pelaksanaan sistem bagi hasil yang
dilakukan oleh pemilik dan pengelola lahan sudah sesuai karna telah memenuhi
kesepakatan yang telah ditentukan dan pada kerjasama tersebut tidak adanya
unsur paksaan dan gharar (penipuan). Akan tetapi secara hukum Islam praktik
bagi hasil dalam pengelolaan lahan parkir objek wisata pantai sebalang tersebut
tidak sah atau tidak sesuai dengan hukum Islam karena bertentangan dengan
sistem mudharabah yang melanggar prinsip keadilan.

Kata Kunci : Bagi Hasil, Hukum Islam, Parkir.


iii

MOTTO

َ‫ض ِ ّم ْن ُك ْم َوال‬ َ ً ‫يَأَيُّ َها اُلّذِينَ َءا َمنُواْالَتَأ ْ ُكلُ َواْ أَ ْم َولَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِا ُ ْلبَ ِط ِل ا آَِّل أَ ْن تَ ُك ْونَ تِ َجا َرة‬
ٍ ‫ع ْن ت ََرا‬

َ ُ‫تَ ْقتُلُ ْوا اَ ْنف‬


‫س ُك ْم ا آِن هللاَ َكانَ بِ ُك ْم َر ِح ْي ًما‬

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan
suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”.
(QS. An-Nisa: 29)
iv

PERSEMBAHAN

Seiring doa dan ucapan syukur kehadirat Allah SWT, kupersembahkan


karya tulis ini kepada:
1. Kedua Orang Tuaku tercinta, Ayah (Sakroni) dan Ibu (Rosmini) yang telah
bersusah payah membesarkanku, memberikan cinta dan kasih sayangnya,
mendidik dan selalu mendoakan untuk keberhasilanku.
2. Kedua kakak tercintaku Wulan Mandasari, S.E.I dan Fitriyani, S.H
3. Almamater Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung.
v

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Bandar Lampung pada tanggal 25 Agustus

1999, merupakan anak ke-3 dari 3 bersaudara dari pasangan Bapak Sakroni dan

Ibu Rosmini.

Riwayat Pendidikan:

1. SD Negeri 1 Harapan Jaya, lulus dan berijazah pada tahun 2011

2. SMP Negeri 21 Bandar Lampung, lulus dan berijazah pada tahun 2014

3. SMA Negeri 12 Bandar Lampung, lulus dan berijazah pada tahun 2017

4. Masuk UIN Raden Intan Lampung sejak 2017 hingga sekarang pada Fakultas

Syariah.
vi

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum. Wr.Wb

Alhamdulillah puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberi

rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan

judul “Analisis Hukum Islam Tentang Bagi Hasil Pengelolaan Lahan Parkir

Objek Wisata (Studi di Pantai Sebalang Lampung Selatan)”. Sholawat dan

salam kita sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW dan sahabatnya, semoga

kita mendapat syafaatnya pada hari kiamat nanti.

Skripsi ini ditulis sebagai salah satu persyaratan untuk menyelesaikan studi

pada program Strata Satu (S1) Jurusan Hukum Ekonomi Syariah (Muamalah),

Fakultas Syariah UIN Raden Intan Lampung guna memperoleh gelar Sarjana

Hukum (S.H) dalam bidang ilmu syariah.

Atas bantuan dan dukungan dari banyak pihak yang terlibat dalam proses

penulisan skripsi ini, penulis berkesempatan ingin mengucapkan terima kasih

kepada:

1. Prof. Dr. H. Moh. Mukri, M.Ag selaku Rektor Universitas Islam Negeri

Raden Intan Lampung yang telah memberikan kesempatan kepada penulis

menimba ilmu pengetahuan di kampus tercinta ini.

2. Dr.H. Khairuddin Tahmid, M.H. selaku Dekan Fakultas Syariah Universitas

Islam Negeri Raden Intan Lampung.

3. Khoiruddin, M.S.I selaku Ketua Jurusan Hukum Ekonomi Syariah

(Muamalah).
vii

4. Dr. Liky Faisal, S.Sos., M.H. selaku Pembimbing I dan Frenki, M.Si selaku

Pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu dalam membimbing,

mengarahkan, dan memotivasi hingga skripsi ini selesai.

5. Para dosen Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung

yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis selama menuntut

ilmu di Fakultas Syari’ah khususnya Jurusan Muamalah.

6. Lee Min Ho, Park Jimin dan Kim Jong-in terimakasih selalu menjadi

penghibur dan penyemangat dalam mengerjakan skripsi ini.

7. Kim Namjoon, Kim Seokjin, Min Yoon Gi, Jung Ho Seok, Park Jimin, Kim

Taehyung, Jeon Jungkook terimakasih karena telah memberi inspirasi kepada

penulis untuk menulis skripsi ini dan juga lagu lagu kalian yang membuat

penulis tidak merasa bosan saat menyusun skripsi.

8. Aktor dan aktris Korea yang telah bekerja keras dalam drama sehingga dapat

mengurangi rasa jenuh penulis saat menyusun skripsi.

9. Untuk sahabatku Ismawati, Dwi Sheha Savira, Inge Laurenza, Novita

Anggriyani, Hendra Pratama dan Bagus Satria terimakasih atas doa,

dukungan, bantuan, dan dorongan semangat yang telah diberikan.

10. Teman-teman seperjuangan khususnya Muamalah F angkatan 2017

Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak terlepas dari kesalahan dan jauh

dari kata sempurna, oleh karena itu penulis meminta maaf atas segala kekurangan

yang ada. Semoga skirpsi ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua dan
viii

semoga Allah SWT memberikan balasan terbaik atas segala bantuan yang telah

diberikan.

Bandar Lampung, 14 Juni 2021


Penulis

Selly Selviana
ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ......................................................................................


ABSTRAK ..................................................................................................... ii
HALAMAN PERSETUJUAN ......................................................................
PENGESAHAN ..............................................................................................
MOTTO .........................................................................................................iii
PERSEMBAHAN..........................................................................................iv
RIWAYAT HIDUP ....................................................................................... v
KATA PENGANTAR ...................................................................................vi
DAFTAR ISI ..................................................................................................ix
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1


A. Penegasan Judul ................................................................................ 1
B. Latar Belakang Masalah ................................................................... 2
C. Fokus dan Sub-Fokus Penelitian ....................................................... 5
D. Rumusan Masalah ............................................................................. 5
E. Tujuan Penelitian .............................................................................. 5
F. Manfaat Penelitian ............................................................................ 6
G. Kajian Penelitian Terdahulu yang Relevan....................................... 6
H. Metode Penelitian ............................................................................. 8
I. Sistematika Pembahasan .................................................................. 13

BAB II LANDASAN TEORI ...................................................................... 16


A. Mudharabah ..................................................................................... 16
1. Pengertian Mudharabah............................................................... 16
2. Dasar Hukum Mudharabah ......................................................... 18
3. Jenis Mudharabah ........................................................................ 21
4. Rukun dan Syarat Mudharabah ................................................... 25
5. Kedudukan Mudharabah ............................................................. 31
6. Prinsip Mudharabah .................................................................... 32
7. Hukum Mudharabah .................................................................... 36
8. Hikmah Mudharabah ................................................................... 41
9. Perselisihan Antara Pemilik dan Mudharib ................................. 42
10. Perkara Yang Membatalkan Mudharabah ................................... 46
B. Parkir ................................................................................................ 50
1. Pengertian Pakir .......................................................................... 50
2. Jenis-Jenis Parkir ......................................................................... 52
x

BAB III DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN ........................................... 57


A. Gambaran Umum Objek Penelitian ................................................. 57
1. Sejarah Berkembangnya Pantai Sebalang ................................... 57
2. Letak Geografis Pantai Sebalang ................................................ 58
3. Visi Misi Pantai Sebalang ........................................................... 58
B. Praktek Kerjasama Bagi Hasil Pengelolaan Lahan Parkir Objek
Wisata Pantai Sebalang .................................................................... 58

BAB IV ANALISIS PENELITIAN ............................................................ 65


A. Pelaksanaan Kerjasama Bagi Hasil Antara Pemilik dan
Pengelola Lahan Parkir Objek Wisata Pantai Sebalang ................ 65
B. Analisis Hukum Islam Tentang Bagi Hasil Pengelolaan Lahan
Parkir Objek Wisata Pantai Sebalang ............................................ 67

BAB V PENUTUP ........................................................................................ 73


A. Simpulan ........................................................................................ 73
B. Rekomendasi ................................................................................. 73

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Penegasan Judul

Sebagai kerangka awal guna mendapatkan gambaran yang jelas dan

memudahkan untuk mendapatkan penjelasan dalam memahami skripsi ini,

maka perlu adanya uraian penegasan arti dan makna dari beberapa istilah

yang terkait dengan judul skripsi. Dengan adanya penegasan tersebut

diharapkan tidak terjadi kesalahpahaman terhadap makna judul yang

digunakan, langkah merupakan proses penekanan terhadap pokok

permasalahan yang akan dibahas.

Adapun judul skripsi ini adalah “Analisis Hukum Islam Tentang

Bagi Hasil Pengelolaan Lahan Parkir Objek Wisata (Studi di Pantai

Sebalang Lampung Selatan). Selanjutnya ada beberapa istilah yang dapat

dijelaskan sebagai berikut:

Analisis adalah penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan

penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian untuk memperoleh

pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan.1

Hukum Islam adalah seperangkat aturan yang berisi hukum-hukum

syara’ yang bersifat terperinci, yang berkaitan dengan perbuatan manusia

1
Arti kata Analisis “Kamus Besar Bahasa Indonesia KKBI”, tersedia di
https://kbbi.web.id/analisis (01 November 2020)
2

yang dipahami dan digali dari sumber-sumber (al-Quran dan hadis) dan dalil-

dalil syara’ lainnya (berbagai metode ijtihad).2

Bagi hasil (al-mudharabah) adalah akad kerjasama antara dua orang

atau lebih, dimana pihak pertama sebagai pemilik modal dan pihak kedua

sebagai pengelola, dengan ketentuan bahwa keuntungan dibagi antara mereka

sesuai dengan kesepakatan yang telah ditentukan bersama.3

Pengelolaan adalah proses yang memberikan pengawasan pada semua

hal yang terlibat dalam pelaksanaan kebijakan dan pencapaian tertentu. Lahan

parkir merupakan suatu tempat menempatkan atau memangkal dengan

menghentikan suatu kendaraan bermotor maupun tidak bermotor di suatu

tempat pada jangka waktu tertentu.4

Objek wisata adalah sebuah tempat rekreasi atau tempat untuk

berwisata. Pantai adalah bentuk geografis yang terdiri dari pasir, dan terdapat

di daerah pesisir laut.5

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa analisis

hukum Islam tentang bagi hasil pengelolaan lahan parkir objek wisata adalah

menganalisis cara pelaksanaan bagi hasil antara pemilik lahan dengan

pengelola lahan parkir di pantai sebalang berdasarkan syariat Islam.

B. Latar Belakang Masalah

Islam merupakan ajaran yang syamil (integral), kamil (sempurna),

dan mutakamil (menyempurnakan), karena permasalahan yang dibahas

2
Abd Rahman Dahlan, Ushul Fiqh (Jakarta: Amzah, 2014), 15.
3
Rachmat Syafei, Fiqh Muamalah (Bandung: Pustaka Setia, 2001), 224.
4
Warpani S, Rekayasa Lalu Lintas (Jakarta: Bhatara Karya Aksara, 1990).
5
Arti kata Pantai “Kamus Besar Bahasa Indonesia KKBI”, tersedia di
https://kbbi.web.id/pantai (01 November 2020)
3

menyeluruh pada semua sendi kehidupan. Pembahasan dalam Islam

mencangkup semua aspek tidak terkecuali muamalah. Kehidupan manusia

sebagai mahluk sosial tidak bisa dipisahkan dari kegiatan ekonomi atau dalam

Islam disebut muamalah. Muamalah adalah semua akad yang membolehkan

manusia saling tukar-menukar barang atau sesuatu yang bermanfaat dengan

cara-cara yang telah ditetukan yang juga memiliki peranan penting untuk

menjaga kesetabilan hidup berbangsa dan bernegara.6

Indonesia merupakan negara dengan garis pantai terpanjang di dunia

yang memiliki potensi pada sektor pariwisata dan sumber daya laut untuk

menunjang ekonomi masyarakatnya. Salah satu daerah di Indonesia yang

memiliki potensi tersebut adalah Lampung.

Lampung sebagai salah satu provinsi yang ada di pulau Sumatera,

tepatnya berada di ujung selatan pulau Sumatera menjadikan Lampung daerah

yang strategis karena berbatasan langsung dengan selat sunda yang

merupakan penghubung lalu lintas dari pulau Sumatera dan pulau Jawa.

Berdasarkan segi geografis Lampung hampir sebagian besar

wilayahnya dikelilingi pantai yang menjadikan hal tersebut sebagai salah satu

daya tarik pariwisatanya. Pantai-pantai yang memiliki keindahan dan sudah

banyak menarik wisatawan ke Lampung salah satunya yaitu pantai sebalang.

Pantai sebalang adalah objek wisata tepi laut yang berada di Desa

Tarahan, Kecamatan Ketibung, Kabupaten Lampung Selatan. Daya tarik

wisata ini terletak pada pepohonan yang ada ditengah laut dan dilengkapi

6
Ibid., 15.
4

fasilitas-fasilitas yang disediakan seperti bean bag, kursi dan meja di area

pasir seberang jalan guna untuk menikmati pemandangan.

Seiring meningkatnya perkembangan pantai sebalang membuat

pengunjung atau pemakai kendaraan bertambah yang menimbulkan terjadinya

kepadatan untuk akses keluar masuk kendaraan maka tempat objek wisata

menyediakan lahan parkir untuk menampung atau penitipan kendaraan yang

bersifat berhenti sementara.

Terdapat praktik bagi hasil dalam pengelolaan lahan parkir di pantai

sebalang yang merupakan salah satu bentuk kegiatan muamalah yaitu praktik

mudharabah.7 Mudharabah adalah kerjasama antara dua atau lebih, dimana

pihak pertama sebagai pemilik modal dan pihak kedua sebagai pengelola,

dengan ketentuan bahwa keuntungan dibagi antara mereka sesuai dengan

kesepakatan yang telah ditentukan bersama.8

Bagi hasil lahan parkir sangat diminati oleh warga setempat karena

latar belakang warga sebagian besar adalah masyarakat memiliki pekerjaan

tetapi tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan mereka

ingin mensejahterakan keluarga dengan cara bekerja menjadi tukang parkir.

Perjanjian bagi hasil yang dilakukan antara pengelola lahan parkir

dengan pemilik lahan dilakukan secara lisan dan dalam perjanjian tersebut

jika terdapat keuntungan maka akan dibagi dua sesuai dengan ketentuan yang

telah ditetapkan sedangkan apabila terjadi kerugian maka kerugian tersebut

akan ditanggung pihak pengelola saja.


7
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah Cet. Ke-1 (Jakarta: Kencana, 2012),
195.
8
Rachmat Syafei, Fiqh Muamalah (Bandung: Pustaka Setia, 2001), 224.
5

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan, maka penulis

tertarik untuk meneliti permasalahan bagi hasil ini dengan penelitian yang

berjudul analisis hukum Islam tentang bagi hasil pengelolaan lahan parkir

objek wisata (studi di pantai sebalang Lampung Selatan)”.

C. Fokus dan Sub-Fokus Penelitian

Fokus penelitian dalam penulisan ini ialah terletak dalam bagi hasil

pengelolaan lahan parkir objek wisata pantai sebalang. Fokus penelitian

tersebut kemudian dijabarkan menjadi sub-fokus yaitu pelaksanaan kerjasama

sistem bagi hasil pengelolaan lahan parkir objek wisata pantai sebalang dan

analisis hukum Islam tentang bagi hasil pengelolaan lahan parkir objek wisata

pantai sebalang.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah, maka dapat ditarik

rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pelaksanaan kerjasama bagi hasil pengelolaan lahan parkir

objek wisata pantai sebalang Lampung Selatan ?

2. Bagaimana analisis hukum Islam tentang bagi hasil pengelolaan lahan

parkir objek wisata pantai sebalang Lampung Selatan ?

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan pokok permasalahan yang telah

diuraikan, maka penelitian ini mempunyai tujuan antara lain:

1. Untuk mengetahui pelaksanaan kerjasama bagi hasil pengelolaan lahan

parkir objek wisata pantai sebalang.


6

2. Untuk mengetahui analisis hukum Islam tentang bagi hasil pengelolaan

lahan parkir objek wisata pantai sebalang.

F. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Manfaat Praktis

Penelitian ini merupakan salah satu syarat bagi peneliti untuk

memenuhi tugas akhir guna mendapatkan gelar sarjana hukum pada

Jurusan Muamalah Fakultas Syariah UIN Raden Intan Lampung.

b. Manfaat Teoritis

Penelitian ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan dan

diharapkan mampu memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai

analisis hukum Islam tentang bagi hasil pengelolaan lahan parkir objek

wisata pantai sebalang. Serta diharapkan dapat menambah wawasan

penulis dan pembaca menjadi lebih baik, sehingga proses pengkajian akan

terus berlangsung dan memperoleh hasil yang maksimal.

G. Kajian Penelitian Terdahulu Yang Relevan (Studi Pustaka)

Untuk menunjukan keaslian penelitian dan menghindari terjadinya

kesamaan dan duplikasi dalam penelitian serta sebagai pertimbangan dalam

mencari bahan acuan. Berikut ini adalah beberapa hasil penelitian yang

memiliki keterkaitan dengan penelitian yang akan diteliti oleh penulis, yaitu :

Pertama, skripsi dari Melinda pada tahun 2015 yang berjudul

“Tinjauan Hukum Islam Tentang Praktik Kerja Sama Bagi Hasil Antara

Pemilik Modal Dengan Pengelola”. Teori yang digunakan ialah akad dan
7

konsep mudharabah. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa dalam

penerapanya terdapat penyimpangan dari ketentuan perjanjian awal. Dalam

perjanjian awal tidak disebutkan bahwa perubahan kewajiban pemilik modal

membayar gaji karyawan dan sewa bangunan berpindah menjadi kewajiban

pengelolaan dan tidak adanya perubahan presentase bagi hasilnya. Adanya

perubahan tersebut tidak sesuai dengan syariat Islam, tanpa adanya

kesepakatan kedua belah pihak, yang menyebabkan kerugian bagi salah satu

pihak dan termasuk perbuatan dzalim, sehingga tidak sesuai dengan ketentuan

hukum Islam bahwa bermuamlah harus adil dan atas keridhan kedua belah

pihak.9

Kedua, Jurnal dari Nur Reyztafirigi Andayani pada tahun 2020 yang

berjudul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Bagi Hasil Dalam Perjanjian

Kerjasama Peternakan Sapi”. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa

masyarakat yang melakukan kerjasama tersebut seringkali merujuk pada

kebiasaan yang sudah lama dilakukan. Akan tetapi dalam pelaksanaanya

terdapat konsep kerjasama yang sudah jelas dan dibenarkan oleh syara.10

Ketiga, Jurnal dari Israh Maudya Makmur pada tahun 2020 yang

berjudul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Sistem Bagi Hasil Masyarakat

Nelayan”. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa mengenai sistem bagi hasil

belum sepenuhnya berjalan dengan adil. Pemilik modal (papalele)

memberikan dana kepada pinggawa dipergunakan untuk menangkap telur

9
Melinda, “Tinjauan Hukum Islam Tentang Praktik Kerja Sama Bagi Hasil Antara
Pemilik Modal Dengan Pengelola”. Skripsi, Bandar Lampung: Jurusan Muamalah Fakultas
Syariah UIN Raden Intan Lampung, 2019.
10
Nur Reyztafirigi Andayani, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Bagi Hasil Dalam
Perjanjian Kerjasama Peternakan Sapi”. Jurnal. Vol. 2 No. 3, 2020.
8

ikan, dengan sistem pembagian 30% bagi papalele dan 70% dibagi untuk

pinggawa dan sawi. Namun apabila pinggawa dan sawi tidak mendapatkan

keuntungan dari penjualan tangkapan telur ikan, maka pinggawa dan sawi

tidak mendapatkan uang sepeserpun bahkan mereka memiliki hutang kepada

pemilik modal untuk membayar kerugian yang diperoleh.11

Dari ketiga studi pustaka di atas, fokus masalah yang penulis teliti

merupakan tindak lanjut dari karya tulis yang berhubungan dengan bagi hasil

lahan parkir. Dalam skripsi yang berjudul analisis hukum Islam tentang bagi

hasil pengelolaan lahan parkir objek wisata ini bertitik fokus pada perjanjian

dan praktik bagi hasil (mudharabah) pengelolaan lahan parkir menurut hukum

Islam.

H. Metode Penelitian

Sutrisno Hadi dalam bukunya mengatakan metode penelitian adalah

suatu penemuan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan

usaha yang mana dilakukan dengan jalan menggunakan metode ilmiah.12

1. Jenis dan Sifat Penelitian

a. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk kedalam jenis penelitian lapangan (field

research) dan penelitian kepustakaan. Jenis penelitian lapangan adalah

penelitian yang bertujuan untuk mengumpulkan data dari lokasi atau

lapangan. Dalam hal ini penulis terjung langsung ke lapangan guna

melihat sendiri praktik bagi hasil pengelolaan lahan parkir di pantai


11
Israh Maudya Makmur yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Sistem Bagi
Hasil Masyarakat Nelayan”.Jurnal. Vol 2, No. 2, 2020.
12
Sutrisno Hadi, Metodologi Research Jilid I (Yogyakarta: Andi Offset, 1983), 190.
9

sebalang. Jenis penelitian kepustakaan (library research) yakni suatu

penelitian yang dilakukan dengan cara pengumpulan buku-buku

literatur dan mempelajarinya.13

b. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu menganalisa apa

yang saat ini berlaku atau gambaran mengenai realita, sifat-sifat dengan

mencatat, mengalisa dan menginterprestasikan kondisi yang saat ini

sedang terjadi.14 Penelitian ini akan menjelaskan atau menggambarkan

secara tepat dan sederhana yang berkaitan dengan bagi hasil

pengelolaan lahan parkir objek wisata pantai sebalang.

2. Data dan Sumber Data

Data adalah kumpulan fakta yang diperoleh dari hasil riset,

pengamatan atau penelitian suatu objek. Sumber data adalah subjek dari

mana data itu diperoleh.

Penelitian ini menggunakan 2 data yaitu:

a. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari

responden atau objek yang diteliti.15 Sumber data primer adalah pihak-

pihak yang terkait dalam pelaksanaan praktik bagi hasil pengelolaan

lahan parkir objek wisata pantai sebalang yaitu pihak pemilik dan

pengelola.

13
Ahmadi Ahmad Anwar, Prinsip-prinsip Metodologi Research (Yogyakarta: Sumbangsi,
1975), 2.
14
Kaelan, Metode Kualitatis Bidang Filsafat (Yogyakarta: Paradigma, 2005), 58.
15
Cholid Narbuko, Abu Achmadi, Metode Penelitian (Jakarta: Bumi Aksara, 2015), 70.
10

b. Data Sekunder

Data sekunder yaitu data yang diperoleh peneliti secara tidak

langsung. Dalam penelitian ini yang menjadi sumber data sekunder

adalah al-Qur’an, as-Sunnah, kitab-kitab fikh, buku, literatur, jurnal,

serta situs di internet yang memiliki hubungan erat dengan penelitian

bagi hasil pengelolaan lahan parkir.16

3. Informan

Informan merupakan subjek penelitian yang dapat memberikan

informasi mengenai permasalahan yang diangkat dalam penelitian. Dalam

penelitian ini informan terbagi menjadi 2 yaitu:

a. Informan Kunci

Informan kunci adalah informan yang memiliki informasi secara

menyeluruh tentang permasalahan yang diangkat oleh peneliti. Dalam

penelitian ini yang menjadi informan kunci ialah bapak said selaku

pemilik lahan parkir.

b. Informan Utama

Informan utama adalah orang yang mengetahui secara teknis

dan detail tentang masalah penelitian yang akan dipelajari. Dalam

penelitian ini yang menjadi informan utama ialah ketiga pihak

pengelola atau juru parkir yaitu bapak Tedi, Alex, dan Agus.

16
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D (Bandung: Alfabeta,
2009), 137.
11

4. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini

yaitu:

a. Interview / wawancara

Interview adalah metode pengumpulan data dengan cara tanya

jawab yang dikerjakan secara sistematik dan berlandaskan pada

masalah, tujuan, dan hipotesis penelitian.17 Jenis wawancara yang

digunakan yaitu wawancara terstruktur dimana dalam praktiknya

penulis menyiapkan daftar pertanyaan untuk diajukan secara langsung

yang berkaitan dengan praktik bagi hasil pengelolaan lahan parkir objek

wisata tersebut.

b. Dokumentasi

Dokumentasi adalah teknik pengumpulan data apabila observasi

yang dikumpulkan bersumber dari dokumen seperti foto-foto dan

lainnya.18

c. Observasi

Observasi adalah teknik pengumpulan data dengan cara

mengamati atau meninjau secara cermat dan langsung di lokasi

penelitian. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian oservasi

nonpartisipan. Observasi nonpartisipan adalah observasi yang

penelitinya tidak ikut secara langsung dalam kegiatan yang sedang

17
Susiadi, Metode Penelitian (Bandar Lampung: Fakultas Syariah UIN Raden Intan
Lampung, 2014), 178.
18
Ibid., 115.
12

diamati.19 Dalam hal ini penulis hanya menempatkan dirinya sebagai

pengamat dan mencatat berbagai peristiwa yang dianggap perlu sebagai

data penelitian.

5. Metode Pengolahan Data

Metode pengolahan data yang akan digunakan oleh penulis dalam

melakukan penelitian yaitu sebagai berikut :

a. Pemeriksaan Data (editing)

Pemeriksaan data atau editing adalah pengecekan atau

pengoreksian data yang telah dikumpulkan, karena kemungkinan data

yang masuk atau terkumpul itu tidak logis dan meragukan. Tujuan

editing adalah untuk menghilangkan kesalahan-kesalahan yang terdapat

pada pencatatan lapangan dan bersifat koreksi, sehingga kekurangannya

dapat dilengkapi atau diperbaiki.

b. Klasifikasi data (coding data)

Klasifikasi data adalah pengelompokan data sesuai dengan

jenisnya, jadi data yang ada merupakan hasil dari observasi dan

wawancara akan dikelompokan dalam bentuk grafik, pola, kedudukan,

kualitas guna menyimpulkan data tersebut.

c. Sistematisasi Data (Systemating)

Sistematisasi data yaitu melakukan pengecekan terhadap data-

data atau bahan-bahan yang telah diperoleh secara sistematis, terarah

dan beraturan sesuai dengan klasifikasi data yang di peroleh.

19
Lexy J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosda Karya), 54.
13

6. Analisa Data

Analisis data merupakan proses mencari, mengurai, dan menyusun

secara sistematis data yang diperoleh dari hasil observasi, wawancara, dan

sebagainya untuk memperoleh pemahaman secara tepat dan bersifat

keseluruhan.20 Setelah data terkumpul, selanjutnya akan dianalisis dengan

kualitatif melalui cara berfikir induktif. Metode induktif itu sendiri adalah

menganalisis data dari fakta-fakta yang sifatnya khusus atau peristiwa

yang konkrit, kemudian dari fakta tersebut dapat ditarik kesimpulan yang

sifatnya umum.

I. Sistematika Pembahasan

Sistematika pembahasan secara keseluruhan dalam penelitian ini

sendiri dari 3 bagian:

Pertama bagian formalitas terdiri dari halaman judul, abstrak, surat

pernyataan, halaman persetujuan, halaman pengesahan, halaman motto,

halaman persembahan, daftar riwayat hidup dan daftar isi.

Kedua bagian isi terdiri dari 5 bab, yakni:

Bab I tentang pendahuluan. Bab ini terdiri dari beberapa sub bab

seperti penegasan judul, latar belakang masalah, fokus dan sub fokus

penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian

penelitian terdahulu, metode penelitian dan sistematika pembahasan. Hal ini

dimaksud sebagai kerangka awal dalam menggambarkan isi pembahasan

kepada bab selanjutnya.

20
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D (Bandung: Alfabeta,
2009), 244.
14

Bab II berisi tentang landasan teori yang berkaitan dengan

mudharabah, perjanjian dan parkir. Dalam bab ini terdiri dari ketentuan

umum tentang mudharabah, yaitu pengertian mudharabah, dasar hukum

mudharabah, jenis mudharabah, rukun dan syarat mudharabah, kedudukan

mudharabah, prinsip mudharabah, hukum mudharabah, hikmah

mudharabah, hukum perselisihan antara pemilik modal dengan mudharib,

dan perkara yang membatalkan mudharabah serta ketentuan parkir yaitu

pengertian parkir dan jenis parkir.

Bab III berisi tentang deskripsi objek penelitian. Dalam bab ini terdiri

dari dua sub bab yaitu gambaran umum pantai sebalang dan praktik

kerjasama bagi hasil pengelolaan lahan parkir objek wisata pantai sebalang.

Sub bab gambaran umum tentang pantai sebalang terdiri dari sejarah

berkembangnya pantai sebalang, letak geografis dan visi misi pantai sebalang.

Sementara sub bab praktik kerjasama bagi hasil pengelolaan lahan parkir

objek wisata pantai sebalang terdiri dari bagaimana praktik kerjasama bagi

hasil antara pemilik dan pengelola lahan parkir dan akad yang telah dibuat

antara kedua belah pihak.

Bab IV berisi tentang analisa data yang terdiri dari dua sub bab yaitu

pelaksanaan kerjasama bagi hasil antara pemilik dan pengelola lahan parkir

objek wisata pantai sebalang dan analisis hukum Islam tentang bagi hasil

pengelolaan lahan parkir objek wisata pantai sebalang.

Bab V tentang penutup yaitu terdiri dari kesimpulan dan rekomendasi.


15

Sementara bagian ketiga dalam penulisan penelitian ini adalah bagian

yang berisi tentang daftar pustaka dan lampiran.


16

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Mudharabah

1. Pengertian Mudharabah

Mudharabah adalah bahasa yang digunakan oleh penduduk Irak,

sedangkan orang Hijaz menyebutnya dengan istilah qiradh. Qiradh

diambil dari kata qath’u yang berarti potongan, karena pemilik

memberikan potongan dari hartanya untuk diberikan kepada pengelola dan

pengelola akan memberikan potongan dari laba yang diperoleh.21

Selain qiradh, mudharabah berasal dari kata al-dharb, yang artinya

secara harfiah adalah bepergian atau berjalan. Sebagaimana fiman Allah

dalam surat Al-Muzammil ayat 20:

ِ ُ ‫ض ِل ا‬
‫لل‬ ِ ‫َو َءاخ َُرونَ َيض ِْربُونَ فِى ا ُ ْْلَ ْر‬
ْ َ‫ض َي ْبتَ ُخونَ ِمن ف‬

Artinya :“Dan yang lainnya, bepergian dimuka bumi mencari karunia

Allah”

ِ ‫ضربُونَ فِي اْلَ ْر‬


Kalimat ‫ض‬ ِ َ‫ ي‬berarti melakukan perjalanan di muka

bumi dalam rangka berdagang. Sebagian ulama berpendapat bahwa

mudharabah berasal dari kata ‫ الضرب‬maksudnya masing-masing pihak

mendapat bagian keuntungan.22

21
Rachmat Syafei, Fiqh Muamalah (Bandung: Pustaka Setia, 2001), 223.
22
Imam Mustofa, Fiqih Muamalah Kontemporer (Depok: Rajawali Pers, 2018), 150.
17

Menurut bahasa, kata Abdurrahman Al-Jaziri, mudharabah ialah

ungkapan terhadap harta yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain

yang digunakan sebagai modal usaha dan keuntungannya dibagi dua, dan

jika mengalami kerugian maka akan ditanggung oleh pihak pemilik

modal.23

Ascarya mengatakan bahawa mudharabah adalah penyertaan

modal uang kepada orang yang berniaga sehingga ia mendapatkan bagian

keuntungan. Sebagai suatu bentuk kontrak, mudharabah adalah akad bagi

hasil dimana pemilik dana atau modal yang sering juga disebut shahibul

mal, menyediakan modal seluruhnya (100%) kepada pengelola modal

yang dalam Islam disebut sebagai mudharib, untuk melaksanakan kegiatan

produktif dengan ketentuan bahwa keuntungan yang diperoleh dibagi dua

antara mereka dengan kesepakatan yang telah ditetapkan dalam akad.24

Secara umum para ulama fiqh menyatakan bahwa mudharabah

adalah suatu akad kerja sama yang mencakup penyerahan modal dalam

jumlah, jenis, dan kesepakatan tertentu yang diberikan oleh pemilik modal

kepada pengelola modal atau usaha untuk digunakan sebagai sebuat usaha

dengan ketentuan jika usaha tesebut menghasilkan keuntungan maka

keuntungan tersebut akan dibagi dua sesuai dengan kesepakatan dalam

akad sebelumnya, namun apabila usaha tersebut tidak memiliki

23
Helmi Karim, Fiqh Muamalah (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1993), 11.
24
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012),
60.
18

keuntungan dan menghasilkan kerugian maka kerugian tersebut juga akan

ditanggung bersama berdasarkan kesepakatan sebelumnya.25

2. Dasar Hukum Mudharabah

Melakukan mudharabah atau qiradh adalah mubah (boleh). Ulama

fiqih sepakat bahwa mudharabah disyaratkan dalam Islam berdasarkan al-

Quran, as-Sunah, Ijma dan Qiyas.

a. Al-quran

Ayat-ayat yang berkenaan dengan mudharabah, antara lain:

1) QS. Al-Mujammil : 20

ِ ُ ‫ض ِل ا‬
‫لل‬ ِ ‫ض ِربُونَ فِى ا ُ ْْلَ ْر‬
ْ َ‫ض َي ْبتَغُونَ ِمن ف‬ ْ ‫َواَخ َُرونَ َي‬

Artinya: “Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari

sebagian karunia Allah”.26

2) QS. Al-Jumu’ah : 10

ِ ‫صلَوة ُ فَا نَتش ُِرواْ فِى ا ْل َ ْر‬


ْ َ‫ض َوا ْبتَغُواْ ِمن ف‬
ِ‫ض ِل اُلل‬ َّ ‫ت ال‬ ِ ُ‫فَإِذَا ق‬
ِ َ‫ضي‬

Artinya: “Apabila telah ditunaikan shalat, bertebaranlah kamu di

muka bumi dan carilah karunia Allah”. 27

3) QS. Al-Baqarah : 198

ْ َ‫علَ ْي ُك ْم ُجنَاح أَ ْن تَ ْبتَغُ ْواف‬


‫ضالً ِمن َّربِ ُك ْم‬ َ ‫لَي‬
َ ‫ْس‬

Artinya: “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki

hasil perniagaan) dari Tuhan-Mu”.28

25
Darsono & Ali Sakti, Perbankan Syariah di Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2017), 213.
26
QS. Al-Mujammil: 20
27
QS. Al-Jumu’ah : 10
28
QS. Al-Baqarah : 198
19

Pada dasarnya ayat di atas tidak secara lansung menjelaskan

akad mudharabah, hanya saja secara maknawi mengandung arti

kegiatan ekonomi melalui mudharabah. Dengan demikian, ayat-ayat

tersebut bisa dijadikan landasan hukum akad mudharabah.29

b. As-Sunah

Di antara hadis yang berkaitan dengan mudharabah adalah hadis

yang diriwayatkan oleh Ibn Majah dari Shuhaib bahwa Nabi SAW.

bersabda:

ِ ‫ت ْلَ ِل ْل َبي‬
‫ْح‬ ِ ‫ش ِحي ِْر ِل ْل َب ْي‬
َّ ‫ط ْالب ُِر ِبا ل‬
ُ ‫ضةُ َوخ َْل‬ َ َ‫ اَ ْل َب ْي ُح اِلَى اَ َج ٍل َواْل ُمق‬: ُ‫ثَالَ ث فِ ْي ِه َّن اْل َب َر َكة‬
َ ‫ار‬

)‫(رواه ابن ماجه عن صهيب‬

Artinya: “tiga perkara yang mengandung berkah adalah jual-beli yang

ditangguhkan, melakukan qiradh (memberi modal kepada

orang lain), dan yang mencampurkan gandum dengan jelas

untuk keluarga, bukan untuk diperjualbelikan.” (HR. Ibn

Majah dari Shuhaib)

Terdapat dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Thabrani dari

Ibn Abbas bahwa Abbas bin Abdul Muthalib jika memberikan harta

untuk mudharabah, dia mensyaratkan kepada pengusaha untuk tidak

melewati lautan, menuruni jurang, dan membeli hati yang lembab. Jika

melanggar persyaratan tersebut, ia harus menanggungnya. Persyaratan

tersebut disampaikan kepada Rasulullah SAW. dan beliau

membolehkannya.

29
Imam Mustofa, Fiqh Muamalah Kontemporer (Depok: PT Raja Grafindo Persada,
2018), 152.
20

Kedua hadis di atas secara jelas menyinggung masalah

mudharabah. Hadis pertama secara tegas menyebut akad mudharabah,

hanya saja menggunakan istilah muqaradah. Riwayat hadis kedua

merupakan Al-Sunnah al-taqririyah atau persetujuan Rasulullah

terhadap tindakan atau perilaku sahabat yang mempraktikan

mudharabah. Kedua hadis ini menjadi landasan diperbolehkannya dan

disyariatkannya mudharabah.30

Selain itu, landasan dari Al-Sunnah al-taqririyah, yaitu

Rasulullah mendukung usaha perniagaan atau perdagangan istrinya

Khadijah yang juga terkadang menyerahkan pengelolaan modal kepada

orang lain. Rasulullah membenarkan praktik mudharabah yang

dilaksanakan oleh ‘Abbas bin Abdul Muthalib.

c. Ijma’

Mudharabah disyariatkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para

sahabat dan juga berdasarkan kesepakatan dari para imam yang

menyatakan kebolehannya dalam melakukan mudharabah. Pada zaman

sahabat sendiri banyak para sahabat yang telah melaksanakan

mudharabah yaitu dengan cara memberikan harta anak yatim sebagai

modal kepada pihak lain, dan tidak ada riwayat yang mengatakan

bahwa para sahabat mengingkarinya. Dengan demikian hal ini dapat

disebut sebagai ijma’.31

30
Ibid., 153.
31
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat (Jakarta: Amzah, 2015), 370.
21

d. Qiyas

Mudharabah diqiyaskan kepada al-musyaqah (menyuruh

seseorang untuk mengelola kebun). Selain di antara manusia, terdapat

yang miskin dan juga terdapat yang kaya. Disatu sisi, banyak orang

kaya yang tidak dapat mengusahakan hartanya. Di sisi lain, tidak sedikit

orang miskin yang mau bekerja, tetapi tidak memiliki modal. Dengan

demikian, adanya mudharabah ditujukan antara lain untuk

kemaslahatan manusia dalam hal memenuhi kebutuhannya.32

Mudharabah juga dapat diqiyaskan sebagai bentuk dari interaksi

antar sesama manusia sebagai makhluk sosial. Yang mana sebagai

makhluk sosial manusia membutuhkan kerja sama guna meningkatkan

kebutuhan hidup serta taraf perekonomian. Dalam hal ini pihak yang

tidak memiliki modal akan sangat terbantu dengan adanya kerja sama

dan pihak pemilik modal juga tidak merasa dirugikan dengan adanya

perpindahan modal kepada pihak lainnya.

3. Jenis Mudharabah

Ditinjau berdasarkan segi transaksi yang dilakukan kedua belah

pihak yaitu pemilik modal dan pengeloa modal, ulama fiqih membagi akad

mudharabah menjadi dua jenis yaitu mudharabah muthlaqah (penyerahan

modal secara mutlak, tanpa pembatasan dan syarat) dan mudharabah

muqayyadah, pengelola dapat mengelola modal tersebut dengan usaha

yang menurutnya akan mendatangkan keuntungan serta dapat memilih

32
Sohari Sahrani dan Ruf’ah Abdullah, Fiqih Muamalah (Bogor: Ghalola Indonesia,
2011), 191.
22

daerah mana yang diinginkannya. Namun, dalam mudharabah jenis ini

pengelola harus mengikuti batasan dan syarat yang ditentukan oleh

pemilik modal.

Sependapat dengan para ulama fiqih, tokoh-tokoh dalam bidang

fiqih muamalah membagi akad mudharabah menjadi dua jenis yaitu

mudharabah mutlaqah (penyerahan modal secara mutak, tanpa batasan

dan syarat) dan mudharabah muqayyadah (penyerahan modal dengan

batasan dan syarat tertentu). Berikut ini penjelasan mengenai kedua jenis

mudharabah tersebut yaitu sebagai berikut:

a. Mudharabah Mutlaqah

Syafi’i Antonio menjelaskan bahwa mudharabah mutlaqah

adalah suatu bentuk kegiatan kerja sama antara pemilik modal (shahibul

mal) dengan pengelola modal (mudharib) yang cakupannya luas dan

tidak dibatasi oleh waktu, jenis usaha dan daerah bisinis.33

Mudharabah mutlaqah adalah penyertaan modal seseorang

kepada pengelola modal atau pengusaha tanpa memberikan batasan.

Dalam mudharabah ini tidak adanya pembatasan atau ketentuan

mengenai lokasi kegiatan usaha, jenis usaha dan ketentuan-ketentuan

lainnya. Ulama Salafus Saleh dalam pembahasannya sering kali

mencontohkan dengan ungkapan if’al ma Syi’ta (lakukan sesukamu)

dari shahibul mal ke mudharib yang memberi kekuasaan yang besar.34

33
Muhammad Syafe’i Antonio, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktek (Jakarta: Gema
Insani Press, 2001), 90.
34
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat (Jakarta: Amzah, 2015), 372.
23

Mudharabah mutlaqah merupakan jenis mudharabah dimana

pihak pengelola modal atau usaha (mudharib) mempunyai hak yang

tidak ada batasannya untuk melaksanakan usahanya, hak tersebut

diberikan oleh pemilik modal (shahibul mal).35

Pada mudharabah jenis ini pihak mudharib diberikan kebebasan

dalam mengelola modal oleh shahibul mal untuk menentukan usaha apa

saja yang menurutnya akan menghasilkan keuntungan.

Kebebasan pihak pengelola (mudharib) bukanlah kebebasan

yang tak terbatas sama sekali. Modal yang diberikan oleh pihak pemilik

modal tidak diperbolekan digunakan guna membiayai usaha yang

dilarang oleh Islam. Seperti usaha peternakan babi, perdagangan

minuman keras dan lain sebagainya meskipun memiliki izin resmi dari

pemerintah tetap tidak diperbolekan.,

b. Mudharabah Muqayyadah

Muhammad Asy-Syarbini mengungkapkan bahwa mudharabah

muqayyadah merupakan penyerahan modal seseorang kepada

pengusaha atau pengelola modal dengan adanya batasan, seperti apabila

adanya persyaratan bahwa pihak pengusaha atau pengelola modal harus

berdagang di daerah Lampung atau harus berdagang perabotan rumah

tangga dan lain-lain.36 Syarat-syarat atau batasan ini harus dipenuhi

35
Sunarto Zulkifli, Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah (Jakarta: PT. Bestari
Buana Murni, 2007), 57.
36
Rachmat Syafei, Fiqh Muamalah (Bandung: Pustaka Setia, 2001), 227.
24

oleh pengelola modal, dan apabila ia melanggar batasan atau syarat

tersebut, maka ia harus bertanggung jawab atas kerugian yang timbul.37

Mudharabah muqayyadah (terikat) adalah kebalikan dari

mudharabah muthlaqah yaitu mudharib dibatasi dengan batasan jenis

usaha, waktu dana tempat usaha. Oleh karena itu, pengelola modal

harus menjalankan usaha sesuai dengan kesepakatan dengan pemilik

modal saat akad. Adanya pembatasan ini sering kali mencerminkan

kecenderungan umum si shahib al-mal dalam memasuki jenis dunia

usaha.

Apabila pihak pengelola modal melakukan hal-hal yang

bertentangan degan syarat-syarat tertentu, maka pihak pengelola modal

wajib bertanggung jawab atas masalah-masalah yang ditimbulkan. Pada

mudharabah ini harus dibatasi waktunya, maka mudharabah berakhir

pada jangka waktu tiba.

Ulama Hanafiyah dan Imam Ahmad membolehkan memberi

batasan dengan waktu dan orang, tetapi ulama Syafi’iyah dan

Malikiyah melarangnya memberikan batasan.

Ulama Hanafiyah dan Ahmad pun membolehkan akad apabila

dikaitkan dengan masa yang akan datang, seperti “usahakan modal ini

mulai bulan depan” sedangkan ulama Syafi’iyah dan Malikiyah

melarangnya.

37
Adiwarman A Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2008), 213.
25

4. Rukun dan Syarat Mudharabah

Rukun merupakan kata mufrad dari kata jama’ arkan yang

memiliki arti asas atau tiang, yaitu sesuatu yang menentukan sah (apabila

dilakukan) atau tidak sahnya (apabila ditinggalkan) sesuatu pekerjaan dan

sesuatu itu termasuk di dalam pekerjaan tersebut.38

Para ulama berbeda pendapat mengenai rukun mudharabah. Ulama

Hanafiyah berpendapat bahwa rukun mudharabah adalah ijab dan qabul,

yakni lafazh yang menunjukan ijab dan qabul dengan menggunakan

mudharabah, muamalah, muqaridhah atau kata-kata yang searti

dengannya. Menurut ulama Malikiyah, mudharabah itu adalah jaiz.

Sedangkan rukun-rukunnya yaitu shighat (ijab dan qabul), modal, laba,

amal dan pihak yang melaksanakan mudharabah tersebut.

Menurut ulama Syafi’iyah rukun-rukun mudharabah ada enam,

yaitu:39

a. Pemilik barang yang menyerahkan barang-barangnya.

b. Orang yang bekerja, yaitu mengelola barang yang diterima dari pemilik

modal.

c. Akad mudharabah, dilakukan oleh pemilik dengan pengelola barang

d. Maal, yaitu harta pokok atau modal.

e. Amal, yaitu pekerjaan pengelolaan harta sehingga menghasilkan laba.

f. Keuntungan.

38
M. Abdul Mujiep, dkk, Kamus Istilah Fiqh, Cet. Ke-3 (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002),
30.
39
Sohari Sahrani dan Ruf’ah Abdullah, Fiqih Muamalah (Bogor: Ghalola Indonesia,
2011), 199.
26

Menurut Sayyid Sabiq, rukun mudharabah adalah ijab dan kabul

yang keluar dari orang yang memiliki keahlian. Dalam ijab qabul tersebut

tidak disyaratkan adanya lafaz tertentu, tetapi juga bisa dengan bentuk apa

saja yang berkaitan dengan arti mudharabah karena yang dimaksud dalam

akad ini ialah makna serta tujuannya, bukan dari susunan kata atau lafaz

nya.40

Menurut Zulayli, terdapat beberapa rukun akad mudharabah yang

sudah ditentukan guna mencapai keabsahannya. Rukun tersebut yaitu

pemilik modal (shabibul mal), pengelola modal (mudharib), modal, ijab

dan qabul, pekerjaan dan keuntungan.41

Karena terdapat perbedaan pendapat mengenai rukun dalam

mudharabah maka penulis akan megambil jalan tengah yang lebih jelas

dan mudah dipahami yaitu:

a. Ijab dan Qabul

b. Adanya dua pihak yaitu pihak pertama sebagai pemilik modal (shahibul

mal) dan pihak kedua sebagai pengelola modal atau usaha (mudharib).

c. Adanya modal

d. Adanya usaha

e. Adanya keuntungan

40
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Alih Bahasa oleh Kamaluddin A Marzuki, Terjemah Fiqih
Sunnah, Jilid XIII (Bandung: Al Ma’arif, 1997), 38.
41
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, Jilid 6 (Jakarta: Gema Insani, 2011),
92.
27

Mudharabah yang sah harus memenuhi syarat-syarat yang melekat

pada rukunnya. Syarat adalah ketentuan yang harus dipenuhi sebelum

melakukan atau mengerjakan sesuatu.

Syarat-syarat sah tersebut berkaitan dengan rukun mudharabah

yaitu sebagai berikut:

a. Ijab dan Qabul

Pernyataan kehendak yang berupa ijab dan qabul antara kedua

belah pihak memiliki syarat-syarat tertentu, yaitu:42

1) Harus jelas menunjukan maksud untuk melaksanakan mudharabah.

Dalam menjelaskan maksud tersebut, dapat memakai kata seperti

kata mudharabah, qiradh, muqaradhah, muamalah atau kata yang

memiliki makna yang sama dengannya.

2) Harus bertemu. Artinya, penawaran pihak pertama sampai dan

diketahui oleh pihak kedua. Ijab yang diucapkan oleh pihak pertama

harus diterima dan disetujui oleh pihak kedua sebagai ungkapan

bukti kesediaan dapat bekerja sama. Kesediaan tersebut dapat

diucapkan dekat kalimat seperti “ya, saya terimaa” atau “ya, saya

setuju”.

3) Harus sesuai maksud pihak pertama, dan cocok dengan keinginan

pihak kedua. Berdasarkan hal ini, ijab tidak selalu diucapkan oleh

pihak pertama begitupun sebaliknya, dimana keduanya harus saling

menyetujui.

42
Veithzal Rivai, Islamic Financial Management (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008),
127.
28

b. Adanya dua pihak

Disyaratkan bagi orang yang akan melakukan akad, yakni

pemilik modal (sahibul mal) dan pengelola modal (mudharib) yaitu:

1) harus cakap bertindak atau cakap hukum, berakal dan baligh. Namun

demikian tidak disyaratkan harus muslim.43 Mudharabah dibolehkan

dengan orang kafir dzimmi atau orang kafir yang dilindungi di

negara Islam. Adapun ulama Malikiyah memakruhkan mudharabah

dengan kafir dzimmi jika mereka tidak melakukan riba dan

melarangnya jika mereka melakukan riba.44

2) Memiliki walayah tawkil wa wakalah (memiliki kewenangan

mewakilkan/memberi kuasa dan menerima pemberian kuasa).45

karena penyerahan modal oleh pihak pertama selaku pemilik modal

kepada pihak kedua selaku pengelola modal merupakan suatu bentuk

pemberian kuasa untuk mengelola modal tersebut.

c. Adanya modal

Syarat yang terkait dengan modal adalah sebagai berikut:

1) Modal harus berupa uang atau mata uang yang berlaku di pasaran.

Menurut mayoritas ulama modal dalam mudharabah tidak boleh

berupa barang, baik bergerak maupun tidak.

43
Imam Mustofa, Fiqih Muamalah Kontemporer (Depok: Rajawali Pers, 2018), 155.
44
Rachmat Syafei, Fiqh Muamalah (Bandung: Pustaka Setia, 2001), 229.
45
Veithzal Rivai, Islamic Financial Management (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008),
127.
29

2) Modal harus jelas jumlah dan nilainya. Ketidakjelasan modal akan

berakibat pada ketidakjelasan keuntungan, sementara kejelasan

modal merupakan syarat sah mudharabah.

3) Modal harus berupa uang cash, bukan piutang. Berdasarkan syarat

ini, maka mudharabah dengan modal berupa 0tanggungan utang

pengelola modal kepada pemilik modal.

4) Modal harus ada pada saat dilaksanakan akad mudharabah.

5) Modal harus diberikan kepada pihak pengelola modal atau

mengelola usaha. Hal ini dimaksudkan agar pengusaha dapat

mengusahakannya, yakni menggunakan harta tersebut sebagai

amanah. Bila modal tidak diserahkan maka akad mudharabah rusak.

d. Adanya keuntungan

Persyaratan yang terkait dengan keuntungan atau laba dalam

akad mudharabah adalah sebagai berikut:46

1) Jumlah keuntungan harus jelas. Selain itu, proporsi pembagian hasil

antara pemilik modal dan pengelola modal harus jelas, karena dalam

mudharabah yang menjadi ma’qud alaih atau objek akad adalah laba

atau keuntungan, bila keuntungan atau pembagiannya tidak jelas

maka akad dianggap rusak. Proporsi pembagian hasil misalnya

50:50, 60:40, 65:35 dan seterusnya.47

46
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat (Jakarta: Amzah, 2015), 373
47
Ibid,. 364
30

2) Sebagai tambahan untuk syarat pada poin satu di atas, disyaratkan

juga bahwa proporsi atau presentase pembagian hasil dihitung hanya

dari keuntungan, tidak termasuk modal.

3) Keuntungan tidak boleh dihitung berdasarkan presentase dari jumlah

modal yang diberikan sahibul mal. Perhitungan bagi hasil harus

berdasarkan keuntungan yang diperoleh.

4) Tidak boleh menentukan jumlah tertentu untuk pembagian hasil,

misalnya Rp.1.000.000, Rp.5.000.000, dan seterusnya. Karena

keuntungan atau hasil yang akan diperoleh belum diketahui

jumlahnya. Oleh karena itu, maka pembagian hasil berdasarkan

presentase, bukan berdasarkan jumlah tertentu. Berdasarkan hal ini

Ibnu Mundzir mengatakan bahwa: “ahli ilmu (ulama) bersepakat

bahwa apabila salah satu pihak atau para pihak yang terlibat dalam

mudharabah mensyaratkan keuntungan dalam jumlah nominal

tertentu, maka mudharabah semacam ini batal.

5) Pembagian keuntungan baru dapat dilakukan setelah pengelola

modal mengembalikan seluruh atau sebagian modal kepada pemilik

modal.48

Berdasarkan rukun dan syarat yang telah dijelaskan di atas , setiap

rukun memiliki syarat tertentu yang wajib dipenuhi. Apabila syarat-syarat

tersebut tidak terpenuhi, maka akad mudharabah hukum nya menjadi tidak

sah.

48
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), 139.
31

5. Kedudukan Mudharabah

Hukum mudharabah berbeda-beda karena adanya perbedaan-

perbedaan keadaan. Kedudukan harta yang dijadikan modal dalam

mudharabah juga tergantung pada keadaan.

Karena pihak pengelola modal mengelola modal tersebut atas izin

pemilik harta, maka pengelola modal merupakan wakil pemilik barang

tersebut dalam pengelolaannya, kedudukan modal adalah wiklah’alaih

(objek wakalah).

Pada saat harta ditasharufkan oleh pihak pengelola, maka harta

tersebut berada di bawah kekuasaan pihak pengelola tetapi harta tersebut

bukanlah miliknya melainkan hanya berkedudukan sebagai amanat atau

titipan. Apabila harta tersebut rusak bukan karena kelalaian pihak

pengelola, maka pihak pengelola tidak wajib menggantinya. Sedangkan

apabila terjadi kerusakan akibat kelalaian pengelola maka ia wajib

menanggungnya.

Ditinjau dari segi akad, mudharabah terdiri atas dua pihak, yaitu

pihak pemilik dan pengelola. Apabila terdapat keuntungan dalam

pengelolaan modal tersebut maka laba itu dibagi dua sesuai dengan

presentase yang telah disepakati. Karena bersama-sama dalam keuntungan,

maka mudharabah juga sebagai syirkah.

Ditinjau dari segi keuntungan yang diterima oleh pihak pengelola,

ia berhak mengambil upah sebagai bayaran dari tenaga yang telah


32

dikeluarkan, sehingga mudharabah dianggap sebagai ijarah (upah-

mengupah atau sewa-menyewa).

Apabila pihak pengelola mengingkari kesepakatan yang telah

ditetapkan oleh kedua belah pihak, maka telah terjadi kecacatan dalam

mudharabah. kecacatan yang terjadi menyebabkan pengelolaan dan

penguasaan harta tersebut dianggap ghasab.49

6. Prinsip Mudharabah

Prinsip dalam akad mudharabah tidak terlepas dari prinsip-prinsip

muamalah Islam. Oleh karena itu, mudharabah harus tetap mengacu

kepada aturan syriat Islam dan fiqih muamalah. Yang berarti sesuai atau

tidaknya mekanisme dalam mudharabah sangat ditentukan kesesuaiannya

dengan prinsip-prinsip muamalah Islam.

Berikut ini prinsip-prinsip mudharabah dalam muamalah yaitu

sebagi berikut:

a. Prinsip kebolehan melakukan akad mudharabah.

Dalam al-Qur’an dan sunah rasul akad mudharabah

diperbolehkan dengan tetap berlandaskan pada ketentuan syariat Islam

sebagaimana telah dijelaskan pada dasar hukum mudharabah.50

Mudharabah memiliki manfaat bagi banyak orang, terutama bagi pihak

yang lemah dan pengelola tidak memiliki hak dalam menanggung

modal yang rusak. Oleh karena itu mudharabah diperbolehkan.

b. Prinsip mendatangkan manfaat dan menolak kemudharatan.


49
Abdurahman al-Rahman al Jaziri, al-fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah (Beirut: Dar al-
Qalam), 42.
50
Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalah (Yogyakarta: UII Press, 1990), 10.
33

Pada dasarnya manusia merupakan makhluk sosial yang

membutuhkan kerja sama guna meningkatkan kebutuhan hidup serta

taraf perekonomian. Terdapat sebagian manusia yang mempunyai

modal tetapi tidak dapat mengelola modal tersebut, begitupun

sebaliknya terdapat sebagian manusia yang mampu mengelola tetapi

tidak memiliki modal. Oleh karena itu, diperlukannya kerja sama antara

pihak pemilik modal dengan pihak pengelola modal.

Berdasarkan hal ini pihak yang tidak memiliki modal akan

sangat terbantu dengan adanya kerja sama dan pihak pemilik modal

juga tidak merasa dirugikan dengan adanya perpindahan modal kepada

pihak lainnya. Dengan demikian, terciptalah suatu kemaslahatan dan

terhindar dari kemudharatan seperti kemiskinan dan pengangguran.51

c. Prinsip sukarela tanpa paksaan.

Akad mudharabah mempunyai tujuan yaitu bukan hanya

semata-mata mencari keuntungan tetapi guna membantu pihak lain

yang lemah. Dalam melakukan kerja sama ini dituntut dengan adanya

kebebasan dari pengelola untuk berusaha mengelola modal berdasarkan

keinginan pemilik modal. Karena akad mudharabah merupakan

cerminan kerelaan untuk bekerja sama, maka tidak diperbolehkan

apabila terdapat salah satu pihak melakukan akad dalam keadaan

terpaksa.52

51
Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala Madzahib al Arba’ah, Jilid III (Beirut: Daar al-
Fikr, 1990), 48.
52
Helmi Karim, Fiqh Muamalah (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1993), 14.
34

d. Prinsip keadilan.

Mudharabah memiliki sifat kebersamaan dalam hal

menanggung kerugian yang didapat dalam menjalankan usahanya.

Pemilik modal akan menanggung kerugian apabila kerugian tersebut

terjadi karena akibat dari bisnis, sedangkan pihak pengelola modal akan

menanggung kerugian skill dan waktu. Apabila mendapatkan

keuntungan maka keuntungan tersebut akan dibagi bersama

berdasarkan perjanjian yang sudah ditetapkan oleh kedua belah pihak.53

7. Hukum Mudharabah

Hukum mudharabah dibagi menjadi dua, yaitu mudharabah sahih

dan mudharabah fasid. Kedua jenis mudharabah ini akan dijelaskan

dibawah ini:

a. Hukum Mudharabah Fasid

Salah satu contoh mudharabah fasid adalah dengan mengatakan

“berburulah dengan jaring saya dan hasil buruan akan dibagi di antara

kita.” Ulama Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah berpendapat bahwa

pernyataan tersebut tidak dapat dikatakan mudharabah yang sahih

karena pengusaha (pemburu) berhak mendapatkan upah atas

pekerjaannya, baik ia mendapatkan bantuan atau tidak.

Hasil yang diperoleh pengusaha atau pemburu diserahkan

kepada pemilik harta (modal), sedangkan pemburu tidak memiliki hak

sebab akadnya fasid. Tentu saja, kerugian yang ada pun ditanggung

53
Ibid.,
35

sendiri oleh pemilik modal. Namun, jika modal rusak atau hilang, yang

diterima adalah ucapan pengusaha dengan sumpahnya.

Apabila dalam kegiatan mudharabah diperoleh keuntungan

maka keuntungan tersebut semuanya untuk pemilik modal, karena

keuntungan tersebut merupakan tambahan ataas modal yang

dimilikinya, sedangkan mudharib tidak mendapat apa-apa kecuali upah

yang sepadan.54

Ulama Malikiyah berpendapat bahwa mudharib atau pihak

pengelola dalam semua hukum mudharabah yang fasid dikembalikan

kepada qiradh yang sepadan (qiradh mitsl) dalam keuntungan, kerugian

dll. Mudharib berhak atas upah yang sepadan berdasarkan pekerjaan

yang telah dilakukannya. Apabila memperoleh keuntungan maka

mudharib berhak atas keuntungannya itu sendiri, bukan dalam

perjanjian dengan pihak pemilik modal dan jika harta rusak maka

mudharib tidak boleh memperoleh apa-apa. Demikian pula jika tidak

mendapat keuntungan maka ia juga tidak memperoleh apa-apa.

Beberapa hal lain dalam mudharabah fasid yang mengharuskan

pemilik modal memberikan upah kepada pengusaha, antara lain:

1) Pemilik modal memberikan syarat kepada pengusaha dalam

membeli, menjual, memberi atau mengambil barang.

2) Pemilik modal mengharuskan pengusaha untuk bermusyawarah

sehingga pengusaha tidak bekerja kecuali atas seizinnya.

54
Alaudin Al-Kasani, Badai Ash-Shanai Fi Tartib Asy-Syarai, Juz 6 Cet. I (Bairut: Dar
Al-Fikr, 1996), 163-164.
36

3) Pemilik modal memberikan syarat kepada pengusaha agar

mencampurkan harta modal tersebut dengan harta orang lain atau

barang lain miliknya.

b. Hukum Mudharabah Sahih

Hukum mudharabah sahih yang tergolong sahih cukup banyak,

di antaranya berikut ini:55

1) Tanggung jawab pengusaha

Ulama fiqih telah sepakat bahwa pengusaha bertanggung

jawab atas modal yang ada di tangannya, yakni sebagai titipan. Hal

ini karena kepemilikan modal tersebut atas seizin pemiliknya.

Apabila pengusaha beruntung, ia memiliki hak atas laba

secara bersama-sama dengaan pemilik modal. Jika mudharabah

rusak karena adanya beberapa sebab yang menjadikannya rusak,

pengusaha menjadi pedagang sehingga ia pun memiliki hak untuk

mendapatkan upah.

Jika harta rusak tanpa disengaja, ia tidak bertanggung jawab

atas rusaknya modal tersebut. Jika mengalami kerugian pun,

ditanggung oleh pengusaha saja.

Jika disyaratkan bahwa pengusaha harus bertanggung-jawab

atas rusaknnya modal, menurut ulama Hanafiyah dan Hanabilah,

syarat tersebut batal, tetapi akadnya sah. Dengan demikian,

pengusaha bertanggung-jawab atas modal dan berhak atas laba.

55
Rachmat Syafei, Fiqh Muamalah (Bandung: Pustaka Setia, 2001), 230.
37

Adapun ulama Malikiyah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa

mudharabah batal.56

2) Tasharruf pengusaha

Hukum tentang tasharruf pengusaha berbeda-beda

bergantung pada mudharabah mutlak atau terikat.

a) Pada mudharabah mutlak

Menurut ulama Hanafiyah jika mudharabah mutlak, maka

pengusaha berhak untuk beraktivitas dengan modal tersebut yang

menjurus kepada pendapatan laba seperti jual-beli.

Beberapa hal yang perlu dilakukan oleh pengusaha adalah

sebagai berikut:

1. Pengusaha hanya boleh mengusahakan modal setelah ada izin

yang jelas dari pemiliknya.

2. Menurut ulama Malikiyah, pengusaha tidak boleh membeli

barang dagangan melebihi modal yang diberikan kepadanya.

3. Pengusaha tidak membelanjakan modal selain untuk

mudharabah , juga tidak boleh mencampurkannya dengan

harta miliknya atau harta milik orang lain.

Dalam mudharabah mutlak, menurut ulama Hanafiyah,

pengusaha dibolehkan menyerahkan modal tersebut kepada

pengusaha lainnya atas seizin pemilik modal. Jika mendapatkan

56
Ibid., 231
38

laba, laba tersebut dibagikan kepada pemilik modal dan

pengusaha sesuai kesepakatan.

Menurut ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa modal tidak

boleh diberikan kepada pengusaha lain, baik dalam hal usaha

maupun laba, meskipun atas seizin pemilik modal.57

b) Pada mudharabah terikat

Secara umum, hukum yang terdapat dalam mudharabah

terikat sama dengan ketetapan yang terdapat pada mudharabah

mutlak. Namun, terdapat beberapa pengecualian antara lain yaitu:

1. Penetuan tempat

Jika pemilik modal menentukan tempat berdasarkan

ucapannya seperti “gunakanlah modal ini untuk mudharabah,

dengan syarat harus di daerah Lampung.” Maka pengusaha

harus mengusahakannya di daerah Lampung, sebab syarat

tempat termasuk persyaratann yang dibolehkan. Apabila

pengusaha mengusahakannya bukan di daerah Lampung, maka

ia yang wajib bertanggung jawab atas modal tersebut beserta

kerugiannya.

2. Penentuan orang

Ulama Hanafiyah dan Hanabilah membolehkan pemilik

modal untuk menentukan orang yang harus dibeli barangnya

oleh pengusaha atau kepada siapa ia harus menjual barang,

57
Ibid., 232
39

sebab hal ini termasuk syarat yang berfaedah. Adapun ulama

Syafi’iyah dan Malikiyah melarang persyaratan tersebut sebab

hal ini mencegah pengusaha untuk mencari pasar yang sesuai

dan menghambat pecarian laba.

3. Penempatan waktu

Ulama Hanafiyah dan Hanabilah membolehkan pemilik

modal menentukan waktu sehingga jika melewati batas, akad

batal. Adapun ulama Syafi’iyah dan Malikiyah melarang

persyaratan tersebut sebab terkadang laba tidak dapat diperoleh

dalam waktu sebentar dan terkadang dapat diperoleh pada

waktu tertentu.58

c) Hak-hak pengusaha (al-mudharib)

Terdapat dua hak bagi pengusaha atas harta mudharabah,

yaitu hak laba dan hak nafkah (menggunakan untuk

keperluannya) yang sudah ditetapkan dalam akad.

1. Hak laba

Pengusaha berhak memperoleh bagian atas hasil sisa

keuntungn sesuai dengan ketentuan dalam akad, apabila

usahanya memperoleh keuntungan. Namun jika tidak

memperoleh maka ia tidak berhak mendapatkan apa-apa sebab

ia bekerja untuk dirinya sendiri.

58
Ibid., 233
40

Para ahli fikih sepakat bahwa sebelum keuntungan

diberikan, maka pengusaha diwajibkan menyerahkan modal

terlebih dahulu kepada pemiliknya.

2. Hak nafkah

Para ulama memiliki perbedaan pendapat mengenai hak

nafkah modal atau harta mudharabah.

Imam Syafi’i memiliki pendapat bahwa pengusaha

tidak diperbolehkan menafkahkan modal untuk dirinya sendiri,

kecuali atas seizin pemilik modal. Apabila pengusaha

memberikan syarat kepada pemilik modal untuk diperbolehkan

memakai modal tersebut untuk keperluannya, maka akad

tersebut menjadi rusak.59

Jumhur Ulama, di antaranya yaitu Imam Hanafi, Imam

Zaidiyah serta Imam Malik berpendapat bahwa pengusaha

diperbolehkan menggunakan modal atau harta mudharabah

dalam perjalanan untuk keperluannya seperti halnya makanan,

pakaian dan lain sebagainya. Hal ini diperbolehkan apabila

modal tersebut mencukupi untuk itu menurut Imm Malik.

Ulama Hanabilah memperbolehkan pengusaha untuk

menggunakan modal atau harta mudharabah untuk

keperluannya, apablila disyaratkan pada saat akad baik pada

saat menetap maupun dalam perjalanan. Namun demikian, jika

59
Muhammad Asy-Syarbini, Mugni Al-Muhtaj, Juz II, 317.
41

tidak disyaratkan pada saat akad berlangsung maka pengusaha

tidak diperbolehkan menggunakan modal tersebuut.

d) Hak pemilik modal

Pemilik modal memiliki haknya yaitu mengambil bagian

keuntungan jika memperoleh keuntungan. Namun apabila tidak

memperoleh keuntungan, maka pengusaha tidak berhak

mendapatkan apa-apa.

8. Hikmah Mudharabah

Islam membolehkan bagi hasil (mudharabah) demi memberikan

kemudahan kepada manusia. Terkadang terdapat sebagian yang

mempunyai harta tetapi tidak memiliki kemampuan untuk mengelolanya

dan terdapat sebagian yang lain tidak mempunyai harta tetapi mempunyai

kemampuan untuk mengelolanya. Karena hal ini islam membolehkan

manusia untuk melakukan mudharabah. Pihak shahibul m`al atau pemilik

modal memanfaatkan keahlian mudharib (pengelola modal) dan mudharib

memaanfaatkan harta, oleh karena ini terciptalah suatu kerja sama. Allah

SWT tidak mensyariatkan hanya satu akad saja kecuali untuk mewujudkan

kemaslahatan dan menolak kerusakan.60

Jadi hikmah dari disyariatkan mudharabah adalah supaya manusia

dapat melaksanakan kerja sama, karena hal ini termasuk juga saling

tolong-menolong.

Sebagaimana al-quran dalam surat al-maidah ayat 2 yang berbunyi:

60
Briefcase Book, Konsep dan Implementasi Bank Syari’ah (Jakarta: Renaisan, 2005),
39.
42

‫علَى ا ُ ْ ِْلثْ ِم َوا ُ ْلعُد َْو ِن‬


َ ْ‫علَى ا ُ ْل ِب ِر َواُلت َّ ْق َوى َوْلَتَ َع َاونُوا‬
َ ْ‫َوتَ َع َاونُوا‬

Artinya: “...dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)

kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam

berbuat dosa dan pelanggaran...”.

Berdasarkan ayat diatas dapat dipahami bahwa ajaran agama Islam

selalu menganjurkan untuk melakukan kebajikan di muka bumi ini, yang

bertujuan tidak lain untuk kemaslahatan bagi umat manusia baik di duniia

maupun diakhirat.

Mudharabah memiliki hikmah dalam masyarakat, yaitu

membangun seseorang agar memiliki sifat saling tolong-menolong sesama

masyatakat lain. Selain itu terdapat hikmah yaitu untuk menghilangkan

sifat kefakiran dan untuk menjalin kasih sayang antar sesama masyarakat.

Hikmah lain yang dapat diperoleh dari melakukan mudharabah

ialah terciptanya rasa persaudaraan yang erat dan tolong-menolong antara

kaum muslimin yang mempunyai keahlian yang sama dalam bidang

tetentu, sehingga dapat dihindarkannya kecemburuan sosial antar sesama

manusia dalam masyarakat.

9. Perselisihan Antara Pemilik Modal dan Mudharib

Pemilik modal dan mudharib terkadang sering mengalami

perselisihan dalam berbagai hal yang berkaitan dengan pelaksanaan

mudharabah, seperti dalam tasaruf yang umum maupun khusus,

kerusakan harta, pengambilan modal, kadar keuntungan yang diisyaratkan,

dan besarnya modal mudharabah.


43

a. Perselisihan dalam Tasaruf

Apabila perselisihan terjadi dalam tasaruf yang umum atau

khusus, maka yang diterima adalah perkataan pihak yang menyatakan

tasaruf yang umum. Sebagai contoh apabila salah satu pihak yang

menyatakan mudharabah dalam usaha perniagaan, tempat dan mitra

yang umum, sedangkan pihak lain menyatakan usaha, tempat dan mitra

khusus, maka yang diterima adalah perkataan yang menyatakan umum

karena hal itu sesuai dengan tujuan dilaksanakannya akad mudharabah,

yaitu memperoleh keuntungan.61

b. Perselisihan dalam Kerusakan Harta

Apabila pemilik modal dan mudharib berselisih dalam

kerusakan harta, dimana mudharib mengakuinya tetapi pemilik modal

mengingkarinya, atau mereka berselisih dimana pemilik modal

menyatakan bahwa kerusakan karena sengaja, tetapi mudharib

menyatakan tidak sengaja maka para ulama sepakat yang diterima

adalah mudharib. Hal itu dikarenakan mudharib adalah pemegang

amanah (amin), sama seperti halnya dalam wadi’ah.

c. Perselisihan dalam Pengembalian Modal

Apabila pemilik modal dan mudharib berselisih dalam hal

pengembalian modal, dimana mudharib menyatakan sudah

dikembalikan, tetapi pemilik modal menyatakan belum maka menurut

Hanafiah dan Hanabilah yang dipegang adalah pernyataan pemilik

61
Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqih Islami Wa Adillatuh, Juz 4 (Damaskus: Dar Ar-Fikr,
1989), 868.
44

modal. Sedangkan menurut Malikiyah dan Syafi’iyah dalam qaul yang

paling shahih, yang dipegang adalah pernyataan mudharib, karena ia

adalah pemegang amanah (al-amin).62

d. Perselisihan dalam Besarnya Modal

Apabila terjadi perselisihan antara pemilik modal dan mudharib

tentang besarnya modal yang diberikan maka menurut kesepakatan para

fuqaha, yang diterima adalah pernyataan mudharib. Misalnya, pemilik

modal menyatakan, “Saya telah memberikan modal kepada anda

sebesar Rp. 5.000.000” sedangkan mudharib mengatakan, “Kamu telah

memberikan kepada saya modal sebesar Rp. 3.000.000”, maka yang

diterima adalah ucapan mudharib sebagai orang yang menerima modal.

e. Perselisihan dalam Kadar (Besarnya) Keuntungan

Apabila pemilik modal dan mudharib berselisih tentang

besarnya keuntungan yang ditetapkan dalam akad maka menurut

Hanafiah dan pendapat Hanabilah, yang diterima adalah ucapan pemilik

modal. misalnya mudharib mengatakan, “engkau menentukan bagiku

keuntungannya sebesar 40%, sedangkan pemilik modal mengatakan

hanya 30% maka ucapan yang diterima adalah ucapan pihak pemilik

modal karena ia sebagai orang yang ingkar atas kelebihan dari 30% dan

pendapatnyalah yang diterima. Hal tersebut sesuai dengan sabda Nabi:

ُ‫ع َل ْال ُمدَّ ِع ْي َو ْاليَ ِميْن‬


َ ُ‫ اَ ْلبَ ِينَة‬:‫ْح‬ َ ‫عبَّاس ( ِبا ْسنَا ٍد‬
ٍ ‫ص ِحي‬ ْ َ‫َو ِل ْلبَ ْي َه ِقي أ‬
ِ ‫ي ِم ْن َح ِد ْي‬
َ ‫ث اب ِْن‬

)‫علَى َم ْن أَ ْنك ََر‬


َ

62
Ibid., 868
45

Artinya: “Dan diriwayatkan dari Baihaqi, yakni Ibnu Abbas dengan

sanad yang shahih: ketarangan (saksi) adalah hak penuntut,

sedangkan sumpah merupakan hak orang yang ingkar”.63

Menurut Malikiyah dalam kasus perselisihan mengenai besarnya

keuntungan, yang diterima adalah ucapan mudharib disertai dengan

sumpahnya, karena ia statusnya sebagai orang dipercaya, dengan

ketentuan:

1) Tindakannya sesuai dengan kebiasaan manusia yang berlaku dalam

mudharabah.

2) Harta masih dipegang oleh mudharib.

Menurut Syafi’iyah apabila kedua belah pihak berselisih tentang

besarnya bagian keuntungan bagi mudharib maka keduanya bersumpah,

seperti bersumpahnya penjual dan pembeli dalam kadar harga barang.

Akan tetapi, dalam akad mudharabah tidak bisa fasakh dengan cara

bersumpah melainkan harus dengan tindakan pembatalan oleh kedua

belah pihak atau salah satu pihak. Dalam kondisi seperti itu maka pihak

mudharib (pengelola) berhak mendapat upah yang sepadan sebagai

imbalan dari pekerjaan yang telah dilakukannya.64

f. Perselisihan dalam Sifat Modal

Ulama Hanabilah dan Hanafiah berpendapat bahwa apabila dua

pihak saling berselisih mengenai sifat modal, maka pendapat yang

diterima adalah pendapat dari pihak pemilik modal. Misalnya pihak


63
Muhammad bin Ismail Al-Kahlani, Subul As-Salam, Juz 4 Cet. IV (Mesir:1960), 132
64
Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqih Islami Wa Adillatuh, Juz 4 (Damaskus: Dar Ar-Fikr,
1989), 871.
46

pemilik modal mengatakan bahwa “saya serahkan kepadamu harta

untuk mudharabah agar dapat digunakan untuk berdagang, dan

keuntungannya hanya untukku”. Dalam contoh ini yang diterima adalah

ucapan pemilik modal karena harta yang diberikan itu adalah harta

miliknya, dan pernyataan yang diterima dan diakui berkaitan dengan

keluarnya harta itu dari tangannya adalah pernyataan pihak pemilik

modal tersebut.

10. Perkara yang Membatalkan Mudharabah

Mudharabah dianggap batal apabila terjadi hal-hal sebagai

berikut:65

a. Pembatalan, larangan berusaha dan pemecatan

Mudharabah menjadi batal dengan adanya pembatalan

mudharabah, larangan untuk mengusahakan (tasharruf), dan

pemecatan. Semua ini jika memenuhi syarat pembatalan dan larangan,

yakni orang yang melakukan akad mengetahui pembatalan dan

pemecatan tersebut, serta modal telah diserahkan ketika pembatalan

atau larangan. Akan tetapi, jika pengusaha tidak mengetahui bahwa

mudharabah telah dibatalkan, pengusaha (mudharib) dibolehkan untuk

tetap mengusahakannya.

b. Salah seorang aqid meninggal dunia

Jumhur ulama berpendapat bahwa mudharabah batal, jika salah

seorang aqid meninggal dunia, baik pemilik modal maupun pengusaha.

65
Rachmat Syafei, Fiqh Muamalah (Bandung: Pustaka Setia, 2001), 237.
47

Hal ini karena mudharabah berhubungan dengan perwakilan yang akan

batal dengan meninggalnya wakil atau yang mewakilkan. Pembatalan

tersebut dipandang sempurna dan sah, baik diketahui salah seorang

yang melakukan akad atau tidak.

Ulama Malikiyah berpendapat bahwa mudharabah tidak batal

dengaan meninggalnya salah seorang yang melakukan akad, tetapi

dapat diserahkan kepada ahli warisnya, jika dapat dipercaya.66

c. Salah seorang aqid gila

Jumhur ulama berpendapat bahwa gila membatalkan

mudharabah, sebab gila atau sejenisnya membatalkan keahlian dalam

hal mudharabah.

d. Pemilik modal murtad

Apabila pemilik modal murtad (keluar dari agama Islam) atau

terbunuh dalam keadaan murtad, atau bergabung dengan musuh serta

telah diputuskan oleh hakim atas pebelotannya, menurut Imam Abu

Hanifah, hal itu membatalkan mudharabah sebab bergabung dengan

musuh sama saja dengan mati.

Hal itu menghilangkan keahlian dalam kepemilikan harta,

dengan dalil bahwa harta orang murtad dibagikan di antara para ahli

warisnya.

e. Modal rusak di tangan pengusaha

66
Ibid., 238.
48

Jika harta rusak sebelum dibelanjakan, mudharabah menjadi

batal. Hal ini karena modal harus dipegang oleh pengusaha. Jika modal

rusak, mudharabah batal.

Hendi Suhendi menjelaskan bahwa, perjanjian bagi hasil menjadi

batal apabila terjadinya perkara-perkara sebagai beikut:67

a. Syarat yang ditentukan sudah tidak terpenuhi. Apabila salah satu syarat

mudharabah tidak terpenuhi, sedangkan modal sudah ada ditangan

pihak pengelola dan sudah diperdagangkan maka pengelola berhak

mendapatkan sebagian keuntungan sebagai upah, karena tindakannya

atas izin pihak pemilik modal dan ia telah melakukan tugasnya dan

berhak mendapatkan upah. Dan apabila terdapat kerugian, maka

kerugian tersebut merupakan tanggung jawab pihak pemilik modal

bukan pihak pengelola modal karena pengelola hanyalah sebagai buruh

yang hanya berhak menerima upah dan tidak memiliki tanggung jawab

atas sesuatu apapun terkecuali jika adanya kelalaian dari pihak

pengelola.

b. Apabila salah satu pihak meninggal dunia, maka akad mudharabah

tersebut menjadi batal.

c. Apabila pihak pengelola modal meninggalkan tugasnya atau pengelola

melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kesepakatan dalam akad,

maka pihak pengelola modal harus bertanggung jawab apabila terdapat

kerugian.

67
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), 143.
49

Hal lain yang perlu diketahui ialah bahwa mudharabah dapat

menjadi batal oleh sesuatu sebab tertentu. Penyebab batalnya mudharabah

bisa terjadi apabila menyalahi syarat-syarat yang ditetapkan dalam

melakukan akad. Jika ketika akad, umpamanya usaha yang ditetapkan

adalah berdagang alat-alat rumah tangga maka pihak pemberi modal dapat

memfasakh mudharabah itu jika pelaksanaan tida memenuhi persyaratan

yang telah ditetapkan sebelumnya. Selain itu mudharabah juga dapat batal

apabila pengelola modal melalaikan tugasnya sebagai pemelihara modal,

misalnya modal yang ada digunakan untuk memenuhi kebutuhan

hidupnya. Dalam hal pengelola modal melalaikan tugasnya, pemilik modal

mempunyai hak menuntut ganti rugi apabila jumlah modalnya berkurang.

Pembatalan mudharabah juga bisa terjadi karena pelanggaran pembagian

keuntungan oleh salah satu pihak, jika salah satu pihak lainnya tidak saling

merelakan.68

Hal lain yang bisa membatalkan berlangsungnya perjanjian

mudharabah adalah wafatnya salah satu pihak yang melaksanakan

perjanjian tersebut. Apabila pihak pengelola modal yang wafat, maka

pihak pemilik modal bisa meminta modal kembali kepada ahli warisnya

dengan ketentuan membagi keuntungan yang diperoleh berdasarkan

kesepakatan yang telah ditetapkan.

Apabila pihak pemilik modal yang wafat, maka pihak pengelola

misal mempunyai kewajiban untuk mengembalikan modal tersebut kepada

68
Helmi Karim, Fiqh Muamalah (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1993), 16-17.
50

ahli waris pemilik modal dan jika memperoleh keuntungan pun

berkewajiban diberikan kepada ahli warisnya itu sesuai dengan

kesepakatan yang sudah ditentukan dalam akad sebelumnya.69

Mudharabah juga bisa batal apabila pihak pengelola modal

memudharabahkan modal yang telah diberikan kepada pihak lainnya.

Berdasarkan ketentuan agama , modal yang telah diberikan oleh seseorang

tidak diperbolehkan dipindahtangankan kepada yang lain, karena modal

yang diberikan itu bukanlah harta milik pihak pengelola modal melainkan

tetap menjadi harta milik pihak pemberi modal. Apabila hal tersebut

terjadi, maka mudharabah pertama akan menjadi batal dan pengelola

usaha mempunyai kewajiban mengembalikan modal kepada pemilik

modal atau pihak pertama.

B. Parkir

1. Pengertian Parkir

Berdasarkan Undang-Undang No. 22 tahun 2009 Pasal 1 Nomor 15

tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, parkir adalah keadaan kendaraan

berhenti atau tidak bergerak untuk beberapa saat dan ditinggaalkan

pengemudinya.70

Menurut PP No. 43 tahun 1993 menjelaskan bahwa parkir

merupakan suatu keadaan dimana kendaraan tidak bergerak dalam jangka

waktu tertentu atau tidak bersifat sementara.71

69
Ibid., 19
70
Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
71
PP No. 43 Tahun 1993 tentang Prasarana dan Lalu Lintas Jalan.
51

Menurut Pedoman Perencanaan dan Pengoperasian Fasilitas Parkir,

Direktorat Jenderal Perhubungan Darat 1998 parkir adalah keadaan tidak

bergerak suatu kendaraan yang bersifat sementara.

Menurut kamus besar bahasa Indonesia, parkir ialah menghentikan

atau menaruh kendaraan untuk beberapa saat ditempat yang sudah

disediakan. 72

Parkir adalah keadaan tidak bergeraknya suatu kendaraan yang

sifatnya hanya sementara karena ditinggalkan oleh pengemudinya. Setiap

pengendara kendaraan memiliki kecenderungan untuk mencari lahan

parkir untuk memarkirkan kendaraannya sedekat mungkin dengan tempat

kegiatan atau aktifitasnya. Tempat-tempat terjadinya suatu kegiatan atau

aktifitasnya seperti tempat kawasan pariwisata diperlukan area lahan

parkir.

Berikut ini merupakan definisi parkir menurut para ahli adalah

sebagai berikut:

a. Sukanto menjelaskan bahwa parkir merupakan tempat pemberhentian

dan meyimpannya suatu kendaraan baik berupa mobil, sepeda motor,

sepeda dan sebagainya untuk sementara waktu dalam suatu ruang

tertentu. Yang dimaksud kedalam ruang tersebut ialah berupa garasi,

tepi jalan atau tempat lainnya yang di sediakan guna menampung suatu

kendaraa tersebut.73

72
Arti kata Parkir “Kamus Besar Bahasa Indonesia KKBI”, tersedia di
https://kbbi.web.id/parkir (20 Mei 2020)
73
Sukanto, Nafsiologi (Jakarta: Integritas Press, 1985)
52

b. Warpani menjelaskan bahwa parkir merupakan tempat menempatkan

atau memangkal dengan menghentikan suatu kendaraan bermotor

maupun tidak bermotor di suatu tempat pada jangka waktu tertentu.74

c. Poerwadarminta menjelaskan bahwa parkir merupakan suatu tempat

untuk kendaraan berhenti pada beberapa saat.75

2. Jenis parkir

Kendaraan yang menempuh suatu perjalanan pada akhirnya akan

berhenti ditempat tujuan sehingga membutuhkan lahan parkir. Berikut ini

merupakan jenis parkir yang ada :

a. Parkir menurut penempatannya

1) Parkir di tepi jalan (on street parking)

Parkir ditepi jalan umum merupakan jenis parkiran yang

penempatannya di sepanjang tepi jalan. Tempat parkir seperti ini

biasanya banyak di temui pada kawasan yang padat pemukimannya

serta pada kawasan pusat perdagangan dan perkantoran yang mana

pada umumnya tidak memiliki lahan untuk menampung banyaknya

kendaraan yang akan parkir. Jenis parkir seperti ini sangatlah

menguntungkan bagi pemilik kendaraan dikarenakannya dekat

dengan tempat tujuan. Parkir ini terdiri dari :76

a) Parkir di daerah perumahan

b) Parkir di pusat kota, tidak terkontrol

74
Warpani S, Rekayasa Lalu Lintas (Jakarta: Bhatara Karya Aksara, 1990)
75
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1976)
76
Abu Bakar Iskandar, dkk, Pedoman Perencanaan dan Pengoperasian Fasilitas Parkir
(Jakarta: 1998), 57.
53

c) Parkir di pusat kota, terkontrol

2) Parkir di luar jalan (off street parking)

Untuk menghindari terjadinya sebuah hambatan akibat parkir

kendaraan di jalan maka parkir di luar jalan menjadi salah satu

pilihan yang terbaik. Terdapat dua jenis parkir di luar jalan yaitu:

1) Peralatan parkir

Peralatan parkir merupakan kawasan terbuka yang dapat

digunakan untuk memarkirkan kendaraan atau disebut juga taman

parkir. Parkir jenis ini sangat penting di pusat perdagangan,

perkantoran, stadion olahraga, pasar, sekolah.

2) Gedung parkir bertingkat

Saat ini bentuk yang banyak dipakai adalah gedung parkir

bertingkat dengan lantai yang optimalnya hingga 5 lantai dan

menetapkan tarif. Penetapan tarif yang dilakukan oleh pengelola

bertujuan untuk memperoleh keuntungan sehingga sering

menetapkan tarif yang tidak seharusnya. Hal ini tentu dapat

merugikan masyarakat sebagai pengguna jasa parkir dan

mengurangi kenyamanan dalam penggunaannya.

b. Parkir berdasarkan statusnya

1) Parkir umum

Parkir umum adalah perparkiran yang menggunakan tanah,

jalan dan lapangan yang memiliki/dikuasai dan pengelolaannya


54

diselenggarakannya oleh pemerintah daerah. Parkir ditepi jalan

umum merupakan bagian dari parkir umum.

2) Parkir khusus

Parkir khusus adalah jenis perparkiran yang mengunakan

tanah yang tidak dikuasai oleh pemerintah daerah yang

pengelolaannya diselenggarakan oleh pihak lain baik berupa badan

usaha maupun perorangan. Yang termasuk kedalam jenis parkir ini

yaitu gedung parkir, tempat parkir gratis dan garasi.77

3) Parkir darurat

Parkir darurat merupakan perparkiran yang dilakukan

ditempat umum baik menggunakan lahan tanah milik pemerintah

daerah maupun swasta.

4) Taman parkir

Taman parkir adalah suatu areal bangunan perparkiran yang

dilengkapi dengan fasilitas sarana perparkiran dan dikelola oleh

pemerintah suatu daerah.

5) Gedung parkir

Gedung parkir merupakan jenis tempat parkir yang berbentuk

berupa bangunan yang dimanfaatkan untuk lahan parkir kendaraan

dan dikelola oleh pihak ketiga ataupun suatu pemerintah daerah

dimana telah mendapatkan ijin dari pemerintah.

c. Parkir menurut tujuannya.

77
Ibid., 59.
55

1) Perparkiran yang digunakan untuk menurunkan atau menaikkan

penumpang.

2) Perparkiran yang dipakai untuk melakukan muat atau bongkar

barang.

Kedua hal tersebut harus dipisahkan agar kegiatan dari

masing-masing kebutuhan tidak terganggu antar satu sama lain.

d. Parkir menurut jenis kendaraannya.

Menurut jenis kendaraan yang diparkir, terdapat beberapa

macam parkir yang bertujuan mempermudah pelayanan, yaitu:

1) Parkir untuk kendaraan roda dua tidak bermesin (sepeda).

2) Parkir untuk becak, andong, dokar.

3) Parkir untuk kendaraan roda dua bermesin (sepeda motor).

4) Parkir untuk kendaraan roda tiga, empat atau lebih dan bermesin

(bemo, mobil, truk dll)

e. Parkir menurut jenis pengoperasian dan pemiliknya.

Dilihat dari jenis pengoperasiannya dan kepemilikannya

parkiran dibedakan menjadi 3 jenis yaitu:

1) Tempat parkir yang dimiliki Pemerintah Daerah serta dioperasikan

oleh pihak pemerintah.

2) Tempat parkir yang dimiliki pemerintah serta dioperasikan oleh

pihak swasta.
56

3) Tempat parkir yang dimiliki pihak swasta serta dioperasikan oleh

pihak swasta.78

78
Ibid., 61.
DAFTAR PUSTAKA

Adiwarman A Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan , Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 2008.

Ahmad, Anwar Ahmadi, Prinsip-prinsip Metodologi Research, Yogyakarta:

Sumbangsi, 1975.

Al-Jaziri, Abdurrahman, Al-Fiqh ‘ala Madzahib al Arba’ah, Jilid III, Beirut: Daar

al-Fikr, 1990.

Al-Zuhaili, Wahbah, al-Fiqih al-Islami wa Adillatuh, Beirut: Darul Fikr al-

Mu’ashirah, 2002.

Antonio, Muhammad Syafe’i, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktek, Jakarta:

Gema Insani Press, 2001.

Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta:

Rineka Cipta, 2006.

Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

2012.

Ash Shiddieqy, Hasbi, Pengantar Fiqih Muamalah, Jakarta: Bulan Bintang, 1974.

Basyir, Ahmad Azhar, Asas-Asas Hukum Muamalah, Yogyakarta: UII Press,

1990.

Briefcase Book, Konsep dan Implementasi Bank Syari’ah, Jakarta: Renaisan,

2005.

Cholid Narbuko dan Abu Achmadi. Metode Penelitian, Jakarta: Bumi Aksara,

2015.
Darsono dan Ali Sakti, Perbankan Syariah di Indonesia, Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada, 2017.

Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, Jilid I, Yogyakarta: Andi Offset, 1983.

Haroen, Nasroen, Fiqh Muamalah, Cet. Ke-2, Jakarta: Gaya Media Pratama,

2007.

Iskandar, Abu Bakar, dkk, Pedoman Perencanaan dan Pengoperasian Fasilitas

Parkir, Jakarta: 1998.

Kaelan, Metode Kualitatis Bidang Filsafat, Yogyakarta: Paradigma, 2005.

Karim, Helmi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1993.

Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta: Raja Grafindo, 2002.

Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah, Cet. 3, Jakarta: Kencana, 2012.

Margono, MetodePenelitian Pendidikan, Jakarta: RenikaCipta, 2015.

Moleong, Lexy J, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosda Karya.

Mujiep, M. Abdul, dkk, Kamus Istilah Fiqh, Cet. Ke-3, Jakarta: Pustaka Firdaus,

2002.

Muslich, Ahmad Wardi, Fiqh Muamalat, Jakarta: Amzah, 2015.

Mustofa, Imam, Fiqih Muamalah Kontemporer, Depok: Rajawali Pers, 2018.

Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1976.

Rivai, Veithzal, Islamic Financial Management, Jakarta: Raja Grafindo Persada,

2008.

Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, Alih Bahasa oleh Kamaluddin A Marzuki, Terjemah

Fiqih Sunnah Jilid XIII, Bandung: Al Ma’arif, 1997.


Sohari Sahrani dan Ruf’ah Abdullah, Fiqih Muamalah, Bogor: Ghalola Indonesia,

2011.

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Bandung: Alfabeta,

2009.

Suhendi, Hendi, Fiqih Muamalah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010.

Sukanto, Nafsiologi, Jakarta: Integritas Press, 1985.

Susiadi, Metode Penelitian, Bandar Lampung: Fakultas Syariah UIN Raden Intan

Lampung, 2014.

Syafe’i, Rachmat, Fiqh Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2001.

Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh, Jilid 1, Jakarta: Kencana Pranada Media Group,

2009.

Warpani S, Rekayasa Lalu Lintas, Jakarta: Bhatara Karya Aksara, 1990.

Zulkifli, Sunarto, Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah, Jakarta: PT.

Bestari Buana Murni, 2007.

Skripsi dan Jurnal:

Israh Maudya Makmur yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Sistem

Bagi Hasil Masyarakat Nelayan”.Jurnal. Vol 2, No. 2, 2020.

Melinda, “Tinjauan Hukum Islam Tentang Praktik Kerja Sama Bagi Hasil Antara

Pemilik Modal Dengan Pengelola (Studi Pada Toko Wanti Pasar Panjang

Bandar Lampung)”. Skripsi, Bandar Lampung: Jurusan Muamalah

Fakultas Syariah UIN Raden Intan Lampung, 2019.


Nur Reyztafirigi Andayani, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Bagi Hasil Dalam

Perjanjian Kerjasama Peternakan Sapi”. Jurnal, Vol. 2 No. 3, 2020.

Wawancara:

Alex, Pengelola Lahan Parkir Pantai Sebalang, Wawancara, Tanggal 26 Mei

2021.

Said, Pemilik Lahan Parkir Objek Wisata Pantai Sebalang, Wawancara, Tanggal

26 Mei 2021.

Tedy, Pengelola Lahan Parkir Pantai Sebalang, Wawancara, Tanggal 26 Mei

2021.

Anda mungkin juga menyukai