ARJUNA
ARJUNA
HUKUM ADAT
Dosen Pengampu : Mirwansyah, S.H., M.H.
Oleh :
Arjuno Tiyo Permana (22742010043)
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SANG BUMI RUWA JURAI
LAMPUNG
2023
BAB I
A. PENGERTIAN ADAT
Soepomo berpendapat bahwa di dalam penelitian hukum adat yang
menentukan bukanlah banyaknya jumlah perbuatan yang terjadi, walaupun
jumlah tersebut merupakan petunjuk bahwa perbuatan tersebut merupakan hal
yang diharuskan dalam masyarakat. Adat adalah pencerminan dari kepribadian
sesuatu bangsa, merupakan salah satu penjelmaan daripada jiwa bangsa yang
bersangkutan dari abad ke abad.
B. HUKUM ADAT
Sejak Snouck Hurgronje memperkenalkan istilah Hukum Adat kemudian
dilanjutkan oleh para sarjana Hukum Adat, maka sebenarnya istilah hukum
adat hanya merupakan istilah teknis ilmiah semata untuk membedakan antara
Hukum Barat dan Hukum Bumiputra, hukum barat yang tertulis dan hukum
Bumiputra yang kebanyakan tidak tertulis, kemudian oleh Van Vollenhoven
dikemukakan “dikatakan hukum karena bersanksi, dikatakan adat karena tidak
dikodifikasi”
1. Proses Terbentuknya Hukum Adat
Proses terbentuknya Hukum Adat diawali dengan tingkah laku yang
disebut “CARA” (Usage). Usage ini merupakan bentuk tertentu dari
pelaku yang lebih menonjol dalam hubungan antar pribadi.
2. Pengertian Hukum Adat Oleh Pejabat
Definisi Hukum Adat menurut sarjana, Ter Haar berpendapat bahwa
Hukum Adat adalah tingkah laku yang telah dipertahankan secara konkrit
oleh sesuatu keputusan petugas-petugas hukum (teori keputusan)
3. Hukum Adat Sebagai Aspek Kebudayaan
a. Pengertian kebudayaan
Budaya menurut Kamus Bahasa Indonesia adalah pikiran, akal budi,
hasil. Ada pendapat menurut Herskovits memandang kebudayaan
sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi.
Segi wujudnya kebudayaan menurut Koentjoroningrat ada 3 wujud
yaitu:
a) Suatu kompleks dari ide, gagasan, nilai, norma aturan dsb.
b) Kompleks aktifitas serta tindakan berpola dari manusia dalam
masyarakat.
c) Benda-benda hasil karya manusia.
Hukum adat sebagai aspek kebudayaan adalah hukum adat yang dilihat
dari sudut pandang nilai, norma sosial, ilmu pengetahuan, serta
keseluruhan struktur sosial religious yang didapat seseorang dengan
ekstensinya sebagai anggota masyarakat.
b. Hukum Adat Sebagai Aspek Kebudayaan
Hukum adat merupakan hukum tradisional masyarakat perwujudan
dari suatu kebutuhan hidup yang nyata serta merupakan salah satu cara
pandangan hidup yang secara keseluruhannya merupakan kebudayaan
masyarakat tempat hukum adat tersebut berlaku.
c. Unsur-Unsur Dalam Hukum Adat
1) Unsur Kenyataan
Adat dalam keadaan yang sama selalu diindahkan oleh rakyat dan
secara berulang-ulang serta berkesinambungan dan rakyat
mentaati serta mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
2) Unsur Psikologis
Setelah hukum adat ini berulang-ulang dilakukan selanjutnya
terdapat keyakinan pada masyarakat bahwa adat yang dimaksud
mempunyai kekuatan hukum.
d. Timbulnya Hukum Adat
Hukum adat lahir dan dipelihara oleh putusan-putusan para warga
masyarakat hukum terutama keputusan kepala rakyat yang membantu
pelaksanaan perbuatan hukum itu atau dalam hal bertentangan
keperntingan dan keputusan para hakim mengadili sengketa sepanjang
tidak bertentangan dengan keyakinan hukum rakyat, senafas, seirama,
dengan kesadaran tersebut diterima atau ditoleransi.
BAB II
HUKUM PERTANAHAN
1. HUKUM TANAH
Tanah mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam Hukum Adat karena
tanah merupakan satu-satunya benda kebudayaan yang meskipun mengalami
keadaan yang bagaimanapun akan tetap dalam keadaan semula.
3. TRANSAKSI TANAH
A. JUAL GADAI
1) Hak Pembeli Gadai
Dengan penerimaan tanah itu si pembeli gadai berhak :
a. Menikmati manfaat yang melekat pada hak milik, dengan
pembatasan :
Tidak boleh menjual lepas tanah itu kepada orang lain.
Tidak boleh menyewakan untuk lebih dari satu musim
lamanya (jual tahunan).
b. Mengadakan perjanjian bagi hasil/belah pinang/paruh hasil
tanah/maro dan sejenis itu
2) Sifat Hubungan Gadai
a. Pembeli gadai tidak berhak menagih uangnya dari penjual gadai.
b. Penebusan gadai tergantung kepada kehendak penjual gadai. Uang
gadai hanya dapat ditagih oleh pembeli gadai,
3) Kemungkinan Mengoperkan Gadai dan Menggadaikan Kembali
a. Setahu dan seizin penjual gadai, si pembeli gadai dapat
mengoperkan gadai itu kepada pihak ketiga, yaitu menyerahkan
tanah tersebut kepadanya dengan menerima sejumlah uang tunai.
b. Tanpa setahu dan seizin penjual gadai, si pembeli gadai
menggadaikan kembali tanah itu kepada pihak ketiga, dengan janji
ia sewaktu-waktu dapat menebus tanah itu dari pihak ketiga
tersebut.
4) Perbandingan Dengan Pand Menurut Burgerlijk Wetboek (BW)
a. Persamaan
Benda perjanjian harus diserahkan ke dalam kekuasaan si
pemegang gadai/pand.
b. Perbedaan
1) Transaksi gadai merupakan transaksi jual yang mandiri dengan
tanah selaku objeknya.
2) Pembeli gadai tidak dapat memaksa penjual gadai untuk
menebus obyek transaksinya. Sebaliknya, setiap waktu benda
itu ditebus ia harus mengembalikan nya.
5) Integrasi Gadai Ke Dalam Juridiksi UUPA
Sesudah UUPA berlaku, soal gadai ini diatur dalam PERPU No.56
Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Dalam Pasal 7
PERPU tersebut ditentukan bahwa tanah yang sudah digadaikan
selama 7 (tujuh) tahun atau lebih, harus dikembalikan kepada pemilik
tanah/penjual gadai, tanpa ada kewajiban baginya untuk membayar
uang tebusan. Pengembalian tanah itu dilakukan dalam waktu sebulan
setelah tanaman yang terdapat disitu selesai dipetik hasilnya.
Mengenai gadai yang berlangsung kurang dari 7(tujuh) tahun, si
pemilik tanah dapat memintanya kembali setiap waktu setelah selesai
pemetikan hasil tanaman yang ada disitu, dengan membayar uang
tebusan yang dihitung menurut rumusan :
7
Pelanggaran terhadap ketentuan itu diberi sanksi berupa pidana
kurungan selama-lamanya 3(tiga) bulan dan/atau denda sebanyak-
banyaknya Rp. 10.000.-
6) Penilaian Uang Gadai Sekarang
Risiko dari perubahan nilai uang rupiah itu ditanggung separo-separo
oleh kedua belah pihak (penjual gadai dan pembeli gadai). Penilaian
uang gadai itu dihubungkan dengan harga emas (sekarang = beras).
Keputusan Mahkamah Agung tanggal 22-5-1957 mengenai penilaian
itu sebagai berikut: “Dalam hal ada perbedaan besar nilai uang yang
beredar pada waktu sebidang tanah digadaikan dan pada waktu itu
akan ditebus adalah sesuai dengan rasa keadilan apabila kedua belah
pihak masing-masing memikul separo risiko kemungkinan adanya
perubahan harga nilai uang rupiah, diukur dari perbedaan harga emas
pada waktu menggadaikan dan waktu menebus tanah.
B. JUAL LEPAS
1) Perjanjian Riil
Perjanjian jual lepas tanah sekaligus selesai dengan tercapainya
persetujuan/persesuaian kehendak (consensus) diikuti dengan
ikrar/pembuatan kontrak jual beli di dadapan Kepala Persekutuan
Hukum yang kompetent
2) Fungsi Panjer
a. Pembicaraan yang mengandung janji (afspraak) saja tidak
mengakibatkan suatu kewajiban.
b. Uang/benda itu disebut “panjer”. Tanpa Panjer orang tidak merasa
terikat,
C. JUAL TAHUNAN
Ini merupakan suatu bentuk menyewakan tanah. Transaksi tanah ini di
luar Jawa tidak begitu dikenal. Lamanya pun tidak tertentu.
1) Hak-Hak Yang Diperoleh Si Pembeli Tahunan
Hak-hak yang diperoleh si pembeli tahunan, meliputi antaranya :
a. Mengolah tanah
b. Menanami dan memetik hasilnya
2) Larangan Bagi Si Pembeli Tahunan
Larangan bagi si pembeli tahunan yaitu menjual/menyewakan tanah
itu, kecuali seizin pemiliknya.
3) Perjanjian Pelunasan Utang
utang itu dibayar dengan penyerahan tanah untuk sementara.
C. Kombinasi Bagi Hasil Serta Sewa Dengan Gadai Tanah dan Sewa Tanah
Dengan Pembayaran Uang Di muka
1) Transaksi bagi hasil (dan sewa) mendapat arti istimewa dari kenyataan
bahwa transaksi tadi seringkali dikaitkan pada “gadai tanah”.
Tanggungan atau jonggolan di Jawa, makantah di Bali, tanah di
Tapanuli, transaksi macam ini terjadi, apabila seseorang yang
berhutang kepada orang lain berjanji kepada orang yang memberi
pinjaman tadi, bahwa selama belum melunasi hutangnya ia tidak akan
mengadakan transaksi tentang tanahnya, kecuali dengan pemberi
hutang.
2) Akibat Hukum
Menurut Hukum Adat, akibat hukum dari perbuatan hukum gabungan
itu ialah transaksi bagi hasil dan hubungan sewa dapat diakhiri dalam
waktu pendek
3) Menilik keadaan lahir
Maka kombinasi “gadai sawah” dengan “bagi hasil” atau “gadai
pekarangan” dengan “sewa” itu mirip dengan transaksi yang berserta
tanah selaku tanggungan /jaminan.
D. Transaksi Pinjaman Uang Dengan Tanggungan Tanah
1) Titik Inti Perjanjian
Titik inti ialah “saya berjanji, selama utang saya belum lunas, tidak
akan membuat transaksi tanah atas tanah saya, kecuali untuk
kepentingan kreditur saya” (transaksi dengan dia atau dengan orang
lain).
2) Sifat dan Fungsi
Mempergunakan tanah sebagai tanggungan adalah transaksi accessoir
pada transaksi pinjam uang selaku transaksi pokok.
3) Tanggungan Di Bawah Tangan (onderhandse Zekerheidstelling)
Diselenggarakan antara para pihak tanpa diketahui Kepala Persekutuan
Hukum, dan oleh karena itu tidak berlaku terhadap pihak ketiga, ini
berarti :
a. Transaksi jual yang diadakan dengan berakibat beban atas tanah
tanggungan selama utang belum dilunasi itu adalah sah menurut
hukum.
b. Tanah tanggugan itu dapat dijual atas dasar vonis Hakim untuk
melunasi pinjaman-pinjaman uang lain, sedangkan si pemberi
utang dengan tanggungan di bawah tangan ini tidak mempunyai
hak mendahulu (voorrecht) terhadap kreditur-kreditur lainnya.
4) Tanggungan Setahu Kepala Persekutuan Hukum
Bila transaksi itu diselenggarakan dengan setahu Kepala persekutuan
Hukum, pemilik tanah tidak bisa dan tidak boleh memindahtangankan
tanahnya/mengalihkannya dengan tidak memanfaatkan hasil tanah itu
untuk mengangsur utangnya.
5) Ada Tidaknya Hak Mendahulu (Voorrecht)
Memberikan hak mendahulu kepada si pemberi utang dengan
tanggungan itu. Jika tanahnya dilelang atas perintah vonis hakim,
6) Perbedaan Dengan Gadai Tanah Diikuti Bagi Hasil Ataupun Sewa
Perbedaan dalam sistem antara kedua tokoh/lembaga hukum itu
ternyata dari hal-hal yang berikut:
a. Bantuan Kepala Persekutuan Hukum merupakan syarat mutlak
untuk gadai tanah dan tidak untuk transaksi pinjam uang.
b. Uang gadai tanah tidak dapat dituntut kembali, sedangkan dalam
hal debitur lalai uang pinjaman dengan tanggungan itu tidak dapat
dituntut pelunasannya
7) Simulatio, Perbuatan Pura-Pura, Schijnhandeling.
Simulatio ialah suatu perbuatan/kompleks perbuatan yang dilakukan
dua orang atau lebih sepakat untuk menumbuhkan semua kesan ke
dunia luar
Akan mempertahankan berlakunya hubungan yang sudah ada
Akan melaksanakan perjanjian lain daripada yang
disimulasikannya.
BAB III
HUKUM PERHUTANGAN (SCHULDENRECHT)
A. CIRI-CIRI POKOK
1. Menurut Sistematika Hukum Adat, Hukum Harta Kekayaan di Bagi Atas
a. Hukum Tanah (dan hukum air)
b. Hukum Perhutangan
D. PERHIMPUNAN
1. Asas Lain Kita Jumpai Pada Fenomena Terurainya Lingkungan Hidup
Yang Di Dalamnya Para Warganya Melakukan Tolong-Menolong.
2. Disatu Pihak Lembaga Tolong-Menolong Menjadi Dasar Perbuatan
Kredit.
3. Bagi Hasil Sebagai Perserikatan (kongsi, maatschap)
4. Bagi Laba
5. Perbuatan Kredit Individual (Individuele Crediethandelingen)
6. Pemujangan/Pengakuan Diri (pandelingschap)
7. Peminjaman uang dan barang selaku perbuatan kredit individual
8. Lembaga yang berulang kali terdapat
9. Bila Lembaga Tolong-Menolong tidak dapat memberikan penyelesaian
10. Banyak pula terjadi pengupahan untuk bermacam-macam jasa
11. Saksi-Saksi yang didatangkan pada pembuatan transaksi
12. Beberapa perbuatan-perbuatan kredit rupa-rupanya sudah lazim
(endemisch)
13. Kontrak Pemeliharaan (verzorgings kontract ini asalnya dari Van
Vollenhoven)
14. Mirip dengan kontrak pemeliharaan
E. MERUGIKAN PENAGIH UTANG/MERUGIKAN KREDITUR
Merugikan penagih utang dengan jalan pembagian harta kekayaan kepada
calon ahli waris semasa hidup si pewaris, pembagian harta perkawinan
bersama, pemberian-pemberian jadi atau penghadiahan perbuatan-perbuatan
yang sebenarnya dapat ditinggalkan/dijauhi atau dicegah, tetapi karena sudah
dilakukan perbuatan itu hampir menyebabkan gagalnya tuntutan si penagih
utang atas barang-barang itu dan oleh keputusan-keputusan hakim
gubernemen dianggap batal.
BAB IV
A. HUKUM KEKERABATAN
Hukum adat kekerabatan adalah hukum adat yang mengatur tentang
bagaimana kedudukan pribadi seseorang sebagai anggota kerabat, kedudukan
anak terhadap orangtua dan sebaliknya kedudukan anak terhadap kerabat dan
sebaliknya dan masalah perwalian anak.
a. Sistem kekerabatan parental
b. Sistem kekerabatan patrilineal
c. Sistem kekerabatan Matrilineal
BAB VI
PEMINANGAN
A. PEMINANGAN
1. Pengertian Peminangan
Terminologi peminangan ialah upaya ke arah terjadinya hubungan
perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita atau seorang laki-
laki meminta kepada seorang perempuan untuk menjadi istrinya, dengan
cara-cara yang umum berlaku di tengah-tengah masyarakat.
2. Dasar Hukum Peminangan
Di Al Qur’an Surah Al Baqarah ayat 235, Mayoritas Ulama menyatakan
bahwa peminangan tidak wajib. Namun merupakan pendahuluan yang
hampir pasti dilakukan
Ali al-sabuniy mencoba menjelaskan hukum khitbah dalam Tafsir Ayat al-
Ahkamnya dengan membagi kedalam 3 (tiga) bagian :
1) Hukum wanita yang boleh di khitbah yaitu wanita yang tidak sedang
dalam perkawinan dengan pengecualian tidak dikhitbah orang lain.
2) Hukum wanita yang tidak boleh di khitbah; yaitu wanita yang sedang
dalam ikatan perkawinan.
3) Hukum wanita yang boleh di khitbah; yaitu wanita yang sedang dalam
masa iddah
3. Syarat-Syarat Peminangan
a. Syarat Mustahsinah
Syarat yang merupakan anjuran pada laki-laki yang hendak meminang
agar meneliti wanita yang akan dipinangnya sebelum melangsungkan
peminangan. Syarat mustahsinah tidak wajib untuk dipenuhi, hanya
anjuran dan baik untuk dilaksanakan, sehingga tanpa syarat ini
peminangan tetap sah
b. Syarat Lazimah
syarat yang wajib dipenuhi sebelum peminangan dilakukan. Sah
tidaknya peminangan tergantung pada syarat-syarat lazimah
4. Tata Cara Peminangan
Menurut ketentuan hukum adat Mandailing
1) Maresek
proses dimana perkenalan antara orangtua kedua belah pihak
2) Meminang
3) Penentuan jumlah/besarnya uang kasih sayang
Menyepakati dari kedua belah pihak
4) Penyerahan uang kasih sayang
5) Penentuan waktu dan tanggal penyelenggaraan pernikahan
6) Ijab Kabul
5. Akibat-akibat dari Terjadinya peminangan
Konsekuensi dari peminangan yaitu :
a. Perempuan yang telah dipinang oleh seorang laki-laki dan telah
diterimanya, maka tidak boleh dipinang oleh laki-laki lain
b. Setelah terjadi peminagan maka laki-laki yang meminang boleh
melihat muka dan tangan perempuan yang dipinangnya serta saling
mengenali antara keduanya.
c. Akad peminagan tidak berarti akad nikah sehingga laki-laki dan
perempuan yang melakukan khitbah tidak boleh bergaul seperti
layaknya suami isteri.
d. Kedua belah pihak juga tidak boleh ber-khalwat di tempat-tempat yang
sepi, kecuali ditemani oleh muhrimnya.
6. Pendapat Masyarakat tentang Peminangan
Dalam masyarakat terdapat kebiasaan pada waktu upacara tunangan, calon
mempelai laki-laki memberikan sesuatu pemberian seperti perhiasan atau
cendera hati lainnya sebagai kesungguhan niatnya untuk melanjutkannya
ke jenjang perkawinan.
7. Tradisi peminangan di lingkup Daerah dan Pedesaan
1) Tradisi Peminangan di Daerah
Istilah tradisi biasa ada dalam suatu daerah yang itu dilakukan secara
berulang-ulang. Seperti yang berlaku di daerah Lamongan berumah
tangga adalah “laki atau rabi” Bahwa wanita membutuhkan laki-laki,
dan pria membutuhkan rabi. Maka dari itu wanita dan pria
melaksanakan laki rabi agar mempunyai keturunan.
2) Tradisi Peminangan di Pedesaan
Di pedesaan biasannya hampir sama dengan di daerah, cuman ada latar
belakang sejarah yang berbeda
3) Pemberian Hadiah Dalam Peminangan
a. Ketentuan Hadiah Dalam Islam
Hibah artinya pemberian atau hadiah, yaitu suatu pemberian yang
dilakukan secara sukarela dalam mendekatkan diri kepada Allah
tanpa mengharap balasan apa pun.
b. Praktek Pemberian Hadiah Dalam Peminangan
Selama proses peminangan berlangsung, dianjurkan bagi kedua
calon dengan disertai keluarga masing-masing untuk melakukan
pertemuan.
4) Historisitas Praktik Pemberian Hadiah Dalam Islam
Hibah menjadi salah satu media dalam menjalin hubungan sesama
Manusia yang merupakan menifestasi dari hubungan dengan pencipta.
Jika baik hubungan dengan manusia lain, maka baik pula hubungan
dengan penciptanya. Karena itu Hukum Islam sangat menekankan
kemanusiaan dan kemaslahatan.
BAB VII
PERTUNANGAN
1. PERTUNANGAN
Pertunangan adalah hubungan hukum yang dilakukan antara orang tua pihak
pria dengan orang tua pihak wanita untuk maksud mengikat tali perkawinan
anak-anak mereka dengan jalan peminangan