4898 11277 1 PB

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 10

PROSIDING SEMINAR BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (SENASBASA)

http://research-report.umm.ac.id/index.php/SENASBASA

SENASBASA (5) (2021) (E-ISSN 2599-0519)

PROSIDING SEMINAR
BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
(SENASBASA)

http://research-
report.umm.ac.id/index.php/SENASBASA

Simbol Tokoh Pewayangan pada Novel Hati Suhita Karya Khilma Anis

Santi Novitasari, Purwati Anggraini


Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, Universitas Muhammadiyah Malang
*shantty43@gmail.com

Info Artikel Abstrak


Diterima: 10-11-2021 Simbol tokoh dengan tokoh pewayangan pada novel Hati Suhita karya
Direvisi: 10-12-2021 Khilma Anis yang terdapat pada setiap tokoh di dalam novel memerlukan
Dipublikasikan: 31-12-2021 pemaknaan untuk memudahkan pembaca memahami maksud yang ingin
disampaikan pengarang. Berdasarkan hal tersebut tujuan penelitian ini
ialah mendeskripsikan simbol tokoh pewayangan pada novel Hati Suhita
Kata Kunci: karya Khilma Anis. Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah
Novel metode deskriptif kualitatif dengan menggunakan pendekatan
Simbol semiotik. Sumber data yang digunakan dalam penelitian adalah novel
Tokoh Pewayangan Hati Suhita karya Khilma Anis, dengan menggunakan kata, kalimat,
dialog antar tokoh yang dijadikan sebagai data dalam penelitian. Data
yang diperoleh akan diproses melalui beberapa langkah, yaitu: (1)
pengumpulan data, (2) reduksi data, (3) penyajian data, (4) penarikan
kesimpulan. Dari beberapa proses tersebut ditemukan simbol budaya
Jawa dalam novel Hati Suhita karya Khilma Anis diantaranya simbol
tokoh pewayangan, simbol mitos kehamilan, simbol mitos tumbuhan.
Dari hasil analisis yang telah dilakukan dalam novel Hati Suhita karya
Khilma Anis terdapat simbol tokoh pewayangan Alina Suhita yang
disimbolkan dengan Dewi suhita, Sarpakenaka, Ekalaya, Prabu
Duryudana. Kemudian tokoh Mbah Kung disimbolkan dengan
Begawan Abiyasa, tokoh Kang Dharma disimbolkan dengan Yudisthira,
tokoh Rengganis disimbolkan dengan Srikandi.

1. PENDAHULUAN
Pada hakikatnya karya sastra merupakan sebuah cerminan kehidupan karena
karya sastra tidak pernah lepas dari peristiwa yang dilakukan sehari-hari. Karya sastra
hadir melalui hasil pemikiran mengenai kehidupan yang dikemas apik dalam sebuah
novel, cerpen ataupun puisi. Karya sastra ialah hasil pemikiran tentang kehidupan yang
berbentuk fiksi bertujuan untuk memperdalam, memperluas, dan memperjenih
penghayatan pembaca terhadap sisi kehidupan yang disajikan dalam bentuk karya sastra
tersebut (Saini dalam Rahmat, 2009:13). Terciptanya sebuah karya sastra juga tidak

Santi Novitasari, Purwati Anggraini | 239


PROSIDING SEMINAR BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (SENASBASA)
http://research-report.umm.ac.id/index.php/SENASBASA

luput dari realita kehidupan yang dialami oleh pengarang, hal tersebut merupakan
kebebasan pengarang dalam mengekspresikan imajinasi pengarang.
Karya sastra merupakan sebuah karya imajinasi yang diciptakan oleh pengarang
dengan menggunakan berbagai unsur yang terlibat di dalamnya, seperti ilmu
pengetahuan, wawasan, pemikiran, keyakinan dan pengalaman fisik, serta unsur
imajinasi pengarang. Karyaasastra sangatabermanfaat bagi kehidupan, karena karya
sastraadapat memberiakesadaran kepadaapembaca tentangakebenaran-kebenaran
hidup, walau digambarkanadalam bentukafiksi (Yuliantini, 2017:65). Setiap pengarang
memiliki berbagai ciri khas dalam sebuah karya sastra yang diciptakan.
Setiap karya sastra memiliki maknaadan keindahan yang dapat ditemukan dalam
penggunaanabahasa yang dipakai oleh pengarang. Selain penggunaan bahasa,
penggunaan simbol juga digunakan untuk menambah nilai estetika dari sebuah karya
sastra. Salah satu novel yang menggunakan simbol di dalamnya ialah novel Hati Suhita
karya Khilma Anis. Novel tersebut bercerita tentang kehidupan sepasang suami istri yang
dijodohkan yaitu Gus Biru dan Alina Suhita. Karena pernikahan terpaksa, mereka berdua
tidak didasarkan oleh rasa cinta maka Gus Biru sulit menerima Alina Suhita menjadi
istrinya.
Selain bercerita tentang rumah tangga Alina dan Gus Biru, novel Hati Suhita karya
Khilma Anis juga terdapat simbol pada setiap tokoh dengan tokoh pewayangan. Simbol
tokoh dengan tokoh pewayangan tersebut terdapat pada sifat, perilaku dan kejadian yang
dialami oleh tokoh dengan tokoh pewayangan. Pada novel Hati Suhita karya Khilma Anis,
pengarang kurang menjelaskan hal yang melatarbelakangi simbol tokoh dengan tokoh
pewayangan. Maka dari itu penelitian ini menjelaskan mengenai adanya simbol tokoh
dengan tokoh pewayangan. Tulisan Khilma Anis yang dikemas dengan sederhana tentang
kisah cinta Alina Suhita dan Gus Birru tersebut banyak disukai oleh banyak orang.
Pengarang menyuguhkan sebuah cerita sederhana yang dikemas apik dengan dipadukan
dengan unsur budaya Jawa serta simbol tokoh dengan tokoh pewayangan. Simbol
tersebut digambarkan melalui tokoh dan beberapa kejadian yang ada di novel Hati Suhita
tersebut. Simbolahadir karenaapenulis atau pengarangaingin menyampaikanapikiran,
perasaan,adan keinginannyaadengan bahasa yangakhas (Luxemburg dalamaYuliadi,
2017: 228). Selain itu, simbol dalam sebuah novel bertujuan untuk menambah nilai
keindahan pada karya sastra.
Menurut Widayanti (2006:19), Barthes mengembangkan dua tingkatan tanda
yang memungkinkan menghasilkan makna yang juga bertingkat-tingkat. Tingkatan itu
yaitu denotasi yang merupakan tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara
penanda dan petanda yang merujuk pada makna eksplisit yang langsung dan pasti.
Makna denotatif terdapat pada setiap leksem atau kata. Konotasi yang merupakan tingkat
pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda yang di dalamnya
merujuk makna yang tidak eksplisit, tidak langsung dan tidak pasti tanda denotatif
menghasilkan makna yang eksplisit dan langsung, sementara tanda konotatif
penandaannya memiliki keterbukaan makna yang implisit yang memungkinkan
terbukanya penafsiran-penafsiran yang lain. Jadi dalam konsep ini Barthes
mengungkapkan bahwa tanda konotatif tidak hanya memiliki makna tambahan, tetapi
juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya.
Simbol yang terdapat pada novel Hati Suhita karya Khilma Anis ditunjukkan
secara jelas oleh pengarang. Dalam novel Hati Suhita karya Khilma Anis pengarang
menjembatani pembaca dengan menghadirkan tokoh secara langsung yang kemudian

240 | Simbol Tokoh Pewayangan pada Novel Hati Suhita Karya Khilma Anis
PROSIDING SEMINAR BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (SENASBASA)
http://research-report.umm.ac.id/index.php/SENASBASA

disimbolkan dengan tokoh pewayangan. Simbol dalam novel Hati Suhita karya Khilma
Anis ditunjukkan dalam tokoh-tokoh yang terdapat pada novel. Simbol tokoh dengan
tokoh pewayangan tersebut sebagian besar ditunjukan melalui sifat dan perilaku tokoh.
Menurut Mulyono (1989:14), wayang adalah simbol atau bahasa dari hidup dan
kehidupan manusia. Sementara itu, manusia adalah individu dengan segala perbuatan
dan dunianya. Wayang adalah salah satu cara untuk mengenal manusia karena dalam
pergelaran wayang sesungguhnya dipertunjukkan suatu lakon dari hidup dan kehidupan
manusia. Dalam setiap tokoh pewayangan memiliki karakter masing-masing, karakter
setiap tokoh dalam pewayangan dapat dijadikan sebagai pembelajaran dalam kehidupan
sehari-hari.
Penelitian sebelumnya juga pernah dilakukan oleh Subagya (2013) pada
artikelnya dengan judul “Nilai-Nilai Estetis Bentuk Wayang Kulit”. Penelitian tersebut
berfokus pada mengungkapkan latar belakang eksistensi wayang kulit dari sudut
pandang morfologi, khususnya untuk versi Surakarta dan Jawa Tengah. Hasil penelitian
tersebut ialah ditemukan perubahan bentuk stilasi wayang kulit yang mengalami evolusi.
Evolusi bentuk stilasi pada wajah, perubahan tersebut sebagai cara untuk menghindari
bentuk pelukisan manusia yang sebenarnya karena hal itu dilarang dalam agama islam.
Perubahan pada bahu dan tangan bertujuan untuk mempermudah saat digerakkan.
Perubahan kaki berfungsi sebagai penegasan karakter tokoh. Semua perubahan
perkembangan wayang kulit hingga saat ini diduga sebagai puncaknya.
Penelitian sebelumya pernah dilakukan oleh Loita (2018) pada jurnalnya dengan
judul “Simbol-Simbol dalam Gunungan Wayang Kulit Jawa”. Penelitian tersebut berfokus
kepada makna visual gunungan wayang kulit Jawa. Kemudian hasil penelitian tersebut
ditemukan gunungan juga menggambarkan ajaran Islam, yakni dilihat dari segi bentuk
segi lima, mempunyai makna bahwa segi lima itu lima waktu yang harus dilakukan oleh
manusia, yaitu sembahyang lima waktu, Gambar pohon dalam gunungan melambangkan
kehidupan manusia di dunia ini, bahwa Allah SWT telah memberikan pengayoman dan
perlindungan kepada umatnya yang hidup di dunia ini. Beberapa jenis hewan yang
berada di dalamnya melambangkan sifat, tingkah laku dan watak yang dimiliki oleh
setiap orang.
Selain itu, penelitian mengenai novel ini juga pernah dilakukan oleh Putrianti dkk
(2021) pada jurnal Pendidikan Bahasa Indonesia di IKIP PGRI Bojonegoro dengan judul
“Analisis Psikologi Sastra Novel Hati Suhita Karya Khilma Anis”. Penelitian tersebut
berfokus meneliti psikologi dengan menggunakan teori Abraham Maslow serta
hubungannya dengan pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA. Hasil penelitian tersebut
ialah ditemukan lima macam kebutuhan yaitu: kebutuhan fisiologis yang terdiri dari
makan, minum, tidur. Kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan rasa memiliki dan
dimiliki, kebutuhan akan penghargaan, serta kebutuhan aktualisasi diri. Penelitian
tersebut juga menggunakan novel Hati Suhita sebagai bahan ajar Bahasa Indonesia untuk
menjelaskan unsur-unsur intrinsik dalam penggalan novel yang dibacakan teman
sehingga menunjukkan bahwa novel Hati Suhita karya Khilma Anis layak digunakan
sebagai bahan ajar.
Maka dari itu beberapa penikmatakarya sastraakhususnya para penikmat novel,
masih banyak yang belum dapat memahami maksud yang ingin disampaikan oleh
pengarang. Hal tersebut dapat disebabkan oleh penggunaan bahasa pada novel yang sulit
dimengerti. Seperti penggunaan bahasa yang tidak kompleks, tidak lazim atau adanya
penggunaan simbol oleh pengarang. Maka dari itu, diperlukannya analisis untuk dapat

Santi Novitasari, Purwati Anggraini | 241


PROSIDING SEMINAR BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (SENASBASA)
http://research-report.umm.ac.id/index.php/SENASBASA

memahamiamakna yang ingin disampaikan oleh pengarang yaitu dengan menguraikan


simbol-simbol yang terdapat dalam novel. Tujuan pada penelitian ini ialah
mendeskripsikan simbol-simbol tokoh pewayangan pada novel Hati Suhita karya Khilma
Anis.

2. METODE
Penelitian pada novel Hati Suhita karya Khilma Anis menggunakan jenis
penelitian kualitatif. Menurut Sugiyono (2016:9) penelitian kualitatif merupakan
tahapan penelitian yang menghasilkanadata berupa deskriptif yang berbentuk kata-
kataasecara tertulis atau lisan dari objekayang dikaji. Pendekatan yang digunakan ialah
pendekatan deskriptif. Menurut Sumanto (1990:6) penelitian deskriptif merupakan
penelitian dengan cara pengumpulan data untuk memberikan gambaran atauapenegasan
suatu konsep atau gejala dan menjawabspertanyaan yang berhubungan dengan
statusssubyek penelitianasaat ini.
Sumber data yang digunakan ialah novel Hati Suhita karya Khilma Anis cetakan
keempat dengan 405 halaman. Data yang diperoleh berupa kata, kalimat dan dialog
antartokoh. Serta adegan dan peristiwa dalam novel. Teknik pengumpulan data
menggunakan teknik pustaka dan teknik simak catat. Teknik pustaka ialah peneliti
membaca keseluruhan novel. Teknik simak catat, teknik simak catat dilakukan setelah
membaca keseluruhan novel kemudian peneliti mencatat hasil temuan yang termasuk ke
dalam data penelitian.
Instrumen pengumpulan data menggunakan tabel penjaring data dan tabel
indikator penelitian. Teknik analisis data menggunakan tiga tahap (a) reduksi data,
peneliti membaca keseluruhan novel kemudian mengelompokan data-data yang telah
diperoleh, (b) display data, peneliti menyajikan data yang telah dikelompokan dalam
tabel penjaring data, (c) penarikan kesimpulan, setelah data dikumpulkan kemudian
peneliti menganalisis keseluruhan data dan menarik kesimpulan.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Pada bab ini diuraikan hasil dan pembahasan analisis yang disajikan dalam bentuk
deskripsi dari data yang telah ditemukan dalam novel Hati Suhita karya Khilma Anis. Adapun
pembahasan yang tercakup pada bab ini yaitu diuraikan simbol tokoh dengan tokoh
pewayangan yang terdapat dalam novel Hati Suhita karya Khilma Anis.

3.1 Simbol Tokoh Pewayangan pada Novel Hati Suhita karya Khilma Anis
Dalam novel Hati Suhita karya Khilma Anis ditemukan simbol-simbol yang terjadi
pada tokoh dengan tokoh pewayangan. Simbol tersebut terjadi antara tokoh dengan
tokoh pewayangan. Sebagian besar simbol ditemukan berdasarkan kesamaan sifat dan
perilaku antara tokoh dengan tokoh pewayangan. Simbol antara tokoh dengan tokoh
pewayangan tersebut hampir terjadi pada seluruh tokoh yang terdapat dalam novel Hati
Suhita karya Khilma Anis. Tokoh yang terdapat pada novel dengan tokoh pewayangan
memiliki kesamaan yang dapat dilihat dari perilaku dan sifat tokoh.

3.1.2 Simbol tokoh Dewi Suhita dalam diri Alina Suhita


Alina Suhita merupakan anak pengasuh pondok pesantren di Jawa Barat,
kakeknya adalah orang yang sangat menyukai pewayangan. Saat Alina lahir kakeknya
memberi nama Suhita, Suhita diambil dari nama Dewi Suhita. Ia ingin Alina memiliki sifat

242 | Simbol Tokoh Pewayangan pada Novel Hati Suhita Karya Khilma Anis
PROSIDING SEMINAR BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (SENASBASA)
http://research-report.umm.ac.id/index.php/SENASBASA

layaknya Dewi Suhita yang tangguh dan tegar seperti saat memimpin kerajaan Majapahit
terjadi perang paregreg yang memilukan. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan di
bawah ini:

“Namaku Alina suhita. Suhita adalah nama pemberian kakek dari ibuku. ia
ingin aku seperti Dewi Suhita. Perempuan tangguh yang pernah memimpin
Kerajaan sebesar Majapahit. Perempuan hebat yang tegar walau di masa
kepemimpinannya ada Perang Paregreg yang memilukan itu.” (HS/AS/HLM-
5)

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Alina Suhita disimbolkan dengan tokoh


pewayangan Dewi Suhita karena memiliki kesamaan nama serta sifat sabar dan tegar
yang dimiliki oleh Dewi Suhita. Dewi Suhita atau Dyah Suhita merupakan raja perempuan
terakhir dari Kerajaan Majapahit yang memimpin dari tahun 1429-1447, Perang saudara
yang disebut sebagai perang paregreg terjadi tahun 1401-1406 dimenangkan oleh pihak
Wikramawardhana dengan terbunuhnya Bhre Wirabhumi oleh panglima Majapahit,
Raden Gajah. Kehormatan pihak Wirabhumi seolah-olah menjadi pulih kembali dengan
naiknya Suhita dalam tampuk kekuasaan Majapahit, terlebih ketika pada tahun 1433
Suhita memberikan hukuman penggal terhadap Raden Gajah atau Bhre Narapati yang
telah menyebabkan mangkatnya Wirabhumi (Darini, 2019:108). Dari kisah
kepemimpinan Dewi Suhita memimpin kerajaan Majapahit tersebut memperlihatkan
betapa tegar dan kuatnya Dewi Suhita menghadapi segala macam musibah yang terjadi
hingga dapat menjadikan kerajaan Majapahit sangat maju pada masa kepemimpinannya.

3.1.2 Simbol tokoh Prabu Duryudana dalam diri Alina Suhita


Tokoh Alina Suhita tidak hanya disimbolkan dengan tokoh Dewi Suhita, tetapi juga
disimbolkan dengan tokoh Prabu Duryurdana karena Dewi Suhita tidak diperlakukan
selayaknya istri oleh Gus Biru. Sama halnya dengan Prabu Duruyudana yang sudah
menikahi Banowati tetapi Banowati tetap saja mencintai Arjuna. Setelah menikah dengan
Duryudana, Banowati tetap saja mencintai Arjuna. Bentuk lahirnya ia menjadi istri
Duryudana tetapi batinnya sangat mencintai Arjuna (Soetarno dalam Pradeni, 2019:2).
Meskipun Alina menjadi istrinya tetapi di hati Gus Biru tetap ada wanita lain. Dapat
dilihat dari kutipan berikut:

“Lalu untuk apa aku bertahan di rumah ini kalau dia sama sekali tidak
berusaha mempertahankan pernikahan kami? Aku semakin sesenggukan,
apalagi melihatnya sama sekali tak mau tahu berapa banyak air mataku
membanjiri hari-hari kami. Mungkin beginilah perasaan Prabu Duryudana
yang merana. Istrinya, Banowati, hanya mencintai Arjuna. Mungkin seperti
inilah hancurnya hati Prabu Duryudana mengetahui Banowati malah
memberikan tubuhnya untuk Arjuna musuhnya. Mungkin beginilah duka
Duryudana. Memiliki kerajaan, kekuasaan harta benda, mampu
menaklukkan kerajaan lain, tapi istrinya sendiri tidak pernah seirama dan
takluk. Meski aku perempuan dan Prabu Duryudana laki-laki, aku bisa
merasakan Pedihnya diabaikan.” (HS/AS/HLM-7)

Santi Novitasari, Purwati Anggraini | 243


PROSIDING SEMINAR BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (SENASBASA)
http://research-report.umm.ac.id/index.php/SENASBASA

Meskipun sama-sama mendapat perlakuan diabaikan dan tidak dianggap oleh


pasangannya. Tetapi Alina Suhita dan Prabu Duryudana memiliki perbedaan, sebelumnya
Dewi Banowati sudah berjanji dengan Duryudana yaitu Dewi Banowati mau menjadi istri
Duryudana, tetapi tetap cintanya hanya untuk Arjuna. Ibarat raga itu punya Duryudana
tetapi hatinya tetap memilih Arjuna (Pradeni 2019:9). Berbeda dengan Alina dan Gus
Biru, Gus Biru tidak pernah berjanji apapun kepada Alina. Bahkan sebelum atau sesudah
menikah Gus Biru tidak pernah berbicara dengan Alina ketika hanya berdua saja. Hingga
Alina tahu dengan sendirinya hubungan Gus Biru dengan Rengganis.

3.1.3 Simbol tokoh Sarpakenaka dalam diri Alina Suhita


Tidak hanya disimbolkan dengan tokoh pewayangan Dewi Suhita dan Prabu
Duryudana, tetapi Alina Suhita juga disimbolkan dengan tokoh pewayangan lain yaitu
Sarpakenaka karena mengalami kejadian yang sama dan perasaan yang sama berupa
penolakan. Penolakan yang dialami Sarpakenaka adalah Ketika Sarpakenaka menyatakan
perasaannya kepada Lesmana. Akan tetapi, Lesmana menolaknya berkali-kali hingga
Lesmana murka dan sampai tega menghunus hidung Sarpakenaka (Subagijo, 1997:32).
Dalam novel ini Alina Suhita mendapat penolakan yang sama dengan Sarpakenaka yang
dapat dilihat pada kutipan berikut.

“Aku langsung lemas. Belum pernah aku rasakan sakit seperih ini.
Penolakannya yang terang-terangan membuatku merasa terhina
seperti Sarpakenaka yang ditolak Lesmana. Hatiku terasa porak-poranda
melebihi perang manapun. Apalagi saat kuingat apa-apa saja yang sudah
kulewati bersama Aruna sesiang tadi.” (HS/AS/HLM-27)

Pada kutipan tersebut Alina Suhita disimbolkan dengan Sarpakaneka, karena


mendapatkan penolakan yang menyayat hati. Penolakan tersebut terjadi ketika Alina
meminta diperlukan selayaknya seorang istri oleh suaminya. Tetapi Gus Biru sama sekali
tidak mau menyentuh Alina bahkan Gus Biru menolak dengan terang-terangan kalau Gus
Biru belum mau melakukan kewajibannya sebagai seorang suami. Penolakan Gus Biru
membuat hati Alina semakin hancur hingga Alina merasa malu dan kacau.
Sakit hati yang dirasakan oleh Sarpakenaka sama dengan perasaan Alina ketika
ditolak oleh Gus Biru. Sakit hati, nelangsa dan kacau bercampur menjadi satu karena
usaha Alina yang tidak dihargai oleh Gus Biru dan ditolak dengan cara terang-terangan
hingga membuat Alina merasa malu. Begitu pula Sarpakenaka yang sudah berusaha
mendekati Lesmana sampai merubah wujudnya menjadi gadis yang cantik dan elok tetapi
tetap saja tidak dihargai oleh Lesmana.

3.1.4 Simbol tokoh Ekalaya dalam diri Alina Suhita


Pada novel Hati Suhita karya Khilma Anis tokoh Alina juga disimbolkan dengan
tokoh Ekalaya. Penyimbolan yang dialami oleh Alina Suhita dan Ekayala ialah karena
sama-sama diabaikan dan ditolak. Ismadarati (2018:51) menyampaikan bahwa Ekalaya
ialah seorang pangeran kaum Nisada yang memiliki kemampuan setara dengan Arjuna
dalam Ilmu memanah. Ekalaya bertekat ingin menjadi pemanah terbaik di dunia, karena
keinginannya tersebut ia pergi ke Hastina menemui Bhegawan Drona tetapi ternyata ia
malah mendapat penolakan karena kemampuan Ekalaya yang menandingi Arjuna.
Meskipun telah ditolak oleh Drona, Ekalaya tidak putus asa Ekalaya kemudian membuat

244 | Simbol Tokoh Pewayangan pada Novel Hati Suhita Karya Khilma Anis
PROSIDING SEMINAR BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (SENASBASA)
http://research-report.umm.ac.id/index.php/SENASBASA

patung Drona dan menghormati patung tersebut layaknya murid kepada Guru. Berkat
kegigihannya berlatih, Ekalaya menjadi prajurit yang gagah dan cakap. Dalam novel Hati
Suhita, Alina juga mendapat penolakan oleh Gus Biru yang dapat dilihat pada kutipan
berikut.

“Kadang melihat sikapnya kepadaku, aku merasa seperti ekalaya


menanggung duka karena diabaikan dan ditolak guru Drona.”
(HS/AS/HLM-11)

Perasaan diabaikan dan ditolak yang dialami oleh Alina Suhita dan Ekalaya
terhadap orang yang dihormati membuat sakit hati yang begitu mendalam. Tetapi Alina
maupun Ekalaya sama-sama tetap berusaha, Alina tetap berusaha meluluhkan hati Gus
Biru. Sedangkan Ekalaya tetap berusaha belajar memanah meskipun telah ditolak oleh
Guru Drona, Ekalaya mengajarkan bahwa dalam kehidupan jangan cepat putus asa dan
pantang menyerah (Ismadarati, 2018:52).

3.1.5 Simbol tokoh Yudistira dalam diri Kang Dharma


Selain simbol penokohan yang terdapat pada tokoh Alina juga terdapat simbol
penokohan pada tokoh-tokoh yang lain. Simbol penokohan pada tokoh Kang Dharma yang
disimbolkan dengan tokoh Yudistira. Kang Dharma merupakan sosok yang bisa
mengayomi orang lain. Terutama kepada Alina, Kang Dharma tahu bahwa hidup Alina
sejak kecil sudah di tentukan oleh keluarganya. Hingga jodoh pun sudah siapkan oleh
keluarganya. Sifat Kang Darma yang begitu baik kepada Alina juga sama dengan tokoh
pewayangan Yudistira seorang raja yang dikenal adil dan bijaksana pada masa
kepemimpinannya (Maharani, 2019:149). Penyimbolan tokoh Kang Dharma yang
disimbolkan dengan tokoh pewayangan Yudistira dapat dilihat pada kutipan berikut:

“Dia adalah Kang Dharma yang sering meminjamiku buku-buku karena dia
tahu hidupku begitu membosankan. masa depanku akan sangat berat, jadi
aku harus banyak membaca. Dia adalah Kang Dharma yang tenang seperti
Yudhistira. memberiku banyak pengetahuan di tengah hafalanku yang
padat.” (HS/KD/HLM-18)

Pada kutipan tersebut menjelaskan bahwa ketika dulu Alina di pesantren Kang
Dharma sangat baik sekali. Kang Dharma seperti sangat mengenal Alina tanpa Alina
berbicara. Kang Dharma sering sekali meminjami berbagai buku bacaan. Alina pun
dengan senang hati menerima buku yang dipinjami Kang Dharma. Dengan membaca buku
dari Kang Dharma Alina merasa hidupnya akan terasa lebih ringan. Sosok Kang Dharma
yang baik, tenang, dan tanpa banyak bicara tapi sangat mengerti keadaan Alina.
Nanda (dalam Siswantari, 2021:143) sifat tokoh Yudhistira yang paling menonjol
adalah adil, sabar, jujur, taat terhadap ajaran agama, penuh percaya diri dan berani
berspekulasi. Selain memiliki sifat yang baik, bijaksana dan adil tokoh Kang Darma juga
mempunyai persamaan sifat yang sama dengan Yudistira yaitu taat terhadap ajaran
agama. Karena taatnya terhadap agama dan pondok pesantren, Kang Dharma sudah
mengabdi ke pondok pesantren bertahun-tahun dari santri hingga menjadi ustadz.

Santi Novitasari, Purwati Anggraini | 245


PROSIDING SEMINAR BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (SENASBASA)
http://research-report.umm.ac.id/index.php/SENASBASA

3.1.6 Simbol tokoh Srikandi dalam diri Rengganis


Selain tokoh di atas juga terdapat penyimbolan pada tokoh Rengganis, Rengganis
adalah teman dekat Gus Biru di kampus. Rengganis merupakan seorang penulis dan juga
aktivis di kampus. Rengganis mempunyai paras yang cantik dan santun. Rengganis di
simbolkan dengan tokoh pewayangan Srikandi karena memiliki paras yang cantik dan
juga pemberani seperti Srikandi. Puppet dalam Miranti (2018:20) Dewi Wara Srikandi
adalah seorang tokoh wayang yang cantik, pemberani, bersuara nyaring, keras, dan
handal atau piawai dalam olah panah. Watak dominan dalam diri Srikandi yaitu ia
bersemangat, pemberani, memiliki tekad yang kuat, dan percaya diri. Hal tersebut dapat
dilihat pada kutipan di bawah ini.

“Ia seperti Srikandi. cantik, santun, berpengetahuan dan dicintai Mas


biru. Bisakah aku segar waras Subadra yang membagi Arjuna kalau ke
lakmus biru memintanya tinggal di rumah ini?” (HS/RG/HLM-92)

Pada kutipan di atas menjelaskan bahwa meskipun Rengganis bukan dari pondok
pesantren tetapi Rengganis dapat membuat Umi dan Abah merasa sudah dekat
dengannya. Kedatangan Rengganis yang berkunjung ke ndalem Gus Biru secara tidak
langsung membuat hati Alina hancur karena melihat keakraban Abah dan Umik dan juga
Gus Biru kepada Rengganis. Rengganis memiliki kesamaan dengan tokoh Srikandi karena
parasnya yang cantik dan sopan kepada oranglain. Selain itu Rengganis adalah wanita
mandiri yang bekerja keras dengan menekuni kegiatan di bidang Jurnalistik. Hal tersebut
sama dengan Srikandi. Srikandi adalah orang yang mau bekerja keras untuk meraih apa
yang ia inginkan, juga orang yang mau belajar, ia juga perempuan yang pemberani
(Maharani, 2019:149).

3.1.6 Simbol tokoh Begawan Abiyasa dalam diri Mbah Kung


Selain tokoh pewayangan Rengganis juga terdapat penyimbolan tokoh pewayangan pada
tokoh Mbah Kung. Mbah Kung merupakan sosok yang sangat dihormati oleh Alina. Ketika
memiliki masalah Alina akan menceritakannya ke Mbah Kung. Mbah Kung pun memberi
saran dengan tenang dengan tidak memarahi Alina sedikit pun. Sosok Mbahkung yang
tenang seperti Begawan Abiyasa dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.

“Air muka mbah kung tampak tenang. dan memang selalu tenang. mbahkung
seperti Begawan abiyasa, seorang Pandita yang tinggal di pertapaan
wukiro tawu yang Gentur tapane, mateng bratane, nyoto buntas kawruh
lahir batine. ketenangan tampak nyata di wajah, ucapan komandan suruh
tindakannya.”(HS/MK/HLM-299)

Pada kutipan di atas menjelaskan bahwa Mbah Kung merupakan seorang yang
tenang dalam menyikapi segala permasalahan. Pada novel Hati Suhita Mbah Kung
disimbolkan dengn tokoh Abiyasa. Abiyasa merupakan orang yang suci atau mistikus yang
sudah sampai ke hakikat ma’rifat, yaitu manusia yang sudah memenuhi tataran-tataran
taubat, sabar, tawakal, ridho, mahabah, ma’rifat dan wicaksana (Mulyono, 1989:69).
Maka dari itu Alina sangat senang ketika menceritakan berbagai hal kepada Mbah
Kung. Mbah Kung merupakan sosok yang sangat dikagumi Alina, Mbah Kung juga guru
Alina yang mengenalkan kepada dunia wayang dan budaya. Dari sosok Mbah Kung, Alina

246 | Simbol Tokoh Pewayangan pada Novel Hati Suhita Karya Khilma Anis
PROSIDING SEMINAR BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (SENASBASA)
http://research-report.umm.ac.id/index.php/SENASBASA

belajar banyak pengalaman tentang kehidupan. Sosok Mbah Kung yang tenang
disimbolkan dengan Begawan Abiyasa yang gentur tapane, mateng brantas nyoto bruntas
kawruh lahir batine.

4. SIMPULAN
Hasil dari penelitian yang telah dilakukan pada novel Hati Suhita karya Khilma Anis
ditemukan simbol toko dengan tokoh pewayangan pada setiap tokoh. Tokoh Alina Suhita
disimbolkan dengan tokoh pewayangan Dewi Suhita karena memiliki persamaan sifat dan
juga nama. Selain itu Alina Suhita juga disimbolkan dengan tokoh Prabu Duryudana karena
memiliki perasaan sama-sama dikecewakan oleh orang yang dicintai. Tokoh Alina Suhita juga
disimbolkan dengan tokoh Ekalaya karena penolakan yang sama-sama dirasakan dan juga
perasaan tidak mudah putus asa. Alina juga disimbolkan dengan tokoh Sarpakenaka karena
merasakan perasaan sakit hati yang mendalam karena penolkan yang terjadi oleh orang yang
dicintai. Selain itu, simbol tokoh dengan tokoh pewayangan juga terdapat pada tokoh-tokoh
lain seperti tokoh Mbah Kung yang disimbolkan dengan tokoh Begawan Abiyasa. Tokoh Mbah
Kung yang disimbolkan dengan tokoh Begawan Abiyasa karena memiliki persamaan sifat dan
juga perilaku. Tokoh lain yang juga disimbolkan dengan tokoh pewayangan ialah tokoh
Kang Dharma yang disimbolkan dengan tokoh Yudistira karena memiliki persamaan
sifat. Begitu juga dengan tokoh Rengganis yang disimbolkan dengan tokoh Srikandi karena
memiliki persamaan sifat.

5. DAFTAR PUSTAKA
Annas, Akhmad Akhsan Nur. (2010). Kritik Sosial dan Nilai Pendidikan Kumpulan Cerpen
Emak Ingin Naik Haji Karya Asma Nadia (Tinjauan Sosiologi Sastra).
Darini, Ririn. (2019). Kiprah Perempuan Majapahit di Ruang Politik. 101-113.
Ismadarati, Maya, and Azhari Amri. (2018). Perancangan Karakter Tokoh
Bambang Ekalaya untuk Film Animasi. Visual Heritage: Jurnal Kreasi Seni dan Budaya
1.01: 50-56.
Loita, Aini. (2018). Simbol-simbol dalam Gunungan Wayang Kulit Jawa. Magelaran: Jurnal
Pendidikan Seni 1.2 (2018): 60-65.
Maharani, Penina Inten, Birmanti Setia Utami, and Jasson Prestiliano. (2019).
Representasi tokoh pewayangan purwa pandawa gagrag Surakarta. Gondang: Jurnal seni
dan budaya 3.2: 144-154.
Miranti, Delatari dan Nurulfatmi Amzy. (2018). Analisis Karakter Tokoh Wayang
Srikandi dalam Lakon Perang Bahratayuda sebagai Pembelajaran Karakter untuk
Remaja." Visual Heritage: Jurnal Kreasi Seni dan Budaya 1.01: 20-24.
Mulyono, Sri. (1989). Wayang dan Karakter Manusia. Gunung Agung. Jakarta
Pradeni, Junia Putri. Jatiningsih. Diss. Institut Seni Indonesia Yogyakarta, 2019.
Siswantari, Heni, and Niswi Mukarromah. (2021). Video Animasi Cerita Wayang Tokoh
Yudhistira Sebagai Alternatif Pembelajaran Bahasa Jawa. PROCEEDING
UMSURABAYA 1.1
Subagijo, Wisnu. (1997). Arti Makna Tokoh Pewayangan Ramayana Dalam Pembentukan
dan Pembinaan Watak (Seri III). Direktorat Jenderal Kebudayaan.
Subagya, Timbul. (2013). Nilai-Nilai Estetis Bentuk Wayang Kulit. Gelar: Jurnal Seni
Budaya 11.2.
Sugiyono. (2016). Metode Penelitian: kuantitatif, kualitatif, dan R&D. Bandung.
ALFABETA.

Santi Novitasari, Purwati Anggraini | 247


PROSIDING SEMINAR BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (SENASBASA)
http://research-report.umm.ac.id/index.php/SENASBASA

Sumanto. (1990). Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan. Yogyakarta: Andi Offset.
Yuliadi M.R. (2017). Makna Simbol Senyuman Dalam Cerpen Perempuan Sunyi dan
Saudaranya Karya Yus R. Ismail. Jurnal Genta Bahtera. Vol 3 No 2
Yuliantini, Yanti Dwi, and Adita Widara Putra. (2017). Semiotika Dalam Novel
Rembulan Tenggelam Di Wajahmu Karya Tere Liye. Literasi: Jurnal Bahasa dan Sastra
Indonesia serta Pembelajarannya 65-72. 1.2.

248 | Simbol Tokoh Pewayangan pada Novel Hati Suhita Karya Khilma Anis

Anda mungkin juga menyukai