Anda di halaman 1dari 19

REFERAT

DAKRIOSISTITIS

Oleh:
Calvin Tjugito - 010732100002

Pembimbing:
Dr. Josiah Irma, Sp.M

KEPANITERAAN KLINIK MATA

SILOAM HOSPITAL LIPPO VILLAGE - RUMAH SAKIT UMUM

SILOAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN

PERIODE MAY-JUNI 2023


DAFTAR PUSTAKA

BAB 1.............................................................................................................................................. 3
BAB 2.............................................................................................................................................. 4
1. KELENJAR LAKRIMAL..................................................................................................... 4
2. DEFINISI...............................................................................................................................5
3. EPIDEMIOLOGI...................................................................................................................5
4. ETIOLOGI.............................................................................................................................6
5. PATOFISIOLOGI.................................................................................................................. 7
6. MANIFESTASI KLINIS....................................................................................................... 7
7. DIAGNOSIS.......................................................................................................................... 8
8. DIAGNOSIS BANDING.....................................................................................................10
9. TATALAKSANA.................................................................................................................14
10. KOMPLIKASI...................................................................................................................14
11. PROGNOSIS..................................................................................................................... 15
BAB 3............................................................................................................................................ 16
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................... 17
BAB 1
PENDAHULUAN

Dakriosistitis adalah sebuah kondisi peradangan pada kantong lakrimal yang


terjadi secara sekunder akibat dari obstruksi pada duktus nasolakrimalis dan terjadi
stagnasi air mata pada kantung lakrimal. Kelenjar lakrimal merupakan kelenjar yang
berperan aktif dalam pembentukan tear film. Kelenjar lakrimal merupakan struktur
berukuran kurang lebih 2 cm.
Dakriosistitis dapat diklasifikasikan menjadi akut atau kronis serta didapat
(Acquired) atau bawaan (Congenital). Staphylococcus dan Streptococcus merupakan
penyebab paling umum yang menyebabkan dakriosistitis akut, diikuti oleh Haemophilus
influenza dan Pseudomonas Aeruginosa. Sedangkan dakriosistitis kronis umumnya
disebabkan oleh obstruksi kronis karena adanya penyakit sistemik. Dakriosisitis dapat
terjadi apabila terjadi penyumbatan saluran air mata sehingga air mata tidak dapat
mengalir dimana akumulasi dari air mata dan mucus kemudian akan menyebabkan
infeksi.
Infeksi yang terjadi pada pasien dengan dakriosistitis dapat menyebabkan
gambaran klinis yaitu adanya mata berair yang disertai dengan adanya eritema dan
distensi dari kantung amata. Pada saat di palpasi, seringkali akan ditemukan adanya
cairan atau mukus yang keluar dari mata pasien. Selain itu, dapat menyebabkan
terjadinya gejala infeksi sistemik seperti demam dan iritabilitas. Ketika dakriosistitis
tidak diberikan tatalaksana yang tepat, seringkali dapat muncul gejala-gejala yang lebih
parah seperti adanya injeksi konjungtiva berat dan penurunan visus.
Secara global, insidensi dari dakriosistitis adalah sebesar 15-19.5 kauss per
10.000 kasus dan angka tersebut juga semakin meningkat. Dakriosistitis juga seringkali
dapat menyebabkan komplikasi yang berat seperti penurunan visus yang permanen
hingga dapat terjadi juga kematian apabila infeksi tidak teratasi. Sehingga penting untuk
diketahui tanda dan gejala yang dapat dialami pasien dengan dakriosistitis agar dapat
mencegah terjadinya komplikasi berat.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

1. KELENJAR LAKRIMAL

Kelenjar lakrimal merupakan kelenjar yang berperan aktif dalam pembentukan


tear film yang berfungsi untuk memberikan penghalang atau pelindung pada permukaan
okular, memberikan permukaan optik yang halus pada kornea, serta berfungsi juga untuk
menghilangkan kotoran. Tear film sendiri terdiri dari lapisan musin bagian dalam yang
berhadapan dengan permukaan kornea, lapisan aqueous tengah, dan lapisan lipid bagian
luar. 1,2

Kelenjar lakrimal merupakan struktur dengan ukuran kurang lebih 2 cm dan dapat
dibagi menjadi 2 bagian utama. Pada bagian orbital yang merupakan bagian yang lebih
besar terletak pada area margin lateral dari otot levator palpebra superior. Sedangkan
bagian yang lebih kecil terletak pada permukaan bagian dalam dari kelopak mata.
Lakrimal aparatus merupakan sistem yang bertanggung jawab untuk drainase cairan
lakrimal dari orbit. Setelah sekresi, cairan lakrimal kemudian akan bersirkulasi dan
terakumulasi pada lacrimal lake yang terletak pada canthus medial mata. Air mata
kemudian akan mengalir ke kantong lakrimal. Kantung lakrimal merupakan bagian akhir
yang melebar dari saluran nasolakrimal. Cairan lakrimal kemudian akan mengalir ke
duktus nasolakrimalis dan bermuara di meatus inferior dari rongga hidung. 1,2

Gambar 1. Kelenjar Lakrimal


Pasokan darah kelenjar lakrimal adalah melalui arteri lakrimal yang merupakan
cabang dari arteri opthalmica. Darah vena kembali dari kelenjar lakrimal melalui vena
lactimalis yang masuk ke vena ophthalmica superior dan melintasi sinus cavernosus.1,2

Inervasi dari kelenjar lakrimal berasal dari saraf lakrimalis yang merupakan
cabang dari saraf ophthalmic. Sekresi aqueous dari kelenjar lakrimal merupakan sebuah
respon dari stimulus parasimpatik dan simpatik. Kelenjar lakrimal mendapat inervasi
parasimpatik melalui serabut yang berasal dari nukleus lakrimator dari nervus fasialis
pada pons. Serabut parasimpatis presinaptik kemudian akan berjalan bersama nervus
fasialis ke ganglion genikulatum dimana mereka menyimpang dan membentuk nervus
petrosal mayor. Nervus petrosus mayor kemudian akan melewati foramen lacerum dan
bergabung dengan nervus petrosus profunda (yang terdapat serabut simpatis), membentuk
nervus kanal pterygoid. Kemudian saraf akan bersinaps pada ganglion pterygopalatina.
Serabut parasimpatis pascasinaps kemudian akan meninggalkan ganglion pterygopalatine
dan membentuk saraf zygomatic dan zygomaticotemporal. Serabut tersebut akan berjalan
dengan cabang lakrimal dari saraf maksilaris untuk mencapai kelenjar lakrimal.
Sedangkan persarafan simpatis kelenjar lakrimal berasal dari ganglion servikal superior.
Serabut postsinaptik berjalan dengan arteri karotis interna sebelum bergabung dengan
saraf petrosus mayor dan membentuk saraf kanal pterygoid. Saraf tersebut kemudian
akan mencapai ganglion pterygopalatina. Saraf tersebut tidak bersinaps tetapi berjalan
dengan serabut parasimpatis dan kemudian mencapai kelenjar lakrimal. 1,2

2. DEFINISI
Dakriosistitis adalah sebuah kondisi peradangan pada kantong lakrimal yang
terjadi secara sekunder akibat dari obstruksi pada duktus nasolakrimalis dan terjadi
stagnasi air mata pada kantung lakrimal. 1

3. EPIDEMIOLOGI
Secara global, didapatkan bahwa insidensi dari dakriosistitis merupakan 15-19.5
kasus per 10.000 kasus. Berdasarkan beberapa penelitian, didapatkan bahwa dakriosistitis
lebih sering terjadi pada perempuan dimana dikatakan bahwa 75% dari kasus
dakriosistitis terjadi pada wanita. Dakriosistitis juga dikatakan lebih umum ditemukan
pada usia 30-60 tahun. Mayoritas kasus dakriosistitis terjadi pada pasien dengan obstruksi
nasolakrimal. 3
Data epidemiologi dakriosistitis di Indonesia sendiri masih sulit untuk didapat.
Sebuah penelitian di Bandung mengatakan bahwa pada 2014 ditemukan adanya 13 pasien
pada rentang Maret hingga September. 12 pasien dari 13 kasus tersebut berjenis kelamin
perempuan dengan rentang umur 13-71 tahun. 4

4. ETIOLOGI
Dakriosistitis dapat diklasifikasikan menjadi akut atau kronis serta didapat
(Acquired) atau bawaan (Congenital). Infeksi akut umumnya menyebabkan dakriosistitis
akut dimana dikatakan bahwa Staphylococcus dan Streptococcus merupakan penyebab
paling umum yang menyebabkan dakriosistitis, diikuti oleh Haemophilus influenza dan
Pseudomonas Aeruginosa. Dakriosistitis kronis sendiri terjadi akibat adanya obstruksi
kronis karena penyakit sistemik. Selain penyakit sistemik, seringkali disebabkan juga
oleh infeksi yang berulang, dan menyebabkan inflamasi kronis pada sistem nasolakrimal.
Beberapa penyakit sistemik yang seringkali menyebabkan dakriosistitis adalah
sarkoidosis dan sistemik lupus eritematosus. Selain itu, dapat disebabkan juga oleh
adanya trauma berulang, pengaruh obat-obatan, serta neoplasma. Trauma fraktur pada
nasoethmoid dikatakan menjadi salah satu penyebab obstruksi nasolakrimal yang paling
umum. Selain itu, prosedur endoskopik dan endonasal juga dikatakan berkaitan erat
dengan terjadinya dakriosistitis. Obat sistemik juga dikatakan berperan dalam etiologi
terjadinya dakriosistitis, salah satu obat sistemik yang paling umum adalah flfluorourasil
dan docetaxel. Sedangkan neoplasma sendiri juga dapat menyebabkan dakriosistitis
dimana tumor pada kantong lakrimal dan tumor jinak papiloma menjadi salah satu
neoplasma yang paling umum terjadi. Dakriosistitis juga dapat disebabkan secara
kongenital dimana terjadi obstruksi pada katup hasner pada duktus nasolakrimal distal.
Saluran drainase lakrimal terbentuk pada minggu kelima kehamilan dimana pada minggu
kedelapan kehamilan, terjadi kanalisasi membentuk kantong lakrimal dan duktus
nasolakrimal. Sistem nasolakrimal diisi dengan cairan amnion dan ketika kanalisasi yang
terjadi tidak lengkap dan ketika cairan amnion gagal dikeluarkan dari sistem
nasolakrimal, cairan amnion kemudian dapat menjadi purulen dalam beberapa hari
3,5
setelah kelahiran.

5. PATOFISIOLOGI
Hampir semua kasus dari dakriosistitis terjadi akibat adanya sumbatan pada
duktus nasolakrimal. Hal tersebut kemudian menyebabkan terjadinya penyumbatan
saluran air mata dan menyebabkan air mata tidak dapat mengalir. Akumulasi dari air mata
dan mucus kemudian akan menyebabkan terjadinya infeksi. Dakriosistitis umumnya
disebabkan oleh bakteri yaitu Staphylococcus dan Streptococcus, dapat juga disebabkan
oleh Haemophilus influenza dan Pseudomonas aeruginosa. Infeksi pada kantung lakrimal
kemudian akan menyebabkan terjadinya inflamasi sehingga gejala dakriosistitis dapat
muncul seperti adanya nyeri, pembengkakan, kemerahan, serta keluarnya cairan.
Peradangan terjadi akibat respon kekebalan tubuh terhadap infeksi. 1,3,5

6. MANIFESTASI KLINIS
Pada pasien dengan dakriosistitis kongenital, seringkali pasien datang dengan
adanya keluhan mata berair yang kronis ataupun intermiten. Mata berair juga seringkali
disertai dengan adanya sekret. Eritema pada konjungtiva tidak khas pada dakriosistitis
kongenital, namun seringkali juga ditemukan akibat dari iritasi air mata yang keluar dan
karena adanya gerakan menggosok mata yang kronis sehingga dapat menyebabkan
kemerahan pada kelopak mata bawah dan atas. Pada saat dilakukan palpasi pada kantong
air mata, seringkali ditemukan adanya refluks air mata ataupun lendir ke mata melalui
punctum. 3,5

Gambar 2. inflamasi pada kantung lakrimal


Pada dakriosistitis akut umumnya memunculkan adanya gejala-gejala seperti
adanya edema dan eritema disertai juga dengan adanya distensi kantung air mata. Pasien
juga seringkali mengeluhkan adanya rasa nyeri pada area kantung mata. Cairan purulen
juga dapat ditemukan dari punctum yang terbentuk pada area kantung lakrimal ketika
diberikan tekanan. Pasien seringkali juga mengalami gejala-gejala infeksi sistemik seperti
adanya demam dan iritabilitas. Pada pasien dengan dakriosistitis kronis, gejala yang
dirasakan umumnya hanya adanya mata berair yang kronis dengan disertai matting pada
bulu mata . Namun gejala-gejala yang lebih parah seperti adanya injeksi konjungtiva dan
penurunan visus ringan juga dapat terjadi. 3,5

7. DIAGNOSIS
Dalam menegakkan diagnosis dakriosistitis, penting untuk dilakukan anamnesis
dan pemeriksaan fisik. Pasien dengan kecurigaan dakriosistitis perlu ditanyakan onset
dari keluhan utama pasien yang umumnya merupakan mata berair. Dikatakan bahwa
umumnya dakriosistitis lebih sering terjadi secara akut atau tiba-tiba. Perlu juga
ditanyakan apakah disertai dengan adanya nyeri, eritema, serta edema pada area kantung
air mata. Pasien dengan dakriosistitis umumnya mengalami nyeri yang terlokalisir pada
area kanthal medial walaupun seringkali nyeri tersebut dapat menyebar ke hidung, pipi,
gigi, dan wajah. Perlu juga untuk ditanyakan apakah terdapat adanya sekret yang keluar,
konsistensi dari sekret, serta warna dari sekret yang keluar. Selain itu, perlu juga untuk
ditanyakan apakah pasien mengalami gejala-gejala infeksi sistemik seperti adanya
demam, iritabilitas, dan lainnya. 1,3,5,6
Pada kasus pasien dengan dakriosistitis akut, perlu diperhatikan apakah terdapat
adanya kemerahan, edema, serta nyeri pada area kantung nasolakrimal. Pada pemeriksaan
fisik, ketika area kantung lakrimal di palpasi, apakah terdapat sekret purulen atau air mata
yang keluar. Seringkali pada pemeriksaan fisik, ditemukan juga adanya preseptal
cellulitis ataupun orbital cellulitis. Pemeriksaan Crigler atau tear duct massage dapat
dilakukan untuk mengeluarkan sekret atau cairan dan dapat digunakan untuk pemeriksaan
kultur maupun gram. 1,3,5,6
Gambar 3. Edema dan infeksi pada kantung lakrimal

Pada dakriosistitis kronis, gejala yang muncul bergantung pada fase pasien
datang, dimana pada fase catarrhal, seringkali ditemukan adanya epiphora dan injeksi
konjungtiva intermitten. Ketika kondisi tersebut tidak diberikan tatalaksana yang tepat,
seringkali air mata yang stagnan akan terakumulasi dan menyebabkan terjadinya dilatasi
kantung air mata dengan isi lendir. Pada fase supuratif kronis, dapat ditemukan adanya
epifora dan konjungtivitis kronis serta adanya eritema pada area kantung air mata. Dapat
terjadi juga adanya refluks sekret purulen dengan tekanan. 1,3,5,6
Selain anamnesis dan pemeriksaan fisik, dapat dilakukan juga pemeriksaan
penunjang menggunakan kultur. Kultur seringkali dilakukan dengan sampel yang diambil
dari area yang terinfeksi ataupun melalui sampel darah. Dikatakan bahwa kultur
direkomendasikan pada pasien anak dan dewasa yang perlu dirawat inap dikarenakan
adanya kondisi imunosupresi serta adanya demam > 38.5 C. Pemeriksaan serologi
umumnya direkomendasikan pada pasien dengan dakriosistitis kronis dan didapati
adanya keluhan infeksi sistemik. Seperti pemeriksaan ANA atau Antinuclear Antibody
Testing dan dsDNA atau Double stranded DNA dapat dilakukan apabila terdapat
kecurigaan terjadinya systemic lupus eritematosus. Pemeriksaan imaging tidak selalu
digunakan dalam penegakkan diagnosis. Pemeriksaan imaging umumnya dipakai apabila
terdapat kecurigaan ke arah trauma. Pemeriksaan DDT atau Fluorescein dye
1,3,5,6
disappearance test dapat dipertimbangkan untuk mengevaluasi lacrimal outflow.

8. DIAGNOSIS BANDING

8.1. Sinusitis Ethmoidal


Sinusitis merupakan peradangan yang terjadi pada sinus dan seringkali
menyebabkan gejala-gejala seperti adanya sakit kepala, nyeri pada wajah, hidung
tersumbat, batuk, dan keluarnya lendir pada hidung. Peradangan terjadi akibat
adanya infeksi ataupun alergi. Secara anatomy, sinus dapat diklasifikasikan
menjadi 4 bagian yaitu frontal, maxillary, sphenoid, dan ethmoid. 7

Gambar 4. Anatomi sinus pada wajah

Sinusitis akut umumnya terjadi akibat infeksi virus dan umumnya dapat
sembuh dengan sendirinya. Sedangkan, sinusitis kronis umumnya terjadi pada
pasien dengan atopy dan sinusitis dapat terjadi akibat adanya paparan allergen,
iritan, virus, ataupun bakteri. Berdasarkan beberapa penelitian, didapatkan bahwa
sinusitis umumnya terjadi pada anak dibawah 15 tahun atau pada rentang usia
25-64 tahun. Beberapa faktor resiko yang paling sering menyebabkan terjadinya
sinusitis adalah adanya defek secara anatomi seperti adanya deviasi septum, polip,
trauma, dan konka bullosa. Dapat dipengaruhi juga karena adanya gangguan
dalam transpor mukus akibat penyakit lainnya seperti cystic fibrosis. Adanya
imunodefisiensi akibat kemoterapi, HIV, diabetes melitus juga dapat memicu
terjadinya sinusitis. 7
Sinusitis umumnya terjadi karena adanya infeksi viral saluran pernapasan
atas dan menyebabkan terjadinya rhinosinusitis sekunder sehingga terjadi edema
dan inflamasi pada nasal dan menyebabkan terjadinya produksi dari mukus yang
kental dan menghalangi sinus paranasal dan memungkinkan pertumbuhan bakteri
sekunder. Imobilitas silia juga kemudian akan menyebabkan viskositas lendir
meningkat dan memperparah drainase yang sudah tersumbat. 7
Pasien dengan sinusitis umumnya datang dengan adanya nyeri pada wajah
atau adanya tekanan yang dirasakan pada wajah. Dapat ditemukan juga keluhan
lainnya seperti hidung tersumbat, hyposmia, ataupun demam. Pada pemeriksaan
fisik, dapat ditemukan juga adanya edema pada wajah, edema periorbital, serta
adanya eritema. 7
Pasien dengan sinusitis umumnya disarankan untuk memperhatikan
kelembaban, serta disarankan untuk cuci hidung. Dapat diberikan juga
dekongestan seperti pseudoephedrine atau oxymetazoline. Oxymetazoline tidak
boleh digunakan selama lebih dari 3 hari dikarenakan dapat menyebabkan
terjadinya rebound congestion. Antihistamin tidak terbukti bermanfaat pada
pasien dengan sinusitis dan dikatakan dapat menyebabkan penghambatan
drainase. Steroid topikal umumnya digunakan untuk mengurangi edema mukosa
hidung. Pemberian antibiotik disarankan pada pasien dengan gejala infeksi
sistemik dan kecurigaan adanya infeksi bakteri. 7

8.2. Preseptal Cellulitis


Preseptal selulitis merupakan kondisi peradangan yang terjadi pada bagian
depan septum orbital. Septum orbital merupakan jaringan yang membagi isi orbit
menjadi 2 bagian yaitu preseptal dan postseptal. Peradangan pada belakang
septum dikenal sebagai selulitis orbita. Selulitis preseptal umumnya terjadi karena
adanya penyebaran infeksi dari rhinosinusitis atau infeksi lokal akibat trauma.
Infeksi yang berasal dari sinus ethmoid umumnya dapat menyebabkan terjadinya
selulitis preseptal dan orbital. Infeksi dari etmoid dikatakan dapat menyebar
dengan cepat. Penyebab paling umum dari selulitis preseptal adanya infeksi
staphylococcus aureus, streptococcus pneumoniae, dan streptococcus pyogenes.
Pemicu paling umum dari selulitis preseptal adalah sinusitis, penyebaran
hematogen, ataupun kontak langsung, serta trauma. Patogen yang menyebabkan
sinusitis terutama pada etmoid kemudian akan menyebar ke jaringan terdekat
melalui sistem vena oftalmik dan menyebabkan terjadinya selulitis preseptal.
Selulitis preseptal dapat terjadi umumnya terjadi pada pasien pediatrik. Tingkat
mortalitas dikatakan berada pada rentang 5% hingga 25%. 8,9,10

Gambar 5. Presentasi Klinis selulitis preseptal

Berdasarkan anamnesis, penting untuk ditanyakan adanya riwayat


sinusitis, trauma, ataupun infeksi pada area terdekat. Penting juga untuk
ditanyakan adanya keluhan mata, demam, ataupun edema. Pasien dengan selulitis
preseptal umumnya datang dengan adanya eritema pada periorbital, edema, serta
adanya pembengkakkan kelopak mata. Keluhan juga umumnya bersifat unilateral.
Penglihatan, tekanan intraokular dan gerakan bola mata umumnya tidak
terganggu. Berbeda dengan selulitis orbital yang merupakan infeksi dan inflamasi
yang lebih luas sehingga dapat menyebabkan terjadinya gerakan bola mata yang
terbatas, proptosis, serta penglihatan yang menurun. Pada cellulitis preseptal juga
jarang ditemukan adanya demam. Dapat ditemukan juga adanya injeksi pada
konjungtiva, chemosis, serta mata berair. Pasien dengan selulitis preseptal, dapat
diberikan antibiotik terhadap S.Aureus dan Streptococcus. 8,9,10

8.3. Kista sebaceous


Kista epidermoid atau kista sebaceous adalah sebuah nodul yang terletak
di bawah lapisan kulit. Kista sebaceous umumnya berisi keratin dan paling sering
ditemukan di wajah dan leher, namun dapat terbentuk pada bagian tubuh
manapun. Kista sebaceous umumnya terjadi pada rentang usia 30-40 tahun. Kista
sebaceous dikatakan jarang ditemukan sebelum pubertas. Dikatakan bahwa kista
sebaceous lebih banyak ditemukan pada pria dengan rasio 2:1. 11
Kista sebaceous berasal dari infundibulum folikuler dan terbentuk akibat
adanya sumbatan lubang folikel. Selain itu, dapat disebabkan juga karena adanya
luka traumatis dan penetrasi. Kista sebaceous dilapisi oleh epitel skuamosa
bertingkat dan menyebabkan akumulasi keratin dalam lapisan subepidermal atau
dermis. Kista tersebut seringkali tidak menunjukan adanya gejala sampai pecah,
ketika pecah, akan terjadi reaksi inflamasi dari perpindahan keratin lunak dan
kuning ke dalam dermis dan jaringan sekitarnya. 11
Pada pemeriksaan fisik umumnya akan ditemukan adanya massa dengan
ukuran 0.5 cm hingga beberapa sentimeter. Seringkali ditemukan juga adanya
pembukaan komedo di tengah dan terdapat punctum. Kista epidermoid umumnya
juga tidak menimbulkan gejala, namun jika pecah umumnya akan tampak
furunkel dengan adanya eritema, dan edema. Kista sebaceous umumnya dapat
ditemukan di mana saja namun paling sering ditemukan di wajah, leher, dada, dan
punggung atas, serta skrotum. 11
Gambar 6. Kista sebaceous
Pasien dengan kista sebaceous disarankan untuk eksisi bedah. Eksisi harus
ditunda jika terdapat infeksi aktif pada area tersebut. Dapat dilakukan drainase
terlebih dahulu. Jika terdapat peradangan di sekitarnya, dapat diberikan
triamcinolone intralesi untuk mengurangi peradangan sebelum dilakukan eksisi. 11

9. TATALAKSANA
Tatalaksana dari dakriosistitis akut disarankan untuk dilakukan kompres hangat
dan pijat crigler 2-3x/ harintuk mengeluarkan sekret dari kantung lakrimal. Dapat juga
dipertimbangkan pemberian antibiotik oral. Disarankan juga pemberian antibiotik topikal
untuk organisme gram positif, terutama anti-stafilokokus seperti Amoxicillin/ Clavulanic
acid 875 mg/ 125 mg 2x1 selama 5 hari. Pada pasien dengan komplikasi, dapat diberikan
antibiotik intravena. 1,3,12

Gambar 7. Teknik Pijat Crigler


Pada dakriosistitis kronis, dapat disarankan terapi pembedahan. Dapat dilakukan
probing dari duktus nasolakrimal, dacrioplasty balon, intubasi nasolakrimal dan
penyekatan dari nasolakrimal. Jika terapi tersebut tidak memberikan hasil yang
maksimal, dapat dipertimbangkan pemberian dacryocystorhinostomy (DCR) atau
Endonasal dacryocystorhinostomy (EN-DCR). External DCR diindikasikan pada pasien
geriatri yang tidak bisa dilakukan anestesi umum, dikarenakan external DCR dapat
dilakukan dengan sedasi yang minimal atau menggunakan anestesi lokal. Sedangkan
endonasal DCR lebih sering dilakukan pada dakriosistitis akut yang tidak responsif pada
1,3,12, 14
medikamentosa.

Gambar 8. External Dacryocystorhinostomy


Gambar X. Endonasal Dacryocystorhinostomy

Sedangkan pada pasien dengan dakriosistitis kongenital, dapat dilakukan pijat


Crigler dan pemberian antibiotik Amoxicillin/ Clavulanic acid 400 mg/ 57 mg per 5 mL
2x1 selama 5 hari. Dikatakan bahwa sekitar 90% dakriosistitis kongenital akan sembuh
dalam 6 bulan hingga 1 tahun usia dengan terapi konservatif. Apabila gejala kambuh,
disarankan untuk dilakukan terapi pembedahan. 1,3,12

10. KOMPLIKASI
Komplikasi dari dakriosistitis meliputi preseptal cellulitis, orbital cellulitis,
terbentuknya fistula lakrimal, meningitis, abses pada otak, thrombosis pada sinus
cavernosus, sinusitis, dan kehilangan penglihatan permanen.3 Pada pasien dengan
dakriosistitis akut, seringkali terjadi selulitis preseptal, namun apabila infeksi tidak
diatasi, cellulitis preseptal kemudian dapat meluas dan membentuk selulitis orbital.
Selulitis orbital juga seringkali dapat menyebabkan penurunan visus. Apabila infeksi
tidak teratasi, infeksi lokal dapat menyebar ke otak dan seringkali membentuk abses pada
otak. 3, 13
Gambar X. Proptosis, edema, eritema, chemosis pada mata kanan

11. PROGNOSIS
Prognosis dari dakriosistitis baik. Berdasarkan beberapa penelitian, didapatkan
bahwa 90% kasus dapat sembuh dengan terapi konservatif saja. Terapi pembedahan juga
dikatakan memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi dimana dikatakan sekitar kurang
lebih 93%-97% kasus dakriosistitis teratasi dengan baik. 3, 12
BAB 3
KESIMPULAN

Dakriosistitis adalah kondisi peradangan pada kantung lakrimal yang terjadi


akibat obstruksi pada duktus nasolakrimalis. Dakriosistitis akut seringkali disebabkan
karena adanya infeksi dari staphylococcus dan streptococcus, sedangkan dakriosistitis
kronis umumnya terjadi apabila terjadi obstruksi kronis karena penyakit sistemik.
Penyumbatan dari saluran air mata dan akumulasi dari air mata serta mucus akan
menyebabkan terjadinya infeksi yang dapat meluas
Infeksi yang terjadi dapat menyebabkan terjadinya mata berair serta eritema dan
distensi dari kantung air mata. Pada saat di palpasi seringkali cairan dan mukus dapat
keluar dari mata pasien.
Dalam mendiagnosis dakriosistitis penting untuk dilakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisik dimana pada pasien dengan dakriosistitis seringkali mengeluhkan
adanya mata yang berair. Mata berair juga disertai dengan adanya keluhan nyeri dan area
kantung air mata yang membesar. Pada pemeriksaan fisik juga ditemukan adanya nyeri
tekan, eritema, serta edema. Nyeri juga dikatakan dapat menyebar ke hidung, pipi, gigi,
dan wajah. Dapat dilakukan juga pemeriksaan penunjang dimana dapat dilakukan kultur
yang seringkali dilakukan pada pasien dengan imunosupresi dan adanya demam > 38.5 C.
Pemeriksaan serologi juga dapat digunakan pada pasien dengan dakriosistitis kronis.
Pasien dengan dakriosistitis akut disarankan untuk melakukan kompres hangat
dan pijat crigler. Dapat diberikan juga pemberian antibiotik oral. Pada dakriosistitis
kronis, dapat disarankan untuk dilakukan terapi pembedahan. Sedangkan pada
dakriosistitis kongenital, dapat dilakukan terapi konservatif terlebih dahulu dan jika
gejala kambuh, dapat dilakukan terapi pembedahan.
Komplikasi yang seringkali ditemui pada pasien dengan dakriosistitis adalah
terjadinya preseptal selulitis dan orbital selulitis yang kemudian dapat menyebabkan
terjadinya penurunan visus permanen dan jika infeksi menyebar dapat menyebabkan
abses pada otak.
Prognosis dari dakriosistitis dikatakan baik apabila diberikan tatalaksana yang
tepat dan cepat. 90% kasus juga dikatakan dapat sembuh dengan terapi konservatif saja.
DAFTAR PUSTAKA

1. American academy of Ophthalmology. 2015. Lacrimal disease. San Francisco: MD


Association.
2. Machiele R, Lopez MJ, Czyz CN. Anatomy, Head and Neck: Eye Lacrimal Gland. In:
StatPearls. Treasure Island. 2022.
3. Taylor RS, Ashurst JV. Dacryocystitis In: StatPearls. Treasure Island (FL): StatPearls
Publishing; 2022.
4. Dylan R. Boesoirie K. Boesoirie S F. Kartiwa A. Puspitasari H. Karakteristik penderita
dakriosistitis di pusat mata nasional rumah sakit mata cicendo. 2014.
5. Perez Y, Patel BC, Mendez MD. Nasolacrimal Duct Obstruction. In: StatPearls. Treasure
Island. 2023.
6. Pinar-Sueiro S, Sota M, Lerchundi TX, Gibelalde A, Berasategui B, Vilar B, Hernandez
JL. Dacryocystitis: Systematic Approach to Diagnosis and Therapy. Curr Infect Dis Rep.
2012
7. Battisti AS, Modi P, Pangia J. Sinusitis In: StatPearls. Treasure Island. 2023.
8. Bae C, Bourget D. Periorbital Cellulitis. 2022 Jul 18. In: StatPearls. Treasure Island.
2022.
9. Lee S, Yen MT. Management of Preseptal and Orbital Cellulitis. Saudi J Ophthalmol.
2011.
10. American Academy of Ophthalmology. 2015. Preseptal Cellulitis. San Francisco: MD
Association.
11. Zito PM, Scharf R. Epidermoid Cyst. In: StatPearls. Treasure Island. 2023
12. Engelsberg K. Sadlon M. First-Onset Dacryocystitis: Characterization, Treatment, and
Prognosis. Opthalmol Ther. 2022.
13. Alsalamah A K. Alkatan H M. Al-Faky YH. Acute dacryocystitis complicated by orbital
cellulitis and loss of vision: A case report and review of the literature. Int J Surg Case
Rep. 2018.
14. Ullrich K, Malhotra R, Patel BC. Dacryocystorhinostomy. In: StatPearls. Treasure Island.
2022.

Anda mungkin juga menyukai