Perbandingan Madzhab-Nadya-2188204025
Perbandingan Madzhab-Nadya-2188204025
Dosen Pengampu
H, Syamsuri, LC, MA
Disusun Oleh
Nadya Agustina (2188204025)
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah Subhanahuwata’aala. Karena atas
rahmat dan karuniaNya saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini. Shalawat serta
salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Rasulullah Shalallahu’alayhi
wasallam, beserta keluarganya, para shahabatnya, sertakita semua para penganut ajarannya
hingga akhir zaman. Dengan dibuatnya makalah ini sebagai tugas dari mata kuliah
Perbandingan Madzhab pada jurusan Pendidikan Bahasa Arab di Universitas Muhammadiyah
Tangerang, dengan judul ( لتلفظ بالنية اPelafalan Niat)
Makalah ini menjelaskan tentang hal-hal yang berkaitan dengan pelafalan maupun
pengucapan niat secara umum dalam seluruh rangkaian ibadah yang berhubungan langsung
dengan Sang Pencipta. Seperti dalam hal inti lafdzunniah, termasuk pendapat para ulama,
disertai kerojihannya, beserta dalilnya, dsb. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembacanya, baik bagi internal kampus ataupun bagi masyarakat umum.
Saya menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini, segala
kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat diharapkan demi penyempurnaan
makalah ini di masa yang akan datang.
Mudah–mudahan kehadiran makalah ini dapat diterima dan bermanfaat bagi para
pembaca. Aamiin.
Kami ucapkan terima kasih kepada H. Syamsuri, Lc, MA sebagai pengajar mata
kuliah Perbandingan Madzhab yang telah membimbing kami dalam penyusunan makalah ini.
Sehingga selesai tepat pada waktunya.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................................ii
DAFTAR ISI.......................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................
A. Latar Belakang.........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah....................................................................................................1
C. Tujuan Masalah........................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................
A. Pengertian Niat........................................................................................................2
B. Aspek Niat...............................................................................................................3
C. Hukum Pelafalan Niat dalam Ibadah Shalat dan Selainnya....................................3
D. Pendapat Rojih Mengenai Pelafalan Niat................................................................7
A. Kesimpulan..............................................................................................................8
B. Saran........................................................................................................................8
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................9
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Permasalahan fiqih memang sangat kompleks jika kita tidak mengerti, tapi
apabila kita mengerti sangat mudah sekali dalam menjalankan fiqih, khususnya dalam
hal ibadah. Diantara permasalahan yang masih menjadi pertentangan sampai saat ini
ialah perdebatan tentang melafazdkan niat dalam sholat, empat madzab dalam hal ini
berbeda dalam menyikapinya. Permasalahan yang lain ialah tentang membaca al-
fatihah bagi makmum jahriyah. Dalam hal ini ada yang bilang masih harus membaca,
ada juga yang bilang tidak perlu membaca lagi, sehingga perdebatanpun terjadi dalam
bidang ini. Dalam al-fatihahpun masih ada perdebatan lagi, yaitu mengenai masalah
membaca basmalah. Perdebatannya disini berkenaan dengan apakah basmalah itu
masuk pada al-fatihah atau tidak. Mengenai hal ini para ulama’ fiqih berbeda
pendapat. Sehingga umat diharapkan memilih sesuai dengan keyakinan masing-
masing, mau ikut mazhab yang mana. Semua permasalahan diatas perlu kita bahas
pada kesempatan kali ini, karena bagaimanapun juga hal itu menjadi kewajiban kita
sehari-hari. Selaku umat islam kita dituntut untuk mengetahui masalah ini supaya
tidak timbul kecemburuan sosial atau konflik ketika terjadi perbedaan dalam hal
beribadah.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah hukum melafadzkan niat dalam ibadah shalat dan selainnya?
2. Bagaimanakah pandangan beberapa ulama terkait pelafalan ini?
3. Manakah hukum yang paling rojih?
4. Adakah asbab yang membolehkan pelafalan niat dalam ibadah?
C. TUJUAN MASALAH
1. Mengetahui konsepsi umum implikasi pelafalan niat secara umum.
2. Mengetahui perbedaan pendapat para ulama mengenai pelafalan niat.
3. Mengetahui hukum yang paling masyhur dan rojih dalam
pengimplementasiannya.
4. Mengetahui asbab yang membolehkan adanya pelafalan niat.
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN NIAT
Niat adalah maksud atau keinginan kuat di dalam hati untuk melakukan
sesuatu. Dalam terminologi syar'i berarti adalah keinginan melakukan ketaatan kepada
Allah dengan melaksanakan perbuatan atau meninggalkannya. Niat termasuk
perbuatan hati maka tempanya adalah di dalam hati, bahkan semua perbuatan yang
hendak dilakukan oleh manusia, niatnya secara otomatis tertanam di dalam
hatinya.Kemudahan tayamum yang diberikan oleh Allah Subhanaahuwata’aala.
Secara bahasa (Arab), niat ( )نيةadalah keinginan dalam hati untuk melakukan
suatu tindakan. Orang Arab menggunakan kata-kata niat dalam arti “sengaja”.
Terkadang niat juga digunakan dalam pengertian sesuatu yang dimaksudkan atau
disengajakan.
Secara istilah, tidak terdapat definisi khusus untuk niat. Karena itu, banyak
ulama yang memberikan makna niat secara bahasa, semisal Imam Nawawi yang
mengatakan niat adalah bermaksud untuk melakukan sesuatu dan bertekad bulat untuk
mengerjakannya.”
Mengacu kepada hadits shahih, niat adalah motivasi, maksud, atau tujuan di
balik sebuah perbuatan. Rasulullah Saw menyatakan, niat menjadi penentu pahala
sebuah perbuatan. Jika niatnya karena Allah, maka pahalanya dari Allah. Jika niatnya
bukan karena Allah, atau disertai motif lain, maka Allah tidak akan menerima amalan
itu sebagai ibadah.
وإنما لكل امرئ ما نوى،إنما األ عمال بالنيات
“Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya dan seseorang akan mendapatkan
sesuai dengan apa yang ia niatkan” (HR Bukhari & Muslim).
Sedangkan fungsi niat sendiri dalam Islam sebagai pembeda amalan. Niat
membedakan antara satu ibadah dengan ibadah lainnya atau membedakan antara
ibadah dengan kebiasaan. Niat juga membedakan tujuan seseorang dalam beribadah.1
1
Hukum Membaca Usualli / Niat ketika sholat - Makalah
2
B. ASPEK NIAT
Aspek niat itu ada 3 hal, antara lain :
1. Diyakini dalam hati.
2. Diucapkan dengan lisan (tidak perlu keras).
3. Dilakukan dengan amal perbuatan.
Jadi niat akan lebih kuat bila ke tiga aspek diatas dilakukan semuanya, sebagai
contoh saya berniat untuk salat, hatinya berniat untuk salat, lisannya mengucapkan
niat untuk salat dan tubuhnya melakukan amal salat. Demiikian pula apabila kita
mengimani segala sesuatu itu haruslah dengan hati yang yakin, ucapan dan tindakan
yang selaras.
Dengan definisi niat yang seperti ini diharapkan orang Islam atau Muslim itu tidak
hanya 'semantik' saja karena dengan berniat berati bersatu padunya antara hati, ucapan
dan perbuatan dengan pikiran yang matang (tidak tergesa). Karena dikatakan dalam
suatu hadits Muhammad apabila yang diucapkan lain dengan yang diperbuat termasuk
ciri-ciri orang yang munafik.2
2
Ibid., bag. B.
3
An-nuthq artinya berbicara atau mengucapkan. Sebagian Syafi’iyah
memaknai an-nuthq di sini dengan melafalkan niat. Padahal ini adalah salah
paham terhadap maksud beliau rahimahullah. Dijelaskan oleh An Nawawi bahwa
yang dimaksud dengan an-nuthq di sini bukanlah mengeraskan bacaan niat.
Namun maksudnya adalah mengucapkan takbiratul ihram. An-Nawawi
mengatakan,
3
Ibid., bag. C.
4
Jika seseorang salah dalam melafalkan niat sehingga tidak sesuai
dengan niatnya, seperti melafalkan niat shalat ‘Ashar tetapi niatnya shalat Dzuhur,
maka yang dianggap adalah niatnya bukan lafal niatnya. Sebab apa yang diucapkan
oleh mulut itu (shalat ‘Ashar) bukanlah niat, ia hanya membantu mengingatkan
hati. Salah ucap tidak mempengaruhi niat dalam hati sepanjang niatnya itu masih
benar.
5
“Dari Anas r.a. berkata: Saya mendengar Rasullah shallahu’alayhi wasallam
mengucapkan, “Labbaika, aku sengaja mengerjakan umrah dan haji”.(HR.
Muslim).
Memang ketika Nabi Muhammad melafalkan niat itu dalam
menjalankan ibadah haji, bukan shalat, wudlu’ atau ibadah puasa, tetapi tidak
berarti selain haji tidak bisa diqiyaskan atau dianalogikan sama sekali atau
ditutup sama sekali untuk melafalkan niat.
Niat ada di hati, tetapi untuk sahnya niat dalam ibadah itu disyaratkan
empat hal, yaitu :
1. Islam,
2. Berakal sehat (tamyiz),
3. Mengetahui sesuatu yang diniatkan,
4. Tidak ada sesuatu perkara yang merusak niat.
Syarat yang nomor tiga (mengetahui sesuatu yang diniatkan) menjadi
tolok ukur tentang diwajibkannya niat.
4
Melafadzkan Niat, Boleh atau Bidah? | rumahfiqih.com
6
Menurut ulama fiqh, niat diwajibkan dalam dua hal :
1. Pertama, untuk membedakan antara ibadah dengan kebiasaan (adat),
seperti membedakan orang yang beri’tikaf di masjid dengan orang yang
beristirah di masjid.
2. Kedua, untuk membedakan antara suatu ibadah dengan ibadah lainnya,
seperti membedakan antara shalat Dzuhur dan shalat ‘Ashar.
وإنما النيّة محلّها، ال الشّافع ّي وال غيره باشتراط التلفّظ بالنيّة،لم يقل أحد من األئمة األربعة
وخرج وجها ً في مذهب الشافعي! قال، إال أن بعض المتأخرين أوجب التلفّظ بها،القلب باتّفاقهم
وهو مسبوق باإلجماع قبله. انتهى، وهو غلط:النووي رحمه هللا
“Tidak ada seorang imam pun, baik itu Asy Syafi’i atau selain beliau, yang
mensyaratkan pelafalan niat. Niat itu tempatnya di hati berdasarkan kesepakatan
mereka (para imam). Hanya segelintir orang-orang belakangan saja yang mewajibkan
pelafalan niat dan berdalih dengan salah satu pendapat dari madzhab Syafi’i. Imam An
Nawawi rahimahullah berkata itu sebuah kesalahan. Selain itu, sudah ada ijma dalam
masalah ini” (Al Ittiba’, 62).
Ibnul Qayyim berkata: “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam biasanya
ketika memulai shalat beliau mengucapkan برLL هللا أكdan tidak mengucapkan apa-apa
sebelumnya. Beliau juga tidak pernah sama sekali melafalkan niat. Beliau tidak pernah
mengucapkan ushallli lillah shalata kadza mustaqbilal qiblah arba’a raka’atin
imaaman atau ma’muuman (saya meniatkan shalat ini untuk Allah, menghadap qiblat,
empat raka’at, sebagai imam atau sebagai makmum). Beliau juga tidak pernah
mengucapkan ada-an atau qadha-an juga tidak mengucapkan fardhal waqti. Ini semua
adalah bid’ah. Dan sama sekali tidak ada satu pun riwayat yang memuat ucapan
demikian, baik riwayat yang shahih, maupun yang dhaif, musnad, ataupun mursal. Juga
tidak ada dari para sahabat. Juga tidak ada istihsan dari seorang tabi’in pun, atau dari
7
ulama madzhab yang empat. Ucapan demikian hanya berasal dari orang-orang
belakangan yang menyalah-gunakan perkataan imam Asy Syafi’i tentang shalat.5
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Bahwa masalah ini diperdebatkan banyak oleh ulama. initinya memang bahwa
niat itu dalam hati, bukan di lisan. kalau hati ini sudah berniat, lalu buat apa lagi kita
mengucapkannya. Tapi kalau memang jika hanya dengan niat masih membuat ragu
dan kurang yakin, pelafadzan niat dibolehkan.
Artinya, kalau memang merasa yakin dengan niat dalam hati, baiknya ya tidak perlu
lagi melafadzkannya. Tapi kalau tetap ingin melafadzkan niat itu sebagai penguat,
harus pastikan kalau itu tidak mengganggu saudara kita yang juga beribadah
disamping kita. Barang kali dia terganggu dengan suara lafadz niat kita yang berisik.
B. SARAN
Setelah penulisan makalah ini diharapkan mampu memberikan konstribusi kepada
siapapun dalam memahami pendapat para ulama fiqih, terkait tata cara bertayamum.
5
Fikih Shalat: Polemik Niat Dalam Ibadah (muslim.or.id)
8
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Aziz, Syaikh, “Menjawab Tuntas Masalah Sholat Mulai A-Z “ (Al-Mahra
Jakarta 2007)
Al Qaulul Mubin Fii Akhta-il Mushallin, karya Syaikh Masyhur Hasan Salman, Dar
Ibnul Qayyim, hal. 91-96.