13 - Akrim Lahasbi - Pengemis Jalanan - LHS
13 - Akrim Lahasbi - Pengemis Jalanan - LHS
Akrim Lahasbi
Bermula ketika harus menjalankan aktivitas biasanya, jalanan selalu memberikan suguhan yang
miris bagi pengguna jalan, yang mempertontonkan kebiasaan yang cukup mengkhawatirkan
dan sering terjadi. Pengemis jalanan, bukan hanya individu yang lengkap anggota tubuhnya,
tetapi memiliki keterbatasan fisik juga sebagai alat mendapatkan uang dari rasa kasihan.
Dewi (48), seorang pengemis disabilitas yang sering mangkal di jalanan kota Tangerang,
maupun di tempat ramai lainnya seperti pasar, jalanan dan cafe. Ia merupakan seorang
penyandang disabilitas yang tidak menikah karena kekurangan fisik yang ia miliki.
Terlahir dengan kaki cacat dan berjalan harus dibantu dengan papan roda yang dimodifikasi
seperti Skateboard dengan didorong oleh kedua tangannya.
Saya menjumpaI di tempatnya, disebuah siang. dewi sedang duduk di trotoar di tengah lalu
padat Kota Tangerang. Ia semula agak segan ketika saya mengajaknya berbincang. Pada saya,
ia mengatakan bahwa ia juga tidak menyukai pekerjaan sebagai pengemis jalanan yang di-
eksploitasi oleh keluarga.
“ Saya, menjadi sapi perah keluarga “, katanya. Pendapatan yang ia dapatkan sehari berkisar 80
ribu sampai 100 ribu, belum ia juga mendapatkan kekerasan secara fisik dari orang-orang yang
tidak dikenalnya seperti diperas uang sudah ia kumpulkan tersebut.
Kekurangan fisik yang ia miliki tersebut dimanfaatkan. Ia harus berani karena tidak ada upaya
lain selain menuruti apa yang sudah menjadi kemauan keluarganya yang mana kakak kandung
sendiri, ia tidak bisa melakukan perlawanan karena fisik yang ia miliki tersebut.
Selalu merasa malu kala harus mendekati siapapun dan menadahkan tangan. Ada yang
memberikan uang, makanan, bahkan ada juga tidak sama sekali memedulikan keberadaannya.
Dewi dalam renungan ketika sendiri merasakan tidak memiliki hak atas kekurangannya, tidak
mendapatkan pelayanan kesehatan, atau perhatian. Ini tidak hanya ada di Tangerang saja,
bahkan hampir seluruh wilayah
Dewi adalah potret kaum penyadang Disabilitas yang mengalami kesulitan dalam mencari
pekerjaan yang layak. Akhirnya mereka di-eksploitasi menjadi pengemis. Ini tidak hanya ada di
Tangerang saja, bahkan hampir seluruh wilayah Indonesia memiliki para penyandang disabilitas
yang berkerja atau dipekerjakan menjadi pengemis baik oleh keluarga maupun oknum tertentu.
Hal tersebut menjadi catatan kelam secara hak asasi manusia yang tidak diperhatikan oleh
negara, mungkin secara umum dari negara membantu tapi apakah penyandang Disabilitas di
daerah terpencil sudah di berikan perhatian atau akses baik sosial ataupun kesehatan?
Dengan jumlah disabilitas yang bertambah ditengah pandemi covid-19 ini, bahkan kondisi
ekonomi keluarga pun terganggu. Hal tersebut memicu meningkatnya pengemis-pengemis yang
mulai naik ke permukaan sosial, hampir di setiap persimpangan jalanan Kota Tangerang akan
kita jumpai bukan hanya pengemis biasa tetapi pengemis disabilitas juga yang mangkal jalanan
setempat.
Mereka cenderung harus tabah dalam keadaan yang kian hari terus menjadi tontonan umum.
Maka dari itu sisi kehadiran negara perlu melihat kelompok-kelompok masyarakat marjinal,
baik itu kota maupun tingkat bawahnya melalui koordinasi bersama pemerintah daerah agar
lebih diperhatikan lagi para kelompok Marjinal.
Undang-undang No 8 Tahun 2016 dalam pasal satu ayat (1) berbunyi : " Penyandang Disabilitas
adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik
dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami
hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara
lainnya berdasarkan kesamaan hak ".
Keadilan perlu didapatkan, bukan hanya berlaku pada masyarakat non Disabilitas saja, tetapi
semua elemen warga negara yang mendiami wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, oleh
karena kebijakan tetaplah menjadi sebuah persoalan yang harus ditindaklanjuti, jika kebijakan
tidak dijalankan sesuai konstitusi maka hal yang sama akan dirasakan oleh kita semua bahwa
negara tidak menjamin hak-hak tersebut.
Menjadi catatan bahwa Kota Tangerang dan Kabupaten Tangerang sendiri belum memiliki panti
khusus untuk penyandang disabilitas, hal tersebut bisa menjadi salah satu bahan aspirasi bagi
pemerintah setempat agar memberikan perhatian tidak hanya pada kaum marjinal lainnya saja
tetapi juga kepada penyandang disabilitas agar menekan angka pengemis yang di-eksploitasi.
Dalam wawancara saya bersama Ketua Departemen Hukum Advokasi dan Sosial Politik
Persatuan Tunanetra Indonesia, Fajri Hidayatullah, ia mengatakan, penyandang Disabilitas tidak
hanya terlahir cacat tetapi ada juga mereka yang mengalami kecelakaan atau sakit yang diderita
sehingga terjadi perubahan pada fisik.
Umumnya, banyak masyarakat mengira seorang disebut Disabilitas adalah mereka terlahir
cacat dan kekurangan pada anggota baik itu fisik, mental dan psikologis, tapi seorang yang
disebut Disabilitas bisa karena sakit ataupun kecelakaan. Rendahnya pengetahuan berdampak
pada sisi stigmatisasi yang kerap kali menjadi makanan bagi para penyandang Disabilitas,
terutama para pengemis jalanan.
Ia melanjutkan setidaknya ada 4 hal yang harus dilakukan baik itu secara konsepsi pemahaman
dan kebijakan yang didapatkan oleh penyandang Disabilitas.
Pertama, masyarakat harus mengubah mindset berpikir terhadap pengemis jalanan, bahwa
mereka bukan harus dikasihani bukan juga harus dieksploitasi secara tidak manusiawi, tetapi
ditempatkan pada sebuah prosesi yang sudah pada kemampuan fisiknya. Yang tertanam
dibenak dan pikiran masyarakat seperti sehingga melahirkan distorsi pemahaman.
Ketiga, Fajri mengatakan harus ada koordinasi aturan tentang perlindungan pemberdayaan
kaum Disabilitas antar pemerintah pusat dan daerah harus terjalin baik dan merata. Karena
terkadang tidak ada kesinambungan tersebut membuat banyak kaum marjinal yang tidak
mendapatkan perhatian baik hukum atau kebijakan. Sama seperti ketika pemerintah pusat
membuat program tetapi pemerintah daerah tidak mendapatkan atensi program tersebut yang
mana terjadinya miskomunikasi sehingga pemberdayaan tidak dilakukan.
Akhir dari itu, bahwa penyandang Disabilitas adalah manusia, dan harus kita pandang sebagai
manusia pula, diungkapkan oleh Lilik HS dalam Advokasi Lintas Kertas. Pengemis Disabilitas
seperti Dewi (48) juga membutuhkan perhatian dan pemberdayaan seperti harapan bahwa ia
juga memiliki kemampuan sama dengan orang seperti biasanya.