Tugas Mujib (2) (4) - Merged
Tugas Mujib (2) (4) - Merged
MAKALAH
NASAKH DAN MANSUKH
Di Susun Oleh :
AL MUJIBURROHMAN ( 220101035 )
HARISMAN (. )
T.A 2022/2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada tuhan yang maha esa, karna atas limpahan rahmatnya
penyusun dapat menyelesaikan tugas makalah ini tepat waktu tanpa ada halangan yang berarti dan
sesuai dengan harapan.
Ucapkan terima kasih kami sampaikan kepada buk Surma sebagai dosen pengampu mata
kuliah ulumul Qur’an yang telah membantu memberikan arahan dan pemahaman dalam
penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan karna
keterbatasan kami. Maka dari itu penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran untuk
menyempurnakan makalah ini. Semoga apa yang ditulis dapat bermanfaat bagi semua pihak yang
membutuhkan.
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..........................................................................................i
DAFTAR ISI........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................2
BAB III................................................................................................................ 16
PENUTUP............................................................................................................16
1. Kesimpulan.................................................................................................17
iv
1
BAB I
PENDAHULUAN
Kata naskh merupakan maṣdar dari kata nasakha, yang secara harfiyah
berarti: menghapus, memindahkan, mengganti, atau mengubah. Dari kata nasakha
terbentuk kata nāsikh dan mansūkh. Secara etimologi, nāsikh berarti yang
menghapus, yang mengganti atau yang mengubah.Sedangkan mansūkh berarti yang
dihapus, yang digantikan atau yang diubah. 3
1
M. Quraish Shihab. Membumikan Al-Qur’an (Bandung: PT.Mizan Pustaka, 1994), h.
2
.
3
M. Yusuf, Studi Al-Qur’an (Jakarta: Amzah, 2010). h. 113.
1
BAB II
Kata nāskh yang bentuk isim failnya nāsikh dan isim maf‟ulnya mansūkh,
mempunyai arti yang beragam, antara lain : menghilangkan, menghapuskan,
membatalkan.4 Disamping itu juga nāskh berarti membatalkan atau memindah dari
satu wadah ke wadah yang lain, atau juga berarti penukilan dan penyalinan.5
Kata nāsikh menurut sifat sendiri memiliki banyak makna, bisa berarti:
Menghilangkan (al-Izālah) 6 , Menggantikan (at-Tabdīl) 7 , at-Tahwil ( peralihan),
dan Naql artinya memindahkan dari satu tempat ketempat lain. Jadi nāsikh adalah
sesuatu yang membatalkan, menghapus, memindahkan dan mengubah, sedang
mansūkh adalah sesuatu yang dibatalkan, dihapus, dipindahkan, dirubah dan lain
sebagainya.8
Dari beberapa definisi tentang nāskh yang telah dipaparkan diatas, nampak
bahwa nāskh memiliki makna yang berbeda-beda, bisa berarti membatalkan,
menghilangkan, menghapus, menggalihkan dan sebagainya, yang di hapus disebut
mansūkh dan yang menghapus disebut nāsikh, namun dari sekian banyak definisi
itu, menurut Rosihon Anwar, pengertian nāsikh yang mendekati kebenaran adalah
nāskh dalam pengertian al-Izālah, yakni: (berarti mengangkat sesuatu dan
menetapkan selainnya pada tempatnya)
Sebagaimana dalam pengertian etimologi, nāskh dalam terminologi pun memiliki
pengertian yang berbeda-beda, sebagaimana pendapat yang mengatakan bahwa
nāskh adalah mengangkat atau menghapus hukum syara‟ dengan dalil hukum
2
3
9
Mannā‟ Khalīl al-Qaṭṭān, Mabahis fi Ulum al-Qur‟an (Singapura: Haramain, t.t.), h. 232.
10
Muhammad Abudul Adzim al-Zarqoni, Manahil al-„Irfan fi Ulumil Qur‟an (Beirut: Dar
al-Fikr, Tp.t), h. 151.
11
Muhammad Abu Zahroh, Ushul Fiqh Beirut: Dar al-Fikr, 1958), h. 60.
12
Subhi Shalih, Mabahis fi Ulum al-Qur‟an (Beirut: Dar al-„Ilm, 1988), h. 261.
13
Abd Mun‟im an-Namr, Ulum al-Qur‟an al-Karim ( Beirut: Dar al-Kitab, 1983), h. 183.
3
B.Macam-macam Nāsikh Mansūkh
Aisyah berkata: “Pada mulanya ayat ini dicantumkan di dalam mushaf al-
Qur‟an dan hukumnya juga berlaku. Kemudian ayat ini dihapus, baik tulisan
maupun hukumnya”. Ayat tersebut di-nāskh oleh ayat lain yang berbunyi:
2. Nāskh hukum sedangkan tilāwah-nya masih tetap. Nāskh macam ini sedikit
ditemukan dalam al-Qur‟an, namun ada juga orang yang berlebihan dalam
menetapkan nāskh seperti ini.15 Nāskh macam ini setidaknya mempunyai dua
hikmah: karena al-Qur‟an firman Allah, dan membacanya mendapat pahala,
maka di tetapkan tilāwahnya. Dan agar mengingat tentang ringan atau
beratnya hukum yang dihapus. Misalkan me-nāskh ayat „iddah satu tahun
dalam surat al-Baqarah: 240 dengan ayat; 234 dalam surat yang sama, yakni
dengan „iddah empat bulan sepuluh hari
14
al-Sayyuthi, al-Itqan fi „Ulum al-Qur‟an, h. 22.
15
Mannā‟ Khalīl al-Qaṭṭān, Mabahits fi „Ulum al-Qur‟an, h. 230.
4
5
3. Nāskh tilāwah sedangkan hukumnya tetap berlaku. Salah satu contoh nāskh
macam ini, seperti ayat rajam yang mula-mulanya terbilang ayat al-Qur‟an.
Kemudian ayat ini dinyatakan telah di-nāskh-kan bacaannya sedangkan
hukumnya tetap berlaku.16
Hal ini dijelaskan dalam hadis yang diriwayatkan dari Muhammad ibn
Ja‟far, dari Syu‟bah, dari Qatadah, dari Yunus ibn Jubair, dari Katsir ibn al
Shalt, dari Zaid ibn Tsabit berkata:
Sebagian ulama ada yang tidak mengakui nāskh semacam ini, karena khabar-
nya bersifat ahad. Menurut mereka khabar ahad yang diriwayatkan periwayat yang
tsiqqah tidak dapat diterima dalam hal nāskh. Namun ada pula yang memudahkan
persoalan nāskh, sehingga merasa cukup dengan pendapat mufassir atau mujtahid.
Adapun yang benar adalah kebalikan dari kedua pendapat
itu.17
4. Nāskh al-Qur‟an dangan al-Qur‟an. Para ulama yang mengakui adanya nāskh,
telah sepakat adanya nāskh al-Qur‟an dengan al-Qur‟an, dan itu-pun
5. telah terjadi menurut mereka.Salah satu contohnya ayat „iddah satu tahun di-
nasakh-kan dengan ayat „iddah empat bulan sepuluh hari.18
6. Nāskh al-Qur‟an dengan sunah, nāskh yang macam ini terbagi dua, pertama:
nāskh al-Qur‟an dengan hadis ahad. Jumhur ulama berpendapat, hadis ahad
18
Mannā‟ Khalīl al-Qaṭṭān, Mabahits fi „Ulum al-Qur‟an, 228.
5
tidak bisa menāskhkan al-Qur‟an, karena al-Qur‟an adalah nāsh yang
mutawatir, menunjukkan keyakinan tanpa ada praduga atau dugaan padanya,
sedangkan hadis ahad adalah nash yang bersifat zhanni, karena ada
kemungkinan salah dan jumlah perawinya dibawah hadis mutawatir. Dan
tidak sah pula menghapus suatu yang sudah diketahui dengan suatu yang
sifatnya dugaan atau diduga. 19
Adapun me-nāskh-kan al-Qur‟an dengan sunah mutawatir para ulama
berbeda pendapat; Malik, Abu Hanifah dan Ahmad dalam satu riwayat
membolehkannya. Dasar argumentasi mereka adalah firman Allah Q.S.
Annajm 4-5, yang artinya:“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut
kemauannya hawa nafsunya. Ucapan itu tidak lain hanyalah wahyu yang
Diwahyukan (kepadanya)”. Al-Syafi‟i dan beberapa ulama lain menolak
1.Nāskh sunnah dengan al-Qur‟an. Jumhur ulama membolehkan nāskh seperti ini.
Salah satu contohnya adalah menghadap ke Baitul Maqdis yang ditetapkan oleh
Sunnah, kemudian ketetapan ini di-nāskh-kan oleh al-
3. Nāskh sunah dengan sunnah, sunnah macam ini terbagi pada empat macam,
yaitu: Nāskh sunnah mutawatir dengan sunnah mutawatir, nāskh sunah ahad
dengan sunnah ahad, nāskh sunnah ahad dengan sunnah mutawatir,dan nāskh
sunnah mutawatir dengan sunnah ahad.
19
Mabahits fi Ulum al-Qur‟an, h. 237.
6
7
Mannā‟ Khalīl al-Qaṭṭān menjelaskan bahwa nāskh ijma‟ dengan ijma‟ dan
qiyas dengan qiyas atau menāskh dengan keduanya, menurut pendapat yang sahih
tidak dibolehkannya. Apabila dilihat dari segi keluasan jangkauan nāskh terhadap
hukum yang dikandung dalam suatu ayat, maka nāskh terbagi pada dua macam:
Nāskh kulli, yaitu nāskh yang mencakup seluruh hukum yang terkandung dalam
suatu ayat, misalkan; penghapusan iddah wafat selama satu tahun yang diganti 4
bulan 10 hari. Dan nāskh juz‟i, yaitu menghapus hukum umum yang berlaku bagi
semua individu dengan hukum yang hanya berlaku bagi individu, atau menghapus
hukum yang bersifat muthlak dengan yang bersifat muqayyad.41 Contohnya
hukum dera sebanyak 80 kali bagi orang yang menuduh zina (qodzaf) kepada
seorang wanita tanpa adanya saksi pada surat An-Nur ayat 4:
ْض اِّذَا اَ ْخ َر َج يَدَهٗ لَ ْم يَ َكد ٌۗ ٍ ْض َها ف َْوقَ بَع ُ ْابٌ ظُلُمٰ ٌۢتٌ بَع ٌۗ س َح
َ ت فِّ ْي بَ ْح ٍر لُّ ِّجي ٍ يَّغْ ٰشىهُ َم ْو ٌج م ِّْن ف َْوق ِّٖه َم ْو ٌج م ِّْن ف َْوق ِّٖه
ٍ ٰاَ ْو َكظُلُم
ُ َي ٰرى َه ٌۗا َو َم ْن لَّ ْم َي ْج َع ِّل ه
ّٰللا لَ ٗه ن ُْو ًرا فَ َما لَ ٗه م ِّْن نُّ ْو ٍر
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan
mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang
menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian
mereka buat selama-lamanya. Dan mereka Itulah orangorang yang fasik.”
Ayat itu di hapus oleh ketentuan lain, bersumpah empat kali dengan nama
Allah, jika si penuduh suami yang tertuduh, pada ayat 6 dalam surat yang sama:
ْض اِّذَا اَ ْخ َر َج يَدَهٗ لَ ْم يَ َكد ٌۗ ٍ ْض َها ف َْوقَ بَع ُ ْابٌ ظُلُمٰ ٌۢتٌ بَع ٌۗ س َح
َ ت فِّ ْي بَ ْح ٍر لُّ ِّجي ٍ يَّغْ ٰشىهُ َم ْو ٌج م ِّْن ف َْوق ِّٖه َم ْو ٌج م ِّْن ف َْوق ِّٖه
ٍ ٰاَ ْو َكظُلُم
ُ َي ٰرى َه ٌۗا َو َم ْن َّل ْم َي ْج َع ِّل ه
ّٰللا لَ ٗه ن ُْو ًرا فَ َما لَ ٗه م ِّْن نُّ ْو ٍر
“Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), Padahal mereka tidak ada
mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah
empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya Dia adalah Termasuk
orang-orang yang benar”.
Kemudian nāskh itu ada yang disertai dengan pengganti dan ada yang tidak
disertai dengan pengganti. Nāskh dengan pengganti terkadang penggantinya lebih
ringan, sebanding dan terkadang lebih berat.42 Salah satu contoh nāskh tanpa
7
pengganti seperti penghapusan keharusan bersedekah sebelum menghadap
Rasulullah sebagaimana tersebut dalam Q.S Al-Mujadilah: ayat: 12, maknanya:
غفُ ْو ٌر َ ط َه ٌۗ ُر فَا ِّْن لَّ ْم ت َِّجد ُْوا فَاِّنَّ ه
َ ّٰللا ْ َصدَقَةً ٌٰۗذلِّكَ َخي ٌْر لَّكُ ْم َوا
َ ي نَج ْٰوىكُ ْم َّ ٰياَيُّ َها الَّ ِّذيْنَ ٰا َمن ُْوا اِّذَا نَا َجيْتُ ُم
ْ َالرس ُْو َل فَق َِّد ُم ْوا بَيْنَ يَد
َّرحِّ يْ ٌم
“Hai orang yang beriman, apabila kamu menghadap lalu kamu mengadakan
pembicaraan khusus dengan Rasul, hendaklah kamu mengeluarkan sedekah
(kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu”.
Ketentuan ini di-nāskh-kan dengan ketentuan yang terdapat pada Q.S Al-
Mujadilah: ayat: 13, maknanya:
8
9
Terkadang ada nāskh terhadap suatu hukum tetapi tidak ditentukan dengan
hukum lain sebagai penggantinya, selain bahwa ketentuan hukumnya sudah
berubah. Misalnya nāskh terhadap hukum wajib memberikan sedekah sebelum
menghadap Rasulluah dari ayat 12 surat al-Maidah, yang oleh ayat 13 hukum itu
dihapuskan (mansūkh) tetapi tidak disebutkan hukum penggantinya, selain bahwa
kewajiban itu sudah tidak berlaku lagi. Hikmah ini untuk menjaga kemaslahatan
manusia sebab dengan penghapusan kewajiban bersedekah itu lebih baik dan lebih
menyenangkan mereka. Maksudnya seseorang akan bebas bertanya dan menghadap
beliau tanpa harus mempersiapkan dana untuk bersedekah terlebih dahulu.
9
ْث َما كُنْتُ ْم ف ََولُّ ْوا ْ ب َو ْج ِّهكَ فِّى السَّ َم ۤا ِۚ ِّء فَلَن َُو ِّل َينَّكَ ِّقبْ َل ًة تَرْ ضٰ ى َها ۖ ف ََو ِّل َو ْج َهكَ ش
ُ َط َر الْ َمس ِّْج ِّد الْ َح َر ِّام ٌۗ َو َحي َ ُّقَدْ ن َٰرى تَقَل
َع َّما يَعْ َم ُل ْون ُ ب لَيَعْلَ ُم ْونَ اَنَّهُ ْال َحقُّ م ِّْن َّر ِّب ِّه ْم ٌۗ َو َما ه
َ ّٰللا ِّبغَافِّ ٍل َ َط َرهٗ ٌۗ َواِّنَّ الَّ ِّذيْنَ اُ ْوتُوا الْ ِّك ٰت ْ ُوج ُْوهَكُ ْم ش
22
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Penerbit: Lentera Hati Jakarta 2002), h. 418.
10
11
kiblat ini.23
23
Jalaludin bin Muhammad Bin ahmad bin Mahali, Tafsir jalalain (Beirut: 1993), h. 15.
11
wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah
memberi jalan lain kepadanya.”
“Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa
kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang
sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”
Dalam pernyataan M. Quraish Shihab, bahwasanya: “ayat ini ditutup dengan
satu pertanyaan yang redaksinya terbaca seakan-akan ditunjukan kepada nabi
Muhammad saw., tetapi pada hakikatnya ditunjukan kepada orang-orang
Yahudi dan siapa pun yang merasa keberatan dengan kebijakan Allah itu,
“Tidaklah engkau mengetahui bahwa Allah kuasa atas segala sesuatu?”
12
13
Redaksi semacam ini mengandung kecaman yang lebih pedas dari pada yang
redaksinya ditunjukan langsung kepada yang dimaksud. Kecaman serupa
berlanjut pada ayat berikutnya: “tiadalah engkau mengetahui bahwa kerajaan
langit dan bumi adalah milik Allah?” Dia mengatur, mengendalikan, dan
melakukan apa saja sesuai dengan hikmah kebijaksanaan-Nya. dan tiada
bagimu selain Allah satu pelindung dan pembimbing dalam kehidupan
spiritual dan material maupun satu penolong yang dapat memberi pertolongan
menghadapi kesulitan apa pun.
Dan yang kedua, dari “nasakhta al-kitāba idzā anqaltahu min nuskhatihī”
(engkau me-naskh sebuah buku jika engkau memindahkan nāskahnya). Dari
makna inilah dibangun konsep nāsikh–mansūkh.3
2. Imam al-Suyuthī
13
berikut: Pertama, nāskh bermakna al-izālah (menghapus/menghilangkan).
Sebagaimana Allah berfirman Q.S. Al-Hajj ayat 52:
ك مِّ ْن َّر س ُ ْو لٍ َّو ََل ن َ ب ِّ ي ٍ ا ِّ ََّل ا ِّ ذ َ ا ت َ م َ ن ه ى ا َ ل ْ ق َ ى َ ِّ َو م َ ا ا َ ْر س َ ل ْ ن َ ا مِّ ْن ق َ ب ْ ل
ط نُ ث ُ م َّ ي ُ حْ ك ِّ م ُ ه
ُ ّٰللا ٰ ْ ّٰللا ُ م َ ا ي ُ ل ْ ق ِّ ى ا ل ش َّ ي ٰ ْ ا ل ش َّ ي
ط نُ ف ِّ يْ ا ُ مْ ن ِّ ي َّ ت ِّ ٖه ِۚ ف َ ي َ ن ْ س َ خ ُ ه
ا ٰ يٰ ت ِّ ٖه ٌۗ َو ه
ٌ ّٰللا ُ ع َ ل ِّ ي ْ م ٌ ح َ ك ِّ ي ْ م
“lalu Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu dan Allah
menguatkan ayat-ayat- nya”.
14
15
walaupun telah tidak sesuai dengan pasien tertentu, karena mungkin masih ada
pasien lain yang membutuhkannya.
Menurut hemat penulis yang telah disampaikan oleh M. Quraish Shihab bahwa
ayat-ayat yang di-nāskh dalam al-Qur‟an tetap masih berlaku tidak seluruhnya
dihapus, hanya saja ditunda menunggu masa dan waktu untuk berlakunya ayat
yang telah di-nāskh.
Asy-Syafi‟i mengatakan, sebagaimana yang dikutip oleh Nasr Hamid Abu
Zaid, bahwa sekiranya al-Qur‟an di-nāskh dengan sunah saat itu ada al-
Qur‟an yang menguatkannya, dan sekiranya sunah di-nāskh dengan al-
Qur‟an maka bersamaan dengan itu ada hadits yang memperkuatkannya. Ini
terjadi karena ada kesesuaian al-Qur‟an dengan Sunah. Dan pendapat Asy-
Syafi‟i, al-Qur‟an hanya dapat di-nāsikh oleh al-Qur‟an.Oleh karena itu,
hadist mutawatir, apalagi hadist Ahad tidak dapat me-nāsikh-nya. Pendapat
Asy-syafi‟i karena berdasarkan pada zhahir nash-nash al-Qur‟an yaitu: Q.S.
Al-Baqarah: 106, An-Nahl: 101, Ar-Ra‟ad:
15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Ulama yang pro terhadap nāsīkh mānsūkh yaitu imam Syafi’i dan
imamimam yang lain. Para ulama’ memang berbeda pendapat mengenai hal
menāsikh al-Qur’an dengan sesama al-Qur’an. Kebanyakan ulama atau
yang umum dikenal dengan sebutan Jumhur, berpendirian bahwa me-nāsikh
sebagian ayat al-Qur’an dengan sebagian yang lain. Hukumnya boleh,
bahkan diantara mereka ada yang tidak keberatan untuk me-nāsakh al-
2. Ulama yang kontra terhadap nāsīkh mānsūkh yaitu Abu Muslim al-Isfahani
dan al-zarqaniy beliau ini menolak adanya nāskh, mayoritas ulama tanpa
ragu menetapkan ayat-ayat yang termasuk nāsikh dan ayat-ayat yang
termasuk mansūkh. Namun, bagi yang sependapat dengannya mengatakan
bahwa QS. Al-Baqarah: 106. Yang oleh para pendukung nāskh kata ayat
sebagian ayat al-Qur’an yang mengandung ketentuan-ketentuan hukum,
diartikan oleh mereka mukjizat Nabi Muhammad, mereka mengatakan
bahwa seandainya Allah membolehkan adanya nāsikh,
B. Saran-saran
16
17
Dalam hal ini, kajian penulis angkat yakni Kontroversi Nāsikh Mansūkh Analisa
Pendapat Pro dan Kontra Terhadap Nāskh dalam al-Qur’an penting dan perlu dalam
rangka mengkaji, mendalami makna dan kandungan al-Qur’an sekaligus
memperluas wawasan. Karena Konsep nāsikh mansūkh merupakan objek kajian
yang sangat penting dan krusial juga kajian yang bersifat sensitif. Oleh karena itu,
perlu adanya penelitian dan kehati-hatian agar jangan terjadi kesemena-menaan
dalam menetapkan apakah nāskh telah di-nāsikh atau tidak, jangan hanya
persoalannya karena ditemukan adanya pertentangan dengan nash lainnya. Karena
konsep nāskh mengalami perkembangan dan waktu ke waktu, maka masih banyak
untuk diperbincangkan kembali.
C. Penutup
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Bin Muhammad Bin Abdurahman Bin Ishaq. Tafsir Ibnu Katsir, Juz 1.
Jakarta: Imam Asy Syafi‟I, 2003.
Al-Abyadi, Ibrahim.Sejarah al-Qur’an, Terj. Halimuddin S.H,. Jakarta: Renika
Cipta, 1992. Al-Maraghiy, Ahmad Mushtafa. Tafsir al-Maraghiy. Juz I. Beirut: Dar
al-Turats al-Arabiy, t.t.
Al-Qattan, Manna‟ Khalil. Studi Ilmu-Ilmu AL-qur’an. Bogor: Pustaka Litera
Antar Nusa, 2009.
Al-Suyūṭī, Jalāluddin. Al-itqān Fi al-Ulūm al-Qur’an, Juz II.Beirut : Dār al-Fikr, t.t.
17