Anda di halaman 1dari 57

PENINGKATAN KOMPETENSI GURU

DALAM MENETAPKAN KRITERIA KETUNTASAN MINIMAL


MELALUI KEGIATAN PELATIHAN PADA MADRASAH
TSANAWIYAH BINAAN JAKARTA TIMUR

LAPORAN HASIL

PENELITIAN TINDAKAN SEKOLAH

(PTS)

Oleh:
Marwi,S.Pd.I
Pengawas Madrasah Kota
Jakarta Timur

KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA

KELOMPOK KERJA PENGAWAS (POKJAWAS)

KOTA JAKARTA TIMUR

2022
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan penelitian tindakan sekolah dengan judul:


Peningkatan Kompetensi Guru
Dalam Menetapkan Kriteria Ketuntasan Minimal Melalui Pelatihan
pada Madrasah Binaan Jakarta Timur
telah diperiksa dan disahkan pada tanggal 15 November 2022
untuk diajukan kepada Tim Penilai Penetapan Angka Kredit Jabatan
Pengawas Pendidikan Agama

Penulis/Peneliti

Marwi,S.Pd.I.
NIP. 196809271996031001

Mengetahui/Mengesahkan:

Kepala Kantor Kementerian Agama Ketua Kelompok Kerja (Pokjawas)


Kota Jakarta Timur Jakarta Timur

H. Zulkarnain, S,Ag , M.Hum H. A.Taufik,S,Ag, MM


NIP. 19761024200001003 NIP. 1965121999031002
KATA PENGANTAR

Pertama-tama penulis mempersembahkan puji syukur kepada Allah swt, karena atas

anugerah-Nya yang selalu menyertai penulis dalam usaha merencanakan, melaksanakan

dan menyusun laporan penelitian ini.

Penulisan laporan penelitian tindakan sekolah ini dimaksudkan untuk mengetahui

peningkatan kompetensi guru dalam menetapkan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM)

melalui teknik pelatihan. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa hormat

dan terima kasih kepada:

1. Ibu Nurhadiko S.Ag , M.Pd selaku kepala Madrasah Tsanawiyah AL-Falah Jakarta

Timur yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melaksanakan penelitian

ini.

2. Bapak/Ibu guru yang telah menunjukkan sikap kerjasama yang baik dengan penulis

dalam proses penelitian ini dari mulai tahap perencanaan sampai dengan tahap

pelaporan.

3. Bapak H.Zulkarnaian S.Ag, M.Hum sebagai Kepala Kantor Departemen Agama Kota

Jakarta Timur dan Bapak H.A.Taufiq S.Ag,MM selaku Ketua Kelompok Kerja

Pengawas Wilayah Jakarta Timur yang telah meneliti dan mengesahkan laporan

hasil penelitian ini.

Akhir kata penulis berharap Allah Swt membalas segala bentuk perhatian dan bantuan

yang diberikan kepada penulis. Semoga bermanfaat bagi pengemban ilmu.

Jakarta November 2022


Penulis

Marwi,S.Pd.I
i
DAFTAR ISI

Halaman Judul
Halaman Pengesahan
Kata Pengantar
Daftar Isi

Bab I : Pendahuluan

A. Latar Belakang Masalah .……………………………………………………... 1


B. Perumusan Masalah ……………………………………………………… 3
C. Tujuan Penelitian .…………………………………………………….. 4
D. Manfaat Penelitian ……………………………………………………… 4

Bab II : Landasan Teori Dan Hipotesis

A. Kompetensi Guru………………………………………………………………… 5
B. Dimensi-Dimensi Kompetensi Guru ………………………………… 9
C. Kriteria ketuntasan Minimal …………………………………………… 20
D. Pelatihan Guru ………………………………………………………………… 27
E. Hipotesis Penelitian ……………………………………………………… 30

Bab III : Metodologi Penelitian

A. Jenis Penelitian ………………………………………………………………… 31


B. Disain Penelitian ………………………………………………………………… 31
C. Subjek, Tempat dan Waktu Penelitian ………………………………… 32
D. Tindakan Penelitian ……………………………………………………… 32
E. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data ……………………… 34
F. Teknik Analisis Data Dan Kriteria keberhasilan …………… 34

Bab IV : Hasil Penelitian

A. Deskripsi Awal …………………………………………………………………… 36


B. Deskripsi Siklus I ………………………………………….……………………… 36
C. Deskripsi Siklus II …………………………………………………………… 38
D. Deskripsi Antar Siklus ………………………………………………………… 38
E. Pembahasan ………………………………………………………………………. 38

ii
Bab V : Simpulan Dan Saran

A. Simpulan …………………………………………………………………………… 39
B. Saran …………………………………………………………………………… 40

Daftar Pustaka
Lampiran

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, pemerintah telah menetapkan

Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-undang tersebut memuat dua

puluh dua bab, tujuh puluh pasal, dan penjelasannya. Undang-undang Sistem

Pendidikan Nasional menjelaskan bahwa setiap pembaruan system pendidikan

nasional untuk memperbarui visi, misi, dan strategi pembangunan pendidikan

nasional. Visi pendidikan nasioanl di antaranya adalah (1) mengupayakan perluasan

dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh

rakyat Indonesia, (2) membantu dan memfasilitasi pengembangan potensi anak

bangsa secara utuh sejak usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan

masyarakat belajar, (3) meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses

pendidikan untuk mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral, (4)

meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat

pembudayaan ilmu pengetahuan, ketrampilan, pengalaman, sikap, dan nilai

berdasarkan standar nasional dan global, (5) memperdayakan peran serta

masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan berdasarkan prinsip otonomi

dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia.

1
Jika mencermati visi pendidikan tersebut, semuanya mengarah pada mutu

pendidikan yang akhirnya dapat meningkatkan hasil belajar peserta didik. Mutu

pendidikan ternyata dipengaruhi oleh banyak komponen. Menurut Syamsudin

(2006:66), ada tiga komponen utama yang saling berkaitan dan memiliki

kedudukan strategis dalam kegiatan belajar-mengajar. Ketiga komponen tersebut

adalah kurikulum, guru, dan pembelajar (siswa). Ketiga komponen itu, gurulah yang

menduduki posisi sentral sebab peranannya harus mampu menerjemahkan nilai-

nilai yang terdapat dalam kurikulum secara optimal. Walaupun system

pembelajaran sekarang sudah tidak teacher center lagi, seorang guru harus tetap

memegang peranan yang penting dalam membimbing siswa. Bahkan, menurut

Undang-undang Guru pasal 1 ayat 1 (2006:3) guru adalah pendidik professional

dengan tugas utama, yaitu mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan,

melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini

jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Berdasarkan

hal itu, seorang guru harus mempunyai pengetahuan yang memadai baik di bidang

akademik mapun pedagogik.

Seorang guru harus selalu meningkatkan kemampuan profesionalnya, pengetahuan,

sikap, dan ketrampilannya secara terus menerus sesuai perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi, termasuk paradigm baru pendidikan yang menerapkan

Manajemen Berbasis Sekolah/Madrasah (MBS/M) dan Kurikulum Tingkat Satuan

Pendidikan (KTSP). Menurut Ditjen Pendidikan Dasar dan Menegah, Departemen

pendidikan Nasional (2004:2), seorang guru harus memenuhi tiga standar

2
kompetensi, diantaranya: (1) kompetensi pengelolaan pembelajaran dan wawasan

kependidikan, (2) kompetensi akademik/vokasional sesuai materi pembelajaran,

(3) pengembangan profesi. Ketiga komptensi tersebut bertujuan agar guru bermutu

menjadikan pembelajaran bermutu juga, yang akhirnya meningkatkan mutu

pendidikan Indonesia.

Untuk mencapai tiga kompetensi tersebut, sekolah harus melaksanakan pembinaan

terhadap guru baik melalui pelatihan, workshop, PKG, diskusi, dan supervisi baik

yang dilakukan oleh kepala sekolah atau pengawas. Hal itu harus dilakukan secara

periodik agar kompetensi dan wawasan guru, khususnya guru MTs di wilayah

Jakarta Timur meningkat setiap saat sesuai dengan perkembangan ilmu dan

teknologi. Pada umumnya terdapat beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya

kompetensi dan wawasan guru saat ini, yaitu: (1) rendahnya kesadaran guru untuk

belajar, (2) kurangnya kesempatan guru mengikuti pelatihan, baik secara regional

mapun nasional, (3) kurang efektifnya MGMP/KKM.

Untuk meningkatkan kompetensi dan wawasan guru dalam pembelajaran, perlu

dilakukan penelitian tindakan sekolah dengan permasalahan di atas. Karena

berbagai keterbatasan, penelitian ini hanya difokuskan pada kegiatan supervisi

akademik khususnya teknik supervisi kelompok terhadap kompetensi guru dalam

menyusun Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM), sehingga penelitian tindakan

sekolah diberi judul: Peningkatan Kompetensi Guru Dalam Menetapkan Kriteria

Ketuntasan Minimal (KKM) Melalui Kegiatan Pelatihan Pada Madrasah Binaan

Jakarta Timur

3
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan penelitian tindakan

sekolah ini, yaitu: “Apakah melalui kegiatan pelatihan, guru dapat meningkatkan

kompetensinya dalam menetapkan kriteria ketuntasan minimal sesuai mata

pelajarannya masing-masing?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui apakah melalui kegiatan pelatihan, guru

dapat meningkatkan kompetensinya dalam menetapkan kriteria ketuntasan

minimal sesuai mata pelajarannya masing-masing. Hal tersebut dapat diketahui dari

data dan informasi tentang kompetensi guru dalam mengembangkan silabus

pembelajaran yang diperoleh pada setiap siklus penelitian. Masing-masing siklus

penelitian melaporkan aspek: perencanaan (planning), tindakan (acting), observasi

(observing), dan refleksi (reflecting). Hasil penelitian siklus pertama menjadi acuan

dalam melaksanakan tindakan siklus kedua, sedangkan hasil penelitian siklus kedua

menjadi acuan pula bagi pelaksanaan tindakan siklus ketiga.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian mengenai upaya peningkatan kompetensi guru dalam menetapkan

kriteria ketuntasan minimal melalui kegiatan pelatihan secara umum diharapkan

dapat memberikan manfaat sebagai bahan masukan kepada para guru, kepala

madrasah, pengawas pendidikan agama, instansi berwenang seperti Kantor

4
Departemen Agama Kota, Kantor Wilayah Departemen Agama DKI Jakarta dan

lembaga terkait lainnya, dalam melaksanakan langkah-langkah penyusunan kriteria

ketuntasan minimal, yang pada akhirnya dapat meningkatkan kinerja dan mutu

tugas pokok dan fungsi masing-masing. Di samping itu hasil penelitian ini

diharapkan juga dapat digunakan sebagai bahan kajian untuk penelitian lebih lanjut

dalam bidang pendidikan khususnya dalam kegiatan penyusunan kriteria

ketuntasan minimal dan pelaksanaan pelatihan.

5
BAB II

LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS

A. Kompetensi Guru

Kompetensi berasal dari bahasa Inggris competency yang berarti kecakapan,

kemampuan dan wewenang. Seseorang dinyatakan kompeten di bidang tertentu

jika menguasai kecakapan bekerja pada satu bidang tertentu. Menurut Nana

Syaodih (1997) kompetensi adalah performan yang mengarah kepada pencapaian

tujuan secara tuntas menuju kondisi yang diinginkan.

Kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial merupakan kecakapan yang harus

dimiliki oleh seorang guru dalam menjalankan profesinya di masyarakat baik

sebagai pribadi maupun sebagai anggota masyarakat, kompetensi professional

menyiratkan adanya suatu keharusan memiliki kompetensi agar profesi itu

berfungsi dengan sebaik-baiknya. Dengan demikian guru dituntut untuk memahami

lebih jauh mengenai kompetensi profesional di bidang pendidikan.

Kompetensi guru harus mempunyai karakteristik tertentu. Lardirabal (1977: 6-7)

mengungkapkan bahwa kompetensi keguruan meliputi kompetensi kepribadian,

sosial, dan professional. Guru dalam proses belajar mengajar harus memiliki

kompetensi tersendiri guna mencapai harapan yang dicita-citakan dalam

melaksanakan pendidikan pada umumnya dan proses belajar mengajar pada

khususnya. Untuk memiliki kompetensi tersebut guru perlu membina diri secara

6
baik karena fungsi guru itu sendiri adalah membina dan mengembangkan

kemampuan peserta didik secara professional di dalam proses belajar mengajar.

Majid (2005:6) menjelaskan kompetensi yang dimiliki oleh setiap guru akan

menunjukkan kualitas guru dalam mengajar. Kompetensi tersebut akan terwujud

dalam bentuk penguasaan pengetahuan dan profesional dalam menjalankan

fungsinya sebagai guru. Diyakini Robotham (1996:27), kompetensi yang diperlukan

oleh seseorang tersebut dapat diperoleh baik melalui pendidikan formal maupun

pengalaman.

Syah (2000:229) mengemukakan pengertian dasar kompetensi adalah kemampuan

atau kecakapan. Usman (1994:1) mengemukakan kompentensi berarti suatu hal

yang menggambarkan kualifikasi atau kemampuan seseorang, baik yang kualitatif

maupun yang kuantitatif. McAhsan (1981:45), sebagaimana dikutip oleh Mulyasa

(2003:38) mengemukakan bahwa kompetensi: “…is a knowledge, skills, and abilities

or capabilities that a person achieves, which become part of his or her being to the

extent he or she can satisfactorily perform particular cognitive, affective, and

psychomotor behaviors”. Dalam hal ini, kompetensi diartikan sebagai pengetahuan,

keterampilan, dan kemampuan yang dikuasai oleh seseorang yang telah menjadi

bagian dari dirinya, sehingga ia dapat melakukan perilaku-perilaku kognitif, afektif,

dan psikomotorik dengan sebaik-baiknya.

Sejalan dengan itu Finch & Crunkilton (1979:222), sebagaimana dikutip oleh

Mulyasa (2003:38) mengartikan kompetensi sebagai penguasaan terhadap suatu

tugas, keterampilan, sikap, dan apresiasi yang diperlukan untuk menunjang

7
keberhasilan. Sofo (1999:123) mengemukakan “A competency is composed of skill,

knowledge, and attitude, but in particular the consistent applications of those skill,

knowledge, and attitude to the standard of performance required in employment”.

Dengan kata lain kompetensi tidak hanya mengandung pengetahuan, keterampilan

dan sikap, namun yang penting adalah penerapan dari pengetahuan, keterampilan,

dan sikap yang diperlukan tersebut dalam pekerjaan.

Robbins (2001:37) menyebut kompetensi sebagai ability, yaitu kapasitas seseorang

individu untuk mengerjakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan. Selanjutnya

dikatakan bahwa kemampuan individu dibentuk oleh dua faktor, yaitu faktor

kemampuan intelektual dan kemampuan fisik. Kemampuan intelektual adalah

kemampuan yang diperlukan untuk melakukan kegiatan mental sedangkan

kemampuan fisik adalah kemampuan yang di perlukan untuk melakukan tugas-

tugas yang menuntut stamina, kecekatan, kekuatan, dan keterampilan.Spencer &

Spencer (1993:9) mengatakan “Competency is underlying characteristic of an

individual that is causally related to criterion-reference effective and/or superior

performance in a job or situation”.

Jadi kompetensi adalah karakteristik dasar seseorang yang berkaitan dengan

kinerja berkriteria efektif dan atau unggul dalam suatu pekerjaan dan situasi

tertentu.

Selanjutnya Spencer & Spencer menjelaskan, kompetensi dikatakan underlying

characteristic karena karakteristik merupakan bagian yang mendalam dan melekat

pada kepribadian seseorang dan dapat memprediksi berbagai situasi dan jenis

8
pekerjaan. Dikatakan causally related, karena kompetensi menyebabkan atau

memprediksi perilaku dan kinerja. Dikatakan criterion-referenced, karena

kompetensi itu benar-benar memprediksi siapa-siapa saja yang kinerjanya baik atau

buruk, berdasarkan kriteria atau standar tertentu.

Muhaimin (2004:151) menjelaskan kompetensi adalah seperangkat tindakan

intelegen penuh tanggung jawab yang harus dimiliki seseorang sebagai syarat untuk

dianggap mampu melaksankan tugas-tugas dalam bidang pekerjaan tertentu. Sifat

intelegen merupakan sebagai kemahiran, ketetapan, dan keberhasilan bertindak.

Sifat tanggung jawab harus ditunjukkan sebagai kebenaran tindakan baik dipandang

dari sudut ilmu pengetahuan, teknologi maupun etika. Depdiknas (2004:7)

merumuskan definisi kompetensi sebagai pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai

dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak.Menurut Syah

(2000:230), “kompetensi” adalah kemampuan, kecakapan, keadaan berwenang,

atau memenuhi syarat menurut ketentuan hukum. Selanjutnya masih menurut Syah,

dikemukakan bahwa kompetensi guru adalah kemampuan seorang guru dalam

melaksanakan kewajiban-kewajibannya secara bertanggung jawab dan layak.

Jadi kompetensi profesional guru dapat diartikan sebagai kemampuan dan

kewenangan guru dalam menjalankan profesi keguruannya. Guru yang kompeten

dan profesional adalah guru piawai dalam melaksanakan profesinya. Berdasarkan

uraian di atas kompetensi guru dapat didefinisikan sebagai penguasaan terhadap

pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan

berpikir dan bertindak dalam menjalankan profesi sebagai guru.

9
B. Dimensi-dimensi Kompetensi Guru

Menurut Undang-undang No.14 tahun 2005 tentang Guru Dan Dosen pasal 10 ayat

(1) kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian,

kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan

profesi.

1. Kompetensi Pedagogik

Dalam Undang-undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen 

dikemukakan kompetensi pedagogik adalah “kemampuan mengelola

pembelajaran peserta didik”.  Depdiknas (2004:9) menyebut kompetensi ini

dengan “kompetensi pengelolaan pembelajaran. Kompetensi ini  dapat dilihat

dari kemampuan merencanakan program belajar mengajar, kemampuan

melaksanakan interaksi atau mengelola proses belajar mengajar, dan

kemampuan melakukan penilaian.

a. Kompetensi Menyusun Rencana Pembelajaran

Menurut Joni (1984:12), kemampuan merencanakan program belajar

mengajar mencakup kemampuan: (1) merencanakan pengorganisasian bahan-

bahan pengajaran, (2) merencanakan pengelolaan kegiatan belajar mengajar,

(3) merencanakan pengelolaan kelas, (4) merencanakan penggunaan media

dan sumber pengajaran; dan (5) merencanakan penilaian prestasi siswa untuk

kepentingan pengajaran. Depdiknas (2004:9) mengemukakan kompetensi


10
penyusunan rencana pembelajaran meliputi (1) mampu mendeskripsikan

tujuan, (2) mampu memilih materi, (3) mampu mengorganisir materi, (4)

mampu menentukan metode/strategi pembelajaran, (5) mampu menentukan

sumber belajar/media/alat peraga pembelajaran, (6)  mampu menyusun

perangkat penilaian, (7) mampu menentukan teknik penilaian, dan (8) mampu

mengalokasikan waktu.

Berdasarkan uraian di atas, merencanakan program belajar mengajar

merupakan proyeksi guru mengenai kegiatan yang harus dilakukan siswa

selama pembelajaran berlangsung, yang mencakup: merumuskan tujuan,

menguraikan deskripsi satuan bahasan, merancang kegiatan belajar mengajar,

memilih berbagai media dan sumber belajar, dan merencanakan penilaian

penguasaan tujuan.

b. Kompetensi Melaksanakan Proses Belajar Mengajar

Melaksanakan proses belajar mengajar merupakan tahap pelaksanaan

program yang telah disusun. Dalam kegiatan ini kemampuan yang di tuntut

adalah keaktifan guru menciptakan dan menumbuhkan kegiatan siswa belajar

sesuai dengan rencana yang telah disusun. Guru harus dapat mengambil

keputusan atas dasar penilaian yang tepat, apakah kegiatan belajar mengajar

dicukupkan, apakah metodenya diubah, apakah kegiatan yang lalu perlu

diulang, manakala siswa belum dapat mencapai tujuan-tujuan pembelajaran.

11
Pada tahap ini disamping pengetahuan teori belajar mengajar, pengetahuan

tentang siswa, diperlukan pula kemahiran dan keterampilan  teknik belajar,

misalnya: prinsip-prinsip mengajar, penggunaan alat bantu pengajaran,

penggunaan metode mengajar, dan keterampilan menilai hasil belajar siswa.

Yutmini (1992:13)  mengemukakan, persyaratan kemampuan yang harus di

miliki guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar meliputi

kemampuan: (1) menggunakan metode belajar, media pelajaran, dan bahan

latihan yang sesuai dengan tujuan pelajaran, (2) mendemonstrasikan

penguasaan mata pelajaran dan perlengkapan pengajaran, (3) berkomunikasi

dengan siswa, (4) mendemonstrasikan berbagai metode mengajar, dan (5)

melaksanakan evaluasi proses belajar mengajar.

Hal serupa dikemukakan oleh Harahap (1982:32) yang menyatakan,

kemampuan yang harus dimiliki guru dalam melaksanakan program mengajar

adalah mencakup kemampuan: (1) memotivasi siswa belajar sejak saat

membuka sampai menutup pelajaran, (2) mengarahkan tujuan pengajaran, (3)

menyajikan bahan pelajaran dengan metode yang relevan dengan tujuan

pengajaran, (4) melakukan pemantapan belajar, (5) menggunakan alat-alat

bantu pengajaran dengan baik dan benar, (6) melaksanakan layanan

bimbingan penyuluhan, (7) memperbaiki program belajar mengajar, dan (8)

melaksanakan hasil penilaian belajar.Dalam pelaksanaan proses belajar

mengajar menyangkut pengelolaan pembelajaran, dalam menyampaikan

materi pelajaran harus dilakukan secara terencana dan sistematis, sehingga


12
tujuan pengajaran dapat dikuasai oleh siswa secara efektif dan efisien.

Kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki guru dalam melaksanakan

kegiatan belajar mengajar terlihat dalam mengidentifikasi karakteristik dan

kemampuan awal siswa, kemudian mendiagnosis, menilai dan merespon

setiap perubahan perilaku siswa.

Depdiknas (2004:9) mengemukakan kompetensi melaksanakan proses belajar

mengajar meliputi (1) membuka pelajaran, (2) menyajikan materi, (3)

menggunakan media dan metode, (4) menggunakan alat peraga, (5)

menggunakan bahasa yang komunikatif, (6) memotivasi siswa, (7)

mengorganisasi kegiatan, (8) berinteraksi dengan siswa secara komunikatif,

(9) menyimpulkan pelajaran, (10) memberikan umpan balik, (11)

melaksanakan penilaian, dan (12) menggunakan waktu.Dengan demikian,

dapat dikatakan bahwa melaksanakan proses belajar mengajar merupakan

sesuatu kegiatan dimana berlangsung hubungan antara manusia, dengan

tujuan membantu perkembangan dan menolong keterlibatan siswa dalam

pembelajaran. Pada dasarnya melaksanakan proses belajar mengajar adalah

menciptakan lingkungan dan suasana yang dapat menimbulkan perubahan

struktur kognitif para siswa.

c. Kompetensi Melaksanakan Penilaian Proses Belajar Mengajar

Menurut Sutisna (1993:212), penilaian proses belajar mengajar dilaksanakan

untuk mengetahui keberhasilan perencanaan kegiatan belajar mengajar yang


13
telah disusun dan dilaksanakan. Penilaian diartikan sebagai proses yang

menentukan betapa baik organisasi program atau kegiatan yang dilaksanakan

untuk mencapai maksud-maksud yang telah ditetapkan.

Commite dalam Wirawan (2002:22) menjelaskan, evaluasi merupakan bagian

yang tidak terpisahkan dari setiap upaya manusia, evaluasi yang baik akan

menyebarkan pemahaman dan perbaikan pendidikan, sedangkan evaluasi

yang salah akan merugikan pendidikan.Tujuan utama melaksanakan evaluasi

dalam proses belajar mengajar adalah untuk mendapatkan informasi yang

akurat mengenai tingkat pencapaian tujuan instruksional oleh siswa, sehingga

tindak lanjut hasil belajar akan dapat diupayakan dan dilaksanakan. Dengan

demikian, melaksanakan penilaian proses belajar mengajar merupakan bagian

tugas guru yang harus dilaksanakan setelah kegiatan pembelajaran

berlangsung dengan tujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan siswa

mencapai tujuan pembelajaran, sehingga dapat diupayakan tindak lanjut hasil

belajar siswa.

Depdiknas (2004:9) mengemukakan  kompetensi penilaian belajar peserta

didik, meliputi (1) mampu memilih soal berdasarkan tingkat kesukaran,

(2) mampu memilih soal berdasarkan tingkat pembeda, (3) mampu

memperbaiki soal yang tidak valid, (4) mampu memeriksa jawab, (5) mampu

mengklasifikasi hasil-hasil penilaian, (6) mampu mengolah dan menganalisis

hasil penilaian, (7) mampu membuat interpretasi kecenderungan hasil

14
penilaian, (8)  mampu menentukan korelasi soal berdasarkan hasil penilaian,

(9) mampu mengidentifikasi tingkat variasi hasil penilaian,  (10) mampu

menyimpulkan  dari hasil penilaian secara jelas dan logis, (11) mampu

menyusun program tindak lanjut hasil penilaian, (12) mengklasifikasi

kemampuan siswa, (13) mampu mengidentifikasi kebutuhan tindak lanjut

hasil penilaian, (14) mampu melaksanakan tindak lanjut, (15) mampu

mengevaluasi hasil tindak lanjut,  dan (16) mampu menganalisis hasil evaluasi

program tindak lanjut hasil penilaian.

Berdasarkan uraian di atas kompetensi pedagogik tercermin dari indikator (1)

kemampuan merencanakan program belajar mengajar, (2) kemampuan

melaksanakan interaksi atau mengelola proses belajar mengajar, dan (3)

kemampuan melakukan penilaian.

2. Kompetensi Kepribadian

Guru sebagai tenaga pendidik yang tugas utamanya mengajar, memiliki

karakteristik kepribadian yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan

pengembangan sumber daya manusia.  Kepribadian yang mantap dari sosok

seorang guru akan memberikan teladan yang baik terhadap anak didik maupun

masyarakatnya, sehingga guru akan tampil sebagai sosok yang patut “digugu”

(ditaati nasehat/ucapan/perintahnya) dan “ditiru” (di contoh sikap dan

perilakunya).Kepribadian guru merupakan faktor terpenting bagi keberhasilan

belajar anak didik. Dalam kaitan ini, Zakiah Darajat dalam Syah (2000:225-226) 
15
menegaskan bahwa kepribadian itulah yang akan menentukan apakah ia menjadi

pendidik dan pembina yang baik bagi anak didiknya, ataukah akan menjadi

perusak atau penghancur bagi masa depan anak didiknya terutama bagi anak

didik yang masih kecil (tingkat dasar) dan mereka yang sedang mengalami

kegoncangan jiwa (tingkat menengah).

Karakteristik kepribadian yang berkaitan dengan keberhasilan guru dalam

menggeluti profesinya adalah meliputi fleksibilitas kognitif dan keterbukaan

psikologis. Fleksibilitas kognitif atau keluwesan ranah cipta merupakan

kemampuan berpikir yang diikuti dengan tindakan secara simultan dan memadai

dalam situasi tertentu. Guru yang fleksibel pada umumnya ditandai dengan

adanya keterbukaan berpikir dan beradaptasi. Selain itu, ia memiliki resistensi

atau daya tahan terhadap ketertutupan ranah cipta yang prematur dalam

pengamatan dan pengenalan.Dalam Undang-undang Guru dan Dosen

dikemukakan kompetensi kepribadian adalah “kemampuan kepribadian yang

mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta

didik”.

Surya (2003:138) menyebut kompetensi kepribadian ini sebagai kompetensi

personal, yaitu kemampuan pribadi seorang guru yang diperlukan agar dapat

menjadi guru yang baik. Kompetensi personal ini mencakup kemampuan pribadi

yang berkenaan dengan pemahaman diri, penerimaan diri, pengarahan diri, dan

perwujudan diri. Gumelar dan Dahyat (2002:127) merujuk pada pendapat Asian

16
Institut for Teacher Education, mengemukakan kompetensi pribadi meliputi (1)

pengetahuan tentang adat istiadat baik sosial maupun agama, (2) pengetahuan

tentang budaya dan tradisi, (3) pengetahuan tentang inti demokrasi, (4)

pengetahuan tentang estetika, (5) memiliki apresiasi dan kesadaran sosial, (6)

memiliki sikap yang benar terhadap pengetahuan dan pekerjaan, (7) setia

terhadap harkat dan martabat manusia. Sedangkan kompetensi guru secara lebih

khusus lagi adalah bersikap empati, terbuka, berwibawa, bertanggung jawab dan

mampu menilai diri pribadi.

Johnson sebagaimana dikutip Anwar (2004:63) mengemukakan kemampuan

personal guru, mencakup (1) penampilan sikap yang positif terhadap

keseluruhan tugasnya sebagai guru, dan terhadap keseluruhan situasi pendidikan

beserta unsur-unsurnya, (2) pemahaman, penghayatan dan penampilan nilai-

nilai yang seyogyanya dianut oleh seorang guru, (3) kepribadian, nilai, sikap

hidup ditampilkan dalam upaya untuk menjadikan dirinya sebagai panutan dan

teladan bagi para siswanya. Arikunto (1993:239) mengemukakan kompetensi

personal mengharuskan guru memiliki kepribadian yang mantap sehingga

menjadi sumber inspirasi bagi subyek didik, dan patut diteladani oleh

siswa.Berdasarkan uraian di atas, kompetensi kepribadian guru tercermin dari

indikator (1) sikap, dan (2) keteladanan.

3. Kompetensi Profesional

17
Menurut Undang-undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen,

kompetensi profesional adalah “kemampuan penguasaan materi pelajaran secara

luas dan mendalam”. Surya (2003:138) mengemukakan kompetensi profesional

adalah berbagai kemampuan yang diperlukan agar dapat mewujudkan dirinya

sebagai guru profesional. Kompetensi profesional meliputi kepakaran atau

keahlian dalam bidangnya yaitu penguasaan bahan yang harus diajarkannya

beserta metodenya, rasa tanggung jawab akan tugasnya dan rasa kebersamaan

dengan sejawat guru lainnya.

Gumelar dan Dahyat (2002:127) merujuk pada pendapat Asian Institut for

Teacher Education, mengemukakan kompetensi profesional guru mencakup

kemampuan dalam hal (1) mengerti dan dapat menerapkan landasan pendidikan

baik filosofis, psikologis, dan sebagainya, (2) mengerti dan menerapkan teori

belajar sesuai dengan tingkat perkembangan perilaku peserta didik, (3) mampu

menangani mata pelajaran atau bidang studi yang ditugaskan kepadanya, (4)

mengerti dan dapat menerapkan metode mengajar yang sesuai, (5) mampu

menggunakan berbagai alat pelajaran dan media serta fasilitas belajar lain, (6)

mampu mengorganisasikan dan melaksanakan program pengajaran, (7) mampu

melaksanakan evaluasi belajar dan (8) mampu menumbuhkan motivasi peserta

didik.

Johnson sebagaimana dikutip Anwar (2004:63) mengemukakan kemampuan

profesional mencakup (1) penguasaan pelajaran yang terkini  atas penguasaan

18
bahan yang harus diajarkan, dan konsep-konsep dasar keilmuan bahan yang

diajarkan tersebut, (2) penguasaan dan penghayatan atas landasan dan wawasan

kependidikan dan keguruan, (3) penguasaan proses-proses kependidikan,

keguruan dan pembelajaran siswa. Arikunto (1993:239) mengemukakan

kompetensi profesional mengharuskan guru memiliki pengetahuan yang luas dan

dalam tentang subject matter (bidang studi)  yang akan diajarkan serta

penguasaan metodologi yaitu menguasai konsep teoretik, maupun memilih

metode yang tepat dan mampu menggunakannya dalam proses belajar mengajar.

Depdiknas (2004:9) mengemukakan kompetensi profesional meliputi (1)

pengembangan profesi, pemahaman wawasan, dan penguasaan bahan kajian

akademik.Pengembangan profesi meliputi (1) mengikuti informasi

perkembangan iptek yang mendukung profesi melalui berbagai kegiatan ilmiah,

(2) mengalihbahasakan buku pelajaran/karya ilmiah, (3) mengembangkan

berbagai model pembelajaran, (4) menulis makalah, (5) menulis/menyusun

diktat pelajaran, (6) menulis buku pelajaran, (7) menulis modul, (8) menulis

karya ilmiah, (9) melakukan penelitian ilmiah (action research), (10) menemukan

teknologi tepat guna, (11) membuat alat peraga/media, (12) menciptakan karya

seni, (13) mengikuti pelatihan terakreditasi, (14) mengikuti pendidikan

kualifikasi, dan (15) mengikuti kegiatan pengembangan kurikulum.Pemahaman

wawasan meliputi (1) memahami visi dan misi, (2) memahami hubungan

pendidikan dengan pengajaran, (3) memahami konsep pendidikan dasar dan

menengah, (4) memahami fungsi sekolah, (5) mengidentifikasi permasalahan


19
umum pendidikan dalam hal proses dan hasil belajar, (6) membangun sistem

yang menunjukkan keterkaitan pendidikan dan luar sekolah.

Penguasaan bahan kajian akademik meliputi (1) memahami struktur

pengetahuan, (2) menguasai substansi materi, (3) menguasai substansi

kekuasaan sesuai dengan jenis pelayanan yang dibutuhkan siswa.Berdasarkan

uraian di atas, kompetensi profesional guru tercermin dari indikator (1)

kemampuan penguasaan materi pelajaran, (2) kemampuan penelitian dan

penyusunan karya ilmiah, (3) kemampuan pengembangan profesi, dan (4)

pemahaman terhadap wawasan dan landasan pendidikan

4. Kompetensi Sosial

Guru yang efektif adalah guru yang mampu membawa siswanya dengan berhasil

mencapai tujuan pengajaran. Mengajar di depan kelas merupakan perwujudan

interaksi dalam proses komunikasi. Menurut Undang-undang Guru dan Dosen

kompetensi sosial adalah “kemampuan guru untuk berkomunikasi dan

berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru,

orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar”.

Surya (2003:138) mengemukakan kompetensi sosial adalah kemampuan yang

diperlukan oleh seseorang agar berhasil dalam berhubungan dengan orang lain.

Dalam kompetensi sosial ini termasuk keterampilan dalam interaksi sosial dan

melaksanakan tanggung jawab sosial.Gumelar dan Dahyat (2002:127) merujuk

20
pada pendapat Asian Institut for Teacher Education, menjelaskan kompetensi

sosial guru adalah salah satu daya atau kemampuan guru untuk mempersiapkan

peserta didik menjadi anggota masyarakat yang baik serta kemampuan untuk

mendidik, membimbing masyarakat dalam menghadapi kehidupan di masa yang

akan datang. Untuk dapat melaksanakan peran sosial kemasyarakatan, guru

harus memiliki kompetensi (1) aspek normatif kependidikan, yaitu untuk

menjadi guru yang baik tidak cukup digantungkan kepada bakat, kecerdasan, dan

kecakapan saja, tetapi juga harus beritikad baik sehingga hal ini bertautan

dengan norma yang dijadikan landasan dalam melaksanakan tugasnya, (2)

pertimbangan sebelum memilih jabatan guru, dan (3) mempunyai program yang

menjurus untuk meningkatkan kemajuan masyarakat dan kemajuan pendidikan.

Johnson sebagaimana dikutip Anwar (2004:63) mengemukakan kemampuan

sosial mencakup kemampuan untuk menyesuaikan diri kepada tuntutan kerja

dan lingkungan sekitar pada waktu membawakan tugasnya sebagai guru.

Arikunto (1993:239) mengemukakan kompetensi sosial mengharuskan guru

memiliki kemampuan komunikasi sosial baik dengan peserta didik, sesama guru,

kepala sekolah, pegawai tata usaha, bahkan dengan anggota masyarakat.

Berdasarkan uraian di atas, kompetensi sosial guru tercermin melalui indikator

(1) interaksi guru dengan siswa, (2) interaksi guru dengan kepala sekolah, (3)

interaksi guru dengan rekan kerja, (4) interaksi guru dengan orang tua siswa, dan

(5) interaksi guru dengan masyarakat.

21
C. Kriteria Ketuntasan Minimal

1. Pengertian Kriteria Ketuntasan Minimal

Salah satu prinsip penilaian pada kurikulum berbasis kompetensi adalah

menggunakan acuan kriteria, yakni menggunakan kriteria tertentu dalam

menentukan kelulusan peserta didik. Kriteria paling rendah untuk menyatakan

peserta didik mencapai ketuntasan dinamakan Kriteria Ketuntasan Minimal

(KKM).

KKM harus ditetapkan sebelum awal tahun ajaran dimulai. Seberapapun

besarnya jumlah peserta didik yang melampaui batas ketuntasan minimal,

tidak mengubah keputusan pendidik dalam menyatakan lulus dan tidak lulus

pembelajaran. Acuan kriteria tidak diubah secara serta merta karena hasil

empirik penilaian. Pada acuan norma, kurva normal sering digunakan untuk

menentukan ketuntasan belajar peserta didik jika diperoleh hasil rata-rata

kurang memuaskan. Nilai akhir sering dikonversi dari kurva normal untuk

mendapatkan sejumlah peserta didik yang melebihi nilai 6,0 sesuai proporsi

kurva. Acuan kriteria mengharuskan pendidik untuk melakukan tindakan yang

tepat terhadap hasil penilaian, yaitu memberikan layanan remedial bagi yang

belum tuntas dan atau layanan pengayaan bagi yang sudah melampaui criteria

ketuntasan minimal.

Kriteria ketuntasan minimal ditetapkan oleh satuan pendidikan berdasarkan

hasil musyawarah guru mata pelajaran di satuan pendidikan atau beberapa

satuan pendidikan yang memiliki karakteristik yang hampir sama.

22
Pertimbangan pendidik atau forum MGMP secara akademis menjadi

pertimbangan utama penetapan KKM.

Kriteria ketuntasan menunjukkan persentase tingkat pencapaian kompetensi

sehingga dinyatakan dengan angka maksimal 100 (seratus). Angka maksimal

100 merupakan kriteria ketuntasan ideal. Target ketuntasan secara nasional

diharapkan mencapai minimal 75. Satuan pendidikan dapat memulai dari

kriteria ketuntasan minimal di bawah target nasional kemudian ditingkatkan

secara bertahap.

Kriteria ketuntasan minimal menjadi acuan bersama pendidik, peserta didik,

dan orang tua peserta didik. Oleh karena itu pihak-pihak yang berkepentingan

terhadap penilaian di sekolah berhak untuk mengetahuinya. Satuan pendidikan

perlu melakukan sosialisasi agar informasi dapat diakses dengan mudah oleh

peserta didik dan atau orang tuanya. Kriteria ketuntasan minimal harus

dicantumkan dalam Laporan Hasil Belajar (LHB) sebagai acuan dalam

menyikapi hasil belajar peserta didik

2. Fungsi Kriteria Ketuntasan Minimal.

a. sebagai acuan bagi pendidik dalam menilai kompetensi peserta didik sesuai

kompetensi dasar mata pelajaran yang diikuti. Setiap kompetensi dasar

dapat diketahui ketercapaiannya berdasarkan KKM yang ditetapkan.

Pendidik harus memberikan respon yang tepat terhadap pencapaian

kompetensi dasar dalam bentuk pemberian layanan remedial atau layanan

pengayaan;

23
b. sebagai acuan bagi peserta didik dalam menyiapkan diri mengikuti penilaian

mata pelajaran. Setiap kompetensi dasar (KD) dan indikator ditetapkan KKM

yang harus dicapai dan dikuasai oleh peserta didik. Peserta didik diharapkan

dapat mempersiapkan diri dalam mengikuti penilaian agar mencapai nilai

melebihi KKM. Apabila hal tersebut tidak bisa dicapai, peserta didik harus

mengetahui KD-KD yang belum tuntas dan perlu perbaikan;

c. dapat digunakan sebagai bagian dari komponen dalam melakukan evaluasi

program pembelajaran yang dilaksanakan di sekolah. Evaluasi

keterlaksanaan dan hasil program kurikulum dapat dilihat dari keberhasilan

pencapaian KKM sebagai tolok ukur. Oleh karena itu hasil pencapaian KD

berdasarkan KKM yang ditetapkan perlu dianalisis untuk mendapatkan

informasi tentang peta KD-KD tiap mata pelajaran yang mudah atau sulit, dan

cara perbaikan dalam proses pembelajaran maupun pemenuhan sarana

prasarana belajar di sekolah;

d. merupakan kontrak pedagogik antara pendidik dengan peserta didik dan

antara satuan pendidikan dengan masyarakat. Keberhasilan pencapaian KKM

merupakan upaya yang harus dilakukan bersama antara pendidik, peserta

didik, pimpinan satuan pendidikan, dan orang tua. Pendidik melakukan

upaya pencapaian KKM dengan memaksimalkan proses pembelajaran dan

penilaian. Peserta didik melakukan upaya pencapaian KKM dengan proaktif

mengikuti kegiatan pembelajaran serta mengerjakan tugas-tugas yang telah

didesain pendidik. Orang tua dapat membantu dengan memberikan motivasi

24
dan dukungan penuh bagi putra-putrinya dalam mengikuti pembelajaran.

Sedangkan pimpinan satuan pendidikan berupaya memaksimalkan

pemenuhan kebutuhan untuk mendukung terlaksananya proses

pembelajaran dan penilaian di sekolah;

e. merupakan target satuan pendidikan dalam pencapaian kompetensi tiap mata

pelajaran. Satuan pendidikan harus berupaya semaksimal mungkin untuk

melampaui KKM yang ditetapkan. Keberhasilan pencapaian KKM merupakan

salah satu tolok ukur kinerja satuan pendidikan dalam menyelenggarakan

program pendidikan. Satuan pendidikan dengan KKM yang tinggi dan

dilaksanakan secara bertanggung jawab dapat menjadi tolok ukur kualitas

mutu pendidikan bagi masyarakat.

3. Prinsip Penetapan KKM

Penetapan Kriteria Ketuntasan Minimal perlu mempertimbangkan beberapa

ketentuan sebagai berikut:

a. Penetapan KKM merupakan kegiatan pengambilan keputusan yang dapat

dilakukan melalui metode kualitatif dan atau kuantitatif. Metode kualitatif

dapat dilakukan melalui professional judgement oleh pendidik dengan

mempertimbangkan kemampuan akademik dan pengalaman pendidik

mengajar mata pelajaran di sekolahnya. Sedangkan metode kuantitatif

dilakukan dengan rentang angka yang disepakati sesuai dengan penetapan

kriteria yang ditentukan;

25
b. Penetapan nilai kriteria ketuntasan minimal dilakukan melalui analisis

ketuntasan belajar minimal pada setiap indikator dengan memperhatikan

kompleksitas, daya dukung, dan intake peserta didik untuk mencapai

ketuntasan kompetensi dasar dan standar kompetensi

c. Kriteria ketuntasan minimal setiap Kompetensi Dasar (KD) merupakan rata-

rata dari indikator yang terdapat dalam Kompetensi Dasar tersebut. Peserta

didik dinyatakan telah mencapai ketuntasan belajar untuk KD tertentu

apabila yang bersangkutan telah mencapai ketuntasan belajar minimal yang

telah ditetapkan untuk seluruh indikator pada KD tersebut;

d. Kriteria ketuntasan minimal setiap Standar Kompetensi (SK) merupakan rata-

rata KKM Kompetensi Dasar (KD) yang terdapat dalam SK tersebut;

e. Kriteria ketuntasan minimal mata pelajaran merupakan rata-rata dari semua

KKM-SK yang terdapat dalam satu semester atau satu tahun pembelajaran,

dan dicantumkan dalam Laporan Hasil Belajar (LHB/Rapor) peserta didik;

f. Indikator merupakan acuan/rujukan bagi pendidik untuk membuat soal-soal

ulangan, baik Ulangan Harian (UH), Ulangan Tengah Semester (UTS) maupun

Ulangan Akhir Semester (UAS). Soal ulangan ataupun tugas-tugas harus

mampu mencerminkan/menampilkan pencapaian indikator yang diujikan.

Dengan demikian pendidik tidak perlu melakukan pembobotan seluruh hasil

ulangan, karena semuanya memiliki hasil yang setara;

g. Pada setiap indikator atau kompetensi dasar dimungkinkan adanya perbedaan

nilai ketuntasan minimal.

26
4. Langkah-Langkah Penetapan KKM

Penetapan KKM dilakukan oleh guru atau kelompok guru mata pelajaran.

Langkah penetapan KKM adalah sebagai berikut:

a. Guru atau kelompok guru menetapkan KKM mata pelajaran dengan

mempertimbangkan tiga aspek kriteria, yaitu kompleksitas, daya dukung, dan

intake peserta didik dengan skema sebagai berikut: Hasil penetapan KKM

indikator berlanjut pada KD, SK hingga KKM mata pelajaran;

b. Hasil penetapan KKM oleh guru atau kelompok guru mata pelajaran disahkan

oleh kepala sekolah untuk dijadikan patokan guru dalam melakukan penilaian;

c. KKM yang ditetapkan disosialisaikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan,

yaitu peserta didik, orang tua, dan dinas pendidikan;

d. KKM dicantumkan dalam LHB pada saat hasil penilaian dilaporkan kepada

orang tua/wali peserta didik.

5. Penentuan Kriteria Ketuntasan Minimal

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam penentuan kriteria ketuntasan minimal

adalah:

a. Tingkat kompleksitas, kesulitan/kerumitan setiap indikator, kompetensi dasar,

dan standar kompetensi yang harus dicapai oleh peserta didik. Suatu

indikator dikatakan memiliki tingkat kompleksitas tinggi, apabila dalam

pencapaiannya didukung oleh sekurang-kurangnya satu dari sejumlah

kondisi sebagai berikut:

27
1) guru yang memahami dengan benar kompetensi yang harus dibelajarkan

pada peserta didik;

2) guru yang kreatif dan inovatif dengan metode pembelajaran yang

bervariasi;

3) guru yang menguasai pengetahuan dan kemampuan sesuai bidang yang

diajarkan;

4) peserta didik dengan kemampuan penalaran tinggi;

5) peserta didik yang cakap/terampil menerapkan konsep;

6) peserta didik yang cermat, kreatif dan inovatif dalam penyelesaian

tugas/pekerjaan;

7) waktu yang cukup lama untuk memahami materi tersebut karena

memiliki tingkat kesulitan dan kerumitan yang tinggi, sehingga dalam proses

pembelajarannya memerlukan pengulangan/latihan;

8) tingkat kemampuan penalaran dan kecermatan yang tinggi agar peserta

didik dapat mencapai ketuntasan belajar

b. Kemampuan sumber daya pendukung dalam penyelenggaraan pembelajaran

pada masing-masing sekolah.

1) Sarana dan prasarana pendidikan yang sesuai dengan tuntutan

kompetensi yang harus dicapai peserta didik seperti perpustakaan,

laboratorium, dan alat/bahan untuk proses pembelajaran;

2) Ketersediaan tenaga, manajemen sekolah, dan kepedulian stakeholders

sekolah.

28
Daya dukung untuk Indikator ini tinggi apabila sekolah mempunyai sarana

prasarana yang cukup untuk melakukan percobaan, dan guru mampu

menyajikan pembelajaran dengan baik. Tetapi daya dukungnya rendah

apabila sekolah tidak mempunyai sarana untuk melakukan percobaan atau

guru tidak mampu menyajikan pembelajaran dengan baik.

c. Tingkat kemampuan (intake) rata-rata peserta didik di sekolah yang

bersangkutan.

Penetapan intake di kelas X dapat didasarkan pada hasil seleksi pada saat

penerimaan peserta didik baru, Nilai Ujian Nasional/Sekolah, rapor SMP, tes

seleksi masuk atau psikotes; sedangkan penetapan intake di kelas XI dan XII

berdasarkan kemampuan peserta didik di kelas sebelumnya.

D. Pelatihan Guru

1. Pengertian Pelatihan

Pelatihan merupakan suatu proses belajar mengajar terhadap pengetahuan dan

keterampilan tertentu serta sikap agar peserta semakin terampil dan mampu

melaksanakan tanggung jawabnya dengan semakin baik, sesuai dengan standar

Kirkpatrick (1994) mendefinisikan pelatihan sebagai upaya meningkatkan

pengetahuan, mengubah perilaku dan mengembangkan keterampilan.

Pelatihan menurut Strauss dan Syaless di dalam Notoatmodjo (1998) berarti

mengubah pola perilaku, karena dengan pelatihan maka akhirnya akan

menimbulkan perubahan perilaku. Pelatihan adalah bagian dari pendidikan yang

menyangkut proses belajar, berguna untuk memperoleh dan meningkatkan

29
keterampilan di luar sistem pendidikan yang berlaku, dalam waktu relatif

singkat dan metodenya mengutamakan praktek daripada teori.

Pelatihan adalah proses pembelajaran yang lebih menekankan pada praktek

daripada teori yang dilakukan seseorang atau kelompok dengan menggunakan

pelatihan orang dewasa dan bertujuan meningkatkan kemampuan dalam satu

atau beberapa jenis keterampilan tertentu. Sedangkan pembelajaran merupakan

suatu proses interaksi antara peserta dengan lingkungannya yang mengarah

pada pencapaian tujuan pendidikan dan pelatihan yang telah ditentukan terlebih

dahulu.

2. Tujuan Pelatihan

Tujuan pelatihan secara umum adalah mengubah perilaku individu tenaga

pendidik di bidang pendidikan. Tujuan ini adalah menjadikan pendidikan yang

bernilai di masyarakat pendidikan, menolong individu agar mampu secara

mandiri atau kelompok mengadakan kegiatan untuk mencapai kompetensi yang

diharapkan. Prinsip dari pelatihan bukanlah hanya pelajaran di kelas, tapi

merupakan kumpulan-kumpulan pengalaman di mana saja dan kapan saja,

sepanjang pelatihan dapat mempengaruhi pengetahuan, sikap dan kebiasaan

(Tafal, 1989).

Menurut Notoatmodjo (2005), pelatihan memiliki tujuan penting untuk

meningkatkan pengetahuan dan keterampilan sebagai kriteria keberhasilan

program pendidikan secara keseluruhan. Tujuan umum pelatihan tenaga

pendidikan adalah meningkatkan kemampuan tenagab pendidik dalam

30
mengelola dan menyampaikan materi pembelajaran kepada siswa-siswinya.

Sedangkan tujuan khususnya adalah meningkatkan pengetahuan, keterampilan

guru sebagai tenaga pendidik, dan meningkatkan pengetahuan, keterampilan

dalam menyiapkan administrasi pembelajaran.

Adapun tujuan pelatihan merupakan upaya peningkatan sumberdaya manusia

termasuk sumberdaya manusia tenaga pendidikan, agar pengetahuan dan

keterampilannya meningkat. Tenaga pendidikan perlu mendapatkan pelatihan

karena jumlahnya tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Pelatihan bagi

tenaga pendidik dapat berupa : a) ceramah; b) tanya jawab; c) curah pendapat;

d) simulasi dan e) praktek.

E. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan hasil kajian teori di atas dapat dirumuskan hipotesis penelitian ini,

sebagai berikut: “Kegiatan pelatihan yang diberikan kepada guru dapat

meningkatkan kompetensi pedagogik guru dalam menyusun Kriteria Ketuntasan

Minimal sesuai mata pelajarannya masing-masing”.

31
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian tindakan (Action Research). Carr dan Kemmis dalam

McNiff (1992) mengemukakan bahwa penelitian tindakan adalah suatu bentuk refleksi

alamiah yang dilakukan oleh para partisipan, guru, dan peserta didik untuk meningkatkan

aspek-aspek praktis. Gay (1996) mengemukakan bahwa tujuan penelitian tindakan adalah
32
untuk memecahkan masalah praktis melalui aplikasi metode ilmiah (the purpose of action

research is to solve practical problems through the application of scientific method). Hall &

Hall (1996) mengemukakan bahwa salah satu ciri penelitian tindakan adalah peneliti itu

sendiri yang bertindak sebagai aktivis (the researcher becomes an activist).

B. Desain Penelitian

Desain penelitian mengacu pada model yang dikembangkan oleh Kurt Lewin

(McNiff, 1992), yakni: adanya perencanaan (planning), tindakan (acting), observasi

(observing), dan refleksi (reflecting) yang dilakukan secara bersiklus.

Permasalahan Perencanaan Pelaksanaan


Tindakan I Tindakan I
Siklus I

Refleksi I Pengamatan/
Pengumpulan Data I

Permasalahan Perencanaan Pelaksanaan


baru hasil Tindakan II Tindakan II
refleksi I

Refleksi II Pengamatan/
Siklus II Pengumpulan Data II
33
Permasalahan Perencanaan Pelaksanaan
baru hasil Tindakan III Tindakan III
refleksi II

Refleksi III Pengamatan/


Siklus III Pengumpulan Data III

Gambar 1: Disain penelitian tindakan.

C. Subjek, Tempat, dan Waktu Penelitian

Subjek penelitian adalah guru MTs Assa”adah wilayah Jakarta Timur. Jumlah guru yang

mengikuti kegiatan ini adalah 14 orang. Kegiatan dilaksanakan di MTs Al-Falah, Jalan

Raya Bekasi Ujung Menenteng Jakarta Timur. Penelitian berlangsung selama 3 hari, dari

tanggal 3 –5 Oktober 2021.

D. Tindakan Penelitian

Karena penelitian ini merupakan penelitian tindakan, pelaksanaan ini dilakukan secara

siklus. Pelaksanaannya minimal selama dua siklus. Siklus-siklus itu merupakan

rangkaian yang saling berkelanjutan, yaitu setelah siklus pertama dilakukan akan

dilanjutkan oleh siklus kedua. Setiap siklus selalu terdapat langkah-langkah persiapan

tindakan, pelaksanaan tindakan, pengamatan dan pemantauan tindakan, serta refleksi.

Tindakan yang dilakukan mencakup:

a. Persiapan tindakan, dengan melakukan (1) pengumpulan data kepegawaian guru

yang ditetapkan sebagai subjek penelitian, (2) mengadakan pertemuan dengan guru-

guru sebagai mitra penelitian untuk membahas langkah-langkah pemecahan

masalah pembelajaran dari aspek guru dan pengawas, (3) melaksanakan proses
34
percakapan terhadap masalah yang dihadapi guru, (4) menyusun langkah-langkah

persiapan pelaksanaan tindakan persiklus.

b. Pelaksanaan tindakan, dengan melakukan (1) pemberian materi melalui kegiatan

pelatihan sekolah, (2) menyajikan, menjelaskan, mendengarkan, memecahkan

masalah, dan negosiasi berkaitan dengan materi yang disampaikan.

c. Pengamatan dan pemantauan tindakan, dengan melakukan (1) pengamatan

peningkatan kompetensi pedagogik guru dalam menyusun kriteria ketuntasan

minimal sesuai dengan bidangnya masing-masing, (2) pemberian penilaian

sementara yang dilakukan oleh pengawas sebagai titik awal mengukur ada tidaknya

peningkatkan kompetensi pedagogik guru dalam menyusun kriteria ketuntasan

minimal pembelajaran sesuai dengan bidangnya masing-masing.

d. Setelah ketiga langkah tindakan dilakukan, peneliti dan peserta pelatihan

merefleksikan atau mengkaji beberapa hal, yaitu: (1) apa yang telah dilakukan, (2)

bagaimana hasil yang dicapai, (3) apa kekuatan dan kelemahan yang ditemui, dan (4)

tindakan/perubahan apa yang akan dilakukan memasuki siklus berikutnya. Pada sesi

siklus pertama akan terjadi beberapa kemungkinan, yaitu: tindakan belum

memenuhi kriteria keberhasilan atau sudah memenuhi kriteria berhasil.

Tindakan siklus kedua dapat ditentukan berdasarkan hasil refleksi siklus pertama. Hal

ini tidak berbeda dengan siklus pertama, tetapi tindakan yang diberikan sebagai respon

terhadap hasil-hasil refleksi mengalami beberapa perubahan. Demikian juga tindakan

siklus ketiga dan seterusnya, merupakan daur ulang dari serangkaian kegiatan yang

telah dilakukan pada siklus sebelumnya

35
E. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data

Data dikumpulkan secara partisipatif (participative observation). Teknik ini merupakan

bagian dari kegiatan observasi dimana peserta dan peneliti ikut berpartisipasi

menangkap gejala alamiah yang terjadi. Observasi dilakukan baik secara sistematis

(systematic observation) yang sudah dirancang sejak awal penelitian maupun secara

tidak sistematis (nonsystematic observation) yang diperoleh tanpa sengaja.

Sedangkan instrumen yang digunakan adalah instrumen pengawasan akademik untuk

menetapkan kriteria ketuntasan minimal yang digunakan pengawas dalam kegiatan

supervisi. Instrumen terdiri dari kolom aspek yang dinilai, indikator operasional dan

penilaian.

F. Teknik Analisis Data dan Kriteria Keberhasilan

Untuk memberikan penilaian tentang keberhasilan tindakan pada masing-masing siklus

penelitian, peneliti memerlukan kriteria keberhasilan. Menurut Popham (1995), kriteria

untuk mengambil keputusan dapat dikembangkan sendiri atau atas kesepakatan

bersama sesuai dengan teori-teori yang mendukung. Berdasarkan hasil kesepakatan

dengan peserta penelitian, kriteria keberhasilan ditetapkan sesuai dengan kriteria

penilaian kinerja guru sesuai dengan Bab VII pasal 15 ayat 2 permenpan nomor 16

tentang jabatan fungsional guru dan angka kredit, sebagaimana berikut : nilai 91 sampai

dengan 100 disebut amat baik; nilai 76 sampai dengan 90 disebut baik; nilai 61 sampai

dengan 75 disebut cukup; nilai 51 sampai dengan 60 disebut sedang; dan nilai sampai

dengan 50 disebut kurang.

36
BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Deskripsi Awal

Sebelum penelitian tindakan sekolah ini dilaksanakan, peneliti mengadakan dan

pengumpulan data dengan cara observasi dari kondisi awal kelas yang akan diberi

tindakan.

37
Pengetahuan awal ini perlu diketahui agar kiranya penelitian ini sesuai dengan apa

yang diharapkan oleh peneliti, apakah benar kelas ini perlu diberi tindakan yang sesuai

dengan strategi pelatihan yang direncanakan.

Untuk mendapatkan data mengenai kondisi nyata pengawas melakukan langkah-

langkah sebagai berikut:

1 Perencanaan.

Untuk mengetahui kondisi awal, peneliti merencanakan melakukan

pengamatan pembelajaran secara langsung. Observasi pelaksanaan pembelajaran

yang dilakukan untuk mengetahui strategi pelatihan yang peneliti gunakan dalam

memberi materi tentang Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM).

2 Pelaksanaan.

Pelaksanaan untuk mengukur kemampuan awal guru dilaksanakan pada hari

Kamis tanggal 3 Oktober 2013. Pada tahap pelaksanaan ini, peneliti mengawasi

kerja guru dalam menyusun Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang diberikan,

sehingga keakuratan dari hasil penelitian dapat dipertanggungjawabkan.

3 Pengamatan.

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh peneliti didapatkan bahwa

pada kegiatan penyusunan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang dilakukan,

guru masih belum mengerti sepenuhnya cara menyusun Kriteria Ketuntasan

Minimal (KKM). Pada kegiatan tersebut, terlihat masih ada guru yang bertanya ke

kiri dan ke kanan kepada teman-teman yang duduk di sebelahnya.


38
Setelah hasil kerja penyusunan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM)

dikumpulkan dan peneliti melangsung mengkoreksinya, maka didapatkan hasil

yang kurang memuaskan. Dari hasil koreksi awal, masih banyak guru yang belum

mengetahui bagaimana cara menyusun Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Hanya

10 % guru yang mengetahui cara penyusunan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM)

melalui pelatihan sejenis yang pernah diikuti.

4 Refleksi.

Dari kondisi awal yang ada tersebut maka perlu diadakan suatu tindakan

untuk mengangkat kemampuan guru dalam menyusun Kriteria Ketuntasan Minimal

(KKM) di MTs AL-HidayahJakarta Timur.

Bertolak dari kondisi awal tersebut maka peneliti merencanakan tindakan

penelitian dengan menerapkan strategi pelatihan pada pemberian materi

penyusunan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM).

B. Deskripsi Siklus I.

1. Perencanaan.

Untuk melakukan penelitian pada siklus I ini peneliti beserta guru pengajar

merencanakan tindakan yang meliputi :

a. Membuat silabus materi pembelajaran.

39
b. Membuat rancangan program pengajaran. Rancangan program yang dibuat

digunakan untuk pengajaran 2 x 40 menit dengan rincian (1) apersepsi 5 menit

(2) Kegiatan inti berisi pengerjaan lembar kerja dan mengaktifkan siswa dengan

metode tanyajawab selama 50 menit (3) Penutup 5 menit (4) evaluasi 20 menit.

c. Membuat lembar kerja guru yang digunakan untuk mengaktifkan guru dalam

menyusun Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) dengan penyusunan tahap demi

tahap yang membawa guru dalam penemuan masalah atau penyelesaian suatu

masalah.

d. Membuat alat evaluasi yang digunakan untuk mendapatkan data kemampuan

guru dalam menyusun Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM), setelah

mendapatkan tindakan dengan menggunakan strategi pelatihan.

e. Membuat solusi dan langkah untuk disampaikan pada guru berkaitan kelemahan

guru dalam menyelesaikan masalah.

2. Pelaksanaan Tindakan.

Pelaksanaan tindakan pada siklus I dilaksanakan pada hari Sabtu tanggal

5 Oktober 2021, peneliti melakukan kegiatan sesuai dengan apa yang telah

direncanakan, dimulai dengan penjelasan pada guru tentang kegiatan yang

harus dilakukan oleh guru dalam mengikuti kegiatan.

Berdasarkan informasi yang telah didapatkan peneliti pada saat

observasi penyusunan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang dilakukan oleh

guru, maka peneliti menyampaikan kelemahan dan kekurangan – kekurangan


40
yang dilakukan guru dalam menyelesaikan penyusunan Kriteria Ketuntasan

Minimal (KKM).

Selanjutnya peneliti membagikan lembar kerja yang telah dirancang oleh

peneliti untuk diselesaikan guru secara keseluruhan dan peneliti berkeliling

untuk mengamati cara kerja guru serta membantu guru yang mengalami

masalah dalam menyelesaikan lembar kerja yang dibagikan.

Pada saat pelaksanaan menyelesaikan lembar kerja guru tampak

beberapa guru saling komunikasi dengan teman terdekatnya tentang cara

penyelesaian dari lembar kerja yang dibagikan. Sambil berkeliling peneliti

mencatat hambatan – hambatan yang terjadi pada saat guru mengerjakan

lembar kerja tersebut. Selain itu peneliti juga mencatat guru-guru yang aktif dan

mampu dalam menyelesaikan masalah yang diberikan oleh peneliti.

Peneliti memerintahkan pada guru yang telah mampu memecahkan masalah

yang masih menjadi masalah pada sebagian besar guru , untuk dijelaskan pada

temannya cara memecahkan masalah tersebut. Pada akhir pengajaran yaitu 20

menit terakhir dari pembelajaran peneliti memberikan evaluasi yang harus

diselesaikan oleh seluruh guru secara individual.

3. Hasil Pengamatan.

Setelah lembar kerja yang mengarahkan guru untuk penyusunan

penyusunan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) dibagikan maka tampak guru

antusias dalam mengerjakan lembar kerja tersebut.


41
Pada pengerjaan lembar kerja yang dibagikan ini tak terlihat adanya guru

yang melihat ke kiri atau ke kanan ataupun aktivitas lainnya, semuanya asyik

dalam mengerjakan lembar kerja yang dibagikan.

`Pada pelaksanaan pengerjaan lembar kerja tersebut tampak adanya guru

yang mengalami hambatan dalam menyelesaikan bertanya pada teman

terdekatnya, namun ada pula guru yang mengalami hambatan dalam

mengerjakan lembar kerja tersebut langsung bertanya kepada peneliti.

Dari hasil evaluasi yang diberikan setelah dikoreksi oleh peneliti didapatkan

hasil sebagai berikut :

Dari 14 guru yang ada , 6 guru mendapatkan nilai kurang dari 50 , sedang 8 guru

telah mendapatkan nilai diatas batas tuntas, hal ini berarti 57,14 % guru telah

mampu menyusun Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) dengan benar.

4. Refleksi.

Dengan melihat titiklemah yang terjadi pada sebagian guru berkenaan

konsep penyusunan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) , maka perlu diadakan

penjelasan yang mendasar pada guru yang mengalami hambatan dengan

memanfaatkan teman yang telah memahami konsep penyusunan Kriteria

Ketuntasan Minimal (KKM) tersebut untuk menjelaskannya.

42
Selanjutnya, peneliti mendata guru yang punya kemampuan lebih dan mampu

untuk menyampaikan materi yang dikuasainya kepada temannya. Perlunya

dibentuk kelompok – kelompok kecil yang terdiri dari 4 guru untuk

berkolaborasi dalam belajar dan dipimpin oleh guru yang punya kemampuan

lebih dan mampu menyampaikan materi yang dikuasainya.

C. Deskripsi Siklus II.

a. Perencanaan.

Pada perencanaan siklus II ini peneliti merencanakan tindakan sebagai berikut :

1) Membuat kelompok kecil yang terdiri dari 4 guru dan masing – masing

kelompok dipimpin oleh guru yang dipilih dari guru yang punya kemampuan

lebih dan mampu memimpin.

2) Membuat rancangan pembelajaran untuk kelompok kecil yang dipergunakan bagi

pengajaran selama 90 menit.

3) Membuat 2 lembar kerja yang dipergunakan untuk diskusi kelompok

4) Merencanakan alat evaluasi yang digunakan untuk mengukur kemampuan

guru.

b. Pelaksanaan Tindakan.

Seperti yang telah direncanakan maka peneliti melaksanaan tindakan siklus

II pada hari Sabtu tanggal 5 Oktober 2021. Tindakan di siklus II ini diawali

43
penjelasan kepada guru tentang prosedur yang akan dilaksanakan pada

pembelajaran untuk kelompok kecil.

Peneliti membagi kelompok yang terdiri dari 4 guru dan menentukan ketua

dari masing – masing kelompok tersebut, selanjutnya guru berkumpul menurut

kelompok masing – masing.

Setelah siswa telah berkumpul dengan kelompoknya maka peneliti

membagikan lembar kerja untuk didiskusikan bersama dari masing – masing

kelompok, pada saat guru mulai berdiskusi peneliti berkeliling untuk mencatat

kesalahan – kesalahan yang dilakukan kelompok untuk dibimbing serta mencatat

guru-guru yang pasif agar bisa diajak aktif oleh kelompoknya.

Setelah waktu yang ditentukan pada lembar kerja habis maka peneliti

meminta perwakilan kelompok untuk mempresentasikan hasil kerjanya dan

kelompok lain diminta menanggapi apa yang telah dipresentasikan, pada

kesempatan ini peneliti memandu jalannya diskusi dan bersama – sama guru

merumuskan jawaban.

Pada hari Sabtu tanggal 5 Oktober 2021 pada guru diberikan evaluasi tentang

penguasaan materi penyusunan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) dalam waktu 1

jam pelajaran atau 40 menit.

c. Hasil Pengamatan

44
Pada pelaksanaan siklus II ini tampak sekali bahwa guru sangat antusias

dalam mengerjakan tugas kelompok, semua guru terlihat aktif bersama

kelompoknya dalam menyelesaikan lembar kerja yang diberikan peneliti.

Pada saat diskusi pembahasan materi yang diberikan satu kelompok untuk

ditanggapi oleh kelompok lain, kadang terlihat perbedaan pola berfikir dari masing

– masing individu dalam menyampaikan ide pemecahan masalah yang diberikan.

Berdasarkan evaluasi yang dilaksanakan setelah dikoreksi didapatkan hasil

yang sesuai dengan kriteria pencapaian hasil yang diharapkan karena dari 14 guru

yang ada semuanya mendapatkan nilai di atas batas ketuntasan minimal, sehingga

prosentasi guru yang telah mampu menyusunan Kriteria Ketuntasan Minimal

(KKM) adalah 100 %.

d. Refleksi

Dari hasil evaluasi yang diberikan selama 1 jam pelajaran atau 40 menit

tenyata 14 orang guru telah mampu mendapatkan nilai di atas batas kriteria namun

masih terlihat kesalahan yang dibuat oleh guru dikarenakan faktor kekurangtelitian

guru dalam bekerja. Akan tetapi, keaktifan dari guru secara keseluruhan telah sesuai

yang diharapkan oleh peneliti dibuktikan dalam mengerjakan lembar kerja secara

kelompok ini 100% telah aktif melakukan pembahasan lembar kerja yang diberikan.

D. Deskripsi Antar Siklus.

Berdasarkan hasil pelaksanaan tindakan mulai pemantauan keadaan awal hingga

pelaksanaan tindakan pada siklus II maka dapat digambarkan seperti dibawah :


45
Prosentase yang dicapai
No Indikator
Awal Siklus I Siklus II

1 Kemampuan dalam
10 % 57,14 % 100 %
menyusun KKM

2 Kemampuan
mengerjakan lembar 57,14 % 100 %
kerja

3 Keaktifan dalam
100 %
pembahasan lembar kerja

E. Pembahasan

Dari tabel antar siklus di atas tampak adanya hasil dari masing – masing indikator

yang harus dikuasai guru setelah diberi tindakan mengalami peningkatan yang sangat

luar biasa.

Pada siklus I peneliti cenderung membantu dalam bentuk teoretis, guru pengamat

pasif, karena hampir semua guru belum menetapkan kriteria ketuntasan minimal, bagi

guru yang telah membuat kriteria ketuntasan minimal cenderung dibuat apa adanya

yang terkadang mencontoh dari guru di sekolah lain. Sedangkan pada siklus II peneliti

dan guru benar-benar ikut bersama berlatih menetapkan kriteria ketuntasan minimal.

Guru diminta untuk lebih aktif dan serius (bukan asal jadi). Setiap selesai proses

pembelajaran, masing-masing kelompok guru mempresentasikan hasil kerjanya dan

kelompok guru yang lain mengkritisi serta memberi masukan terhadap hasil kerja guru

tersebut.

46
Setelah melalui proses refleksi, sebagian besar guru telah berhasil meningkatkan

kompetensinya dalam menetapkan kriteria ketuntasan minimal sesuai dengan mata

pelajaran yang diampu. Guru dengan teliti dan cekatan memilih memilih cara

menetapkan kriteria ketuntasan minimal dan menghitung angka-angka dari mulai

menetap kriteria ketuntasan minimal masing-masing indikator pencapai sampai

dengan menetap kriteria ketuntasan minimal mata pelajaran. Secara umum, pencapaian

keberhasilan guru pada siklus keduanya telah mencapai nilai 85 atau baik.

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

47
Penelitian tindakan ini dilakukan dalam dua siklus. Masing-masing siklus terdiri dari

empat kegiatan, yaitu perencanaan (planning), tindakan (acting), observasi (observing)

dan refleksi (reflecting). Pada siklus pertama, kegiatan pelatihan diberikan dalam bentuk

pemberian informasi teoritis tentang cara menetapkan kriteria ketuntasan minimal.

Hasil dari kegiatan siklus pertama masih belum dapat dikatakan berhasil, hal ini

disebabkan peroleh rata-rata sekor para guru masih di bawah 50 atau kurang. Pada

siklus kedua, kegiatan pelatihan ditindaklanjuti dengan memberikan bantuan praktis, di

mana peneliti dan peserta secara bersama-sama menetapkan kriteria ketuntasan

minimal. Pada siklus kedua, hasil menetapkan kriteria ketuntasan minimal mata

pelajaran yang disusun oleh guru meningkat tajam, hal ini dibuktikan dengan peroleh

rata-rata sekor para guru sebesar 85 atau baik. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan

bahwa terjadi peningkatan kompetensi guru dalam menetapkan kriteria ketuntasan

minimal. Pada siklus pertama sekor rata-rata kompetensi guru adalah 25 atau kurang,

kemudian meningkat menjadi 85 atau baik. Artinya kegiatan pelatihan memberikan

dampak positif terhadap peningkatan kompetensi guru dalam menetapkan kriteria

ketuntasan minimal.

B. Saran

Saran penelitian antara lain: (1) dalam menetapkan kriteria ketuntasan minimal, guru

sebagai administrator hendaknya selalu menggunakan pedoman menetapkan kriteria

ketuntasan minimal yang dikeluarkan oleh pihak berwenang; (2) diharapkan guru

48
mendiskusikan hal-hal yang masih dirasakan menjadi ganjalan kepada berbagai pihak,

misalnya kepala sekolah dan teman sejawat; (3) guru hendaknya mempersiapkan dan

memperbaiki kriteria ketuntasan minimal sebelum awal tahun pelajaran baru di mulai

setiap tahunnya, (4) pembuat kebijakan (decision makers), seperti kepala sekolah dan

kepala dinas pendidikan di daerah, hendaknya memberi kesempatan yang seluas-

luasnya kepada guru mata pelajaran untuk mengembangkan kemampuan guru dalam

menetapkan kriteria ketuntasan minimal, (5) pengawas disarankan untuk menggunakan

supervisi akademik dalam bentuk kegiatan pelatihan dalam melaksanakan tugasnya,

terbukti dengan penggunaan kegiatan pelatihan dapat meningkatkan kompetensi guru

khususnya dalam menetapkan kriteria ketuntasan minimal sesuai dengan mata

pelajaran masing-masing.

49
DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Moch. Idochi. 2004. Administrasi Pendidikan dan Manajemen Biaya Pendidikan.
Bandung: Alfabeta

BSNP. 2007. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun
2007 Tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru. Jakarta : BSNP.

Depdiknas. 1997. Petunjuk Pengelolaan Adminstrasi Sekolah Dasar. Jakarta: Depdiknas.

Depdiknas. 2001. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Jakarta: Depdiknas.

Depdiknas. 2003. Revitalisasi Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP). Jakarta : Program
Pendidikan Menengah Umum.

Depdiknas. 2004. Supervisi Akademik; Materi Pelatihan Penguatan Kemampuan Kepala


Sekolah; Jakarta: Depdiknas.

Depdiknas. 2008. Pedoman Penelitian Tindakan Sekolah (School Action Research)


Peningkatan Kompetensi Supervisi Pengawas Sekolah SMA / SMK. Jakarta : Dirjen
PMPTK.

Djamarah, SB. Zain, A. 1996. Strategi Belajar Mengajar, Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.

Harahap, Baharuddin. 1983. Supervisi Pendidikan yang Dilaksanakan olehGuru, Kepala


Sekolah, Penilik dan Pengawas Sekolah. Jakarta: Damai Jaya

Kirk Patrick, DL. 1994. Evaluating Training Program, San Fransisco: Barret-Publishers, Inc.

Lockwood, D. 1994. Desain Pelatihan Efektif Bagi Supervisor dan Manajemen Madya,
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Notoatmodjo, S. 1989. Dasar-dasar Pendidikan dan Pelatihan, Jakarta: BPKM UI.

Majid, Abdul. 2005. Perencanaan Pembelajaran: Mengembangkan Standar Kompetensi Guru.


Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Makmun, Abin Syamsudin. 2005. Psikologi Kependidikan, Perangkat Sistem Pengajaran


Modul. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

Muhaimin 2004. Paradigma Pendidikan Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.


50
Mulyasa, E., 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi: Konsep,Karakteristik, dan Implementasi.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Panitia Pelaksana Pendidikan dan Latihan Profesi Guru Rayon 10 Jawa Barat. (2009).
Bahan Ajar Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG), Pengawas. Bandung :
Universitas Pendidikan Indonesia.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2007


Tentang Standar Proses untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.

Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.

Sagala, H. Syaiful. 2006. Administrasi Pendidikan Kontemporer. Bandung : Alfabeta.

Sahertian, Piet A. 2000. Konsep-Konsep dan Teknik Supervisi Pendidikan Dalam Rangka
Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakarta: Rineka Cipta.

Sudjana, H. Nana. 2009. Penelitian Tindakan Kepengawasan, Konsep dan Aplikasinya bagi
Pengawas Sekolah. Jakarta : Binamitra Publishing.

Supandi. 1996. Administrasi dan Supervisi Pendidikan. Jakarta: Departemen Agama


Universitas Terbuka.

Surya, Muhammad. 2003. Psikologi Pembelajaran dan Pengajaran. Bandung: Yayasan


Bhakti Winaya

Tafal, Z. dan Poerbonegoro, S. 1989. Pengantar Pendidikan Kesehatan, Jakarta: Fakultas


Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan


Nasional.

Usman, Moh. Uzer. 1994. Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

51
52

Anda mungkin juga menyukai