Modull 2 Latar+Belakang+Muhammadiyah
Modull 2 Latar+Belakang+Muhammadiyah
Muhammadiyah :
Latar Belakang Berdiri dan Tujuannya
MUHAMMADIYAH 29
Latar Belakang berdiri dan tujuannya
Berbeda dengan pendapat M. Jindar Tamimi, Saifullah (1997
: 27), dalam sebuah tests masternya, menyebutkan ada empat
faktor. Pertama, faktor aspirasi pendiri, yakni Ahmad Dahlan.
Kedua, faktor realitas sosio-agama di Indonesia. Ketiga, faktor
realitas sosio-pendidikan di Indonesia, dan keempat, faktor
realitas politik Islam Hindia-Belanda.
Perbedaan penyebutan faktor di atas, nampak dengan jelas
tidak berkait dengan substansi tetapi berkait dengan redaksional
semata. Bahkan, Saifullah sebetulnya mencoba membahasakan
ulang hal yang sudah dijelaskan oleh M. Jindar Tamimi.
Pembahasan tentang latar belakang Muhammadiyah didirikan
akan mengikuti pola pikir seperti yang dikembangkan oleh
Saifullah.
Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah tidak secara
kebetulan, tetapi didorong oleh aspirasinya yang besar tentang
masa depan Islam Indonesia. Aspirasi ini dapat dilacak dari
perjalanan intelektual, spiritual, dan sosial Ahmad Dahlan dalam
dua fase dari biografi kehidupannya, yaitu fase pertama, setelah
menunaikan ibadah haji yang pertama (1889); dan fase kedua,
setelah menunaikan ibadah haji yang kedua tahun 1903
(Saifullah, 1997; 27-28).
Pada ibadah haji perfcama, Ahmad Dahlan masih berusia 20
tahun. Motivasi berhaji lebih didorong oleh upaya peningkatan
spiritual pribadinya, dengan cara menunaikan rukun Islam yang
kelima, yaitu ibadah haji. Peningkatan spiritualitas ini dilakukan
oleh karenaAhmad Dahlan dengan sengaja akan dipersiapkan
ayahnya untuk menjadi penggantinya di kemudian hari. Di
samping motivasi spiritual, ibadah haji kali ini juga
dimanfaatkan oleh Ahmad Dahlan untuk menimba ilmu-ilmu
keislaman. Dalam tradisi waktu itu, agar anaknya bisa menjadi
seorang 'alim, biasanya disuruh menunaikan ibadah haji
sekaligus belajar Islam di sana. Seperti diketahui bahwa
menunaikan ibadah haji waktu itu tidak sesingkat seperti
sekarang ini, tetapi ditempuh dalam waktu yang agak lama.
Dalam kaitan ini, Ahmad Dahlan diharapkan kualitas spiritual
dan intelektual ilmu keislamannya bisa lebih meningkat dengan
menunaikan ibadah haji.
30 STUDI KEMUHAMMADIYAHAN
Di pusat studi Islam ini, Ahmad Dahlan menemukan banyak
hal tentang studi Islam yangjarang ditemui di Indonesia.
Menurutnya, Islam tidak hanya dipahami secara kognitif semata,
tetapi ada kewajiban untuk menerjemahkan ke dalam bentuk aksi
sosial sebagai wujud perbaikan masyarakafc. Dalam bahasa
sekarang, seseorang yang mendalami Islam tidak hanya dituntut
mempunyai kesalehan individual semata, tetapi juga perlu
memiliki kesalehan sosial yangjustru merupakan suatu keharusan
untuk dilakukan sebagai bukti kedalaman iman yang dimilikinya
(Tamimi, 1990: 4).
Sepulangnya dari ibadah haji pertama ini, Ahmad Dahlan
mulai merasa gelisah ketika menyaksikan kehidupan keagamaan
umat Islam Indonesia yangjauh dari cita-cita ajaran Islam.
Padahal, Islam sebagai agama, seperti ditunjukkan Nabi
Muhammad, mampu melakukan transformasi sosial masyarakat
Arab, sementara Islam sebagai agama yang dipeluk umat Islam
Indonesia tidak mampu melakukan transformasi, baik secara
vertikal maupun horizontal terhadap umat Islam. Kesenjangan
ini selalu menjadi kegelisahan intelektual Ahmad Dahlan untuk
dicari solusinya (Tamimi, 1990: 5).
Hasil kongkrit dari studinya di Mekah setelah menunaikan
ibadah haji pertama ini, dapat dilihat dalam aktivitas keagamaan
Ahmad Dahlan, misalnya, pembenahan arah kiblat (1897),
masalah pemberian garis shaf untuk shalat (1897), renovasi
pembangunan mushalla Ahmad Dahlan, namun kemudian
dibakar masyarakat (1898) dan perluasan pembangunan dan
pengembangan pesantren milik ayahnya (Sjoeja', dalam Saifullah
dan Musta'in, ed., 1995: 24-43).
Dalam rentang waktu 14 tahun (1889-1903) sampai ia akan
menunaikan ibadah haji kedua, nampaknya fokus aktivitas kajian
Ahmad Dahlan lebih pada tataran purifikasi ajaran Islam.
Metodologi pemahaman yang efektif yang menuju pemikiran
pembaharuan Islam diperolehnya pada pasca melaksanakan
ibadah haji yang kedua (Saifullah, 1990: 29).
Pada haji yang kedua sebagai awal fase kedua dari perjalanan
biografinya, Ahmad Dahlan menemukan metodologi untuk
memahami Islam yang sebenarnya. Pada haji yang kedua ini,
Ahmad Dahlan memasuki usia 34 tahun. Di samping bermaksud
MUHAMMADIYAH 31
Latar Belakang berdiri dan tujuannya
menunaikan haji sebagai pelaksanaan rukun Islam yang kelima
untuk yang kedua kalinya, Ahmad Dahlan juga bermaksud
memperdalam Islam lebih dalam lagi, Karena itu, untuk maksud
kedua ini, setelah selesai menunaikan rukun Islam yang kelima,
ia memutuskan untuk bermukim di Mekah selama 20 bulan.
Selama berada di tanah haram ini, Ahmad Dahlan
memperdalam studi Islam tradisional kepada ulama termasyhur,
baik kepada ulama kelahiran Indonesia maupun ulama setempat
yang telah menjadi syaikh di sana. Misalnya, untuk fikih, ia
berguru kepada KH. Mahful (Tremas, Pacitan, Jawa Timur), KH.
Muhtaram (Banyumas, Jawa Tengah), Syaikh Bafadhal, Syaikh
Sa'id Yamani dan Syaikh Said Babasel; untuk hadits pada Mufti
Syafi'i; untuk ilmu astronomi pada KH. Asy'ari Bawean
(Gresik); dan untuk ilmu qira'ah kepada Syaikh Ali Mukri
(Mekah) (Asrafi, 1983: 25).
Ahmad Dahlan juga membaca karya-karya tokoh pembaharu
Islam kontemporer dari Timur Tengah, misalnya Ibn Taimiyah,
Ibn Qayyim, Muh. ibn. Abd. Wahab, Jamaluddin al-Afghani,
Muhammad Abduh, Muh. Rasyidi Ridha, Farid Wadjdi dan
Rahmatullah al-Hindi (Salam, 1968: 8). Dalam menelaah kitab-
kitab tersebut, Ahmad Dahlan menggunakan metode
perbandingan dan mendiskusikannya dengan ulama lokal dan
internasional, antara lain: Syaikh Ahmad Khatib al-
Minangkabawi, Syaikh Ahmad Nawawi al-Bantani, KH. Mas
Abdullah dari Surabaya dan KH. Faqih Maskumambang dari
Gresik (Tamimi, 1990: 45).
Adapun tokoh perubahan kontemporer yang pernah diajak
diskusi dengan Ahmad Dahlan adalah Muhammad Rasyid Ridha,
seorang tokoh pembaharu Islam ternama waktu itu. Ahmad
Dahlan bisa berdiskusi dengan Ridha karena waktu itu sedang
berada di Mekah. Pertemuan langka ini berkat jasa keponakan
Ahmad Dahlan sendiri yang sejak tahun 1890 menjadi mukimin
di Mekah. Kedua tokoh ini terlibat intens dalam mendiskusikan
kondisi umat Islam yang terpuruk (Hadikusuma, t.th.: 66; dan
Tamimi, 1990: 6).
Diskusi secara intens yang dilakukan dengan tokoh-tokoh
tersebut, baik langsung maupun melalui karya-karya mereka,
banyak memberikan wawasan keislaman Ahmad Dahlan untuk
32 STUDI KEMUHAMMADIYAHAN
menjawab kegelisahannya tentang praktek keislaman masyarakat
muslim Indonesia. Di sinilah, nampak secara signifikan pengaruh
pembaharuan Timur Tengah terhadap diri Ahmad Dahlan.
Seperti yang dikemukakan oleh pembaharu, untuk keluar dari
krisis yang melanda dunia Islam, umat Islam harus kembali
kepada Al-Qur'an dan al-Sunnah al-Maqbulah. Pemahaman
terhadap kedua sumber ajaran Islam ini, menurut Ahmad Dahlan,
penggunaan akal dan hati menjadi sesuatu yang tidak bisa
ditolak. Dengan cara demikian, akan ditemukan Islam yang
sebenar-benarnya (Tamimi, 1990: 6). Pemahaman seperti ini
yang membuat seorang Mas Mansur terkesan terhadap cara
Ahmad Dahlan yang selama ini jarang ia temukan dilakukan
oleh ulama zamannya (Saifullah, 1997: 31).
Untuk mewujudkan obsesinya tentang masa depan Islam
Indonesia, Ahmad Dahlan berpendapat perlunya rekonstruksi
menyeluruh atas masyarakat muslim Indonesia, mulai etos kerja,
keilmuan sampai metodologi pemahaman Islam yang tepat.
Untuk rekonstruksi yang terakhir ini merupakan persoalan yang
paling mendasar dan strategis untuk diperbaiki oleh karena
metodologi pemahaman Islam mempunyai implikasi yang jauh
dalam perilaku keagamaan umat Islam dalam menjawab
tantangan modernitas.
Maksud rekonstruksi di atas, Ahmad Dahlan mengajukan
metodologi pemahaman yang rasional-fungsional. Rasional
adalah menelaah sumber utama ajaran Islam dengan kebebasan
akal pikiran dan kejernihan akal nurani (hati), sekaligus
membiarkan al-Qur'an berbicara tentang dirinya sendiri. Adapun
yang dimaksud dengan fungsional dalam konteks pemahaman
Ahmad Dahlan adalah keharusan merumuskan pemahaman ke
dalam bentuk aksl sosial. Artinya pemahaman ayat-ayat al-
Qur'an harus bisa mentransformasikan kondisi riil masyarakat
menjadi lebih baik (Saifullah, 1997: 33). Metode seperti ini
sangat dikagumi Ahmad Syafi'i Ma'arif, ketua PP
Muhammadiyah periode 2000-2004 (Ma'arif, dalam Amir
Hamzah, 1986: xxii-xxiii).
Model pemahaman Ahmad Dahlan dalam memahami Islam
yang langsung merujuk kepada sumber ajaran Islam (al-Qur'an
dan Sunnah), merupakan metode yang masih asing, oleh karena
MUHAMMADIYAH 33
Latar Belakang berdiri dan tujuannya
para ulama Indonesia waktu itu dalam memahami Islam
langsung merajuk kepada kitab madzhab tertentu. Cara seperti
ini, jelas membuat ajaran Islam yang dirumuskan mengandung
bias, oleh karena kitab-kitab yang dirujuk itu ditulis bukan untuk
seluruh negeri muslim, bahkan rumusan ajaran Islamnya banyak
dipengaruhi situasi sosial penulisnya.
Berdasarkan kajian atas al-Qur'an secara tematik dan
telaahnya atas karya dan tulisan pembaharu Islam kontemporer,
Ahmad Dahlan berkesimpulan bahwa hakikat Islam itu adalah
konsepsi hidup yang dalam bahasa al-Qur'an disebut risalah
Allah. Tujuan Allah memberikan konsepsi Islam ini bagi
manusia sebagai konsekuensi bahwa Allah menciptakan manusia
di dunia ini secara serius, mempunyai tujuan tertentu dan tidak
main-main. Melalui risalah itu, Allah memberikan pesan-pesan
ilahiyah kepada manusia untuk dijadikan sebagai pedoman
dalam mempola hidup dan kehidupannya di dunia ini sesuai
dengan yang dikehendaki-Nya. Dengan berpedoman pada risalah
ini, Nabi Muhammad mampu membawa masyarakat Arab
menuju masyarakat yang berperadaban (Tamimi, 1990: 5).
Risslah Islam memberikan pedoman kepada manusia tentang
cara beribadah kepada Allah sepanjang hayat di dunia ini. Itu
sebabnya, tujuan Muhammadiyah didirikan, seperti yang
tertuang dalam Anggaran Dasar pada awal berdirinya, adalah
mewujudkan dan menggembirakan kehidupan sepanjang
kemauan ajaran Islam kepada lid-lid (anggota-anggotanya).
Hakikat risalah yang dipahami Ahmad Dahlan tersebut menuntut
pengamalan kongkrit.
Karena Islam sebagai konsepsi hidup, maka pengamalan
risalah tidak cukup untuk seorang diri, tetapi diharuskan untuk
disampaikan kepada masyarakat. Dengan demikian, kehadiran
Islam akan bisa dirasakan secara nyata oleh masyarakat. Untuk
itu, diperlukan organisasi atau institusi sebagai alat perjuangan
yang mampu mengorganisasi secara efesien, yang oleh Ahmad
Dahlan institusi ini diberi nama Muhammadiyah. (QS. Ali
'Imran/3:104). Jadi, Muhammadiyah merupakan alat semata
yang dirasa sangat efektif untuk menerjemahkan dan
membumikan ajaran Islam kepada masyarakat (Tamimi, 1990:5-
6).
34 STUDI KEMUHAMMADIYAHAN
MenurutA. Mukti Ali, Ahmad Dahlan mencita-citakan
masyarakat sebagaimana halnya Muh. Abduh dan Ahmad Khan,
yaitu ingin membentuk masyarakat sekarang ini dengan
mengislamkan aspek-aspek kehidupan yang belum Islam.
Nampak bahwa Ahmad Dahlan mempunyai visi ke depan
tentang masyarakat muslim Indonesia. Masyarakat yang akan
dibangun tidak seperti masyarakat klasik, juga tidak masyarakat
barn sama sekali, tetapi melalui Muhammadiyah ini, Ahmad
Dahlan ingin menggembirakan umat Islam Indonesia untuk
beramal dan berbakti sesuai dengan ajaran Islam. Karena itu,
Ahmad Dahlan menemukan indikasi-indikasi aspek yang belum
Islam antara lain adalah dalam sistem pendidikan. Dalam sistem
pendidikan yang ingin dikembangkan oleh Ahmad Dahlan
adalah sistem model Barat dan pesantren. Melalui model
pendidikan ini, umat Islam tidak hanya mempunyai ghirrah
keislaman, tetapi juga wawasan kontemporer. Ahmad Dahlan
juga mempunyai perhatian khusus tentang masa depan wanita.
Dalam hal ini, menurut Ahmad Dahlan, wanita harus diberi
kesempatan seluas-luasnya untuk memasuki dunia pendidikan
(Ali, dalam Sujarwanto, 1990: 338-350).
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa setelah
menunaikan ibadah haji pertama dan kedua, Ahmad Dahlan
mempunyai obsesi besar tentang masa depan Islam yang mampu
membebaskan masyarakat seperti yang diperankan Rasulullah
dan para salafiyun. Islam harus dipahami dari sumber utamanya,
yaitu al-Qur'an dan al-Sunnah. Dalam memahami sumber ajaran
Islam, Ahmad Dahlan mengajukan metodologi pemahaman yang
rasional-fungsional. Untuk keperluan ini, digunakanlah akal
pikiran yang bebas dan akal nurani yang jernih serta membiarkan
al-Qur'an berbicara sendiri dalam memecahkan problem. Dalam
perspektif pemahaman ini, pemahaman terhadap ayat al-Qur'an
tidak sekedar pada tataran kognifnif, tetapi menuntut aktualisasi
nyata sehingga masyarakat dapat merasakan perubahan yang
lebih baik. Dengan cara demikian, risalah Islam sebagai hudan
dan rahmat lial-'alamm terjadi di dalam masyarakat.
MUHAMMADIYAH 35
Latar Belakang berdiri dan tujuannya
B. Realitas Sosio-Agama di Indonesia
1. Keberadaan Umat Islam
Dalam pandangan Ahmad Dahlan, Islam sebagai agama
maupun Islam sebagai tradisi pemikiran yang terjadi di
Indonesia boleh dikatakan macet total. Islam sebagai agama
di Indonesia menurut Ahmad Dahlan tidak mampu
membawa dan mendorong umat Islam Indonesia menjadi
masyarakat yang dinamis, maju, dan modern. Padahal, bila
dilaeak dalam sejarah, khususnya yang diperankan
Rasulullah dan para salafiyun, Islam mampu mengantarkan
umat Islam menuju masyarakat dengan peradaban kelas
tinggi. Kemacetan dalam tubuh umat Islam Indonesia terjadi
tidak hanya pada Islam sebagai agama saja, tetapi Islam
sebagai tradisi pemikiran juga mengalami kemacetan.
Islam sebagai agama, ajaran-ajarannya banyak
dipengaruhi oleh budaya lokal yang sebelumnya memang
telah berkembang di Indonesia. Banyak praktek-praktek
keagamaan yang tidak lagi didasarkan kepada sumber utama
Islam, yakni al-Qur'an dan al-Sunnah al-Maqbulah. Pola
pemahaman keislaman umat Islam Indonesia hanya dibatasi
pada madzhab tertentu. Akibat dari kondisikondisi demikian,
muncul pengamalan ajaran Islam yang bid'ah, khurafat, dan
takhayyul.
Realitas Islam sebagai agama dan Islam sebagai tradisi
pemikiran di Indonesia yang mengalami kemacetan di atas
ikut mempengaruhi latar belakang kelahiran
Muhammadiyah. Karena itu, telaah realitas sosio-agama
Islam di Indonesia dibutuhkan untuk menjelaskan tentang
maksud Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah.
Sebelum kehadiran Islam, penduduk Nusantara
mempunyai tiga kepercayaan, yaitu dinamisme, animisme,
dan totemisme. Dinamisme muncul dalam bentuk adanya
kepercayaan bahwa setiap benda yang ada, seperti sungai
yang mengalir, air bah, matahari, pohon beringin, gunung-
gunung yang tinggi dan sebagainya mempunyai kekuatan
ghaib. Sedang animisme adalah kepercayaan tentang arwah
nenek moyang mereka. Arwah mereka pada suatu saat masih
36 STUDI KEMUHAMMADIYAHAN
akan menjumpamya. Adapun totemisme adalah kepercayaan
tentang adanya orang yang telah meninggal yang kemudian
menjelma menjadi harimau, babi, dan sebagainya yang
kesemuanya itu diyakini sebagai penjelmaan orang yang
baru meninggal dunia. Dinamisme, animisme, dan
totemisme ini dalam banyak hal senafas dengan pandangan
Hindu dan Budha yang belakangan masuk ke Indonesia
(Saifullah, 1997: 37-38).
Pengaruh agama Hindu dan Budha terhadap masyarakat
Indonesia sangat kental, khususnya masyarakat Jawa tempat
Muhammadiyah didirikan. Hindu dengan kekuatan
politiknya telah menanamkan akar-akar kebudayaannya ke
dalam masyarakat Jawa. Bahkan dalam tingkat tertentu
agama Hindu menjadi agama kerajaan, dan kerajaan
Mataram (Yogyakarta dan Surakarta) merupakan kerajaan
yang paling dalam terkena pengaruh Hindu (Benda, dalam
Abdullah, 1974; 35-36). Dalam rentang waktu 7 (tujuh)
abad, dari abad XIII sampai akhir abad XIX, proses masuk
dan berkembangnya Islam di Jawa mengalami dialog
pergumulan budaya yang panjang. Corak Islam yang murni
tersebut mengalami akulturasi dengan kebudayaan Jawa dan
singkretisasi dengan kepercayaan pra-Islam atau Hindu.
Tradisi Hindu tidak dikikis habis, padahal dalam beberapa
hal tradisi tersebut bertentangan dengan paham
monoteismeyang' dibawa Islam.Tindakan yang dilakukan
oleh para wah', ag-aknya merupakan pilihan yang terbaik.
Tanpa berbuat demikian, seperti dikatakan Benda,
kemungkinan sekali Islam tidak akan menemukan tempatnya
di Nusantara (Benda, dalam Abdullah,1974:41).
Bila dicermati, para wait dalam mengislamkan Jawa
dilakukan dengan mengg-unakan dua pola. Pola pertama,
melalui pengg-unaan lambang-lambang- dan simbol budaya
Jawa. Dalam pola ini, para wali langsung ke daerah-daerah
pedesaan dengan menggunakan metode akulturasi dan
singkretisasi. Cara demikian ditempuh karena
memperhatikan situasi waktu itu. Pilihan itu ditempuh
dengan maksud memperoleh dua sasaran, yaitu menjinakkan
objek yang menjadi sasaran sekaligus Islam menjinakkan
MUHAMMADIYAH 37
Latar Belakang berdiri dan tujuannya
dirinya sendiri. Dengan penjinakan model demikian, muncul
Islam dengan corak tersendiri, yang oleh Hamka disebut
dengan Islam yang memuja kubur, wali, dan sebagainya
(Hamka, 1983:237). Corak Islam yang demikian biasa
disebut dengan Islam kejawen, yaitu pengamalan dengan
cara melakukan sinkretisasi antara Islam tarekat dan
kepercayaan Hindu. Dalam prakteknya, penganut Islam
kejawen ini biasanya mengaku Islam tetapi tidak
menjalankan ritual-ritual Islam, ritualnya cukup eling saja.
Dalam bidang kepercayaan dan ibadah, muatannya
menjadi khurafat dan bid'ah. Khzurafat adalah kepercayaan
tanpa pedoman yang sah dan al-Qur'an dan Sunnah, hanya
ikut-ikutan orang tua atau nenek moyang. Sedangkan bid'ah
biasanya muncul karena ingin memperbanyak ritual tetapi
pengetahuan Islamnya kurang luas, sehingga yang dilakukan
adalah sebenarnya bukan bersumber pada ajaran Islam,
Bentuk khurafat misalnya, mohon kepada yang mbaurekso,
sementara contoh bentuk bid'ah adalah selamatan dengan
kenduri dan tahlil yang menggunakan lafal Islam (Majlis
Pustaka, 1993:13). Selamatan dalam tradisi Jawa adalah
suatu upacara kultural untuk memenuhi suatu hajat yang
berhubungan dengan suatu kejadian yang ingin diperingati.
Maksud upacara ini adalah agar kelak mereka yang
mengadakan selamatan atau yang diselamati itu menjadi
selamat (Saifullah, 1997: 41).
Masyarakat Jawa pada umumnya menggunakan upacara
selamatan dalam berbagai peristiwa, seperti kelahiran,
khitan, perkawinan, kematian, pindah rumah, panen, ganti
nama, dan sejenisnya. Namun, di antara macam-macam
selamatan itu yang paling menonjol adalah selamatan
kematian, yang terdiri dari tiga hari, empat puluh hari,
seratus hari. pendak pisan, pendak pindo nyewu (seribu) dan
khaul. Selamatan ini selalu diiringi dengan membaca tahlil
sebagai cara mengirim doa kepada si mayit. Prosesi tahlilan
ini dimulai dengan membaca Surah al-Fatihah kepada
keluarga Nabi dan sahabatnya, dilanjutkan dengan Surah al-
Ikhlas tiga kali, al-Falaq, al-Nas, al-Fatihah kembali,
permulaan Surah al-Baqarah, ayat kursi, beberapa doa dari
38 STUDI KEMUHAMMADIYAHAN
ayat al-Qur'an, kemudian membaca dzikir, istighfar, tasbih
dalam jumlah tertentu, dan diakhiri dengan doa yaag
dibacakan oleh pemimpin tahlilan (Saifullah, 1997:32).
Bentuk khurafat lain yang biasa dilakukan orang Jawa
adalah penghormatan kuburan orang-orang suci. Bentuknya
bisa berziarah ke kuburan sambil meminta do'a restu atau
pertolongan dari ruh orang yang telah meninggal dunia.
Islam mengajarkan cara berziarah ini dengan dua sasaran,
yaitu: (1) mendoakan orang yang sudah meninggal, dan (2)
menyadarkan orang yang berziarah bahwa kelak mereka
demikian, dalam. pelaksanaan ziarah sering dilakukan
dengan meminta pertolongan kepada orang yang telah
meninggal dunia. Bila ini yang dikerjakan, maka cara
demikian sudah di luar yang diajarkan tentang ziarah dalam
Islam. Inilah bentuk sinkretisme dalam masyarakat Jawa.
Ada juga sinkretisme yang berkembang, misalnyajimat. Di
kalangan Kraton, benda-benda pusaka dianggap mempunyai
kekuatan ghaib yang mampu melindungi. Di pedesaan,
biasanya benda-benda tersebut dianggap mempunyai daya
ghaib meskipun dia beragama Islam (Saifullah, 1997: 42).
Dakwah dengan pendekatan akulturasi dan sinkretisme
memang cepat memberi daya tarik tersendiri bagi
masyarakat yang sebelumnya kental dengan budaya Hindu-
Budha. Memang secara kuantitatif bertambah, sehingga
jumlah penduduk yang beragama Islam bertambah dan
menjadi mayoritas di Jawa. Namun, seeara kualitatif,
intensitas beribadah mereka masih kurang mantap.
A. Rifa'i, seperti dikutip Majlis Pustaka (1993: 13-14),
menyimpulkan bahwa pengamalan Islam yang dilakukan
orang Jawa banyak yang menyimpang dari ajaran aqidah
Islamiyah dan harus diluruskan. Akibat dari praktek-praktek
ini, ajaran Islam tidak murni, tidak beriungsi sebagaimana
mestinya, dalam arti tidak memberikan manfaat kepada
pemeluknya.
Realitas sosio-agama yang dipraktekkan masyarakat
inilah yang mendorong Ahmad Dahlan mendirikan
Muhammadiyah. Namun, gerakan pemurniannya baru
dilakukan pada tahun 1916, empafc tahun setelah
MUHAMMADIYAH 39
Latar Belakang berdiri dan tujuannya
Muhammadiyah berdiri, saat Muhammadiyah mulai
berkembang ke luar kota Yogyakarta. Dalam konteks realitas
sosio-agama ini, tidaklah berlebihan apa yang dikatakan oleh
Munawir Sjadzali (1995), bahwa Muhammadiyah adalah
gerakan pemurnian yang menginginkan pembersihan Islam
dari semua unsur sinkretis dan daki-daki tidak Islami
lamnya.
C. Realitas Sosio-Pendidikan
Ada dua sistem pendidikan yang berkembang di Indonesia,
yaitu pendidikan pesantren dan pendidikan Barat. Pendidikan
yang disebut pertama ini mengajarkan studi keislaman
tradisional, misalnya ilmu kalam, ilmu fikih, tasawuf, bahasa
Arab berikut variasinya, ilmu hadits, ilmu fcafsir, dan lain-lain.
Studi ini banyak diminati orang-orang yang dalam kategori
Geertz disebut dengan santri. Proses belajar-mengajar di
lembaga pendidikan ini juga masih tradisional. Banyak alumni
lembaga pendidikan ini memiliki pola pikir yang menjauh dari
perkembangan modern. Pandangan Ahmad Dahlan; ada problem
mendasar berkaitan dengan lembaga pendidikan di kalangan
umat Islam, khususnya lembaga pendidikan pesantren. Problem
itu berkaitan dengan proses belajar-mengajar, kurikulum, dan
materi pendidikan. Dalam proses belajar mengajar, sistem yang
dipakai masih menggimakan sorogan dan weton, guru dianggap
sehagai sumber kebenaran yang tidak boleh dikritisi. Kondisi ini
membuat pengajaran nampak tidak demokratis. Fasilitas-fasilitas
modern yang sebetulnya baik untuk digunakan dilarang untuk
MUHAMMADIYAH 43
Latar Belakang berdiri dan tujuannya
dipakai karena menyamai orang kafir. Umat Islam waktu itu
mengganggap bahwa hal yang sama dengan orang kafir, maka ia
termasuk golongan kafir juga.
Sedangkan materi dan kurikulum yang disajikan masih
berkisar pada studi Islam klasik, misalnya; fikih, tasawuf, teologi
atau ilmu kalam, dan sejenisnya. Ilmu-ilmu ini wajib syar'i untuk
dipelajari. Sementara ilmu modern tidak diajarkan karena itmu
itu termasuk ilmu Barat yang haram hukumnya bagi orang Islam
untuk mempelajari. Ilmu-ilmu selain studi Islam klasik tersebut
dianggap bukan ilmu Islam. Oleh karena itu, hukumnya tidak
wajib untuk dipelajari (ghair al-syar'-iyah). Padahal, kalau
diteliti, ilmu-ilmu yang berkembang di Barat itu merupakan
pengembangan lebih lanjut dari ilmu yang sudah dikembangkan
oleh Islam pada saat zaman keemasan Islam.
Sementara itu, pendidikan yang disebut kedua hanya
mengajarkan ilmu-ilmu yang diajarkan di dunia Barat. Metode
pengajaran sudah menggimakan metode modern. Pendidikan
yang diselenggarakan oleh pemerintah kolonial ini tidak
mengajarkan iimu-ilmu yang diajarkan di pesantren. Kebanyakan
siswa yang bisa masuk dalam pendidikan yang disebut terakhir
ini adalah orang-orang yang dalam kategori Geertz disebut
dengan abangan.
Pendidikan Barat ini dikelola pemerintah kolonial di Jawa.
Dalam pendidikan ini, materi yang diajarkan seperti materi yang
diajarkan di Eropa. Lembaga pendidikan yang dikelola
pemerintah ini disebut pendidikan umum (Koentjaraningrat,
1984:69). Lembaga pendidikan ini didirikan lebih dimaksudkan
sebagai upaya untuk mencetak kader pribumi untuk menjadi
pegawai pemerintah kolonial. Siswa-siswa yang belajar di
pendidikan Barat ini adalah siswa yang berlatar belakang
abangan. Dengan masuknya siswa dengan latar belakang ini,
diharapkan alumni yang nanti menjadi pegawai pemerintah tidak
melakukan perlawanan (Said dan Mansur, 1959 : 46).
Pemerintah kolonial Belanda mendirikan pendidikan sekolah
umum pertama kali di Batavia pada tahun 1617, namun
dikhususkan bagi anak-anak Belanda. Sedangkan sekolah bagi
anak-anak orang Jawa baru didirikan pada tahun 1849. Meski
demikian, pada awal dibolehkannya orang Jawa memasuki
44 STUDI KEMUHAMMADIYAHAN
pendidikan Barat, dalam kenyataannya sangat sedikit sekali yang
bisa masuk di dalamnya. Sedikitnya siswa dari orang Jawa ini
karena persyaratan yang diajukan sulit dipenuhi, misalnya;
pemerintah kolonia! mempertimbangkan latar belakang keluarga
calon murid, status sosial orang tua murid dalam masyarakat,
keadaan lingkungan keluarga calon murid, uang sekolah dan
penguasaan bahasa Belanda (Saifullah, 1997: 49; Arifin, 1987;
94).
Pada tahun 1848, muncul gagasan untnk meningkatkan
kualitas dan kuantitas pendidikan bagi pribumi. Para Gubernur
diinstruksikan untuk mendorong berdirinya sekolah-sekolah
pribumi. Namun, dalam prakteknya, sekolah-sekolah yang
dibangun mayoritas dipenuhi oleh orang Eropa, dan kalaupun
ada yang lain, siswa-siswa itu berasal dari keluarga dengan latar
belakang Kristen. Bahkan banyak lembaga pendidikan yang
dimaksudkan untuk mempersiapkan tenaga-tenaga yang akan
bekerja di kantor dan perkebunan pemerintah kolonial Belanda
(Arifin, 1987: 195).
Pada tahun 1864, pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan
peraturan baru tentang kebolehan putra-putri bupati untuk
memasuki dunia pendidikan yang dikelola pemerintah.
Kemudian diangkat penilik sekolah yang dimaksudkan untuk
mengawasi siswa-siswanya. Agar pengawasan ini bisa efektif,
maka pada tahun 1867 dibentuk departemen khusus pendidikan
(Arifin, 1987: 195).
Pada tahun 1871, kebijakan pemerintah kolonial Belanda
tentang pendidikan, ditetapkan bahwa jumlah sekolah guru perlu
ditambah; sekolah tingkat dasar terutama ditujukan untuk
mendidik putra-putri bangsawan; jumlah sekolah dasar perlu
ditambah; pengajarannya dengan menggunakan bahasa daerah
setempat (Melayu); pelajaran-pelajaran dasar yang diajarkan,
selain membaca dan menulis, adalah berhitung, ilmu bumi,
sejarah, ilmu alam, ilmu hayat, pertanian, menggambar,
menyanyi, dan bahasa Belanda; biaya sekolah dikurangi karena
ada subsidi pemerintah; dan pendidikan ini bersifat sekuler,
karena agama tidak diajarkan sebagai mata pelajaran pada
sekolah pemerintah (Saifullah, 1997 : 51).
MUHAMMADIYAH 45
Latar Belakang berdiri dan tujuannya
Sejak tahun 1889, pemerintah kolonial Belanda mengubah
kebijakan tentang pendidikan, khususnya setelah terjadinya
pergantian penasihat urusan Islam dan pribumi di Indonesia dan
K.F. Holle ke C. Snouck Hurgronje. Kebijakan Snouck dalam
persoalan pendidikan dapat dipilah menjadi dua, yaitu politik
asosiasi dan politik etis. Politik asosiasi adalah bagian dari
politik de-Islamisasi Belanda yang diciptakan oleh Snouck, yang
dilakukan dengan cara mendirikan banyak sekolah yang
bertujuan menjauhkan siswa-siswa Muslim dari keyakinan
agama Islam. Politik ini menyangkut perhubungan peradaban
antara yang memerintah dan yang diperintah. Anak-anak Islam
diberikan pendidikan Barat yang-menjauhkan mereka dari
agamanya, sehingga terlepas dari gengg-aman Islam. Snouck
yakin bahwa bilamana politik ini berhasil, tidak akan ada lagi
yang menyusahkan pemerintah dalam hubungannya dengan
kaum Muslimin (Saifullah, 1997: 51). MenurutAkib Suminto,
politik asosiasi ini harus dilihat dalam konteks memperkokoh
dan pelestarian penjajahan yang dilakukan kolonial Belanda di
bumi Indonesia (Suminto, 1985: 41-42).
Sedang yang dimaksud dengan politik etis adalah kebijakan
pemerintah kolonial Belanda untukbalas budi kepada yang
dijajah. Di sini, kebijakan yang' dikedepankan lebih bermuatan
etika, yaitu ingin menolong. Folitik etis ini muncul ke
permukaan setelah pada tahun 1901 Ratu Wilhelmina
menyampaikan tentang periunya pemerintah kolonial
mempunyai tanggung jawab moral atas pendidikan rakyat di
Hindia Belanda. Namun dalam pelaksanaannya, politik ini
bertujuan menghantam sistem pendidikan pesantren.
Latar belakang politik ini bermula dari perekonomian
Belanda yang menunjukkan kemajuan setelah menguras sumber
daya alam Indonesia. Sumber daya alam yang diambil melalui
sistem kerja paksa dengan cara tidak manusiawi ini diolah
sedemikian rupa sehingga menghasilkan produk-produk bernilai
tinggi. Namun, Belanda mempunyai problem tentang pasar dari
produk-produknya. Dalam analisisnya, Belanda melihat bahwa
Indonesia sebagai negara jajahan mempunyai potensi yang besar
sebagai pasar dari produk-produk Belanda. Di pihak lain, daya
belt rakyat Indonesia sangat rendah akibat pembodohan yang
46 STUDI KEMUHAMMADIYAHAN
dilakukan oleh pemerintah Belanda sendiri. Untuk itu, harus ada
upaya peningkatan pendidikan untuk meningkatkan daya belt mi
(Saifullah, 1997: 52).
Politik etis baru berjalan secara efektif, setelah Menteri
Urusan Tanah Jajahan dijabat oleh D. Fock menggantikan A.W
K. Idenburg pada tahun 1905. D. Fock tampaknya banyak
dipengaruhi oleh Hurgronje. Baginya, untuk mengikis peran
pesantren, diperlukan pendidikan model Barat bagi pribumi
kalangan atas, sehingga pengaruh budaya Barat akan dapat
menetralisasi peran pesantren melalui westernisasi dan
sekularisasi. Tidak hanya westernisasi dan sekularisasi yang
dikembangkan, tapi juga kristenisasi digalakkan melalui lembaga
pendidikan. Kristenisasi melalui dunia pendidikan ini digagas
oleh Idenburg ketika menjabat kembali sebagai Menteri Urusan
Tanah Jajahan setelah partainya "Partai Liberal" berkoalisasi
dengan "Partai Kristen" memenangkan di Parlemen Belanda
(Sutherland, 1983: 86).
Pada tahun 1914 didirikan Hollandsch Inlandsche School
(HIS), yang sebetulnya merupakan perubahan dari sekolah kelas
tiga, empat dan lima. Pada tahun yang sama didirikan sekolah
lanjutan tingkat pertama, yaitu Meer Uitgebreid Lager Onderwijs
(MULO) dan sekolah guru yang disebut Normaal School, yang
menerima murid dari lulusan sekolah kelas sebelumnya yang
lebih rendah tingkatnya. Berdiri pula sekolah lanjutan tingkat
atas yang disebut dengan Algemeene Middlebare School (AMS).
Kemudian berdiri sekolah tinggi kedokteran, teknik dan hukum
(Benda, 1980: 80).
Sekolah-sekolah yang didirikan oleh kolonial Belanda di atas,
diselenggarakan sangat sekuler, dalam arti pelajaran agama atau
semangat agama tidak diberikan. Bahkan pelajaran umum,
misalnya sejarah dan ilmu bumi, bermuatan Belanda sentris,
terlepas dari kebudayaan Indonesia. Akibatnya, sekolah-sekolah
tersebut merupakan masyarakat sendiri yang terlepas dari
kehidupan batin bangsa Indonesia. Sekolah-sekolah itu
melahirkan golongan baru yang disebut golongan intelek.
Golongan ini umumnya berpandangan negatifterhadap Islam,
dan alam pikirannya tercerabut dari bangsanya sendiri. Inilah
hasil dari politik asosiasi Hurgronje dan poilitik etis Van
MUHAMMADIYAH 47
Latar Belakang berdiri dan tujuannya
Deventer. Bahkan alumni sekolah-sekolah ini menjadi antek-
antek Belanda (Tamimi, 1990: 9).
Kondisi internal pendidikan pesantren di satu pihak, model
penyelenggaraan, karakter, dan produk alumni model pendidikan
ala Barat di pihak lain, seperti dijelaskan di atas, mendorong
Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah. Melalui
Muhammadiyah, Ahmad Dahlan ingin mendirikan lembaga
pendidikan yang mengajarkan yang memadukan dua karakter
dari dua model lembaga pendidikan yang berkembang waktu itu,
yaitu mengajarkan semangat Islam dan semangat modern.
Dengan demikian, umat Islam tidak hanya fasih berbicara
tentang Islam, seperti alumni pesantren, tetapi juga berwawasan
luas tentang perkembangan modern.
Seperti dituturkan oleh Umniyah A. Wardi (Amir, 1985 : 70-
71), murid langsung Ahmad Dahlan, bahwa Ahmad Dahlan
mempunyai cita-cita pendidikan yang akan dibangun nanti
melahirkan ulama Kyai yang maju, dan jangan mengenal lelah
dalam bekerja untuk Muhammadiyah (dadiyo Kyai sing
kemajuan, lan aja kesel-kesel anggonmu nyambut gawe kanggo
Muhammadiyah). Ulama yang maju adalah ulama yang dapat
mengikuti perkembangan zaman. Untuk itu, ulama harus
melengkapi dirinya dengan ilmu pengetahuan, di samping ilmu
agama yang dimiliki. Adapun yang dimaksud dengan ungkapan
bekerja untuk Muhammadiyah dalam pernyataan Ahmad Dahlan
adalah bekerja untuk masyarakat luas karena Muhammadiyah
waktu itu bertujuan memperbaiki kondisi masyarakat
berdasarkan agama Islam.
48 STUDI KEMUHAMMADIYAHAN
hanya strategi semata untuk mengelabuhi umat Islam agar umat
Islam bisa menerima kehadirannya sebagai penjajah. Bahkan
justru sebaliknya, untuk maksud kehadirannya, pemerintah
Hindia Belanda harus membuat kebijakan tertentu yang bisa
secara efektif mencegah perlawanan umat Islam terhadap
penjajah.
Kebohongan publik itu harus dilakukan karena pemerintah
Hindia Belanda mempunyai kepentingan untuk melanggengkan
eksistensi kolonialismenya di bumi Nusantara ini selama
mungkin, sementara pemerintah Hindia Belanda menyadari
bahwa negara yang dijajah mi adalah masyarakat Indonesia,
yang mayoritas beragama Islam. Karena itu, bila tidak
melakukan kebohongan publik, eksistensi sebagai penjajah tidak
berlangsung lama. Dari sini, Belanda mulai menerapkan
kebijakan-kebijakan politik yang dapat menurunkan semangat
perlawanan yang diyakini bersumberkan dari ajaran, yakni ajaran
Islam. Asumsi pemerintah kolonial di atas tidak salah oleh
karena dalam tataran empiris, perlawanan penduduk terhadap
kolonial, seperti perang Paderi (1821), perang Diponegoro
(1825-1830), perang Aceh (1873-1903), dan lain-lain, tidak lepas
dari ajaran Islam (Suminto, 1985: 9). Islam sering tampil sebagai
simbol perlawanan terhadap pemerintah asing yang dinilainya
kafir. Dengan kenyataan tersebut, pemerintah kolonial Belanda
melihat bahwa keberhasilan menguasai masalah Islam
merupakan faktor kunci untuk tetap bisa eksis sebagai penjajah
(Suminto, 1989:345).
Setidaknya dapat dibagi menjadi dua periode dalam melihat
politik Islam Hindia Belanda. Pertama, periode sebelum
kedatangan Snouck Hurgronje dan kedua, periode setelah
Snouck Hurgronje manjadi penasehat Belanda untuk urusan
Pribumi di Indonesia.
Periode pertama, Belanda hanya berprinsip agar penduduk
Indonesia yang beragama Islam tidak membrontak. Untuk
memenuhi prinsip ini, Belanda menerapkan dua strategi, di yaitu
pihak, Belanda membuat kebijakan-kebijakan yang sifatnya
membendung, misalnya memantau dan mcmbatasi berbagai
kegiatan pengamalan ajaran Islam, dan di pihak lain, Belanda
melakukan kristenisasi bagi penduduk Indonesia. Dalam
MUHAMMADIYAH 49
Latar Belakang berdiri dan tujuannya
pelarangan pengamalan ajaran Islam, pada periode ini Belanda
tidak membedakan aspek-aspek ajaran Islam mana yang harus
dilarang. Pokoknya, kegiatan-kegiatan keislaman harus
dieliminir sedemikian rupa, sehingga dapat mengurangi
perlawanan.
Di antara pengamalan Islam yang dibatasi Belanda adalah
ibadah haji. Persoalan haji ini oleh pemerintah Hindia Belanda
sangat dibatasi dengan berbagai aturan. Tujuan dari pembatasan
itu sebetulnya untuk mengurangi banyaknya orang Islam yang
akan menunaikan ibadah haji. Pembatasan ini harus dilakukan
didasarkan pada asumsi bahwa orang-orang yang telah
menunaikan ibadah haji diyakini sebagai sumber pusat
perlawanan sehingga semakin banyak yang pergi haji maka
sumber perlawanan semakin banyak (Suminto, 1989: 10).
Meskipun dipersulit, namun hal itu tidak menjadi hambatan
bagi umat Islam untuk menunaikan ibadah haji. Berdasarkan
laporan residen Batavia pada tahun 1825, setiap tahun jumlah
haji terus meningkat (Saifullah, 1997: 57). Hal ini dikarenakan
ibadah haji merupakan suatu rukun yang harus dilaksanakan
sebagai bentuk kesempurnaan Islam seseorang. Oleh karenanya,
betapapun sulitnya, tetapi harus dilaksanakan bagi yang telah
mampu untuk melaksanakan. Pelarangan seperti ini justru kontra
produktif bagi Belanda sendiri karena telah menjadi sumber
pemicu perlawanan terhadap Belanda sebagai penjajah karena
menghalangi kesempurnaan Islam seseorang.
Periode kedua, kebijakan pemerintah Belanda terhadap Islam
banyak mengalami perubahan setelah penasehat urusan pribumi
dijabat oleh Snouck Hurgronje. Dalam hal ini, tidak seluruh
kegiatan pengamalan Islam harus dihalangi, bahkan dalam hal-
hal tertentu harus didukung. Kebijakan ini didasarkan atas
pengalaman Snouck, terutama pengalaman dari kunjungannya ke
Mekah. Dia menetap selama tujuh bulan di sana (Februari hingga
Agustus 1885), dengan menyamar sebagai seorang Muslim
bernama Abdul Ghaffar. Di Mekah, Snouck sebanyak mungkin
bergabung dengan masyarakat Indonesia dan mempelajari
banyak hal mengenai lembaga dan kegiatan keagamaan mereka
(Shihab, 1998: 83; Bakri, 1990; 52).
50 STUDI KEMUHAMMADIYAHAN
Secara umum, kebijakan Islam yang disarankan Hurgronje
didasarkan atas tiga prinsip utama (Shihab, 1998: 85-S7).
Pertama, dalam semua masalah ritual keagamaan, misalnya
ibadah, rakyat Indonesia harus dibiarkan bebas menjalankannya.
Logika dibalik kebijakan ini adalah membiarkan munculnya
keyakinan dalam pikiran banyak orang bahwa pemerintah
kolonial tidak ikut campur dalam masalah keimanan mereka. Ini
merupakan wilayah yang peka bagi kaum Muslimin karena hal-
hal itu menyentuh nilai-nilai keagamaan mereka yang paling
dalam. Dengan berbuat demikian, pemerintah akan berhasil
merebut hati banyak kaum Muslim, menjinakkan mereka dan
sejalan dengan itu, akan mengurangi, jika tidak menghilangkan
sama sekali pengaruh perlawanan kaum Muslim fanatik terhadap
pemerintah kolonial.
Prinsip kedua, bahwa sehubungan dengan lembaga-lembaga
sosial Islam, atau aspek mu'amalah dalam Islam, seperti
perkawinan, waris, wakafdan hubungan-hubungan sosial lainnya,
pemerintah harus bempaya mempertahankan dan menghormati
keberadaannya. Meskipun demikian, pemerintah harus berusaha
menarik sebanyak mungkin perhatian orang Indonesia terhadap
berbagai keuntungan yang dapat diraih dari kebudayaan Barat.
Hal itu dilakukan dengan harapan agar mereka bersedia
menggantikan lembaga-Iembaga sosial Islam di atas dengan
lembaga sosial Barat. Diharapkan bahwa perlahan-lahan,
sembari berasosiasi dengan orang Belanda, orang Indonesia akan
menyadari keterbelakangan lembaga-lembaga sosial Islam milik
mereka dan menuntut digantikannya lembaga itu dengan
lembaga-Iembaga sosial model Barat. Dan akhirnya, hubungan
yang lebih erat antara penguasa Belanda dan rakyat Hindia
Belanda akan berkembang dengan sendirinya.
Prinsip ketiga, dan paling penting, bahwa dalam masalah
politik, pemerintah dinasehatkan untuk tidak menoleransi
kegiatan apa pun yang dilakukan oleh kaum Muslimin yang
dapat menyebarkan seruan-seruan Pan-lslamisme atau
menyebabkan perlawanan politik atau bersenjata menentang
pemerintah kolonial Belanda. Pemerintah harus melakukan
kontrol ketat terhadap penyebaran gagasan apa pun yang dapat
membangkitkan semangat kaum Muslim di Indonesia untuk
MUHAMMADIYAH 51
Latar Belakang berdiri dan tujuannya
menentang pemerintah kolonial, Pemaksaan gagasan seperti ini,
akan memunculkan pengaruh aspek-aspek Islam yang bersifat
politik, yang menjadi ancaman terbesar terhadap pemerintahan
kolonial Belanda. Lagi-lagi, dalam hal ini Hurgronje
menekankan pentingnya kebijakan asosiasi kaum Muslim
dengan peradaban Barat. Pendidikan Barat harus dibuat terbuka
bagi rakyat pribumi, agar asosiasi ini berjalan dengan baik dan
tujuannya tercapai. Sebab, hanya dengan penetrasi pendidikan
model Baratlah pengaruh Islam di Indonesia bisa disingkirkan
atau dikurangi.
Visi Hurgronje mengenai Indonesia yang lebih baik, yakni
yang berasosiasi dengan negara induk Belanda secara damai dan
berjangka panjang, memperkuat visi mengenai perlunya
meningkatkan taraf hidup masyarakat Indonesia secara
keseluruhan, yang secara sosial dan kultural ditata menurut
model Barat. Hurgronje tampak berkeyakinan bahwa
peningkatan seperti ini pada akhirnya akan mempersempit jurang
yang makin lebar antara masyarakat Indonesia "yang
terbelakang" dan masyarakat Belanda yang "modern". Setiap
upaya harus diambil untuk menghilangkan jarak kultural ini, agar
kekuasaan Belanda dapat dipertahankan terus secara damai
(Shihab, 1998: 87).
S. Hurgronje sangat menekankan pendidikan Barat terutama
untuk para bangsawan dan kaum aristokrat Indonesia. Mereka
memiliki tingkat kebudayaan yang lebih tinggi dibanding rakyat
pribumi, karena kuatnya pengaruh Barat serta posisi mereka
yang relatif "bersih" dari pengaruh Islam. Para bangsawan dan
aristokrat Indonesia adalah kelompok sosial yang paling cocok
untuk pertama-tama ditarik masuk ke dalam orbit kebudayaan
Barat dan dijadikan sebagai rekanan. Dalam skenario ini, secara
periahan namun pasti, dibayangkan bahwa masyarakat Indonesia
secara keseluruhan, yang berakar kuat pada adat istiadat, akan
mengikuti jalan yang ditempuh oleh para pemimpin tradisional
mereka, yakni kelompok aristokrat dan bangsawan. Hal ini
didasarkan atas hasil observasi Hnrgronje bahwa sebagian besar
rakyat lebih dipengaruhi oleh tradisi-tradisi lokal dibandingkan
dengan pengaruh Islam, dan bahwa kelompok bangsawan
tampaknya memiliki wewenang dan pengaruh lebih besar
52 STUDI KEMUHAMMADIYAHAN
dibandingkan para pemimpin santri. Karena itu, tambah
Hurgronje, para bangsawan Indonesia yang terdidik sebagian
besar adalah kaum Muslim "yang sedang-sedang saja", mereka
akan menjauh dari Islam dan akan memainkan dan
mengantarkan Indonesia menuju dunia model Barat. Pandangan
Snouck ini sangat berpengaruh dan menjadi salah satu alasan
disediakannya berbagai fasilitas pendidikan dalam skala besar-
besaran oleh pemerintah setelah tahun 1900 (Shihab, 1998: 87-
88).
Meskipun cukup sukses, kebijakan Islam yang dirancang
Hurgronje juga menemukan banyak kegagalan. Salah satu
kesalahan Hurgronje adalah pandangan yang menyepelekan
kemampuan Islam sebagai sebuah kekuatan yang dinamis dalam
melakukan reformasi dan modernisasi diri. Pandangan bahwa
Islam di Indonesia dapat direduksi hanya menjadi sebuah agama
ritual saja, yang terpisah dari aspek-aspek sosial dan politiknya,
sepenuhnya keliru. Bahwa keberhasilan modernisasi Islam
disebabkan oleh salah satunya adalah aspek ritualnya, yakni
pelaksanaan ibadah haji ke Mekah, yang dinasehatkan Hurgronje
agar dibiarkan bebas dari campur tangan pemerintah. Ia hanya
menunjukkan kekeliruan pandangan di atas. Padahal ibadah haji
ke Mekah, tempat kaum Muslim dari seluruh dunia saling
berinteraksi dan bertukar gagasan dan pengalaman, adalah
sumber pokok gagasan-gagasan Islam yang modern dan
revolusioner di Indonesia pada abad XX (Shihab, 1998;88).
Pada masa berlangsungnya kebijakan Islam yang dirancang
Hurgronje, Indonesia mengalami serangkaian perubahan sosial
yang penting. Perubahan-perubahan ini tidak disebabkan oleh
para penggagasnya atau merupakan hasil langsung dari sebuah
perencanaan, tetapi sebagian besar berlangsung karena pengaruh
tidak langsung kebijakan di atas. Akibat tidak langsung yang
tidak terduga, tetapi juga sangat penting, adalah muneulnya
sekelompok kecil elit terdidik yang mampu menyuarakan frustasi
massa. Yang mengagetkan Belanda adalah kelompok kecil elit
yang dipengaruhi kebudayaan Barat ini, namun belakangan
tampil sebagai pemimpin gerakan nasionalis yang sadar diri
(Shihab, 1998: 8). Tidak kalah penting adalah tumbuhnya
banyak gerakan modernis yang dipelopori oleh para sarjana
MUHAMMADIYAH 53
Latar Belakang berdiri dan tujuannya
Muslim sebagai respon atas kebijakan kolonial Belanda dalam
bidang pendidikan. Kebijakan dalam bidang pendidikan ini,
menurut partai-partai sosialis Belanda, adalah kebijakan yang
dicirikan oleh "Kristenisasi yang dipaksakan", dan dipandang
merupakan pemanfatan berbagai fasilitas pemerintah untuk
mengkristenkan kaum pribumi dengan diserahkannya
pengelolaan bidang ini kepada sekolah-sekolah misi kristen.
Mereka menekankan bidang pendidikan dalam rangka
menjalankan kebijakan mereka mengenai Islam, pemerintah
kolonial Belanda harus menyerahkan pengelolaan bidang ini
kepada sekolah-sekolah misi untuk mendukung program mereka.
Dalam pandangan pemerintah, pekerjaan memberikan
pendidikan kepada penduduk pribumi adalah pekerjaan yang
sangat besar untuk ditangani sendiri. Karena itu pemerintah
memandang secara bijaksana untuk menerima dengan gembira
dan rasa syukur semua bantuan yang dapat diberikan oleh
sumber-sumber swasta. Penjelasan paling gamblang mengenai
langkah ini adalah pandangan mengenai sekolah-sekolah misi.
Dalam pandangan ini, sekolah-sekolah tersebut dinilai sebagai
sarana yang cocok dan berpengaruh untuk memajukan
masyarakat pribumi. Dengan memberikan subsidi kepada
sekolah-sekolah misi ini, pemerintah dimungkinkan untuk
memberikan layanan pendidikan kepada lingkup masyarakat
yang lebih luas dibandingkanjika mereka mengurusnya sendiri
(Shihab, 1998: 88-89).
Hal di atas juga disebabkan oleh alasan lain yang mungkin
tidak cukup kuat tetapi penting dicatat, yakni terbatasnya dana
pemerintah untuk bidang pendidikan. Membangun sekolah baru
tentunya membutuhkan upaya-upaya yang lebih besar dan dana
yang lebih besar, dibandingkan bila begitu saja mendukung
sekolah missi yang didirikan oleh berbagai masyarakat
missionaris. Meskipun anggaran pemerintah untuk bidang
pendidikan pada periode ini sebenarnya relatifmeningkat, toh
secara keseluruhanjumlahnya tidak besar. Mengingat kenyataan
ini, pemanfaatan lembaga-lembaga seperti ini adalah pilihan
yang masuk akal (Shihab, 1998: 89).
Kebijakan pendidikan ini, yang diletakkan sebagai bagian
integral kebijakan Islam pemerintah kolonial Belanda dan
54 STUDI KEMUHAMMADIYAHAN
dirancang untuk meningkatkan standar intelektual kaum pribumi,
sangat berpengaruh terhadap rakyat. Dengan mengesampingkan
faktor-faktor lain, kaum Muslim bereaksi secara negatif terhadap
penetrasi missi Kristen yang dibawa masuk melalui kerja sama
antara pemerintah dan sekolah missi Kristen. Kaum Muslim
benar-benar merasa khawatir karena dapat mengakibatkan
merosotnya pengaruh nilai-nilai Islam. Kaum Muslim menuntut
agar pemerintah menarik dukungan terhadap tujuan kristenisasi
di negara yang mayoritas penduduknya beragama non-Kristen
ini. Kaum Muslim melihat bahwa subsidi besar-besaran yang
diberikan pemerintah kepada sekolah-sekolah missi, di sebuah
negara yang 90 persen penduduknya Muslim, sementara pada
saat yang sama mengabaikan lembaga-lembaga milik kaum
Muslim, merupakan keanehan. Hal itu dipandang sebagai
kebijakan yang bertentangan dengan semua konsepsi modern
mengenai hubungan yang pas antara agama dan negara. Dekade
pertama abad ke-20 ini ditandai oleh ketidak-puasan di kalangan
kaum Muslim terhadap kebijakan pemerintah kolonial Belanda
mengenai Islam. Kebijakan ini, yang diklaim sebagai tengah
menyuarakan "netralitas dalam masalah agama", terbukti omong
kosong belaka. Dengan latar belakang inilah berbagai gerakan
reformis di wilayah ini mulai tumbuh. Akhirnya, gerakan-
gerakan reformis ini, baik yang bercorak nasionalis maupun
religius, terbukti merupakan ancaman serius bagi rezim kolonial
(Shihab. 1998: 89-90).
Pemerintah mengembangkan sikap ganda terhadap gerakan
rasionalis ini, pada mulanya toleransi dan represi. Pada awalnya
diyakini bahwa tumbuhnya kesadaran politik merupakan
konsekuensi logis kebijakan pendidikan mereka. Meskipun
demikian, karena gerakan-gerakan itu mulai menunjukkan
giginya, pemerintah mengambil sikap lebih keras terhadap
mereka. Manifestasi nyata gerakan nasionalis ini adalah
berdirinya Budi Utomo pada tahun 1908. Organisasi ini segera
disusul oleh sebuah organisasi politik yang lebih merakyat dan
berkecenderungan Islam yang kuat, yaitu Sarekat Islam. Hampir
bersamaan dengan itu, berdiri pula Muhammadiyah. Pada masa
ini, untuk menarik masa, seruan atas nama Islam disuarakan
sebagai ikatan bersama dalam kehidupan orang-orang Jawa.
MUHAMMADIYAH 55
Latar Belakang berdiri dan tujuannya
Sementara Budi Utomo membatasi kegiatannya pada bidang
kebudayaan. Sarekat Islam lebih memfokuskan kegiatan
ekonomi dan politik. Sementara itu, Muhammadiyah
menfokuskan upayanya untuk mempertahankan Islam pada masa
umumnya (Shihab, 1998: 90).
56 STUDI KEMUHAMMADIYAHAN
yang rapi ini diilhami dari Al-Qur'an, surat Ali Imran/3: 104.
Dari Budi Utomo ini, seperti dituturkan Sjoedja', bahwa Ahmad
Dahlan memperoleh ilmu tentang cara membentuk persyarikatan,
menyusun anggota-anggota penguruan dan lain-lain yang
bersangkutan dengannya.
Adapun sasarannya kedua, adalah melakukan sosialisasi
ajaran Islam. Sasaran ini memperoleh ruang gerak yang luas,
setidaknya pada dua unsur yang mempengaruhi perubahan
masyarakat dan negara, yang tercermin dalam kepengurusan
Budi Utomo yang kebanyakan pegawai pemerintah Hindia
Belanda dan guru-guru sekolah yang dalam jangka panjang akan
mewarnai kedewasaan dan kecerdasan masyarakat yang kelak
akan mewarnai jalannya pemerintahan. Sosialisasi ajaran Islam
ini diterima para cendekiawan Budi Utomo yang sebelumnya
takut dengan Islam. Bahkan guru-guru Kweekschool
menyarankan kepada Dahlan untuk menularkan kepada siswa-
siswanya. Penerimaan ini tidak bisa dilepaskan dari penguasaan
dan kedalaman ilmu keislaman serta metodologi baru yang tidak
seperti metode-metode lain yang dipakai dalam menerangkan
Islam.
Melihat metodologi dalam menyampaikan ajaran Islam,
Ahmad Dahlan diperkenankan mengajar Islam kepada siswa-
siswa Kweekschool dengan metode baru dan waktunya setiap
Sabtu sore. Atas inisiatif para siswa, pertemuan itu dilanjutkan
pada Ahad pagi di rumah Ahmad Dahlan, kauman Yogyakarta
(Sjoedja', 1995: 67-68).
Pada tahun 1911, Ahmad Dahlan mendirikan sekolah
rakyat, yang diberi nama Madrasah Ibtidaiyah Diniyah
Islamiyah, yang menggabungkan dua sistem pendidikan, yaitu
sistem pesantren dan sistem pendidikan Barat. Sistem pendidikan
yang disebut terakhir ini masih asing khususnya mata pelajaran
yang diajarkan, yaitu pengetahuan umum. Pemberian
pengetahuan umum ini untuk memajukan dan mencerahkan
masyarakat Islam Indonesia. Pentingnya ilmu-ilmu modern ini
diajarkan, setelah Ahmad Dahlan berkenalan dengan gagasan
pembaharuan Timur Tengah. Jadi, bagi Ahmad Dahlan, sistem
pendidikan Islam perlu ada orientasi segar untuk bisa bersaing
MUHAMMADIYAH 57
Latar Belakang berdiri dan tujuannya
secara signifikan dengan pendidikan model Barat (Sjoedja',1995:
45-47; Saifullah, 1997: 73).
Dengan memadukan dua sistem pendidikan yang
berkembang waktu itu, Ahmad Dahlan berharap bisa mencairkan
pembagian masyarakat yang selama ini terpilah secara
dikotomis, misalnya, masyarakat abangan dan santri. Pembagian
dikotomis seperti ini merupakan warisan politik asosiasi kolonial
yang sejak semula dimaksudkan untuk memecah belah
masyarakat Indonesia demi kepentingan kolonialismenya.
Masyarakat abangan biasanya berpendidikan Belanda yang sama
sekali tidak atau sedikit pernah menerima pendidikan Islam.
Melalui lembaga pendidikan ini, diharapkan melahirkan individu
dengan basis keilmuan Islam mendalam seperti yang dimiliki
produk pesantren dan basis keilmuan modern yang dimiliki
produk lembaga pendidikan Barat.
Jumlah murid pertama di Madrasah Ibtidaiyah Diniyah
Islamiyah hanya sembilan orang, itu pun dari keluarga sendiri.
Dalam tempo setengah tahun, jumlah murid menjadi dua puluh,
terdiri dari putra dan putri. Memasuki bulan ke tujuh, sekolah
tersebut memperoleh bantuan guru, bernama Khalil, dari Budi
Utomo. Guru tersebut bertugas sementara, kcmudian bergantian
dengan guru yang lain. Waktu pergantian kadang satu bulan,
kadang satu setengah bulan, atau dua bulan (Sjoedja',1995:66).
Model sekolah yang baru didirikan Ahmad Dahlan ini
mendapat reaksi minor dari masyarakat sekitar karena dianggap
menyimpang dari pakem, bahkan menyimpang dari ajaran Islam
yang selama ini berkembang di kalangan kaum Muslim. Reaksi
ini tidak hanya datang dari masyarakat umum, tetapi juga datang
dari keluarga sendiri dengan memboikot hubungan perdagangan
yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi Ahmad
Dahlan. Meskipun demikian, reaksi tersebut tidak menyurutkan
nyalinya untuk melanjutkan gagasan-gagasannya karena setiap
perbaikan selalu ada reaksi. Reaksi negatif seperti ini, bagi
Ahmad Dahlan bukan yang pertama, sebab peristiwa kiblat
Masjid Besar Kauman, shaf tempat salat Masjid, pembongkaran
surau, dan lain-lain, semuanya menunjukkan bahwa Ahmad
Dahlan sudah terlatih menerima tuduhan dan cacian.
58 STUDI KEMUHAMMADIYAHAN
Setiap Ahad pagi, setelah memberikan pengajian umum,
Ahmad Dahlan didatangi para siswa Kweekschool Jetis yang
dididiknya setiap Sabtu sore. Latar belakang keagamaan mereka
bervariasi, ada yang beragama Islam, Kristen, Katolik, teosofi,
dan lain-lain. Forum Ahad pagi ini dijadikan sebagai moment
yang tepat untuk menyampaikan gagasan-gagasannya tentang
Islam. Dalam penjelasan-penjelasannya, Ahmad Dahlan banyak
memberikan informasi yang bisa diteruna akal pikiran, oleh
karena mereka terbiasa berbicara yang rasional, bahkan mereka
tidak akan mau menerima informasi yang tidak rasional.
Pengedepanan rasional ini dapat dimaklumi karena mereka
didikan sekolah Barat (Sjoedja', 1995: 67-68).
Suatu kali, dalam salah satu pengajian Ahad pagi, Ahmad
Dahlan ditanya oleh salah seorang peserta pengajian tentang tiga
hal. Pertama, apakah tempat pengajian ini sekolahan?
Pertanyaan ini muncul karena peserta ini melihat adanya
perangkat sekolah seperti yang dilihatnya di sekolah yang
diadakan Belanda, misalnya: bangku, dingklik, dan papan tulis.
Ahmad Dahlan menjawab: "0, nak ini Madrasah Ibtidaiyah
Diniyah Islamiyah untuk member! pelajaran agama Islam dan
pengetahuan umum bagi anak-anak Kauman". Kedua, siapa yang
memegang sekaligus guru yang mengajar di sini? Dahlan
menjawab: ya, saya sendiri. Ketiga, apakah tidak lebih baik
sekolahan ini tidak dipegang Kyai sendiri? Sebab, setiap tahun
akan ada penerimaan siswa dan kenaikan kelas, sehingga siswa
akan bertambah, ini akan menyulitkan Kyai sendiri. Bahkan, jika
Kyai wafat, dan keluarga Kyai tidak mampu melanjutkan,
sekolah ini akan bubar. Dengan bubarnya sekolah ini berarti
gagasan Islam seperti disampaikan Kyai akan selesai sampai di
situ. Melihat pengelolaan dan kenyataan bahwa tidak sedikit
sekolahan yang bubar bersamaan dengan wafatnya Kyai. Maka
peserta pengajian ini mengusulkan kepada Ahmad Dahlan
tentang perlunya pengelolaan sekolah dikelola oleh sebuah
organisasi supaya bisa hidup terus selama-lamanya meskipun
pendirinya telah wafat (Sjoedja', 1995:68).
Setelah selesai pengajian, usulan peserta pengajian ini
menjadi pikiran Ahmad Dahlan. Dalam benaknya, apa yang
diusulkan tersebut memang sangat rasional dan benar, karena itu
MUHAMMADIYAH 59
Latar Belakang berdiri dan tujuannya
harus secepatnya ditindaklanjuti. Namun, Ahmad Dahlan
menyadari betui bahwa untuk merespon usulan tersebut
diperlukan sumber daya manusia, sementara daya dukung yang
dimiliki Ahmad Dahlan sangat tidak memadai. Untuk mengatasi
kondisi objektif ini, Ahmad Dahlan melakukan lima langkah
sebagai persiapan untuk mewujudkan organisasi yang
dikemudian hari organisasi ini diberi nama Muhammadiyah
(Saifullah,1997: 75-80).
Langkah pertama, Ahmad Dahlan menemui dan berdiskuai
dengan Budihardjo dan R. Dwijosewojo, guru Kweekschool di
Guperment Jetis. Ini dilakukan setelah ia mengadakan pertemuan
dengan para santrinya, yang menyetujui berdirinya persyarikatan
dengan melibatkan juga sumber daya manusia dari kalangan
cendekiawan. Hasil perbincangan dengan kedua guru dan tokoh
Budi Utomo itu meliputi enam hal: (1) Siswa Kweekschool tidak
boleh duduk dalam pengurus perkumpulan karena dilarang oleh
inspektur kepala sekolah; (2) Calon pengurus diambil dari orang-
orang yang sudah dewasa; (3) Apa nama perkumpulan tersebut
belum ada, dan sepertinya Ahmad Dahlan sedang
menyiapkannya; (4) Tujuannyajuga belum ada; (5) Tempat
perkumpulan adalah Yogyakarta; (6) Untuk merealisasikan
sampai tuntas, Budi Utomo membantunya dengan syarat harus
diusulkan/dimintakan setidaknya oleh tujuh orang anggota baru
Budi Utomo.
Langkah kedua, Ahmad Dahlan mengadakan pertemuan
dengan orang-orang dekat, dan memikirkan bakal berdirinya
organisasi tersebut. Agenda dalam pertemuan membahas tentang
nama perkumpulan, maksud dan tujuan, serta tawaran siapa yang
bersedia menjadi anggota. Untuk nama perkumpulan, Ahmad
Dahlan memberi nama "Muhammadiyah". Nama ini diambil dari
nama Nabiyullah, Muhammad SAW dengan mendapat tambahan
"ya* nisbah". Maksudnya secara perseorangan, siapa saja yang
menjadi warga dan anggota Muhammadiyah dapat menyesuaikan
diri dengan pribadi Nabi Muhammad SAW dan ber-tafaul.
Organisasi Muhammadiyah ini sebagai organisasi pada akhir
zaman, seperti Muhammad SAW yang menjadi Nabi dan Rasul
akhir zaman. Tujuan orang yang bersedia menjadi anggota Budi
Utomo, untuk mengusahakan berdirinya Muhammadiyah kepada
60 STUDI KEMUHAMMADIYAHAN
pemerintah Hindia-Belanda, adatah H. Sarkowi, H. Abdul Ghani,
HM. Sjoedja', HM. Hisyam, HM. Fachruddin, HM. Tammimy,
dan KH. Ahmad Dahlan. Tidak lama setelah ketujuh orang ini
mengusulkan diri menjadi anggota Budi Utomo, Hoofdbestuur
menerimanya dengan memberi kartu anggota,
Langkah ketiga, Ahmad Dahlan dan keenam anggota baru
Budi Utomo itu mengajukan permohonan kepada Hoofdbestuur
Budi Utomo supaya mengusulkan berdirinya Muhammadiyah
kepada pemerintah Hindia-Belanda. Pada 18 November 1912
bertepatan dengan tanggal 8 Dzulhijjah 1330 Hijriyah
permohonan dikabulkan. Penentuan tanggal tersebut sesuai usul
Ahmad Dahlan dan kawan-kawannya setelah melalui
pertimbangan rasional dan spiritual lewat musyawarah dan salat
istikharah.
Permohonan berdirinya Muhammadiyah kepada pemerintah
Hindia-Belanda lewat Hoofdbestuur Budi Utomo ditanggapi
secara serius dan hati-hati oleh pemerintah Hindia-Belanda,
setelah menerima surat permohonan itu, meminta pertimbangan
dan advis empat penguasa lembaga terkait, yaitu residen
(gubernur) Yogyakarta; Sri Sultan Hamengkubuwono ke VII;
Pepatih Dalem Sri Sultan Hamengkubuwono ke VII; dan Hoodfd
(ketua) penghulu Haji Muhammad Kholil Kamaluddiningrat.
Dalam rapat dewan agama dan hukum Keraton yang diketuai
oleh penghulu Haji Muhammad Kholil Kamaluddiningrat,
permohonan Ahmad Dahlan dan kawan-kawan ditolak. Ini
disebabkan karena peserta rapat dan terutama ketuanya tidak
memahami persoalan umum mengenai isi dan istilah yang
dibicarakan. Namun demikian, penyebab utamanya adalah
persoalan pribadi antara ketua penghulu dan Ahmad Dahlan. la
antipati kepada Ahmad Dahlan karena masih teringat peristiwa
kontra-aksi masalah kiblat dan shaf Masjid Besar Kauman
Yogyakarta. Istilah presiden yang dipergunakan Ahmad Dahlan
untuk menyebut ketua, sebagaimana tertulis dalam surat
permohonan Ahmad Dahlan dan kawan-kawan disalah-tafsirkan
oleh HM. Kholil Kamaluddiningrat. Istilah tersebut disamakan
dengan residen, padahal keduanya berbeda. Residen adalah
kepala pemerintahan sedang presiden itu kepala golongan
tertentu (Saifullah, 1997: 77).
MUHAMMADIYAH 61
Latar Belakang berdiri dan tujuannya
Setelah menolak, penghulu lalu menyerahkan hasil
penolakan rapat itu ke lembaga atasnya, yaitu Pepatih Dalem Sri
Sultan Hamengkubuwono VII. Dalam analisisnya. Pepatih justru
mehhat positifkehadiran Muhammadiyah di tengah-tengah
masyarakat, bahkan kehadirannya bisa membantu tugas
penghulu dalam mengajarkan dan mendakwahkan ajaran Islam.
Sejak itu, penghulu merubah sikapnya dengan menerima surat
permohonan Ahmad Dahlan, dan meneruskannya ke Sri Sultan.
Dalam persetujuannya, Sri Sultan hanya memberikan
rekomendasi berdirinya Muhammadiyah untuk kawasan
Yogyakarta. Selanjutnya, Sri Sultan mengirimkannya ke
gubernur jendral, lalu oleh gubernurjendral dikirimkan ke
Hoofdbestuur Budi Utomo, dan diserahkan kepada Ahmad
Dahlan (Saifullah,1997: 77-78).
Susunan pengurus Muhammadiyah yang pertama
sebagaimana tercantum dalam surat izin itu, sebagai berikut
(Majlis Pustaka,1993: 29):
Presiden/ketua : K.H.Ahmad Dahlan
Sekretaris : H. Abdullah Siradj
Anggota : H. Ahmad
: H. Abdur Rahman
: H. Muhammad
: RH. Djailani
: H. Anies
: H. Muhammad Fakih
MUHAMMADIYAH 63
Latar Belakang berdiri dan tujuannya
1. Hendak menyiarkan agama Islam, serta melatihkan hidup
yang selaras dengan tuntunannya,
2. Hendak melakukan pekerjaan kebaikan umum,
3. Hendak memajukan pengetahuan dan kepandaian serta budi
pekerti yang baik kepada anggota-anggotanya.
Rumusan keempat terjadi setelah Muktamar
Muhammadiyah ke 31 di Yogyakarta tahun 1950. Adapun
rumusannya adalah: menegakkan dan menjunjzing tinggi agama
Islam sehingga dapat mewujzi-dkan masyarakat Islam yang
sebenar-benamya. Rumusan initampaknya dimaksudkan untuk
mengembalikan rumusan terdahulu agar sesuai dengan jiwa dan
gerak Muhammadiyah yang sebenarnya.
Rumusan kelima ini diubah pada Muktamar
Muhammadiyah ke-34 di Yogyakarta tahun 1959. Perubahan ini
hanya pada redak-sional semata atas rumusan hasil Muktamar
ke-31, darikata "dapat mewujudkan"menjadi "terwujudnya",
sehingga rumusan resminya adalah "Menegakkan dan
menjunjung tinggi agama Islam terwujudnya masyarakat Islam
yang sebenar-benarnya".
Rumusan keenam terjadi pada Muktamar Muhammadiyah
ke-41 di Surakarta tahun 1985. Pada tahun itu Muhammadiyah
harus merubah maksud dan tujuan serta azasnya, oleh karena
kehadiran Undang-undang nomor 8 tahun 1985 tentang
kewajiban setiap ormas, baik agama maupun non-agama untuk
mencantum asas Pancasila. Adapun rumusan maksud dan tujuan
hasil Muktamar ke 41 itu adalah Menegakkan dan menjunjung
tinggi agama, Islam sehi'ngga tenvzijzid masyarakat utama, adil
dan makmur yang diridhai Allah SWT.
Rumusan ketujuh terjadi pada Muktamar ke-44 di Jakarta
pada tahun 2000. Muktamar ini mengembalikan Islam sebagai
asas Persyarikan Muhammadiyah seperti rumusan sebelumnya.
Hanya saja perubahan asas ini tidak dalam satu pasal tersendiri
dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah, melainkan dimasukkan
dalam pasal 1 ayat 2, yang berbunyi: Muhammadiyah adalah
Gerakan Islam, Dakwah Amar Makruf Nahi Munkar, berasaskan
Islam yang bersumber pada al-Qur'an dan al-Sunnah".
Perubahan ini disebabkan oleh dicabutnya Undang-Undang
nomor 8 tahun 1985 oleh MPR, dan ormas diperbolehkan untuk
64 STUDI KEMUHAMMADIYAHAN
memilih asasnya sesuai dengan yang dikehendaki dengan catatan
tidak bertentangan dengan dasar negara. Karena itu, rumusan
maksud dan tujuan Muhammadiyah sekarang ini sama persis
seperti rumusan yang dihasilkan Muktamar ke-34 di Yogyakarta,
yaitu Menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga
terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
MUHAMMADIYAH 65
Latar Belakang berdiri dan tujuannya
Kesimpulan :
MUHAMMADIYAH 67
Latar Belakang berdiri dan tujuannya