Anda di halaman 1dari 60

Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang tercantum dalam Pasal 1 Ayat 3 Undang-

Undang Dasar Tahun 1945, menyatakan bahwa "Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum".
Oleh karena itu, negara dalam menjalankan pemerintahan harus didasarkan pada hukum, termasuk
dalam memberikan perlindungan terhadap hak asasi warga negara. Demi mewujudkan kehidupan yang
adil, makmur, dan sejahtera bagi setiap warga negara, hak-hak mereka dilindungi sesuai dengan Pasal 27
ayat (2) UUD 1945, yang memberikan hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan. Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki landasan yang kuat dalam melindungi hak
asasi manusia, terutama dalam bidang penghargaan terhadap kesejahteraan manusia, dengan mengakui
pentingnya memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai dengan martabat manusia.

Namun, krisis ekonomi, termasuk ketimpangan pendapatan dan ketidakadilan ekonomi, menjadi
masalah utama yang menyebabkan peningkatan kejahatan di Indonesia. Plato (427-347 SM)
menyatakan bahwa kekayaan yang berlebihan dapat menjadi sumber banyak kejahatan, dan semakin
tinggi kekayaan seseorang, semakin berkurang pula penghargaannya terhadap moralitas.

Dalam menentukan suatu perbuatan yang termasuk kejahatan atau tindak pidana, peraturan
perundang-undangan memainkan peran yang sangat strategis sebagai dasar dan strategi negara untuk
mencapai tujuan tersebut. Kebijakan hukum pidana sangat penting dalam hal ini, di mana perumusan
hukum pidana yang baik memberikan panduan kepada pembuat undang-undang (kebijakan legislatif),
kebijakan aplikatif (kebijakan yudikatif), dan pelaksanaan hukum pidana (kebijakan eksekutif) dalam
proses kriminalisasi.

Kebijakan legislatif merupakan tahap yang sangat penting karena pada saat merumuskan
undang-undang pidana, arah yang akan diambil sudah ditentukan dengan menentukan perbuatan-
perbuatan yang dianggap perlu dilarang oleh hukum pidana. Salah satu contoh perbuatan yang dilarang
oleh peraturan perundang-undangan adalah pelanggaran terhadap norma kesusilaan, yang dikenal
sebagai pelacuran. Masalah pelanggaran terhadap norma kesusilaan ini telah menjadi masalah serius
bagi rakyat Indonesia sejak lama, bahkan sebelum krisis ekonomi dan kemerdekaan bangsa Indonesia.

Pelacuran merujuk pada kegiatan perdagangan jasa seksual, di mana seseorang menjual
hubungan seksual untuk mendapatkan uang atau keuntungan lainnya. Istilah yang lebih umum
digunakan saat ini adalah pekerja seks komersial. Menurut James Inciardi dalam bukunya yang ditulis
oleh Topo Santoso, pelacuran adalah penawaran hubungan seksual dengan imbalan uang atau
keuntungan lainnya, dan mencakup tujuan seperti uang, barang, hadiah, serta kepuasan keinginan
seksual. Definisi pelacuran menurut Dirjodjosisworo adalah penyerahan diri seorang wanita secara fisik
untuk memuaskan pria mana pun yang menginginkannya dengan imbalan pembayaran. Dalam
pandangan Dirdjosisworo, terdapat tiga unsur dalam pengertian pelacuran, yaitu penyerahan diri
seorang wanita kepada banyak pria untuk memuaskan keinginan seksual mereka dengan pembayaran
sebagai ganti upah bagi wanita tersebut.

Pelacuran telah ada sejak lama dalam sejarah dunia, termasuk di Indonesia. Seperti halnya
perkembangan pemerintahan di dunia, pelacuran di Indonesia dimulai sejak zaman kerajaan di Jawa
yang menggunakan wanita sebagai komoditas dalam sistem feodal. Kegiatan pelacuran telah menyebar
luas di masyarakat di seluruh dunia, terlepas dari apakah pemerintah menyadari hal ini atau tidak,
meskipun kegiatan ini dianggap tidak etis. Pelacuran merupakan fenomena sosial yang menyebar secara
luas di masyarakat, namun kegiatan ini dianggap bertentangan dengan martabat dan nilai-nilai pribadi
manusia serta dapat membahayakan kesejahteraan individu, keluarga, dan masyarakat, seperti yang
diakui dalam Konvensi PBB tahun 1949 mengenai perdagangan manusia.

Masalah kontroversial mengenai pelacuran perlu menjadi perhatian pemerintah untuk


diselesaikan dengan melakukan pembaharuan hukum. Indonesia adalah negara yang melarang kegiatan
pelacuran karena dianggap tidak hanya tidak etis, tetapi juga sebagai kejahatan. Pemerintah perlu
memberikan kepastian hukum untuk melarang penyebaran kegiatan ini di masyarakat. Indonesia
sebagai negara yang berdasarkan ideologi Pancasila, pelacuran sangat menciderai jati diri bangsa dan
nilai-nilai norma yang dijunjung tinggi. Oleh karena itu, pelacuran dapat menjadi gangguan, hambatan,
bahkan ancaman terhadap ketahanan bangsa baik pada bidang ideologi maupun sosial budaya.

Kegiatan pelacuran termasuk dalam bentuk penyimpangan seksual yang melanggar nilai-nilai
sosial, agama, kesopanan, dan moral bangsa Indonesia. Hal ini juga merusak nilai-nilai yang terkandung
dalam Pancasila. Misalnya, kegiatan pelacuran bertentangan dengan Sila Pertama Pancasila, yaitu
Ketuhanan Yang Maha Esa, karena pelacuran dilarang dalam ajaran agama dan dikecam sebagai
perbuatan zina. Selain itu, terkait dengan Sila Kedua Pancasila, yaitu Kemanusiaan Yang Adil dan
Beradab, manusia sebagai makhluk yang mulia seharusnya menghormati martabat manusia dan tidak
menjadikan manusia lain sebagai objek perdagangan seksual. Banyak pelacur yang diperlakukan secara
tidak manusiawi oleh mucikari atau germo yang dengan sengaja menjual jasa seksual.

Dalam rangka mempertahankan nilai-nilai Pancasila dan melindungi martabat manusia, perlu
adanya upaya serius dari pemerintah untuk menangani masalah pelacuran ini. Pembaharuan hukum
yang melarang kegiatan pelacuran menjadi salah satu langkah yang perlu dilakukan. Selain itu,
pendekatan yang komprehensif melalui pendidikan, kesadaran sosial, rehabilitasi, dan pemberdayaan
perlu dilakukan untuk mengatasi akar permasalahan yang mendorong adanya pelacuran di masyarakat.

R. Soesilo menjelaskan bahwa Pasal 296 KUHP digunakan untuk melawan orang-orang
yang menjalankan bordil atau tempat-tempat pelacuran. Untuk dapat dihukum, harus dibuktikan bahwa
kegiatan tersebut menjadi mata pencahariannya atau kebiasaannya. Jika dibandingkan dengan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, perbedaannya adalah
sebagai berikut: (informasi selanjutnya tidak disediakan).

Dalam perbandingan antara KUHP lama dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP baru), terdapat beberapa perubahan terkait pasal-pasal
yang terkait dengan kegiatan pelacuran. Pasal 296 dalam KUHP lama mengatur bahwa seseorang yang
dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain,
dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, akan diancam dengan pidana penjara paling lama
1 tahun 4 bulan atau pidana denda paling banyak Rp15 juta.

Di KUHP baru, terdapat perubahan pasal-pasal yang relevan. Pasal 420 mengatur bahwa setiap
orang yang menghubungkan atau memudahkan orang lain melakukan perbuatan cabul, akan dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 tahun. Sementara itu, Pasal 506 menyatakan bahwa seseorang
yang menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikannya sebagai pencarian,
akan diancam dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun.

Selanjutnya, Pasal 421 dalam KUHP baru menjelaskan bahwa jika tindak pidana sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 419 atau Pasal 420 dilakukan sebagai kebiasaan atau untuk menarik keuntungan
sebagai mata pencaharian, pidana yang dijatuhkan dapat ditambahkan sebanyak 1/3 dari hukuman yang
seharusnya.

Hukum pidana positif Indonesia belum mengatur secara tegas tentang perbuatan pelacuran dan
hubungan antara tiga komponennya, yaitu mucikari atau germo, pekerja seks komersial, dan pengguna
pekerja seks komersial. Baik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun undang-
undang di luar KUHP, pengaturan mengenai delik-delik kesusilaan seperti pasal 281 hingga pasal 303,
terutama pasal 296 dan pasal 506, hanya menjerat pemilik rumah bordil, mucikari, dan makelar atau
calo dalam perbuatan pelacuran.

Pembedaan penerapan sanksi pidana yang hanya ditujukan kepada mucikari menjadi polemik,
mengingat ada dua komponen utama lainnya yang terlibat, yaitu pekerja seks komersial dan pengguna
jasa pekerja seks komersial. Hal ini menimbulkan argumen di masyarakat bahwa pekerja seks komersial
juga bisa dianggap sebagai korban, tetapi dalam kenyataannya banyak pekerja seks komersial yang
menjalankan pekerjaannya secara profesional berdasarkan perjanjian kerja dengan mucikari, germo,
atau pemilik tempat di mana mereka melakukan pelacuran.

Oleh karena itu, aparat penegak hukum tidak dapat menjerat pengguna jasa pekerja seks
komersial maupun pekerja seks komersial itu sendiri, karena Pasal 296 KUHP menyatakan bahwa
seseorang yang dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain
dengan orang lain dan menjadikannya sebagai pekerjaan atau kebiasaan, diancam dengan pidana
penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah.
Pasal 506 KUHP menyatakan bahwa seseorang yang menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang
wanita dan menjadikannya sebagai pencarian, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun.

Dalam KUHP lama, Pasal 296 dan 506 menjelaskan bahwa perbuatan pekerja seks komersial
maupun pengguna tidak dijerat, tetapi hanya menjerat penyedia, mucikari, dan makelar atau calo dalam
perbuatan pelacuran. Hal ini tidak berubah dalam KUHP baru tahun 2023 dengan Pasal 420 yang
memiliki makna mirip dengan Pasal 296 KUHP lama dan Pasal 421 yang menekankan makna yang sama
dengan Pasal 506 KUHP lama.

Pemidanaan yang hanya ditujukan kepada mucikari saja tidak mencerminkan rasa keadilan,
mengingat dalam perbuatan pelacuran terdapat subyek-subyek yang terkait, yaitu mucikari, pengguna,
dan pekerja seks komersial. Kegiatan pelacuran, sebagai bagian dari perbuatan zina, dikategorikan
sebagai "crime without victim" (kejahatan tanpa korban) di mana pekerja seks komersial dan pengguna
jasanya termasuk korban tetapi juga pelaku dalam perbuatan tersebut. Oleh karena itu, hukum pidana
positif Indonesia saat ini.
All efforts to prevent and combat these crimes fall within the scope of criminal policy,
which uses penal law as a means. Therefore, it is part of penal policy. (Arief, 2003). Criminal policy is
defined as the national will to create national laws that align with the aspirations and values derived
from the Indonesian nation, with the aim of achieving a just and prosperous state based on Pancasila.
Therefore, it is crucial to have legal reforms (Law Policy) within the legislative policy-making process as
part of comprehensive and integrated national development, covering both formal and material law.
Through criminal policy, the legislative policy can criminalize prostitution as a clear criminal act, not only
imposing criminal sanctions on pimps but also on the other main components, such as imposing criminal
penalties on sex workers and users of sex services.

Dalam rangka mengatasi masalah pengaturan mengenai sanksi pidana bagi pengguna jasa
pekerja seks komersil dan pekerja seks komersil dalam konteks kegiatan pelacuran, perlu dilakukan
pembaharuan hukum (law reform) sebagai bagian dari pembangunan nasional. Pembaharuan hukum
nasional harus mencakup secara menyeluruh dan terpadu bidang hukum pidana, hukum perdata, dan
hukum administrasi, baik dalam aspek formil maupun materiilnya. Menurut Barda Nawawi Arief,
pembaharuan hukum pidana tidak hanya menyangkut substansi hukum pidana, tetapi juga berkaitan
dengan nilai-nilai yang ada. Pembaharuan hukum pidana bertujuan untuk mengorientasikan dan
mereformasi hukum pidana sesuai dengan nilai-nilai sosio-politik, sosio-filosofis, dan sosio-kultural
masyarakat Indonesia yang menjadi dasar kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakan
hukum di Indonesia.

Satjipto Rahardjo, seperti dikutip oleh Nyoman Serikat Puetra Jaya, menyatakan bahwa proses
penegakan hukum juga melibatkan tahap perumusan hukum/undang-undang. Pikiran-pikiran para
pembuat undang-undang yang diwujudkan dalam peraturan perundang-undangan akan mempengaruhi
bagaimana penegakan hukum dilaksanakan. Kebijakan hukum pidana pada dasarnya melibatkan upaya
negara dalam mengatur dan membatasi kekuasaan, baik kekuasaan masyarakat umum untuk bertindak
dan berperilaku, maupun kekuasaan atau wewenang aparat penegak hukum dalam menjalankan tugas
mereka untuk memastikan bahwa masyarakat patuh terhadap aturan yang telah ditetapkan. Kebijakan
hukum pidana melibatkan serangkaian proses yang meliputi tiga tahap, yaitu: tahap kebijakan
legislatif/formulatif (menetapkan atau merumuskan perbuatan yang dapat dipidana), tahap kebijakan
yudikatif/aplikatif (menerapkan hukum pidana oleh aparat penegak hukum atau pengadilan), dan tahap
kebijakan eksekutif/administratif (melaksanakan hukum pidana oleh aparat pelaksana/eksekutor
pidana).

Berdasarkan tiga tahapan kebijakan hukum pidana tersebut, penanggulangan kejahatan selalu
diarahkan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Menurut Barda Nawawi Arief, kebijakan
penanggulangan kejahatan pada dasarnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan sosial
dan pencapaian kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, dalam penanggulangan masalah kegiatan
pelacuran, diperlukan pendekatan yang berfokus pada kebijakan kriminalisasi sebagai bagian dari
kebijakan kriminal yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana. Melalui kebijakan kriminalisasi.

RUMUSAN MASALAH
Sehubungan dengan penomena seperti tersebut di atas perlu diadakan penelitian

yang mendalam berkaitan dengan variabel tentang; Konsep Kriminalisasi Pelacuran Dalam

Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia Yang berlandaskan Keadilan, dapat dirumuskan

pokok permasalahan sebagai berikut:

1. Urgensi Kriminialisasi Pada Perbuatan Pelacuran Dalam Hukum Pidana Indonesia

Saat Ini

2. Konsep Kriminalisasi Terhadap Perbuatan Pelacuran Dalam Rangka Pembaharuan

Hukum Pidana Indonesia

1.1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini, yaitu :

1) Menganalisis dan menemukan Urgensi Kriminialisasi Pada Perbuatan Pelacuran

Dalam Hukum Pidana Indonesia Saat Ini;

2) Menganalisis dan menemukan Konsep kriminalisasi terhadap perbuatan pelacuran

dalam rangka pembaharuan hukum pidana nasional yang berlandaskan keadilan di

Indonesia

1.2. Manfaat Penelitian

Manfaat Penelitian ini dapat dibagi dua, yaitu :

a. Manfaat Teoritis

Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis untuk

pengembangan studi hukum pidana khususnya dan pembangunan ilmu hukum secara

interdisiplin pada umumnya, sehingga studi hukum tidak hanya dipahami dari sudut

legalitas formal tetapi perlu dikaitkan dengan sub sistem kemasyarakatan

yang lain.
b. Manfaat Praktis

Hasil Penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai masukan bagi

praktisi/pembuat kebijakan hukum dalam hukum pidana, agar dapt dipergunakan di

dalam praktik. Sehingga adanya kesesuaian di dalam pembuatan undang-undang,

khususnya peraturan perundang-undangan pidana dengan penerapannya.

1.3. Orisinalitas Penelitian

Sepanjang pengetahuan penulis, penelitian dengan judul: ” Konsep Kriminalisasi

Perbuatan Pelacuran Dalam Rangka Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia”, belum

pernah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya di lingkungan Fakultas Hukum

Universitas 17 Agustus 1945 maupun Fakultas Hukum lainnya di Indonesia. Akan tetapi,

permasalahan dan pembahasan yang berkaitan dengan judul di atas telah diteliti oleh

beberapa orang, adapun desertasi-desertasi yang membahas yaitu :

1.5.2 Kajian Penelitian Terdahulu

Berdasarkan beberapa disertasi tersebut diatas, Nampak adanya persamaan dan

perbedaan yang jelas baik secara substansi maupun pokok penelitiannya dengan penelitian

yang dibuat penulis, adapun perbedaannya antara lain :

1. Disertasi dengan judul: “Bobot Pengaruh Faktor Kepribadian dan Lingkung Sosial

terhadap Perilaku Pelacuran (Study Tentang Pekerja Seks Komersial di Kota

Gorontalo suatu Pendekatan Psikologi Islam)”. Persamaan penelitian ini dengan

penelitian yang akan dianalisa penulis adalah obyek kajian terkait penanggulangan

permasalahan perbuatan pelacuran, sedangkan perbedaan penelitian ini peneliti

mengfokuskan terkait perilaku psikologis terhadap pekerja seks komersial yang

dikaji pada pendekatan Psikologi Islam.


2. Disertasi dengan judul: “Penguatan Kebijakan Kriminal Dalam Upaya

Penanggulangan Cyber Prostitution”. Persamaan dengan penelitian yang akan

dilakukan penulis adalah objek kajian dalam kebijakan kriminalisasi terhadap

perbuatan pelacuran atau pelacuran, sedangkan Perbedaannya dengan penelitian

yang akan dilakukan penulis adalah penelitian sebelumnya ini lebih menekankan

formulasi penanggulangan kegiatan pelacuran yang dilakukan melalui internet pada

Undang-Undang Informasi dan Teknologi dikaitkan dengan hukum pidana

Indonesia saat ini .

3. Disertasi dengan judul: “Nordic Prostitution Policy Reform: Susanne Dodillet’s

“Är sex arbete?” (Is Sex Work?)”. Persamaan penelitian ini dengan penelitian

yang akan penulis angkat adalah objek kajiannya pada reformulasi kebijakan

formulasi hukum perbuatan pelacuran, sedangkan Perbedaannya dengan peneliti

letaknya dimana penelitian sebelumnya mengkritisasi formulasi yang melegalkan

pelacuran di Negara Swiss, namun peneliti hanya memfokuskan terhadap dampak

yang terjadi pada Negara Swiss setelah Legalisasi pelacuran tanpa mengkriminaliasi

pelacur ataupun pengguna jasa nya bukan mengkaji untuk mengkriminalisasi

pelacuran sebagai suatu tindak pidana.

1.1. Landasan Teori dan Penjelasan Konsep

Landasan teoritis adalah langkah buat meneliti atau menelaah teori hukum umum

atau teori khusus, konsep hukum, atas dasar hukum, peraturan hukum, norma-norma serta

hal lain yang akan digunakan sebagai dasar untuk menganalisis masalah penelitian.

(Program Doktor Ilmu Hukum 2015) Mark van Hoeke mengatakan: “theory building aims

at combining specific interpretations, principles, rules and concepts in a (newly)


systematized whole”.(Van Hoecke 2011) Dalam konteks ini hanya fokus pada masalah

kebijakan kriminalisasi pelacuran dalam pembaharuan hukum pidana.

Pembahasan di dalam penelitian ini juga didukung dengan sejumlah teori yang bisa

dipakai sebagai landasan teoritis dengan mengkaji serta menganalisis permasalahan

tersebut. Pemakaian teori hukum adalah bagian penting di dalam suatu riset, karena

manfaat teori hukum dalam penelitian hukum sebagai pisau analisis terhadap pembahasan

mengenai pristiwa maupun fakta hukum yang dikemukakan di dalam permaslahan

penelitian.(Fajar and Achmad 2010) Suatu Undang-undang dapat ditelaah dari sudut

pandang normative, secara garis besar ilmu hukum bisa ditelaah dengan studi law in books.

(Asikin 2006) Merujuk pada penjabaran tersebut, dengan demikian jelas agar dapat

menelaah suatu masalah hukum secara mendalam dibutuhkan teori yakni berupa rangkaian

asumsi, konsep, definisi serta proposisi agar dapat menerangkan suatu gejala social secara

sistimatis melalui cara merumuskan atau memformulasikan hubungan antar konsep.

(Burhan 2004)

1.6.1 Teori -Teori Hukum

A. Teori Keadilan

Pada sub bab ini akan dibahas teori keadilan yang sekiranya akan dijadikan

sebagai pisau analisis pada kedua rumusan masalah pada penelitian ini. Keadilan kata

dasarnya “Adil” berasal dari bahasa Arab yang berarti berada di tengah-tengah, jujur,

lurus, dan tulus. Dalam adil terminologis berarti sikap yang bebas dari diskriminasi,

ketidak jujuran. jadi orang yang adil adalah orang sesuai dengan standar hukum baik

hukum agama, hukum positif (hukum negara), serta hukum sosial (hukum adat)

berlaku.
Keadilan adalah perlakuan yang seimbang antara hak dan kewajiban, keadilan

terletak pada keharmonisan menuntut hak dan menajalankan kewajiban atau dengan

kata lain keadilan adalah keadaan bila setiap orang mempcroleh apa yang menjadi

haknya, dan setiap orang memperoleh bagian yang sama dan kekayaan bersama.

(Safa’at 2012) Keadilan dapat dimaknai sebagai legalitas adalah adil jika suatu aturan

diterapkan pada semua kasus di mana menurut isinya memang aturan tersebut harus

diaplikasikan, adapun tidak adil jika suatu aturan diterapkan pada satu kasus tetapi

tidak pada kasus lain yang sama. Keadilan dalam arti legalitas adalah suatu kualitas

yang tidak berhubungan dengan isi tataran aturan positif, tetapi dengan

pelaksanaannya. Legalitas, pernyataan bahwa tindakan individu adil atau tidak adil

berarti legal atau illegal, yaitu tindakan tersebut sesuai atau tidak dengan norma

hukum yang valid untuk menilai sebagai bagian dari tata hukum positif.

Konteks keadilan merupakan suatu yang "maha" luas meliputi hukum, sosial,

agama, dan sebagainya. Namun demikian terlepas dari itu, sesuatu hal yang pasti adil

adalah bahwa prinsip keadilan menghendaki tujuan hukum bagi setiap Negara

hukum. Prinsip keadilan menghendaki agar setiap tindakan institusi atau pejabat

pemerintahan Negara (daerah) senantiasa memperhatikan aspek keadilan dan

kewajaran.(Thamrin 2013) Para penganut positivisme dengan keras menuntut supaya

hukum yang dibentuk besifat adil.(Huijbers 1999) Hal keadilan juga nampak dalam

konsep pemikiran utilitarianisme bahwa tujuan hukum memberikan kescjahtraan bagi

masyarakat, konsep ini melekat dalam alinea kedua Pembukaan UUD 1945 "adil dan

makmur.(Wignjosoebroto 2013)
Teori ini dapat diberlakukan untuk rumusan masalah pertama mengenai

urgensi.

B. Teori Perundang-undangan

Secara teoritis, tata urutan perundang-undangan dapat dikaitkan dengan ajaran

Hans Kelsen mengenai Stufenbau des Rerht atau The hierarchy of law yang

berintikan bahwa kaidah hukum merupakan suatu susunan berjenjang dan setiap

kaidah hukum yang lebih rendah bersumber dari kaidah yang lebih tinggi. Memahami

teori Stufenbau des Recht, harus dihubungkan dengan ajaran Kelsen yang lain yaitu

Reine Rechtslehre atau The pure theory of law (teori murni tentang hukum) dan

bahwa hukum itu tidak lain “command of the sovereign” kehendak berkuasa.(Manan

2004b)

Peraturan hukum keseluruhannya diturunkan dari norma dasar yang berada di

puncak piramid dan semakin ke bawah semakin beragam dan menyebar. Norma dasar

teratas adalah abstrak dan makin ke bawah semakin konkret. Daram proses itu, apa

yang semula berupa sesuatu yang “seharusnya” berubah menjadi sesuatu yang

“dapat” dilakukan.

Hans Kelsen mengatakan bahwa hukum termasuk dalam sistem norma yang

dinamik (nomodynamics) karena hukum itu selalu dibentuk dan dihapus oleh

lembaga-lembaga atau otoritas-otoritas yang berwenang membentuknya sehingga

dalam hal ini tidak dilihat dari segi norma tersebut, tetapi dari segi berlakunya atau

pembentukannya.(H. Kelsen 1946) Hukum itu adalah sah (valid) apabila dibuat oleh

lembaga atau otoritas yang berwenang membentuknya dan berdasarkan norma yang

lebih tinggi, sehingga dalam hal ini norma yang lebih rendah (inferior) dapat dibentuk
oleh norma yang lebih tinggi (superior) dan hukum itu berjenjang-jenjang dan

berlapis-lapis membentuk suatu hierarki.

Lebih jauh Hans Kelsen mengemukakan teorinya mengenai jenjang norma

hukum (stufentheorie), bahwa norma-norrna hukum itu berjanjang-jenjang dan

berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, dinama suatu norma yang lebih

rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norrna yang

lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi

demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut

dan bersifat hipotetis dari fiktif, yaitu Norma Dasar (Grundrorm).

Grundnorm merupakan induk yang melahirkan peraturan-peraturan hukum

dalam suatu tatanan sistem hukum tertentu. Jadi antara grundnorm yang ada pada tata

hukum A tidak mesti sama dengan grundnorm pada tata hukum B. Grundrorm ibarat

bahan bakar yang menggerakkan seluruh sistem hukum. Grundrorm memiliki fungsi

sebagai dasar mengapa hukum itu ditaati dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan

hukum. Norma Dasar Grurdnorm atau disebut juga Ursprungsnorm atau umorm

sebagaimana yang disebut bersifat pesupposed dan tidak dapat ditelusuri lebih lanjut

dasar berlakunya sehingga diperlukan menerimanya sebagai sesuatu yang tidak dapat

diperdebatkan lagi, sesuatu yang fiktif, suatu aksioma.

Menurut sistern hukum Indonesia, peraturan perundang-undangan (hukum

tertulis) di susun dalam suatu tingkatan yang disebut hierarki peraturan perundang-

undangan. Terlihat di dalam UU Nomor 10 Tahun 2004 yang diperbaharui dengan

Undang-undsang Nomor 12 Tahun 2011 (selanjutnya dibaca Undang-undang Nomor

12 Tahun 2011) tentang Pernbentukan Peraturan Perundang-undangan. Peraturan


perundang-undangan yang tersusun secara hierarkis tersebut mengandung

konsekuensi bahwa suatu peraturan perundang-undangan yang lebih rendah

tingkatannya tidak boleh hertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang

lebih tinggi tingkatannya.

Ajaran tentang tata urutan peraturan perundang-undangan demikian

mengandung beberapa prinsip:

1. Peraturan Perundang-undangan tingkat lebih rendah harus bersumber atau


memiliki dasar hukum dari suatu peraturan perundang-undangan tingkat
lebih tinggi;
2. Isi atau muatan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak
boleh menyimpang atau bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi tingkatannya.

Hukum pidana mempunyai kekuatan berlaku karena dibuat oleh badan

legisiatif, sedangkan badan legislatif mempunyai wewenang untuk itu atas dasar

ketentuan undang-undang dasar (Konstitusi). Konstitusi menurut Hans Kelsen

kekuatan hukumnya berasal dari luar hukum, yaitu dari hypothese atau grundnorm.

Ilmu pengetahuan hukum menganggap benar adanya hypothese atau grundnorm yang

pertama kali, maka kalau grundnrorm itu tekah diterima oleh masyarakat harus

ditaati. Jadi ilmu pengetahuan hukum itu menurut Kelsen menyelidiki tingkatan

norma-norma, kekuatan berlaku dari tiap norma yang tergantung dari hubungannya

yang logis dengan norma yang lebih tinggi sampai akhirnya pada suatu hypothese

yang pertama. Hypothese pertama bersikap abstrak, tetapi bila ditelusuri menuruni

tangga urutan norma-norma itu maka makin lama norma tersebut menjadi lebih

korrkrit, sehingga pada akhirnyo sampai pada norma yang memaksakan kewajiban
kepada individu tertentu yang mungkin berupa suatu putusan pengadilan ataii

perintah pejabat atau perikatan itu hanyalah pelaksanaan dari suatu norma yang lebih

tinggi. Pandangan Hans Kelsen tentang tata huknm sebagai suatu bangunan norma-

norma yang tersusun secara heirakis disebut Stufenbau Theori.

Perubahan hukum yang mengungkapkan karakter dinamis dari sistem normatif

dan fungsi norma dasar, juga mengungkapkan suatu kekhasan lebih lanjut dari

hukum; hukum mengatur pembentukannya sendiri karena suatu norma hukum

menentukan cara untuk membuat suatu norma hukum lainnya, dan juga sampai

derajat tertentu, menentukan cara untuk membuat suatu norma hukum lainnya

tersebut. Karena suatu norma hukum itu valid lantaran dibuat menurut caara yang

ditentukan oleh suatu norma hukum lainnya, dan norma hukum lainnya ini adalah

landasan validitas norma hukum yang disebut pertama.

Dalam teori perundang-undangan juga harus tunduk pada asas-asas tertentu,

yaitu : Asas yang bersumber pada politik konstitusi dan ketentuan UUD (asas

konstitusional dalam penerapan hukum);

1. Asas tidak berlaku surut (nonretroaktif);


2. Asas peralihan hukum;
3. Asas pertingkatan peraturan perundang-undangan (lex superior derogate legi
inferiori);
4. Asas aturan hukum yang khusus dan mengesampingkan aturan hukum yang
umum (lex specialis derogate legi generalis);
5. Asas aturan hukum yang baru mengesampingkan aturan hukum yang lama
(lex posterior derogate legi priori);
6. Asas mengutamakan atau mendahulukan hukum tertulis dari hukum tidak
tertulis;
7. Asas kepatuhan, keadilan, kepentingan umum dan ketertiban umum.(Manan
2004a)
Teori ini dipilih menjadi Grand Teory yang digunakan sebagai pisau Analisa

untuk menemukan permasalahan didalam Disertasi ini. Teori ini akan menyelesaikan

rumusan masalah nomor 2.

C. Teori Sistem Hukum

Hukum Indonesia merupakan suatu sistem. Artinya hukum Indonesia bukanlah

sekedar kumpulan atau penjumlahan peraturan-peraturan yang masing-masing berdiri

sendiri-sendiri, melainkan makna keberadaan dari suatu peraturan hukum ialah

karena hubungannya yang sistematis dengan peraturan-peraturan hukum yang lain.

Perlu dipahami bahwa sebagai suatu sistem maka hukum Indonesia merupakan suatu

tatanan, merupakan suatu kesatuan yang utuh yang terdiri dari bagian-bagian atau

unsur-unsur yang saling berkaitan erat satu sama lain untuk mencapai tujuan.

Masing-masing unsur harus dilihat dalam kaitannya dengan unsur lainnya dan

dengan keseluruhannya.

Beberapa alasan lain yang dikemukakan oleh Satjipto Raharjo untuk

mempertanggungjawabkan bahwa hukum itu merupakan satu sistem adalah sebagai

berikut: suatu sistem hukum itu dapat disebut demikian karena ia bukan sekedar

merupakan kumpulan peraturan-peraturan belaka. Kaitan yang mempersatukannya,

sehingga tercipta pola kesatuan yang demikian adalah: masalah keabsahan.(Rahardjo

2009) Peraturan-peraturan itu diterima sebagai sah apabila dikeluarkan dari sumber

atau sumber-sumber yang sama, seperti peraturan hukum, yurisprudensi dan

kebiasaan. Sumber-sumber yang demikian itu dengan sendirinya melibatkan

kelembagaan seperti pengadilan dan pembuat undang-undang.


Setiap sistem mengandung beberapa asas yang menjadi pedoman dalam

pembentukannya dan dapat dikatakan bahwa suatu sistem adalah tidak terlepas dari

asas-asas yang mendukungnya dengan demikian sifat sistem itu menyeluruh dan

berstruktur yang keseluruhan komponen-komponennya bekerja sama dalam

hubungan fungsional. Kalau dikatakan bahwa hukum itu sebagai suatu sistem,

artinya suatu susunan atau tataan teratur dati aturan-aturan hidup. Misalnya dalam

hukum perdata sebagai sistem hukum Positif.

Menurut Satjipto Raharjo secara sosiologis fungsi hukum adalah :

a. Social control (kontrol sosial)

Social control yaitu mempengaruhi warga masyarakat agar bertingkah laku

sejalan dengan apa yang telah digariskan sebagai aturan hukum termasuk nilai-

nilai yang hidup di masyarakat. Yang termasuk lingkup kontrol sosial adalah :

1) Perbuatan norma-norma hukum, baik yang memberikan peruntukan maupun


yang menentukan hubungan antara orang dengan orang.
2) Menyelesaikan sengketa dengan masyarakat.
3) Menjamin kelangsungan kehidupan masyarakat, yaitu dalam hal terjadi
perubahan-perubahan sosial.

b. Social engeneering (rekayasa sosial)

1) Penggunaan hukum secara sadar untuk mencapai suatu tertib atau keadaan
masyarakat sebagaimana diinginkan oleh pembuat hukum.
2) Fungsi ini lebih mengarah pada pembahasan sikap dan perilaku masyarakat
dirasa mendatang sesuai dengan keinginan pembuat undang-undang.

Perubahan-perubahan yang dikehendaki itu apabila berhasil pada akhirnya

akan melembaga sebagai pola-pola tingkah laku yang baru di masyarakat.

Inilah yang merupakan salah satu batas didalam penggunaan hukum sebagai

sarana pengubah dan pengatur perilaku, ini semua termasuk apa yang dinamakan
difusi, yaitu penyebaran dari unsur-unsur kebudayaan tertentu didalam masyarakat

yang bersangkutan. Proses diffusi tersebut antara lain dapat dipengaruhi oleh :

a. Pengakuan bahwa unsur kebudayaan yang bersangkutan (di dalam hal ini
adalah hukum), mempunyai kegunaan.
b. Ada tidaknya pengaruh dari unsur-unsur kebudayaan lainnya, yang mungkin
merupakan pengaruh negatif ataupun positif.
c. Sebagai suatu unsur yang baru, maka hukum tadi mungkin akan ditolak oleh
masyarakat, karena berlawanan dengan fungsi unsur yang lama.

Kedudukan dan peranan dari mereka yang menyebarluaskan hukum,

mempengaruhi efektifitas hukum di dalam merubah serta mengatur perilaku warga

masyarakat.(Rahardjo 2007) Tiga unsur yang perlu diperhatikan dalam penegakan

hukum yaitu :

1. Kepastian hukum
Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan
sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh
sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharap
adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib.
2. Kemanfaatan
Hukum adalah untuk manusia, maka hukum atau penegak hukum harus
memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat, jangan sampai timbul
keresahan di dalam masyarakat karena pelaksanaan atau penegak hukum.
3. Keadilan
Hukum itu tidak identik dengan keadilan. Hukum itu bersifat umum,
mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan. Sebaliknya keadilan bersifat
subyektif, individualistis, dan tidak menyamaratakan.
Berikut model bagan bekerjanya hukum dalam masyarakat:
EVOMengenai efektivitas hukum, Lawrence M. Friedman mengemukakan

bahwa efektif dan berhasil tidaknya penegakan hukum tergantung tiga unsur sistem
hukum, yakni struktur hukum (struktur of law), substansi hukum (substance of the

law) dan budaya hukum (legal culture). Struktur hukum menyangkut aparat penegak

hukum, substansi hukum meliputi perangkat perundang-undangan dan budaya

hukum merupakan hukum yang hidup (living law) yang dianut dalam suatu

masyarakat.

Tentang struktur hukum Friedman menjelaskan:

“To begin with, the legal sytem has the structure of a legal system consist of
elements of this kind: the number and size of courts; their jurisdiction …
Strukture also means how the legislature is organized …what procedures the
police department follow, and so on. Strukture, in way, is a kind of crosss section
of the legal system…a kind ofustill photograph, with freezes the action.” (Lawrence
M Friedman, 2019)
(Sistem hukum pada awalnya memiliki struktur sistem hukum yang terdiri dari
unsur-unsur seperti: jumlah dan ukuran pengadilan; yurisdiksi mereka …Struktur
juga berarti bagaimana badan legislatif diatur …prosedur apa yang diikuti oleh
departemen kepolisian, dan seterusnya. Struktur, dengan cara, adalah semacam
penampang sistem hukum ... semacam foto diam, dengan membekukan tindakan).
Struktur dari sistem hukum terdiri atas unsur berikut ini, jumlah dan ukuran

pengadilan, yurisdiksinnya (termasuk jenis kasus yang berwenang mereka periksa),

dan tata cara naik banding dari pengadilan ke pengadilan lainnya. Struktur juga

berarti bagaimana badan legislativ ditata, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan

oleh presiden, prosedur ada yang diikuti oleh kepolisian dan sebagainya.

Struktur adalah pola yang menunjukkan tentang bagaimana hukum

dijalankan menurut ketentuan-ketentuan formalnya. Struktur ini menunjukkan

bagaimana pengadilan, pembuat hukum dan badan serta proses hukum itu berjalan

dan dijalankan. (Marzuki, 2019)

Substansi hukum menurut Friedman adalah: “Another aspect ofuthe legal

system is its substance. By this is meant the actual rules, norm, and behavioral

patterns ofupeople inside the system …the stress here is on living law, not just
rules in law books.”(Lawrence M. Friedman, 2019) (Aspek lain dari sistem hukum

adalah substansinya. Yang dimaksud dengan aturan, norma, dan pola perilaku aktual

orang-orang di dalam sistem yang ditekankan di sini adalah hukum yang hidup,

bukan hanya aturan dalam buku hukum).

Aspek lain dari sistem hukum adalah substansinya. Yang dimaksud dengan

substansinya adalah aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia yang berada

dalam sistem itu. Jadi substansi hukum menyangkut peraturan perundang-undangan

yang berlaku yang memiliki kekuatan yang mengikat dan menjadi pedoman bagi

aparat penegak hukum.

Sedangkan mengenai budaya hukum, Friedman berpendapat: “The third

component of legal system, of legal culture. By this we mean people’s attitudes

toward law and legal system their beliefu…in other word, is the climinate of social

thought andusocial force wicch determines how law is used, avoided, or

abused.”(Komponen ketiga dari sistem hukum, budaya hukum. Yang kami maksud

dengan ini adalah sikap masyarakat terhadap hukum dan sistem hukum kepercayaan

mereka … dengan kata lain, adalah iklim pemikiran sosial dan kekuatan sosial yang

menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan).

Kultur hukum menyangkut budaya hukum yang merupakan sikap manusia

(termasuk budaya hukum aparat penegak hukumnya) terhadap hukum dan sistem

hukum. Sebaik apapun penataan struktur hukum untuk menjalankan aturan hukum

yang ditetapkan dan sebaik apapun kualitas substansi hukum yang dibuat tanpa

didukung budaya hukum oleh orang-orang yang terlibat dalam sistem dan

masyarakat maka penegakan hukum tidak akan berjalan secara efektif.


Bagan 2. Teori Sistem Hukum - Lawrence M. Friedman

Friedman mengibaratkan sistem hukum itu seperti pabrik, dimana “struktur

hukum” adalah mesin, “substansi hukum” adalah apa yang dihasilkan atau dikerjakan

oleh mesin itu dan “kultur hukum” adalah apa saja atau siapa saja yang memutuskan

untuk menghidupkan dan mematikan mesin itu serta memutuskan bagaimana mesin

itu digunakan.

Bagan 3. Interaksi Perubahan Sosial dan Perubahan Hukum


PERUBAHAN HUKUM

PERUBAHAN SOSIAL

MENGHASIL DUA PARADIGMA

Hukum dapat menciptakan perubahan sosial dalam masyarakat atau setidak-tidaknya dapat memacu
perubahan-perubahan yang berlangsung dalam masyarakat
Hukum melayani kebutuhan masyarakat, agar hukum tidak akan menjadi ketinggalan oleh

karena lajunya perkembangan masyarakat

 Law as a tool of social engineering


 Law as a tool of direct social
 Berorientasi ke masa depan (forward look-ing)
 Ius Constituendum
 Hukum berperan aktif
 Tidak hanya sekedar menciptakan ketertiban tetapi menciptakan dan mendorong
terjadinya perubahan dan perkembangan tersebut
 Perubahan cenderung diikuti oleh sistem lain karena dalam kondisi ketergantungan
 Ketertinggalan hukum di belakang perubahan sosial
 Penyesuaian yang cepat dari hukum kepada keadaan baru.
 Hukum sebagai fungsi pengabdian
 Hukum berkembang mengkuti kejadian berarti ditempatnya adalah di belakang peristiwa
bukan mendahuluinya
 Per UU-an
 Pengkajian Hukum
 Pendidikan Hukum
Bagian yang lebih besar dari hukum adalah berkaitan dengan pelanggaran

seksual, penciptaan perundang-undangan yang sangat sulit untuk dipastikan hubungan


logisnya, antara konsep pelanggaran legal dan ide-ide moral yang sebagian besar kita

pegang. Fungsi hukum kriminal adalah adalah menjaga ketertiban dan kesusilaan

publik, melindungi warga dari apa yang bisa menyerang atau melukai mereka, dan

menyediakan garis pengaman yang cukup untuk melawan eksploitasi. Fungsi hukum

untuk mengintervensi kehidupan privat warga , atau berusaha memperkuat pola

tingkah laku tertentu, lebih dari yang dibutuhkan guna mencapai tujuan-tujuan.(R.M.

Dworkin 2013)

A. Teori Kebijakan Hukum Pidana

Salah satu wacana yang mengemukan dan mempengaruhi jalannya

reformasi politik dan ekonomi di Indonesia adalah good govenance. Wacana ini

menekankan pentingnya suatu kepemerintahan kolaboratif yang mengikutsertakan

stakeholder di luar negara dalam proses pengambilan kebijakan. Kolaborasi antara

negara dengan aktor lain di luarnya ini menjadi sarat bagi efektifitas sebuah

kebijakan. Negara tidak akan dapat memahami permasalahan masyarakat dengan

tepat tanpa adanya peran aktor lain yang dekat dengan masyarakat sekaligus

memahami permasalahannya. Negara dalam kebijakan publik sering dijadikan

stakeholder tunggal.

Namun dalam wacana good governance, proses kebijakan kebijakan

diharapkan selalu melibatkan stakeholder besar, yaitu negara (pemerintahan),

kalangan swasta, dan masyarakat sipil. Dalam wacana good governance, kebijakan

tidak lagi menjadi domain negara karena kalangan swasta dan masyarakat sipil pada

dasarnya memiliki sumber daya yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan


efektivitas sebuah kebijakan. Selain itu, kalangan swasta dan masyarakat sipil juga

dapat mengambil sebuah kebijakan karena ketidakmampuan negara.

Kebijakan berawal dari istlah “Policy” (dalam bahasa inggris) ataupun

“politiek” (dalam bahasa Belanda). Peristilahan tersebut dapat dimaknakan sebagai

asas-asas umum yang fungsinya memberikan arahan pada pemerintah mapun aparat

penegak hukum di dalam mengurus, mengatur ataupun menuntaskan, menyelesaiakan

masalah-masalah public. Persoalan-persoalan masyarakat ataupun aspek-aspek

penyususnan peraturan hukum serta menentukan banyaknya hukum ataupun

peraturan di dalam satu tujuan umum yang menyasar pada langkah demi terwujudnya

kemakmuran serta kesejahtraan rakyat.

Kebijakan hukum atau kebijakan kriminal sebagai bentuk kebijakan publik

dalam menanggulangi masalah kejahatan tidak dapat lepas dari perubahan wacana

dalam proses kebijakan ini. Selama ini kebijakan kriminal dipahami sebagai ranah

Sistem Peradilan Pidana (SPP) yang merupakan reprentasi dari negara. Selain itu,

kebijakan kriminal juga lebih dipahami sebagai upaya penegakan hukum saja.

Dengan semakin meningkat, rumit dan variatifnya dalam kejahatan, SPP tidak lagi

dapat dijadikan satu-satunya stakeholder dalam kebijakan kriminal. Khususnya dalam

upaya pencegahan kejahatan. Lembaga-lembaga negara yang difungsikan untuk

melakukan pencegahan kejahatan harus melakukan kolaborasi yang terlembagakan

dengan sipil dan kalangan swasta.

Istilah “Kebijakan” di dalam penelitian ini diambil dari istilah “policy”

(Inggris) atau “politiek” (Belanda). Berdasarkan dari istilah asing tersebut, maka

istilah “Kebijakan Hukum Pidana” bisa juga dikatakan dengan “politik hukum
pidana”. Dalam refrensi asing istilah tentang poltik hukum pidana acap kali dikenal

dengan beragam istilah, yakni “penal policy”, “criminal law policy” atau

“strafrechtspolititiek”. Menurut Soedarto, politik hukum adalah :

a) Upaya demi melahirkan peraturan hukum yang baik serta peraturan-


peraturan yang baik serta serasi dengan kondisi serta situasi pada satu saat.
b) Kebijakan dari Negara dengan badan-badan yang memiliki kekuasaan demi
menentukan peraturan yang diinginkan yang diprediksi dapat dipakai untuk
mengungkapkan apa yang terdapat di dalam masyarakat serta demi meraih
sesuatu yang di cita-citakan.(Soedarto 2006)

Marc Ancel, mengemukakan pendapatnya bahwa penal policy, ialah suatu

pengetahuan sekaligus keterampilan yang memilik tujuan praktis demi

dimungkinkannya peraturan yang berlaku saat ini diformulasikan lebih baik lagi serta

demi membagikan panduan kepada legislator serta aparat penegak hukum lainnya

yang menerapkan aturan hukum. Kebijakan hukum pidana ialah bagian

elemen/unsure model criminal science selain criminal law dan criminology.

Menurut Marc Ancel, mengatakan, bahwa “Criminology” terdiri dari tiga

unsure, yakni “criminology”, “criminal law”, serta “penal policy”. Selanjutnya

“criminal policy” dapat diberikan pengertian sebagai the rational organization of the

control of crime by society. Kemudian dikemukakan, bahwa “penal policy” adalah

suatu pengetahuan sekaligus ketrampilan yang memiliki tujuan praktis demi

dimungkinkannya peraturan yang berlaku saat ini diformulasikan lebih baik lagi serta

demi membagikan panduan kepada legislator serta aparat penegak hukum lainnya

yang menerapkan aturan hukum, selanjutnya dikatakan olehnya :

Between the study of criminological factor on the hand, and the legal technique
on the other, there is room for a science which observes legislative phenomenon
and for a rational art within which scholar and pragtitioner, criminologist and
lawyers can come together, not as antagonist or fratricidal strife, but as fellow-
workers engaged in a common taks, which is first and foremost to bring into
effect a realistic, humane, and healthily progressive penal policy.
(terjemahan bebas: diantara riset tentang penyebab-penyebab kriminologis di

salah satu pihak serta riset tentang teknik perundang-undangan di pihak lainnya,

terdapat ruang untuk suatu ilmu pengetahuan yang melihat serta menganalisis

fenomena legeslatif serta untuk suatu ketrampilan yang logis, yang mana para pakar

serta praktisi, para pakar kriminologi serta pakar hukum bisa bekerja sama dan bukan

sebagai pihak yang berselisih, namun sebagai team yang terikat dalam pekerjaan

bersama, yakni utamanya demi menghasilkan suatu kebijakan pidana yang realistis,

humanis, serta berfikiran maju).

Upaya tersebut melingkupi pembuatan peraturan hukum serta kegiatan aparat

penegak hukum sebagaimana tugas serta fungsinya sendiri bahwa kebijakan pidana

tiada dapat bergerak sendiri, karena bartalian dengan penegak hukum baik hukum

pidana, hukum privat, ataupun hukum administrasi.(Suartha 2015b) Ruang lingkup

penal policy melewati tingkat-tingkat fungsionalisasi hukum pidana yang antara lain :

a) Tingkat perumusan/formulasi, yakni tingkat penegakan hukum in abstracto


oleh legislator, tingkat ini dikatan sebagai tingkat kebijakan legeslatif;
b) Tingkat penerapan/aplikasi, yakni tingkat implementasi hukum pidana in
contreto oleh aparat penegak hukum dimulai pada tingkat penyeledikan di
Kepolisian sampai pada tingkat Pengadilan. Tingkat ini dikatakan sebagai
tingkat yudikatif;
c) Tingkat eksekusi, yaitu tingkat penerapan hukum pidana secara nyata oleh
aparat pelaksana hukum pidana, tingkat ini dikatakan sebagai tingkat
administrative.
Tingkat perumusan/formulasi ialah tingkat yang sangat penting di dalam

seluruh proses kebijakan demi dapat mengimplementasikan serta mengoprasionalkan

pemidanaan serta sanksi pidananya. Tingkatan ini dilalui dengan memformulasikan

peraturan-peraturan tentang perbuatan yang dilarang serta diwajibkan oleh hukum,

akibatnya menjadi panduan di dalam memutuskan garis kebijakan untuk tingkatan

selanjutnya yakni tingkatan implementasi pidana oleh badan peradilan, serta tingkatan

implementasi pidana, kesalahan ataupun kelemahan kebijakan legeslatif ialah

kesalahan strategis sebagai kendala usaha pencegahan serta penanggulangan

kejahatan di tingkat penerapan maupun eksekusi. Tahap pelaksanaan pidana,

kesalahan atau kelemahan kebijakan legeslatif merupakan kesalahan strategis yang

menjadi hambatan upaya pencegahan serta penanggulangan kejahatan pada tahap

aplikasi maupun eksekusi.

Kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana

hukum pidana (penal policy) sering dikenal dengan istilah “kebijakan hukum pidana”

atau “politik hukum pidana”. Marc Ancel, berpendapat bahwa kebijakan hukum

pidana (penal policy) merupakan suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya

mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan

secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-

undang, melainkan juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan

juga kepada para pelaksana putusan pengadilan. Kebijakan hukum pidana (penal

policy) tersebut merupakan salah satu Komponen dari model criminal science

disamping criminology dan criminal law.


Sudarto berpendapat bahwa melaksanakan “politik hukum pidana” berarti

mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan yang paling baik

dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Dalam kesempatan lain

dikemukakan pula, bahwa melaksanakan “politik hukum pidana” mempunyai arti

sebagai usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai

dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan

datang.

Mengingat pentingnya tahap formulasi dalam fungsionalisasi atau

operasionalisasi keibijakan hukum pidana (penal policy), maka kebijakan penggunaan

sanksi pidana dalam Perda sebagai bagian dari kebijakan hukum pidana (penal

policy) sudah seharusnya memperhatikan ukuran atau kriteria iersebut di atas. Dasar

Pertirnbangan adanya kebijakan penggunaan sanksi pidana dalam Perda melalui

pencantuman ketentuan (ancaman) pidana seharusnya tidak boleh melepaskan dari

ukuran atau kriteria dalam kebijakan kriminalisasi. Pembentuk peraturan tidak hanya

menetapkan tentang perbuatan-perbuatan yang dapat dikenai hukum pidana, tetapi

juga menunjuk macam-macam sanksi yang dapat diterapkan; begitu pula maksimum

ukuran pidana.

Pengaturan sanksi pidana dan pemidanaan memiliki kaitan erat dengan

sistem pidana dan pemidanaan secara keseluruhan. Sistem ini mencakup berbagai

aspek, seperti jenis sanksi pidana, perumusan sanksi pidana, dan lamanya atau

beratnya ancaman pidana. Kebijakan hukum pidana bertujuan untuk menciptakan

peraturan perundang-undangan pidana yang baik, yang sesuai dengan kondisi pada

saat ini (ius costitutum) dan masa depan (ius constituendum).


Dalam kebijakan hukum pidana, terdapat dua masalah sentral yang perlu

dianalisis, yaitu penentuan perbuatan apa yang harus dijadikan tindak pidana dan

sanksi apa yang sebaiknya dikenakan kepada pelanggar. Analisis terhadap dua

masalah ini tidak dapat dipisahkan dari konsepsi yang integral antara kebijakan

kriminal dengan kebijakan sosial. Oleh karena itu, kebijakan hukum pidana, termasuk

penanganan dua masalah sentral tersebut, harus dilakukan dengan pendekatan yang

berorientasi pada kebijakan (policy-oriented approach). Dalam menghadapi masalah

pertama, pendekatan ini dikenal sebagai "kebijakan kriminalisasi".

Kebijakan kriminalisasi merupakan kebijakan untuk menetapkan suatu

perbuatan yang sebelumnya bukan tindak pidana menjadi pidana. Secara hakiki,

kriminalisasi merupakan bagian dari kebijakan kriminal dengan menggunakan hukum

pidana sebagai sarana, dan oleh karena itu merupakan bagian dari "kebijakan hukum

pidana", khususnya dalam aspek formulasi kebijakan. Pendekatan ini digunakan

sebagai alat analisis untuk menjawab pertanyaan mengenai urgensi, yaitu bagaimana

kebijakan pidana mengatur perubahan dalam hukum pidana.

A. Teori Pemidanaan

Hukum pidana merupakan bagian integral dari sistem hukum secara umum.

Tujuan utama hukum pidana adalah memberikan sanksi kepada individu yang

melakukan kejahatan. Pembahasan mengenai hukum pidana tidak dapat terlepas dari

pemidanaan, yang merujuk pada penghukuman yang diberikan kepada pelaku

kejahatan.

Moeljatno membedakan pengertian pidana dan hukuman. Beliau tidak setuju

dengan terminologi konvensional yang menyatakan bahwa hukuman berasal dari kata
straf dan dihukum berasal dari perkataan word gestraft. Beliau menggunakan

terminologi yang tidak konvensional, dengan pidana menggantikan kata straf dan

diancam dengan pidana menggantikan kata word gestraft. Hal ini disebabkan jika kata

straf diartikan sebagai hukuman, maka kata straf recht akan berarti hukum-hukuman.

Menurut Moeljatno, dihukum berarti diterapi hukum, baik dalam konteks hukum

perdata maupun hukum pidana. Hukuman adalah hasil atau konsekuensi dari

penerapan hukum yang memiliki makna yang lebih luas, karena dalam hal ini juga

mencakup keputusan hakim dalam konteks hukum perdata.

Pemidanaan merupakan aspek penting dalam hukum pidana karena

merupakan puncak dari seluruh proses pertanggungjawaban terhadap seseorang yang

melakukan tindak pidana. Hukum pidana tanpa pemidanaan akan berarti menyatakan

seseorang bersalah tanpa adanya konsekuensi yang pasti atas kesalahannya. Oleh

karena itu, konsepsi mengenai kesalahan memiliki pengaruh signifikan terhadap

penerapan pidana dan proses pelaksanaannya. Jika kesalahan dipahami sebagai

sesuatu yang dapat dicela, maka pemidanaan merupakan wujud dari celaan tersebut.

Secara umum, teori pemidanaan dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu:

Teori Absolut atau Teori Pembalasan (Vergeldings Theorien): Menurut

teori ini, pidana diberlakukan semata-mata karena seseorang melakukan kejahatan

atau tindak pidana. Teori ini diperkenalkan oleh Kent dan Hegel. Teori Absolut

didasarkan pada pandangan bahwa pidana bukanlah tujuan praktis, seperti

memperbaiki pelaku kejahatan, tetapi pidana adalah tuntutan mutlak yang harus ada

sebagai pembalasan terhadap orang yang melakukan kejahatan. Dalam pandangan ini,
sanksi dalam hukum pidana dijatuhkan semata-mata karena individu telah melakukan

kejahatan yang harus mendapatkan pembalasan sebagai tuntutan keadilan.

Teori Relatif atau Teori Tujuan (Doel Theorien): Teori ini berpendapat

bahwa pidana merupakan alat untuk menjaga tata tertib (hukum) dalam masyarakat.

Teori ini berbeda dengan teori absolut, karena dasar pemikirannya adalah bahwa

pemberian pidana memiliki tujuan untuk memperbaiki sikap mental atau menjadikan

pelaku pidana tidak berbahaya lagi. Hal ini membutuhkan proses pembinaan sikap.

Teori gabungan atau teori modern menyatakan bahwa tujuan pemidanaan

bersifat plural karena menggabungkan prinsip-prinsip relatif (tujuan) dan absolut

(pembalasan) sebagai satu kesatuan. Teori ini mencakup karakter pembalasan sebagai

bentuk kritik moral terhadap tindakan yang salah, sementara karakter tujuannya

terletak pada ide bahwa kritik moral tersebut bertujuan untuk melakukan reformasi

atau perubahan perilaku terpidana di masa depan.

3. Teori Gabungan/Modern (Vereningings Theorien)

Teori ini diperkenalkan oleh Prins, Van Hammel, dan Van List dengan

pandangan sebagai berikut:

a. Tujuan utama pemidanaan adalah memberantas kejahatan sebagai

fenomena dalam masyarakat.

b. Ilmu hukum pidana dan perundang-undangan pidana harus

mempertimbangkan hasil studi dalam bidang antropologi dan sosiologi.

c. Pemidanaan merupakan salah satu alat yang paling efektif yang dapat

digunakan pemerintah untuk memberantas kejahatan. Namun, pemidanaan tidak


boleh digunakan sebagai satu-satunya sarana, tetapi harus digabungkan dengan upaya

sosial.

Pandangan di atas menunjukkan bahwa teori ini mewajibkan pemidanaan

untuk memberikan penderitaan secara fisik dan psikologis, serta yang terpenting

adalah memberikan pemidanaan yang disertai dengan pendidikan. Dari penjelasan

tersebut, dapat disimpulkan bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk mencapai

perbaikan dalam diri individu yang melakukan kejahatan, terutama dalam kasus-kasus

kejahatan yang ringan. Namun, untuk kasus-kasus kejahatan tertentu yang dianggap

dapat merusak kehidupan sosial dan masyarakat, dan jika dianggap bahwa pelaku

kejahatan tersebut tidak dapat diperbaiki, maka karakter pembalasan dalam

pemidanaan tidak dapat dihindari.

E. Teori Moral (Moral Sense Theory)

Moral adalah keseluruhan kaidah dan nilai berkenaan dengan ihwal “baik’

atau perbuatan baik manusia.(Sidharta 2011) Moralitas adalah kualitas dalam

perbuatan manusia yang menunjukkan bahwa perbuatan itu benar atau salah, baik

atau buruk. Moralitas mencakup baik buruknya perbuatan manusia.(Puspoprodjo

1999) Konsep Emile Durkheim, hukum sebagai moral sosial pada hakekatnya adalah

ekspresi solidaritas sosial yang berkembang dalam suatu masyarakat.(Rahardjo,

Progresif, and Indonesia 2010) Hukum dalam hakekat moralnya sebagai ekspresi

solidaritas sosial tak akan mungkin ditopang oleh kekuatan-kekuatan sanksi yang

bersifat menindak (yang tujuan utamanya adalah untuk melampiaskan dendam

pembalasan).
Menurut teori Theodorb Geiger, hukum itu gejala sosial, Geiger cenderung

menyangkal peran moral dalam hukum. Hidup bersama dalam masyarakat modern,

menurut Geiger, makin kurang dilandasi pertimbangan-pertimbangan moral. Bahkan

konsensus dalam bidang moral, sudah jarang ditemukan lagi. Oleh karena itu,

peraturan-peraturan hidup bersama, tidak dapat dibebani pertimbangan-pertimbangan

moral. Dengan kata lain, nilai-nilai tidak lagi memainkan peran dalam hukum.

Pengandaian dasar teori diskursus hukum dan moralitas yang dirumuskan Habermas

adalah bahwa dalam masyarakat modern yang plural, norma-norma sosial yang

diberlakukan hanya dapat meraih validitasnya dari akal budi manusia. Hanya norma-

norma yang didasarkan pada akal budi manusialah yang dapat mengikat interaksi

diskursif antara kelompok dan individu yang berbeda-beda dalam masyarakat plural.

(Wattimena 2007)

Individu-individu terperangkap dalam genggaman hukum sejak hari yang

paling awal dalam kehidupan mereka dan pandangan-pandangan awal mereka

tentang moral terbentuk oleh pengaruh tersebut. Olivecrona mengemukakan bahwa

sebenarnya tidak pernah ada suatu penyebab tunggal untuk suatu hal yang rumitnya

seperti ide-ide moral. Perintah ditanamkan secara langsung oleh para orang tua, guru

dan lain-lain. Dengan demikian Olivercrona berkesimpulan bahwa penggunaan

paksaan (yang dapat dipandang sebagai sesuatu yang menjadi dasar bagi hukum)

merupakan salah satu faktor prinsipil dalam pembentukan standar-standar dan bukan

sebaliknya.(A. Ali and Heryani 2012)

Dalam konteks krisis hukum dewasa ini, maka Satjipto Rahardjo

memberikan penilaian yang khas sebagai akar penyebabnya. Dikatakan bahwa


“selama ini ilmu hukum bagaikan tertidur mengamini pikiran hukum dominan yang dimonopoli oleh
para profesional hukum. Tertib hukum, kepastian hukum, logika hukum, dan lain-lain merupakan

instrumen profesional yang ampuh untuk memperlancar bisnis lawyering sesungguhnya krisis

sekarang ini seharusnya menggugah para ilmuwan hukum untuk menyumbangkan pendekatan dan

metodologi lain di luar yang dominan tersebut”. Alasan untuk itu sederhana saja, yaitu karena pikiran

atau aliran dominan telah gagal membantu kita meyelesaikan krisis hukum dewasa ini.

Pada penjelasan teori moral diatas bahwa mennjukkan terkait dengan urgensi dari penelitian

tersebut maka dari itu teori ini dapat digunakan untuk menganalisis pada rumusan masalah yang

pertama.

1.7.1 Penjelasan Konsep

Pelacuran

Secara etimologi, kata "pelacuran" berasal dari bahasa Latin "prostituere"

yang berarti membiarkan diri terlibat dalam perbuatan zina, persundalan, pencabulan,

dan pergendakan. Istilah "prostitute" merujuk pada istilah yang mengacu pada WTS

atau sundal yang juga dikenal sebagai Wanita Tuna Susila (WTS). Menurut Kamus

Besar Bahasa Indonesia (KBBI), WTS adalah orang yang menjual diri (persundalan)

atau orang sundal. Pelacuran juga dapat diartikan sebagai pekerjaan yang melibatkan

penyerahan diri atau penjualan jasa kepada publik untuk melakukan aktivitas seksual

dengan imbalan sesuai dengan perjanjian sebelumnya. Orang yang menjual jasa

seksual disebut sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK).

Definisi serupa juga terdapat dalam Black Law Dictionary yang menyatakan

bahwa pelacuran adalah tindakan terlibat dalam aktivitas seksual untuk uang atau

setara dengan uang, yang dikomersialkan.

Secara umum, pelacuran adalah praktik hubungan seksual sesaat dengan

siapa saja, dengan imbalan uang. Tiga unsur utama dalam pelacuran adalah
pembayaran, promiskuitas, dan ketidakacuhan emosional. Wanita yang terlibat dalam

pelacuran sekarang dikenal sebagai PSK, yang berarti wanita yang secara berulang

kali terlibat dalam hubungan seksual di luar pernikahan yang sah dan menerima uang,

barang, atau jasa.

Kartini Kartono dalam bukunya yang berjudul "Patologi Sosial" memberikan

definisi pelacuran sebagai berikut: (1) pelacuran adalah bentuk penyimpangan seksual

dengan pola impuls atau dorongan seksual yang tidak wajar dan tidak terintegrasi,

yang diekspresikan melalui pelampiasan nafsu seksual tanpa kendali dengan banyak

orang, disertai dengan eksploitasi dan komersialisasi seks yang tanpa afeksi; (2)

pelacuran juga merupakan penjualan diri dengan menjual tubuh, kehormatan, dan

identitas kepada banyak orang untuk memuaskan nafsu seksual dengan imbalan

pembayaran; (3) pelacuran terjadi karena tindakan perempuan atau laki-laki yang

menjual tubuhnya untuk kegiatan cabul dengan imbalan.

W.A Bonger menyatakan bahwa pelacuran merupakan salah satu unsur

pidana kesusilaan. Pelacuran adalah fenomena sosial di mana wanita menjual diri dan

terlibat dalam aktivitas seksual sebagai mata pencaharian. Sarjana P.J. de Bruine van

Amstel menyatakan bahwa pelacuran adalah penyerahan diri wanita kepada banyak

pria dengan imbalan uang. Paul Moedikdo Moeliono juga berpendapat bahwa

pelacuran adalah penyerahan tubuh wanita dengan menerima pembayaran, untuk

memuaskan nafsu seksual orang-orang tersebut.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat empat

elemen utama dalam definisi pelacuran yang dapat ditegakkan, yaitu (1) pembayaran,

(2) perselingkuhan, (3) ketidakacuhan emosional.


Pasal 296 KUHP mengatur bahwa seseorang dapat dijerat hukum jika mereka

menyediakan rumah atau kamar kepada pria dan wanita untuk melakukan pelacuran

(hubungan seksual atau melepaskan nafsu seksual). Biasanya, tempat tidur juga

disediakan untuk tujuan ini. Dalam hal ini, pemilik rumah yang memanfaatkan

rumahnya sebagai tempat pelacuran dan menjadikannya sebagai mata pencaharian

dapat dikenai sanksi sesuai dengan Pasal 296 KUHP. Namun, perlu dicatat bahwa

pelacuran adalah pemanfaatan seseorang dalam aktivitas seksual dengan imbalan, dan

bukan sekadar pelanggaran moral tetapi merupakan kegiatan perdagangan. Sejumlah

konvensi internasional telah dibuat untuk melindungi perempuan dan anak

perempuan dari praktik ini yang merugikan.

Perdagangan perempuan dan anak perempuan adalah konsep yang relatif

baru dalam masyarakat. Meskipun konsep ini telah ada sekitar 20 tahun, masyarakat

umum mengenalnya sebagai pelacuran. Di beberapa negara, istilah pelacuran

dianggap memiliki konotasi negatif. Di Indonesia, mereka yang terlibat dalam

pelacuran disebut sebagai Wanita Tuna Susila (WTS), yang menunjukkan bahwa

mereka dianggap tidak bermoral karena melakukan pekerjaan yang bertentangan

dengan nilai-nilai moral yang berlaku dalam masyarakat.

Pandangan seperti ini memberikan stigma negatif kepada pekerja seks

sebagai orang yang kotor, hina, dan tidak berharga, sementara pihak yang

mempekerjakan mereka dan memperoleh keuntungan besar dari kegiatan ini tidak

mendapatkan stigma serupa. Namun, jika dilihat dari sudut pandang yang lebih luas,

kita dapat menyadari bahwa pekerja seks sebenarnya terlibat dalam kegiatan

perdagangan yang melibatkan tidak hanya perempuan yang memberikan layanan


seksual dengan imbalan uang. Ini adalah kegiatan perdagangan yang melibatkan

berbagai pihak. Jaringan perdagangan ini juga meluas ke wilayah yang lebih luas,

terkadang melibatkan tidak hanya satu negara tetapi beberapa negara sekaligus.

Banyak studi yang telah dilakukan oleh para ahli untuk mendapatkan

jawaban mengenai faktor yang mempengaruhi perempuan menjadi pelacur.

Koentjoro menemukan adanya tiga motif utama yang menyebabkan perempuan

memasuki dunia pelacuran, yaitu :

a. Motif psikoanalisis menekankan aspek neurosis pelacuran, seperti bertindak

sebagaimana konflik Oedipus dan kebutuhan untuk menentang standar orang

tua dan sosial.

b. Motif ekonomi secara sadar menjadi faktor yang memotivasi. Motif ekonomi

ini yang dimaksud adalah uang.

c. Motivasi situasional, termasuk di dalamnya penyalahgunaan kekuasaan orang

tua, penyalahgunaan fisik, merendahkan dan buruknya hubungan dengan

orang tua. Weisberg juga meletakkan pengalaman di awal kehidupan, seperti

pengalaman seksual diri dan peristiwa traumatik sebagai bagian dari motivasi

situasional. Dalam banyak kasus ditemukan bahwa perempuan menjadi

pelacur karena telah kehilangan keperawanan sebelum menikah atau hamil di

luar nikah.

Berbeda dengan pendapat di atas, Koentjoro mengemukakan bahwa:

“Faktor yang melatarbelakangi seseorang untuk menjadi pelacur adalah faktor


kepribadian. Ketidakbahagiaan akibat pola hidup, pemenuhan kebutuhan untuk
membuktikan tubuh yang menarik melalui kontak seksual dengan bermacam-
macam pria, dan sejarah perkembangan cenderung mempengaruhi perempuan
menjadi pelacur.”
Kemudian secara rinci Kartini Kartono menjelaskan motif-motif yang

melatarbelakangi pelacuran pada wanita adalah sebagai berikut:(Kartono 2005).

a) Terdapat kecenderungan bagi banyak wanita untuk terlibat dalam

pelacuran sebagai jalan keluar dari kesulitan hidup dan untuk mendapatkan

kesenangan dengan cara instan. Kurangnya pemahaman, pendidikan yang minim,

dan buta huruf menjadi faktor yang menghalalkan praktik pelacuran.

b) Terdapat dorongan seksual yang tidak normal dan tidak terintegrasi

dengan kepribadian, serta hasrat seksual yang berlebihan. Hal ini menyebabkan

ketidakpuasan dalam menjalin hubungan seksual dengan satu pria atau suami.

c) Tekanan ekonomi, kemiskinan, dan pertimbangan-pertimbangan

ekonomi menjadi faktor yang mendorong wanita untuk terlibat dalam pelacuran

guna mempertahankan kelangsungan hidup mereka, terutama dalam upaya untuk

mencapai status sosial yang lebih baik.

d) Keinginan yang tinggi terhadap materi dan kesenangan yang berlebihan

terhadap pakaian dan perhiasan mewah. Wanita ingin hidup dalam kemewahan

tanpa harus bekerja keras.

e) Kompensasi terhadap perasaan inferioritas. Terjadi penyesuaian yang

negatif, terutama pada masa pubertas dan remaja. Terdapat keinginan untuk

melampaui orang tua, saudara perempuan, teman sebaya perempuan, bibi, atau

wanita lainnya.

f) Rasa ingin tahu anak perempuan yang masih kecil dan remaja terhadap

masalah seksual, yang kemudian terjerumus ke dalam dunia pelacuran karena

rayuan penjahat seksual.


g) Anak perempuan memberontak terhadap otoritas orang tua yang

menerapkan larangan dan aturan-aturan seksual yang banyak. Mereka juga

memberontak terhadap masyarakat dan norma-norma moral yang dianggap terlalu

membatasi remaja, sehingga lebih cenderung menyukai pola seks bebas. Pada masa

kanak-kanak, mereka mungkin telah melakukan hubungan seksual atau memiliki

kecenderungan untuk menjalin hubungan seks sebelum menikah (hubungan seks

pranikah) sebagai tindakan iseng atau untuk menikmati "masa indah" di saat muda.

h) Anak perempuan yang berasal dari daerah kumuh (kampung miskin dan

lingkungan yang tidak bermoral) yang sejak kecil sering melihat hubungan seksual

orang dewasa secara kasar dan terbuka, sehingga mental mereka terkondisikan

dengan tindakan asusila. Mereka kemudian menggunakan mekanisme promiskuitas

atau pelacuran untuk bertahan hidup.

i) Rayuan dari pria atau makelar, terutama yang menjanjikan pekerjaan

terhormat dengan gaji tinggi.

j) Stimulasi seksual yang berlebihan melalui film porno, gambar cabul,

bahan bacaan yang tidak pantas, kelompok-kelompok remaja yang terlibat dalam

praktik seksual, dan lain sebagainya.

k) Para pelayan toko dan pembantu rumah tangga yang tunduk dan patuh

dalam memenuhi kebutuhan seksual majikan mereka agar tetap mempertahankan

pekerjaan.

Dari pendapat-pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa faktor-

faktor yang melatarbelakangi seseorang memasuki dunia pelacuran dapat dibagi

menjadi dua, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal berupa
rendahnya standar moral dan nafsu seksual yang dimiliki orang tersebut. Sedangkan

faktor eksternal berupa kesulitan ekonomi, korban penipuan, korban kekerasan

seksual dan keinginan untuk memperoleh status sosial yang lebih tinggi.

1) Kriminalisasi

Kriminalisasi adalah objek studi dalam hukum pidana yang mencakup

penentuan suatu tindakan sebagai perbuatan pidana yang diancam dengan sanksi

atau hukuman yang ditetapkan oleh aparat hukum yang berwenang. Menurut

Kamus Besar Bahasa Indonesia, kriminalisasi adalah proses di mana perilaku yang

sebelumnya tidak dianggap sebagai tindak pidana, kemudian dianggap sebagai

tindak pidana oleh masyarakat.

Secara etimologis, istilah ini berasal dari bahasa Inggris "Criminalization"

yang memiliki padanan dalam bahasa Belanda "Criminalisate". Kriminalisasi

adalah proses penetapan suatu perbuatan yang awalnya bukan tindak pidana atau

tidak diatur dalam hukum pidana, namun kemudian menjadi tindak pidana karena

perkembangan masyarakat.

Soerjono Soekanto menyatakan bahwa kriminalisasi adalah tindakan atau

penetapan penguasa mengenai perbuatan-perbuatan tertentu yang oleh masyarakat

dianggap sebagai perbuatan yang dapat dipidana, sehingga perbuatan tersebut

menjadi perbuatan pidana yang dapat dihukum oleh pemerintah atas nama rakyat.

Dr. H. Moh. Hatta, S.H. menjelaskan bahwa kriminalisasi adalah kebijakan

kriminal atau kebijakan kriminal yang bertujuan untuk mencegah dan menangani

kejahatan. Kebijakan kriminal ini tidak terlepas dari kebijakan sosial yang bertujuan

untuk menciptakan kesejahteraan sosial dan melindungi masyarakat.


Dengan demikian, kriminalisasi melibatkan penetapan atau kebijakan yang

ditetapkan oleh penguasa atau pemerintah yang sedang berkuasa, dan penetapan ini

dibuat oleh badan legislatif sebagai wakil rakyat yang bertugas merancang dan

membuat peraturan perundang-undangan. Penetapan apakah suatu perbuatan layak

atau tidak untuk dijadikan tindak pidana berasal dari pandangan masyarakat.

Secara keseluruhan, kriminalisasi merupakan kebijakan kriminal yang

bertujuan untuk mencegah dan menangani kejahatan serta menciptakan

kesejahteraan sosial dalam masyarakat.

Kriminalisasi, menurut Soetandyo Wignjosoebroto, adalah pernyataan

bahwa suatu perbuatan harus dianggap sebagai tindak pidana yang hasilnya adalah

keputusan berdasarkan penimbangan normatif. Dalam konteks nilai, kriminalisasi

dapat diartikan sebagai perubahan nilai yang menyebabkan beberapa perbuatan

yang sebelumnya tidak dianggap buruk dan tidak dituntut pidana, berubah menjadi

perbuatan yang dianggap buruk dan perlu dihukum.

Pengertian kriminalisasi ini menyiratkan bahwa cakupan kriminalisasi

terbatas pada penetapan suatu perbuatan sebagai tindak pidana yang diancam

dengan sanksi pidana. Namun, menurut Paul Cornill, pengertian kriminalisasi tidak

terbatas pada penetapan perbuatan sebagai tindak pidana, melainkan juga mencakup

penambahan atau peningkatan sanksi pidana terhadap tindak pidana yang sudah

ada.

Dalam perspektif nilai, kriminalisasi dapat dipahami sebagai perubahan

nilai yang menyebabkan sejumlah perbuatan yang sebelumnya tidak dianggap


buruk dan tidak dituntut pidana, berubah menjadi perbuatan yang dianggap buruk

dan perlu dihukum. Dalam perspektif labeling, kriminalisasi adalah keputusan

badan pembentuk undang-undang pidana untuk memberi label terhadap perilaku

manusia sebagai kejahatan atau tindak pidana.

Pembenaran untuk mengkriminalisasi suatu perbuatan sebagai tindak

pidana lebih banyak didasarkan pada faktor di luar hukum pidana, seperti nilai-nilai,

ilmu pengetahuan, dan kebijakan. Nilai-nilai atau norma-norma sosial yang menjadi

sumber pembentukan norma hukum pidana meliputi nilai-nilai agama dan norma-

norma yang hidup dalam kesadaran masyarakat.

BAB II

URGENSI KRIMINIALISASI PADA PERBUATAN PELACURAN DALAM HUKUM

PIDANA DI INDONESIA

1.1 Esensi Dari Perbuatan Pelacuran

Pelacuran dianggap sebagai penyakit masyarakat dan masalah sosial.

Pelacuran merupakan tindakan atau perbuatan yang melanggar norma-norma

masyarakat. Asal kata "pelacuran" berasal dari bahasa Latin "prostituo" yang berarti

perilaku yang secara terang-terangan menyerahkan diri pada perzinahan.

Perzinahan, menurut hukum, adalah hubungan seksual yang terjadi antara

seseorang yang sudah menikah (baik suami atau istri) dengan orang lain yang bukan

pasangan sahnya. Namun, dalam konteks pelacuran, seorang pelacur dapat berupa

wanita maupun pria, meskipun jumlah yang berpendapat demikian relatif kecil.

Menurut W.A Bonger, pelacuran adalah fenomena sosial di mana wanita

menjual dirinya untuk melakukan aktivitas seksual sebagai mata pencaharian.


Sementara itu, Kartini Kartono menyatakan bahwa pelacuran adalah bentuk

penyimpangan seksual dengan pola organisasi impuls/dorongan seksual yang tidak

wajar dan terfragmentasi, di mana kebutuhan seksual diekspresikan secara tanpa

afeksi dan dipersonalisasi dalam bentuk promiskuitas, eksploitasi, dan

komersialisasi seksual.

Pelacuran dianggap sebagai kejahatan secara sosial. Para ahli di Indonesia

memberikan pendapat-pendapat berikut mengenai pelacuran:

Paulus Moedikdo Moelyono: Pelacuran adalah penyerahan tubuh wanita

dengan menerima bayaran kepada banyak orang untuk memuaskan nafsu mereka.

Budisoesetyo: Pelacuran adalah pekerjaan yang melibatkan penyerahan

diri kepada publik untuk melakukan hubungan seksual dengan imbalan. Warouw

(medikus): Pelacuran adalah menggunakan tubuh sendiri sebagai alat untuk

memuaskan kebutuhan seksual orang lain dengan mencapai keuntungan.

Dari definisi-definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pelacuran

melibatkan unsur ekonomi berupa pembayaran, unsur "umum" yang melibatkan

partner seks yang tidak selektif, dan unsur kontinu yang dilakukan secara berulang

kali.

Berdasarkan pendapat dari W.A. Bonger dan Sarjana PJ. De Bruine Van

Amstel, pelacuran dapat didefinisikan sebagai penyerahan diri seorang wanita

kepada banyak laki-laki dengan pembayaran tertentu. Dalam sejarahnya, pelacuran

diartikan sebagai penyerahan diri seorang wanita kepada banyak laki-laki dalam

hubungan seksual dengan imbalan tertentu.


Pelacuran melibatkan penjualan diri sebagai profesi atau mata pencaharian

sehari-hari dengan melakukan hubungan seksual dengan imbalan. Untuk

dikategorikan sebagai pelacur, seseorang harus memenuhi unsur-unsur berikut:

a. Penyerahan diri seorang wanita.

b. Terhadap banyak laki-laki secara umum, tanpa seleksi.

c. Laki-laki yang terlibat membayar sejumlah uang atau barang.

Beberapa faktor sosial yang menyebabkan munculnya pelacuran, menurut

Kartini Kartono, antara lain:

Pelacuran dapat ditemukan dalam berbagai bentuk di masyarakat, termasuk

pelacuran jalanan atau kelas rendah dan pelacuran kelas tinggi yang melayani

panggilan ke hotel atau tempat sejenisnya. Pelacuran sudah ada di Indonesia sejak

zaman kerajaan. Setelah Indonesia merdeka, pelacuran merajalela di berbagai wilayah

akibat dampak perang yang panjang, demoralisasi yang ditinggalkan penjajah, dan

ketidakpastian ekonomi. Terdapat kompleks pelacuran besar yang dapat menampung

ratusan bahkan ribuan pelacur, baik yang diatur oleh pemerintah daerah, setengah

resmi, maupun yang liar di beberapa kota di Indonesia.

Departemen Sosial Republik Indonesia memberikan perumusan tentang

pelacuran dan menilai pelacur dalam kaitannya dengan Undang-Undang Dasar 1945.

Menurut Departemen Sosial RI, pelacuran adalah setiap hubungan seksual di luar

perkawinan yang sah antara pria dan wanita yang dilakukan oleh salah satu pihak

dengan maksud mendapatkan keuntungan bagi dirinya sendiri atau orang lain.

Pelacuran dianggap sebagai mata pencaharian yang tidak halal, bertentangan dengan

UUD 45, agama, dan kepribadian bangsa Indonesia.


Simone de Beauvoir, seorang filsuf wanita, membandingkan peran istri dan

pelacur. Simone membedakan bahwa istri terikat untuk memberikan layanan seks

selama waktu yang tidak terbatas, dan karena menjadi milik seseorang, ia dilindungi.

Di sisi lain, pelacur tidak memiliki pemilik, sehingga ia dianggap sebagai "barang"

yang tidak berharga, dan layanan seksualnya hanya bersifat sementara. Simone tidak

menekankan unsur uang atau keuntungan materi sebagai penentu seseorang menjadi

pelacur, tetapi ia menetapkan kriteria pelacur berdasarkan hubungan seks tanpa

diskriminasi antara seorang wanita dengan pria siapa pun.

Dalam konteks ini, pelacuran dapat didefinisikan sebagai tindakan seorang

wanita yang menyediakan dirinya kepada banyak pria (lebih dari satu) dengan

imbalan pembayaran untuk kepuasan seksual dan sebagai objek pemenuhan nafsu

seksual bagi para pria pembayar, dilakukan di luar ikatan pernikahan. Pelacur adalah

istilah yang digunakan untuk merujuk pada wanita yang menjual diri kepada siapa

saja atau banyak pria yang membutuhkan kepuasan seksual di luar pernikahan, dan si

wanita menerima imbalan uang dari pria yang melakukan hubungan seksual

dengannya.

Beberapa pendapat berpendapat bahwa pria juga dapat menjadi pelacur, atau

ada juga pendapat yang menyatakan bahwa hubungan seks yang tidak wajar

(homoseksual dan lesbian) termasuk dalam kategori pelacuran. Dengan demikian,

pelacuran dapat dilakukan oleh baik wanita yang sering disebut sundal, balon, lonte,

maupun oleh pria yang sering disebut gigolo. Dalam hal ini, terdapat kesamaan

predikat pelacur antara pria dan wanita yang melakukan hubungan seks di luar

pernikahan, baik dengan sesama perempuan (lesbian) maupun sesama pria (hubungan
homoseksual), jika dilakukan dengan pertukaran atau pembayaran uang, hadiah, atau

barang berharga lainnya.

Dalam penulisan ini, penulis membatasi diri pada masalah pelacuran yang

dilakukan oleh wanita sebagai pelaku utama dan hubungan seksual antara individu

berbeda jenis kelamin. Penulis mengutip pengertian pelacur yang dikemukakan oleh

Kartini Kartono, yaitu sebagai berikut:

Pelacuran adalah bentuk penyimpangan seksual dalam bentuk

promiskuitas, yaitu pelampiasan nafsu seksual tanpa kendali dengan banyak orang,

yang juga melibatkan eksploitasi dan komersialisasi seks.

Pelacuran adalah tindakan menjual diri (persundalan) dengan cara

memperdagangkan tubuh, martabat, dan identitas seseorang kepada banyak orang

untuk memuaskan nafsu seksual dengan imbalan pembayaran.

Pelacuran adalah tindakan seorang wanita atau pria yang menyerahkan

tubuhnya untuk tindakan cabul secara seksual dengan imbalan upah.

Wanita pelacur menjual diri mereka secara langsung kepada pria atau melalui

perantara pihak ketiga. Dalam praktiknya, wanita pelacur yang menjual diri secara

langsung biasanya beroperasi di jalanan. Wanita pelacur yang menjual diri melalui

perantara pihak ketiga biasanya beroperasi di lokalisasi pelacuran, di mana germo

berperan sebagai perantara. Dalam hal ini, hotel menjadi tempat operasional, dan

pemilik hotel sendiri atau orang tertentu yang dikenal oleh pemilik hotel berperan

sebagai perantara tidak langsung.

2.1.2 Pekerja Seks Komersil


Pekerja Seks Komersial (PSK) adalah para pekerja yang bertugas melayani

aktivitas seksual dengan tujuan untuk mendapatkan upah atau uang dari yang telah

memakai jasa mereka tersebut. Dalam literatur lain juga disebutkan bahwa pengertian

PSK adalah wanita yang pekerjaannya menjual diri kepada banyak laki-laki yang

membutuhkan pemuasan nafsu seksual, dan wanita tersebut mendapat sejumlah uang

sebagai imbalan, serta dilakukan diluar pernikahan.(Koentjoro 2004)

Pengertian pekerja seks komersil sangat erat hubungannya dengan pengertian

pelacuran, pekerja seks komersil menunjuk pada “orang” nya, sedangkan pelacuran

menunjukkan “perbuatan”. Dari beberapa pendapat yang telah dikemukakan

diatas,dapat ditegaskan bahwa batasan pekerja seks komersil yang dimaksut pada

penelitian ini adalah; seseorang perempuan yang menyerahkan dirinya “tubuhnya”

untuk berhubungan seksual dengan jenis kelamin yang bukan suaminya (tanpa ikatan

perkawinan) dengan mengharapkan imbalan, baik berupa uang ataupun bentuk materi

lainnya.(A. Siregar 2005)

2.1.3 Pengguna Jasa Pekerja Seks Komersil

Dari semua pihak yang telah disebutkan, pihak pengguna inilah yang menjadi

titik bagaimana bisa transaksi pelacuran ini bisa terjadi. Walaupun tentu pihak lain itu

juga memberikan dorongan hingga terjadinya praktek pelacuran ini. Pengguna jasa

merupakan gabungan dari dua kata yaitu pengguna dan jasa. Pengguna adalah orang

yang menggunakan sesuatu, sedangkan jasa atau layanan adalah aktivitas ekonomi

yang melibatkan sejumlah interaksi dengan konsumen atau dengan barang-barang

milik, tetapi tidak menghasilkan transfer kepemilikan. Para ahli memiliki pandangan

tersendiri terhadap pengertian jasa.


BAB III

KONSEP KRIMINALISASI TERHADAP PERBUATAN PELACURAN DALAM

KONTEKS PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA

3.1. Korelasi Perbuatan Pelacuran Pada Hukum Pidana

Definisi pidana menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah

kejahatan yang meliputi pembunuhan, perampokan, korupsi, dan sejenisnya. Istilah

hukuman memiliki pengertian yang lebih umum dan dapat digunakan di berbagai

bidang, tidak hanya di bidang hukum. Sementara itu, pidana merupakan istilah yang

lebih sempit dan hanya digunakan dalam konteks hukum.

Menurut Adami Chawazi, pidana adalah penderitaan yang disengaja yang

diberikan oleh negara kepada seseorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum

(sanksi) atas perbuatannya yang melanggar larangan hukum pidana. Larangan hukum

pidana ini disebut sebagai tindak pidana.

A. Z. Abidin berpendapat bahwa hukuman dan pidana memiliki perbedaan.

Istilah hukuman adalah istilah umum yang mencakup berbagai jenis sanksi, termasuk

perdata, administratif, disiplin, dan pidana. Sedangkan pidana memiliki arti yang

lebih sempit dan berkaitan langsung dengan hukum pidana.

Pidana dianggap sebagai ultimum remedium karena bersifat memaksa dan

objektif, yaitu diberlakukan tanpa memandang jabatan atau status pelaku. Penjatuhan

pidana dalam setiap larangan hukum pidana bertujuan untuk mencapai kepastian

hukum, membatasi kekuasaan negara, dan mencegah pelanggaran hukum pidana oleh

siapa pun yang berniat melakukannya. Namun, tidak semua ahli berpendapat bahwa

pidana pada hakikatnya adalah penderitaan.


Hakekat pidana, menurut Hulsman, adalah untuk menciptakan ketertiban

dengan dua tujuan utama, yaitu mempengaruhi perilaku dan penyelesaian konflik.

Penyelesaian konflik ini dapat berupa pemulihan kerugian, perbaikan hubungan yang

rusak, atau mengembalikan kepercayaan manusia.

Dalam konteks hukum pidana, istilah "tindak pidana" merupakan terjemahan

dari "strafbaarfeit" dalam Bahasa Belanda. Tindak pidana adalah pelanggaran

terhadap norma atau gangguan terhadap ketertiban hukum yang dilakukan secara

sengaja atau tidak sengaja oleh seorang pelaku, dan penjatuhan hukuman terhadap

pelaku tersebut diperlukan untuk menjaga ketertiban hukum dan kepentingan umum.

Definisi tindak pidana yang dikemukakan oleh beberapa ahli hukum

menyatakan bahwa tindak pidana adalah perbuatan manusia yang dilarang oleh

undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya dan diancam dengan

hukuman. Tindak pidana merupakan dasar utama dalam penjatuhan pidana terhadap

pelaku yang bertanggung jawab atas perbuatannya. Namun, untuk dapat menjatuhkan

pidana, harus ada regulasi yang mengatur perbuatan tersebut berdasarkan asas

legalitas.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), istilah "tindak

pidana"

3.2 Perbandingan Peraturan Perundang-Undangan Terkait Perbuatan Pelacuran Di

Berbagai Negara

Pada hal yang dipergunakan dalam menentukan usaha dalam mengkriminalisasi

perbuatan pelacuran sebagai suatu instrumen penanggulangan perbuatan pelacuran dalam

pembaharuan hukum pidana Indonesia, dimana regulasi yang tepat dalam sistem hukum
nasional ini maka diperlukan peneliti untuk melakukan perbandingan hukum dan/atau

regulasi sistem hukum pidana indonesia dengan negara-negara lain untuk mengetahui

perkembangan yang ada di beberapa negara itu dalam menyikapi larangan-larangan

perbuatan pelacuran dan penanggulangannya seperti dalam bentuk regulasi-regulasi

dan/atau peraturan perundang-undangan. Adapun studi perbandingan yang dilakukan

dengan Negara Swedia, Negara Republik Rakyat China, Negara Belanda, Negara

Malaysia, Dan Negara Singapura.

3.2.1 Negara Swedia

Swedia merupakan salah satu negara di Eropa Utara yang berbatasan dengan

Norwegia dan Finlandia, serta terhubung dengan Denmark melalui sebuah jembatan.

Sistem hukum Swedia didasarkan pada tradisi hukum kontinental dengan

ketergantungan pada hukum perundang-undangan. Pada abad ke-18, Swedia memiliki

komunikasi erat dengan ulama dari benua Eropa, yang menyebabkan pengaruh kuat

dari tradisi hukum Jerman-Romawi pada sistem hukum Swedia. Kode Swedia yang

komprehensif diberlakukan pada tahun 1734, yang dikenal sebagai Kode 1734

Skandinavia-Jerman civil law.

Dasar historis hukum Swedia, seperti negara-negara Nordik lainnya, berasal

dari hukum Jerman kuno. Swedia menjadi salah satu negara yang melakukan

kodifikasi hukum pada abad ke-18, sebelum kebanyakan negara Eropa lainnya.

Namun, Swedia dan negara-negara Nordik lainnya tidak mengadopsi jenis kode civil

seperti Code Civil atau BGB. Swedia memberikan perhatian khusus untuk memerangi

pelacuran dan perdagangan manusia dengan tujuan seksual sebagai bagian dari upaya

mencapai kesetaraan gender di tingkat nasional dan internasional.


Kesetaraan gender di Swedia dianggap tidak akan tercapai selama para lelaki

masih dapat membeli, menjual, dan mengeksploitasi perempuan dan anak-anak.

Pelacuran dianggap sebagai kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak, yang

berbahaya bukan hanya bagi individu yang dilacurkan, tetapi juga bagi masyarakat

secara keseluruhan. Pada tahun 1999, Swedia mengeluarkan Undang-Undang yang

mengkriminalisasi pembeli jasa seks, yang dikenal sebagai Sex Purchases Act.

Undang-Undang ini mengatur bahwa pembeli layanan seksual dapat dikenakan denda

atau hukuman penjara maksimum enam bulan.

Pemerintah Swedia menganggap perempuan penjual jasa seks sebagai korban

yang membutuhkan bantuan akibat eksploitasi dan kekerasan yang dilakukan oleh

pembeli jasa. Oleh karena itu, fokus kriminalisasi ditujukan kepada para pembeli atau

pengguna jasa, sementara perempuan yang dilacurkan didorong untuk keluar dari

industri tersebut tanpa rasa takut atau risiko hukuman. Selain kebijakan hukum,

Swedia juga melaksanakan kebijakan sosial dengan memberikan bantuan kepada

pekerja seks komersial yang ingin berhenti dari pekerjaan mereka.

3.2.2 Republik Rakyat China (RRC)

Negara Republik Rakyat China (RRC) adalah negara yang dalam sejarahnya

pernah berbentuk negara komunis pada abad ke-20. Meskipun saat ini sejumlah

ilmuwan politik tidak lagi mendefinisikannya sebagai negara komunis, secara resmi

RRC masih diakui sebagai negara komunis. Struktur pemerintahannya tidak dikenal

secara pasti, dan ini disebabkan oleh sejarahnya yang mencakup periode kekaisaran

selama 2000 tahun dengan pemerintahan pusat yang kuat dan pengaruh

Konfusianisme.
Setelah berakhirnya era monarki pada tahun 1911, Tiongkok diperintah

secara otokratis oleh Partai Nasionalis Kuomintang dan beberapa panglima perang.

Kemudian, setelah tahun 1949, Partai Komunis Tiongkok mengambil alih

pemerintahan. Pemerintahan RRC sering digambarkan sebagai otokratis, komunis,

dan sosialis. Beberapa anggota komunis yang lebih kiri cenderung menyebutnya

sebagai negara kapitalis. Secara nyata, Tiongkok semakin menuju sistem ekonomi

yang lebih bebas.

Dalam dokumen resmi terbaru, pemerintah menyatakan bahwa administrasi

negara adalah demokratis, meskipun keadaan sebenarnya di RRC tidak sepenuhnya

demokratis. Awalnya, Partai Komunis Tiongkok melihat pelacuran sebagai ekspresi

dari posisi yang dieksploitasi dan direndahkan perempuan dalam masyarakat feodal-

kapitalis. Namun, pelacuran di RRC telah mengalami perubahan signifikan dari

pandangan tersebut.

Pada awal periode reformasi pada tahun 1978, pelacuran dianggap sebagai

"non-isu" dan muncul kembali dengan pergeseran ke ekonomi berbasis pasar.

Undang-undang pidana tahun 1979 mengatur bahwa memaksa perempuan menjadi

pelacur akan dikenai hukuman penjara, sementara orang yang memikat perempuan

untuk pelacuran akan dikenai hukuman penjara atau kontrol administratif. Namun,

undang-undang tersebut tidak secara eksplisit menyebutkan partisipasi sukarela pihak

pertama dalam transaksi pelacuran.

Penegakan hukum terhadap pelacuran di RRC lebih banyak dilakukan

melalui sistem sanksi administratif daripada hukum pidana. Selama masa Maois

(1949-1976), sistem hukum formal menjadi lemah dan digantikan oleh sistem sanksi
administratif dan disiplin Partai. Sejak itu, pengawasan terhadap pelacuran dilakukan

oleh kepolisian setempat dan keputusan provinsi. Pada tahun 1987, dikeluarkan

peraturan tentang hukuman administratif untuk keamanan publik yang memberikan

dasar hukum bagi tindakan keras polisi terhadap pelacuran.

Fenomena lain yang menarik belakangan ini adalah bentuk prostitusi yang tidak

mengharapkan imbalan materi. Dalam kondisi ini para pekerja seks komersil bersedia

melakukan pelayanan seksual dikarenakan faktor suka sama suka. Pada kehidupan

kosmopolitan yang mernuja kebebasan, fenomena ini semakin banyak dijumpai. Materi

dalam hal ini uang bukan lagi merupakan motivator utama. Kebebasan dan bersenang-

senang adalah alasan yang selalu menjadi jawaban dalam situasi semacam ini. Selama ini

dalam KUHP dan Undang-undang diluar KUHP hanya dapat menjerat penyedia tempat

dan atau mucikarinya saja sedangkan untuk pengguna dan untuk pekerjanya tidak dapat itu

ada perda yang mengatur tentang larangan praktek pelacuran, tapi tidak semua daerah

memiliki perda ini. Dan harus dipertanyakan juga kefektifan dari perda ini, karena selama

ini memang belum memberikan efek apa-apa terhadap praktek pelacuran.

Pemidanaan hanya terhadap mucikari saja tidak mencerminkan rasa keadilan,

karena dalam perbuatan pelacuran terdapat subyek-subyek yang berkaitan yakni mucikari,

pengguna jasa pelacuran dan pekerja seks komersil. Perbuatan pelacuran bagian dari

perbuatan zina dikategorikan sebagai (crime without victim) bahwa pekerja seks komersil

dan pengguna termasuk korban tetapi juga sebagai pelaku dalam perbuatannya sehingga

hukum pidana positif Indonesia saat ini masih belum memberikan kepastian hukum yang

adil serta pelakuan yang sama dihadapan hukum sebagaimana diamanatkan dalam UUD

1945 Pasal 28D.


Prinsip nullum delictum noela poena lege praevia yakni tiada pidana dapat

dijatuhkan tanpa didahului adanya peraturan yang memuat sanksi pidana terlebih dahulu

menjamin perlindungan hak asasi manusia dari kesewenang-wenangan penguasa. Akan

tetapi, seorang PSK yang melacurkan diri dengan atau tanpa mucikari bukan termasuk

kejahatan karena tidak dilarang dalam hukum pidana Indonesia meskipun melanggar dari

sudut pandang agama, adat istiadat, dan kesusilaan dalam masyarakat.

Hal yang sama berlaku dalam pengguna jasa, meskipun sebagai perbuatan zina

yang termuat dalam Pasal 284 KUHP, pasal ini merupakan delik absolut yang artinya tidak

dapat dituntut apabila tidak ada pengaduan dari pihak suami dan istri yang dirugikan (yang

dipermalukan). Pasal ini juga hanya dapat berlaku pada salah satu pengguna jasa pelacuran

atau pekerja seks komersil telah terikat perkawinan, sedangkan apabila pengguna dan

pekerja seks komersil belum terikat perkawinan maka tidak dapat diterapkan pasal

tersebut.

Hukum pidana Indonesia yang mengatur delik kesusilaan dalam KUHP yang

berlaku saat ini masih mempunyai kelemahan secara moral mengingat bahwa pembentukan

delik kesusilaan tidak menggunakan nilai dasar atau "the living law" masyarakat Indonesia.

Untuk membentuk konsep kebijakan kriminalisasi pada perbuatan pelacuran di Indonesia

dalam konteks pembaharuan sistem hukum pidana haruslah memperhatikan Pancasila atau

nilai-nilai falsafah bangsa Indonesia. Pancasila yang juga terkandung jiwa atau semangat

masyarakat Indonesia pada sila ke 2 (kedua) telah memberikan amanat bahwa setiap warga

negara menjunjung nilai kemanusiaan yang adil dan beradab dalam kehidupan berbangsa

dan bernegara. Pasal 28I UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak

untuk tidak perbudak yang merupakan hak asasi manusia tanpa dikurang sedikitpun.
Berdasarkan hal-hal diatas maka diperlukan aturan hukum yang dapat menjerat

semua pihak yang terlibat dalam pelacuran, salah satunya adalah pekerja. Dibutuhkan

pembaharuan sistem hukum pidana untuk mengatasi permasalahan pelacuran.

Pembaharuan sistem hukum pidana dapat meliputi ruang lingkup yang sangat luas, yaitu

mencakup;

a. Pembaharuan “substansi hukum pidana”, yang meliputi pembaharuan hukum pidana


materiel (KUHP dan UU diluar KUHP), hukum pidana formal (KUHAP) dan hukum
pelaksanaan pidana;
b. Pembaharuan “struktur hukum pidana”, yang meliputi antara lain pembaharuan atau
penaataan institusi/lembaga, sistem manajemen/tatalaksana dan mekanismenya serta
sarana/prasaran pendukung dari sistem penegakkan hukum pidana (sistem peradilan
pidana);
c. Pembaharuan “budaya hukum pidana”, yang meliputi antara lain masalah kesadaran
hukum, perilaku hukum, pendidikan hukum dan ilmu hukum pidana.
Dalam hal ini penulis lebih fokus terhadap pembaharuan substasi, yaitu

pembaharuan hukum pidana materiel mengenai pertanggungjawaban para pihak yang

terlibat dalam pelacuran. Kriminalisasi terhadap pekerja seks komersil dan pengguna jasa

pekerja seks komersil bertujuan untuk mencegah dan melarang seseorang dan/atau

kelompok untuk menjual atau mengeksploitasi organ seksualnya demi mendapatkan

keuntungan dari perbuatan yang melawan hukum.

Karl O. Christiansen kesalahan moral sebagai salah satu syarat untuk pemidanaan.

Lebih lanjut Herbert L. Packer menegaskan bahwa hanya perbuatan yang secara umum

didasari sebagai immoral yang harus dinyatakan sebagai kejahatan. Teori

Ordeningstrafrecht yang dikemukakan Roling dan Jeseeren d'olivesier-prakken, bahwa

hukum pidana adalah alat atau instrument kebijakan pemerintah. Kriminalisasi terhadap

pelacuran harus ditetapkan sebagai kejahatan atau perbuatan yang dilarang dengan hukum
pidana melalui ketentuan peraturan perundang-undangan yang sifatnya memaksa, mengikat

dan diancam pidana.

Paradigma berfikir lama mengenai bentuk delik pelacuran dapat dikaji ulang,

melalui proses dekontruksi hukum, sebagaimana Satjipto Rahardjo, Hukum itu untuk

manusia, bukan sebaliknya. Tindak pidana atau perbuatan pidana adalah perbuatan yang

dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa

pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.

Kebijakan kriminalisasi pada perumusan norma terhadap pelacuran pada KUHP

Baru Tahun 2023 nantinya harus konsep pidana bersyarat dalam artian pidana ini berlaku

apabila kondisi keadaan terpaksa dimana pekerja seks komersial di bawah tekanan hanya

dengan penerapan sanksi sosial sebagaimana perbandingan regulasi hukum terkait

pelacuran di swedia dan RRC .Sehingga adapun rumusan norma yang ditawarkan oleh

penulis adalah:

Perumusan Norma Terhadap Pekerja Seks Komersil


Pasal ……………..
1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan hubungan seksual tanpa ikatan
perkawinan atau perbuatan cabul dengan atau atas persetujuannya untuk
mendapatkan atau menerima pembayaran atau remunerasi diancam dengan pidana
denda sebesar .......... dan pidana penjara selama ...........
2) Setiap orang yang bergelandangan dan berkeliaran di jalan atau di tempat umum
dan menawarkan diri, mengajak orang lain baik secara langsung dan/atau tidak
langsung dengan menggunakan media informasi dengan tujuan melacurkan diri,
dipidana dengan pidana denda sebesar ……… dan pidana penjara selama
…………….
3) Setiap orang yang melakukan hubungan seksual tanpa ikatan perkawinan atau
perbuatan cabul dengan ajakan, suruhan dan/atau tipu muslihat oranglain baik
secara langsung dan/atau menggunakan media elektronik dengan tujuan melacurkan
diri, dipidana dengan denda sebesar ……. dan pidana kerja sosial selama
……………….

Perumusan Norma terhadap pengguna jasa Pekerja Seks komersil


Pasal ……………
1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan membayar atau membeli, memanggil,
mengajak, memesan atau menyewa seseorang dengan tujuan dan/atau maksud
untuk melakukan perbuatan cabul atau persetubuhan tanpa ikatan perkawinan
secara berbayar dan/atau bersifat komersil dapat diancam dengan pidana denda
sebesar .................. dan pidana penjara selama ...........
2) Perbuatan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) tetap berlaku apabila terjadi
tindakan pembayaran telah dijanjikan atau dilakukan melalui perantara orang lain.
Pemidanaan terhadap pengguna jasa pekerja seks komersil dan pekerja seks

komersil dalam pelacuran bukan hanya sebagai dasar pembenaran dari pidana yakni

pembalasan atas perbuatan yang merugikan dan melanggar norma saja, tetapi harus

memperhatikan apa yang ingin dicapai dengan pemidanaan tersebut. Menurut Pellegrino

Rossi tujuan dari pidana adalah memperbaiki tata tertib masyarakat. Pemidanaan terhadap

pengguna jasa pekerja seks komersil dan pekerja seks komersil harus memberikan manfaat

tata tertib terhadap masyarakat, pidana ini menjadikan suatu teguran terhadap masyarakat

agar memiliki rasa takut untuk melakukan pelacuran. Pidana diberikan bukan karena orang

membuat kejahatan melainkan supaya orang jangan membuat kejahatan.

Hal ini sesuai dengan teori tujuan pemidanaan relatif Karl O. Christiansen bahwa

pidana bertujuan untuk pencegahan, akan tetapi pencegahan bukan tujuan akhir tetapi

hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan

masyarakat sehingga diterapkan berdasarkan tujuannya sebagai alat pencegahan kejahatan.


Pidana akan menimbulkan sebuah kesadaran dan kepuasan moral dalam batin pengguna

jasa pekerja seks komersil dan pekerja seks komersil bahwa pembelian dan penjualan seks

berbayar adalah perbuatan bersifat melawan hukum yang dilarang oleh norma tertulis dan

bertentangan dengan nilai-nilai kesusilaan dan kesopanan dalam masyarakat, sehingga jika

dia tetap melakukan maka akan ada pidana yang diterima.

Penanggulangan perbuatan pelacuran pendekatan kebijakan dalam arti ada

keterpaduan (integrasi) antara politik kriminal dan politik sosial serta ada keterpaduan

antara upaya penanggulangan kejahatan dengan penal dan non-penal dan di dalam setiap

kebijakan (policy). Sedangkan pendekatan nilai dalam arti bahwa pembaharuan dan

penanggulangan kejahatan harus berdasarkan nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam

masyarakat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat (social welfare). Upaya

penanggulangan pelacuran harus dilaksanakan secara intergrasi dan terstruktur, sehingga

menciptakan keseimbangan dalam upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan

upaya kesejahteraan masyarakat (social welfare).

Pemidanaan terhadap pengguna jasa pekerja seks komersil dan pekerja seks

komersil terjadi apabila apabila kebijakan non penal (pencegahan, himbauan, dan

kebijakan sosial) tidak dapat menyelesaikan atau menanggulangi pelacuran, hal ini

merupakan sifat hukum pidana sebagai ultimum remidium. Kriminalisasi pelacuran sebagai

bagian dari kebijakan penal tidak akan efektif apabila tidak terjadi intergrasi dengan upaya

rehabilitasi sosial sebagai bagian dari kebijakan non penal. Dengan kata lain kriminalisasi

pelacuran hanya sebatas sebagai upaya balas dendam atau pembalasan saja. Sama halnya

ketika kebijakan non penal tidak akan berlaku efektif apabila perbuatan pelacuran tidak

ditetapkan sebagai perbuatan pidana.


Namun bukan berarti semua yang menjadi pekerja seks komersil harus di pidana

penjara, melainkan diberikan kerja sosial atau rehabilitasi dan atau pemulihan keadaan agar

mengembalikan kondisi psikologis dan mentalnya seperti semula sebelum menjadi pekerja

seks komersil, karena mengenginkan pekerjaan ini bisa saja kadang karena bujuk rayu

seseorang, berhutang dengan mucikari atau germo, bahkan dijebak atau ditipu sehingga

mereka tidak ada pilihan lain. Pidana kerja sosial merupakan jenis pidana baru di Indonesia

dan bertujuan untuk membina dan memberi efek jera bagi pelaku dengan pola- pola dan

konsep yang manusiawi dan bermanfaat bagi pelaku serta masyarakat dalam rangka

mencapai tujuan pemidanaan di Indonesia.

Supiadi, rehabilitasi sosial adalah segenap upaya yang ditunjukan untuk

mengintegrasikan kembali seseorang kedalam kehidupan masyarakat dengan cara

membantunya menyesuaikan diri dengan tuntutan keluarga, komunitas dan pekerjaan

sejalan dengan pengurangan setiap beban sosial dan ekonomi yang dapat merintangi proses

rehabilitasi.(Ramadhani, Sulastri, and Nurhaqim 2017) Selain itu Pekerja seks komersil

juga diberikan pembinaan berupa kerja sosial bahwa apa yang mereka lakukan merupakan

kesalahan baik dari segi hukum, moral dan agama yang tidak boleh diulangi lagi. Dalam

pembinaan itu juga pekerja seks komersil diberikan masukan-masukan apa yang harus

mereka lakukan setelah ini, misalnya pelatihan soft skill dibidang yang mereka sukai.

Barulah setelah itu diberikan lapangan pekerjaan untuk mereka, agar mereka tidak

kembali menjadi pekerja seks komersil. Karna apabila kita hanya memberikan pembinaan

dalam bentuk rehabilitasi dan kerja sosial saja, maka mereka akan kembali lagi menjadi

pekerja seks komersil. Hal ini dikarenakan mereka bingung bagaimana mereka memenuhi

kebutuhan ekonomi jika mereka tidak menjajakan diri, maka dari itu dibutuhkan solusi
yang tepat dalam menanggulangi permasalahan ini. pekerja seks komersil tidak dapat

dibenarkan perbuatannya, namun tidak juga dapat dihakimi secara sepihak. Mereka harus

dikembalikan lagi kedalam keadaan yang membuat mereka baik yaitu dengan cara-cara

diatas.

Rehabilitasi, kerja sosial atau pelatihan kerja dan pemberian modal dilakukan

secara berkepanjangan sehingga dapat dilihat perubahannya. Setidaknya dengan cara ini

dapat mengurangi banyaknya pelacuran diIndonesia. Mereka juga merupakan korban dari

keadaan ekonomi, atau bahkan korban dari para mucikari dan pelanggan yang

memanfaatkan tubuh mereka. Ide dari penulis terdapat pada perumusan norma terhadap

pekerja seks komersil pada point ketiga yaitu pekerja seks diberikan pembinaan dalam

bentuk kerja sosial sebagai upaya untuk mencegah kembali lagi menjadi pekerja seks

komersial. Sedangkan untuk pengguna juga harus dijerat dengan pidana sehingga merasa

jera dan tidak mengulanginya lagi.

Kebijakan kriminalisasi terhadap pengguna jasa pekerja seks komersil dan pekerja

seks komersil dalam konteks perumusan norma hukum sebagai pembaharuan hukum

pidana merupakan perwujudan atas pemenuhan nilai kemanusiaan yang adil dan beradab

yang menyatakan bahwa manusia bukanlah sebuah komoditas yang dapat diperjual belikan

sehingga perlu diberikan perhargaan dan perlakuan yang sama terhadap setiap manusia.

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan dari uraian serta analisa yang merupakan jawaban dari rumusan

masalah dalam penelitian tentang Konsep Kriminalisasi Perbuatan Pelacuran Dalam


Pembaharuan Hukum Pidana Yang Berlandaskan Keadilan, dapat ditarik kesimpulan

sebagai berikut:

1. Urgensi kriminialisasi pada perbuatan pelacuran dalam hukum pidana Indonesia saat ini

disebabkan keterbatasan kemampuan sanksi pidana dalam menanggulangi perbuatan

pelacuran, beban kinerja aparatur hukum, proses hukum yang panjang, serta dampak

negatif sanksi pidana yang tidak dapat dihindarkan, membawa kepada pandangan bahwa

perlunya segera adanya kebijakan kriminalisasi pada perbuatan pelacuran sebagai

alternatif solusi. Adapun kriminalisasi pada perbuatan pelacuran dalam hukum pidana

ditujukan pada kriminalisasi terhadap pengguna bertujuan agar melarang penyaluran

kebutuhan seksualnya dalam bentuk perzinaan secara komersil. Sedangkan kriminalisasi

terhadap PSK bertujuan untuk mencegah dan melarang seseorang menjual atau

mengeksploitasi organ seksualnya demi mendapatkan keuntunngan dari perbuatan yang

melawan hukum. Tujuan lainnya adalah kriminalisasi terhadap Pengguna dan PSK bahwa

manusia bukanlah sebuah komoditas yang dapat diperjual belikan sehingga perlu

diberikan perhargaan dan perlakuan yang sama terhadap setiap manusia.

2. Konsep kriminalisasi terhadap perbuatan pelacuran dalam rangka pembaharuan hukum

pidana Indonesia nantinya harus dengan konsep pidana bersyarat dalam artian pidana ini

berlaku apabila kondisi keadaan terpaksa dimana PSK di bawah tekanan melakukan

perbuatan pelacuran hanya dikenakan hukuman kerja sosial sebagaimana perbandingan

regulasi hukum terkait pelacuran di negara Swedia dan RRC. Maksud dari keadaan

terpaksa bagi Pekerja Seks Komersil (PSK) adalah perbuatan cabul dengan ajakan,

suruhan dan/atau tipu muslihat orang lain baik secara langsung dan/atau menggunakan

media elektronik. Sedangkan bagi pengguna jasa seks komersial dan mucikari/germo
yang menjadikan perbuatan pelacuran sebagai pekerjaan pokoknya dapat dipidana

dengan pidana denda dan pidana penjara. Terhadap PSK yang menjadikan perbuatan

pelacuran sebagai pekerjaan pokoknya dapat dipidana apabila sengaja melakukan

hubungan seksual tanpa ikatan perkawinan atau perbuatan cabul dengan atau atas

persetujuannya untuk mendapatkan atau menerima pembayaran atau remunerasi dan/atau

bergelandangan dan berkeliaran di jalan atau di tempat umum dan menawarkan diri,

mengajak orang lain baik secara langsung dan/atau tidak langsung dengan menggunakan

media informasi dengan tujuan melacurkan diri. Sedangkan bagi pengguna jasa seks

komersial dapat dipidana apabila dengan sengaja melakukan membayar atau membeli,

memanggil, mengajak, memesan atau menyewa seseorang dengan tujuan dan/atau

maksud untuk melakukan perbuatan cabul atau persetubuhan tanpa ikatan perkawinan

secara berbayar dan/atau bersifat komersil.

4.2 Saran

1. Kepada Pemerintah (eksekutif) dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR

RI) sebagai lembaga pembentuk Undang-Undang (legislatif), dengan memperhatikan dan

mempertimbangan pembaharuan hukum pidana serta perbandingan regulasi peraturan

dari negara-negara lain yang mana menjadikan mensyaratkan PSK yang bekerja dalam

keadaan terpaksa seperti diatur dalam regulasi negara Swedia dan RRC tidak

diberlakukan hukuman pidana namun kerja sosial. Sedangkan bagi pekerja seks komersil

dan pengguna jasa seks komersial yang menjadikan pelacuran sebagai pekerjaan atau

kebutuhan transaksional dapat dijadikan sebagai pelaku tindak pidana pelacuran tanpa

mengesampingkan asas keadilan dan asas kemanfaatan. Kondisi untuk menyusun

ketentuan pidana terkait pekerja seks komersil dan pengguna jasa seks komersial dapat
diundangkan pada peraturan perundang-undangan diluar KUHPidana sehingga perbuatan

pelacuran dapat dijadikan tindak pidana khusus seperti tindak pidana narkotika.

2. Kepada masyarakat untuk dapat memahami mengenai kejahatan pelacuran ini sebagai

bentuk pidana apabila dilakukan sebagai mata pencaharian, begitu pula bagi pengguna

jasa seks komersial juga dapat dipidana. Hal ini penting untuk menekan tindak kejahatan

pelacuran yang bisa merusak kesehatan dan moral masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai