Dokumen Pak Dewa
Dokumen Pak Dewa
Undang Dasar Tahun 1945, menyatakan bahwa "Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum".
Oleh karena itu, negara dalam menjalankan pemerintahan harus didasarkan pada hukum, termasuk
dalam memberikan perlindungan terhadap hak asasi warga negara. Demi mewujudkan kehidupan yang
adil, makmur, dan sejahtera bagi setiap warga negara, hak-hak mereka dilindungi sesuai dengan Pasal 27
ayat (2) UUD 1945, yang memberikan hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan. Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki landasan yang kuat dalam melindungi hak
asasi manusia, terutama dalam bidang penghargaan terhadap kesejahteraan manusia, dengan mengakui
pentingnya memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai dengan martabat manusia.
Namun, krisis ekonomi, termasuk ketimpangan pendapatan dan ketidakadilan ekonomi, menjadi
masalah utama yang menyebabkan peningkatan kejahatan di Indonesia. Plato (427-347 SM)
menyatakan bahwa kekayaan yang berlebihan dapat menjadi sumber banyak kejahatan, dan semakin
tinggi kekayaan seseorang, semakin berkurang pula penghargaannya terhadap moralitas.
Dalam menentukan suatu perbuatan yang termasuk kejahatan atau tindak pidana, peraturan
perundang-undangan memainkan peran yang sangat strategis sebagai dasar dan strategi negara untuk
mencapai tujuan tersebut. Kebijakan hukum pidana sangat penting dalam hal ini, di mana perumusan
hukum pidana yang baik memberikan panduan kepada pembuat undang-undang (kebijakan legislatif),
kebijakan aplikatif (kebijakan yudikatif), dan pelaksanaan hukum pidana (kebijakan eksekutif) dalam
proses kriminalisasi.
Kebijakan legislatif merupakan tahap yang sangat penting karena pada saat merumuskan
undang-undang pidana, arah yang akan diambil sudah ditentukan dengan menentukan perbuatan-
perbuatan yang dianggap perlu dilarang oleh hukum pidana. Salah satu contoh perbuatan yang dilarang
oleh peraturan perundang-undangan adalah pelanggaran terhadap norma kesusilaan, yang dikenal
sebagai pelacuran. Masalah pelanggaran terhadap norma kesusilaan ini telah menjadi masalah serius
bagi rakyat Indonesia sejak lama, bahkan sebelum krisis ekonomi dan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Pelacuran merujuk pada kegiatan perdagangan jasa seksual, di mana seseorang menjual
hubungan seksual untuk mendapatkan uang atau keuntungan lainnya. Istilah yang lebih umum
digunakan saat ini adalah pekerja seks komersial. Menurut James Inciardi dalam bukunya yang ditulis
oleh Topo Santoso, pelacuran adalah penawaran hubungan seksual dengan imbalan uang atau
keuntungan lainnya, dan mencakup tujuan seperti uang, barang, hadiah, serta kepuasan keinginan
seksual. Definisi pelacuran menurut Dirjodjosisworo adalah penyerahan diri seorang wanita secara fisik
untuk memuaskan pria mana pun yang menginginkannya dengan imbalan pembayaran. Dalam
pandangan Dirdjosisworo, terdapat tiga unsur dalam pengertian pelacuran, yaitu penyerahan diri
seorang wanita kepada banyak pria untuk memuaskan keinginan seksual mereka dengan pembayaran
sebagai ganti upah bagi wanita tersebut.
Pelacuran telah ada sejak lama dalam sejarah dunia, termasuk di Indonesia. Seperti halnya
perkembangan pemerintahan di dunia, pelacuran di Indonesia dimulai sejak zaman kerajaan di Jawa
yang menggunakan wanita sebagai komoditas dalam sistem feodal. Kegiatan pelacuran telah menyebar
luas di masyarakat di seluruh dunia, terlepas dari apakah pemerintah menyadari hal ini atau tidak,
meskipun kegiatan ini dianggap tidak etis. Pelacuran merupakan fenomena sosial yang menyebar secara
luas di masyarakat, namun kegiatan ini dianggap bertentangan dengan martabat dan nilai-nilai pribadi
manusia serta dapat membahayakan kesejahteraan individu, keluarga, dan masyarakat, seperti yang
diakui dalam Konvensi PBB tahun 1949 mengenai perdagangan manusia.
Kegiatan pelacuran termasuk dalam bentuk penyimpangan seksual yang melanggar nilai-nilai
sosial, agama, kesopanan, dan moral bangsa Indonesia. Hal ini juga merusak nilai-nilai yang terkandung
dalam Pancasila. Misalnya, kegiatan pelacuran bertentangan dengan Sila Pertama Pancasila, yaitu
Ketuhanan Yang Maha Esa, karena pelacuran dilarang dalam ajaran agama dan dikecam sebagai
perbuatan zina. Selain itu, terkait dengan Sila Kedua Pancasila, yaitu Kemanusiaan Yang Adil dan
Beradab, manusia sebagai makhluk yang mulia seharusnya menghormati martabat manusia dan tidak
menjadikan manusia lain sebagai objek perdagangan seksual. Banyak pelacur yang diperlakukan secara
tidak manusiawi oleh mucikari atau germo yang dengan sengaja menjual jasa seksual.
Dalam rangka mempertahankan nilai-nilai Pancasila dan melindungi martabat manusia, perlu
adanya upaya serius dari pemerintah untuk menangani masalah pelacuran ini. Pembaharuan hukum
yang melarang kegiatan pelacuran menjadi salah satu langkah yang perlu dilakukan. Selain itu,
pendekatan yang komprehensif melalui pendidikan, kesadaran sosial, rehabilitasi, dan pemberdayaan
perlu dilakukan untuk mengatasi akar permasalahan yang mendorong adanya pelacuran di masyarakat.
R. Soesilo menjelaskan bahwa Pasal 296 KUHP digunakan untuk melawan orang-orang
yang menjalankan bordil atau tempat-tempat pelacuran. Untuk dapat dihukum, harus dibuktikan bahwa
kegiatan tersebut menjadi mata pencahariannya atau kebiasaannya. Jika dibandingkan dengan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, perbedaannya adalah
sebagai berikut: (informasi selanjutnya tidak disediakan).
Dalam perbandingan antara KUHP lama dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP baru), terdapat beberapa perubahan terkait pasal-pasal
yang terkait dengan kegiatan pelacuran. Pasal 296 dalam KUHP lama mengatur bahwa seseorang yang
dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain,
dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, akan diancam dengan pidana penjara paling lama
1 tahun 4 bulan atau pidana denda paling banyak Rp15 juta.
Di KUHP baru, terdapat perubahan pasal-pasal yang relevan. Pasal 420 mengatur bahwa setiap
orang yang menghubungkan atau memudahkan orang lain melakukan perbuatan cabul, akan dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 tahun. Sementara itu, Pasal 506 menyatakan bahwa seseorang
yang menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikannya sebagai pencarian,
akan diancam dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun.
Selanjutnya, Pasal 421 dalam KUHP baru menjelaskan bahwa jika tindak pidana sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 419 atau Pasal 420 dilakukan sebagai kebiasaan atau untuk menarik keuntungan
sebagai mata pencaharian, pidana yang dijatuhkan dapat ditambahkan sebanyak 1/3 dari hukuman yang
seharusnya.
Hukum pidana positif Indonesia belum mengatur secara tegas tentang perbuatan pelacuran dan
hubungan antara tiga komponennya, yaitu mucikari atau germo, pekerja seks komersial, dan pengguna
pekerja seks komersial. Baik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun undang-
undang di luar KUHP, pengaturan mengenai delik-delik kesusilaan seperti pasal 281 hingga pasal 303,
terutama pasal 296 dan pasal 506, hanya menjerat pemilik rumah bordil, mucikari, dan makelar atau
calo dalam perbuatan pelacuran.
Pembedaan penerapan sanksi pidana yang hanya ditujukan kepada mucikari menjadi polemik,
mengingat ada dua komponen utama lainnya yang terlibat, yaitu pekerja seks komersial dan pengguna
jasa pekerja seks komersial. Hal ini menimbulkan argumen di masyarakat bahwa pekerja seks komersial
juga bisa dianggap sebagai korban, tetapi dalam kenyataannya banyak pekerja seks komersial yang
menjalankan pekerjaannya secara profesional berdasarkan perjanjian kerja dengan mucikari, germo,
atau pemilik tempat di mana mereka melakukan pelacuran.
Oleh karena itu, aparat penegak hukum tidak dapat menjerat pengguna jasa pekerja seks
komersial maupun pekerja seks komersial itu sendiri, karena Pasal 296 KUHP menyatakan bahwa
seseorang yang dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain
dengan orang lain dan menjadikannya sebagai pekerjaan atau kebiasaan, diancam dengan pidana
penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah.
Pasal 506 KUHP menyatakan bahwa seseorang yang menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang
wanita dan menjadikannya sebagai pencarian, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun.
Dalam KUHP lama, Pasal 296 dan 506 menjelaskan bahwa perbuatan pekerja seks komersial
maupun pengguna tidak dijerat, tetapi hanya menjerat penyedia, mucikari, dan makelar atau calo dalam
perbuatan pelacuran. Hal ini tidak berubah dalam KUHP baru tahun 2023 dengan Pasal 420 yang
memiliki makna mirip dengan Pasal 296 KUHP lama dan Pasal 421 yang menekankan makna yang sama
dengan Pasal 506 KUHP lama.
Pemidanaan yang hanya ditujukan kepada mucikari saja tidak mencerminkan rasa keadilan,
mengingat dalam perbuatan pelacuran terdapat subyek-subyek yang terkait, yaitu mucikari, pengguna,
dan pekerja seks komersial. Kegiatan pelacuran, sebagai bagian dari perbuatan zina, dikategorikan
sebagai "crime without victim" (kejahatan tanpa korban) di mana pekerja seks komersial dan pengguna
jasanya termasuk korban tetapi juga pelaku dalam perbuatan tersebut. Oleh karena itu, hukum pidana
positif Indonesia saat ini.
All efforts to prevent and combat these crimes fall within the scope of criminal policy,
which uses penal law as a means. Therefore, it is part of penal policy. (Arief, 2003). Criminal policy is
defined as the national will to create national laws that align with the aspirations and values derived
from the Indonesian nation, with the aim of achieving a just and prosperous state based on Pancasila.
Therefore, it is crucial to have legal reforms (Law Policy) within the legislative policy-making process as
part of comprehensive and integrated national development, covering both formal and material law.
Through criminal policy, the legislative policy can criminalize prostitution as a clear criminal act, not only
imposing criminal sanctions on pimps but also on the other main components, such as imposing criminal
penalties on sex workers and users of sex services.
Dalam rangka mengatasi masalah pengaturan mengenai sanksi pidana bagi pengguna jasa
pekerja seks komersil dan pekerja seks komersil dalam konteks kegiatan pelacuran, perlu dilakukan
pembaharuan hukum (law reform) sebagai bagian dari pembangunan nasional. Pembaharuan hukum
nasional harus mencakup secara menyeluruh dan terpadu bidang hukum pidana, hukum perdata, dan
hukum administrasi, baik dalam aspek formil maupun materiilnya. Menurut Barda Nawawi Arief,
pembaharuan hukum pidana tidak hanya menyangkut substansi hukum pidana, tetapi juga berkaitan
dengan nilai-nilai yang ada. Pembaharuan hukum pidana bertujuan untuk mengorientasikan dan
mereformasi hukum pidana sesuai dengan nilai-nilai sosio-politik, sosio-filosofis, dan sosio-kultural
masyarakat Indonesia yang menjadi dasar kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakan
hukum di Indonesia.
Satjipto Rahardjo, seperti dikutip oleh Nyoman Serikat Puetra Jaya, menyatakan bahwa proses
penegakan hukum juga melibatkan tahap perumusan hukum/undang-undang. Pikiran-pikiran para
pembuat undang-undang yang diwujudkan dalam peraturan perundang-undangan akan mempengaruhi
bagaimana penegakan hukum dilaksanakan. Kebijakan hukum pidana pada dasarnya melibatkan upaya
negara dalam mengatur dan membatasi kekuasaan, baik kekuasaan masyarakat umum untuk bertindak
dan berperilaku, maupun kekuasaan atau wewenang aparat penegak hukum dalam menjalankan tugas
mereka untuk memastikan bahwa masyarakat patuh terhadap aturan yang telah ditetapkan. Kebijakan
hukum pidana melibatkan serangkaian proses yang meliputi tiga tahap, yaitu: tahap kebijakan
legislatif/formulatif (menetapkan atau merumuskan perbuatan yang dapat dipidana), tahap kebijakan
yudikatif/aplikatif (menerapkan hukum pidana oleh aparat penegak hukum atau pengadilan), dan tahap
kebijakan eksekutif/administratif (melaksanakan hukum pidana oleh aparat pelaksana/eksekutor
pidana).
Berdasarkan tiga tahapan kebijakan hukum pidana tersebut, penanggulangan kejahatan selalu
diarahkan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Menurut Barda Nawawi Arief, kebijakan
penanggulangan kejahatan pada dasarnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan sosial
dan pencapaian kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, dalam penanggulangan masalah kegiatan
pelacuran, diperlukan pendekatan yang berfokus pada kebijakan kriminalisasi sebagai bagian dari
kebijakan kriminal yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana. Melalui kebijakan kriminalisasi.
RUMUSAN MASALAH
Sehubungan dengan penomena seperti tersebut di atas perlu diadakan penelitian
yang mendalam berkaitan dengan variabel tentang; Konsep Kriminalisasi Pelacuran Dalam
Saat Ini
Indonesia
a. Manfaat Teoritis
Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis untuk
pengembangan studi hukum pidana khususnya dan pembangunan ilmu hukum secara
interdisiplin pada umumnya, sehingga studi hukum tidak hanya dipahami dari sudut
yang lain.
b. Manfaat Praktis
Universitas 17 Agustus 1945 maupun Fakultas Hukum lainnya di Indonesia. Akan tetapi,
permasalahan dan pembahasan yang berkaitan dengan judul di atas telah diteliti oleh
perbedaan yang jelas baik secara substansi maupun pokok penelitiannya dengan penelitian
1. Disertasi dengan judul: “Bobot Pengaruh Faktor Kepribadian dan Lingkung Sosial
penelitian yang akan dianalisa penulis adalah obyek kajian terkait penanggulangan
yang akan dilakukan penulis adalah penelitian sebelumnya ini lebih menekankan
“Är sex arbete?” (Is Sex Work?)”. Persamaan penelitian ini dengan penelitian
yang akan penulis angkat adalah objek kajiannya pada reformulasi kebijakan
yang terjadi pada Negara Swiss setelah Legalisasi pelacuran tanpa mengkriminaliasi
Landasan teoritis adalah langkah buat meneliti atau menelaah teori hukum umum
atau teori khusus, konsep hukum, atas dasar hukum, peraturan hukum, norma-norma serta
hal lain yang akan digunakan sebagai dasar untuk menganalisis masalah penelitian.
(Program Doktor Ilmu Hukum 2015) Mark van Hoeke mengatakan: “theory building aims
Pembahasan di dalam penelitian ini juga didukung dengan sejumlah teori yang bisa
tersebut. Pemakaian teori hukum adalah bagian penting di dalam suatu riset, karena
manfaat teori hukum dalam penelitian hukum sebagai pisau analisis terhadap pembahasan
penelitian.(Fajar and Achmad 2010) Suatu Undang-undang dapat ditelaah dari sudut
pandang normative, secara garis besar ilmu hukum bisa ditelaah dengan studi law in books.
(Asikin 2006) Merujuk pada penjabaran tersebut, dengan demikian jelas agar dapat
menelaah suatu masalah hukum secara mendalam dibutuhkan teori yakni berupa rangkaian
asumsi, konsep, definisi serta proposisi agar dapat menerangkan suatu gejala social secara
(Burhan 2004)
A. Teori Keadilan
Pada sub bab ini akan dibahas teori keadilan yang sekiranya akan dijadikan
sebagai pisau analisis pada kedua rumusan masalah pada penelitian ini. Keadilan kata
dasarnya “Adil” berasal dari bahasa Arab yang berarti berada di tengah-tengah, jujur,
lurus, dan tulus. Dalam adil terminologis berarti sikap yang bebas dari diskriminasi,
ketidak jujuran. jadi orang yang adil adalah orang sesuai dengan standar hukum baik
hukum agama, hukum positif (hukum negara), serta hukum sosial (hukum adat)
berlaku.
Keadilan adalah perlakuan yang seimbang antara hak dan kewajiban, keadilan
terletak pada keharmonisan menuntut hak dan menajalankan kewajiban atau dengan
kata lain keadilan adalah keadaan bila setiap orang mempcroleh apa yang menjadi
haknya, dan setiap orang memperoleh bagian yang sama dan kekayaan bersama.
(Safa’at 2012) Keadilan dapat dimaknai sebagai legalitas adalah adil jika suatu aturan
diterapkan pada semua kasus di mana menurut isinya memang aturan tersebut harus
diaplikasikan, adapun tidak adil jika suatu aturan diterapkan pada satu kasus tetapi
tidak pada kasus lain yang sama. Keadilan dalam arti legalitas adalah suatu kualitas
yang tidak berhubungan dengan isi tataran aturan positif, tetapi dengan
pelaksanaannya. Legalitas, pernyataan bahwa tindakan individu adil atau tidak adil
berarti legal atau illegal, yaitu tindakan tersebut sesuai atau tidak dengan norma
hukum yang valid untuk menilai sebagai bagian dari tata hukum positif.
Konteks keadilan merupakan suatu yang "maha" luas meliputi hukum, sosial,
agama, dan sebagainya. Namun demikian terlepas dari itu, sesuatu hal yang pasti adil
adalah bahwa prinsip keadilan menghendaki tujuan hukum bagi setiap Negara
hukum. Prinsip keadilan menghendaki agar setiap tindakan institusi atau pejabat
hukum yang dibentuk besifat adil.(Huijbers 1999) Hal keadilan juga nampak dalam
masyarakat, konsep ini melekat dalam alinea kedua Pembukaan UUD 1945 "adil dan
makmur.(Wignjosoebroto 2013)
Teori ini dapat diberlakukan untuk rumusan masalah pertama mengenai
urgensi.
B. Teori Perundang-undangan
Hans Kelsen mengenai Stufenbau des Rerht atau The hierarchy of law yang
berintikan bahwa kaidah hukum merupakan suatu susunan berjenjang dan setiap
kaidah hukum yang lebih rendah bersumber dari kaidah yang lebih tinggi. Memahami
teori Stufenbau des Recht, harus dihubungkan dengan ajaran Kelsen yang lain yaitu
Reine Rechtslehre atau The pure theory of law (teori murni tentang hukum) dan
bahwa hukum itu tidak lain “command of the sovereign” kehendak berkuasa.(Manan
2004b)
puncak piramid dan semakin ke bawah semakin beragam dan menyebar. Norma dasar
teratas adalah abstrak dan makin ke bawah semakin konkret. Daram proses itu, apa
yang semula berupa sesuatu yang “seharusnya” berubah menjadi sesuatu yang
“dapat” dilakukan.
Hans Kelsen mengatakan bahwa hukum termasuk dalam sistem norma yang
dinamik (nomodynamics) karena hukum itu selalu dibentuk dan dihapus oleh
dalam hal ini tidak dilihat dari segi norma tersebut, tetapi dari segi berlakunya atau
pembentukannya.(H. Kelsen 1946) Hukum itu adalah sah (valid) apabila dibuat oleh
lembaga atau otoritas yang berwenang membentuknya dan berdasarkan norma yang
lebih tinggi, sehingga dalam hal ini norma yang lebih rendah (inferior) dapat dibentuk
oleh norma yang lebih tinggi (superior) dan hukum itu berjenjang-jenjang dan
berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, dinama suatu norma yang lebih
rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norrna yang
lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi
demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut
dalam suatu tatanan sistem hukum tertentu. Jadi antara grundnorm yang ada pada tata
hukum A tidak mesti sama dengan grundnorm pada tata hukum B. Grundrorm ibarat
bahan bakar yang menggerakkan seluruh sistem hukum. Grundrorm memiliki fungsi
hukum. Norma Dasar Grurdnorm atau disebut juga Ursprungsnorm atau umorm
sebagaimana yang disebut bersifat pesupposed dan tidak dapat ditelusuri lebih lanjut
dasar berlakunya sehingga diperlukan menerimanya sebagai sesuatu yang tidak dapat
tertulis) di susun dalam suatu tingkatan yang disebut hierarki peraturan perundang-
legisiatif, sedangkan badan legislatif mempunyai wewenang untuk itu atas dasar
kekuatan hukumnya berasal dari luar hukum, yaitu dari hypothese atau grundnorm.
Ilmu pengetahuan hukum menganggap benar adanya hypothese atau grundnorm yang
pertama kali, maka kalau grundnrorm itu tekah diterima oleh masyarakat harus
ditaati. Jadi ilmu pengetahuan hukum itu menurut Kelsen menyelidiki tingkatan
norma-norma, kekuatan berlaku dari tiap norma yang tergantung dari hubungannya
yang logis dengan norma yang lebih tinggi sampai akhirnya pada suatu hypothese
yang pertama. Hypothese pertama bersikap abstrak, tetapi bila ditelusuri menuruni
tangga urutan norma-norma itu maka makin lama norma tersebut menjadi lebih
korrkrit, sehingga pada akhirnyo sampai pada norma yang memaksakan kewajiban
kepada individu tertentu yang mungkin berupa suatu putusan pengadilan ataii
perintah pejabat atau perikatan itu hanyalah pelaksanaan dari suatu norma yang lebih
tinggi. Pandangan Hans Kelsen tentang tata huknm sebagai suatu bangunan norma-
dan fungsi norma dasar, juga mengungkapkan suatu kekhasan lebih lanjut dari
menentukan cara untuk membuat suatu norma hukum lainnya, dan juga sampai
derajat tertentu, menentukan cara untuk membuat suatu norma hukum lainnya
tersebut. Karena suatu norma hukum itu valid lantaran dibuat menurut caara yang
ditentukan oleh suatu norma hukum lainnya, dan norma hukum lainnya ini adalah
yaitu : Asas yang bersumber pada politik konstitusi dan ketentuan UUD (asas
untuk menemukan permasalahan didalam Disertasi ini. Teori ini akan menyelesaikan
Perlu dipahami bahwa sebagai suatu sistem maka hukum Indonesia merupakan suatu
tatanan, merupakan suatu kesatuan yang utuh yang terdiri dari bagian-bagian atau
unsur-unsur yang saling berkaitan erat satu sama lain untuk mencapai tujuan.
Masing-masing unsur harus dilihat dalam kaitannya dengan unsur lainnya dan
dengan keseluruhannya.
berikut: suatu sistem hukum itu dapat disebut demikian karena ia bukan sekedar
2009) Peraturan-peraturan itu diterima sebagai sah apabila dikeluarkan dari sumber
pembentukannya dan dapat dikatakan bahwa suatu sistem adalah tidak terlepas dari
asas-asas yang mendukungnya dengan demikian sifat sistem itu menyeluruh dan
hubungan fungsional. Kalau dikatakan bahwa hukum itu sebagai suatu sistem,
artinya suatu susunan atau tataan teratur dati aturan-aturan hidup. Misalnya dalam
sejalan dengan apa yang telah digariskan sebagai aturan hukum termasuk nilai-
nilai yang hidup di masyarakat. Yang termasuk lingkup kontrol sosial adalah :
1) Penggunaan hukum secara sadar untuk mencapai suatu tertib atau keadaan
masyarakat sebagaimana diinginkan oleh pembuat hukum.
2) Fungsi ini lebih mengarah pada pembahasan sikap dan perilaku masyarakat
dirasa mendatang sesuai dengan keinginan pembuat undang-undang.
Inilah yang merupakan salah satu batas didalam penggunaan hukum sebagai
sarana pengubah dan pengatur perilaku, ini semua termasuk apa yang dinamakan
difusi, yaitu penyebaran dari unsur-unsur kebudayaan tertentu didalam masyarakat
yang bersangkutan. Proses diffusi tersebut antara lain dapat dipengaruhi oleh :
a. Pengakuan bahwa unsur kebudayaan yang bersangkutan (di dalam hal ini
adalah hukum), mempunyai kegunaan.
b. Ada tidaknya pengaruh dari unsur-unsur kebudayaan lainnya, yang mungkin
merupakan pengaruh negatif ataupun positif.
c. Sebagai suatu unsur yang baru, maka hukum tadi mungkin akan ditolak oleh
masyarakat, karena berlawanan dengan fungsi unsur yang lama.
hukum yaitu :
1. Kepastian hukum
Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan
sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh
sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharap
adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib.
2. Kemanfaatan
Hukum adalah untuk manusia, maka hukum atau penegak hukum harus
memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat, jangan sampai timbul
keresahan di dalam masyarakat karena pelaksanaan atau penegak hukum.
3. Keadilan
Hukum itu tidak identik dengan keadilan. Hukum itu bersifat umum,
mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan. Sebaliknya keadilan bersifat
subyektif, individualistis, dan tidak menyamaratakan.
Berikut model bagan bekerjanya hukum dalam masyarakat:
EVOMengenai efektivitas hukum, Lawrence M. Friedman mengemukakan
bahwa efektif dan berhasil tidaknya penegakan hukum tergantung tiga unsur sistem
hukum, yakni struktur hukum (struktur of law), substansi hukum (substance of the
law) dan budaya hukum (legal culture). Struktur hukum menyangkut aparat penegak
hukum merupakan hukum yang hidup (living law) yang dianut dalam suatu
masyarakat.
“To begin with, the legal sytem has the structure of a legal system consist of
elements of this kind: the number and size of courts; their jurisdiction …
Strukture also means how the legislature is organized …what procedures the
police department follow, and so on. Strukture, in way, is a kind of crosss section
of the legal system…a kind ofustill photograph, with freezes the action.” (Lawrence
M Friedman, 2019)
(Sistem hukum pada awalnya memiliki struktur sistem hukum yang terdiri dari
unsur-unsur seperti: jumlah dan ukuran pengadilan; yurisdiksi mereka …Struktur
juga berarti bagaimana badan legislatif diatur …prosedur apa yang diikuti oleh
departemen kepolisian, dan seterusnya. Struktur, dengan cara, adalah semacam
penampang sistem hukum ... semacam foto diam, dengan membekukan tindakan).
Struktur dari sistem hukum terdiri atas unsur berikut ini, jumlah dan ukuran
dan tata cara naik banding dari pengadilan ke pengadilan lainnya. Struktur juga
berarti bagaimana badan legislativ ditata, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan
oleh presiden, prosedur ada yang diikuti oleh kepolisian dan sebagainya.
bagaimana pengadilan, pembuat hukum dan badan serta proses hukum itu berjalan
system is its substance. By this is meant the actual rules, norm, and behavioral
patterns ofupeople inside the system …the stress here is on living law, not just
rules in law books.”(Lawrence M. Friedman, 2019) (Aspek lain dari sistem hukum
adalah substansinya. Yang dimaksud dengan aturan, norma, dan pola perilaku aktual
orang-orang di dalam sistem yang ditekankan di sini adalah hukum yang hidup,
Aspek lain dari sistem hukum adalah substansinya. Yang dimaksud dengan
substansinya adalah aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia yang berada
yang berlaku yang memiliki kekuatan yang mengikat dan menjadi pedoman bagi
toward law and legal system their beliefu…in other word, is the climinate of social
abused.”(Komponen ketiga dari sistem hukum, budaya hukum. Yang kami maksud
dengan ini adalah sikap masyarakat terhadap hukum dan sistem hukum kepercayaan
mereka … dengan kata lain, adalah iklim pemikiran sosial dan kekuatan sosial yang
(termasuk budaya hukum aparat penegak hukumnya) terhadap hukum dan sistem
hukum. Sebaik apapun penataan struktur hukum untuk menjalankan aturan hukum
yang ditetapkan dan sebaik apapun kualitas substansi hukum yang dibuat tanpa
didukung budaya hukum oleh orang-orang yang terlibat dalam sistem dan
hukum” adalah mesin, “substansi hukum” adalah apa yang dihasilkan atau dikerjakan
oleh mesin itu dan “kultur hukum” adalah apa saja atau siapa saja yang memutuskan
untuk menghidupkan dan mematikan mesin itu serta memutuskan bagaimana mesin
itu digunakan.
PERUBAHAN SOSIAL
Hukum dapat menciptakan perubahan sosial dalam masyarakat atau setidak-tidaknya dapat memacu
perubahan-perubahan yang berlangsung dalam masyarakat
Hukum melayani kebutuhan masyarakat, agar hukum tidak akan menjadi ketinggalan oleh
pegang. Fungsi hukum kriminal adalah adalah menjaga ketertiban dan kesusilaan
publik, melindungi warga dari apa yang bisa menyerang atau melukai mereka, dan
menyediakan garis pengaman yang cukup untuk melawan eksploitasi. Fungsi hukum
tingkah laku tertentu, lebih dari yang dibutuhkan guna mencapai tujuan-tujuan.(R.M.
Dworkin 2013)
reformasi politik dan ekonomi di Indonesia adalah good govenance. Wacana ini
negara dengan aktor lain di luarnya ini menjadi sarat bagi efektifitas sebuah
tepat tanpa adanya peran aktor lain yang dekat dengan masyarakat sekaligus
stakeholder tunggal.
kalangan swasta, dan masyarakat sipil. Dalam wacana good governance, kebijakan
tidak lagi menjadi domain negara karena kalangan swasta dan masyarakat sipil pada
asas-asas umum yang fungsinya memberikan arahan pada pemerintah mapun aparat
peraturan di dalam satu tujuan umum yang menyasar pada langkah demi terwujudnya
dalam menanggulangi masalah kejahatan tidak dapat lepas dari perubahan wacana
dalam proses kebijakan ini. Selama ini kebijakan kriminal dipahami sebagai ranah
Sistem Peradilan Pidana (SPP) yang merupakan reprentasi dari negara. Selain itu,
kebijakan kriminal juga lebih dipahami sebagai upaya penegakan hukum saja.
Dengan semakin meningkat, rumit dan variatifnya dalam kejahatan, SPP tidak lagi
(Inggris) atau “politiek” (Belanda). Berdasarkan dari istilah asing tersebut, maka
istilah “Kebijakan Hukum Pidana” bisa juga dikatakan dengan “politik hukum
pidana”. Dalam refrensi asing istilah tentang poltik hukum pidana acap kali dikenal
dengan beragam istilah, yakni “penal policy”, “criminal law policy” atau
dimungkinkannya peraturan yang berlaku saat ini diformulasikan lebih baik lagi serta
demi membagikan panduan kepada legislator serta aparat penegak hukum lainnya
“criminal policy” dapat diberikan pengertian sebagai the rational organization of the
dimungkinkannya peraturan yang berlaku saat ini diformulasikan lebih baik lagi serta
demi membagikan panduan kepada legislator serta aparat penegak hukum lainnya
Between the study of criminological factor on the hand, and the legal technique
on the other, there is room for a science which observes legislative phenomenon
and for a rational art within which scholar and pragtitioner, criminologist and
lawyers can come together, not as antagonist or fratricidal strife, but as fellow-
workers engaged in a common taks, which is first and foremost to bring into
effect a realistic, humane, and healthily progressive penal policy.
(terjemahan bebas: diantara riset tentang penyebab-penyebab kriminologis di
salah satu pihak serta riset tentang teknik perundang-undangan di pihak lainnya,
terdapat ruang untuk suatu ilmu pengetahuan yang melihat serta menganalisis
fenomena legeslatif serta untuk suatu ketrampilan yang logis, yang mana para pakar
serta praktisi, para pakar kriminologi serta pakar hukum bisa bekerja sama dan bukan
sebagai pihak yang berselisih, namun sebagai team yang terikat dalam pekerjaan
bersama, yakni utamanya demi menghasilkan suatu kebijakan pidana yang realistis,
penegak hukum sebagaimana tugas serta fungsinya sendiri bahwa kebijakan pidana
tiada dapat bergerak sendiri, karena bartalian dengan penegak hukum baik hukum
penal policy melewati tingkat-tingkat fungsionalisasi hukum pidana yang antara lain :
selanjutnya yakni tingkatan implementasi pidana oleh badan peradilan, serta tingkatan
hukum pidana (penal policy) sering dikenal dengan istilah “kebijakan hukum pidana”
atau “politik hukum pidana”. Marc Ancel, berpendapat bahwa kebijakan hukum
pidana (penal policy) merupakan suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya
secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-
juga kepada para pelaksana putusan pengadilan. Kebijakan hukum pidana (penal
policy) tersebut merupakan salah satu Komponen dari model criminal science
dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Dalam kesempatan lain
dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan
datang.
sanksi pidana dalam Perda sebagai bagian dari kebijakan hukum pidana (penal
policy) sudah seharusnya memperhatikan ukuran atau kriteria iersebut di atas. Dasar
ukuran atau kriteria dalam kebijakan kriminalisasi. Pembentuk peraturan tidak hanya
juga menunjuk macam-macam sanksi yang dapat diterapkan; begitu pula maksimum
ukuran pidana.
sistem pidana dan pemidanaan secara keseluruhan. Sistem ini mencakup berbagai
aspek, seperti jenis sanksi pidana, perumusan sanksi pidana, dan lamanya atau
peraturan perundang-undangan pidana yang baik, yang sesuai dengan kondisi pada
dianalisis, yaitu penentuan perbuatan apa yang harus dijadikan tindak pidana dan
sanksi apa yang sebaiknya dikenakan kepada pelanggar. Analisis terhadap dua
masalah ini tidak dapat dipisahkan dari konsepsi yang integral antara kebijakan
kriminal dengan kebijakan sosial. Oleh karena itu, kebijakan hukum pidana, termasuk
penanganan dua masalah sentral tersebut, harus dilakukan dengan pendekatan yang
perbuatan yang sebelumnya bukan tindak pidana menjadi pidana. Secara hakiki,
pidana sebagai sarana, dan oleh karena itu merupakan bagian dari "kebijakan hukum
sebagai alat analisis untuk menjawab pertanyaan mengenai urgensi, yaitu bagaimana
A. Teori Pemidanaan
Hukum pidana merupakan bagian integral dari sistem hukum secara umum.
Tujuan utama hukum pidana adalah memberikan sanksi kepada individu yang
melakukan kejahatan. Pembahasan mengenai hukum pidana tidak dapat terlepas dari
kejahatan.
dengan terminologi konvensional yang menyatakan bahwa hukuman berasal dari kata
straf dan dihukum berasal dari perkataan word gestraft. Beliau menggunakan
terminologi yang tidak konvensional, dengan pidana menggantikan kata straf dan
diancam dengan pidana menggantikan kata word gestraft. Hal ini disebabkan jika kata
straf diartikan sebagai hukuman, maka kata straf recht akan berarti hukum-hukuman.
Menurut Moeljatno, dihukum berarti diterapi hukum, baik dalam konteks hukum
perdata maupun hukum pidana. Hukuman adalah hasil atau konsekuensi dari
penerapan hukum yang memiliki makna yang lebih luas, karena dalam hal ini juga
melakukan tindak pidana. Hukum pidana tanpa pemidanaan akan berarti menyatakan
seseorang bersalah tanpa adanya konsekuensi yang pasti atas kesalahannya. Oleh
sesuatu yang dapat dicela, maka pemidanaan merupakan wujud dari celaan tersebut.
Secara umum, teori pemidanaan dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu:
atau tindak pidana. Teori ini diperkenalkan oleh Kent dan Hegel. Teori Absolut
memperbaiki pelaku kejahatan, tetapi pidana adalah tuntutan mutlak yang harus ada
sebagai pembalasan terhadap orang yang melakukan kejahatan. Dalam pandangan ini,
sanksi dalam hukum pidana dijatuhkan semata-mata karena individu telah melakukan
Teori Relatif atau Teori Tujuan (Doel Theorien): Teori ini berpendapat
bahwa pidana merupakan alat untuk menjaga tata tertib (hukum) dalam masyarakat.
Teori ini berbeda dengan teori absolut, karena dasar pemikirannya adalah bahwa
pemberian pidana memiliki tujuan untuk memperbaiki sikap mental atau menjadikan
pelaku pidana tidak berbahaya lagi. Hal ini membutuhkan proses pembinaan sikap.
(pembalasan) sebagai satu kesatuan. Teori ini mencakup karakter pembalasan sebagai
bentuk kritik moral terhadap tindakan yang salah, sementara karakter tujuannya
terletak pada ide bahwa kritik moral tersebut bertujuan untuk melakukan reformasi
Teori ini diperkenalkan oleh Prins, Van Hammel, dan Van List dengan
c. Pemidanaan merupakan salah satu alat yang paling efektif yang dapat
sosial.
untuk memberikan penderitaan secara fisik dan psikologis, serta yang terpenting
perbaikan dalam diri individu yang melakukan kejahatan, terutama dalam kasus-kasus
kejahatan yang ringan. Namun, untuk kasus-kasus kejahatan tertentu yang dianggap
dapat merusak kehidupan sosial dan masyarakat, dan jika dianggap bahwa pelaku
Moral adalah keseluruhan kaidah dan nilai berkenaan dengan ihwal “baik’
perbuatan manusia yang menunjukkan bahwa perbuatan itu benar atau salah, baik
1999) Konsep Emile Durkheim, hukum sebagai moral sosial pada hakekatnya adalah
Progresif, and Indonesia 2010) Hukum dalam hakekat moralnya sebagai ekspresi
solidaritas sosial tak akan mungkin ditopang oleh kekuatan-kekuatan sanksi yang
pembalasan).
Menurut teori Theodorb Geiger, hukum itu gejala sosial, Geiger cenderung
menyangkal peran moral dalam hukum. Hidup bersama dalam masyarakat modern,
konsensus dalam bidang moral, sudah jarang ditemukan lagi. Oleh karena itu,
moral. Dengan kata lain, nilai-nilai tidak lagi memainkan peran dalam hukum.
Pengandaian dasar teori diskursus hukum dan moralitas yang dirumuskan Habermas
adalah bahwa dalam masyarakat modern yang plural, norma-norma sosial yang
diberlakukan hanya dapat meraih validitasnya dari akal budi manusia. Hanya norma-
norma yang didasarkan pada akal budi manusialah yang dapat mengikat interaksi
diskursif antara kelompok dan individu yang berbeda-beda dalam masyarakat plural.
(Wattimena 2007)
sebenarnya tidak pernah ada suatu penyebab tunggal untuk suatu hal yang rumitnya
seperti ide-ide moral. Perintah ditanamkan secara langsung oleh para orang tua, guru
paksaan (yang dapat dipandang sebagai sesuatu yang menjadi dasar bagi hukum)
merupakan salah satu faktor prinsipil dalam pembentukan standar-standar dan bukan
instrumen profesional yang ampuh untuk memperlancar bisnis lawyering sesungguhnya krisis
sekarang ini seharusnya menggugah para ilmuwan hukum untuk menyumbangkan pendekatan dan
metodologi lain di luar yang dominan tersebut”. Alasan untuk itu sederhana saja, yaitu karena pikiran
atau aliran dominan telah gagal membantu kita meyelesaikan krisis hukum dewasa ini.
Pada penjelasan teori moral diatas bahwa mennjukkan terkait dengan urgensi dari penelitian
tersebut maka dari itu teori ini dapat digunakan untuk menganalisis pada rumusan masalah yang
pertama.
Pelacuran
yang berarti membiarkan diri terlibat dalam perbuatan zina, persundalan, pencabulan,
dan pergendakan. Istilah "prostitute" merujuk pada istilah yang mengacu pada WTS
atau sundal yang juga dikenal sebagai Wanita Tuna Susila (WTS). Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI), WTS adalah orang yang menjual diri (persundalan)
atau orang sundal. Pelacuran juga dapat diartikan sebagai pekerjaan yang melibatkan
penyerahan diri atau penjualan jasa kepada publik untuk melakukan aktivitas seksual
dengan imbalan sesuai dengan perjanjian sebelumnya. Orang yang menjual jasa
Definisi serupa juga terdapat dalam Black Law Dictionary yang menyatakan
bahwa pelacuran adalah tindakan terlibat dalam aktivitas seksual untuk uang atau
siapa saja, dengan imbalan uang. Tiga unsur utama dalam pelacuran adalah
pembayaran, promiskuitas, dan ketidakacuhan emosional. Wanita yang terlibat dalam
pelacuran sekarang dikenal sebagai PSK, yang berarti wanita yang secara berulang
kali terlibat dalam hubungan seksual di luar pernikahan yang sah dan menerima uang,
definisi pelacuran sebagai berikut: (1) pelacuran adalah bentuk penyimpangan seksual
dengan pola impuls atau dorongan seksual yang tidak wajar dan tidak terintegrasi,
yang diekspresikan melalui pelampiasan nafsu seksual tanpa kendali dengan banyak
orang, disertai dengan eksploitasi dan komersialisasi seks yang tanpa afeksi; (2)
pelacuran juga merupakan penjualan diri dengan menjual tubuh, kehormatan, dan
identitas kepada banyak orang untuk memuaskan nafsu seksual dengan imbalan
pembayaran; (3) pelacuran terjadi karena tindakan perempuan atau laki-laki yang
pidana kesusilaan. Pelacuran adalah fenomena sosial di mana wanita menjual diri dan
terlibat dalam aktivitas seksual sebagai mata pencaharian. Sarjana P.J. de Bruine van
Amstel menyatakan bahwa pelacuran adalah penyerahan diri wanita kepada banyak
pria dengan imbalan uang. Paul Moedikdo Moeliono juga berpendapat bahwa
elemen utama dalam definisi pelacuran yang dapat ditegakkan, yaitu (1) pembayaran,
menyediakan rumah atau kamar kepada pria dan wanita untuk melakukan pelacuran
(hubungan seksual atau melepaskan nafsu seksual). Biasanya, tempat tidur juga
disediakan untuk tujuan ini. Dalam hal ini, pemilik rumah yang memanfaatkan
dapat dikenai sanksi sesuai dengan Pasal 296 KUHP. Namun, perlu dicatat bahwa
pelacuran adalah pemanfaatan seseorang dalam aktivitas seksual dengan imbalan, dan
baru dalam masyarakat. Meskipun konsep ini telah ada sekitar 20 tahun, masyarakat
pelacuran disebut sebagai Wanita Tuna Susila (WTS), yang menunjukkan bahwa
sebagai orang yang kotor, hina, dan tidak berharga, sementara pihak yang
mempekerjakan mereka dan memperoleh keuntungan besar dari kegiatan ini tidak
mendapatkan stigma serupa. Namun, jika dilihat dari sudut pandang yang lebih luas,
kita dapat menyadari bahwa pekerja seks sebenarnya terlibat dalam kegiatan
berbagai pihak. Jaringan perdagangan ini juga meluas ke wilayah yang lebih luas,
terkadang melibatkan tidak hanya satu negara tetapi beberapa negara sekaligus.
Banyak studi yang telah dilakukan oleh para ahli untuk mendapatkan
b. Motif ekonomi secara sadar menjadi faktor yang memotivasi. Motif ekonomi
pengalaman seksual diri dan peristiwa traumatik sebagai bagian dari motivasi
luar nikah.
pelacuran sebagai jalan keluar dari kesulitan hidup dan untuk mendapatkan
dengan kepribadian, serta hasrat seksual yang berlebihan. Hal ini menyebabkan
ketidakpuasan dalam menjalin hubungan seksual dengan satu pria atau suami.
ekonomi menjadi faktor yang mendorong wanita untuk terlibat dalam pelacuran
terhadap pakaian dan perhiasan mewah. Wanita ingin hidup dalam kemewahan
negatif, terutama pada masa pubertas dan remaja. Terdapat keinginan untuk
melampaui orang tua, saudara perempuan, teman sebaya perempuan, bibi, atau
wanita lainnya.
f) Rasa ingin tahu anak perempuan yang masih kecil dan remaja terhadap
membatasi remaja, sehingga lebih cenderung menyukai pola seks bebas. Pada masa
pranikah) sebagai tindakan iseng atau untuk menikmati "masa indah" di saat muda.
h) Anak perempuan yang berasal dari daerah kumuh (kampung miskin dan
lingkungan yang tidak bermoral) yang sejak kecil sering melihat hubungan seksual
orang dewasa secara kasar dan terbuka, sehingga mental mereka terkondisikan
bahan bacaan yang tidak pantas, kelompok-kelompok remaja yang terlibat dalam
k) Para pelayan toko dan pembantu rumah tangga yang tunduk dan patuh
pekerjaan.
menjadi dua, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal berupa
rendahnya standar moral dan nafsu seksual yang dimiliki orang tersebut. Sedangkan
seksual dan keinginan untuk memperoleh status sosial yang lebih tinggi.
1) Kriminalisasi
penentuan suatu tindakan sebagai perbuatan pidana yang diancam dengan sanksi
atau hukuman yang ditetapkan oleh aparat hukum yang berwenang. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, kriminalisasi adalah proses di mana perilaku yang
adalah proses penetapan suatu perbuatan yang awalnya bukan tindak pidana atau
tidak diatur dalam hukum pidana, namun kemudian menjadi tindak pidana karena
perkembangan masyarakat.
menjadi perbuatan pidana yang dapat dihukum oleh pemerintah atas nama rakyat.
kriminal atau kebijakan kriminal yang bertujuan untuk mencegah dan menangani
kejahatan. Kebijakan kriminal ini tidak terlepas dari kebijakan sosial yang bertujuan
ditetapkan oleh penguasa atau pemerintah yang sedang berkuasa, dan penetapan ini
dibuat oleh badan legislatif sebagai wakil rakyat yang bertugas merancang dan
atau tidak untuk dijadikan tindak pidana berasal dari pandangan masyarakat.
bahwa suatu perbuatan harus dianggap sebagai tindak pidana yang hasilnya adalah
yang sebelumnya tidak dianggap buruk dan tidak dituntut pidana, berubah menjadi
terbatas pada penetapan suatu perbuatan sebagai tindak pidana yang diancam
dengan sanksi pidana. Namun, menurut Paul Cornill, pengertian kriminalisasi tidak
terbatas pada penetapan perbuatan sebagai tindak pidana, melainkan juga mencakup
penambahan atau peningkatan sanksi pidana terhadap tindak pidana yang sudah
ada.
pidana lebih banyak didasarkan pada faktor di luar hukum pidana, seperti nilai-nilai,
ilmu pengetahuan, dan kebijakan. Nilai-nilai atau norma-norma sosial yang menjadi
sumber pembentukan norma hukum pidana meliputi nilai-nilai agama dan norma-
BAB II
PIDANA DI INDONESIA
masyarakat. Asal kata "pelacuran" berasal dari bahasa Latin "prostituo" yang berarti
seseorang yang sudah menikah (baik suami atau istri) dengan orang lain yang bukan
pasangan sahnya. Namun, dalam konteks pelacuran, seorang pelacur dapat berupa
wanita maupun pria, meskipun jumlah yang berpendapat demikian relatif kecil.
komersialisasi seksual.
dengan menerima bayaran kepada banyak orang untuk memuaskan nafsu mereka.
diri kepada publik untuk melakukan hubungan seksual dengan imbalan. Warouw
partner seks yang tidak selektif, dan unsur kontinu yang dilakukan secara berulang
kali.
Berdasarkan pendapat dari W.A. Bonger dan Sarjana PJ. De Bruine Van
diartikan sebagai penyerahan diri seorang wanita kepada banyak laki-laki dalam
pelacuran jalanan atau kelas rendah dan pelacuran kelas tinggi yang melayani
panggilan ke hotel atau tempat sejenisnya. Pelacuran sudah ada di Indonesia sejak
akibat dampak perang yang panjang, demoralisasi yang ditinggalkan penjajah, dan
ratusan bahkan ribuan pelacur, baik yang diatur oleh pemerintah daerah, setengah
pelacuran dan menilai pelacur dalam kaitannya dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Menurut Departemen Sosial RI, pelacuran adalah setiap hubungan seksual di luar
perkawinan yang sah antara pria dan wanita yang dilakukan oleh salah satu pihak
dengan maksud mendapatkan keuntungan bagi dirinya sendiri atau orang lain.
Pelacuran dianggap sebagai mata pencaharian yang tidak halal, bertentangan dengan
pelacur. Simone membedakan bahwa istri terikat untuk memberikan layanan seks
selama waktu yang tidak terbatas, dan karena menjadi milik seseorang, ia dilindungi.
Di sisi lain, pelacur tidak memiliki pemilik, sehingga ia dianggap sebagai "barang"
yang tidak berharga, dan layanan seksualnya hanya bersifat sementara. Simone tidak
menekankan unsur uang atau keuntungan materi sebagai penentu seseorang menjadi
wanita yang menyediakan dirinya kepada banyak pria (lebih dari satu) dengan
imbalan pembayaran untuk kepuasan seksual dan sebagai objek pemenuhan nafsu
seksual bagi para pria pembayar, dilakukan di luar ikatan pernikahan. Pelacur adalah
istilah yang digunakan untuk merujuk pada wanita yang menjual diri kepada siapa
saja atau banyak pria yang membutuhkan kepuasan seksual di luar pernikahan, dan si
wanita menerima imbalan uang dari pria yang melakukan hubungan seksual
dengannya.
Beberapa pendapat berpendapat bahwa pria juga dapat menjadi pelacur, atau
ada juga pendapat yang menyatakan bahwa hubungan seks yang tidak wajar
pelacuran dapat dilakukan oleh baik wanita yang sering disebut sundal, balon, lonte,
maupun oleh pria yang sering disebut gigolo. Dalam hal ini, terdapat kesamaan
predikat pelacur antara pria dan wanita yang melakukan hubungan seks di luar
pernikahan, baik dengan sesama perempuan (lesbian) maupun sesama pria (hubungan
homoseksual), jika dilakukan dengan pertukaran atau pembayaran uang, hadiah, atau
Dalam penulisan ini, penulis membatasi diri pada masalah pelacuran yang
dilakukan oleh wanita sebagai pelaku utama dan hubungan seksual antara individu
berbeda jenis kelamin. Penulis mengutip pengertian pelacur yang dikemukakan oleh
promiskuitas, yaitu pelampiasan nafsu seksual tanpa kendali dengan banyak orang,
Wanita pelacur menjual diri mereka secara langsung kepada pria atau melalui
perantara pihak ketiga. Dalam praktiknya, wanita pelacur yang menjual diri secara
langsung biasanya beroperasi di jalanan. Wanita pelacur yang menjual diri melalui
berperan sebagai perantara. Dalam hal ini, hotel menjadi tempat operasional, dan
pemilik hotel sendiri atau orang tertentu yang dikenal oleh pemilik hotel berperan
aktivitas seksual dengan tujuan untuk mendapatkan upah atau uang dari yang telah
memakai jasa mereka tersebut. Dalam literatur lain juga disebutkan bahwa pengertian
PSK adalah wanita yang pekerjaannya menjual diri kepada banyak laki-laki yang
membutuhkan pemuasan nafsu seksual, dan wanita tersebut mendapat sejumlah uang
pelacuran, pekerja seks komersil menunjuk pada “orang” nya, sedangkan pelacuran
diatas,dapat ditegaskan bahwa batasan pekerja seks komersil yang dimaksut pada
untuk berhubungan seksual dengan jenis kelamin yang bukan suaminya (tanpa ikatan
perkawinan) dengan mengharapkan imbalan, baik berupa uang ataupun bentuk materi
Dari semua pihak yang telah disebutkan, pihak pengguna inilah yang menjadi
titik bagaimana bisa transaksi pelacuran ini bisa terjadi. Walaupun tentu pihak lain itu
juga memberikan dorongan hingga terjadinya praktek pelacuran ini. Pengguna jasa
merupakan gabungan dari dua kata yaitu pengguna dan jasa. Pengguna adalah orang
yang menggunakan sesuatu, sedangkan jasa atau layanan adalah aktivitas ekonomi
milik, tetapi tidak menghasilkan transfer kepemilikan. Para ahli memiliki pandangan
hukuman memiliki pengertian yang lebih umum dan dapat digunakan di berbagai
bidang, tidak hanya di bidang hukum. Sementara itu, pidana merupakan istilah yang
diberikan oleh negara kepada seseorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum
(sanksi) atas perbuatannya yang melanggar larangan hukum pidana. Larangan hukum
Istilah hukuman adalah istilah umum yang mencakup berbagai jenis sanksi, termasuk
perdata, administratif, disiplin, dan pidana. Sedangkan pidana memiliki arti yang
objektif, yaitu diberlakukan tanpa memandang jabatan atau status pelaku. Penjatuhan
pidana dalam setiap larangan hukum pidana bertujuan untuk mencapai kepastian
hukum, membatasi kekuasaan negara, dan mencegah pelanggaran hukum pidana oleh
siapa pun yang berniat melakukannya. Namun, tidak semua ahli berpendapat bahwa
dengan dua tujuan utama, yaitu mempengaruhi perilaku dan penyelesaian konflik.
Penyelesaian konflik ini dapat berupa pemulihan kerugian, perbaikan hubungan yang
terhadap norma atau gangguan terhadap ketertiban hukum yang dilakukan secara
sengaja atau tidak sengaja oleh seorang pelaku, dan penjatuhan hukuman terhadap
pelaku tersebut diperlukan untuk menjaga ketertiban hukum dan kepentingan umum.
menyatakan bahwa tindak pidana adalah perbuatan manusia yang dilarang oleh
hukuman. Tindak pidana merupakan dasar utama dalam penjatuhan pidana terhadap
pelaku yang bertanggung jawab atas perbuatannya. Namun, untuk dapat menjatuhkan
pidana, harus ada regulasi yang mengatur perbuatan tersebut berdasarkan asas
legalitas.
pidana"
Berbagai Negara
pembaharuan hukum pidana Indonesia, dimana regulasi yang tepat dalam sistem hukum
nasional ini maka diperlukan peneliti untuk melakukan perbandingan hukum dan/atau
regulasi sistem hukum pidana indonesia dengan negara-negara lain untuk mengetahui
dengan Negara Swedia, Negara Republik Rakyat China, Negara Belanda, Negara
Swedia merupakan salah satu negara di Eropa Utara yang berbatasan dengan
Norwegia dan Finlandia, serta terhubung dengan Denmark melalui sebuah jembatan.
komunikasi erat dengan ulama dari benua Eropa, yang menyebabkan pengaruh kuat
dari tradisi hukum Jerman-Romawi pada sistem hukum Swedia. Kode Swedia yang
komprehensif diberlakukan pada tahun 1734, yang dikenal sebagai Kode 1734
dari hukum Jerman kuno. Swedia menjadi salah satu negara yang melakukan
kodifikasi hukum pada abad ke-18, sebelum kebanyakan negara Eropa lainnya.
Namun, Swedia dan negara-negara Nordik lainnya tidak mengadopsi jenis kode civil
seperti Code Civil atau BGB. Swedia memberikan perhatian khusus untuk memerangi
pelacuran dan perdagangan manusia dengan tujuan seksual sebagai bagian dari upaya
berbahaya bukan hanya bagi individu yang dilacurkan, tetapi juga bagi masyarakat
mengkriminalisasi pembeli jasa seks, yang dikenal sebagai Sex Purchases Act.
Undang-Undang ini mengatur bahwa pembeli layanan seksual dapat dikenakan denda
yang membutuhkan bantuan akibat eksploitasi dan kekerasan yang dilakukan oleh
pembeli jasa. Oleh karena itu, fokus kriminalisasi ditujukan kepada para pembeli atau
pengguna jasa, sementara perempuan yang dilacurkan didorong untuk keluar dari
industri tersebut tanpa rasa takut atau risiko hukuman. Selain kebijakan hukum,
Negara Republik Rakyat China (RRC) adalah negara yang dalam sejarahnya
pernah berbentuk negara komunis pada abad ke-20. Meskipun saat ini sejumlah
ilmuwan politik tidak lagi mendefinisikannya sebagai negara komunis, secara resmi
RRC masih diakui sebagai negara komunis. Struktur pemerintahannya tidak dikenal
secara pasti, dan ini disebabkan oleh sejarahnya yang mencakup periode kekaisaran
selama 2000 tahun dengan pemerintahan pusat yang kuat dan pengaruh
Konfusianisme.
Setelah berakhirnya era monarki pada tahun 1911, Tiongkok diperintah
secara otokratis oleh Partai Nasionalis Kuomintang dan beberapa panglima perang.
dan sosialis. Beberapa anggota komunis yang lebih kiri cenderung menyebutnya
sebagai negara kapitalis. Secara nyata, Tiongkok semakin menuju sistem ekonomi
dari posisi yang dieksploitasi dan direndahkan perempuan dalam masyarakat feodal-
pandangan tersebut.
Pada awal periode reformasi pada tahun 1978, pelacuran dianggap sebagai
pelacur akan dikenai hukuman penjara, sementara orang yang memikat perempuan
untuk pelacuran akan dikenai hukuman penjara atau kontrol administratif. Namun,
melalui sistem sanksi administratif daripada hukum pidana. Selama masa Maois
(1949-1976), sistem hukum formal menjadi lemah dan digantikan oleh sistem sanksi
administratif dan disiplin Partai. Sejak itu, pengawasan terhadap pelacuran dilakukan
oleh kepolisian setempat dan keputusan provinsi. Pada tahun 1987, dikeluarkan
Fenomena lain yang menarik belakangan ini adalah bentuk prostitusi yang tidak
mengharapkan imbalan materi. Dalam kondisi ini para pekerja seks komersil bersedia
melakukan pelayanan seksual dikarenakan faktor suka sama suka. Pada kehidupan
kosmopolitan yang mernuja kebebasan, fenomena ini semakin banyak dijumpai. Materi
dalam hal ini uang bukan lagi merupakan motivator utama. Kebebasan dan bersenang-
senang adalah alasan yang selalu menjadi jawaban dalam situasi semacam ini. Selama ini
dalam KUHP dan Undang-undang diluar KUHP hanya dapat menjerat penyedia tempat
dan atau mucikarinya saja sedangkan untuk pengguna dan untuk pekerjanya tidak dapat itu
ada perda yang mengatur tentang larangan praktek pelacuran, tapi tidak semua daerah
memiliki perda ini. Dan harus dipertanyakan juga kefektifan dari perda ini, karena selama
karena dalam perbuatan pelacuran terdapat subyek-subyek yang berkaitan yakni mucikari,
pengguna jasa pelacuran dan pekerja seks komersil. Perbuatan pelacuran bagian dari
perbuatan zina dikategorikan sebagai (crime without victim) bahwa pekerja seks komersil
dan pengguna termasuk korban tetapi juga sebagai pelaku dalam perbuatannya sehingga
hukum pidana positif Indonesia saat ini masih belum memberikan kepastian hukum yang
adil serta pelakuan yang sama dihadapan hukum sebagaimana diamanatkan dalam UUD
dijatuhkan tanpa didahului adanya peraturan yang memuat sanksi pidana terlebih dahulu
tetapi, seorang PSK yang melacurkan diri dengan atau tanpa mucikari bukan termasuk
kejahatan karena tidak dilarang dalam hukum pidana Indonesia meskipun melanggar dari
Hal yang sama berlaku dalam pengguna jasa, meskipun sebagai perbuatan zina
yang termuat dalam Pasal 284 KUHP, pasal ini merupakan delik absolut yang artinya tidak
dapat dituntut apabila tidak ada pengaduan dari pihak suami dan istri yang dirugikan (yang
dipermalukan). Pasal ini juga hanya dapat berlaku pada salah satu pengguna jasa pelacuran
atau pekerja seks komersil telah terikat perkawinan, sedangkan apabila pengguna dan
pekerja seks komersil belum terikat perkawinan maka tidak dapat diterapkan pasal
tersebut.
Hukum pidana Indonesia yang mengatur delik kesusilaan dalam KUHP yang
berlaku saat ini masih mempunyai kelemahan secara moral mengingat bahwa pembentukan
delik kesusilaan tidak menggunakan nilai dasar atau "the living law" masyarakat Indonesia.
dalam konteks pembaharuan sistem hukum pidana haruslah memperhatikan Pancasila atau
nilai-nilai falsafah bangsa Indonesia. Pancasila yang juga terkandung jiwa atau semangat
masyarakat Indonesia pada sila ke 2 (kedua) telah memberikan amanat bahwa setiap warga
negara menjunjung nilai kemanusiaan yang adil dan beradab dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. Pasal 28I UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak
untuk tidak perbudak yang merupakan hak asasi manusia tanpa dikurang sedikitpun.
Berdasarkan hal-hal diatas maka diperlukan aturan hukum yang dapat menjerat
semua pihak yang terlibat dalam pelacuran, salah satunya adalah pekerja. Dibutuhkan
Pembaharuan sistem hukum pidana dapat meliputi ruang lingkup yang sangat luas, yaitu
mencakup;
terlibat dalam pelacuran. Kriminalisasi terhadap pekerja seks komersil dan pengguna jasa
pekerja seks komersil bertujuan untuk mencegah dan melarang seseorang dan/atau
Karl O. Christiansen kesalahan moral sebagai salah satu syarat untuk pemidanaan.
Lebih lanjut Herbert L. Packer menegaskan bahwa hanya perbuatan yang secara umum
hukum pidana adalah alat atau instrument kebijakan pemerintah. Kriminalisasi terhadap
pelacuran harus ditetapkan sebagai kejahatan atau perbuatan yang dilarang dengan hukum
pidana melalui ketentuan peraturan perundang-undangan yang sifatnya memaksa, mengikat
Paradigma berfikir lama mengenai bentuk delik pelacuran dapat dikaji ulang,
melalui proses dekontruksi hukum, sebagaimana Satjipto Rahardjo, Hukum itu untuk
manusia, bukan sebaliknya. Tindak pidana atau perbuatan pidana adalah perbuatan yang
dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa
Baru Tahun 2023 nantinya harus konsep pidana bersyarat dalam artian pidana ini berlaku
apabila kondisi keadaan terpaksa dimana pekerja seks komersial di bawah tekanan hanya
pelacuran di swedia dan RRC .Sehingga adapun rumusan norma yang ditawarkan oleh
penulis adalah:
komersil dalam pelacuran bukan hanya sebagai dasar pembenaran dari pidana yakni
pembalasan atas perbuatan yang merugikan dan melanggar norma saja, tetapi harus
memperhatikan apa yang ingin dicapai dengan pemidanaan tersebut. Menurut Pellegrino
Rossi tujuan dari pidana adalah memperbaiki tata tertib masyarakat. Pemidanaan terhadap
pengguna jasa pekerja seks komersil dan pekerja seks komersil harus memberikan manfaat
tata tertib terhadap masyarakat, pidana ini menjadikan suatu teguran terhadap masyarakat
agar memiliki rasa takut untuk melakukan pelacuran. Pidana diberikan bukan karena orang
Hal ini sesuai dengan teori tujuan pemidanaan relatif Karl O. Christiansen bahwa
pidana bertujuan untuk pencegahan, akan tetapi pencegahan bukan tujuan akhir tetapi
hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan
jasa pekerja seks komersil dan pekerja seks komersil bahwa pembelian dan penjualan seks
berbayar adalah perbuatan bersifat melawan hukum yang dilarang oleh norma tertulis dan
bertentangan dengan nilai-nilai kesusilaan dan kesopanan dalam masyarakat, sehingga jika
keterpaduan (integrasi) antara politik kriminal dan politik sosial serta ada keterpaduan
antara upaya penanggulangan kejahatan dengan penal dan non-penal dan di dalam setiap
kebijakan (policy). Sedangkan pendekatan nilai dalam arti bahwa pembaharuan dan
penanggulangan kejahatan harus berdasarkan nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam
Pemidanaan terhadap pengguna jasa pekerja seks komersil dan pekerja seks
komersil terjadi apabila apabila kebijakan non penal (pencegahan, himbauan, dan
kebijakan sosial) tidak dapat menyelesaikan atau menanggulangi pelacuran, hal ini
merupakan sifat hukum pidana sebagai ultimum remidium. Kriminalisasi pelacuran sebagai
bagian dari kebijakan penal tidak akan efektif apabila tidak terjadi intergrasi dengan upaya
rehabilitasi sosial sebagai bagian dari kebijakan non penal. Dengan kata lain kriminalisasi
pelacuran hanya sebatas sebagai upaya balas dendam atau pembalasan saja. Sama halnya
ketika kebijakan non penal tidak akan berlaku efektif apabila perbuatan pelacuran tidak
penjara, melainkan diberikan kerja sosial atau rehabilitasi dan atau pemulihan keadaan agar
mengembalikan kondisi psikologis dan mentalnya seperti semula sebelum menjadi pekerja
seks komersil, karena mengenginkan pekerjaan ini bisa saja kadang karena bujuk rayu
seseorang, berhutang dengan mucikari atau germo, bahkan dijebak atau ditipu sehingga
mereka tidak ada pilihan lain. Pidana kerja sosial merupakan jenis pidana baru di Indonesia
dan bertujuan untuk membina dan memberi efek jera bagi pelaku dengan pola- pola dan
konsep yang manusiawi dan bermanfaat bagi pelaku serta masyarakat dalam rangka
sejalan dengan pengurangan setiap beban sosial dan ekonomi yang dapat merintangi proses
rehabilitasi.(Ramadhani, Sulastri, and Nurhaqim 2017) Selain itu Pekerja seks komersil
juga diberikan pembinaan berupa kerja sosial bahwa apa yang mereka lakukan merupakan
kesalahan baik dari segi hukum, moral dan agama yang tidak boleh diulangi lagi. Dalam
pembinaan itu juga pekerja seks komersil diberikan masukan-masukan apa yang harus
mereka lakukan setelah ini, misalnya pelatihan soft skill dibidang yang mereka sukai.
Barulah setelah itu diberikan lapangan pekerjaan untuk mereka, agar mereka tidak
kembali menjadi pekerja seks komersil. Karna apabila kita hanya memberikan pembinaan
dalam bentuk rehabilitasi dan kerja sosial saja, maka mereka akan kembali lagi menjadi
pekerja seks komersil. Hal ini dikarenakan mereka bingung bagaimana mereka memenuhi
kebutuhan ekonomi jika mereka tidak menjajakan diri, maka dari itu dibutuhkan solusi
yang tepat dalam menanggulangi permasalahan ini. pekerja seks komersil tidak dapat
dibenarkan perbuatannya, namun tidak juga dapat dihakimi secara sepihak. Mereka harus
dikembalikan lagi kedalam keadaan yang membuat mereka baik yaitu dengan cara-cara
diatas.
Rehabilitasi, kerja sosial atau pelatihan kerja dan pemberian modal dilakukan
secara berkepanjangan sehingga dapat dilihat perubahannya. Setidaknya dengan cara ini
dapat mengurangi banyaknya pelacuran diIndonesia. Mereka juga merupakan korban dari
keadaan ekonomi, atau bahkan korban dari para mucikari dan pelanggan yang
memanfaatkan tubuh mereka. Ide dari penulis terdapat pada perumusan norma terhadap
pekerja seks komersil pada point ketiga yaitu pekerja seks diberikan pembinaan dalam
bentuk kerja sosial sebagai upaya untuk mencegah kembali lagi menjadi pekerja seks
komersial. Sedangkan untuk pengguna juga harus dijerat dengan pidana sehingga merasa
Kebijakan kriminalisasi terhadap pengguna jasa pekerja seks komersil dan pekerja
seks komersil dalam konteks perumusan norma hukum sebagai pembaharuan hukum
pidana merupakan perwujudan atas pemenuhan nilai kemanusiaan yang adil dan beradab
yang menyatakan bahwa manusia bukanlah sebuah komoditas yang dapat diperjual belikan
sehingga perlu diberikan perhargaan dan perlakuan yang sama terhadap setiap manusia.
BAB IV
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan dari uraian serta analisa yang merupakan jawaban dari rumusan
sebagai berikut:
1. Urgensi kriminialisasi pada perbuatan pelacuran dalam hukum pidana Indonesia saat ini
pelacuran, beban kinerja aparatur hukum, proses hukum yang panjang, serta dampak
negatif sanksi pidana yang tidak dapat dihindarkan, membawa kepada pandangan bahwa
alternatif solusi. Adapun kriminalisasi pada perbuatan pelacuran dalam hukum pidana
terhadap PSK bertujuan untuk mencegah dan melarang seseorang menjual atau
melawan hukum. Tujuan lainnya adalah kriminalisasi terhadap Pengguna dan PSK bahwa
manusia bukanlah sebuah komoditas yang dapat diperjual belikan sehingga perlu
pidana Indonesia nantinya harus dengan konsep pidana bersyarat dalam artian pidana ini
berlaku apabila kondisi keadaan terpaksa dimana PSK di bawah tekanan melakukan
regulasi hukum terkait pelacuran di negara Swedia dan RRC. Maksud dari keadaan
terpaksa bagi Pekerja Seks Komersil (PSK) adalah perbuatan cabul dengan ajakan,
suruhan dan/atau tipu muslihat orang lain baik secara langsung dan/atau menggunakan
media elektronik. Sedangkan bagi pengguna jasa seks komersial dan mucikari/germo
yang menjadikan perbuatan pelacuran sebagai pekerjaan pokoknya dapat dipidana
dengan pidana denda dan pidana penjara. Terhadap PSK yang menjadikan perbuatan
hubungan seksual tanpa ikatan perkawinan atau perbuatan cabul dengan atau atas
bergelandangan dan berkeliaran di jalan atau di tempat umum dan menawarkan diri,
mengajak orang lain baik secara langsung dan/atau tidak langsung dengan menggunakan
media informasi dengan tujuan melacurkan diri. Sedangkan bagi pengguna jasa seks
komersial dapat dipidana apabila dengan sengaja melakukan membayar atau membeli,
maksud untuk melakukan perbuatan cabul atau persetubuhan tanpa ikatan perkawinan
4.2 Saran
1. Kepada Pemerintah (eksekutif) dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR
dari negara-negara lain yang mana menjadikan mensyaratkan PSK yang bekerja dalam
keadaan terpaksa seperti diatur dalam regulasi negara Swedia dan RRC tidak
diberlakukan hukuman pidana namun kerja sosial. Sedangkan bagi pekerja seks komersil
dan pengguna jasa seks komersial yang menjadikan pelacuran sebagai pekerjaan atau
kebutuhan transaksional dapat dijadikan sebagai pelaku tindak pidana pelacuran tanpa
ketentuan pidana terkait pekerja seks komersil dan pengguna jasa seks komersial dapat
diundangkan pada peraturan perundang-undangan diluar KUHPidana sehingga perbuatan
pelacuran dapat dijadikan tindak pidana khusus seperti tindak pidana narkotika.
2. Kepada masyarakat untuk dapat memahami mengenai kejahatan pelacuran ini sebagai
bentuk pidana apabila dilakukan sebagai mata pencaharian, begitu pula bagi pengguna
jasa seks komersial juga dapat dipidana. Hal ini penting untuk menekan tindak kejahatan