Anda di halaman 1dari 21

Hadratusy Syaikh K.H. M.

Hasyim Asy’ari
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Biografi Tokoh Islam Indonesia

Disusun Oleh:

 Ahmad Nafi’uddin (A92219073)


 Moch. Arif Nafi’udin (A92219099)
 Moh. Iqbal Nafi’ (A92219100)

Dosen Pengampu :

Dr. Wasid, M.Fil.I

JURUSAN SEJARAH PERADABAN ISLAM

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

2020
DAFTAR ISI

COVER & JUDUL ................................................................................................. i

DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1

1.1.Latar Belakang Masalah .................................................................................1

1.2.Rumusan Masalah ..........................................................................................1

1.3.Tujuan Penelitian ............................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................2

2.1. Riwayat Hidup K.H. Hasyim Asy’ari............................................................2

2.2. Peran K.H. Hasyim Asy’ari Terhadap Bangsa Indonesia ............................5

2.3. Karya-Karya K.H. Hasyim Asy’ari ............................................................15

BAB 11I KESIMPULAN .....................................................................................18

3.1. Kesimpulan ..................................................................................................18

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah


Sejarah keilmuan Islam di Nusantara tidak dapat dilepaskan dari jasa
para ulama yang belajar ke jazirah Arab. Tidak hanya untuk belajar, di sana
mereka juga berhasil membangun jaringan ulama Islam internasional
sehingga menjalin mata rantai dalam berbagai cabang keilmuan. Tidak
sedikit pula dari mereka yang dapat mengukir prestasi sebagai pengajar di
masjid al-Haram dan masjid al-Nabawi.
Dari sekian nama yang tercantum dalam daftar jaringan keilmuan
Islam nusantara, KH. Hasyim Asy’ari merupakan salah satu ulama yang
kemudian kembali dan berkiprah di tanah air. Keberadaannya di tanah air
tidak hanya untuk menyebarkan ilmu yang diperolehnya semasa
perantauan, lebih dari itu, dia juga membawa tongkat estafet jaringan
keilmuan Islam yang saling menghubungkan satu sama lain.
Berangkat dari hal tersebut, kami mengulas lebih lanjut mengenai
biografi, peran serta karya-karya Hadratusy Syaikh KH. Hasyim Asy’ari.

1.2. Rumusan Masalah


1. Bagaimana riwayat hidup KH. Hasyim Asy’ari?
2. Bagaimana peran KH. Hasyim Asy’ari untuk bangsa Indonesia?
3. Bagaimana karya-karya KH. Hasyim Asy’ari hingga saat ini?

1.3. Tujuan Penelitian


1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Biografi Tokoh Islam Indonesia
dalam bentuk makalah.
2. Membuka lebih luas mengenai Sejarah riwayat hidup, peran serta
karya KH. Hasyim Asy’ari untuk bangsa Indonesia.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Riwayat Hidup KH. Hasyim Asy’ari


KH. Hasyim Asy’ari adalah ulama’ karismatik yang berasal dari
Jombang, tepatnya di desa Nggedang yang berjarak kurang lebih 2 kilo meter
sebelah utara kabupaten Jombang. Beliau dilahirkan pada hari Selasa Kliwon,
tanggal 12 Dzulqo’dah 1287 H. atau bertepatan tanggal 14 Februari 1871 M
dari pasangan Mbah Asy’ari dan nyai Halimah.1 Nama lengkapnya adalah
Muhammad Hasyim ibn Asy’ari ibn Abdul Wahid ibn Abdul Halim atau yang
terkenal dengan pangeran Benowo ibn Abdurrahman yang populer dengan
julukan Jaka Tingkir (sultan Hadiwijaya) ibn Abdullah ibn Abdul Aziz ibn
Abdul Fattah ibn Maulana Ishaq ibn Ainul Yaqin yang masyhur dengan
sebutan Sunan Giri.2 Dari jalur ibunya ialah Muhammad Hasyim binti
Halimah binti Layyinah binti Sihah ibn Abdul Jabbar ibn Ahmad ibn
Pangeran Sambo ibn Pangeran Benowo ibn Jaka Tinggkir ibn Lembu Peteng
(Prabu Brawijaya VI). Dipercaya pula bahwa beliau merupakan keturunan
raja muslim Jawa, Jaka Tingkir dan raja Hindu Majapahit, Brawijaya VI. Jadi
KH. Muhammad Hasyim Asy’ari adalah keturunan dari keluarga
bangsawan.3
Ibunya KH. Muhammad Hasyim Asy’ari (Nyai Halimah) adalah putri
dari K. Utsman, guru Asy’ari sewaktu mondok. Ayah KH. Hasyim Asy’ari
adalah seorang santri yang sangat pandai dan memiliki akhlaq yang luhur saat
mondok di K. Utsman sehingga Mbah Asy’ari diambil menantu oleh K.
Utsman dan dinikahkan dengan Nyai Halimah. K. Utsman sendiri adalah
seorang kyai yang sangat terkenal dan juga pendiri pesantren Gedang yang

1
https://tebuireng.online/biografi-lengkap-kh-m-hasyim-asy’ari.
2
Achmad Muhibbin Ziuhri, Pemikiran KH. Muhammad Hasyim Asy’ari Tentang Ahlusunnah
Waljama’ah (Surabaya, Khalista, 2010) Hal.67
3
Lathiful Khuluq, Kebangkitan Ulama, Biografi K.H.Hasyim Asy’ari, (Yogyakarta: LKIS, 2000),
Hal.14.

2
didirikannya pada akhir abad 19. KH. Hasyim Asy’ari adalah putra ketiga
dari sepuluh bersaudara.
Sejak masih kanak-kanak KH. Hasyim Asy’ari hidup dalam lingkungan
keluarga pesantren tradisional Nggedang. Pada saat menginjak usia 5 tahun
beliau pindah ke Desa Keras, yaitu desa yang berada disebelah selatan kota
Jombang karena mengikuti ayah dan ibunya yang sedang membangun
pesantren baru. KH. Hasyim Asy’ari ketika menginjak usia 15 tahun beliau
meninggalkan Keras dan mulai menjelajahi pesantren ternama pada saat itu
hingga sampai ke Makkah.
Ketika menginjak usia 21 tahun KH. Hasyim Asy’ari menikah dengan
Nyai Nafisah putri Kyai Ya’qub (Siwalan Panji, Sidoarjo). Pernikahan itu
berlangsung pada tahun 1892 M/1308 H. Setelah menikah beliau, bersama
istrinya, mertuanya pergi ke Makkah untuk melakukan ibadah haji. Pada saat
itu Mbah Hasyim dan istriyan menetap di Makkah untuk mencari ilmu. Tujuh
bulan kemudian, Nafisah menninggal dunia setelah melahirkan seorang putra
bernama Abdullah. Empat puluh hari kemudian, Abdullah menyusul ibu ke
alam baka. Kematian dua orang yang sangat dicintainya itu, membuat Kiai
Hasyim sangat terpukul. Kiai Hasyim akhirnya memutuskan tidak berlama-
lama di Tanah Suci dan kembali ke Indonesia setahun kemudian.
Setelah lama menduda, Kiai Hasyim menikah lagi dengan seorang
gadis anak Kiai Romli dari desa Karangkates (Kediri) bernama Khadijah.
Pernikahannya dilakukan sekembalinya dari Makkah pada tahun 1899
M/1325 H. Pernikahannya dengan istri kedua juga tidak bertahan lama,
karena dua tahun kemudian (1901), Khadijah meninggal.4
Untuk ketiga kalinya, Kiai Hasyim menikah lagi dengan perempuan
nama Nafiqah, anak Kiai Ilyas, pengasuh Pesantren Sewulan Madiun. Dan
mendapatkan sepuluh orang anak, yaitu: Hannah, Khoiriyah, Aisyah, Azzah,
Abdul Wahid, Abdul Hakim, Abdul Karim, Ubaidillah, Mashurah, dan

4
Achmad Muhibbin Ziuhri, Pemikiran KH. Muhammad Hasyim Asy’ari Tentang Ahlusunnah
Waljama’ah (Surabaya, Khalista, 2010) Hal.70

3
Muhammad Yusuf. Perkawinan Kiai Hasyim dengan Nafiqah juga berhenti
di tengah jalan, karena Nafiqah meninggal dunia pada tahun 1920 M.
Sepeninggal Nafiqah, Kiai Hasyim memutuskan menikah lagi dengan
Masrurah, putri Kiai Hasan yang juga pengasuh Pesantren Kapurejo, pagu
(Kediri). Dari hasil perkawinan keempatnya ini, Kiai Hasyim memiliki empat
orang anak: Abdul Qadir, Fatimah, Khadijah dan Muhammad Ya’qub.
Perkawinan dengan Masrurah ini merupakan perkawinan terakhir bagi Kiai
Hsyim hingga akhir hayatnya.5
Beliau mendapat gelar atau julukan “Hadratusyaikh” yang bearti
“Maha Guru”. Kiprah beliau bukan hanya dalam dunia pesantren, namun
juga ikut berjuang melawan penjajah demi negara tercinta. Jiwa
kepahlawanan beliau sangat tinggi sekali. Bahkan ketika beliau sudah sepuh,
Bung Tomo dan Panglima Jenderal Soederman sering berkunjung ke
Tebuireng untuk meminta nasehatnya dalam berjuang dan mengusir penjajah.
KH. Hasyim Asy’ari wafat pada tanggal 25 Juli 1947 M, bertepatan
dengan tanggal 7 Ramadhan 1366 H, pada pukul 03.45 WIB.6 Hadratuys
Syeikh KH.M. Hasyim Asy’ri dipanggil yang Maha Kuasa. Inna Lillahi wa
Inna Ilaihi Raji’un. KH. Hasyim Asy’ari dimakamkan di kompleks Pondok
Pesntren Tebuireng, Jombang, sebagai kusuma bangsa. Atas jasanya selama
perang kemerdekaan melawan Belanda (1945-1947), terutama yang berkaitan
dengan 3 fatwanya yang sangat penting: Pertama, perang melawan Belanda
adalah jihad yang wajib dilaksanakan oleh semua umat Islam
Indonesia. Kedua, kaum Muslimin diharamkan melakukan perjalanan haji
dengan kapal Belanda. Ketiga, Kaum Muslimin diharamkan memakai dasi
dan atribut-atribut lain yang menjadi ciri khas penjajah. Maka Presiden
Soekarno lewat Keputusan Presiden (Kepres) No. 249/1964 menetapkan
bahwa KH. Muhammad Hasyim Asy’ari sebagai Pahlawan Nasional.

5
Muhammad Rifai, KH. Hasyim Asy’ari: Biografi Singkat 1871-1947. (Jakarta: Garasi,2009)
Hal.38.
6
Salahuddin Wahid, Biografi 7 Ra’is A’am PBNU (Kediri: Nous Pustaka Uatama, 2012) Hal. 47.

4
2.2. Peran K.H. Hasyim Asy’ari Terhadap Bangsa Indonesia
Sebagai salah satu tokoh bangsa Indonesia K.H. Hasyim Asy’ari
memiliki banyak peranan penting dan sumbangsihnya terhadap bangsa
Indonesia baik pada masa pra-kemerdekaan maupun pasca kemerdekaan dan
bahkan hingga saat ini. Atas jasa-jasa yang telah diberikan kepada bangsa ini
menjadikan beliau sebagai salah satu Pahlawan Kemerdekaan Indonesia.
Adapun beberapa peranan yang dilakukannya adalah sebagai berikut:
1. Mendirikan Pondok Pesantren Tebu Ireng
Pondok Pesantren Tebuireng didirikan oleh K.H. Hasyim Asy'ari
pada tahun 1899 M. Pesantren ini didirikan setelah ia pulang dari
pengembaraannya menuntut ilmu di berbagai lembaga pendidikan
terkemuka dan di tanah Mekkah, untuk mengamalkan ilmu yang telah
diperolehnya. Tebuireng dahulunya merupakan nama dari sebuah dusun
kecil yang masuk wilayah Cukir, Kecamatan Diwek, Kabupaten
Jombang, Jawa Timur. Letaknya delapan kilometer di selatan kota
Jombang, tepat berada di tepi jalan raya Jombang – Kediri. Menurut
cerita masyarakat setempat, nama Tebuireng berasal dari “kebo ireng”
(kerbau hitam). Versi lain menuturkan bahwa nama Tebuireng diambil
dari nama punggawa kerajaan Majapahit yang masuk Islam dan
kemudian tinggal di sekitar dusun tersebut.7
Dusun Tebuireng sempat dikenal sebagai sarang perjudian,
perampokan, pencurian, pelacuran dan perilaku negatif lainnya. Namun
sejak kedatangan K.H. Hasyim Asy’ari dan santri-santrinya, secara
bertahap pola kehidupan masyarakat dusun tersebut berubah semakin
baik dan perilaku negatif masyarakat di Tebuireng pun terkikis habis.
Awal mula kegiatan dakwah K.H. Hasyim Asy’ari dipusatkan di sebuah
bangunan yang terdiri dari dua buah ruangan kecil dari anyam-anyaman
bamboo atau gedhek, bekas sebuah warung yang luasnya kurang lebih 6
x 8 meter, yang dibelinya dari seorang dalang. Satu ruang digunakan

7
https://www.pcnutulungagung.or.id/

5
untuk kegiatan pengajian, sementara yang lain sebagai tempat tinggal
bersama istrinya, Nyai Khodijah.
Seiring dengan perjalanan waktu, santri yang berdatangan
menimba ilmu semakin banyak dan beragam. Kenyataan tersebut telah
mendorong Pondok Pesantren Tebuireng beberapa kali telah melakukan
perubahan kebijakan yang berkaitan dengan pendidikan. Sebagaimana
pesantren-pesantren pada zaman pendiriannya, sistem pengajaran awal
yang digunakan adalah metode sorogan (santri membaca sendiri materi
pelajaran kitab kuning di hadapan guru), serta metode weton atau
bandongan atau halqah (kyai membaca kitab dan santri memberi
makna). Semua bentuk pengajaran tersebut tidak dibedakan dalam
jenjang kelas. Kenaikan tingkat pendidikan dinyatakan dengan
bergantinya kitab yang khatam (selesai) dikaji dan diikuti santri. Materi
pelajarannya pun khusus berkisar tentang pengetahuan agama Islam,
ilmu syari’at dan bahasa Arab.
Perubahan sistem pendidikan di pesantren ini pertama kali
diadakan Kyai Hasyim Asy’ari pada tahun 1919, yaitu dengan penerapan
sistem madrasi (klasikal) dengan mendirikan Madrasah Salafiyah
Syafi’iyah. Sistem pengajaran disajikan secara berjenjang dalam dua
tingkat, yakni Shifir Awal dan Shifir Tsani. Tahun 1929, kembali
dilakukan pembaharuan, yaitu dengan dimasukkannya pelajaran umum
ke dalam struktur kurikulum pengajaran. Hal tersebut adalah suatu
tindakan yang belum pernah ditempuh oleh pesantren lain pada waktu
itu. Sempat muncul reaksi dan penolakan. Hal demikian dapat dimaklumi
mengingat pelajaran umum saat itu dianggap sebagai kemunkaran,
budaya Belanda dan semacamnya. Namun, madrasah ini berjalan terus
karena Pondok Pesantren Tebuireng beranggapan bahwa ilmu umum
akan sangat diperlukan bagi para lulusan pesantren. Sebagai salah satu
Lembaga Pendidikan islam berbasis pesantren tentunya Tebu Ireng
sangat membantu dan bermanfaat bagi masyarakat Indonesia kala itu

6
bahkan hingga sekarang ini, tentunya untuk mendidik generasi penerus
bangsa
2. Membentuk Komite Hijaz
Kemampuannya dalam ilmu hadits yang diwarisi dari gurunya,
Syaikh Mahfudz At-Tarmasi di Mekkah. Selama 7 tahun Hasyim berguru
kepada Syaikh ternama asal Pacitan, Jawa Timur itu. Disamping Syaikh
Mahfudh, Hasyim juga menimba ilmu kepada Syaikh Ahmad Khatib
Minangkabau. Kepada dua guru besar itu pulalah Kyai Ahmad Dahlan,
pendiri Muhammadiyah, berguru. Jadi, antara KH Hasyim Asy’ari dan
KH Ahmad Dahlan sebenarnya tunggal guru. Yang perlu ditekankan,
pada saat Hasyim belajar di Mekkah, Muhammad Abduh sedang giat-
giatnya melancarkan gerakan pembaharuan pemikiran Islam. Dan
sebagaimana diketahui, buah pikiran Abduh itu sangat mempengaruhi
proses perjalanan ummat Islam selanjutnya. ide-ide reformasi Islam yang
dianjurkan oleh Abduh yang dilancarkan dari Mesir, telah menarik
perhatian santri-santri Indonesia yang sedang belajar di Mekkah.
Termasuk Hasyim tentu saja. Ide reformasi Abduh itu ialah
pertama mengajak ummat Islam untuk memurnikan kembali Islam dari
pengaruh dan praktek keagamaan yang sebenarnya bukan berasal dari
Islam. Kedua, reformasi pendidikan Islam di tingkat universitas; dan
ketiga, mengkaji dan merumuskan kembali doktrin Islam untuk
disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan kehidupan modern; dan
keempat, mempertahankan Islam. Syaikh Ahmad Khatib mendukung
beberapa pemikiran Abduh, walaupun ia berbeda dalam beberapa hal.
Beberapa santri Syaikh Khatib ketika kembali ke Indonesia ada yang
mengembangkan ide-ide Abduh itu. Di antaranya adalah KH Ahmad
Dahlan yang kemudian mendirikan Muhammadiyah. Tidak demikian
dengan Hasyim. Ia sebenarnya juga menerima ide-ide Abduh untuk
menyemangatkan kembali Islam, tetapi ia menolak pikiran Abduh agar
ummat Islam melepaskan diri dari keterikatan mazhab. Ia berkeyakinan
bahwa adalah tidak mungkin untuk memahami maksud yang sebenarnya

7
dari ajaran-ajaran Al Qur’an dan Hadist tanpa mempelajari pendapat-
pendapat para ulama besar yang tergabung dalam sistem mazhab.
Untuk menafsirkan Al Qur’an dan Hadist tanpa mempelajari dan
meneliti buku-buku para ulama mazhab hanya akan menghasilkan
pemutarbalikan saja dari ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Dalam
perkembangannya, benturan pendapat antara golongan bermazhab yang
diwakili kalangan pesantren (sering disebut kelompok tradisional),
dengan yang tidak bermazhab (diwakili Muhammadiyah dan Persis,
sering disebut kelompok modernis) itu memang kerap tidak terelakkan.
Puncaknya adalah saat Konggres Al Islam IV yang diselenggarakan di
Bandung. Konggres itu diadakan dalam rangka mencari masukan dari
berbagai kelompok ummat Islam, untuk dibawa ke Konggres Ummat
Islam di Mekkah.
Karena aspirasi golongan tradisional tidak tertampung (di
antaranya: tradisi bermazhab agar tetap diberi kebebasan, terpeliharanya
tempat-tempat penting, mulai makam Rasulullah sampai para sahabat)
kelompok ini kemudian membentuk Komite Hijaz. Komite yang
dipelopori KH Abdul Wahab Hasbullah ini bertugas menyampaikan
aspirasi kelompok tradisional kepada penguasa Arab Saudi. Atas restu
Kyai Hasyim, Komite inilah yang pada 31 Februari l926 menjelma jadi
Nahdlatul Ulama (NU) yang artinya kebangkitan ulama. Penjajahan
panjang yang mengungkung bangsa Indonesia, menggugah kesadaran
kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa, melalui jalan
pendidikan dan organisasi. Pada tahun 1908 muncul sebuah gerakan yang
kini disebut Gerakan Kebangkitan Nasional. Semangat Kebangkitan
Nasional terus menyebar ke mana-mana, sehingga muncullah berbagai
organisai pendidikan, sosial, dan keagamaan, diantaranya Nahdlatul
Wathan (Kebangkitan Tanah Air) tahun 1916, dan Taswirul Afkar tahun
1918 (dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri atau Kebangkitan Pemikiran).
Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar (Pergerakan Kaum

8
Saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian
rakyat.8
Dengan adanya Nahdlatul Tujjar, maka Taswirul Afkar tampil
sebagi kelompok studi serta lembaga pendidikan yang berkembang
sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota. Tokoh utama dibalik
pendirian tafwirul afkar adalah, KH Abdul Wahab Hasbullah (tokoh
muda pengasuh PP. Bahrul Ulum Tambakberas), yang juga murid
hadratus Syaikh. Kelompok ini lahir sebagai bentuk kepedulian para
ulama terhadap tantangan zaman di kala itu, baik dalam masalah
keagamaan, pendidikan, sosial, dan politik. Pada masa itu, Raja Saudi
Arabia, Ibnu Saud, berencana menjadikan madzhab Salafi-Wahabi
sebagai madzhab resmi Negara. Dia juga berencana menghancurkan
semua peninggalan sejarah Islam yang selama ini banyak diziarahi kaum
Muslimin, karena dianggap bid’ah. Di Indonesia, rencana tersebut
mendapat sambutan hangat kalangan modernis seperti Muhammadiyah
di bawah pimpinan Ahmad Dahlan, maupun PSII di bahwah pimpinan
H.O.S. Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang
menghormati keberagaman, menolak dengan alasan itu adalah
pembatasan madzhab dan penghancuran warisan peradaban itu.
Akibatnya, kalangan pesantren dikeluarkan dari keanggotaan Kongres Al
Islam serta tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu’tamar ‘Alam
Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah, yang akan mengesahkan
keputusan tersebut.
Didorong oleh semangat untuk menciptakan kebebasan
bermadzhab serta rasa kepedulian terhadap pelestarian warisan
peradaban, maka Kyai Hasyim bersama para pengasuh pesantren lainnya,
membuat delegasi yang dinamai Komite Hijaz. Komite yang diketuai KH
Abdul Wahab Hasbullah ini datang ke Saudi Arabia dan meminta Raja
Ibnu Saud untuk mengurungkan niatnya. Pada saat yang hampir

8
M.Ali Haidar, Nahdlatul Ulama dan islam di Indonesia. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1998)

9
bersamaan, datang pula tantangan dari berbagai penjuru dunia atas
rencana Ibnu Saud, sehingga rencana tersebut digagalkan. Hasilnya,
hingga saat ini umat Islam bebas melaksanakan ibadah di Mekah sesuai
dengan madzhab masing-masing. Itulah peran K.H. Hasyim Asy’ari
dalam mendirikan Komite Hijaz yang berhasil memperjuangkan
kebebasan bermadzhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah
serta peradaban yang sangat berharga. Sehingga membuat warga negara
Indonesia dengan leluasa tetap bisa berziarah ke tanah suci Mekah.
3. Mendirikan Nahdlatul Ulama’ (NU)
Latar belakang K.H Hasyim Asy’ari mendirikan NU sangatlah
kompleks dan proses pendiriannya pun tidak instan. Sejarah berdirinya
NU tak lepas dari pergulatan panjang dari para pendirinya dalam
menyikapi perkembangan masyarakat di Indonesia, khususnya di Jawa
dalam menghadapi kolonialisme Belanda serta perkembangan dunia
Islam di Saudi Arabia terutama dikaitkan dengan menguatnya gerakan
Wahabiyah, runtuhnya kekhalifahan di Turki, timbul tenggelamnya
gagasan Pan Islamisme dan pertentangan tajam diantara para pengikut
aliran atau pemikiran Islam di Indonesia.
Perintisan pembangunan NU dimulai dari pendirian Nahdlatul
Watan (kebangkitan Tanah Air) pada 1914 dan Taswirul Afkar
(representasi gagasan-gagasan) pada 1918 dan kemudian disusul
berdirinya Nahdlatul Tujjar (Kebangkitan Usahawan). Fenomena
menguatnya gerakan-gerakan dalam pengembangan agama Islam yang
cenderung merugikan Ahlusunnah Waljamaah, memunculkan
keprihatinan tersendiri di kalangan kiai dan tokoh muda Islam dikalangan
Pesantren.9
Tahun 1924, kelompok diskusi Taswirul Afkar ingin
mengembangkan sayapnya dengan mendirikan sebuah organisasi yang
ruang lingkupnya lebih besar. Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari

9
M.Ali Haidar, Nahdlatul Ulama dan islam di Indonesia. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1998)

10
yang dimintai persetujuannya, meminta waktu untuk mengerjakan salat
istikharah, memohon petunjuk dari Allah. Dinanti-nanti sekian lama,
petunjuk itu belum datang juga. Kyai Hasyim sangat gelisah. Dalam hati
kecilnya ingin berjumpa dengan gurunya, KH Kholil bin Abdul Latif,
Bangkalan. Sementara nun jauh di Bangkalan sana, Kyai Khalil telah
mengetahui apa yang dialami Kyai Hasyim. Kyai Kholil lalu mengutus
salah satu orang santrinya yang bernama As’ad Syamsul Arifin (kelak
KH R As’ad Syamsul Arifin menjadi pengasuh PP Salafiyah Syafiiyah
Situbondo), untuk menyampaikan sebuah tasbih kepada Kyai Hasyim di
Tebuireng.
Pemuda As’ad juga dipesani agar setiba di Tebuireng membacakan
surat Thaha ayat 23 kepada Kyai Hasyim. Ketika Kyai Hasyim menerima
kedatangan As’ad, dan mendengar ayat tersebut, hatinya langsung
bergentar, ”Keinginanku untuk membentuk jamiyah agaknya akan
tercapai,” ujarnya lirih sambil meneteskan airmata. Waktu terus berjalan,
akan tetapi pendirian organisasi itu belum juga terealisasi. Agaknya Kyai
Hasyim masih menunggu kemantapan hati.
Satu tahun kemudian (1925), pemuda As’ad kembali datang
menemui Hadratus Syaikh. Kyai, saya diutus oleh Kyai Kholil untuk
menyampaikan tasbih ini,” ujar pemuda Asad sambil menunjukkan
tasbih yang dikalungkan Kyai Kholil di lehernya. Tangan As’ad belum
pernah menyentuh tasbih sersebut, meskipun perjalanan antara
Bangkalan menuju Tebuireng sangatlah jauh dan banyak rintangan.
Bahkan ia rela tidak mandi selama dalam perjalanan, sebab khawatir
tangannya menyentuh tasbih. Ia memiliki prinsip, kalung ini yang
menaruh adalah Kyai, maka yang boleh melepasnya juga harus Kyai”.
Inilah salah satu sikap ketaatan santri kepada sang guru. Kyai Kholil juga
meminta untuk mengamalkan wirid Ya Jabbar, Ya Qahhar setiap waktu,”
tambah As’ad. Kehadiran As’ad yang kedua ini membuat hati Kyai
Hasyim semakin mantap. Hadratus Syaikh menangkap isyarat bahwa
gurunya tidak keberatan jika ia bersama kawan-kawannya mendirikan

11
organisai/jam’iyah. Inilah jawaban yang dinanti-nantinya melalui salat
istikharah. Sayangnya, sebelum keinginan itu terwujud, Kyai Kholil
sudah meninggal dunia terlebih dahulu. Pada tanggal 16 Rajab 1344 H/31
Januari 1926M, organisasi tersebut secara resmi didirikan, dengan nama
Nahdhatul Ulama’, yang artinya kebangkitan ulama. Kyai Hasyim
dipercaya sebagai Rais Akbar pertama. Kelak, jam’iyah ini menjadi
organisasi dengan anggota terbesar di Indonesia, bahkan di Asia.
4. Mentashih Pancasila dan Mengeluarkan Fatwa Resolusi Jihad
Bangsa Indonesia yang berupaya membangun negara nasional
(nation state) menyadari identitasnya yang plural (majemuk). Hal ini
diwujudkan oleh pada pendiri bangsa agar rumusan dasar negara
mengakomodasi kepentingan bersama. Kepentingan bersama ini menjadi
prinsip terdepan untuk membangun persatuan sehingga lahirlah
Pancasila. Proses merumuskan Pancasila ini bukan tanpa silang
pendapat, bahkan perdebatan terjadi ketika kelompok Islam tertentu
ingin memperjelas identitas keislamannya di dalam Pancasila. Padahal,
sila Ketuhanan Yang Maha Esa yang dirumuskan secara mendalam dan
penuh makna oleh KH Wahid Hasyim merupakan prinsip tauhid dalam
Islam. Tetapi, kelompok-kelompok Islam dimaksud menilai bahwa
kalimat Ketuhanan Yang Maha Esa tidak jelas sehingga perlu diperjelas
sesuai prinsip Islam.
Akhirnya, Soekarno bersama tim sembilan yang bertugas
merumuskan Pancasila pada 1 Juni 1945 mempersilakan kelompok-
kelompok Islam tersebut untuk merumuskan mengenai sila Ketuhanan.
Setelah beberapa hari, pada tanggal 22 Juni 1945 dihasilkan rumusan sila
Ketuhanan yang berbunyi, “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Kalimat itu dikenal sebagai
rumusan Piagam Jakarta. Rumusan tersebut kemudian diberikan kepada
tim sembilan. Tentu saja bunyi tersebut tidak bisa diterima oleh orang-
orang Indonesia yang berasal dari keyakinan yang berbeda.

12
Poin agama menjadi simpul atau garis besar persoalan yang
diambil Soekarno yang akhirnya menyerahkan keputusan tersebut
kepada Hadlratussyekh KH Hasyim Asy’ari untuk menilai dan
mencermati serta memeriksa kebenaran (mentashih) apakah Pancasila 1
Juni 1945 sudah sesuai dengan syariat dan nilai-nilai ajaran Islam atau
belum. Saat itu, rombongan yang membawa pesan Soekarno tersebut
dipimpin langsung oleh KH Wahid Hasyim yang menjadi salah seorang
anggota tim sembilan perumus Pancasila. Mereka menuju Jombang
untuk menemui KH Hasyim Asy’ari. Sesampainya di Jombang, Kiai
Wahid yang tidak lain adalah anak Kiai Hasyim sendiri melontarkan
maksud kedatangan rombongan. Setelah mendengar maksud kedatangan
rombongan, Kiai Hasyim Asy’ari tidak langsung memberikan keputusan.
Prinspinya, Kiai Hasyim Asy’ari memahami bahwa kemerdekaan
adalah kemaslahatan bagi seluruh rakyat Indonesia, sedangkan
perpecahan merupakan kerusakan (mafsadah) sehingga dasar negara
harus berprinsip menyatukan semua. Sila-sila lain yang termaktub dalam
sila ke-2 hingga sila ke-5 juga sudah sesuai dengan nilai-nilai dan prinsip
ajaran Islam. Karena ajaran Islam juga mencakup kemanusiaan,
persatuan, musyawarah, dan keadilan sosial. Atas ikhtiar lahir dan batin
Kiai Hasyim Asy’ari tersebut, akhirnya rumusan Pancasila bisa diterima
oleh semua pihak dan menjadi pemersatu bangsa Indonesia.
Para pemimpin-pemimpin bangsa dan tokoh-tokoh militer, seperti
Soekarno, Bung Tomo, dan Jenderal Soedirman meminta saran-saran
kepada para kiai. Mereka datang untuk meminta pendapat, nasihat,
bahkan fatwa tentang perjuangan melawan penjajah. Sebelum keputusan
soal Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945, Kiai Hasyim para 17
September 1945 beliau mengeluarkan fatwa jihad yang berisikan ijtihad
bahwa perjuangan membela tanah air sebagai suatu jihad fi sabilillah.
Fatwa ini merupakan bentuk jawaban dari pertanyaan Presiden Soekarno
yang memohon fatwa hukum mempertahankan kemerdekaan bagi umat
Islam.

13
Pada 21-22 Oktober 1945 PBNU menggelar rapat konsul NU se-
Jawa dan Madura. Rapat digelar di Kantor Hofdsbestuur Nahdlatul
Ulama di Jalan Bubutan VI No 2 Surabaya. Di tempat inilah setelah
membahas situasi perjuangan dan membicarakan upaya
mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Di akhir pertemuan pada
tanggal 22 Oktober 1945 PBNU akhirnya mengeluarkan sebuah Resolusi
Jihad sekaligus menguatkan fatwa jihad Rais Akbar NU Hadratussyaikh
KH Hasyim Asy’ari.
Isinya adalah menyeru kepada bahwa wajib hukumannya berjuang
mempertahankan NKRI. Yang gugur dalam medan perang dianggap
sebagai syahid fi sabilillah. Dalam redaksi yang dikutip oleh Agus
Sunyoto dalam bukunya “Resolusi Jihad NU dan Perang 4 Hari di
Surabaya (2016) bahkan lebih rinci lagi. “Berperang menolak dan
melawan pendjadjah itoe Fardloe ‘ain (jang haroes dikerdjakan oleh
tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak, bersendjata
ataoe tidak) bagi jang berada dalam djarak lingkaran 94 km dari tempat
masoek dan kedoedoekan moesoeh. Bagi orang-orang jang berada di
loear djarak lingkaran tadi, kewadjiban itu djadi fardloe kifajah (jang
tjoekoep, kalaoe dikerdjakan sebagian sadja)…”.10
Peristiwa ini memang terjadi pasca 17 Agustus 1945, tetapi
perjuangan mempertahankan kemerdekaan ini menjadi tonggak
keberlangsungan bangsa. Sangat mungkin berbeda jika yang terjadi,
Sekutu datang, kita kalah dalam peperangan, tanpa perlawanan, akan
menjadi negara boneka, ataupun masih jadi persemakmuran. Artinya
tidak sepenuhnya berdaulat, walau telah dinyatakan merdeka.

10
Resolusi Jihad NU dan Perang 4 Hari di Surabaya, Agus Sunyoto, 2006

14
2.3. Karya-Karya K.H. Hasyim Asy’ari
Sebagai seorang ulama panutan, Hadratusy Syaikh KH M. Hasyim
Asy'ari tidak hanya pandai berbicara di dalam mushola, kelas, atau mimbar-
mimbar pengajian umum, tapi juga memiliki tradisi kepenulisan yang
kuat. Sejumlah disiplin keislaman di bidang akidah, akhlah, hingga ilmu fiqih
ia tulis dengan serius. Berikut ini sejumlah karya Kiai Hasyim Asy’ari yang
masih menjadi kitab wajib untuk dipelajari di pesantren-pesantren Nusantara.
Catatan karya Mbah Hasyim diambil dari website Pesantren Tebuireng
(tebuireng.net):
1. Adabul 'Alim Wal Muta'allim adalah sebuah kitab yang mengupas
tentang pentingnya menuntut dan menghormati ilmu serta guru.
Dalam kitab ini KH. M. Hasyim Asy'ari menjelaskan kepada kita
tentang cara bagaimana agar ilmu itu mudah dan cepat dipahami
dengan baik. Kitab yang terdiri dari beberapa bab ini, memberikan
pula kepada kita pencerahan tentang mencari dan menjadikan ilmu
benar-benar memberikan manfaat kepada masyarakat. Salah satu
contoh yang diberikan oleh KH. M. Hasyim Asy'ari kepada kita
adalah bahwa ilmu akan lebih mudah diserap dan diterima apabila kita
dalam keadaan suci atau berwudhu terlebih dahulu sebelum mencari
ilmu. Banyak hal yang bisa kita petik dalam rangka mencari ilmu
ketika kita membaca kitab ini.
2. Risalah Ahlis Sunnah Wal Jama'ah merupakan pedoman bagi warga
NU dalam mempelajari tentang apa yang disebut ahlus sunnah wal
jama'ah atau sering disingkat dengan ASWAJA. Dalam kitab ini,
Hadratus Syaikh juga mengulas tentang beberapa persoalan yang
berkembangan dimasyarakat semisal, apa yang disebut dengan
bid'ah? Menerangkan pula tentang tanda-tanda kiamat yang terjadi
pada masa sekarang ini. Banyak golongan yang mengaku bahwa
mereka juga merupakan golongan ahlus sunnah wal jamaa'h. Akan
tetapi dalam ibadah, amal perbuatannya banyak menyimpang dari

15
tuntunan Rasulullah SAW. Dalam kitab ini diuraikan dengan jelas
tentang bagaimana sebenarnya ahlus sunnah wal jama'ah tersebut.
3. At-Tibyan Fin Nahyi An-Muqothoatil Arham Wal Aqorib Wal Ikhwan
merupakan kumpulan beberapa pikiran khususnya yang berhubungan
dengan Nahdlatul Ulama. Dalam kitab ini, ditekankan pentingnya
menjalin silaturrohim dengan sesama serta bahayanya memutus tali
sillaturohim. Didalam kitab ini pula, termuat Qunun Asas atau udang-
undang dasar berdirinya Nadhatul Ulama (NU) serta 40 hadits nabi
yang berhubungan dengan pendirian Nahdlatul Ulama. Dalam kitab
ini, dikisahkan bahwa KH. Muhammad Hasyim Asy'ari pernah
mendatangi seorang kyai yang ahli ibadah karena kyai tersebut tidak
mau menyambung silaturrohim dengan masyarakat sekitar sehingga
sempat terjadi perdebatan antara keduanya.
4. An-Nurul Mubin Fi Mahabbati Sayyidil Mursalin merupakan karya
KH. Muhammad Hasyim Asy'ari yang menjelaskan tentang rasa cinta
kepada nabi Muhammad SAW. Dalam kitab tersebut, dijelaskan pula
tentang sifat-sifat terpuji nabi Muhammad SAW yang bisa menjadi
suri tauladan bagi kita semua. Dijelaskan pula tentang kewajiban kita
taat, menghormati kepada perintah Allah SWT yang telah
disampaikan melalui nabi Muhammad SAW baik melalui al-qur an
atau hadits. Silsilah keluarga nabi Muhammad SAW, tidak luput dari
pembahasan. Singkat kata, dalam kitab ini, kita mendapatkan sejarah
yang relatif lengkap dan menarik untuk dikaji serta dijadikan tauladan
menuju insan kamil.
5. Ziyadatut Ta'liqot merupakan kitab yang berisi tentang polemik
beliau dengan KH. Abdullah Bin Yasin Pasuruan tentang beberapa hal
yang berkembang pada masa itu. Perdebatan terjadi pada beberapa
masalah yang tidak sesuai antara pandangan Nahdlatul Ulama dengan
KH. Abdullah Bin Yasin Pasuruan. Banyak sekali permasalahan yang
diperdebatkan sehingga kitab ini begitu tebal dan permasalahan yang
diperdebatkan masih terjadi dimasyarakat.

16
6. At-Tanbihatul Wajibat Li Man Yasna' Al-Maulid Bil Munkaroti
adalah sebuah kitab tentang pandangan KH. Muhammad Hasyim
Asy'ari tantang peringatan maulid nabi Muhammad SAW yang
disertai dengan perbuatan maksiat atau munkar. Dalam kitab tersebut,
diceritakan bahwa pada jaman dulu, disekitar Madiun, setelah
pembacaan shalawat nabi, para pemuda segera menuju arena untuk
mengadu keahlian dalam hal bela diri silat atau pencak. Acara itu,
masih dalam rangkaian peringatan maulid serta dihadiri oleh gadis-
gadis yang saling berdesakan dengan para pemuda. Mereka saling
berteriak kegirangan hingga lupa bahwa saat itu, mereka sedang
memperingati maulid nabi Muhammad SAW. Hal tersebut
menimbulkan keprihatinan KH. Muhammad Hasyim Asy'ari sehingga
beliau mengarang kitab ini.
7. Dhou'ul Misbah Fi Bayani Ahkamin Nikah berisi pikiran
ataupun pandangan KH. Muhammad Hasyim Asy'ari tentang lembaga
perkawinan. Dalam kitab tersebut, beliau menangkap betapa pada saat
itu, banyak pemuda yang ingin menikah, akan tetapi tidak mengtahui
syarat dan rukunnya nikah. Tidak tahu pula tentang tata cara / sopan
santun dalam pernikahan sehingga dalam mereka menjadi bingung
karenanya. Dalam kitab tersebut, terkandung beberapa nasehat yang
penting agar lembaga perkawinan betul-betul bisa menjadi sebuah
keluarga yang Sakinah, Mawaddah Wa Rahmah sesuai tuntunan agama.
Selain menulis kitab, Kiai Hasyim juga rajin menyebarkan ilmu dan
penapatnya di sejumlah media yang beredar secara nasional pada waktu
itu, di antaranya, majalah Soeara Moeslimin Indonesia (majalah milik
Masyumi), Berita NO, Soeloeh NO, Swara NO, dan sebagainya.

Tema yang beliau tulis tidak sebatas bidang ilmu keagamaan, tapi juga
meliputi pertanahan dan pertanian, politik internasional, kolonialisme, dan
macam-macam lagi. (Hamzah Sahal).11

11
https://www.nu.or.id/post/read/41172/karya-karya-hadratusy-syaikh.

17
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Hadratusy Syaikh K.H. Hasyim Asy’ari merupakan seorang yang
fenomenal di zamannya dimana beliau memiliki nasab yang mulia dan
bersambung hingga ke Rasulullah. Memiliki riwayat pendidikan yang
cukup spektakuler hingga mendapatkan gelar “Hadratusy Syaikh” yang
merupkan seseorang yang berhasil menghfal serta memahami tujuh kitab
hadith utama karya imam terdahulu.
Dalam bangsa Indoensia, peran beliau sangatlah berpengaruh
dalam berdirinya bangsa ini serta menjadi landasan untuk merisi
pancasila sila pertama. Sebelum itu, beliau sudah mendirikan pondok
pesantren yang besar di daerah Tebu Ireng, Jombang. Ikut andil dalam
permasalahan Saudi Arab dengan mendirikan Komite Hijaz dan selpas
peristiwa tersebut beliau mendirikan wadah orgnaisasi yang hingga
sekarang menjadi yang terbesar dan terbanyak pengikutnya, yakni
Nahdhatul ‘Ulama’.
Karya-karya Hadratusy Syaikh K.H. Hasyim Asy’ari cukup
banyak sebenarnya, disini kami hanya menyajikan tujuh karya fenomenal
dari beliau yang kebanyakan menekankan kepada titik adab dan aqidah
sebagai seorang muslim. Diharapkan dengan karya beliau ini, orang-
orang yang berada di zaman kapanpun akan terus belajar dan meneladani
sikap, sifat, dan ajaran beliau yang dituangkan dalam karya-karya
tersebut.

18
DAFTAR PUSTAKA

 Haidar, M. Ali. 1998. Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia. Jakarta:


Gramedia Pustaka Utama.
 Khuluq, Lathiful. 2000. Kebangkitan Ulama, Biografi K.H.Hasyim Asy’ari.
Yogyakarta: LKIS.
 Rifai, Muhammad. 2009. KH. Hasyim Asy’ari: Biografi Singkat 1871-1947.
Jakarta: Garasi.
 Sunyoto, Agus. 2006. Resolusi Jihad NU dan Perang 4 Hari di Surabaya.
 Wahid, Salahuddin. 2012. Biografi 7 Ra’is A’am PBNU. Kediri: Nous
Pustaka Utama.
 Zuhri, Achmad Muhibbin, 2010. Pemikiran KH. Muhammad Hasyim
Asy’ari Tentang Ahlusunnah Waljama’ah. Surabaya: Khalista.
 https://tebuireng.online/biografi-lengkap-kh-m-hasyim-asy’ari. Laman
Resmi Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang. Diakses pada Rabu, 21
Oktober 2020 pukul 20.48.
 https://www.pcnutulungagung.or.id. Biografi-kh-hasyim-asyari-pendiri-
nu-tebuireng-jombang. Diakses pada Kamis, 22 oktober 2020 pukul 23.00.
 https://www.nu.or.id/post/read/41172/karya-karya-hadratusy-syaikh.
Karya-Karya Hadratusy Syaikh. Diakses pada 22 oktober 2020 pukul 23.00.

Anda mungkin juga menyukai