Anda di halaman 1dari 40

1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Seiring dalam perkembangan dunia kefarmasian, ada beberapa cara atau rute
yang dapat diterapkan dalam pemberian obat kepada pasien. Rute pemberian
dapat melalui rute oral, parenteral, rektal, topikal, dsb. Dalam pemilihan rute
tersebut, hal mendasar yang membedakan cara–cara tersebut adalah bagaimana
pemberian obat sesuai dengan target terapi yang akan dicapai. Rute pemberian
yang sering digunakan adalah topikal dengan menggunakan permukaan tubuh
sebagai media penghantaran obat.
Dalam hal sistem penghantaran obat, ada beberapa cara yang dapat
digunakan dalam rute pemberian topikal yaitu melalui membran mukosa atau
dengan melalui kulit. Kulit sendiri dapat menjadi media dalam penghantaran obat
secara lokal dan ada yang dapat memberikan efek sistemik, yaitu transdermal.
Sistem penghantaran obat transdermal dapat melalui dua mekanisme yaitu
pasif dan aktif. Metode pasif membutuhkan optimasi formulasi atau zat pembawa
obat untuk meningkatkan permeabilitas kulit. sebaliknya metode aktif, normalnya
meliputi metode peningkatan penghantaran obat secara mekanik dan fisik yang
umumnya lebih banyak digunakan. Metode ini merupakan salah satu bagian dari
sistem penghantaran transdermal yang secara komprehensif akan saling berkaitan
mulai dari karakteristik sediaan, cara penyampaian obat melalui kulit,
penghantaran obat ke reseptor, hingga pada akhirnya obat memberikan efek
sistemik yang diinginkan yang akan dijelaskan dalam makalah ini.

1.2 Tujuan Penulisan


Penulisan makalah ini bertujuan untuk memberikan penjelasan dan gambaran
lebih mendalam mengenai sistem penghantaran obat melalui sistem transdermal.
Dengan demikian, pembaca diharapkan mampu memahami konsep, mekanisme,
dan bentuk sediaan yang dapat digunakan dalam sistem penghantarannya.

Universitas Indonesia
2

BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Anatomi Kulit

Gambar 2.1 Struktur Anatomi Kulit

Kulit merupakan permukaan terluar tubuh yang berfungsi dalam


perlindungan tubuh terhadap lingkungan luar. Kulit memiliki dua lapisan yaitu
epidermis dan dermis, serta jaringan subkutan (hipodermis) yang berisi jaringan
lemak dan adipose (Sherwood, 2010).

2.1.1 Epidermis
Epidermis terdiri dari beberapa lapisan sel endotelial dan merupakan bagian
teratas dari lapisan kulit. Epidermis berperan dalam barier fisik, mencegah
hilangnya air dari tubuh, dan mencegah masuknya zat asing ke dalam tubuh. Sel
epidermis saling bertautan secara erat membentuk dermosome. Ketebalan
epidermis berbeda-beda pada berbagai bagian tubuh, yang paling tebal berukuran

2 Universitas Indonesia
3

1 milimeter, dan yang paling tipis berukuran 0,1 milimeter terdapat pada kelopak
mata, pipi, dahi dan perut (Sherwood, 2010). Epidermis melekat erat pada dermis
karena secara fungsional epidermis memperoleh zat-zat makanan dan cairan antar
sel dari plasma yang merembes melalui dinding-dinding kapiler dermis ke dalam
epidermis.
Keratosit merupakan komponen selular paling banyak (>90%) dan
berperan dalam fungsi barier dalam kulit. Epidermis dibagi menjadi 5 bagian dan
berkaitan dengan diferensiasi dari keratosit. Proses diferensiasi ini membentuk
lapisan barier stratum korneum (~0.01 mm). Lapisan epidermis terdiri dari:
(Hillery, Andrew, dan James, 2001)
1. Stratum basale atau lapisan basal berperan dalam menggantikan epidermis
yang baru (proses terjadi setiap 20–30 hari). Keratosit yang baru terbentuk
akan mendorong sel yang sudah terbentuk dipermukaan sebelumnya.
2. Stratum spinosum terdiri dari organel sel dan granul pembungkus membran
(membrane-coating granules) atau lamellar yang melekat pada badan Golgi.
3. Stratum Spinosum terdiri dari sel-sel spinosum saling terikat dengan filamen
yang berfungsi untuk mempertahankan kohesivitas (kerekatan) antar sel dan
melawan efek gesekan.
4. Stratum korneum merupakan lapisan terluar dari epidermis yang berperan
dalam barier pertahanan terluar kulit.

Universitas Indonesia
4

Gambar. 2.2 Lapisan pada epidermis kulit

Struktur lapisan stratum korneum terdiri dari sel terkeratinisasi (korneosit)


yang merupakan protein yang ditempelkan pada “semen” yang berupa lipid. Lipid
tersebut tersusun pada berbagai bilayer. Terdapat material ampifilik pada fraksi
lipid, seperti asam lemak bebas yang polar dan kolesterol untuk pembentukan
bilayer.
Massa epidermis terbanyak terkonsentrasi di stratum korneum dan lapisan
ini membentuk barrier terhadap penetrasi obat. Tiap korneosit diikat oleh
proteinaceous envelope yang tebal dengan protein serat keratin yang kuat sebagai
komponen utama. Korneosit mengandung susunam kompak filament α-keratin
dan terdistribusi pada matriks amorf. Ruang interseluler stratum korneum diisi
oleh lamella.

2.1.2 Dermis
Dermis memiliki ketebalan yang bervariasi bergantung pada daerah tubuh
dan merupakan bagian bwah setelah epidermis pada kulit. Dermis terdiri atas dua
lapisan dengan batas tidak jelas, yaitu stratum papilar dan stratum retikular.

Universitas Indonesia
5

Stratum papilare merupakan bagian utama dari papila dermis dan terdiri dari
jaringan ikat longgar. Dermis mengandung beberapa turunan epidermis, yaitu :
Folikel rambut, Kelenjar keringat, Kelenjar sebacea. Pada stratum ini juga
terdapat fibroblast, sel mast, makrofag, dan leukosit yang keluar dari pembuluh
(Sherwood, 2010)

2.1.3 Hypodermis (Jaringan Subkutan)


Hipodermis atau jaringan lemak subkutan merupakan lapisn yang
menyanggah atau menyokong lapisan dermis dan epidermis. Lapisan ini terdapat
area simpanan lemak dan berfungsi untuk membantu mengatur suhu, penyediaan
nutrisi dan perlindungan mekanik. Lapisan ini dilalui oleh pembuluh darah dan
saraf kulit (Sherwood, 2010).

2.2 Mekanisme Penghantaran Obat dalam Kulit


Dalam rute transdermal, obat akan berpenetrasi ke dalam kulit, menembus
jaringan kulit, kemudian terabsorpsi ke dalam pembuluh darah sistemik. Proses ini
disebut percutaneous absorption (penyerapan perkutan). Efektifitas penyerapan
perkutan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi
penyerapan perkutan adalah sebagai berikut: (Hillery, Andrew, dan James, 2001)

1. Faktor Fisiologis Kulit


a. Stratum korneum
Stratum cornem adalah barier utama dalam penyerapan obat pada kulit.
Untuk meningkatkan bioaviabilitas sediaan transdermal, perlu adanya
strategi untuk meningkatkan penghantaran dengan mengadakan perubahan
komposisi atau susunan lipid interselular di stratum korneum.
Permasalahan dalam sistem penghantaram transdermal adalah “lag-time”
karena kinetika partisi yang lambat dan karena obat lipofil mempunyai
daya tarik dalam lingkungan stratum korneum.
b. Anatomi Kulit
Karena dalam anatominya, ketebalan kulit bervariasi, absorpsi obat pada
kulit juga bervariasi tergantung pada tebal lapisan kulit. Beberapa area

Universitas Indonesia
6

yang seperti skrotum, aksila, wajah, kulit kepala, memiliki permeabilitas


yang baik. Permeabilitas yang tinggi digunakan untuk mengoptimalkan
penghantaran obat transdermal, seperti patch testosterone yang didesain
digunakan pada skrotum, skopolamin pada belakang telinga atau sediaan
nitrogliserin di dada diatas jantung.
c. Kondisi dan penyakit kulit
Pada kulit yang sakit terjadi perubahan komposisi lipid protein stratum
korneum. Sediaan pada rute transdermal sejauh ini hanya digunakan pada
kulit yang sehat. Pada kulit yang terinflamasi, stratum korneum akan
berkurang dan terjadi keratinisasi, sehingga permeasi obat akan
meningkat.
d. Usia
Dari keadaan lahir hingga usia tua ada perubahan pada tingkat kehilangan
air pada transepidermal. Pada kondisi tua kulit menjadi lebih rapuh (lebih
sensitif ketika melepaskan patch) dan membutuhkan waktu yang lebih
lama untuk menyembuhkan luka sehingga pasien lanjut usia harus
dimonitor dengan baik. Kulit bayi memiliki konsentrasi air yang lebih
tinggi, sehingga obat akan lebih mudah terabsorbsi.
e. Iritasi dan sensitisasi kulit
Respon biologis kulit karena ada gangguan pada membran sering terjadi,
diikuti dengan respon inflamasi yang non-imunologi / imunologis
(ditandai dengan iritasi atau reaksi sensitisasi). Dalam pengembangan
produk transdermal perlu dilakukan di uji sensitisasinya sebelum obat
diproduksi.
f. Metabolisme di Kulit
Metabolisme presistemik dalam kulit dapat memodifikasi bioavailabilitas
obat transdermal. “Cutaneus first-pass effect” untuk nitrogliserin,
Epidermis yang baik adalah jaringan biokimia aktif dengan kemampuan
metabolik. Banyak enzim yang telah diidentifikasi di kulit, termasuk
system sitokrom P450. Namun, kemampuan epidermis dalam
memetabolisme obat yang dihantarkan terbatas, dan peran biodegradasi

Universitas Indonesia
7

akan cenderung kecil. Oleh karena itu, salah satu keuntungan dari
penghantaran transdermal adalah menghindari metabolisme presistemik.
2. Faktor Fisikokimia Obat (Jhawat, vipin, Nancy, 2013)
a. Berat Molekul dan ukuran molekul Obat
Ukuran molekul obat memperngaruhi dalam penetrasinya kedalam kulit.
Molekul Obat yang besar dari 500 Da menyebabkan masalah dalam
pengangkutan perkutan. Semakin besar ukuran molekul obat, semakin
kecil kemampuan dalam terabsorbsi pada kulit.
b. Koefisien Partisi dan Solubilitas
Obat yang memiliki kelarutan baik di lipid mupun air cocok untuk
absorbsi perkutan karena kulit dibentuk dari lapisan lipid bilayer sehingga
obat harus memiliki koefisien partisi yang optimum.
c. Konsentrasi Obat (Hillery, Andrew, dan James, 2001)
Obat yang terabsorpsi pada kulit akan berpindah dari satu lapisan ke dalam
lapisan kulit yang lebih dalam melalui difusi pasif. Difusi pasif adalah
proses perpindahan molekul dari membran yang berkonsentrasi tinggi ke
membran yang berkonsentrasi rendah. Jumlah obat yang terabsorpsi per
unit area permukaan akan meningkat seiring dengan meningkatnya
konsentrasi obat sehingga konsentrasi obat dapat menggambarkan laju
difusi dari obat tersebut.

Proses difusi digambarkan oleh hukum ficks.

J = kecepatan molekul melintasi membran (flux)


D = koefisien difusi
C = konsentrasi molekul
x = jarak koordinat difusi

Dalam hukum ficks, flux berbanding lurus dengan gradien konsentrasi


(dc/dx). Gradien konsentrasi dalam menembus membran tidak dapat ditentukan
secara sederhana, tetapi bisa digambarkan melalui koefisien permeabilitas (Ps)
dan perbedaan konsentrasi dalam jaringan kulit.

Universitas Indonesia
8

Jika obat mencapai keadaan steady-state, jumlah obat yang melalui


membrane adalah linear, dan menunjukkan laju difusi yang konstan. Kurva obat
dalam membran selama steady-state dapat dilihat pada gambar.

Gambar 2.3 Kurva Obat dalam Membran


Dimana :
Cv = konsentrasi obat dalam formulasi.(konstan)  dalam kompartemen donor
Cd =konsentrasi lokal (sangat kecil disbanding Cv) , (Cv-Cd) ≈ Cv  dalam
kompartemen reseptor

Transdermal flux dalam keadaan steady-state digambarkan dengan rumus


Js = Ps Cs
Ps = koefisien permeabilitas
Cs = perbedaan konsentrasi
Dimana:
Ps = K.D/h
K = koefisien partisi
h = tebal lapisan membran

Jumlah akumulasi obat yang berpenetrasi melalui kulit adalah Q, dimana

Universitas Indonesia
9

dan Cs adalah konsentrasi obat dalam reservoir saat kompartemen reseptor


mencapai sink-condition. (Hillery, Andrew, dan James, 2001)

2.2.1 Rute Difusi Obat (Sharma, N et al, 2011)


Setelah obat terpenetrasi, ada dua jenis rute difusi yang terjadi, yaitu rute
appendageal dan rute epidermal. Rute apendageal adalah rute dimana obat yang
berpenetrasi ke dalam kulit akan berpindah secara difusi melalui kelenjar keringat,
kelenjar minyak, dan kelenjar rambut. Rute apendageal ini merupakan komponen
minor dari rute yang dialami obat. Mayoritas obat akan berdifusi dengan rute
epidermal. Rute epidermal sendiri terdiri dari dua jenis, yaitu transcellular dan
intercelluler.
1. Rute transcellular
Pada rute ini, obat akan berdifusi langsung melalui membran fosfolipid dan
keratinosit yang menyusun stratum korneum. Transport yang terjadi dalam
rute transellular termasuk transpor pasif molekul kecil, transpor aktif senyawa
ionik dan senyawa polar, serta endositosis dan transitosis dari
makromolekul. Walaupun rute ini adalah yang paling pendek dibandingkan
rute lain, namun pada umumnya obat akan mengalami resistensi yang
signifikan terhadap membran sel.
Hal ini karena obat yang harus melewati membran yang bersifat lipofil,
kemudian melewati lapisan hidrofilik yang mengandung keratin, setelah itu
akan melewati membran fosfolipid kembali. Tahapan tersebut diulang terus
menerus berdasarkan ketebalan stratum korneum.

2. Rute intercelluler
Pada rute intercellular, transpor molekul obat terjadi melalui rongga antar sel
atau sekeliling sel, sehingga jalurnya lebih panjang dan rumit. Rute yang
dilalui obat dalam kulit akan sangat dipengaruhi oleh koefisien partisi antara
obat dengan membran sel. Dalam hal ini, obat yang bersifat hidrofilik akan
cenderung mengalami rute transcelluler, sedangkan obat-obat yang hidrofobik
akan cenderung melalui rute intercelluler. Mayoritas obat yang diabsorpsi

Universitas Indonesia
10

kulit akan mengalami kedua rute, baik transcelluler maupun intracelluler.


Namun demikian, rute intercelluler dianggap sebagai rute yang mendominasi
dan paling banyak dilalui obat. Alur dari rute difusi obat dapat dilihat pada
gambar

Gambar 2.4. Rute Difusi Obat

2.3 Penyerapan Perkutan (Chaudhary, 2012)


Obat dapat berdifusi melalui stratum korneum via transepidermal atau rute
lain (transappendageal) (gambar 2.4). Penetrasi obat transepidermal melalui
stratum korneum dapat melalui antara sel (interseluler) atau melalui rute
transeluler. Kontribusi relatif masing-masing rute ini tergantung pada kelarutan,
koefisien partisi dan dan difusivitas obat dalam fase protein atau lemak. Rute
transappendageal normalnya berkontribusi sangat terbatas dari keseluruhan profil
kinetik penghantaran obat transdermal. Akan tetapi folikel rambut dan kelenjar
keringat dapat bertindak sebagai pintasan difusi untuk molekul ionik pada
transport iontophoretik.
Stratum korneum juga diketahui memiliki permeabilitas selektif dan
memungkinkan hanya senyawa yang relative lipofilik yang berdifusi ke lapisan
lebih dalam. Pengangkutan zat melewati lapisan ini terutama melalui difusi pasif

Universitas Indonesia
11

sesuai hukum Ficks dan tidak terdapat proses transport aktif yang teridentifikasi.
Penyerapan perkutan didefinisikan sebagai penetrasi bahan ke dalam berbagai
lapisan kulit dan permeasi melintasi kulit ke dalam sirkulasi sistemik. Langkah –
langkah penyerapan perkutan meliputi :
1. Penetrasi : masuknya zat ke dalam lapisan tertentu
2. Permeasi : Penetrasi dari satu lapisan ke yang lain, yang berbeda, baik secara
fungsional dan struktural dari lapisan pertama.
3. Absorpsi : pengambilan zat ke dalam sirkulasi sistemik.

Gambar 2.5. Variasi Jalur transport

2.4 Penghantaran Obat Transdermal


Sistem penghantaran obat transdermal (TDDS) adalah sistem sediaan yang
digunakan pada permukaan tubuh untuk menghantarkan bahan aktif obat di
seluruh kulit ke dalam sirkulasi sistemik.Penghantran transdermal meningkatkan
kepatuhan pasien dan menghindari efek metabolisme lintas pertama. Penghantaran
ini tidak hanya terkontrol, pemberian obat yang konstan, tetapi juga
memungkinkan pemasukan obat secara terus menerus dengan waktu paruh
biologis yang pendek dan menghilangkan masuknya obat ke dalam sirkulasi
sistemik, yang sering menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan (Hillery,
Andrew, dan James, 2001).

Universitas Indonesia
12

Obat-obat yang ingin dibuat ke dalam rute transdermal setidaknya memiliki sifat-
sifat : (Xiaoling Li, Bhascara, 2006)
a. Memiliki BM ≤ 600
b. Obat-obat tersebut harus memiliki afinitas baik terhadap fase lipofilik
maupun hidrofilik.
c. Memiliki titik lebur yang rendah
d. Memiliki koefisien partisi yang optimal.

Kelebihan dan Kekurangan Sistem Penghantaran Transdermal: (Hillery, Andrew,


dan James, 2001)
1. Menghindari metabolisme prasistemik (first-pass effect) dan dibutuhkan untuk
dosis harian yang lebih kecil.

2. Menghindari kesulitan absorpsi obat melalui saluran cerna.

3. Menggantikan pemakaian obat melalui mulut karena muntah dan/atau diare.


4. Menghindari terapi secara parenteral.
5. Memperpanjang aktivitas obat yang mempunyai waktu paruh yang pendek dan
sifat mengatur pelepasan yang terkendali.
6. Meningkatkan penerimaan, kenyamanan dan kepatuhan pasien.
7. Penghentian efek obat dapat dilakukan secara cepat.

Kekurangan Sistem Transdermal: (Hillery, Andrew, dan James, 2001)


1. Dapat menimbulkan iritasi atau peka pada kulit.
2. Hanya obat-obat yang relatif mempunyai potensi yang sesuai dapat melalui
kulit oleh karena sifat permeabilitas kulit, sehingga obat yang dapat masuk
menembus pada kulit terbatas.
3. Kesukaran teknis sehubungan dengan pelekatan dari sistem pada kulit dengan
tipe yang berbeda-beda, dan kondisi lingkungan yang bermacam-macam.
4. Metode ini terbatas hanya untuk molekul zat aktif yang poten.
2.5 Sistem Sediaan Transdermal (Alexander et al., 2012; Saroha, Yadav, &
Sharma, 2011)
1. Adhesive Dispersion Type System

Universitas Indonesia
13

Sistem ini dibuat dengan cara menyiapkan drug reservoir yang dibuat dengan
cara mendispersikan obat secara langsung ke dalam polimer adhesive,
kemudian disebarkan diatas flat sheet dari backing membrane menggunakan
metode solvent casting atau hot melting hingga terbentuk lapisan tipis drug
reservoir. Bahan adhesive harus cocok dengan kulit sepanjang periode
pemberian dan harus compatible dengan obat. Kekurangan dari sistem ini
ialah adanya kemungkinan interaksi antara lapisan adhesif dengan obat atau
eksipien lainnya yang menyebabkan berkurangnya kemampuan lapisan
adhesif menempel pada kulit. Contoh obat yang menggunakan patch dengan
sistem adhesive antara lain litium (pelepasan terkontrol) untuk terapi psikis.

Gambar 2.6 Sediaan Transdermal Tipe Adhesive

2. Membran Permeation-Controlled System


Dalam sistem ini, drug reservoir terletak diantara backing laminate dengan
polimer rate control. Molekul obat dapat melewati lapisan rate control
melalui proses difusi melewati pori-pori. Dalam drug reservoir, zat aktif
padat didispersikan ke dalam matrix polimer padat yang disuspensikan ke
dalam medium cair hingga terbentuk masa gel seperti suspense atau masa gel
jernih. Membran rate control dapat berupa microporous atau non-porous
polimer. Pada lapisan luar dari membrane, terdapat lapisan polimer adhesive
yang compatible dengan obat. Laju pelepasan obat dari sistem ini tergantung
dari komposisi polimer, koefisien permeabilitas dan tebalnya lapisan rate
control. Keuntungan menggunakan sistem reservoir ialah memiliki
kemampuan memisahkan bagian yang berfungsi menghantrakan obat dengan
bagian yang berfungsi sebagai adhesif pada kulit. Kekurangannya ialah
memiliki potensipada reservoir untuk bocor atau pecah. Contoh :
TRANSDERM SCOPî (mengandung skopolamin) yang digunakan untuk

Universitas Indonesia
14

anti mabuk perjalanan. Patch Nikotin yang digunakan untuk membantu


menghentikan merokok.

Gambar 2.7 Sediaan Transdermal Tipe Membran Controlled

3. Matrix Difusion Controlled System


Pada sistem ini, drug reservoir disiapkan dengan cara mendispersikan
partikel obat ke dalam matrix polimer hidrofilik maupun lipofilik. Setelah itu,
polimer yang berisi obat dibentuk menjadi medicated disc. Dispersi dari partikel
obat pada matriks polimer dapat dilakukan dengan mencampur partikel obat yang
digerus halus dengan polimer cair yang kental diikuti dengan cross link dari rantai
polimer atau dengan mencampurkan partikel obat dengan polimer karet pada suhu
tinggi dengan atau dibawah tekanan. Polymer disc yang berisi drug reservoir
diletakkan diatas base plate pada kompartemen dari backing membrane. Polimer
adhesive kemudian disebarkan hingga membentuk strip sepanjang disc layer.
Contoh : Climara® (estradiol),
Daytrana (mengandung methylphenidate) digunakan sebagai stimulan
sistem saraf pusat, fentanil sebagai obat analgesik pada terapi kanker,
vitamin B12 untuk mencukupi kebutuhan vitamin B12 dalam tubuh.

Universitas Indonesia
15

Gambar 2.8 Sediaan Transdermal Tipe Matrix

4. Microreservoir Type Controlled System


Sistem ini merupakan gabungan system reservoir dengan matrix. Sistem ini
dibentuk dengan cara mensuspensikan obat ke dalam polimer cair dan
kemudian didispersikan ke dalam polimer lipofilik yaitu silicon elastomers
dengan energy yang tinggi yaitu dengan teknik pengadukan mekanik.
Pelepasan obat dari system ini adalah dengan partisi atau difusi matriks
tergantung dari besar kecilnya obat dalam polimer cair atau dalam matriks.

Gambar 2.9 Sediaan Transdermal Tipe Microreservoir

2.6 Nanocarrier System (Escobar-Chávez, 2012)


Sistem nanocarrier menunjukkan peningkatan penyerapan obat, penetrasi,
waktu paruh, bioavaibilitas, dan lain-lain. Nanocarrier sangat kecil untuk dapat
dibaca oleh system imun dan dapan mengirim obat pada organ target dengan dosis
yang lebih rendah, mengurangi efek samping.
1. Nanopartikel
Nanopartikel berukuran kurang dari 1000 nm dan sangat dimungkinkan untuk
dimasukkan banyak zat seperti obat, protein, peptide, DNA, dan lain-lain ke
dalam nanopartikel. Nanopartikel tersusun dari bahan yang tahan terhadap pH,
suhu, enzym atau masalah lainnya. Nanopartikel dibagi menjadi 2 jenis, yaitu
nanosphere dan nanokapsul. Nanosphere tersusun atas inti yang padat,
sedangkan nanokapsul tersusun atas inti yang berpori.
2. Nanoemulsi
Nanoemulsi adalah system dispersi dari dua larutan yang tidak dapat
bercampur, umumnya terdiri dari minyak yang didispersikan ke dalam air

Universitas Indonesia
16

(nanoemulsi tipe o/w) atau air yang didispersikan ke dalam minyak (system
w/o). Nanoemulsi dapat stabil untuk waktu yang lama dikarenakan ukuran
droplet yang sangat kecil dan penggunaan suraktan. Nanoemulsi dapat
mengandung obat yang bersifat hidrofilik maupun hidrofobik.
3. Liposom
Liposom adalah lapisan lipid bilayer berongga yang dapat mengandung obat
yang bersifat hidrofilik didalam ini dan obat yang bersifat hidrofobik dilapisan
bilayer. Liposom tersusun atas kolesterol dan fosfolipid. Lipososm merupakan
salah satu bentuk system penghantar obat yang baik karena tidak toksik dan
tetap berada didalam aliran darah untuk waktu yang lama. Liposom terdidi
dari small unilamellar vesicle (25-100 nm), medium-sized unilamelar vesicle
(100-500 nm), large unilamellar vesicles, giant unilamellar vesicles,
oligolamellar vesicles, large multilamellar vesicles dan multivesicular vesicles
(500 nm hingga ukuran micron).
Contoh : Penelitian mengenai peningkatan penetrasi benzcain menggunakan
liposom (Mura et al., 2007).

Universitas Indonesia
17

Gambar 2.10 profil permeasi benzocain menggunakan liposom (a) dan


menggunakan carbopol gel (b)
Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa benzocain dalam bentuk liposom
mampu berpermeasi lebih banyak jika dibandingkan dalam bentuk sediaan
gel.
4. Dendrimer
Dendrimer merupakan system monodisper yang seragam secara structural dan
kimiawi. Dendrimer mampu terkonjugasi dengan banyak struktur fungsional
karena banyaknya cabang yang dimiliki. Jumlah cabang meningkat secara
eksponensial dengan penambahan sekitar 1 nm tiap generasi. Struktur
dendrimer mempunyai tingkat keseragaman molekular, dengan bentuk dan
karkteristik tertentu dan unik. Molekul obat dapat dimuatkan baik di dalam
dendrimer ataupun diadsorbsi atau diikat pada permukaannya.
Contoh Penelitian (Chauhan et al., 2003):
Peningkatan bioavaibilitas dari sediaan transdermal Indmethacin
menggunakan dendrimer.
Pada penelitian kali ini, dendrimer yang digunakan adalah PAMAM yaitu
Dendrimer-Generation 4 berisi gugus amino dipermukaan (G4-NH2),
Dendrimer-Generation 4.5 berisi gugus karboksilat dipermukaan (G-4.5) dan
Dendrimer-Generation 4 berisi gugus hidroksil dipermukaan (G4-OH).

Universitas Indonesia
18

Gambar 2.11 Kelarutan Indmethacin dengan adanya Dendrimer

Dari gambar diatas jelas terlihat bahwa Indmethacin yang dikomplekskan


dengan dendrimer G4-NH2, memiliki kelarutan yang tinggi dalam air.
Semakin banyak dendrimer yang digunakan, jumlah indomethacin yang
larut pun akan semakin meningkat.

Gambar 2.12 Konsentrasi Indometachin dalam Plasma


Dari gambar diatas dapat terlihat jelas bahwa indomethacin yang
dikomplekskan dalam dendrimer G4-NH2 memiliki konsentrasi yang
tinggi di dalam plasma dibandingkan dengan Indomethacin yang tidak
dikomplekskan dengan dendrimer

Universitas Indonesia
19

2.7 Komponen Patch Transdermal (Bhowmick, Sengodan, & Thangavel,


2013)
a. Backing laminate
Ketika akan mendesain backing layer, pertimbangan dari ketahanan
secara kimia dari material sangatlah penting. Kompatibilitas dari
eksipien juga harus dipertimbangkan karena akan kontak dalam waktu
yang lama antara backing layer dengan eksipien. Backing laminate yang
ideal adalah yang fleksibel, memberikan ikatan yang baik dengan drug
reservoir, mencegah keluarnya obat dari bentuk sediaan, dll.
b. Drug Containing Reservoir
1) Polymer matrix
Polimer memegang peranan penting dalam penghantaran sediaan
transdermal. Polimer digunakan sebagai matriks dimana obat akan
diletakkan dan dilepaskan secara terkontrol. Contoh Natural
polymers: shellac, gelatin, gums, starch, dll. Contoh Synthetic
polymers: polyvinyl alcohol, polyamide, polyethylene, polypropylene,
Polyurea, polymethyl-methacrylate, dll
2) Drug
Beberapa karakter obat yang dapat digunakan untuk sediaan
transdermal :
a) Molekul obat harus memiliki kelarutan yang memadai di dalam
minyak dan air
b) Obat harus memiliki berat molekul dibawah 1000 dalton
c) Obat harus memiliki titik leleh yang rendah
d) Obat harus memiliki keseimbangan koefisien partisi untuk dapat
menembus strata korneum
3) Permeation enhancers
Permeation Enhancer adalah zat yang dapat mengurangi
impermeabilitas dari kulit sehingga meningkatkan permeasi obat ke
dalam kulit.
a) Solvents, contoh : air-alkohol, alkyl methyl sulfoxide-dimethyl
sulfoxide, dimethyl acetamide, dll

Universitas Indonesia
20

b) Surfaktan anionic : dapat membantu peningkatan penetrasi obat ke


dalam kulit. Co : Na lauryl sulfat, Dioctyl sulphosuccinate, dll.
c) Surfaktan ionic : lebih menimbulkan iritasi daripada surfaktan
ionic. Co : Pluronic F127, Fluronic F68, dll.
4) Plasticizer
Berfungsi untuk mencegah lapisan film menjadi rapuh. Contoh :
dibuthylpthalate, triethylcitrate, polyethylene glycol, dll.
c.Membrane/release control layer
Membran merupakan bagian terpenting dari sediaan transdermal.
Membran mengontrol pelepaan obat dari reservoir dan multi-layer
patches. Posisinya berada antara drug reservoir dan membran adhesive.
d. Adhesive Layer
Adhesive layer berfungsi untuk menjaga kontak antara patch transdermal
dengan kulit. Contoh : silicone, polysobutylene, dll.

2.8 Peningkatan Penetrasi Melalui Optimasi Obat dan Komponen


Pembawa
Teknik optimasi atau peningkatan permeasi kulit berdasarkan dua cara, yaitu
berdasarkan obat atau permbawa dan modifkasi stratum korneum.
Berdasarkan obat atau pembawa :

2.8.1 Dengan memodifikasi zat aktif atau menggunakan pembawa


1. Prodrug dan pasangan ion
Pendekatan terhadap prodrug telah diteliti dapat meningkatkan penghantaran
obat secara dermal dan transdermal yang koefisien partisinya tidak baik. Bentuk
teknik prodrug meliputi penambahan gugus untuk meningkatkan koefisien partisi
dan kelarutan serta transport prodrug di dalam stratum korneum. Obat-obat yang
bermuatan sulit untuk berpenetrasi ke dalam kulit. Bentuk lipofilik dari pasangan
ion telah diteliti dapat meningkatkan penetrasi partikel yang bermuatan ke dalam
stratum korneum. Strategi ini meliputi penambahan partikel dengan muatan
berlawanan pada obat bermutan, yang membentuk pasangan ion netral yang dapat
menembus stratum korneum (Barry, 2001).

Universitas Indonesia
21

2. Penambahan Potensi Kimia


Terdapat sebuah persamaan yang menggunakan aktivitas termodinamik
(Higuchi, 1960).
dm/dt = αD/γh
Dimana α merupakan aktivitas termodinamik obat di dalam vehicle-nya dan
γ adalah koefisien aktivitas efektif. Untuk laju penetrasi maksimal obat harus
berada pada aktivitas termodinamik yang tinggi. Pada waktu molekul terlarut
dalam keadaan jenuh maka aktivitas termodinamik yang terjadi cukup tinggi
namun seringkali hal itu tidaklah cukup. Oleh karena itu terdapat beberapa
penelitian yang menggunakan evaporasi larutan atau pencampuran kosolven.
Polimer dapat digunakan untuk menghalangi kristalisasi dalam preparasi super
saturasi. Periode metastabilitas biasanya pendek tapi dapat diperpanjang dalam
patch transdermal karena cara preparasinya seperti disolusi obat dalam pelarut
panas, penguapan untuk super saturasi dan inhibisi pembentukan kristal oleh
polimer matriks viskositas tinggi atau adhesif. Sebagai contoh terdapat sebuah
penelitian yang dilakukan oleh Megrab, et al pada 1995 menggunakan konsep
super saturasi dari estradiol patch menghasilkan penetrasi di stratum korneum
jauh berkali-kali lipat daripada kondisi jenuhnya (Barry, 2001).
3. Sistem eutectic
Titik leleh suatu obat mempengaruhi kelarutan dan peningkatan penetrasi
kulit. Menurut teori larutan, makin rendah titik leleh makin tinggi kelarutan
termasuk pada lipid kulit. Titik leleh zat aktif dapat diturunkan dengan
membentuk campuran eutectic. Campuran dua komponen dengan masing-masing
komponen dalam campuran lebih rendah dari pada dalam keadaan tunggal (Barry,
2001).

4. Pembentukan kompleks obat


Pembentukan kompleks obat dengan cyclodextrin telah digunakan untuk
meningkatkan kelarutan dan stabillitas obat karena siklodekstrin memiliki bagian
dalam yang bersifat lipofil sehingga dapat menjerap obat yang bersifat lipofil dan

Universitas Indonesia
22

bagian luar yang bersifat hidrofil sehingga dapat membuat obat yang bersifat
lipofil tadi menjadi terdisolusi dengan baik pada sistem transdermal (Barry, 2001).
5. Sistem liposom dan vesikel
Liposom merupakan partikel koloidal yang terbentuk sebagai lapisan
biomolekular yang konsentris sehingga dapat melapisi obat. Liposom berpenetrasi
ke dalam lapisan stratum korneum berinteraksi dengan lipid pada kulit kemudian
melepaskan obatnya atau komponennya yang masuk ke dalam lapisan stratum
korneum (Barry, 2001).
6. Solid lipid Nanoparticles (SLN)
SLN digunakan sebagai pembawa untuk penghantaran vitamin A, vitamin E,
sunscreen, triptolide dan glukokortikoid pada kulit melalui peningkatan penetrasi
ke kulit karena meningkatnya hidrasi di kulit yang disebabkan oleh bentuk oklusiv
film dipermukaan kulit oleh SLN (Barry, 2001).

2.8.2 Peningkatan penetrasi dengan modifikasi stratum korneum :


1. Hidrasi
Air paling banyak digunakan dan cara yang aman untuk meningkatkan
penetrasi kulit baik yang hidrofilik maupun lipofilik. Kandungan air di stratum
korneum sekitar 15 – 20% dari berat kering tapi dapat beragam tergantung
kelembaban lingkungan luar. Penambahan air ke dalam stratum korneum dapat
merubah kelarutan dengan cara memodifikasi partisi obat dari pembawa ke dalam
membran. Peningkatan hidrasi kulit dapat mengembangkan dan membuka struktur
dari stratum korneum yang menyebabkan peningkatan penetrasi dengan
menggunakan pembawa yang dapat menjaga kelembaban kulit (Hillery, Andrew,
dan James, 2001).
2. Perusakan lipid oleh enhancer kimia
Azone, DMSO, alkohol, asam lemak dan terpen dapat meningkatkan
permeabilitas dengan merusak atau melarutkan struktur lipid dari stratum
korneum. Asam oleat dan terpen, khususnya pada konsentrasi tinggi, masuk ke
dalam struktur lipid dan membentuk pori. DMSO dan alkohol menarik lipid
sehingga terbentuk saluran aqueous di dalam stratum korneum yang menyebabkan
peningkatan permeabilitas. Beberapa kasus enhancer berpenetrasi ke dalam dan

Universitas Indonesia
23

bercampur secara homogen dengan lipid (Hillery, Andrew, dan James, 2001).
Contoh enhancer yang umum digunakan (Hillery, Andrew, dan James, 2001):
a. Solvents
alcohols – methanol and ethanol; alkyl methyl sulfoxides – dimethyl
sulfoxide, alkyl homologs of methyl sulfoxide dimethyl acetamide and
dimethyl formamide ; pyrrolidones – 2 pyrrolidone, N-methyl, 2-purrolidone;
laurocapram (Azone), miscellaneous solvents – propylene glycol, glycerol,
silicone fluids, isopropyl palmitate.
b. Surfaktan
Surfaktan anionik: Dioctyl sulphosuccinate, Sodium lauryl sulphate,
Decodecylmethyl sulphoxide dll. Surfaktan nonionik: Pluronic F127, Pluronic
F68, dll
c. Zat kimia lain
Urea, N, N-dimethyl-m-toluamide; calcium thioglycolate

Universitas Indonesia
24

Gambar 2.10 Struktur beberapa peningkat penetrasi terpilih (Hillery, Andrew,


dan James, 2001)

Bayangkan suatu kandidat obat untuk penghantaran secara transdermal.


Konsentrasi steady state efektifnya adalah Css (mg cm-3) dan klirens sistemiknya
adalah Cl (cm3 jam-1). Maka laju input transdermal yang dibutuhkan (R, dalam mg
jam-1) adalah (Hillery, Andrew, dan James, 2001)

Dengan mengasumsikan input yang berlaku untuk obat ini adalah ordo 0, maka:

A (cm2) adalah luas dari sistem penghantaran dan ko (μg cm-1 jam-1) adalah laju
penghantaran steady state ke dalam tubuh. Idealnya, A relatif kecil (sekitar 50 cm 2
atau kurang) dan ko ditentukan melalui peralatan dan kurang dari fluks maksimum
obat (Jmax) yang mungkin memasuki stratum korneum yang memiliki kontak.
Namun terkadang hal tersebut (ko < Jmax) tidak terpenuhi dan Css tidak didapat
tanpa menutupi suatu luas permukaan kulit yang besar. Hal tersebut digambarkan
pada tabel 8.3, dimana suatu “screening kelayakan” telah dilakukan untuk
beberapa obat (Hillery, Andrew, dan James, 2001).

Tabel 2.1. Hasil screening “kelayakan transdermal” untuk beberapa contoh


obat (Hillery, Andrew, dan James, 2001)
Obat Cl (L jam-1) Css (μg mL-1) Amin (cm2)
Asetaminofen 23 15 13.850
Simetidin 49 1,0 1.940
Klonidin 12 0,001 0,48
Digoksin 6,8 0,002 0,54
Estradiol 67 0,0001 0,27
Indometasin 9 0,5 181
Isosorbid dinitrat 175 0,001 7,0
Nitrogliserin 4.210 0,0001 17
Propanolol 49 0,02 39

Universitas Indonesia
25

Skopolamin 43 0,0002 0,35

Nilai klirens dan konsentrasi steady state dalam plasma obat-obat tersebut
diambil dari literatur, dan dengan mengasumsikan untuk setiap senyawa, laju
penghantaran steady state ke dalam tubuh mencapai 25 μg cm-2 jam-1. Untuk
beberapa senyawa, fluks yang sangat tinggi (yang umum untuk obat dengan
kemampuan berpermeasi dengan cepat seperti nitrogliserin dan nikotin) adalah
tidak mungkin. Hasil estimasi yang dapat dilihat berupa area patch minimum
(Amin) yang dibutuhkan untuk mencapai target konsentrasi darah (dideterminasi
menggunakan persamaan 8,5 dan 8,6), walaupun dengan nilai k o yang ditentukan
sendiri, hanya beberapa obat yang dapat menjadi kandidat yang masuk akal
(contohnya patch asetaminofen akan membutuhkan menutupi hamper seluruh
ppermukaan tubuh orang dewasa untuk dapat menghilangkan sakit kepala ringan).
Oleh sebab itu, beberapa usaha telah diarahkan untuk meningkatkan J max, seperti
mengurangi fungsi barier / perintang dari stratum korneum sehingga didapatkan:
(a) dosis efektif yang dapat dihantarkan dari patch dengan ukuran yang masuk
akal, dan (b) sistem penghantaran menjaga kontrol laju input (Hillery, Andrew,
dan James, 2001).
Permasalahan yang masih perlu diselesaikan adalah pertanyaan tentang
mekanisme aksi dari peningkat penetrasi yang digunakan sekarang ini, serta
reversibilitas efeknya in vivo. Pertanyaan intinya adalah: “apakah mungkin untuk
merusak stratum korneum tanpa mengiritasi kulit?” perlu diperhatikan lagi, di
samping toksisitas senyawa tersebut pada kulit. Sinergisme dari berbagai
peningkat penetrasi (seperti surfaktan) dan kosolven (seperti propilen glikol,
etanol) telah teramati dan ditentukan, namun belum sepenuhnya dimengerti dan
dioptimalkan dalam hal konsentrasi paling efektif untuk digunakan (Hillery,
Andrew, dan James, 2001).
Regulasi penerimaan harus dipertimbangkan. Persetujuan di Amerika
Serikat untuk suatu peningkat penetrasi bernama Azone sangat sulit, karena
sebagai suatu senyawa kimia yang dikembangkan untuk peningkat permeasi kulit,
senyawa tersebut menjadi subjek tes yang hampir sama detail dengan tes wajib
agen terapetik. Sehingga, untuk saat ini merupakan jalan yang tidak murah untuk

Universitas Indonesia
26

mencari senyawa yang sebenarnya dibutuhkan dalam konsentrasi rendah ini


sehingga berkembang strategi mengidentifikasi bahan yang sudah diketahui dan
digunakan (kombinasinya) yang juga memiliki kemampuan peningkat penetrasi.
Senyawa yang umumnya dianggap aman tersebut akan menyediakan jalur regulasi
yang lebih mudah dibandingkan mencari senyawa baru (Hillery, Andrew, dan
James, 2001).
3. Modifikasi Protein
DMSO, desilmetilsulfoksida, urea dan surfaktan berinteraksi dengan keratin
di dalam korneosit kemudian memecah struktur protein sehingga membuatnya
jadi lebih permeabel dan memperbesar D. Bagaimanapun jalur intraseluler bukan
merupakan rute yang yang tidak terlalu penting bagi permeasi obat, namun
pengurangan drastis pada resistensi rute ini dapat menjadi suatu cara alternatif.
Molekul-molekul tersebut dapat memodifikasi peptida/protein dalam lapisan
bilayer biasanya diabaikan dalam literatur (Hillery, Andrew, dan James, 2001).
4. Meningkatkan Partisi dan Kelarutan pada Stratum Korneum
Pelarut seperti etanol dan propilen glikol menambah partisi dan kelarutan
pada stratum korneum. Etanol merupakan peningkat penetrasi pada sistem
transdermal (Hillery, Andrew, dan James, 2001).
5. Mekanisme kombinasi
Hukum Fick memperlihatkan bahwa kombinasi efek peningkatan pada
difusivitas (D) dan partitioning (K) akan menghasilkan efek multiplicative. Efek
sinergis telah diperlihatkan untuk beberapa kombinasi seperti, Azone dengan
Transcutol, Asam oleat dengan Propilen glikol, Terpen dan Propilen glikol, N-
metilpirolidon dengan propilen glikol, Analog urea dengan propilen glikol. Pada
kasus ini, hasil yang sinergis dihasilkan dari mekanisme yang berbeda (Hillery,
Andrew, dan James, 2001).
6. Metode Fisika dan Elektrik Lainnya
Metode elektrik untuk meningkatkan penetrasi telah dievaluasi. Meteda ini
terdiri dari iontoforesis (perjalanan molekul ke dalam kulit dengan arus langsung
kira-kira 0.5 mA/cm2), phonophoresis (pelubangan yang disebabkan oleh energi
ultarsound frekuensi rendah yang meningkatkan kerenggangan lipid),
elektroforasi (penggunaan muatan elektrik 100-1000 V/cm untuk membentuk

Universitas Indonesia
27

pori-pori aqueous pada lipid bilayer), dan gelombang fotomekanik (gelombang


laser yang membentuk jalur permeabel pada stratum korneum) (Hillery, Andrew,
dan James, 2001).

Iontoforesis (Iontophoresis)
Iontoforesis didefinisikan sebagai pemfasilitasian penghantaran obat
(terionisasi) melintasi kulit dengan mengaplikasikan potensial elektrik. Gaya
pendorong dapat divisualisasikan secara sederhana menggunakan repulsi
elektrostatik. Praktisnya, perbedaan potensial lintas membran memberikan gaya
tambahan untuk laju pasif solut yang diinduksi oleh gradient konsentrasi (Hillery,
Andrew, dan James, 2001).

Gambar 2.13 Skema diagram peralatan hantaran obat iontoforesis

Titik isoelektrik kulit manusia adalah sekitar pH 4 dengan perkiraan bahwa


kulit, dalam kondisi fisiologis normal bermuatan negatif sehingga, kulit bersifat
selektif permeabel untuk ion positif. Kemudian terjadi proses pemindahan ke
solven dalam arah laju kation. Iontoforesis menginduksi laju konvektif (disebut
elektroosmosis) dimana fluks dari gugus bermuatan dan tak bermuatan dapat
secara signifikan meningkat dibandingan dengan yang pasif. Elektroosmosis
adalah laju bulk cairan yang terjadi mengikuti arah laju counter ions ketika

Universitas Indonesia
28

perbedaan voltase diaplikasikan melintasi membrane kulit yang berpori dan


bermuatan (Hillery, Andrew, dan James, 2001).
Mekanisme iontoforesis berdasarkan prinsip “muatan sejenis akan tolak-
menolak dan muatan berbeda akan tarik-menarik) sehingga senyawa yang
bermuatan positif akan dihantarkan lebih efisien(bermuatan positif) dibanding
senyawa bermuatan negatif dan dibanding senyawa netral pada anoda. Molekul
obat akan dipaksa melintasi kulit dengan repulsi elektronik sederhana yang
dihasilkan muatan yang sejenis (Hillery, Andrew, dan James, 2001).
Diperkirakan ada hubungan berbanding terbalik dari permeabilitas
iontoforesis dan bobot molekul. Belum ditentukan apakah ada batasan untuk hal
ini, walaupun penghantaran molekul besar (contohnya sitokrom dengan bobot
molekul ~12 kDa) telah berhasil dilakukan. Namun praktisnya, kemungkinan
adanya sistem penghantaran obat dengan bobot molekul yang besar bergantung
pada besar potensi farmakologisnya (molekul besar hanya menjadi kandidat
realistik hanya jika bersifat sangat poten dan membutuhkan dosis yang sangat
kecil). Selain itu perlu diperhatikan bahwa transport peptida, sekuens asam amino,
dan konformasinya adalah variabel yang penting dan dapat berpengaruh drastis
pada penghantaran iontoforesis (Hillery, Andrew, dan James, 2001).
Dari sudut pandang praktis, iontoforesis (dalam keadaan ideal), memberikan
keuntungan utama menjadi prosedur yang beraksi pada obat dan bukan pada kulit
(seperti yang dilakukan oleh peningkat penetrasi kimiawi). Umumnya, suatu arus
konstan atau beritme langsung diaplikasikan antara dua elektroda yang diletakkan
pada permukaan kulit. Arus akan menentukan laju muatan dalam sirkuit, serta
jumlah ion yang melintasi kulit – apabila arus digandakan, jumlah ion yang
ditransfer melintasi kulit juga meningkat dengan faktor pengali 2; apabila arus
dimatikan, laju ion melintasi membrane kembali seperti pada saat pasif. Walaupun
obat hanya dapat membawa fraksi total muatan yang berpindah (atau bahkan yang
ditransporkan oleh elektroosmosis), fluksnya bergantung langsung pada densitas
arus yang diaplikasikan sehingga mudah diatur (Hillery, Andrew, dan James,
2001).
Pada iontoforesis, elektroda reversibel (contohnya Ag/AgCl), yang tidak
membutuhkan hidrolisis air pada potensial yang digunakan, lebih disukai. Jalur

Universitas Indonesia
29

0,5 mA melintasi kulit manusia (yang secara umum dipercayai sebagai densitas
arus maksimum yang diterima) membutuhkan voltase ~ 1 – 10V. Level densitas
arus yang dapat diterima serta total arus bergantung pada area perawatan dan
durasi jalur arus. Komposisi ionik sistem penghantaran perlu diperhatikan
sehingga diminimisasi kemungkinan kompetisi dengan obat untuk membawa
muatan melintasi kulit (memaksimalkan fraksi muatan yang dibawa obat melintasi
kulit). Namun, perlu ada elektrolit yang cukup untuk menjaga jalur arus dan
memenuhi kebutuhan elektrokimia elektroda. Dan seperti yang telah disebutkan di
atas, untuk senyawa yang besar, dimana elektroosmosis dapat menjadi mekanisme
transport utama, dibutuhkan strategi formulasi berbeda (Hillery, Andrew, dan
James, 2001).
Dewasa ini, di Amerika Serikat, penggunaan peralatan iontoforesis dengan
suatu larutan (injeksi) dari lidokain hidroklorida telah disetujui oleh FDA untuk
induksi anestetik lokal. Contoh lainnya, adalah produk yang terintegrasi dan
dikembangkan untuk pergerakan melalui suatu pipeline digunakan untuk fentanyl
untuk analgesia, serta peralatan lain yang lebih rumit mengandung lidokain.
Sejumlah senyawa lainnya telah berhasil dihantarkan pada uji in vivo yang
terbatas, termasuk peptidomimetik, leutinizing hormone releasing hormone
(LHRH), somastostatin, dan kalsitonin. Di lain pihak, penghantaran insulin masih
belum mencapai apa yang diharapkan (Hillery, Andrew, dan James, 2001).
\Sistem iontoforesis (the Glucowatch Biographer) untuk ekstraksi noninvasif
dan analisis kadar gula sistemik telah disetujui oleh FDA pada awal 2001. Alat ini
menggunakan keuntungan iontoforesis (contohnya laju arus yang menginduksi
pergerakan ion pada kedua elektroda baik masuk dari ataupun keluar ke kulit serta
fenomena elektroosmosis, untuk mensampel gula darah berulang-ulang, tidak
invasif, dan otomatis (Hillery, Andrew, dan James, 2001).
Jalur transportasi iontoforesis melalui kulit ada beberapa metode yaitu
(Hillery, Andrew, dan James, 2001):
(a) transelular, yang melibatkan pemisahan berurutan terlarut dan ion antara sel-
sel lemak interselular ketika bergerak vertikal ke bawah melalui kulit
(b) inter-atau paracellular, yang melibatkan pergerakan ion terlarut melalui jalur-
jalur antara sel-sel lemak di kulit, dan

Universitas Indonesia
30

(c) transappendageal, yang melibatkan pergerakan ion melalui pelengkap kulit,


seperti folikel rambut dan saluran keringat.

Gambar 2.14 Rute transport ion obat melewati kulit selama iontophoresis

Faktor-faktor yang mempengaruhi penghantaran transdermal iontoforesis :


1) Pengaruh ukuran molekul
a) Ukuran molekular solut à faktor utama mempengaruhi kemampuan
penghantaran elektroforesis à pengaruhi jumlah yang dapat ditranspor
b) Disimpulkan untuk iontoforesis repulsi ion, ketika kondisi yang lain
konstan à transpor senyawa mengurang seiring peningkatan bobot
molekul
c) Untuk molekul besar à kandidat realistik bila besar potensi
farmakologiknya à kecil dosisnya
d) Hambatan besar molekul à berkembangnya studi penggunaan peningkat
permeasi bersama iontoforesis
e) Permeasi tiokolsikoksid, relaksan otot untuk ortopedik àtinggi BM dan
rendah koefisien partisi oktanol / air à dikembangkan suatu sistem
elektroforesis dibantu peningkat permeasi asam laurat à fluks meningkat
(Hillery, Andrew, dan James, 2001)
2) Pengaruh ion
a) Ion obat harus membawa muatan maksimum untuk lintasi membran à ion
lain akan berkompetisi dengan ion obat
b) Agen buffer yang digunakan à koion yang umumnya lebih kecil dan lebih
mobile daripada ion obat à hambat fluks transdermal obat, sehingga perlu
diperhatikan agen buffer yang optimal (Hillery, Andrew, dan James, 2001)

Universitas Indonesia
31

3) Pengaruh arus
a) Arus dapat diatur dengan mudah
b) Bila terlalu besar dari batasan yang ditentukan à iritasi dan merusak kulit
c) Arus yang diaplikasikan à berbanding lurus dengan fluks sejumlah
senyawa seperti metilfenidat, verapamil, GRH, diklofenak, dan ketorolak
d) Umumnya 0,5 mA/cm2 dinyatakan sebagai arus ionforesis maksimum
pada manusia
e) Arus berpulse à arus yang konstan menurunkan fluks obat (Hillery,
Andrew, dan James, 2001)
4) Material elektroda
a) Studi telah dilakukan untuk elektroda platinum, Ag dan beberapa logam
stainless lainnya
b) Elektroda platinum dan elektroda inert lain seperti nikel à pH drift dan
penggelembungan udara karena dekomposisi air
c) Elektroda dengan potensial redoks lebih rendah dari air à Ag/AgCl lebih
disukai à mencegah dekomposisi air dan menjaga elektronetralitas
(Hillery, Andrew, dan James, 2001)

Contoh penggunaan iontoforesis pada sediaan yang digunakan untuk


mengurangi rasa sakit (pain management). Analgesik opioid memiliki berat
molekul sekitar 300-500 Da; Selain itu, dapat memberikan efek farmakologi
secara sistemik pada konsentrasi rendah, biasanya 1 ng/ml à kandidat untuk
penghantaran secara Iontoforesis. Contoh : morphin (Hillery, Andrew, dan James,
2001).

2.9 Strategi Transdermal Delivery System Menggunakan Molekul Obat yang


BM nya Besar

Contoh: penggunaan Microneedles pada penghantaran insulin

Universitas Indonesia
32

Diambil dari jurnal: Martanto W., Shawn P.D., Nicholas R.H., Jenny W.,
Harvinder S.G., dan Mark R.P. 2004. Transdermal Delivery of Insulin Using
Microneedles in Vivo. Pharmaceutical Research, Vol 21, No.6.

Insulin merupakan salah satu bahan obat yang memiliki molekul yang sangat
besar. Penelitian ini digunakan dengan tujuan untuk mendesain dan membuat
array yang terdiri dari microneedles padat yang kemudian disisipkan pada kulit
tikus yang telah dibotakkan untuk penghantaran obat yang dalam kasus ini adalah
insulin yang bertujuan untuk mengurangi kadar glukosa dalam darah.
Metode: array yang berisi 105 microneedle (dihasilkan dari lembaran logam
stainless steel yang dipotong dengan menggunakan laser sehingga didapat jarum
dengan ukuran mikro yang sangat baik dan presisi) diinsersi ke dalam kulit tanpa
rambut tikus yang telah dianastesi terlebih dahulu dengan anastesi kemudian
diinduksi dengan streptozocin. Selama dan setelah perlakuan insersi microneedle,
larutan insulin (100 atau 500 U/ml) diletakkan berkontak dengan kulit selama 4
jam. Microneedle dikeluarkan 10 detik, 10 menit, atau 4 jam setelah inisiasi
penghantaran insulin secara transdermal. Kadar glukosa darah diukur secara
electrochemical setiap 30 menit. Konsentrasi insulin plasma ditentukan dengan
radioimunoassay pada akhir percobaan.
Hasil: Array microneedles dibuat dan diaplikasikan secara total pada kulit
tikus yang tidak berambut secara in vivo. Microneedles meningkatkan
permeabilitas kulit pada insulin yang secara cepat dan tetap mengurangi kadar
gula darah sampai pada tingkat serupa pada 0,05-0,5 U insulin yang disuntikkan
secara subkutan. Konsentrasi plasma insulin secara langsung diukur dan berada
pada konsentrasi 0,5-7,4 ng/ml. Semakin tinggi konsentrasi insulin donor maka
waktu insersi semakin singkat dan beberapa kali insersi ulang menghasilkan
turunnya kadar gula darah dan konsentrasi plasma insulin yang semakin tinggi.

Universitas Indonesia
33

Gambar: Perubahan kadar glukosa darah setelah penghantaran insulin


menggunakan microneedle (segitiga berwarna hitam) ; injeksi subkutan
hipodermis 0,05 U (wajik polos), 0,5 U (kotak polos), dan 1,5 U (lingkaran
polos); penghantaran pasif dengan melewati kulit yang tidak diberi perlakuan (x).
Microneedles diinsersi pada kulit selama 10 menit kemudian dilepas. Larutan
insulin dimasukkan ke dalam kulit setelah insersi microneedle dan dilepas setelah
4 jam (seperti ditunjukkan pada panah). Injeksi subkutan membutuhkan beberapa
detik untuk beraksi. Efek farmakodinamik penghantaran insulin dengan
menggunakan microneedle berada pada kisaran injeksi subkutan 0,05-0,5 U. Data
menunjukkan nilai rata-rata (n≥3) dengan standar deviasi rata-rata pada masing-
masing titik data adalah 14%. Kadar glukosa darah telah dinormalisasi pada
kondisi sebelum perlakuan.

Kesimpulan microneedles logam padat mampu untuk meningkatkan penghantaran


insulin secara transdermal dan mengurangi kadar glukosa darah sampai 80% pada
tikus diabetes yang tidak berambut secara in vivo.

Universitas Indonesia
34

2.10 Studi In Vivo Sediaan Transdermal (Ubaidulla, Molugu, Kumaresan,


Farhan, dan Roop, 2007)
Ubaidulla, et al melakukan sebuah penelitian yang bertujuan untuk
mengembangkan sistem pengobatan transdermal tipe matrix dengan berbagai
perbandingan kombinasi polimer hidrofilik dan hidrofobik dengan teknik
evaporasi pelarut. Berikut formulasi yang digunakan dalam penelitian ini.

Tabel 2.2 Komposisi dan Sifat Fisikokimia Patch Transdermal Carvedilol


Kode Rasio Rasio Berat % %MU %MC Ketahanan
EC:PVP ERL:ERS (mg) Kandungan Lipatan
obat
F1 9:1 - 92.02±1.6 99.0±0.3 4.65±3.4 3.24±1.6 12±1.9
F2 8:2 - 92.22±2.0 98.3±0.4 5.84±2.2 5.18±2.4 8±2.1
F3 7.5:2.5 - 91.24±2.3 99.8±0.1 7.98±3.6 6.32±3.8 6±1.4
F4 - 5:5 93.44±2.6 98.2±0.3 3.68±3.1 2.36±2.2 9±3.6
F5 - 7:3 93.46±3.8 99.0±0.4 5.02±2.09 3.98±3.8 10±3.0
F6 - 8:2 93.68±3.5 100.0±0.6 6.74±2.0 5.22±3.7 10±3.2
Ket: EC = Etil selulosa ERL = Eudragit L MU = Moisture Uptake
PVP=polivinilpirolidon ERS = Eudragit S MC = Moisture Content

Studi in vitro permeasi kulit dilakukan dengan menggunakan Franz


Diffusion Cell dengan kapasitas kompartemen reseptor 20 ml. Kulit abdomen
tikus dipotong dan diletakkan di antara kompartemen donor dan reseptor dari
diffusion cell. Patch masing-masing formulasi diletakkan pada kulit yang dilapisi
oleh paraffin. Kompartemen reseptor diisi oleh buffer fosfat pH 7.4 yang diaduk
dengan menggunakan magnetik stirrer pada 50 rpm dan suhu dijaga selalu 32±0.5o
C. Kemudian sampel diambil pada beberapa selang waktu dan dianalisa kadar zat
aktifnya dengan menggunakan spektrofluorometer
Studi in vivo menggunakan sejumlah subjek tikus winstar albino dewasa
dengan bobot tubuh 230-250 gram yang didapat dari Perriyar College of
Pharmaceutical Science. Hewan uji dijaga pada kondisi standar lab 25±1 o C dan
RH 55±5% dengan 12 jam siklus gelap-terang. Hewan uji dipuasakan terlebih

Universitas Indonesia
35

dahulu kemudian dibagi menjadi 3 grup yaitu grup 1 diberikan carvedilol secara
oral (5 mg/kg), grup 2 diberikan patch formulasi 3 dan grup 3 diberikan patch
formulasi 6 kemudian darah diambil dengan interval waktu 1, 2, 3, 5, 8, 12, dan
24 jam kemudian dilakukan analisa. Berikut hasilnya:

Gambar 2.15 Profil uji permeasi in vitro carvedilol dari patch transdermal dengan
berbagai proporsi etil selulosa dan PVP

Gambar 2.16 Profil uji permeasi in vitro carvedilol dari patch transdermal dengan
berbagai proporsi Eudragit RL: Eudragit RS

Universitas Indonesia
36

Gambar 2.17 Koefisien permeasi kulit in vitro dari patch transdermal melewati
kulit abdomen tikus pada buffer fosfat pH 7.4

Gambar 2.18 Profil studi in vitro setelah pemberian oral dan patch transdermal
pada hewan uji

Gambar 2.19 Parameter farmakokinetik dari penggunaan carvedilol secara oral


dan transdermal

Uji permeasi in vitro memperlihatkan bahwa jika konsentrasi polimer


hidrofilik semakin bertambah maka jumlah obat yang berpermeasi akan
meningkat juga. Disolusi cepat yang dihasilkan dari polimer hidrofilik terjadi

Universitas Indonesia
37

ketika patch kontak dengan kulit yang mengalami hidrasi, menghasilkan


akumulasi sejumlah besar zat aktif pada permukaan kulit sehingga memicu
saturasi kulit dengan molekul obat di sepanjang waktu.
Tidak seperti formulasi F1, F2, F4 dan F5, Formulasi F3 dan F6 mencapai
jumlah kumulatif yang tinggi dari permeasi obat pada akhir dari 24 jam. Ketika
koefisien permeabilitas dari berbagai formulasi dibandingkan (gambar 6.3), F3
dan F6 terlihat memiliki koefisien permeabilitas yang sama sehingga F3 dan F6
digunakan sebagai formulasi uji in vivo berdasarkan sifat tersebut.
Pada gambar 2.17 dapat dilihat bahwa semua parameter farmakokinetik
patch transdermal memiliki hasil yang amat berbeda dengan carvedilol yang
diberikan secara oral. Jika dilihat dari data tersebut maka dapat disimpulkan
bahwa dengan menggunakan patch transdermal (F3 dan F6) maka obat akan
berada cukup lama di tubuh karena t ½ yang dihasilkan lebih panjang sehingga
cocok apabila zat aktif yang digunakan menghendaki efek yang lama. Kemudian
gambar 6.4 juga menunjukkan bahwa AUC yang dihasilkan dari penggunaan
patch transdermal memiliki perbedaan yang cukup signifikan bila dibandingkan
dengan penggunaan peroral yang mengindikasikan bahwa bioavaibilitas yang
dihasilkan dari penggunaan patch transdermal pun lebih baik dibanding
penggunaan oral. Peningkatan bioavaibilitas dari penggunaan patch transdermal
pun dikarenakan tidak terjadinya metabolisme lintas pertama yang dialami apabila
penggunaan obat secara peroral.

Universitas Indonesia
38

BAB 3
KESIMPULAN

Sediaan adalah salah satu bentuk sediaan topikal yang sistem pemberiannya
mendukung transpor bahan obat dari permukaan kulit melalui epidermis, dermis
dan lapisan lainnya sampai kedalam sirkulasi sistemik. Sistem dari sediaan
transdermal terdiri dari 4 yaitu tipe adhesive, tipe membrane controlled, tipe
matrix dan tipe microreservoir. Pelepasan obat dari bentuk sediaan untuk masuk
ke dalam sirkulasi sistemik melalui kulit adalah dengan proses difusi. Ada
berbagai macam cara yang dapat meningkatkan penetrasi obat, diantaranya
dengan memodifikasi obat atau dengan memodifikasi stratum korneum.

Universitas Indonesia
39

DAFTAR PUSTAKA

Alexander, A., Dwivedi, S., Ajazuddin, Giri, T. K., Saraf, S., Saraf, S., &
Tripathi, D. K. (2012). Approaches for breaking the barriers of drug
permeation through transdermal drug delivery. Journal of Controlled
Release, 164(1), 26–40. doi:10.1016/j.jconrel.2012.09.017

Barry, B. W. (2001). Novel mechanisms and devices to enable successful


transdermal drug delivery. European Journal of Pharmaceutical Sciences,
14, 101–114. doi:10.1016/S0928-0987(01)00167-1Alexander, A., Dwivedi,
S., Ajazuddin, Giri, T. K., Saraf, S., Saraf, S., & Tripathi, D. K. (2012).
Approaches for breaking the barriers of drug permeation through transdermal
drug delivery. Journal of Controlled Release, 164(1), 26–40.
doi:10.1016/j.jconrel.2012.09.017

Bhowmick, M., Sengodan, T., & Thangavel, S. (2013). Anatomy of transdermal


therapeutic systems : A detailed and updated perspective, 3(4), 277–282.

Chauhan, A. S., Sridevi, S., Chalasani, K. B., Jain, A. K., Jain, S. K., Jain, N. K.,
& Diwan, P. V. (2003). Dendrimer-mediated transdermal delivery: Enhanced
bioavailability of indomethacin. Journal of Controlled Release, 90, 335–343.
doi:10.1016/S0168-3659(03)00200-1

Chaudhary, Heena et.al. 2012. New approaches to transdermal drug delivery


system. The Global Journal of Pharmaceutical Research Vol. 1(2), pp. 129-142

Escobar-Chávez, J. (2012). Nanocarrier systems for transdermal drug delivery.


Drug Carrier Systems. doi:10.5772/50314

Mura, P., Maestrelli, F., González-Rodríguez, M. L., Michelacci, I., Ghelardini,


C., & Rabasco, A. M. (2007). Development, characterization and in vivo
evaluation of benzocaine-loaded liposomes. European Journal of
Pharmaceutics and Biopharmaceutics, 67, 86–95.
doi:10.1016/j.ejpb.2007.01.020

Saroha, K., Yadav, B., & Sharma, B. (2011). Transdermal Patch, A Discrete
Dosage Form. International Journal of Current …, 3(3), 98–108. Retrieved
from http://www.academia.edu/download/30398851/368.pdf

Chaudhary, Shipla P. et.al. 2012. Transdermal drug delivery: An


Overview.International Journal of research and Development in Pharmacy
and Life Science Vol. 3, pp 104-1053.

Escobar-Chávez, J. (2012). Nanocarrier systems for transdermal drug delivery.


Drug Carrier Systems. doi:10.5772/50314

Universitas Indonesia
40

Hillery M.A., Andrew W.L., dan James S. 2001. Drug Delivery Targeting for
Pharmacists and Pharmaceutical Scientists. London: Taylor&Francais.

Jhawat, vicas Chander, Vipin Saini, Sunil Kamboj, Nancy Maggon. 2013.
Transdermal rug delivery system. Approach and advancmenet in drug
absorpsion through skin. Review articel. International Pharm. Sci. Rev.
20(1)

Lauralee Sherwood. 2010. Human Physiology 5th Ed.USA: Brooks Cole.

Mura, P., Maestrelli, F., González-Rodríguez, M. L., Michelacci, I., Ghelardini,


C., & Rabasco, A. M. (2007). Development, characterization and in vivo
evaluation of benzocaine-loaded liposomes. European Journal of
Pharmaceutics and Biopharmaceutics, 67, 86–95.
doi:10.1016/j.ejpb.2007.01.020

Sharma, N et al. 2011. A review : Transdermal drug delivery system : a tool for
novel drug delivery system. International journal of Drug development &
research. Vol.3

Saroha, K., Yadav, B., & Sharma, B. (2011). Transdermal Patch, A Discrete
Dosage Form. International Journal of Current …, 3(3), 98–108.

Ubaidulla U., Molugu V.S.R., Kumaresan R., Farhan J.A., dan Roop K.H. 2007.
Transdermal Therapeutic System of Carvedilol: Effects of Hydrophillic and
Hydrophobic Matrix on In Vitro and In Vivo Characteristics. AAPS
PharmSci Tech, Volume 8, Artikel 2, Halaman E2-E8.

WangBinghe, Teruna Siahaan, richard soltero. 2005. Drug Delivery: Principles


And Applications.

Xiaoling Li, Bhascara R. Jasti. 2006. Design of Controlled Realease Drug


Delivery Systems. Mc Graw- Hill Chemical Engineering.

Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai