Anda di halaman 1dari 13

Pengertian Adzan dan Iqamah

Adzan secara bahasa adalah pengumuman atau pemberitahuan, sedangkan dalam istilah adzan
adalah perkataan tertentu yang berguna memberitahukan masuknya waktu shalat fardhu.
Sedangkan iqamah adalah pertanda shalat berjama’ah akan dimulai. Hukum adzan dan iqamat
adalah sunnah.

Ilustrasi Adzan
Adapun lafadz adzan adalah sebagai berikut:

٢ ُ‫اَهللُ اَ ْكـ َـبُر اهللُ اَ ْكـَرب‬


٢ ُ‫اَ ْشـ َـه ُد اَ ْن الَ اِلَهَ اِاَّل اهلل‬
ِ ‫اَ ْشــه ُد اَ َّن حُم َّم ًدا َّرســو ُل‬
٢ ‫اهلل‬ ُْ َ َ
٢ ‫الصـ ـ ـالَ ة‬
َّ ‫لى‬
َ ‫َح َّي َع‬
٢ ‫َح َّي َعلَى اْل َفـ ـ ـالَ ِح‬
٢ ‫اَهللُ ا ْكـ َـبُر اهللُ اَ ْكـ ـ َـب ُر‬
١ ُ‫اَل اِلَــهَ اِاَّل اهلل‬
Khusus untuk adzan shubuh setelah "hayya ‘alal falah", muadzdzin membaca:

٢ ‫لص ـاَل ةُ َخْيٌر ِّم َن الن َّْوِم‬


َّ َ‫ا‬
Adapun lafadz iqamah adalah sebagai berikut:

‫اَهللُ َأ ْكَب ُر اهللُ َأ ْكَب ُر‬

ُ‫هد َأ ْن اَل ِإلهَ ِإاَّل اهلل‬


ُ ‫َأ ْش‬
َّ ‫َأ ْش َه ُد‬
ُ‫َأن حُمَ َّم ًدا َّر ُس ْو ُل اهلل‬
‫َح َّي َعلَى الصَّاَل ِةـ‬

‫َح َّي َعلَى الْ َفاَل ِح‬


٢ ‫الصالَة‬
َّ ‫ت‬ِ ‫قَ ْد قَام‬
َ
‫اهللُ َأ ْكَب ُر اللَّهُ َأ ْكَب ُر‬

‫اَل ِإلهَ ِإاَّل اهلل‬


Keutamaan Adzan dan Iqamah
Adzan memiliki keutamaan yang besar sehingga andai saja orang-orang tahu keutamaan pahala
yang didapat dari mengumandangkan Adzan, pastilah orang-orang akan berebutan. Bahkan kalau
perlu mereka melakukan undian untuk sekedar bisa mendapatkan kemuliaan itu. Hal itu atas
dasar hadits nabi SAW :

‫اَألو ِل مُثَّ ملَْجَيِ ـ ـ ُـدوا ِإالَّ َأ ْن‬ َّ ‫َّاس َمـ ـ ــا ِيف اآل َذ ِان َوال‬
ِ ‫صـ ـ ـ ـ‬ ِ ‫َأن رسـ ـ ـ ـو َل‬
َّ ‫ف‬ ُ ‫ـال لَ ـ ـ ْـو َي ْعلَ ُم الن‬
َ ‫اهلل قَ ـ ـ‬ ْ ُ َ َّ ‫َع ْن َأيِب ُهَر ْي ـ ـ َـر َة‬
‫يَ ْستَ ِه ُموا َعلَْي ِه الَ ْسَت َه ُموا رواه البخاري وغريه‬
Dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw bersabda,”Seandainya orang-orang tahu
keutamaan adzan dan berdiri di barisan pertama shalat (shaff), dimana mereka tidak bisa
mendapatkannya kecuali harus mengundi, pastilah mereka mengundinya di antara
mereka..”(HR. Bukhari)
Selain itu, ada keterangan yang menyebutkan bahwa nanti di akhirat, orang yang
mengumandangkan adzan adalah orang yang mendapatkan keutamaan dan kelebihan.
ِِ ِ َ َ‫صاحِلًا َوق‬ ِ ِ
َ ‫ال ِإنَّيِن م َن الْ ُم ْسلم‬
‫ني‬ َ ‫َأح َس ُن َق ْوالً َِّم ْن َّم ْن َد َعا ِإىَل اللَّه َو َعم َل‬
ْ ‫َو َم ْن‬
Artinya: “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah,
mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang
menyerah diri?”(QS. Fushshilat : 33)
Menurut mereka, makna dari menyeru kepada Allah di dalam ayat ini adalah mengumandangkan
adzan. Berarti kedudukan mereka paling tinggi dibandingkan yang lain.
Syarat Adzan dan Iqamah
Untuk dibenarkannya adzan, maka ada beberapa syarat yang harus terpenuhi sebelumnya.
Diantara syarat-syarat adzan adalah :
a. Telah Masuk Waktu
Bila seseorang mengumandangkan adzan sebelum masuk waktu shalat, maka adzannya itu haram
hukumnya sebagaimana telah disepakati oleh para ulama. Dan bila nanti waktu shalat tiba, harus
diulang lagi adzannya. Kecuali adzan shubuh yang memang pernah dilakukan 2 kali di masa
Rasulllah SAW. Adzan yang pertama sebelum masuk waktu shubuh, yaitu pada 1/6 malam yang
terakhir. Dan adzan yang kedua adalah adzan yang menandakan masuknya waktu shubuh, yaitu
pada saat fajar shadiq sudah menjelang.
b. Harus Berbahasa Arab
Adzan yang dikumandangkan dalam bahasa selain arab tidak sah. Sebab adzan adalah praktek
ibadah yang bersifat ritual, bukan semata-mata panggilan atau menandakan masuknya waktu
shalat.
c. Tidak Bersahutan
Bila adzan dilakukan dengan cara sambung menyambung antara satu orang dengan orang lainnya
dengan cara bergantian, hukumnya tidak sah.
d. Muslim, Laki, Akil Baligh.
Adzan tidak sah bila dikumandangkan oleh non-muslim, wanita, orang tidak waras atau anak
kecil. Sebab mereka semua bukan orang yang punya beban ibadah.
e. Tertib Lafaznya
Tidak diperbolehkan untuk terbolak-balik dalam mengumandangkan lafadz adzan. Urutannya
harus benar. Namun para ulama sepakat bahwa untuk mengumandangkan adzan tidak
disyaratkan harus punya wudhu`, menghadap kiblat, atau berdiri. Hukum semua itu hanya
sunnah saja, tidak menjadi syarat sahnya adzan.
Sunnah Adzan
Disunnahkan orang yang mengumandangkan adzan juga orang yang mengumandangkan iqamat.
Namun bukan menjadi keharusan yang mutlak, lantaran di masa Rasululah SAW, Bilal
radhiyallahu ‘anhu mengumandangkan adzan dan yang mengumandangkan iqamat adalah
Abdullah bin Zaid, shahabat Nabi yang pernah bermimpi tentang adzan. Dan hal itu dilakukan
atas perintah nabi juga. Adapun sunah-sunah azan adalah sebagai berikut:
• Hendaklah muadzin suci dan hadast besar dan kecil.
• Hendaklah ia berdiri menghadap kiblat.
• Menghadapkan wajah dan lehernya ke sebelah kanan ketika mengucapkan ‘Hayya ‘alas
shalah’ dan ke sebelah kiri ketika mengucapkan, ‘Hayya ‘alal falah’
• Memasukkan dua jari ke dalam telinganya, karena ada pernyataan Abu Juhaifah: Saya melihat
Bilal adzan dan berputar serta mengarahkan mulut ke sini dan ke sini, sedangkan dua jarinya
berada ditelinganya.”
• Mengeraskan suaranya ketika adzan, sebagaimana yang dijelaskan dalam sabda Nabi saw.,
“Karena sesungguhnya tidaklah akan mendengar sejauh suara muadzin, baik jin, manusia,
adapun sesuatu yang lain, melainkan mereka akan menjadi saksi baginya pada hari kiamat.”

Pengertian Adzan dan Iqomah

Kata Adzan berasal dari bahasa Arab yang bermakna pemberitahuan, sebagaimana firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala :

َ ‫ُون َوالَ ُت ْظلَم‬


‫ُون‬ َ ‫هللا َو َرسُولِ ِه َوِإن ُت ْب ُت ْم َفلَ ُك ْم ُرءُوسُ َأ ْم َوالِ ُك ْم الَ َت ْظلِم‬ ٍ ْ‫َفِإن لَّ ْم َت ْف َعلُوا َفْأ َذ ُنوا ِب َحر‬
ِ ‫ب م َِّن‬

Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasulnya
akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu;
kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. [Al Baqarah/2 : 279].

‫ِين َو َرسُولُ ُه َفِإن ُت ْب ُت ْم َفه َُو َخ ْي ٌر َّل ُك ْم َوِإن َت َولَّ ْي ُت ْم َفاعْ َلمُوا َأ َّن ُك ْم غَ ْي ُر‬ َ َّ‫الح ِّج ْاَأل ْك َب ِر َأن‬
َ ‫هللا َب ِرى ٌء م َِّن ْال ُم ْش ِرك‬ ِ ‫َوَأ َذانٌ م َِّن‬
ِ ‫هللا َو َرسُولِ ِه ِإلَى ال َّن‬
َ ‫اس َي ْو َم‬
}3{ ‫ب َأل ٍِيم‬ ٍ ‫ِين َك َفرُوا ِب َع َذا‬ َ ‫هللا َو َب ِّش ِر الَّذ‬
ِ ‫مُعْ ِج ِزي‬

Dan (inilah) suatu pemakluman dari Allah dan RasulNya kepada manusia pada hari haji akbar, bahwa
sesungguhnya Allah dan RasulNya berlepas diri dari orang-orang musyrikin. Kemudian jika kamu (kaum
musyrikin) bertaubat, maka bertaubat itu lebih baik bagimu; dan jika kamu berpaling, maka ketahuilah
bahwa sesungguhnya kamu tidak dapat melemahkan Allah. Dan beritakan kepada orang-orang kafir
(bahwa mereka akan mendapat ) siksa yang pedih. [At Taubah/9 : 3].

Adapun menurut syariat, adzan adalah beribadah kepada Allah dengan pemberitahuan masuknya waktu
shalat dengan dzikir tertentu. Inilah yang dirajihkan Ibnu ‘Utsaimin, sebagaimana pernyataan beliau: “Ini
lebih tepat dari hanya (sekedar) pengertian bahwa adzan adalah pemberitahuan masuknya waktu
shalat, sebab adzan itu ikut shalat. Oleh karena itu, jika diysariatkan ibrad dalam shalat Dhuhur
(memperlambat shalat Dhuhur sampai agak dingin), maka disyariatkan mengakhirkan adzan”.[1]

Adapun iqamah, menurut kaidah bahasa Arab berasal dari kata aqama yang maknanya, menjadikannya
lurus atau menegakkan. Sedangkan menurut istilah syariat, iqamah ialah, ibadah kepada Allah untuk
menegakkan shalat dengan dzikir tertentu.[2]

Perbedaan Adzan dan Iqamah

Dari pengertian adzan dan iqamah di atas, maka dapat diketahui perbedaan antara adzan dan iqamah
ialah:

Adzan untuk memberitahukan masuknya waktu shalat agar bersiap-siap menunaikannya, dan iqamah
untuk masuk dan memulai shalat.

Lafadz (dzikir) yang dikumandangkan, dan masing-masing (antara adzan dan iqamah) juga berbeda,
sebagaimana akan dijelaskan pada pembahasan berikut ini.

Sifat dan Lafadz Adzan dan Iqamah

Lafadz adzan yang ada dan digunakan pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan terkenal dalam
madzhab para Ulama terdapat adalah tiga macam :

1. Lafadz adzan dengan 15 kalimat, yaitu : 4 takbir, 2 syahadat Lailaha illa Allah, 2 syahadat Rasulullah, 2
hayya ‘ala as shalat, 2 hayya ‘alal falah, 2 takbir dan 1 kalimat tauhid.

. ِ ‫ َأ ْش َه ُد َأنَّ م َُح َّم ًدا َرسُو ُل هَّللا ِ َأ ْش َه ُد َأنَّ م َُحم ًَّدا َرسُو ُل هَّللا‬. ُ ‫ َأ ْش َه ُد َأنْ اَل ِإلَ َه ِإاَّل هَّللا ُ َأ ْش َه ُد َأنْ اَل ِإلَ َه ِإاَّل هَّللا‬. ‫هَّللا ُ َأ ْك َب ُر هَّللا ُ َأ ْك َب ُر هَّللا ُ َأ ْك َب ُر هَّللا ُ َأ ْك َب ُر‬
ُ ‫ اَل ِإلَ َه ِإاَّل‬. ‫هَّللا ُ َأ ْك َب ُر هَّللا ُ َأ ْك َب ُر‬. ‫ َحيَّ َعلَى ْال َفاَل ِح َحيَّ َعلَى ْال َفاَل ِح‬. ‫صاَل ِة‬
‫هَّللا‬ َّ ‫صاَل ِة َحيَّ َعلَى ال‬ َّ ‫َحيَّ َعلَى ال‬

Inilah yang dipakai madzhab Ahmad bin Hanbal dan Abu Hanifah. Dasarnya ialah hadits Abdullah bin
Zaid yang berbunyi:
‫ت‬ ُ ‫اف ِبي َوَأ َنا َناِئ ٌم َر ُج ٌل َيحْ ِم ُل َناقُوسًا فِي َي ِد ِه َفقُ ْل‬ َ ‫صاَل ِة َط‬ َّ ‫اس ل َِج ْم ِع ال‬ ِ ‫ب ِب ِه لِل َّن‬ َ ‫وس يُعْ َم ُل ِليُضْ َر‬ ِ ُ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ِبال َّناق‬ َ ِ ‫لَمَّا َأ َم َر َرسُو ُل هَّللا‬
‫ت لَ ُه َبلَى َقا َل َف َقا َل َتقُو ُل‬ ُ ‫ك َفقُ ْل‬ َ ِ‫ك َعلَى َما ه َُو َخ ْي ٌر مِنْ َذل‬ َ ُّ‫صاَل ِة َقا َل َأ َفاَل َأ ُدل‬ َّ ‫ت َن ْدعُو ِب ِه ِإلَى ال‬ ُ ‫وس َقا َل َو َما َتصْ َن ُع ِب ِه َفقُ ْل‬ َ ُ‫َيا َعبْدَ هَّللا ِ َأ َت ِبي ُع ال َّناق‬
َّ‫هَّللا ُ َأ ْك َب ُر هَّللا ُ َأ ْك َب ُر هَّللا ُ َأ ْك َب ُر هَّللا ُ َأ ْك َب ُر َأ ْش َه ُد َأنْ اَل ِإلَ َه ِإاَّل هَّللا ُ َأ ْش َه ُد َأنْ اَل ِإلَ َه ِإاَّل هَّللا ُ َأ ْش َه ُد َأنَّ م َُح َّم ًدا َرسُو ُل هَّللا ِ َأ ْش َه ُد َأنَّ م َُح َّم ًدا َرسُو ُل هَّللا ِ َحي‬
‫صاَل ِة َحيَّ َع َلى ْال َفاَل ِح َحيَّ َع َلى ْال َفاَل ِح هَّللا ُ َأ ْك َب ُر هَّللا ُ َأ ْك َب ُر اَل ِإ َل َه ِإاَّل هَّللا ُ َقا َل ُث َّم اسْ َتْأ َخ َر َع ِّني غَ ي َْر َبعِي ٍد ُث َّم َقا َل‬ َّ ‫صاَل ِة َحيَّ َع َلى ال‬ َّ ‫َعلَى ال‬
ْ‫صاَل ِة َحيَّ َعلَى ْال َفاَل ِح َق ْد َقا َمت‬ َ ‫هَّللا‬
َّ ‫ُ ش َهد نَّ م َُحمَّدا َرسُو ُل ِ َحيَّ َعلى ال‬ ً ‫َأ‬ ُ ْ ‫َأ‬ ‫هَّللا‬ ‫اَّل‬ َ ‫اَل‬ ‫َأ‬ ُ ْ ‫َأ‬ ْ ‫َأ‬
‫ص ة ُ ك َب ُر ُ ك َب ُر ش َهد نْ ِإل َه ِإ‬ ‫هَّللا‬ ْ ‫َأ‬ ‫هَّللا‬ َ ‫اَل‬ َ‫ْت‬ َ ‫َأ‬
َّ ‫َو َتقُو ُل ِإ َذا قم ال‬
‫ْت َف َقا َل ِإ َّن َها‬ ُ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َفَأ ْخ َبرْ ُت ُه ِب َما َرَأي‬ َ ِ ‫ْت َرسُو َل هَّللا‬ ُ ‫ت َأ َتي‬ ُ ْ‫صاَل ةُ هَّللا ُ َأ ْك َب ُر هَّللا ُ َأ ْك َب ُر اَل ِإلَ َه ِإاَّل هَّللا ُ َفلَمَّا َأصْ َبح‬ َّ ‫ت ال‬ ْ ‫صاَل ةُ َق ْد َقا َم‬
َّ ‫ال‬
ِّ َ
‫ت لقِي ِه َعل ْي ِه َو ُيَؤ ذنُ ِب ِه َقا َل‬ ْ ‫ُأ‬ ْ ‫اَل‬
Oُ ‫مْت َم َع ِب ٍل َف َج َعل‬ ُ
ُ ‫ك َفق‬ ْ
َ ‫ص ْوتا ِمن‬ ً ْ ‫َأ‬ ِّ ْ ‫َأ‬ ْ ‫َأ‬
َ ‫ء ُ َفق ْم َم َع ِب ٍل َف ل ِق َعل ْي ِه َما َر يْتَ َفل ُيَؤ ذنْ ِب ِه َفِإن ُه ندَى‬Oَ ‫لَرُْؤ َيا َح ٌّق ِإنْ َشا‬
َّ َ ‫اَل‬ ُ ‫هَّللا‬
ِ ‫ْت م ِْث َل َما َرَأى َف َقا َل َرسُو ُل هَّللا‬ ُ ‫ك ِب ْال َح ِّق َيا َرسُو َل هَّللا ِ َل َق ْد َرَأي‬ َ ‫ب َوه َُو فِي َب ْي ِت ِه َف َخ َر َج َيجُرُّ ِردَ ا َءهُ َو َيقُو ُل َوالَّذِي َب َع َث‬ ِ ‫َف َسم َِع َذل َِك ُع َم ُر بْنُ ْال َخ َّطا‬
‫هَّللا‬
‫صلَّى ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َفلِلَّ ِه ْال َح ْم ُد‬ َ

Ketika Rasulullah memerintahkan penggunaan lonceng untuk memanggil orang berkumpul untuk shalat,
maka dalam tidurku, aku bermimpi ada seseorang yang mengelilingiku dengan memanggul lonceng di
tangannya, lalu aku berkata kepadanya: “Wahai, hamba Allah. Apakah kamu menjual lonceng itu?”
Maka ia menjawab: “Hendak engkau apakan ia?” Maka aku menjawb: “Memanggil orang shalat
dengannya”. Lalu orang tersebut menyatakan: “Maukah engkau, aku tunjukkan yang lebih baik dari itu?”
Aku menjawab: “Ya, mau”. Maka ia mengatakan : “Katakanlah:

َّ‫هَّللا ُ َأ ْك َب ُر هَّللا ُ َأ ْك َب ُر هَّللا ُ َأ ْك َب ُر هَّللا ُ َأ ْك َب ُر َأ ْش َه ُد َأنْ اَل ِإلَ َه ِإاَّل هَّللا ُ َأ ْش َه ُد َأنْ اَل ِإلَ َه ِإاَّل هَّللا ُ َأ ْش َه ُد َأنَّ م َُح َّم ًدا َرسُو ُل هَّللا ِ َأ ْش َه ُد َأنَّ م َُح َّم ًدا َرسُو ُل هَّللا ِ َحي‬
ُ ‫صاَل ِة َحيَّ َع َلى ْال َفاَل ِح َحيَّ َعلَى ْال َفاَل ِح هَّللا ُ َأ ْك َب ُر هَّللا ُ َأ ْك َب ُر اَل ِإلَ َه ِإاَّل هَّللا‬ َّ ‫صاَل ِة َحيَّ َعلَى ال‬ َّ ‫َعلَى ال‬

Ia berkata: “Kemudian orang tersebut muncul tidak jauh dariku,” kemudian menyatakan: Dan jika
engkau melakukan iqamah, (maka) katakanlah:

ُ ‫صاَل ةُ هَّللا‬ َّ ‫ت ال‬ ْ ‫صاَل ةُ َق ْد َقا َم‬


َّ ‫ت ال‬ َّ ‫هَّللا ُ َأ ْك َب ُر هَّللا ُ َأ ْك َب ُر َأ ْش َه ُد َأنْ اَل ِإلَ َه ِإاَّل هَّللا ُ َأ ْش َه ُد َأنَّ م َُحم ًَّدا َرسُو ُل هَّللا ِ َحيَّ َعلَى ال‬
Oْ ‫صاَل ِة َحيَّ َعلَى ْال َفاَل ِح َق ْد َقا َم‬
ُ ‫هَّللا‬ ‫اَّل‬ ‫َأ‬ ‫هَّللا‬
‫ْك َب ُر ُ ْك َب ُر اَل ِإلَ َه ِإ‬ ‫َأ‬

Ketika subuh, aku menjumpai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan mimpiku
tersebut. Lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan: “Sungguh, itu adalah mimpi yang benar,
insya Allah. Maka pergilah ke Bilal dan ajarkanlah apa yang engkau lihat, lalu hendaklah Bilal
mengumandangkan adzan dengannya, karena ia lebih keras suaranya darimu.” Lalu aku menemui Bilal
dan mengajarkan kepadanya, dan iapun adzan dengannya. Lalu Umar bin Khaththab mendengar hal itu
di dalam rumahnya, lalu ia keluar menyeret selendangnya dan menyatakan: “Demi Dzat yang mengutus
engkau dengan benar, wahai Rasulullah, sungguh akupun melihat apa yang ia lihat dalam mimpi”. Maka
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan : “Alhamdulillah”.[3]

Baca Juga Yang Diucapkan Ketika Mendengar Adzan Dan Iqamat.


‫‪2. Lafadz adzan sejumlah 17 kalimat, yaitu 2 takbir, 2 syahadatain diulang dua kali = 8 kalimat, 2 hayya‬‬
‫‪‘ala as shalat, 2 hayya alal falah, 2 takbir dan 1 kalimat tauhid. Inilah adzan menurut Imam Malik, dan‬‬
‫‪dasarnya ialah hadits Abu Mahdzurah:‬‬

‫ور َة َأنَّ َن ِبيَّ هَّللا ِ َعلَّ َم ُه َه َذا اَأْل َذ َ‬


‫ان هَّللا ُ َأ ْك َب ُر هَّللا ُ َأ ْك َب ُر َأ ْش َه ُد َأنْ اَل ِإلَ َه ِإاَّل هَّللا ُ َأ ْش َه ُد َأنْ اَل ِإلَ َه ِإاَّل هَّللا ُ َأ ْش َه ُد َأنَّ م َُحم ًَّدا َرسُو ُل هَّللا ِ َأ ْش َه ُد‬ ‫َعنْ َأ ِبي َمحْ ُذ َ‬
‫َأنَّ م َُحم ًَّدا َرسُو ُل هَّللا ِ ُث َّم َيعُو ُد َف َيقُو ُل َأ ْش َه ُد َأنْ اَل ِإلَ َه ِإاَّل هَّللا ُ َأ ْش َه ُد َأنْ اَل ِإلَ َه ِإاَّل هَّللا ُ َأ ْش َه ُد َأنَّ م َُحم ًَّدا َرسُو ُل هَّللا ِ َأ ْش َه ُد َأنَّ م َُح َّم ًدا َرسُو ُل هَّللا ِ َحيَّ‬
‫ْن َزا َد ِإسْ َح ُق هَّللا ُ َأ ْك َب ُر هَّللا ُ َأ ْك َب ُر اَل ِإلَ َه ِإاَّل هَّللا ُ‬
‫ْن َحيَّ َعلَى ْال َفاَل ِح مَرَّ َتي ِ‬ ‫صاَل ِة مَرَّ َتي ِ‬ ‫َعلَى ال َّ‬

‫‪Dari Abu Mahdzurah, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarinya adzan dengan:‬‬

‫هَّللا ُ َأ ْك َب ُر هَّللا ُ َأ ْك َب ُر ‪َ .‬أ ْش َه ُد َأنْ اَل ِإلَ َه ِإاَّل هَّللا ُ َأ ْش َه ُد َأنْ اَل ِإلَ َه ِإاَّل هَّللا ُ َأ ْش َه ُد َأنَّ م َُحم ًَّدا َرسُو ُل هَّللا ِ َأ ْش َه ُد َأنَّ م َُح َّم ًدا َرسُو ُل هَّللا ِ‬

‫‪Kemudian mengulang, lalu membaca:‬‬

‫)‪َ (dua kali‬أ ْش َه ُد َأنْ اَل ِإلَ َه ِإاَّل هَّللا ُ َأ ْش َه ُد َأنْ اَل ِإلَ َه ِإاَّل هَّللا ُ ‪َ .‬أ ْش َه ُد َأنَّ م َُح َّم ًدا َرسُو ُل هَّللا ِ َأ ْش َه ُد َأنَّ م َُح َّم ًدا َرسُو ُل هَّللا ِ َحيَّ َعلَى ال َّ‬
‫صاَل ِة‬

‫‪َ dua kali.‬حيَّ َعلَى ْال َفاَل ِح )‪Dan (membaca‬‬

‫]‪Ishaq menambahkan bacaan:[4‬‬

‫هَّللا ُ َأ ْك َب ُر هَّللا ُ َأ ْك َب ُر اَل ِإلَ َه ِإاَّل هَّللا ُ‬

‫‪3. Lafadznya 19 kalimat, yaitu 4 takbir, 2 syahadatain dengan tarji’ (diulang dua kali = 8 kalimat), 2 hayya‬‬
‫‪‘ala as shalat, 2 hayya alal falah, 2 takbir dan 1 kalimat tauhid. Inilah yang dijadikan pedoman dalam‬‬
‫‪madzhab Syafi’i. Dalilnya ialah hadits Abu Mahdzurah :‬‬

‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َعلَّ َم ُه اَأْل َذ َ‬


‫ان تِسْ َع َع ْش َر َة َكلِ َم ًة َواِإْل َقا َم َة َسب َْع َع ْش َر َة َكلِ َم ًة‬ ‫َأنَّ ال َّن ِبيَّ َ‬
‫]‪Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarinya adzan 19 kalimat dan iqamah 17 kalimat.[5‬‬

‫‪Hal ini dijelaskan dalam riwayat lain dari Abu Mahdzurah, ia berkata:‬‬

‫ك ُث َّم َتقُو ُل َأ ْش َه ُد َأنْ اَل‬ ‫ص ْو َت َ‬ ‫ان َف َم َس َح ُم َق َّد َم َرْأسِ ي َو َقا َل َتقُو ُل هَّللا ُ َأ ْك َب ُر هَّللا ُ َأ ْك َب ُر هَّللا ُ َأ ْك َب ُر هَّللا ُ َأ ْك َب ُر َترْ َف ُع ِب َها َ‬
‫ت َيا َرسُو َل هَّللا ِ َعلِّ ْمنِي ُس َّن َة اَأْل َذ ِ‬
‫قُ ْل ُ‬
‫ك ِبال َّش َها َد ِة َأ ْش َه ُد َأنْ‬ ‫ص ْو َت َ‬ ‫ك ُث َّم َترْ َف ُع َ‬ ‫ِإلَ َه ِإاَّل هَّللا ُ َأ ْش َه ُد َأنْ اَل ِإلَ َه ِإاَّل هَّللا ُ َأ ْش َه ُد َأنَّ م َُحم ًَّدا َرسُو ُل هَّللا ِ َأ ْش َه ُد َأنَّ م َُح َّم ًدا َرسُو ُل هَّللا ِ َت ْخفِضُ ِب َها َ‬
‫ص ْو َت َ‬
‫صاَل ِة َحيَّ َعلَى‬ ‫صاَل ِة َحيَّ َعلَى ال َّ‬ ‫اَل ِإلَ َه ِإاَّل هَّللا ُ َأ ْش َه ُد َأنْ اَل ِإلَ َه ِإاَّل هَّللا ُ َأ ْش َه ُد َأنَّ م َُحم ًَّدا َرسُو ُل هَّللا ِ َأ ْش َه ُد َأنَّ م َُح َّم ًدا َرسُو ُل هَّللا ِ َحيَّ َعلَى ال َّ‬
‫صاَل ةُ َخ ْي ٌر مِنْ ال َّن ْو ِم هَّللا ُ َأ ْك َب ُر هَّللا ُ َأ ْك َب ُر اَل ِإلَ َه ِإاَّل هَّللا ُ‬‫صاَل ةُ َخ ْي ٌر مِنْ ال َّن ْو ِم ال َّ‬ ‫ْح قُ ْلتَ ال َّ‬ ‫صب ِ‬ ‫صاَل ةُ ال ُّ‬
‫ان َ‬ ‫ْال َفاَل ِح َحيَّ َعلَى ْال َفاَل ِح َفِإنْ َك َ‬

‫‪Aku berkata: “Wahai Rasulullah. Ajarilah aku sunnah adzan.” Lalu Beliau memegang bagian depan‬‬
‫‪kepalaku dan berkata: “Ucapkanlah dengan suara perlahan‬‬

‫هَّللا ُ َأ ْك َب ُر هَّللا ُ َأ ْك َب ُر هَّللا ُ َأ ْك َب ُر هَّللا ُ َأ ْك َب ُر ‪َ .‬أ ْش َه ُد َأنْ اَل ِإلَ َه ِإاَّل هَّللا ُ َأ ْش َه ُد َأنْ اَل ِإلَ َه ِإاَّل هَّللا ُ َأ ْش َه ُد َأنَّ م َُح َّم ًدا َرسُو ُل هَّللا ِ َأ ْش َه ُد َأنَّ م َُح َّم ًدا َرسُو ُل هَّللا ِ‬

‫‪Kemudian keraskanlah suaramu dalam membaca syahadat:‬‬

‫صاَل ةِ‪.‬‬‫صاَل ِة َحيَّ َعلَى ال َّ‬ ‫َأ ْش َه ُد َأنْ اَل ِإلَ َه ِإاَّل هَّللا ُ َأ ْش َه ُد َأنْ اَل ِإلَ َه ِإاَّل هَّللا ُ ‪َ.‬أ ْش َه ُد َأنَّ م َُح َّم ًدا َرسُو ُل هَّللا ِ َأ ْش َه ُد َأنَّ م َُح َّم ًدا َرسُو ُل هَّللا ِ َ‬
‫‪.‬حيَّ َعلَى ال َّ‬
‫َحيَّ َعلَى ْال َفاَل ِح َحيَّ َعلَى ْال َفاَل ِح‬

‫‪Jika shalat Subuh, katakanlah :‬‬

‫صاَل ةُ َخ ْي ٌر مِنْ ال َّن ْو ِم‬


‫صاَل ةُ َخ ْي ٌر مِنْ ال َّن ْو ِم ال َّ‬
‫ال َّ‬

‫]‪Lalu :[6‬‬

‫هَّللا ُ َأ ْك َب ُر هَّللا ُ َأ ْك َب ُر اَل ِإلَ َه ِإاَّل هَّللا‬


Ibnu Abdil Bar mengatakan: “Ahmad, Ishaq, Dawud dan Ibnu Jarir berpendapat, ini termasuk khilaf yang
mubah, karena takbir yang empat pertama atau dibuat dua kali, atau dengan tarji’ dalam syahadat atau
tidak, iqamah dibuat dua-dua atau satu-satu semuanya kecuali ُ‫صالَة‬ Oِ ‫ َق ْد َقا َم‬semuanya boleh.[7]
َّ ‫ت ال‬

Dalam permasalahan ini, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin memberikan tarjih sebagaimana
pernyataan beliau: Semua yang ada dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari lafadz adzan,
maka diperbolehkan, bahkan semestinya, terkadang menggunakan yang ini dan terkadang yang itu, jika
tidak menimbulkan keresahan dan fitnah. Ada kaidah yang menyatakan, ibadah-ibadah yang diajarkan
dalam sisi yang berbeda-beda, hendaknya dilakukan atas sisi-sisi tersebut semuanya. Hal ini memiliki
beberapa faidah (manfaat):

Menjaga Sunnah dalam berbagai sisinya.

Mempermudah para mukallaf.

Kehadiran hati (membuat khusyu`) dan tidak bosan.

Menjaga dan memelihara syariat.[8]

Kemudian ada riwayat lain yang menjelaskan bahwa adzan dilakukan dua-dua, dan iqamah satu-satu,
sebagaimana disebtukan dalam hadits Ibnu Umar :

‫صالَةُ َث َنى ِب َها‬ Oِ ‫ان اّأل َذانُ َعلَى َع ْه ِد ال َّن ِبيْ َم ْث َنى َم ْث َنى َو اِإل َقا َم ُة َوا ِح َدةٌ َغ ْي ُر َأ َّن ُه ِإ َذا َقا َل َق ْد َقا َم‬
َّ ‫ت ال‬ َ ‫َك‬

Oِ ‫َق ْد َقا َم‬


Adzan pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dua-dua, dan iqamah satu-satu, kecuali ‫ت‬
ُ‫صالَة‬
َّ ‫ ال‬dua kali.[9]

Sedangkan lafadz iqamah ada tiga juga, yaitu:

a). Iqamah 11 kalimat, yaitu :

ُ ‫صاَل ةُ هَّللا‬َّ ‫ت ال‬ ْ ‫صاَل ةُ َق ْد َقا َم‬ َّ ‫ت ال‬ َّ ‫هَّللا ُ َأ ْك َب ُر هَّللا ُ َأ ْك َب ُر َأ ْش َه ُد َأنْ اَل ِإلَ َه ِإاَّل هَّللا ُ َأ ْش َه ُد َأنَّ م َُحم ًَّدا َرسُو ُل هَّللا ِ َحيَّ َعلَى ال‬
Oْ ‫صاَل ِة َحيَّ َعلَى ْال َفاَل ِح َق ْد َقا َم‬
ُ ‫َأ ْك َب ُر هَّللا ُ َأ ْك َب ُر اَل ِإلَ َه ِإاَّل هَّللا‬
Inilah iqamah menurut pendapat Syafi’i, Ahmad dan kebanyakan ulama, dengan dasar hadits Abdullah
bin Zaid di atas.

b). Iqamah seperti di atas dengan dikurangi ُ‫صاَل ة‬ ْ ‫ َق ْد َقا َم‬menjadi satu sehingga jumlahnya 10 kalimat.
َّ ‫ت ال‬
Demikian ini iqamah menurut madzhab Malikiyah.[10]

c). Iqamah berjumlah 17 kalimat, yaitu :[11]

َّ‫هَّللا ُ َأ ْك َب ُر هَّللا ُ َأ ْك َب ُر هَّللا ُ َأ ْك َب ُر هَّللا ُ َأ ْك َب ُر َأ ْش َه ُد َأنْ اَل ِإلَ َه ِإاَّل هَّللا ُ َأ ْش َه ُد َأنْ اَل ِإلَ َه ِإاَّل هَّللا ُ َأ ْش َه ُد َأنَّ م َُح َّم ًدا َرسُو ُل هَّللا ِ َأ ْش َه ُد َأنَّ م َُح َّم ًدا َرسُو ُل هَّللا ِ َحي‬
ُ ‫صاَل ةُ هَّللا ُ َأ ْك َب ُر هَّللا ُ َأ ْك َب ُر اَل ِإلَ َه ِإاَّل‬
‫هَّللا‬ Oْ ‫صاَل ةُ َق ْد َقا َم‬
َّ ‫ت ال‬ َّ ‫ت ال‬ْ ‫صاَل ِة َحيَّ َعلَى ْال َفاَل ِح َحيَّ َعلَى ْال َفاَل ِح َق ْد َقا َم‬ َّ ‫صاَل ِة َحيَّ َعلَى ال‬ َّ ‫َعلَى ال‬

Inilah iqamah menurut madzhab Abu Hanifah, dengan dasar hadits Abu Mahdzurah yang menyatakan:

‫صحِي ٌح‬
َ ٌ‫ِيث َح َسن‬ َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َعلَّ َم ُه اَأْل َذ‬
ٌ ‫ان تِسْ َع َع ْش َر َة َكلِ َم ًة َواِإْل َقا َم َة َسب َْع َع ْش َر َة َكلِ َم ًة َقا َل َأبُو عِ ي َسى َه َذا َحد‬ َ َّ‫َأنَّ ال َّن ِبي‬

Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarinya adzan 19 kalimat dan iqamah 17 kalimat.

Abu Isa Al Tirmidzi menyatakan : “Ini hadits hasan shahih”.[12]

4. Iqamah dengan 9 kalimat, dengan satu-satu kecuali ُ‫صالَة‬ Oِ ‫ َق ْد َقا َم‬dua kali, dasarnya ialah hadits Ibnu
َّ ‫ت ال‬
Umar di atas.

Imam Bukhari juga menulis masalah ini dalam bab Al Iqamatu Wahidah Illa Qaulahu ُ‫صالَة‬ ِ ‫ َق ْد َقا َم‬, yang
َّ ‫ت ال‬
didukung disepakati Al Hafizh Ibnu Hajar dalam pensyariatannya.

Baca Juga Hukum Bershalawat Kepada Nabi Sebelum Iqamah

Semua lafadz adzan di atas boleh dipergunakan, dan lebih baik bila digunakan seluruhnya, kecuali jika
menimbulkan fitnah di masyarakat, sebagaimana telah disampaikan Syaikh Ibnu Utsaimin di atas.
Kandungan Lafadz Adzan

Lafazd adzan dan iqamah mencakup kandungan aqidah seorang muslim, sehingga Imam Al Qadhi Iyadh
berpendapat: “Ketahuilah, bahwa adzan adalah kalimat yang berisi aqidah iman yang mencakup jenis-
jenisnya. Yang pertama, menetapkan Dzat dan yang seharusnya dimiliki Dzat Allah dari kesempurnaan
dan pensucian dari lawan kesempurnaan. Dan itu terkandung pada ucapan “Allahu Akbar”. Lafadz ini,
walaupun sangat ringkas, namun sudah menjelaskan apa yang telah kami sebutkan di atas. Kemudian
(yang kedua), menegaskan keesaan Allah dan penolakan sekutu yang mustahil ada bagiNya. Ini
merupakan dasar dan tonggak iman, dan tauhid yang didahulukan ada di atas segala tugas agama
lainnya. Kemudian menegaskan penetapan kenabian dan persakisan akan kebenaran risalah (kerasulan)
bagi Nabi kita, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan ini merupakan kaidah agung setelah
syahadat tentang keesaaan Allah. Kemudian mengajak kepada ibadah yang diperintahkan. Mengajak
untuk shalat dan menjadikannya setelah penetapan kenabian, karena kewajibannya diketahui melalui
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan melalui akal. Kemudian mengajak kapada kemenangan, yaitu
kekal di dalam kenikmatan yang abadi. Disini terdapat isyarat untuk perkara-perkara akhirat dalam hal
kebangkitan dan pembalasan yang merupakan akhir masalah aqidah Islam. Lalu hal itu diulang-ulang
dengan iqamat shalat untuk memberitahu mulainya. Hal ini mengandung penegasan iman dan
pengulangan penjelasan iman ketika memulai suatu ibadah dengan hati dan lisan, dan agar orang yang
shalat senantiasa berada di atas kejelasan amalannya dan ilmu tentang imannya, serta merasakan
keagungan shalat dan keagungan Dzat yang disembah serta pahala yang besar”.[13]

Imam Al Qurthubi juga menyatakan: “Adzan, walaupun lafadznya sangat ringkas, namun mengandung
banyak masalah aqidah; karena adzan dimulai dengan takbir yang mengandung penetapan keberadaan
dan kesempurnaan Allah. Kemudian diikuti dengan penetapan tauhid dan menafikan syirik. Lalu
penetapan risalah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan ajakan untuk mentaati Beliau secara
khusus setelah syahadat (persaksian) tentang risalah (kerasulan), karena tidak diketahui ibadah shalat
tersebut kecuali dari jalan rasul. Kemudian ajakan kepada kemenangan, yaitu kekekalan dan berisi
isyarat tentang hari pembalasan, lalu diulang-ulang sebagai penegasan. Sehingga dari adzan
didapatkanlah pemberitahuan tentang masuk waktu shalat, ajakan berjamaah dan menampakkan syiar
Islam”.[14]

Maraji` :

Ghauts Al Makdud Bi Takhrij Muntaqa Ibnu Al Jarud, Abu Ishaq Al Huwaini, Cetakan kedua, Tahun
1414 H, Daar Al Kitab Al Arabi.
Syarhu Al Mumti’ ‘Ala Zaad Al Mustaqni’, Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, Tahqiq Dr. Sulaiman bin
Abdillah Aba Khail dan Dr. Khalid bin Ali Al Musyaiqih, Cetakan pertama, Tahun 1415H, Muassasah
Aasaam, KSA.

Majmu’ Syarhu Al Muhadzdzab, Imam Al Nawawi, Tahqiq Muhammad Najib Al Muthi’i, Cetakan Tahun
1415H, Daar Ihya’ At Turats Al ‘Arabi, Beirut.

Fathul Bari Syarah Shahih Al Bukhari, Al Hafidz Ibnu Hajar, Maktabah As Salafiyah.

Nail Al Authar Min Al Ahadits Sayyid Al Akhyar Syarhu Muntaqa Al Akhbar, Muhammad bin Ali Asy
Syaukani, Tahqiq Muhammad Salim Hasyim, Cetakan pertama, Tahun 1415H, Dar Al Kutub Al Ilmiyah,
Beirut.

Tamam Al Minnah Fi Ta’liq ‘Ala Fiqhi As Sunnah, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Cetakan
ketiga, Tahun 1409 H, Dar Rayah, Riyadh, KSA.

Irwa’ Al Ghalil Fi Takhrij Ahadits Manaru Al Sabil, Muhammad Nashiruddin Al Albani, Cetakan kedua,
Tahun 1405 H, Al Maktab Al Islami, Beirut.

Fiqhu Sunnah, Sayyid Sabiq, Cetakan Tahun 1416 H, Al Fath Li I’lam Al Arabi, Kairo dan Syarikat Manar
Ad Daulah, USA.

Majmu’ Al Fatawa, Ibnu Taimiyah, Tahqiq Abdurrahman bin Muhammad bin Al Qasim, tanpa tahun
cetakan dan penerbit.

Al I’lam Bi Fawaid Umdat Al Ahkam, Ibnu Al Mulaqqin, Tahqiq Abdul Aziz Ahmad Al Musyaiqih,
Cetakan pertama, 1417H, Dar Al ‘Ashimah, KSA.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 035Tahun IX/1426H/2005M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah
Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-
858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]

_______

Footnote

[1] Syarhu Al Mumti’ ‘Ala Zaad Al Mustaqni’, Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, tahqiq Dr. Sulaiman bin
Abdillah Aba Khail dan Dr. Khalid bin Ali Musyaiqih, Cetakan Pertama, Tahun 1415H, Muassasah Asam,
KSA, hlm. 2/35.

[2] Syarhu Al Mumti’ ‘Ala Zaad Al Mustaqni’, Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, tahqiq Dr. Sulaiman bin
Abdillah Aba Khail dan Dr. Khalid bin Ali Musyaiqih, Cetakan Pertama, Tahun 1415H, Muassasah Asam,
KSA, hlm. 2/36.
[3] Hadits ini diriwayatkan Abu Dawud, no. 499; Ibnu Majah, no. 706; Ad Darimi (1/214-215); At Tirmidzi,
no. 189; Ahmad dalam Musnad-nya (4/43) dan Ibnu Khuzaimah (1/189, 191-192), juga Ibnu Al Jarud
dalam Muntaqa-nya. Lihat takhrij hadits ini pada Ghauts Al Makdud Bi Takhrij Muntaqa Ibnu Al Jarud,
Abu Ishaq Al Huwaini, Cetakan kedua, Tahun 1414H, Daar Al Kitab Al Arabi, hlm. 1/156. Abu Ishaq
menyatakan, sanadnya hasan. Demikian juga Syaikh Al Albani dalam Irwa’ Al Ghalil, hlm. 1/264-265, no.
247.

[4] HR Muslim, dalam Shahih-nya, kitab Ash Shalat, Bab Shifat Al Adzan, no. 379.

[5] HR At Tirmidzi dalam Sunan-nya, kitab Ash Shalat, Bab Ma Ja’a Fit Tarji’, no. 192 dengan sanad shahih

[6] HR Ahmad; Abu Dawud dalam Sunan-nya, kitab Ash Shalat, Bab Kaifa Al Adzan, no. 503.

[7] Fathul Bari, hlm. 2/84.

[8] Syarhu Al Mumti’, Op.Cit. hlm. 2/51-52.

[9] HR Ibnul Jarud dalam Al Muntaqa, no. 164 hlm. 1/160, Abu Ishaq Al Huwaini (pentahqiq kitab Al
Muntaqa) menyatakan: “Sanadnya hasan”. Lihat Ghauts Al Makdud, Op.Cit. hlm. 1/160

[10] Lihat Fiqhu Sunnah, Sayyid Sabiq, Cetakan tahun 1416 H, Penerbit Al Fath Li I’lam Al Arabi, Kairo dan
Syarikat Manar Ad Daulah, USA hlm. 1/126.

[11] HR Ibnul Jarud dalam Muntaqa, no. 162, hlm. 1/158 dan dikatakan Abu Ishaq Al Huwaini: “Sanadnya
shahih”. Lihat Ghauts Al Makdud, Op.Cit. hlm. 1/58-159.

[12] HR At Tirmidzi dalam Sunan-nya, kitab Ash Shalat, Bab Ma Ja’a Fit Tarji’, no. 192.

[13] Lihat Majmu’ Syarhu Al Muhadzdzab, Imam Al Nawawi, Tahqiq Muhammad Najib Al Muthi’i,
Cetakan Tahun 1415H, Daar Ihyaa’ At Turats Al ‘Arabi, Beirut, hlm. 3/81.

[14] Lihat Fathul Bari Syarah Shahih Al Bukhari, Al Hafidz Ibnu Hajar, Maktabah As Salafiyah, hlm. 2/77

Referensi : https://almanhaj.or.id/3080-adzan-dan-iqamah.html

Anda mungkin juga menyukai