Anda di halaman 1dari 27

Makalah

STUNTING

Disusun Oleh :
LIDIA FEBRINA
Nim : 2213101031

MATA KULIAH: ANALISIS GIZI DAN KEBIJAKAN PANGAN


DOSEN: Prof.dr Nur Indrawaty Lipoeto, M.Sc. Ph.D, Sp.GK

PRODI MAGISTER KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS FORT DE KOCK
BUKITTINGGI
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-
Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Makalah ini disusun sebagai
tugas mata kuliah “Analisa Gizi dan Kebijakan Pangan”. Selama proses penyusunan
makalah ini, dari awal sampai akhir tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak. Untuk
itu penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof.dr Nur Indrawaty Lipoeto, M.Sc.
Ph.D, Sp.GK yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah ini.
Penulis sangat mengharapkan masukan berupa saran – saran dan kritikan yang
sifatnya membangun dari semua pihak demi kesempurnaan makalah ini. Semoga
makalah ini dapat berguna dan bermanfaat bagi para pembaca dan kuhususnya bagi
penulis. Akhir kata penulis ucapkan terima kasih.

Padang, 10 Februari 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.............................................................................................…..............…i
Daftar Isi.......................................................................................................… ............... .ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang................................……………….…...............................................1
B. Rumusan Masalah......................………………….....................................................3
C. Tujuan..................................…………………….......................................................3
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Stunting.............................................................………………................4
B. Faktor-faktor penyebab stunting...........................................……………..................5
C. Dampak stunting................................................................………………................15
D. 1000 Hari pertama kehidupan ...........................................……………...................16
E. Kebijakan pemerintah terkait stunting................................…………..................….19
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ..................................................................……………...…...........…...22
B. Saran ........................................................................…………………....….............23
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Stunting adalah suatu kondisi pada seorang yang memiliki panjang atau tinggi
badan kurang jika dibandingkan dengan umurnya. Atau kondisi tinggi badan seseorang
lebih pendek dibanding tinggi badan orang lain pada umunya atau yang seusia. Stunting
merupakan bentuk kegagalan pertumbuhan (growth faltering) akibat akumulasi ketidak
cukupan nutrisi yang berlangsung lama mulai dari kehamilan sampai usia 24 bulan.
Tinggi badan merupakan salah satu jenis pemeriksaan antropometri dan menunjukkan
status gizi seseorang. Adanya stunting menunjukkan status gizi yang kurang
(malnutrisi) dalam jangka waktu yang lama (kronis).
Faktor asupan makan yang berhubungan langsung dengan status gizi pada balita
dapat dipengaruhi oleh pola asuh yang tidak baik serta kondisi ketahanan pangan pada
rumah tangga, sehingga secara tidak langsung kedua faktor tersebut dapat
mempengaruhi status gizi balita terkait dengan aspek ketersediaan pangan, kualitas dan
kuantitas pangan, serta cara pemberian makan pada balita. Ketahanan pangan adalah
kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan pangan anggota rumah tangga, baik
dari segi jumlah, mutu, dan ragamnya sesuai dengan sosial budaya setempat. Penelitian
di Bangladesh menunjukkan, rumah tangga yang termasuk dalam kategori rawan
pangan ringan dan sedang lebih berisiko untuk memiliki anak yang stunting
dibandingkan dengan keluarga lain yang memiliki ketersediaan pangan berkelanjutan.
Faktor ketersediaan pangan dapat mewujudkan ketahanan pangan rumah tangga dan
individu. Penyediaan pangan yang cukup menjadi salah satu upaya untuk mencapai
status gizi yang baik, dimana semakin tinggi ketersediaan pangan keluarga maka
kecukupan zat gizi keluarga akan semakin meningkat.
Selain faktor ketersediaan pangan, menurut BAPPENAS faktor ketahanan
pangan yang berpengaruh terhadap kondisi stunting berkaitan dengan akses masyarakat
terhadap pangan yang bergizi. Apabila akses pangan di tingkat rumah tangga terganggu,
terutama akibat kemiskinan, maka penyakit kurang gizi (malnutrisi) seperti stunting
pasti akan terjadi. Berdasarkan hal tersebut ketersediaan dan akses terhadap pangan
dapat mempengaruhi status gizi pada balita. Pada masa balita, anak sudah tidak

1
mendapatkan ASI dan mulai memilih makanan yang ingin dikonsumsi. Hal tersebut
harus menjadi perhatian orang tua terutama pada proses pemberian makan agar
kebutuhan zat gizi anak tetap terpenuhi. Aspek pola asuh makan meliputi riwayat
pemberian ASI dan MP-ASI serta praktik pemberian makan berpengaruh terhadap
kejadian stunting. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa balita yang memiliki riwayat
pola asuh kurang berisiko 2,4 kali lebih besar untuk mengalami stunting dibandingkan
dengan balita dengan riwayat pola asuh yang baik. Pola asuh pemberian makan
merupakan faktor dominan yang mempengaruhi stunting pada balita dibandingkan
dengan kebiasaan pengasuhan, kebiasaan kebersihan dan kebiasaan mendapat pelayanan
kesehatan (Bella et al., 2020). Ibu yang memiliki anak stunting cenderung memiliki
kebiasaan menunda memberikan makan pada balita serta tidak memperhatikan
kebutuhan zat gizinya
Masalah malnutrisi di Indonesia merupakan masalah kesehatan yang belum bisa
diatasi sepenuhnya oleh pemerintah. Berdasarkan SSGI tahun 2022 angka stunting di
Indonesia turun dari 24,4% di tahun 2021 menjadi 21,6 % di tahun 2022. Kemudian dari
data - data survei dan penelitian Riset Kesehatan Dasar (2018)yang menyatakan bahwa
prevalensi stunting severe (sangat pendek) di Indonesia adalah 19,3%, lebih tinggi
dibanding tahun 2013 (19,2%) dan tahun 2007 (18%). 2 Bila dilihat prevalensi stunting
secara keseluruhan baik yang mild maupun severe (pendek dan sangat pendek), maka
prevalensinya sebesar 30,8%. Laporan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2018
menunjukkan penurunan prevalensi stunting di tingkat nasional sebesar 6,4% selama 5
tahun, yaitu dari 37,2% (2013) menjadi 30,8% (2018). Proporsi status gizi; pendek
dansangat pendek pada seseorang, mencapai 29,9% atau lebih tinggi dibandingkan
target rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) 2019 sebesar 28%.
Stunting yang terjadi pada balita dapat berdampak pada pertumbuhan dan
perkembangan intelektual anak. Secara tidak langsung dampak tersebut dapat berakibat
pada penurunan produktivitas, peningkatan risiko penyakit degenaratif, peningkatan
kelahiran bayi dengan berat badan lahir rendah di masa mendatang. Dampak tersebut
dapat meningkatkan kemiskinan dimasa yang akan datang dan secara tidak langsung
akan mempengaruhi ketahanan pangan keluarga. Stunting pada balita di negara
berkembang dapat disebabkan karena faktor genetik dan faktor lingkungan yang kurang
memadai untuk tumbuh kembang anak yang optimal. Salah satu faktor lingkungan yang

2
dapat mempengaruhi terjadinya stunting pada balita yaitu pendapatan orang tua.
Pendapatan orang tua yang memadai akan menunjang tumbuh kembang anak karena
orang tua dapat menyediakan semua kebutuhan anak baik yang primer maupun yang
sekunder. 7 Sedangkan, apabila pendapatan orang tua rendah maka sebagian besar
pendapatan akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan sehingga dapat
menyebabkan keluarga rawan pangan. Keluarga yang pemiliki pendapatan rendah dan
rawan pangan dapat menghambat tumbuh kembang balita (stunting).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian masalah pada latar belakang diatas, maka dapat didapatkan
rumusan masalah, yaitu
1. Apa yang dimaksud dengan Stunting
2. Apa saja faktor-faktor Penyebab Stunting
3. Bagaimana dampak terrjadinya stunting
4. Apa yang dimaksud dengan 1000 hari pertama kehidupan
5. Apa saja kebijakan terkait Stunting

C. Tujuan
Untuk mengetahui
1. Definisi Stunting
2. Penyebab Stunting
3. Dampak\ Stunting
4. Pentingnya 1000 hari pertama kehidupan
5. Kebijakan pemerintah terhadap stunting

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian stunting

Stunting adalah keadaan tubuh yang pendek hingga melampaui defisit 2 SD

dibawah median panjang atau tinggi badan populasi yang menjadi refrensi

internasional. Tinggi badan berdasarkan umur rendah, atau tubuh anak lebih pendek

dibandingkan dengan anak-anak lain seumurnya merupakan definisi stunting yang

ditandai dengan terlambatnya pertumbuhan anak yang mengakibatkan kegagalan

dalam mencapai tinggi badan yang normal dan sehat sesuai dengan umur anak

(WHO, 2006). Stunting dapat diartikan sebagai kekurangan gizi kronis atau

kegagalan pertumbuhan dimasa lalu dan digunakan sebagai indikator jangka panjang

untuk gizi kurang pada anak.

Administrative Committee on Coordination/Sub Committee on Nutrition

(ACC/SCN) tahun 2000, diagnosis stunting dapat diketahui melalui indeks

antopometri tinggi badan menurut umur yang mencerminkan pertumbuhan linier

yang dicapai pada pra dan pasca persalinan dengan indikasi kekurangan gizi jangka

panjang, akibat dari gizi yang tidak memadai


7 atau kesehatan. Stunting yaitu

pertumbuhan linier yang gagal untuk mencapai potensi genetik sebagai akibat dari

pola makan yang buruk dan penyakit. Stunting diartikan sebagai indicator status gizi

TB/U sama dengan atau kurang dari minus dua standar deviasi (-2 SD) dibawah

rata-rata standar atau keadaan dimana tubuh anak lebih pendek dibandingkan

dengan ana-anak lain

4
seumurnya, ini merupakan indikator kesehatan anak yang kekurangan gizi kronis

yang memberikan gambaran gizi pada masa lalu dan yang dipengaruhi lingkungan

dan sosial ekonomi.

B. Penyebab stunting

Kejadian stunting pada anak merupakan suatu proses komulaif menurut

beberapa penelitian, yang terjadi sejak kehamilan, masa kanak-kanak dan sepanjang

siklus kehidupan. Proses terjadinya stunting pada anak dan peluang peningkatan

stunting terjadi dalam 2 tahun pertama kehidupan.

Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya keadaan stunting pada anak. Faktor

penyebab stunting ini dapat disebabkan oleh faktor langsung maupun tidak

langsung. Penyebab langsung dari kejadian stunting adalah asupan gizi dan adanya

penyakit infeksi sedangkan penyebab tidak langsungnya adalah pola asuh, pelayanan

kesehatan, ketersediaan pangan, faktor budaya, ekonomi dan masih banyak lagi

faktor lainnya.

a. Faktor langsung

1. Asupan gizi balita

Asupan gizi yang adekuat sangat diperlukan untuk pertumbuhan dan

perkembangan tubuh balita. Masa kritis ini merupakan masa saat balita akan

mengalami tumbuh kembang dan tumbuh kejar. Balita yang mengalami kekurangan

gizi sebelumnya masih dapat diperbaiki dengan asupan yang baik sehingga dapat

melakukan tumbuh kejar sesuai dengan perkembangannya. Namun apabila

intervensinya terlambat balita tidak akan dapat mengejar keterlambatan

pertumbuhannya yang disebut dengan gagal tumbuh. Balita yang normal

5
kemungkinan terjadi gangguan pertumbuhan bila asupan yang diterima tidak

mencukupi. Penelitian yang menganalisis hasil Riskesdas menyatakan bahwa

konsumsi energi balita berpengaruh terhadap kejadian balita pendek, selain itu pada

level rumah tangga konsumsi energi rumah tangga di bawah rata-rata merupakan

penyebab terjadinya anak balita pendek

b. Penyakit infeksi

Penyakit infeksi merupakan salah satu faktor penyebab langsung stunting,

Kaitan antara penyakit infeksi dengan pemenuhan asupan gizi tidak dapat

dipisahkan. Adanya penyakit infeksi akan memperburuk keadaan bila terjadi

kekurangan asupan gizi. Anak balita dengan kurang gizi akan lebih mudah terkena

penyakit infeksi. Untuk itu penanganan terhadap penyakit infeksi yang diderita

sedini mungkin akan membantu perbaikan gizi dengan diiimbangi pemenuhan

asupan yang sesuai dengan kebutuhan anak balita.

Penyakit infeksi yang sering diderita balita seperti cacingan, Infeksi saluran

pernafasan Atas (ISPA), diare dan infeksi lainnya sangat erat hubungannya dengan

status mutu pelayanan kesehatan dasar khususnya imunisasi, kualitas lingkungan

hidup dan perilaku sehat (Bappenas, 2013). Ada beberapa penelitian yang meneliti

tentang hubungan penyakit infeksi dengan stunting yang menyatakan bahwa diare

merupakan salah satu faktor risiko kejadian stunting pada anak umur dibawah 5

tahun.

6
b.Faktor tidak langsung

1. Ketersediaan pangan

Ketersediaan pangan yang kurang dapat berakibat pada kurangnya

pemenuhan asupan nutrisi dalam keluarga itu sendiri. Rata-rata asupan kalori dan

protein anak balita di Indonesia masih di bawah Angka Kecukupan Gizi (AKG)

yang dapat mengakibatkan balita perempuan dan balita laki-laki Indonesia

mempunyai rata-rata tinggi badan masing-masing 6,7 cm dan 7,3 cm lebih pendek

dari pada standar rujukan WHO 2005 (Bappenas, 2011). Oleh karena itu

penanganan masalah gizi ini tidak hanya melibatkan sektor kesehatan saja namun

juga melibatkan lintas sektor lainnya.

Ketersediaan pangan merupakan faktor penyebab kejadian stunting, ketersediaan

pangan di rumah tangga dipengaruhi oleh pendapatan keluarga, pendapatan keluarga

yang lebih rendah dan biaya yang digunakan untuk pengeluaran pangan yang lebih

rendah merupakan beberapa ciri rumah tangga dengan anak pendek (Sihadi dan

Djaiman, 2011). Penelitian di Semarang Timur juga menyatakan bahwa pendapatan

perkapita yang rendah merupakan faktor risiko kejadian stunting (Nasikhah, 2012).

Selain itu penelitian yang dilakukan di Maluku Utara dan di Nepal menyatakan

bahwa stunting dipengaruhi oleh banyak faktor salah satunya adalah faktor sosial

ekonomi yaitu defisit pangan dalamkeluarga.

2. Status gizi ibu saat hamil

Status gizi ibu saat hamil dipengaruhi oleh banyak faktor, faktor tersebut

dapat terjadi sebelum kehamilan maupun selama kehamilan. Beberapa indikator

pengukuran seperti 1) kadar hemoglobin (Hb) yang menunjukkan gambaran kadar

7
Hb dalam darah untuk menentukan anemia atau tidak; 2) Lingkar Lengan Atas

(LILA) yaitu gambaran pemenuhan gizi masa lalu dari ibu untuk menentukan KEK

atau tidak; 3) hasil pengukuran berat badan untuk menentukan kenaikan berat badan

selama hamil yang dibandingkan dengan IMT ibu sebelum hamil.

Status gizi ibu hamil bisa dinilai dengan

a) Pengukuran LILA

Pengukuran LILA dilakukan pada ibu hamil untuk mengetahui status

KEK ibu tersebut. KEK merupakan suatu keadaan yang menunjukkan

kekurangan energi dan protein dalam jangka waktu yang lama (Kemenkes R.I,

2013). Faktor predisposisi yang menyebabkan KEK adalah asupan nutrisi yang

kurang dan adanya faktor medis seperti terdapatnya penyakit kronis. KEK pada

ibu hamil dapat berbahaya baik bagi ibu maupun bayi, risiko pada saat prsalinan

dan keadaan yang lemah dan cepat lelah saat hamil sering dialami oleh ibu yang

mengalami KEK

Penelitian di Sulawesi Barat menyatakan bahwa faktor yang

berhubungan dengan kejadian KEK adalah pengetahuan, pola makan, makanan

pantangan dan status anemia. Kekurangan energi secara kronis menyebabkan

cadangan zat gizi yang dibutuhkan oleh janin dalam kandungan tidak adekuat

sehingga dapat menyebabkan terjadinya gangguan baik pertumbuhan maupun

perkembangannya. Status KEK ini dapat memprediksi hasil luaran nantinya, ibu

yang mengalami KEK mengakibatkan masalah kekurangan gizi pada bayi saat

masih dalam kandungan sehingga melahirkan bayi dengan panjang badan

pendek. Selain itu, ibu hamil dengan KEK berisiko melahirkan bayi dengan

8
berat badan lahir rendah (BBLR). Hubungan antara stunting dan KEK telah

diteliti di Yogyakarta dengan hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa ibu

hamil dengan riwayat KEK saat hamil dapat meningkatkan risiko kejadian

stunting pada anak balita umur 6-24 bulan.

b) Kadar Hemoglobin

Anemia pada saat kehamilan merupakan suatu kondisi terjadinya

kekurangan sel darah merah atau hemoglobin (Hb) pada saat kehamilan. Ada

banyak faktor predisposisi dari anemia tersebut yaitu diet rendah zat besi,

vitamin B12, dan asam folat, adanya penyakit gastrointestinal, serta adanya

penyakit kronis ataupun adanya riwayat dari keluarga sendiri.

Ibu hamil dengan anemia sering dijumpai karena pada saat kehamilan keperluan

akan zat makanan bertambah dan terjadi perubahan-perubahan dalam darah dan

sumsum tulang (Wiknjosastro, 2009). Nilai cut-off anemia ibu hamil adalah bila

hasil pemeriksaan Hb <11,0 g/dl.

Akibat anemia bagi janin adalah hambatan pada pertumbuhan janin, bayi

lahir prematur, bayi lahir dengan BBLR, serta lahir dengan cadangan zat besi

kurang sedangkan akibat dari anemia bagi ibu hamil dapat menimbulkan

komplikasi, gangguan pada saat persalinan dan dapat membahayakan kondisi

ibu seperti pingsan, bahkan sampai pada kematian. Kadar hemoglobin saat ibu

hamil berhubungan dengan panjang bayi yang nantinya akan dilahirkan,

semakin tinggi kadar Hb semakin panjang ukuran bayi yang akan dilahirkan

(Ruchayati, 2012). Prematuritas, dan BBLR juga merupakan faktor risiko

kejadian stunting, sehingga secara tidak langsung anemia pada ibu hamil

dapat menyebabkan kejadian stunting pada balita.

9
c) Kenaikan berat badan ibu saat hamil

Penambahan berat badan ibu hamil dihubungkan dengan IMT saat

sebelum ibu hamil. Apabila IMT ibu sebelum hamil dalam status kurang gizi

maka penambahan berat badan seharusnya lebih banyak dibandingkan dengan

ibu yang status gizinya normal atau status gizi lebih. Penambahan berat badan

ibu selama kehamilan berbeda pada masing–masing trimester. Pada trimester

pertama berat badan bertambah 1,5-2 Kg, trimester kedua 4-6 Kg dan trimester

ketiga berat badan bertambah 6-8 Kg. Total kenaikan berat badan ibu selama

hamil sekitar 9- 12 Kg.

Pertambahan berat badan saat hamil merupakan salah satu faktor yang

mempengaruhi status kelahiran bayi. Penambahan berat badan saat hamil perlu

dikontrol karena apabila berlebih dapat menyebabkan obesitas pada bayi

sebaliknya apabila kurang dapat menyebabkan bayi lahir dengan berat badan

rendah, prematur yang merupakan faktor risiko kejadian stunting pada anak

balita.

3. Berat badan lahir

Berat badan lahir sangat terkait dengan pertumbuhan dan perkembangan

jangka panjang anak balita, pada penelitian yang dilakukan oleh Anisa (2012)

menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara berat lahir dengan

kejadian stunting pada balita di Kelurahan Kalibaru. Bayi yang lahir dengan berat

badan lahir rendah (BBLR) yaitu bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari

10
2500 gram, bayi dengan berat badan lahir rendah akan mengalami hambatan pada

pertumbuhan dan perkembangannya serta kemungkinan terjadi kemunduran fungsi

intelektualnya selain itu bayi lebih rentan terkena infeksi dan terjadi hipotermi

Banyak penelitian yang telah meneliti tentang hubungan antara BBLR dengan

kejadian stunting diantaranya yaitu penelitian di Klungkung dan di Yogyakarta

menyatakan hal yang sama bahwa ada hubungan antara berat badan lahir dengan

kejadian stunting (Sartono, 2013). Selain itu, penelitian yang dilakukan di Malawi

juga menyatakan prediktor terkuat kejadian stunting adalah BBLR (Milman, 2005).

4. Panjang badan lahir

Asupan gizi ibu yang kurang adekuat sebelum masa kehamilan

menyebabkan gangguan pertumbuhan pada janin sehingga dapat menyebabkan bayi

lahir dengan panjang badan lahir pendek. Bayi yang dilahirkan memiliki panjang

badan lahir normal bila panjang badan lahir bayi tersebut berada pada panjang 48-52

cm. Panjang badan lahir pendek dipengaruhi oleh pemenuhan nutrisi bayi tersebut

saat masih dalam kandungan.

Penentuan asupan yang baik sangat penting untuk mengejar panjang badan yang

seharusnya. Berat badan lahir, panjang badan lahir, umur kehamilan dan pola asuh

merupakan beberapa faktor yang mempengaruhi kejadian stunting. Panjang badan

lahir merupakan salah satu faktor risiko kejadian stunting pada balita.

11
5. ASI Eksklusif

ASI Eksklusif menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33

tahun 2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif adalah pemberian ASI tanpa

menambahkan dan atau mengganti dengan makanan atau minuman lain yang

diberikan kepada bayi sejak baru dilahirkan selama 6 bulan (Kemenkes R.I, 2012).

Pemenuhan kebutuhan bayi 0-6 bulan telah dapat terpenuhi dengan pemberian

ASI saja. Menyusui Eksklusif juga penting karena pada umur ini, makanan selain

ASI belum mampu dicerna oleh enzim-enzim yang ada di dalam usus selain itu

pengeluaran sisa pembakaran makanan belum bisa dilakukan dengan baik karena

ginjal belum sempurna (Kemenkes R.I, 2012). Manfaat dari ASI Eksklusif ini

sendiri sangat banyak mulai dari peningkatan kekebalan tubuh, pemenuhan

kebutuhan gizi, murah, mudah, bersih, higienis serta dapat meningkatkan jalinan

atau ikatan batin antara ibu dan anak.

Penelitian yang dilakukan di Kota Banda Aceh menyatakan bahwa kejadian

stunting disebabkan oleh rendahnya pendapatan keluarga, pemberian ASI yang tidak

Eksklusif, pemberian MP-ASI yang kurang baik, imunisasi yang tidak lengkap

dengan faktor yang paling dominan pengaruhnya adalah pemberian ASI yang tidak

Eksklusif. Hal serupa dinyatakan pula oleh Arifin pada tahun 2012 dengan hasil

penelitian yang menyatakan bahwa kejadian stunting dipengaruhi oleh berat badan

saat lahir, asupan gizi balita, pemberian ASI, riwayat penyakit infeksi,

pengetahuan gizi ibu balita, pendapatan keluarga, jarak antar kelahiran namun faktor

yang paling dominan adalah pemberian ASI. Berarti dengan pemberian ASI

Eksklusif kepada bayi dapat menurunkan kemungkinan kejadian stunting pada

balita.

12
6. MP-ASI

Pengertian dari MP-ASI menurut WHO adalah makanan/minuman selain

ASI yang mengandung zat gizi yang diberikan selama pemberian makanan peralihan

yaitu pada saat makanan/ minuman lain yang diberikan bersamaan dengan

pemberian ASI kepada bayi. Makanan pendamping ASI adalah makanan tambahan

yang diberikan pada bayi setelah umur 6 bulan. Jika makanan pendamping ASI

diberikan terlalu dini (sebelum umur 6 bulan) akan menurunkan konsumsi ASI dan

bayi bisa mengalami gangguan pencernaan. Namun sebaliknya jika makanan

pendamping ASI diberikan terlambat akan mengakibatkan bayi kurang gizi, bila

terjadi dalam waktu panjang. Standar makanan pendamping ASI harus

memperhatikan angka kecukupan gizi (AKG) yang dianjurkan kelompok umur dan

tekstur makanan sesuai perkembangan umur bayi.

Penelitian yang dilakukan di Purwokerto, menyatakan bahwa umur makan

pertama merupakan faktor resiko terhadap kejadian stunting pada balita. Pemberian

MP-ASI terlalu dini dapat meningkatkan risiko penyakit infeksi seperti diare hal ini

terjadi karena MP-ASI yang diberikan tidak sebersih dan mudah dicerna seperti ASI.

Zat gizi seperti zink dan tembaga serta air yang hilang selama diare jika tidak

diganti akan terjadi malabsorbsi zat gizi selama diare yang dapat menimbulkan

dehidrasi parah, malnutrisi, gagal tumbuh bahkan kematian.

13
Penilaian stunting secara antropometri

Untuk menentukan stunting pada anak dilakukan dengan cara pengukuran.

Pengukuran tinggi bada menurut umur dilakukan pada anak umur diatas dua tahun.

Antropometri merupakan ukuran dari tubuh sedangkan antropometri gizi adalah

jenis pengukuran dari beberapa bentuk tubuh dan komposisi tubuh menurut umur dan

tingkatan gizi, yang digunakan untuk mengetahui ketidakseimbangan energi dan

protein. Antropometri dilakukan untuk pengukuran pertumbuhan tinggi badan dan

berat badan.

Standar digunakan untuk standarisasi pengukuran berdasarkan rekomendasi

National Canter of Health Statistics (NCHS) dan WHO. Standarisasi pengukuran ini

membandingkan pengukuran anak dengan median, dan standar deviasi atau Z-score

adalah unit standar deviasi untuk mengetahui perbedaan Antara nilai individu dan

nilai tengah (median) populasi referent untuk umur/tinggi yang sama, dibagi dengan

standar deviasi dari nilai populasi rujukan. Beberapa keuntungan penggunaan Z-

score antara lain untuk mengidentifikasi nilai yang tepat dalam distribusi perbedaan

indeks dan peredaan umur, juga memberikan manfaat untuk menarik kesimpulan

secara statistic dari pengakuan antropometri.

Indikator antropometrik seperti tinggi badan menurut umur adalah penting

dalam mengevaluasi kesehatan dan status gizi anak-anak pada wilayah dengan

banyak masalah gizi buruk. Dalam menentukan klasifikasi gizi kurang dengan

stunting sesuai dengan “Cut off point”, dengan penilaian Z-score, dan pengukuran

pada anak balita berdasarkan tinggi badan menurut umur (TB/U) standar baku

WHO-NCHS.

14
Berikut Klasifikasi status gizi stunting berdasarkan indikator TB/U:

a. Sangat pendek : Z-score < -3,0

b. Pendek : Z-score < -2,0 s.d Z-score ≥ -3,0

c. Normal : Z-score ≥ -2,0

C. Dampak stunting

Dampak buruk yang dapat ditimbulkan oleh masalah gizi pada periode

tersebut, dalam jangka pendek adalah terganggunya perkembangan otak, kecerdasan,

gangguan pertumbuhan fisik, dan gangguan metabolisme dalam tubuh. Sedangkan

dalam jangka panjang akibat buruk yang dapat ditimbulkan adalah menurunnya

kemampuan kognitif dan prestasi belajar, menurunnya kekebalan tubuh sehingga

mudah sakit, dan risiko tinggi untuk munculnya penyakit diabetes, kegemukan,

penyakit jantung dan pembuluh darah, kanker, stroke, dan disabilitas pada usia

tua, serta kualitas kerja yang tidak kompetitif yang berakibat pada rendahnya

produktivitas ekonomi

Masalah gizi, khususnya anak pendek, menghambat perkembangan anak

muda, dengan dampak negatif yang akan berlangsung dalam kehidupan selanjutnya.

Studi menunjukkan bahwa anak pendek sangat berhubungan dengan prestasi

pendidikan yang buruk, lama pendidikan yang menurun dan pendapatan yang rendah

sebagai orang dewasa. Anak-anak pendek menghadapi kemungkinan yang lebih

besar untuk tumbuh menjadi orang dewasa yang kurang berpendidikan, miskin,

kurang sehat dan lebih rentan terhadap penyakit tidak menular. Oleh karena itu, anak

pendek merupakan prediktor buruknya kualitas sumber daya manusia yang diterima

secara luas, yang selanjutnya menurunkan kemampuan produktif suatu bangsa di

masa yang akan datang.

15
Stunting memiliki konsekuensi ekonomi yang penting untuk laki-laki dan perempuan

di tingkat individu, rumah tangga dan masyarakat. Bukti yang menunjukkan

hubungan antara perawakan orang dewasa yang lebih pendek dan hasil pasar tenaga

kerja seperti penghasilan yang lebih rendah dan produktivitas yang lebih buruk .

Anak-anak stunting memiliki gangguan perkembangan perilaku di awal kehidupan,

cenderung untuk mendaftar di sekolah atau mendaftar terlambat, cenderung untuk

mencapai nilai yang lebih rendah, dan memiliki kemampuan kognitif yang lebih

buruk daripada anak-anak yang normal. Efek merusak ini diperparah oleh interaksi

yang gagal terjadi. Anak yang terhambat sering menunjukkan perkembangan

keterampilan motorik yang terlambat seperti merangkak dan berjalan, apatis dan

menunjukkan perilaku eksplorasi kurang, yang semuanya mengurangi interaksi

dengan teman dan lingkungan

D. 1000 Hari Pertama Kehidupan

Masa 1000 hari pertama kehidupan dimulai sejak pertama kali terjadinya
pembuahan, atau terbentuknya janin dalam kandungan, hingga bayi berusia 2 tahun.
Momen ini merupakan waktu tepat untuk membangun fondasi kesehatan jangka panjang.
Membentuk gaya hidup sehat dan memenuhi asupan nutrisi seimbang sebaiknya mulai
diterapkan sejak awal masa kehamilan. Dalam jangka panjang, hal ini dapat bisa
mencegah anak mengalami kekurangan gizi, tubuh pendek, diabetes, dan obesitas.
Masa 1000 HPK sangat penting bagi tumbuh kembang anak dan dapat
menentukan perkembangan kecerdasan secara jangka panjang. Tidak optimalnya
perkembangan otak pada masa ini juga akan berpengaruh terhadap kehidupan buah hati
di masa depan. Setelah lahir, dua tahun pertama merupakan masa yang sangat vital
dalam perkembangan kemampuan makan anak. Pada masa ini, perlu memperhatikan
jenis makanan, bentuk makanan, porsi, serta frekuensi makanan yang diberikan kepada
anak.

16
Stimulasi dari lingkungan sekitar juga sangat penting pada 1000 HPK ini sejak
dalam kandungan hingga dua tahun pertama. Stimulasi harus dilakukan sejak dini dan
berulang-ulang supaya pembentukan sinaps (hubungan antarsel saraf otak) semakin kuat.
Nutrisi, stimulasi, dan kasih sayang yang cukup dapat membantu pembentukan sinaps
otak cukup banyak. Kebersihan dan peralatan makan buah hati juga sebaiknya
diperhatikan. Jika kebersihan tidak dijaga, anak akan berisiko mengalami gangguan
pertumbuhan yang tidak optimal, seperti diare dan infeksi saluran napas yang biasanya
menyerang bayi.

Untuk memenuhi kebutuhan makanan sehat, ada lima kelompok makanan yang
perlu dipenuhi asupannya, yaitu biji-bijian, buah-buahan, sayuran, daging, dan susu.
Kelompok makanan tersebut berperan penting dalam proses kehamilan karena kaya
nutrisi sebagai berikut:
1. Asam folat
Nutrisi ini sangat penting untuk dikonsumsi, khususnya saat kehamilan.
Pemenuhan kebutuhan asam folat ini tidak cukup melalui makanan saja,tapi bisa
memperoleh asupan asam folat melalui berbagai suplemen yang diberikan dokter
kandungan.

2. Zat besi
Zat besi berguna untuk meningkatkan volume darah untuk mengantarkan oksigen
ke janin. Kebutuhan zat besi harian selama hamil bisa diperoleh dari makanan
seperti daging merah, ikan, kacang hijau, dan bayam.
3. Omega 3 & DHA
Sumber makanan ini sangat penting dalam perkembangan otak janin sejak di dalam
kandungan hingga lahir, bisa mendapatkan sumber makanan ini dari konsumsi ikan

4. Lemak dan minyak


Lemak merupakan salah satu bahan pembentuk janin dan plasenta serta berperan
sebagai sumber energi. Sumber lemak dan minyak bisa didapatkan dari bahan
makanan yang mengandung protein nabati.

17
5. Kalsium dan vitamin D
Kalsium dan vitamin D sangat penting untuk pembentukan tulang dan gigi janin.
Keduanya juga berfungsi untuk menyehatkan kulit dan mata. Zat ini bisa
didapatkan dari asupan kalsium dan vitamin D dari susu dan berbagai produk
turunannya.
6. ASI eksklusif
ASI merupakan asupan terbaik bagi anak. Hebatnya lagi, ASI menyesuaikan
dengan usia janin. Kalau misalnya janin lahir prematur, kualitas ASI-nya akan
sesuai untuk bayi prematur. Selain berfungsi membangun kekebalan tubuh, bayi
yang mengkonsumsi ASI tidak akan terkena infeksi.
Karena itu, sebaiknya ibu mempersiapkan kualitas ASI sejak masa kehamilan.
Ini bisa dilakukan dengan mencukupi asupan gizi harian demi kualitas ASI terbaik
setelah anak lahir. Memberikan makanan yang baik, menciptakan situasi yang baik, dan
menjaga buah hati tetap berada di lingkungan yang baik adalah faktor penting yang
sebaiknya diperhatikan dalam 1000 hari pertama kehidupan anak. Inilah awal tumbuh
kembang anak yang kemudian akan berdampak terhadap kecerdasan dan kesehatannya
pada masa mendatang.

Hal terpenting pada masa kehamilan adalah memperhatikan gizi yang


dibutuhkan ibu dan janin. Kebutuhan gizi ibu hamil akan meningkat pada masa
kehamilan, khususnya kebutuhan energi, protein, serta beberapa jenis vitamin dan
mineral. Selain itu, juga perlu memperhatikan jumlah asupan makanan. Kualitas
makanan adalah kuncinya 1000 HPK. Ibu hamil juga harus memperhatikan panduan
menyusun menu seimbang selama masa kehamilan, khususnya pada trimester pertama
yang mencakup:

 Konsumsi berbagai jenis buah, setidaknya 2 porsi per hari.


 Sayuran hijau dan oranye sebanyak 2,5 porsi per hari.
 Sumber energi kompleks seperti nasi, biskuit, roti, kentang, singkong.
 Asupan protein bagian yang rendah lemak 5,5 porsi per hari.
 Susu rendah lemak atau bebas lemak sebanyak 1-3 porsi per hari.

Tidak memenuhi nutrisi optimal pada 1000 HPK anak bisa berdampak buruk
terhadap pertumbuhan otak yang tidak optimal. Jika pertumbuhan otak tidak optimal,

18
perkembangan kognitif anak pun akan terhambat. Ini dapat berakibat berkurangnya
kecerdasan buah hati serta ketangkasan berpikirnya. Ketika dewasa, hal ini dapat
berisiko buah hati tidak berprestasi saat di sekolah dan tidak produktif saat bekerja.
Kualitas hidup buah hati di masa depan sangat dipengaruhi gizi yang diterima selama
1.000 HPK. Inilah yang menjadikan masa 1.000 HPK disebut sebagai periode emas
untuk membangun dasar tumbuh kembang buah hati yang solid.

E. Kebijakan Pemerintah Terkait Stunting

Berdasarkan Peraturan Presiden nomor 72 tahun 2021 tentang percepatan


penurunan stunting terdapat Strategi Nasional Percepatan Penurunan Stunting berupa 5
(lima) pilar yang berisikan kegiatan untuk Percepatan Penurunan stunting dalam rangka
pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan melalui pencapaian target nasional
prevalensi Stunting yang diukur pada anak berusia di bawah 5 (lima) tahun.
Pelaksanaan Percepatan Penurunan Stunting dengan kelompok sasaran meliputi:
a. Remaja
b. calon pengantin
c. ibu hamil
d. ibu menyusui
e. anak berusia O (nol) - 59 (lima puluh sembilan) bulan.
Pilar dalam Strategi Nasional Percepatan Penurunan Stunting meliputi:
a. Peningkatan komitmen dan visi kepemimpinan di kementerian/lembaga,
Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten kota, dan Pemerintah
Desa
b. Peningkatan komunikasi perubahan perilaku dan pemberdayaan masyarakat
c. Peningkatan konvergensi Intervensi Spesifik dan Intervensi Sensitif di
kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah
kabupaten/kota, dan Pemerintah Desa
d. Peningkatan ketahanan pangan dan gizi pada tingkat individu, keluarga, dan
masyarakat
e. Penguatan dan pengembangan sistem, data, informasi, riset, dan inovasi.

19
Dalam pelaksanaan Strategi Nasional Percepatan Penurunan Stunting, disusun
rencana aksi nasional melalui pendekatan keluarga berisiko Stunting. Rencana aksi
nasional sebagaimana dimaksud ditetapkan oleh Kepala Badan setelah dikoordinasikan
dengan pimpinan kementerian/ lembaga terkait yang terdiri atas kegiatan prioritas yang
paling sedikit mencakup:
a. penyediaan data keluarga berisiko stunting
b. pendampingan keluarga berisiko Sfimting
c. pendampingan semua calon pengantin / calon Pasangan Usia Subur (PUS)
d. surveilans keluarga berisiko Stunting
e. audit kasus Stunting.
Rencana aksi nasional tersebut dilaksanakan oleh kementerian/lembaga, Pemerintah
Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupatenfkota, Pemerintah Desa, dan Pemangku
Kepentingan dalam pelaksanaan Percepatan Penurunan Shtnting.

Penyediaan data keluarga berisiko Stunting bertujuan untuk menyediakan data


operasional melalui:
a. penapisan kesehatan reproduksi bagi calon pengantin/calon Pasangan Usia Subur
(PUS) 3 (tiga) bulan pranikah
b. penapisan ibu hamil
c. penapisan keluarga terhadap ketersediaan pangan, pola makan, dan asupan gizi
d. penapisan keluarga dengan Pasangan Usia Subur (PUS) pascapersalinan dan pasca
keguguran
e. penapisan keluarga terhadap pengasuhan anak berusia di bawah lima tahun (balita)
f. penapisan keluarga terhadap kepemilikan sarana jamban dan air bersih
g. penapisan keluarga terhadap kepemilikan sarana rumah sehat.

Pendampingan keluarga berisiko Stunting bertujuan untuk meningkatkan akses


informasi dan pelayanan melalui:
a. Penyuluhan
b. fasilitasi pelayanan rujukan
c. fasilitasi penerimaan program bantuan sosial.

20
Pendampingan semua calon pengantin wajib diberikan 3 (tiga) bulan pranikah sebagai
bagian dari pelayanan nikah. Surveilans keluarga berisiko Stunting digunakan sebagai
pertimbangan pengambilan tindakan yang dibutuhkan dalam Percepatan Penurunan
Stunting. Audit kasus Stunting bertujuan untuk mencari penyebab terjadinya kasus
Stunting sebagai upaya pencegahan terjadinya kasus serupa.

21
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Stunting merupakan gangguan gizi kronis yang berakibat kegagalan


pertumbuhan dan perkembangan. Hal ini disebabkan karena gangguan gizi yang dimulai
sejak kehamilan sampai usia anak dua tahun. Penyebab stunting dibedakan menjadi 2
yaitu penyebab langsung dan penyebab tidak langsung. Banyak peneliatian
menyebutkan bahwa stunting terjadi pada belita dari keluarga dengan status ekonomi
rendah, pendidikan rendah, penyakit infeksi, dan sanitasi lingkungan yang tidak\ baik.
Dampak stunting wajib diwaspadai karena mempengaruhi tumbuh kembang
anak secara langsung bukan hanya tinggi badan yang kurangtapi juga berdampak pada
perkembangan otak. Pengaruhnya terlihat pada kemampuan kognitif ataupun kegiatan
yang melibatkan mental atau otak. Ini tentu mempengaruhi proses belajar anak di
sekolah dan di rumah, sekaligus membuat mereka sulit bergaul dan bermain bersama
teman sebaya. Dampak stunting tidak hanya dirasakan saat kecil tapi akan terus terasa
sampai dewasa. Anak stunting meningkatkan resiko diabetesi disaat dewasa.
Terkait kebijakan penanganan stunting kementerian kesehatan memperluas
lokus intervensi stunting. Kementerian keuangan juga mengucurkan anggaran baik
melalui mekanisme belanja kementerian /lembaga maupun mekanisme Transfer ke
Daerah dan Dana Desa (TKDD). sejalan dengan itu, Kemendes juga memasukkan
pencegahan stunting sebagai salah satu prioritas penggunaan dana desa. Pemerintah
daerah juga berperan sangat penting sebagai ujung tombak penanganan stunting.

B. Saran

Pada perjalanannya, pelaksanaan penurunanstunting diberbagai daerah masih


banyak yang belum optimal, hal ini disebabkan karena kurangnya kordinasi lintas sektor
dan kurangnya pemahaman daerah dan desa atas program program penanggualangan
stunting. Sehingga diperlukan sinergi terfokus antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah. Pemerintah daerah perlu memahami, mengenali dan berkomitmen dal\am

22
menyususn program penanggualangan stunting. Selain itu pemahaman akan bahaya
stunting perlu diketahui disampaikan ke berbagai pihak untuk mengoptimalkan peran
masing masing. Apabila diperlukan , inovasi kebijakan sangat mungkin untuk
dilakukan, dengan memperhatikan kearifan lokal di wila\yah masing masinguntuk
mencapai target penanganan stunting di Indonesia di 2024

23
Daftar Pustaka

1. Trihono et al. Pendek (Stunting) Di Indonesia, Masalah Dan Solusinya, Badan


Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2015
2. UNICEF, WHO & Group, W. B. Levels and Trends in Child Malnutrition. Joint
Child Malnutrition (2018).
3. Masyarakat, D. G. Buku Saku Pemantauan Status Gizi Tahun 2022.
4. Dewi, E. K. & Nindya, T. S. Hubungan Tingkat Kecukupan Zat Besi dan Seng
dengan Kejadian Stunting pada Balita 6-23 Bulan. Amerta Nur, 2017.
5. Andriani, M. & Wirjatmadi, B. Peranan Gizi Dalam Siklus Kehidupan. Kencana,
2012.
9. Par’i, H. M. Penilaian Status Gizi : Dilengkapi Proses Asuhan Gizi Terstandar.
EGC, 2017.
10. Cakrawati, D. & NH, M. Bahan Pangan Gizi dan Kesehatan. Alfabeta, 2012.
11. Muchtadi, D. Pengantar Ilmu Gizi. Alfabeta, 2009.
12. Yuniastuti, A. Nutrisi Mikromineral dan Kesehatan. Unnes Press, 2014.
13. Mann, J. & Truswell, A. S. Buku Ajar Ilmu Gizi. Penerbit Buku Kedokteran EGC,
2014.
14. Gandy, J. W., Madden, A. & Holdsworth, M. Gizi dan Dietetik. Penerbit Buku
Kedokteran EGC, 2016.
24. Gibney, M. J., Margetts, B. M., Kearney, J. M. & Arab, L. Gizi Kesehatan
Mayarakat. (Penrbit Buku Kedokteran EGC, 2009).
26. Supariasa, I. D. N., Bakri, B. & Fajar, I. Penilaian Status Gizi. (Penerit Buku
Kedokteran EGC, 2013).

24

Anda mungkin juga menyukai