Anda di halaman 1dari 10

SESI 1B

Undang-undang dan Konvensi Perlindungan Anak

Pengantar

Dalam materi sebelumnya tentang “Persepsi dan Respons dalam Mendisiplinkan


Anak”, dapat dilihat bahwa berdasarkan Data sistem informasi online perlindungan
perempuan dan anak (SIMFONI PPA) tahun 2019, ada banyak kasus kekerasan terhadap
anak. Selama tahun 2019, terjadi 8.488 kasus kekerasan terhadap anak. Dari total kasus
tersebut, 5650 kasus terjadi pada anak perempuan dan 2838 kasus terjadi pada anak
laki-laki. Kekerasan seksual paling banyak terjadi pada anak perempuan, sebesar 4.063
kasus, sedangkan pada anak laki-laki kekerasan fisik yang paling banyak dialami, sebesar
1.553 kasus. Jika dipilah berdasarkan tempat terjadinya kekerasan, data SIMFONI PPA
2019 menunjukkan bahwa kasus kekerasan terbesar itu terjadi di rumah, total kasus
3.648, kemudian di masyarakat dengan 747 kasus, 1.405 kasus dan di sekolah dengan
747 kasus. Kasus-kasus kekerasan di sekolah menurut KPPPA seringkali tersamarkan
lewat pemberian hukuman dengan dalih “demi disiplin”.

Dari uraian di atas terlihat bahwa anak (selain perempuan) adalah kelompok yang
paling rentan terhadap kekerasan. Sebagai kelompok yang rentan terhadap kekerasan,
maka anak perlu dilindungi. Pertanyaannya adalah upaya perlindungan seperti apa yang
dapat diberikan kepada anak? Salah satu upaya perlindungan yang bisa diberikan kepada
anak adalah melalui hukum. Hukum dapat menjadi salah satu instrument yang digunakan
untuk melindungi anak. Menurut Nawawi1, perlindungan hukum bagi anak dapat diartikan
sebagai upaya perlindungan hukum terhadap anak dari berbagai kekerasan dan
melindungi hak anak serta berbagai upaya yang berhubungan dengan kesejahteraan
anak. Menurut Arief Gosita2, perlindungan anak merupakan suatu usaha mengadakan
kondisi dan situasi yang memungkinkan pelaksanaan hak dan kewajiban anak secara
manusiawi.

Dalam konteks perlindungan anak, khususnya dari segi hukum, pemerintaha


Indonesia telah meratifikasi konvensi hak anak (convention on the Rights of the Children)
melalui KEPPRES Nomor 36 tahun 1990. UU Nomor 5 tahun 1998 dikeluarkan dalam
rangka meratifikasi konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman
lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia. Selain kedua
regulasi di atas, pemerintah Indonesia juga telah memperbaharui UU. Nomor 23 tahun
2002 tentang Perlindungan Anak dengan UU. Nomor 35 tahun 2014.

1
Arief, Barda Nawawi. 1996. “Masalah Perlindungan Hukum Bagi Anak”. Makalah. Disampaikan pada Seminar
Nasional Peradilan Anak. Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Bandung, 5 Oktober 1996. hal 3.
2
Gosita, Arief. 1993. Masalah Korban Kejahatan. Jakarta: Akademindo Pressindo. hal 76.

1
Pengertian Anak

Ada berbagai definisi tentang anak, baik yang dikemukakan oleh para ahli maupun
yang tertuang dalam regulasi. John Lock, mengatakan bahwa anak merupakan pribadi
yang masih bersih dan peka terhadap rangsangan-rangsangan yang berasal dari
lingkungan. Sedangkan Agustinus mengatakan bahwa anak tidaklah sama dengan orang
dewasa, anak mempunyai kecenderungan untuk menyimpang dari hukum dan ketertiban
yang disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan dan pengertian terhadap realitas
kehidupan, anak-anak lebih mudah belajar dengan contoh-contoh yang diterimanya dari
aturan-aturan yang bersifat memaksa3.
Ukuran yang biasanya digunakan dalam menentukan apakah seseorang disebut
sebagai anak atau orang dewasa, adalah usia. Batasan usia untuk menentukan apakah
seseorang dikategorikan sebagai anak atau orang dewasa biasanya berbeda di setiap
negara. Di Amerika misalnya, batasan usia untuk anak adalah antara 8-18 tahun,
sedangkan Australia menentukan batas umur antara 8-16 tahun. Inggris menentukan
antara 12-16 tahun untuk usia anak, sedangkan Srilangka disebut anak jika berusia 8-
16 tahun, Jepang dan Korea antara 14-20 tahun, Taiwan menentukan batasan anak
antara usia 14-18 tahun, Kamboja 15-18 tahun dan negara-negara ASEAN seperti
Malaysia 7-18 tahun, Singapura 7-16 tahun4.
Bagaimana Indonesia? Undang-Undang Nomor 25 tahun 1997 tentang
Ketenagakerjaan, Pasal 1 angka 20, anak adalah orang laki-laki atau wanita yang
berumur kurang dari 15 tahun. UU RI nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang, pasal 1 angka 5, anak adalah seseorang yang belum
berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Menurut
UU Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, pasal 1 angka 1, anak adalah orang
yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum
mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. UU Nomor 35 tahun
2014 tentang Perlindungan Anak, anak dilihat sebagai seseorang yang belum berusia
18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Dari uraian di atas, maka di Indonesia anak adalah seseorang yang belum berusia
18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Konvensi Hak Anak


Konvensi Hak Anak merupakan wujud nyata atas upaya perlindungan terhadap
anak, agar hidup anak menjadi lebih baik. Sejak Indonesia meratifikasi Konvensi Hak Anak
di Tahun 1990 banyak kemajuan yang telah ditunjukkan oleh pemerintah Indonesia
dalam melaksanakan Konvensi Hak Anak. Dalam menerapkan Konvensi Hak Anak, negara

3
MonHan. Hukum International Mengenai Perlindungan Hak Anak. Diakses dari https://kumparan.com/
monhan/hukum-internasional-mengenai-perlindungan-hak-anak/full. Tanggal 22 Juli 2020, pukul 18.35 WIB.
4
Diakses dari http://eprints.undip.ac.id/46181/3/DEBY_PRISCIKA_PUTRI_22010111110152_LapKTI_BAB2. pdf.
Tanggal 22 Juli 2020 WIB, pukul 13.18 WIB.

2
peserta konvensi berkewajiban untuk melaksanakan ketentuan dan aturan-aturannya
dalam kebijakan, program dan tata laksana pemerintahannya.
Konvensi Hak Anak merupakan sebuah perjanjian yang mengikat, yang artinya
ketika disepakati oleh suatu negara, maka negara tersebut terikat pada janji-janji yang
ada di dalamnya dan negara wajib untuk melaksanakannya. Konvensi Hak Anak
merupakan sebuah perjanjian hukum international tentang hak-hak anak. Konvensi ini
secara sederhana dapat dikelompokkan kedalam 3 hal. Pertama, mengatur tentang pihak
yang berkewajiban menanggung tentang hak yaitu negara. Kedua, pihak penerima hak
yaitu anak-anak. Ketiga, memuat tentang bentuk-bentuk hak yang harus dijamin untuk
dilindungi, dipenuhi dan ditingkatkan.5
Dalam sejarahnya, Konvensi Hak Anak pertama kali digagas oleh Eglante Jebb pada
1923 lewat Deklarasi Hak Anak yang berisi 10 butir pernyataan hak anak. Lima tahun
kemudian deklarasi tersebut diadopsi oleh Liga Bangsa-Bangsa dan dikenal dengan
sebutan Deklarasi Jenewa. Majelis umum PBB kemudian ikut mengadopsinnya pada
1948. Pada 1979, dibentuk sebuah kelompok kerja untuk membuat rumusan Konvensi
Hak Anak. 10 tahun kemudian, konvensi tersebut diadopsi oleh Majelis Umum PBB dan
akhirnya pada 2 September 1990 Konvensi Hak Anak mulai diberlakukan.
Konvensi Hak Anak berisi 54 pasal. Komite Hak Anak PBB mengelompokkan
Konvensi Hak Anak ke dalam 8 klaster, yang berisi Langkah-langkah implementasi umum,
definisi anak, prinsip-prinsip umum, hak-hak sipil dan Kemerdekaan, lingkungan keluarga
dan pengasuhan pengganti, kesehatan dan kesejahteraan dasar, pendidikan, waktu luang
dan kegiatan budaya dan langkah-langkah perlindungan khusus.
Menurut Nanang Ajim, Konvensi di atas memuat tentang hak-hak anak, yang dapat
dikelompokkan dalam 4 golongan, yaitu6:
1. Hak Kelangsungan Hidup, hak untuk
melestarikan dan mempertahankan
hidup dan hak memperoleh standar
kesehatan tertinggi dan perawatan
yang sebaik-baiknya. Apakah kamu
tahu nama lengkap kedua orang
tuamu? Apakah kamu tahu asal usul
kedua orang tuamu? Apakah kamu
tahu asal usul keluargamu? Setiap
anak berhak tahu keluarganya dan
identitas dirinya.
2. Hak Perlindungan, perlindungan dari diskriminasi, eksploitasi, kekerasan, dan
keterlantaran. Kamu memiliki hak yang sama dengan anak-anak lain untuk
melakukan kegiatan keagamaanmu, atau melakukan kegiatan perayaan tradisimu.

5
Diakses dari https://satunama.org/2201/konvensi-hak-anak-dan-aplikasinya-di-indonesia/, tanggal 22 Juli
2020, pukul 18.42 WIB.
6
Ajim, Nanang. Konvensi Hak-Hak Anak dan Hak Seorang Siswa. Diakses dari https://www.mikirbae.com
/2017/12/konvensi-hak-hak-anak-dan-hak-seorang.html, tanggal 22 Juli 2020, pukul 18.47

3
Sebagai seorang anak kamu belum boleh bekerja, dan kamu berhak diperlakukan
secara baik tanpa kekerasan.
3. Hak Tumbuh Kembang, hak memperoleh pendidikan dan hak mencapai standar
hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral, dan sosial.
Kamu memiliki hak untuk sekolah, mendapatkan tempat tinggal, mendapatkan
makanan dan minuman yang layak. Hakmu adalah bermain dan mendapatkan
istirahat yang cukup, karena hal itu diperlukan untuk pertumbuhan dan
perkembanganmu sebagai seorang anak.
4. Hak Berpartisipasi, hak untuk menyatakan pendapat dalam segala hal yang
memengaruhi anak. Kamu mempunyai hak untuk mendapatkan informasi yang
sesuai dengan usiamu. Kamu juga berhak untuk memberikan pendapat jika itu
berhubungan dengan kehidupanmu sebagai seorang anak.

Memahami UU Nomor 35/2014 Tentang Perlindungan Anak

Telah disebutkan sebelumnya, bahwa menurut UU nomor 35 tahun 2014 (yang


merupakan amandemen terhadap UU No. 23 tahun 2002) tentang perlindungan anak,
anak adalah seorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang
masih dalam kandungan. Melalui UU ini, negara memberikan jaminan perlindungan bagi
anak. Dalam Pasal 1 disebutkan “Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk
menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang,
dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” Dari pasal ini terlihat jelas
bahwa anak berhak mendapat perlindungan dari kekerasan, yang artinya seseorang yang
menggunakan kekerasan pada anak akan mendapat konsekuensi hukum berdasarkan UU
yang berlaku. Sebagaimana telah dijelaskan pada materi sebelumnya bahwa hukuman
adalah bentuk kekerasan pada anak. Oleh karena itu, guru atau orang tua yang
menggunakan hukuman pada anak berpotensi melanggar UU.

Apakah hukuman yang diberikan guru di sekolah bisa dipidanakan?


Masih banyak guru bahkan orang tua menganggap bahwa hukuman adalah bentuk
pendidikan yang berguna dan baik pada perkembangan anak. Oleh karena itu, guru
bahkan pihak sekolah beranggapan bahwa guru tidak boleh/bisa dipidanakan jika
memberikan hukuman pada anak. Namun, apapun alasannya kekerasan (meskipun dalam
bentuk hukuman) adalah tindakan pelanggaran hukum yang bisa dipidana dengan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Ada beberapa UU dan Konvensi yang mengatur
mengenai perlindungan anak terhadap tindakan kekerasan. Misalnya, UU No. 35 Tahun
2014 tentang Perlindungan Anak memuat sanksi pidana bagi para pelaku kekerasan
terhadap anak. Ketentuan pidana ini termuat dalam Bab XII dari pasal 77 hingga pasal

4
90. Berikut ini adalah pasal-pasal yang bisa digunakan untuk mendakwa para pelaku
kekerasan di sekolah:7

Pasal 80
1) Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau
penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh
puluh dua juta rupiah).
2) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
3) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mati, maka pelaku dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
4) (4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang
tuanya.

Pasal 81
1) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76C,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau
denda paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
2) Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
3) Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mati, maka pelaku dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut Orang
Tuanya.”

Pasal 82
1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15
(lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah).
2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
Orang Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka
pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).”

7
Disadur dari P2TP2A. 2007. Pencegahan Kekerasan Terhadap Anak Di Lingkungan Pendidikan. Jakarta:
P2TP2A

5
Pasal 86
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan tipu muslihat, rangkaian kebohongan,
atau membujuk anak untuk memilih agama lain bukan atas kemauannya sendiri, padahal
diketahui atau patut diduga bahwa anak tersebut belum berakal dan belum bertanggung
jawab sesuai dengan agama yang dianutnya dipidana dengan pidana penjara paling lama
5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Tapi bagaimana dengan hukuman emosional, apakah berpotensi melanggar UU?


Hukuman emosional juga bentuk kekerasan pada anak. Oleh karena itu, tindakan
seperti itu juga berpotensi melanggar UU atau Konvensi mengenai perlindungan anak.
Misalnya pada UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, Pasal 77, dimana
dikatakan bahwa Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 76A dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).”

Gugatan Secara Perdata


Selain secara pidana, kekerasan di sekolah (baik dalam bentuk hukuman) juga dapat
digugat secara perdata. Gugatan dapat diajukan secara perdata ke pengadilan negeri
terhadap pelaku kekerasan di sekolah atau pihak sekolah sebagai lembaga berupa
gugatan ganti rugi material dan imaterial dalam bentuk uang atau natura. Gugatan ini
mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dengan pasal-pasal sebagai
berikut:8

Pasal 1365
"Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain,
mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian
tersebut.”

Pasal 1366
"Setiap orang bertanggungjawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena
perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaian, atau kurang
hati-hatinya.”

Pasal 1367
"Guru sekolah bertanggung-jawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh murid selama
waktu murid itu berada di bawah pengawasan mereka, kecuali, jika mereka dapat
membuktikan bahwa mereka tidak dapat mencegah perbuatan yang mesti mereka
seharusnya bertanggungjawab.”

8
Ibid, Hal 27

6
UU dan Konvensi yang sudah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia Mengenai
Perlindungan Anak
❖ UU Dasar 1945 (pasal 28 B, 34)
❖ UU No.4 Tahun 1979 ttg Kesejahteraan Anak
❖ UU No.39 Tahun 1999 ttg Hak Asasi Manusia
❖ UU No. 13 Tahun 2003 ttg Ketenagakerjaan
❖ UU No. 20 Tahun 2003 ttg Sistem Pendidikan Nasional
❖ UU No. 23 Tahun 2004 ttg Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
❖ UU No. 12 Tahun 2006 ttg Kewarganegaraan
❖ UU No. 7 Tahun 2007 ttg Perlindungan Saksi dan Korban
❖ UU No. 44 Tahun 2008 ttg Anti Pornografi
❖ UU No. 21 Tahun 2007 ttg Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
❖ UU No. 11 Tahun 2009 ttg Kesejahteraan Sosial
❖ UU No. 36 Tahun 2009 ttg Kesehatan
❖ UU No.13 Tahun 2011 ttg Penanganan Fakir Miskin
❖ UU No. 11 Tahun 2012 ttg Sistem Peradilan Pidana Anak
❖ UU No. 24 Tahun 2013 ttg Perubahan Atas Undang-Undang No.23/2003 tentang
Adminduk.
❖ UU No. 35 tahun 2014 ttg Perubahan Atas Undang-Undang No.23/2002 tentang
Perindungan Anak
❖ Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan Pelayanan
Perlindungan Anak
❖ Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama
Pemulihan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga
❖ Perpres 2/2015 tentang RPJMN 2014-2019
❖ Inpres No. 5 Tahun 2014 tentang Gerakan nasional Anti Kejahatan Seksual terhadap
Anak
❖ Inpres 1/2010 ttg Akselerasi Implementasi Prioritas Pembangunan Nasional
❖ Inpres No 3/2010 ttg Pembangunan yg Berkeadilan
❖ Nota Kesepahaman Mendagri, Menlu, Menkumham, Menkes, Mendiknas, Mensos,
Menag, dan MenPPPA Tahun 2011 tentang Percepatan Kepemilikan Akta Kelahiran
dalam Rangka Perlindungan Anak
❖ Peraturan Menteri Sosial RI No.30/HUK/2011 tentang Standar Pengasuhan di
Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak

7
❖ Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak No. 8 Tahun
2014 tentang Sekolah Ramah Anak
❖ Peraturan Menetri Kesehatan NO. 68 tahun 2013 tentang Kewajiban Pemberi
Layanan Kesehatan untuk Memberikan Informasi Apabila Ada Dugaan Kasus
Kekerasan terhadap Anak
❖ Permensos No. 21/2014 tentang Pengasuhan Anak
❖ PermenPPPA No. 07/2011 ttg Kebijakan Peningkatan Ketahanan Keluarga Anak
Yang Membutuhkan Perlindungan Khusus
❖ Permenko PMK No. 2/2016 ttg Strategi Nasional Penghapusan Kekerasan terhadap
Anak
❖ Permendikbud 82/2015 ttg Penghapusan Kekerasan terhadap Anak di Lingkungan
Satuan Pendidikan.

Anda mungkin juga menyukai