Anda di halaman 1dari 2

Refleksi Diri

Hikban Fiqhi K.

Saya bertugas sebagai residen stase subdivisi neurooftalmologi di salah satu rumah
sakit pendidikan di Makassar pada bulan Mei 2019. Suatu saat saya mendapatkan konsul dari
bagian anak dengan keluhan penglihatan kabur pada kedua mata. Saya langsung melakukan
anamnesis dan pemeriksaan fisis, termasuk melakukan tetes midriatil pada mata pasien untuk
dilakukan evaluasi segmen posterior. Namun di saat bersamaan saya mendapatkan konsul
pasien lain. Selanjutnya saya memutuskan segera memeriksa pasien konsul tersebut dan
meninggalkan pasien tersebut, lalu saya menitipkan obat tetes midriatil kepada Bapak pasien
dan menyuruh yang bersangkutan untuk menetes mata anaknya setiap 15 menit sampai saya
datang lagi. Beberapa saat kemudian saya kembali ke pasien lalu memeriksa segmen
posteriornya dan didapatkan adanya kesan neuritis optik.
Keesokan harinya, pasien tersebut dikonsul kembali dengan keluhan penglihatan
semakin memburuk. Saat itu juga saya segera memeriksa pasien tersebut. Bapak pasien lalu
dengan nada meninggi, melakukan protes kepada saya karena setelah penetesan obat
midriatil, penglihatan anaknya dirasakan semakin kabur. Namun Bapak pasien tidak terima
dan mengadukan hal ini ke pihak manajemen rumah sakit. Saya telah berusaha menjelaskan
kondisi penglihatan yang menurun pada anaknya bukan karena pengaruh midriatil, namun itu
merupakan progresivitas dari penyakit, Bapak pasien tetap tidak menerima. Selanjutnya
dilakukan pertemuan antara Bapak pasien, manajemen rumah sakit, bagian anak dan bagian
mata yang merawat pasien. Sebelum pertemuan, saya berkonsultasi dan melaporkan resume
pemeriksaan saya kepada konsulen saya. Saya juga mencari referensi ilmiah pada buku
American Academy of Ophthalmology bagian Neuro-ophthalmology pembahasan neuritis
optik yang diderita oleh pasien, mengumpulkan berbagai jenis format informed consent yang
telah digunakan oleh bagian lain di rumah sakit tersebut serta penjelasan cara kerja obat tetes
midriatil pada sumber Eye Wiki American Academy of Ophthalmology.
Saya mendapatkan banyak pelajaran dari kejadian ini. Saya akhirnya mengetahui
lebih detail tentang neuritis optik, mulai dari pengertian hingga prognosis penyakit ini. Saya
juga bisa mengetahui berbagai jenis dan bentuk informed consent tindakan sehingga bisa saya
terapkan pada saat melakukan tindakan medis. Begitupun dengan obat tetes midiratil, saya
akhirnya mengetahui kandungan dari obat ini adalah tropicamide 10 mg, termasuk golongan
antikolinergik dan memiliki beberapa efek samping sementara seperti rasa terbakar, iritasi,
hiperemis, peningkatan tekanan bola mata dan silau. Saya juga selalu berusaha menjalin
komunikasi dengan pasien dan keluarga pasien saat melakukan tindakan apa pun itu dan
berusaha tidak meninggalkan pasien saat proses pemeriksaan belum selesai. Termasuk saat
sebelum meneteskan midriatil pada pasien, saya selalu melakukan informed consent dengan
baik dan benar dengan melampirkan lembar informed consent.

Anda mungkin juga menyukai