Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

TENTANG SEJARAH TIMBULNYA ILMU KALAM

Mata Kuliah : Ilmu Kalam

Dosen Pengampu : Masdiana, M.Pd.

Disusun Oleh :

Kelompok II

1. Ahmad Rizki
2. Antoni
3. Suparman

INSTITUT AGAMA ISLAM (IAI) AN-NUR LAMPUNG

TAHUN AKADEMIK 2021


KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Allah SWT Tuhan


Yang Maha Esa, karena telah melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan
pengetahuan sehingga makalah tentang Sejarah Timbulnya Ilmu Kalam pada
Mata Kuliah Ilmu Kalam ini bisa selesai pada waktunya. Terima kasih juga kami
ucapkan kepada teman-teman yang telah berkontribusi dengan memberikan ide-
idenya sehingga makalah ini bisa disusun dengan baik dan rapi.

Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para


pembaca. Namun terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih
jauh dari kata sempurna, sehingga kami sangat mengharapkan kritik serta saran
yang bersifat membangun demi terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik
lagi.

Akhir kata, kami sampaikan terimakasih banyak kepada semua pihak yang
telah berperan serta dalam proses penyusunan makalah ini dari awal hingga akhir.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua yang membacanya.

Lampung, 18 Januari 2022


Penyusun

Kelompok II

i
DAFTAR ISI

JUDUL
KATA PENGANTAR ....................................................................................... i
DAFTAR ISI ...................................................................................................... ii

BAB I – PENDAHULUAN ............................................................................... 1

A. Latar Belakang ....................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ................................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan ..................................................................................... 2
D. Manfaat Penulisan .................................................................................. 2

BAB II – PEMBAHASAN ................................................................................ 3

A. Ilmu Kalam di Awal Sejarah Pemikiran Islam ....................................... 3


B. Sejarah Lahir dan Definisi Ilmu Kalam ................................................. 6
C. Latar Belakang Timbulnya Ilmu Kalam ................................................ 10
1. Persoalan Ideologi ............................................................................ 10
2. Persoalan Politik .............................................................................. 12
3. Persoalan Perbuatan Manusia dalam kaitannya dengan perbuatan
tuhan ................................................................................................. 13
4. Persoalan Sifat-sifat tuhan ................................................................ 14
5. Persoalan Filosofis ........................................................................... 15

BAB III – PENUTUP ....................................................................................... 18

A. Kesimpulan ........................................................................................... 18
B. Saran ..................................................................................................... 19

Daftar Pustaka ................................................................................................... 20

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ilmu kalam adalah ilmu yang membahas mengenai akidah dengan
memakai pendekatan logika. Ilmu ini mengarahkan pembahasannya kepada segi-
segi yang menjadi landasan pokok agama islam yaitu kemahaesaan Tuhan,
masalah nubuwah, akhirat dan hal yang berhubungan dengan itu. Oleh sebab itu,
ilmu ini menempati posisi sangat penting dan terhormat dalam tradisi keilmuan
islam.

Sejarah ilmu kalam yang lahir karena terbunuhnya khalifah Utsman bin
Affan menjadi pintu awal keberangkatan dan perkembangan ilmu kalam.
Pemikiran yang lahir akibat perbedaan sebuah penafsiran mengenai ketuhanan dan
permasalahan tentang dosa besar. Konsep dosa besar ini diadakan oleh kaum
khawarij yaitu kaum yang keluar dari golongan Ali Bin Abi Thalib karena tidak
menyetujui diadakan tahkim dan menganggap tahkim itu sebagai dosa besar.
Pemikiran-pemikiran kalam telah ada sejak permulaan perkembangan ilmu kalam.

Pemikir-pemikir kalam itu di bedakan menjadi dua kelompok dari sisi


kerangka berfikir mereka, yakni kerangka berfikir tradisional dan kerangka
berfikir rasional. Kerangka tradisional yakni sebuah kerangka berfikir yang
menempatkan wahyu di atas akal manusia. Mereka berfikir bahwa Al-qur’an
adalah wahyu Allah yang diyakini kebenaran dan tugas akal hanya
membenarkannya saja tanpa berusaha memahami sebuah wahyu melalui akal.
Sedangkan kerangka berfikir rasional justru menempatkan peranan akal yang
sangat besar dalam memahami wahyu.

1
B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Ilmu Kalam di Awal Sejarah Pemikiran Islam ?


2. Bagaimana Sejarah Lahir dan Definisi Ilmu Kalam ?

C. Tujuan Penulisan

1. Mengetahui Ilmu Kalam di Awal Sejarah Pemikiran Islam.


2. Mengetahui Sejarah Lahirnya dan Mengetahui Definisi Ilmu Kalam.

D. Manfaat Penulisan

1. Dapat mengetahui Ilmu Kalam di Awal Sejarah Pemikiran Islam.


2. Dapat mengetahui Sejarah Lahirnya dan mengetahui Definisi Ilmu Kalam.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Ilmu Kalam di Awal Sejarah Pemikiran Islam


Pada awal-awal sejarah pemikiran islam, ilmu kalam, tidak seperti ilmu
fikih, kurang mendapat perhatian bahkan tidak disetujui di kalangan muslimin.
Sikap umat tersebut tidak lepas dari pengaruh pola pembinaan keimanan di masa-
masa awal islam itu sendiri, yaitu masa Rasulullah dan para sahabatnya.

Pada masa Rasulullah SAW, penamaan,pembinaan, dan cara penerimaan


keimanan cukup melalui hati,al-tashdiq bi al-qalb. Sementara itu, suatu keimanan
sudah di pandang cukup dengan mengimani apa yang harus diimani secara global,
tanpa membicarakannya lebih jauh dan mempertanyakannya secara detail dan
mendalam. Para sahabat tidak pernah mempertanyakan lebih jauh masalah-
masalah keimanan. Mereka telah puas mengimani melalui pembenaran hati
terhadap apa yang di sampaikan oleh Rasulullah, tanpa mempersoalkan dan
mempertimbangkannya melalui analisis aka. Di masa Rasulullah, tidak seorang
sahabat pun mempertanyakannya, misalnya, bagaimana cara Allah ber-istiwa di
‘arasy, seperti yang di kemukakan di dalam QS. Thaha (20):5.

Sekiranya ada yang dipertanyakan hal tersebut, demikian Ahmad Mahmud


Shubhi, niscaya ia akan menerima jawaban seperti yang diberikan oleh Imam
Malik, bahwa “istiwa” itu telah jelas, bagaimananya tidak dapat diketahui,
mempertanyakannya adalah bid’ah dan mengimaninya adalah wajib.

Kenyataan Rasulullah tidak pernah membicarakan masalah keimanan


secara perinci, melainkan menganjurkan umat cukup mengimaninya tanpa banyak
bertanya, menyebabkan para sahabat dan tabi’in tidak berkenan bahkan melarang
membicarakan masalah masalah keimanan secara kalami, dalam arti
memperbincangkannya secara detail berdasarkan argumen dan analisis rasional.
Bagaimana Imam Malik misalnya, salah satu tokoh tabi’in, menyampaikan fatwa
kepada para muridnya seraya berkata : “mereka adalah yang memeperbincangkan

3
perihal nama, sifat, kalam, ilmu dan kekuasaan Allah; mereka membicarakan apa
yang sengaja tidak dibicarakan oleh para sahabat dan tabi’in. sikap senada
diperlihatkan oleh Imam Abu Hanifah dalam ungkapannya : “Allah melaknat
Umar Ibn ‘Ubaid, tokoh Mu’tazilah sezaman washil, karena ia telah membuka
jalan bagi umat untuk membicarakan masalah-masalah yang tidak berguna
dibicarakan.

Demikian, kalam sama sekali tidak mendapat tempat di masa-masa awal


islam. Pada zaman Rasulullah, sahabat, dan generasi tabi’in mengimani materi
pokok akidah dan keimanan secara kalami yang berdasarkan analisis mendalam
dan argument rasional. Para sahabat dan tabi’in mengimani materi pokok akidah
yang disampaikan oleh Rasulullah secara global dan sepenuh hati, tanpa
mempertanyakan secara detail dan perinci, apalagi mempermasalahkan dan
memperdebatkannya.

Sebagaimana yang terjadi di dalam sejarah setiap agama, penamaan dan


pembinaan keimanan pada masa awal islam memang sudah dirasa cukup dengan
mengimani materi akidah secara global dan meyakininyaq melalui hati. Seseorang
misalnya, cukup mengimani sepenuh hati akan keberadaan Allah Yang Maha Esa,
dan tanpa mempertanyakan bagaimana konsep keesaan tersebut seharusnya
dipahami dan dijelaskan.

Umat pada masa awal-awal Islam belum merasakan arti penting dan
perlunya mengetahui lebih jauh dan memperbincangkan masalah-masalah yang
bersifat teoritis, seperti yang dibicarakan di dalam ilmu kalam. Masalah-masalah
yang dirasakan sangat perlu diketahui adalah yang dibicarakan dalam ilmu fikih.
Dengan kata lain, membicarakan dan mempersoalkan masalah-masalah teoritis
ketika itu dirasa tidak ada manfaatnya bagi umat, karena yang diperlukan di dalam
keberagamaan sehari-hari mereka adalah masalah yang bersifat amaliah.

Dengan demikian, tidak adanya kepedulian membicarakan masalah-


masalah kalam secara teoritis rasional pada periode-periode awal ini, sangat

4
mungkin bukan karena hal itu terlarang melainkan karena belum diperlukan.
Keberadaan ilmu kalam ketika itu belum diperlukan. Keberadaan ilmu kalam
ketika itu belum dirasa perlu, karena masalah bahasannya tidak atau kurang
menyentuh kebutuhan keberagamaan keseharian umat, yang ketika itu lebih
mengutamakan tindak ketaatan yang bersifat ibadah amaliah.

Membuka peluang pembahasaan kalam di kalangan Muslim tidak


menguntungkan secara sosiologis. Masyarakat Muslimin pada periode awal ini
sangat membutuhkan persaudaraan dan persatuan, dan ini bisa terancam apabila
Muslimin sudah tenggelam dalam saling pendapat dan berdebat hujat, yang
berpotensi menimbulkan pertentangan dan perpecahan. Tidak menguntungkan
bagi islam dan umatnya, yang pada tahap awal perkembangannya, sudah harus
menghadapi suasana perdebatan dan silang pendapat yang dapat menjurus kepada
perpecahan; laksana tunas yang baru ditanam lalu dilanda banjir hujan deras.

Dengan demikian, tidak adanya perhatian, bahkan adanya perhatian,


bahkan adanya larangan terhadap pembicaraan tentang masalah akidah secara
kalami di masa Rasulullah dan para khulafa al-rasyidin tidak harus dipahami
sebagai larangan mutlak terhadap ilmu kalam dan atau dijadikan alasan untuk
menolak keberadaan ilmu tersebut. Kenyataan yang demikian rasanya lebih tepat
dipahami secara kontekstual dari sudut pandang metode pembinaan umat yang
ditempuh oleh Rasulullah dan para sahabat. Pada masa awal Islam ini, yang
diperlukan adalah terwujudnya umat yang satu dan bersatu di bawah kualitas
pemahaman dan intensitas rasional terhadap masalah-masalah keagamaan, lebih-
lebih masalah akidah yang sangat abstrak, yang dibuka sejak dini jelas tidak
menguntungkan bagi perkembangan agama islam yang baru lahir. Perbincangan
rasional terhadap persoalan keagamaan otomatis menimbulkan perbedaan, dan
perbedaan dan perpecahan umat jelas merupakan sebuah petaka. Pendek kata,
baik secara agamais, maupun politis, keberadaan ilmu kalam di awal sejarah islam
memang belum diperlukan. Bahkan keberadaannya ketika itu dapat merugikan
islam dan umatnya.

5
Namun adalah hal yang sangat wajar apabila pada perkembangan
berikutnya, umat islam segera pindah dari tahap penerimaan akidah melalui hati
kepada tahap penerimaan akidah melalui pemikiran dan analisis rasional. Kondisi
tersebut dikarenakan kecenderungan mempertanyakan dan menganalisis suatu
masalah, termasuk masalah keimanan, adalah suatu hal yang sangat alami pada
manusia. Dengan kata lain, setiap orang pada dasarnya memiliki kecenderungan
dan kesiapan melakukan penalaran rasional dan berfikir filosofis.

B. Sejarah Lahir dan Definisi Ilmu Kalam

Ketika dunia islam berada pada era Dinasti Bani Abbas, suasana
perkembangan pemikiran umat mulai memperlihatkan kecenderungan baru. Pada
penghujung abad pertama atau awal abad kedua Hijriah, muncul diskusi sistematis
dan silang pendapat di sekitar persoalan kalam, seperti masalah iman dan kufur,
pelaku dosa besar, dan masalah qadha qadr. Diskusi ini masih diikuti oleh para
sahabat generasi akhir. Diskusi ini pula yang pada gilirannya melahirkan ilmu
kalam yang memusatkan materi bahasan pada aspek akidah dengan metode
sendiri, metode nasional.

Dan sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, pada masa awal


kelahirannya sebagai ilmu yang berdiri sendiri, ilmu kalam memang belum dapat
diterima oleh seluruh umat islam. Mayoritas umat masih mencurigai bahkan
memandang ilmu yang baru lahir ini sebagai bid’ah. Namun dalam perkembangan
selanjutnya, ilmu kalam mengalami perkembangan dan kemajuan yang lebih pesat
dan mulai mendapat sambutan yang lebih pesat dan mulai mendapat sambutan
lebih baik dari mayoritas umat dengan lahirnya system kalam mazhab Ahl al –
Sunnah wa al-Jama’ah, yang dipelopori oleh tokoh Ismail Abu Hasan al Asy’ari
dan Abu Mansur al-Maturidi. Kedua tokoh ini, terutama al-Asy’ari sangat berjasa
dalam memperkukuh posisi ilmu kalam di mata umat. Dengan lahirnya mazhab
ahl al-Sunnah wa al-Jamaah, ilmu kalam seakan sudah menjadi barang halal dan
diterima oleh seluruh umat islam.

6
Ilmu kalam, seperti ilmu keislaman lainnya, juga mempunyai dasarnya
sendiri dari sumber Al-Qur’an, baik menyangkut aspek metode maupun materi.
Secara metodologis, berpikir rasional sama sekali bukan hal terlarang. Al-Qur’an
menganjurkan Muslimin menggunakan daya pikir atau nalar dan sebaliknya,
mencela orang-orang yang tidak mau melakukan aktivitas berpikir. Di dalam Al-
Qur’an cukup banyak ayat yang dikemukakan dalam bentuk pertanyaan dan
mengisyaratkan pentingnya aktivitas pemikiran dan penalaran, seperti firman
Allah‫ افﻼ تنظرون‬,‫ افﻼ تتفكرون‬،‫افﻼ تعقلون‬di samping ayat-ayat lain seperti yang terdapat di
dalam QS. Ali Imran: 190-191.

Begitu pula bila dilihat dari aspek materinya, tema atau materi bahasan
ilmu kalam sama sekali tidak bergeser dari materi pokok akidah islamiah yang
digariskan dan dititik beratkan oleh Al-Qur’an yaitu masalah Allah dan tauhid.
Masalah ini pula yang menjadi tema pokok dalam kajian ilmu kalam. Tujuan para
mutaklim atau teolog Muslim tidak lain adalah untuk memperkenalkan,
menamkan, dan membela kebenaran akidah tauhid.

Karena itu, ditinjau dari segi metode maupun materinya, keberadaan ilmu
kalam bukan yang terlarang dalam islam. Bahkan ilmu kalam mutlak diperlukan
demi terbangunnya keimanan yang kukuh di atas bukti dan argument yang kuat.
Tanpa ilmu kalam dengan metode rasionalnya, kaum muslim akan sulit membela
dan memperkenalkan kebenaran akidah islamiah di hadapan orang-orang terutama
kaum non-muslim yang terbiasa berpikir rasional.

Ilmu kalam tetap diperlukan sebagai hal yang sentral di dalam islam. Arti
penting ilmu ini bukan dan jangan dilihat dari sejarah awal keberadaannya yang
lebih dominan berperan membela akidah islamiah di hadapan orang-orang yang
menentang atau mengingkarinya. Ilmu kalam utamanya lebih dimaksudkan untuk
menanamkan akidah yang kuat di kalangan intern umat. Lagi pula persoalan
akidah yang menjadi pokok bahasan ilmu kalam bukan untuk satu atau beberapa
generasi semata, melainkan untuk semua generasi dari zaman ke zaman.

7
Para mutakalim zaman sekarang memang tidak seharusnya mengulang dan
memperdebatkan masalah-masalah kalam yang dimunculkan oleh para mutakalim
zaman klasik. Yang paling penting adalah harus mampu menjawab dan
menjelaskan persoalan-persoalan kekinian umat dalam perspektif akidah. Oleh
sebab itu, materi kalam harus dikembangkan dari yang bermuatan teosentris
semata kepada persoalan-persoalan yang menyentuh kehidupan umat manusia.

Demikian ilmu kalam telah lahir di dunia islam dengan materi, metode,
dan karakternya sendiri, yang membedakannya dengan disiplin keislaman lainnya.
Para ahli pun telah mencoba mengidentifikasi ilmu ini dengan mengemukakan
beberapa definisi konkret, antara lain sebangai berikut : secara Bahasa
kata kalam (Bahasa Arab) berarti “susunan kata” yang mempunyai arti tertentu.
Kata kalam ini kemudian digunakan bukan dalam arti asal kebahasaannya,
melainkan dalam arti menunjuk kepada salah satu sifat Allah, yaitu
sifat kalam yang pernah menjadi tema perdebatan hangat di Kalangan mutakalim.
Perdebatan tersebut yang kemudian melahirkan ilmu yang diberi nama ilmu
kalam, yang membahas ajaran bidang akidah, seperti tentang zat Allah dan sifat-
sifat-Nya, membicarakan hal-hal mumkinat yang berhubungan dengan mabda’
dan ma’ad, berdasarkan ajaran islam.

Cukup banyak definisi yang telah dikemukakan oleh para ahli tentang ilmu
yang membahas masalah akidah ini. Ibn Khaldun, misalnya mengemukakan
definisi sebagai berikut :

‫ﻋلم يتضمن الحجاج ﻋن العقائد اﻻيمانيﺔ باﻻدلﺔ العقليﺔ والرد ﻋن الميتدﻋﺔ‬


.‫المنحرفﺔ فﻲ اﻻﻋتقادات ﻋن مذاهب السلف واهل السنﺔ‬

Kalam adalah ilmu yang membuat diskusi-diskusi tentang akidah atau keimanan
berdasrkan argument rasional dan berisi bantahan terhadap para pelaku bid’ah
yang menyimpang dari mazhab salaf dan Ahl al-Sunnah.

8
Definisi Ibn Khaldun ini secara eksplisit mengisyaratkan bahwa ilmu
kalam muncul untuk membela paham akidah salaf dana Ahl al-sunnah, terkesan
seakan paham yang bukan salaf dan ahl al-Sunnah dipandang menyimpang.
Definisi ini sekaligus mengandung kesan seakan ilmu kalam tersebut lahir oleh
tokoh salaf dan Ahl al-Sunnah.

Sementara al-Tahanawi memberikan definisi kalam, sebagai berikut:


.‫ﻋلم يقتدر منه ﻋلﻰ إىبات العقائد الدينيﺔ ﻋلﻰ الغير بإيراد الحجج ودفع الشبه‬

Kalam adalah ilmu yang dengannya akidah agama (Islam) dapat diyakinkan
kepada orang lain dengan cara mengemukakan berbagai argument dan
menangkis berbagai keraguan.

Tidak jauh berbeda, al-Iji mengemukakan definisi ilmu kalam sebagai


berikut :
.‫ﻋلم يقتدر معه ﻋلﻰ إىبات العقائد الدينيﺔ بإيراد الحجج ودفع الشبه‬

Kalam adalah ilmu yang dengannya akidah agama dapat ditetapkan dengan
mengemukakan argument-argumen dan menangkis berbagai kerancuan serta
keraguan.

Dari beberapa definisi yang telah dikemukakan terlihat dua karakteristik


utama bagi ilmu kalam. Pertama, materi pembahasan ilmu ini terpusat pada
masalah akidah, seperti masalah ketuhanan, kenabian, dan masalah pokok
keimanan lainnya. Kedua, ilmu kalam dalam pembahasannya, menggunakan
argumen rasional dan bukti-bukti yang kuat. Penggunaan argumen rasional dan
bukti-bukti kuat ini merupakan suatu keharusan bagi ilmu kalam, karena tujuan
ilmu ini tidak hanya sekedar memperkukuh dan mempertebal keyakinan,
melainkan sekaligus untuk membela akidah islam dengan mengemukakan
argument dan sanggahan terhadap orang-orang yang menyimpang. Al-Farabi,
misalnya, mengemukakan bahwa al-kalam adalah disiplin yang dengannya

9
seseorang dapat membela pendapat dan tindakan tertentu, sepanjang
diperbolehkan oleh Allah, serta mampu menangkis setiap pertanyaan yang
menentang. Imam al-Ghazali juga mengemukakan pernyataan senada, bahwa
ketika ilmu kalam lahir dan berbagai diskusi semakin meluas, para mutakalim
semakin bersemangat membela al-Sunnah dengan membahas hakikat berbagai
masalah serta melibatkan diri dalam pembahasan lebih jauh
tentang jauhar dan ‘ard.

Dengan demikian, ilmu kalam adalah ilmu keislaman yang membahas masalah
akidah atau keimanan berdarkan argument rasional dan tentu saja tanpa
mengesampingkan nash Al-Qur’an dan al-Sunnah. Di dalam pembahasannya, para
mutakalim lazim mengetengahkan dalil rasional terlebih dahulu, lalu kemudian
memperkuatnya dengan dalil nash Al-Qur’an dan al-Hadis.

C. Latar Belakang Timbulnya Ilmu Kalam


Adapun beberapa persoalan pandangan dari kalangan umat ketika itu yang
melatarbelakangi lahir dan timbulnya ilmu kalam yaitu:

1. Persoalan Idiologi

Pada dasarnya setiap manusia mempunyai fitrah berupa kepercayaan


terhadap adanya zat yang Maha Kuasa,yang dalam istilah agama disebut Tuhan.
Para ahli tafsir mengatakan,fitrah artinya ciptaan atau kejadian yang asli, karena
naluri beragama tauhid merupakan fitrah maka ketauhidan dalam diri seseorang
telah ada sejak ia dilahirkan.

Secara instingtif, manusia selalu ingin bertuhan. Oleh sebab


itu,kepercayaan adanya Tuhan telah berkembang sejak adanya manusia pertama.
Abbas Mahmoud Al- Akkad mengatakan bahwa keberadaan mitos merupakan
asal-usul kepercayaan adanya agama dikalangan orang-orang primintif.1 Tylor
justru mengatakan bahwa animisme-anggapan adanya kehidupan pada benda-

1
Abbas Mahmoud Al-Akkad,Ketuhanan ,hlm.14

10
benda mati merupakan asal-usul kepercayaan terhadap Tuhan. Adapun Spencer
mengatakan bahwa pemujaan terhadap nenek moyang merupakan bentuk ibadah
yang paling tua. Keduanya menganggap bahwa animisme dan pemujaan terhadap
nenek moyang sebagai asal-usul kepercayaan dan ibadah tertua terhadap Tuhan
Yang Maha Esa, lebih dilatarbelakangi oleh adanya pengalaman setiap manusia
yang mengalami mimpi.2

Di dalam mimpi, seseorang dapat bertemu, bercakap-cakap,


bercengkrama, dan sebagainya dengan orang lain, bahkan dengan orang yang
telah mati sekalipun. Ketika seorang yang mimpi itu bangun, dirinya tetap berada
ditempat semula. Kondisi ini telah membentuk intuisi bagi setiap orang yang telah
bermimpi untuk meyakini bahwa apa yang telah dilakukannya dalam mimpi
adalah perbuatan roh lain, yang pada masanya roh itu akan kembali. Dari
pemujaan terhadap roh berkembang ke pemujaan matahari, lalu lebih berkembang
lagi pada pemujaan benda-benda langit atau alam lainnya.

Abbas Mahmoud Al- Akkad, pada bagian lain, mengetakan bahwa sejak
pemikiran pemujaan terhadap benda-benda alam berkembang, di wilayah-wilayah
tertentu pemujaan terhadap benda-benda alam berkembang secara beragam. Di
Mesir, masyarakatnya memuja Totemisme. Mereka menganggap suci terhadap
burung elang, burung nasr, ibn awa (semacam anjing hutan), buaya, dan lain-lain.
Anggapan itu lalu berkembang menjadi pemujaan terhadap matahari. Dari sini
berkembang lagi menjadi percaya adanya keabadian dan balasan bagi amal
perbuatan yang baik.3

Dari sini dapat disimpulkan bahwa kepercayaan Tuhan, secara instingtif,


telah berkembang sejak keberadaan manusia pertama. Oleh sebab itu, sangat
wajar kalau William L.Resee mengatakan bahwa ilmu yang berhubungan dengan
ketuhanan, yang dikenal dengan istilah theologia, telah berkembang sejak lama. Ia
bahkan mengatakan bahwa teologi muncul dari sebuah mitos (theologia was

2
Ibid., hlm .15
3
Ibid., hlm.50-51

11
originally viewed as concerned with myth). Selanjutnya teologi itu berkembang
menjadi “theology natural” (teologi alam) dan “revealed theology”(teologi
wahyu).4

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa secara historis, ilmu kalam
bersumber pada Al-Qur’an, hadist, pemikiran manusia, dan instink. Ilmu kalam
adalah sebuah ilmu yang mempunyai objek tersendiri, tersistematiskan, dan
mempunyai metodologi tersendiri. Dikatakan oleh Musthafa Abd Ar-Raziq bahwa
ilmu bermula di tangan pemikir Mu’taziiah, Abu Hasyim, dan kawannya Imam
Al-Hasan bin Muhammad bin Hanafiyah.5 Adapun orang yang pertama
membentangkan pemikiran kalam secara lebih baik dengan logikanya adalah
Imam Al-Asy’ari, tokoh ahli sunnah wa al-jamaah, melalui tulisan-tulisannya
yang terkenal, yaitu Al-Muqalat,6dan Al-Ibnah An-Ushul Ad-Diyanah.

2. Persoalan Politik.

Menurut Harun Nasution, Kemunculan persoalan kalam dipicu oleh


persoalan poiltik yang menyangkut peristiwa pembunuhan Usman bin Affan yang
berbuntut pada penolakan Muawiyah atas kekhalifahan Ali bin Abi Thalib.
Ketegangan antara Mu’awiyah dan Ali bin Abi Thalib mengkristal menjadi
Perang Siffin yang berakhir dengan keputusan tahkim (arbitrase). Sikap Ali yang
menerima tipu muslihat Amr bin Al-Ash, utusan dari pihak Mu’awiyah dalam
tahkim, dalam keadaan terpaksa, tidak disetujui oleh sebagaian tentaranya.mereka
berpendapat bahwa persoalan yang terjadi saat itu tidak dapat diputuskan melalui
tahkim. Putusan hanya datang dari Allah dengan kembali pada hukum-hukum
yang ada dalam Al-Qur’an. La hukma illa lillah (tidak ada hukum selain dari
hukum Allah) atau la hukma illa Allah (tidak ada perantara selain Allah) menjadi
semboyan mereka. Mereka memandang Ali bin Abi Thalib telah berbuat salah
sehingga mereka meninggalkan barisannya. Dalam sejarah Islam, mereka terkenal

4
William L Resse, Dictionary of Philosophy and Religion, hlm. 450
5
Rosihon Anwar dan Taufiq Rahman, Prinsip-prinsip Dasar Aliran-aliran Teologi
ISLAM,hlm.27
6
Harun Nasution, Teologi Islam, hlm.6

12
dengan nama Khawarij, yaitu orang yang keluar dan memisahkan diri atau
seceders.7

Diluar pasukan yang membelot Ali, sebagaian besar yang tetap


mendukung Ali. Mereka inilah yang kemudian memunculkan kelompok Syi’ah.
Syi’ah muncul ketika berlangsung peperangan antara Ali dan Mu’awiyah yang
dikenal dengan Perang Siffin. Sebagai respon atas penerimaan Ali terhadap
arbitrase yang ditawarkan Mu’awiyah, pasukan Ali terpecah menjadi dua, satu
kelompok mendukung sikap Ali disebut syi’ah dan dan kelompok lain menolak
sikap Ali disebut Khawarij. 8

3. Persoalan perbuatan manusia dalam kaitannya dengan perbuatan tuhan

Daalam teologis juga muncul persoalan mengenai perbuatan manusia dalam


kaitannya dengan perbuatan tuhan. Yaitu apakah manusia melakukan
perbuatannya sendiri atau tidak? Apakah perbuatan yang dilakukan manusia ada
campur tangan (intervensi) dari tuhan yang mengatur alam raya ini beserta seluruh
isinya? Kalau tuhan ikut campur sejauh mana intervensi tuhan tersebut?
Pertanyaan – pertanyaan tersebut mengusik para ulama kalam (mutakallimin)
untuk membahasnya. 9Sehingga muuncullah aliran aliran teologi yang berangkat
dari latar belakan persoalan tersebut sebagaimana uraian berikut:

1. Aliran Jabariyah, yang dalam persoalan tersebut memahami bahwa


manusia tidak berkuasa atas perbuatannya. Hanya Allah sajalah yang
menentukan dan memutuskan segala amal perbuatan manusia. Semua
amalan manusia itu atas qudrat dan iradat-Nya. Manusia tidak mencampuri
sama sekali. Paham jabariyah ini dikemukakan oleh Jaham bin Shafwan.
Aliran inipun kadang kadang disebut dengan aliran Jahamiyah.

7
W.Mongomery Watt, Pemikiran Teologi Dan Filsafat Islam, terj,Umar Basalim.Penerbit
P3M,Jakarta, 1987, hlm.10
8
Ibid..hlm 6-7
9
Drs.H.Muhammad ahmad, Tauhid ilmu kalam, , Penerbit pustaka setia,Bandung.2009 ,hlm.145-
146

13
2. Aliran Qadariyah sering juga diidentikkan dengan aliran Mu’tazilah.
Aliran ini memahami bahwa manusia bebas memilih atas
perbuatannya(khaliqul af-al). mereka berpendapat bahwa kemauan
manusia itu bebas, dan itu berarti bahwa manusia bebas untuk berbuat atau
tidak berbuat, sehingga manusia bertanggung jawab sepenuhnya atas
pebuatannya, manusi berhak mendapatkan pujian dan pahala atas
perbuatannya yang baik dan menerima celaan atau hukuman atas
perbuatannya yang salah atau dosa.

3. Aliran Asy’ariyah, Yang dalam persoalan ini lebih dekat dengan paham
jabariyah daripada paham mu’tazilah. Untuk menggambarkan pahamnya
mengenai perbuatan manusia dalam kaitannya dengan perbuatan Tuhan.
Asy’ary menggunakan teori Al kasb.

4. Persoalan Sifat Sifat Tuhan10

Persoalan lain yan muncul dalam telogi islam atau ilmu kalam selain yang
diatas adalah persoalan tentang sifat-sifat tuhan.

Para mutakallimin dalam membahas tentan sifat tuhan secara garis besar
dibagi menjadi tiga golongan pendapat yang berlawanan, yaitu :

1. Aliran mu’tazilah yang memahami dan membahas persoalan ini dengan


berpendapat bahwa tuhan tidak mempunyai sifat. Mereka berargumen jika
Tuhan mempunyai sifat , sifat itu mesti kekal seperti halnya zat tuhan. Namun
jika demikian maka yang bersifat kekal bukan satu lagi, tetapi banyak.

2. Aliran Asy’ariyah yang membahas persoalan sifat-sifat tuhan dengan dengan


mengambil sikapyang berlawanan dengan pendapat golonan pertamama atau
mu’tazilah.

10
Drs.H.Muhammad ahmad, Tauhid ilmu kalam, , Penerbit pustaka setia,Bandung.2009 ,hlm.146

14
3. Aliran Maturidiyah yang dalam hal ini berpendapat bahwa tuhan mempunyai
sifat-sifat. Sifat –sifat Tuhan kekal melalui kekekalan yang terdapat dalam
esensi tuhan dan bukan melaui sifat-sifat itu sendiri.

5. Persoalan filosofis

Bermula dari timbulnya persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan
kafir dalam arti siapa yang telah ke luar dari Islam dan siapa yang masih tetap
dalam Islam.khawarij memandang bahwa Ali, Muawiyah, Amr Ibn al-As, kafir,
karenaAl-Qur’an mengatakan

Artinya : Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka
mereka itu adalah orang-orang yang kafir.11

Dari ayat inilah mereka mengambil semboyan la hukma illa lillah. Karena ke
empat pemuka Islam diatas telah dipandang kafir dalam arti bahwa mereka
mereka telah ke luar dari Islam.

12
Kemudian arti kafir, semakin berkembang tidak hanya pada orang yang
tidak menetukan hukum berdasarkan Alquran tetapi juga kepada orang yang
berbuat dosa besar. Persoalan dosa besar mempunyai pengaruh besar dalai
pertumbuhan teologi selanjutnya. Persoalan ini menimbulkan tiga aliran dalam
islam, yaitu :

1. Khawarij , berpendapat bahwa orang yang berdosa adalah kafir. Artinya


keluar dari islam (murtad) karena itu ia wajib dibunuh.

11
QS. Almaidah : 44
12
Drs.H.Muhammad ahmad, Tauhid ilmu kalam, , Penerbit pustaka setia,Bandung.2009 ,hlm.143

15
2. Murji’ah, Menegaskan orang yang melakukan dosa besar tetap mukmin,
bukan Kafir. Adapun dosa yang dilakukannya terserah pada Allah untuk
diampuni atau tidak.

3. Mu’tazilah, kaum ini tidak setuju dengan pendapat diatas. Baginya oraaang
yang melakukan dosa besar bukan kafir tetapi juga bukan mukmin. Orang
yang melakukan dosa besar mengambil posisi antara mukmin Dan kafir.
Tekenal dengan paham/istilah Manzilah baina Almanzilataini.

Al Hasan Al-Bisri menetapkan yang menjadi anutan umum ummat


Islam,yaitu orang yang mengerjakan dosa besar dipandang fasiq, tidak keluar dari
gelanggang mu’min.

Pendapat Al-Hasan ini dibantah keras oleh muridnya Washil Ibn Atha’. Dia
mengatakan bahwa orang yang mengerjakan dosa bsar berada diantara dua
martabat. Pendapatnya diikuti oleh Ibn Ubaid.

Karna mereka ini mengasingkan diri dari majlis gurunya Al Hasan atau dari
pendapat umum, dinamakanlah mereka dengan Mu’tazilah.

Oleh karena golongan Qadariyah dan Jabariyah tidak dapat berdiri sebagai
golongan, tetapi lebur dalam kelompok-kelompok lain, maka nama Qadariyah dan
Jabariyah menjadi nama faham sahaja, tidak menjadi nama golongan. Maka
Qadariyah berpindah kepada nama Mu’tazilah. Mereka dinamakan juga Qudriyah,
lantaran mereka menetapkan bahwa hamba mempunyai qudrat yang bebas aktif.
Mereka sendiri tidak menerima nama-nama itu. Mereka menanamkan dirinya
dengan Ahlul ‘ad-li wat Tauhid.

Dikatakan mereka dengan ahlul’li, adalah karena mereka menetapkan :


bahwasannya hamba ini mempunyai qudrat, bebas aktif dalam segala
tindakannya, yang karenanya mereka dipahalai dan disiksa. Mereka menindak
adakan kezaliman bagi Allah. Dan mereka menamakan dirinya dengan ahlut

16
Tauhid adalah karena mereka menindak adakan sifat diri pada Allah, agar zat
Allah benar-benar tidak tersusun dari zat dan sifat dan supaya benar-benar Allah
Esa.

Di akhir masa ini washil bin atha’ telahdapat menyusun dasar-dasar Ilmiyah
bagi madzab Mu’tazilah dan jalan-jalan masyarakat kepadanya. Dia melepaskan
pembantu-pembantunya (pendukung-pendukung fahamnya) ke pelosok untuk
mengembangkan fahamnya dengan segenap tenaga dan kecakapannya, hingga
samapilah da’wahnya ke Khurasan sebelah timur dan ke Marokosebelah barat, ke
Armiya sebelah utara dan ke Yaman sebelah selatan.

Menurut uraian Al-Maqrizi, Washil Ibn Atha’ telah menyusun sebuah


kitab lagi yang dinamakan Kitabut Tauhid, sebuah kitab lagi yang dinamakan
Kitabul Manzilati Bainal Manzilataini dan kitab Al-Futuya.

Dengan demikian dapatlah kita katakan, bahwa dalam masa inilah mulai
timbul usaha menyusun ilmu (kitab) dalam Ilmu Kalam.

17
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pada awal sejarah pemikiran islam, ilmu kalam kurang mendapat perhatian
bahkan tidak disetujui dikalangan muslimin. Kalam sama sekali tidak mendapat
tempat di masa-masa awal islam karena umat pada masa awal-awal islam belum
merasakan arti penting dan perlunya mengetahui lebih jauh dan
memperbincangkan masalah-masalah yang bersifat teoritis, seperti yang
dibicarakan di dalam ilmu kalam.

Ilmu kalam, seperti ilmu keislaman lainnya, juga mempunyai dasarnya


sendiri dari sumber Al-Qur’an, baik menyangkut aspek metode maupun materi.
Ditinjau dari segi metode maupun materinya, keberadaan ilmu kalam bukan yang
terlarang dalam islam. Bahkan ilmu kalam mutlak diperlukan demi terbangunnya
keimanan yang kukuh di atas bukti dan argument yang kuat.

Dengan demikian, ilmu kalam adalah ilmu keislaman yang membahas


masalah akidah atau keimanan berdarkan argument rasional dan tentu saja tana
mengesampingkan nash Al-Qur’an dan al-Sunnah. Di dalam pembahasannya, para
mutakalim lazim mengetengahkan dalil rasional terlebih dahulu, lalu kemudian
memperkuatnya dengan dalil nash Al-Qur’an dan al-Hadis.

Adanya perbedaan-perbedaan paham antara golongan atau paham


khowarij, murji’ah dan muktajilah dalam menyikapi masalah seperti yang terjadi
diatas. Akhirnya para Ulama ahli kalam (tauhid) merasa khawatir golongan-
golongan tersebut didalam menentukan hukum dan menyikapi masalah-masalah
yang terjadi, keluar dari nash yang sudah digariskan oleh al-qur’an dan hadits,
terutama yang berkaitan dengan aqidah atau kepercayaan umat islam.
Maka lahirlah ilmu kalam sebagai landasan dan acuan didalam menyikapi

18
masalah-masalah yang berkaitan dengan masalah-masalah aqidah (kepercayaan),
sehingga tidak keluar dari ajaran dan ketentuan-ketentuan yang telah dinashkan
oleh hukum-hukum islam baik al-Qur’an maupun Sunnah Rasulullah saw.

Keyakinan yang wajib kita pegang ialah, bahwa agama islam adalah
agama (kepercayaan) “Tauhid” (monotheisme), bukan agama yang berpecah-
pecah dalam keprcayaan-kepercayaan itu. Akal adalah pembantunya yang paling
utama dan naql (al-Qur’an dan Sunnah) adalah merupakan sendi-sendi yang
paling kukuh. Dibalik itu hanyalah godaan-godaan setan belaka dan nafsu-nafsu
orang yang haus kekuasaan.

B. Saran
1. Arti penting ilmu kalam ini bukan dan jangan dilihat dari sejarah awal
keberadaannya yang lebih dominan berperan membela akidah islamiah di
hadapan orang-orang yang menentang dan mengingkarinya. Tetapi ilmu
kalam utamanya lebih dimaksudkan untuk menanamkan akidah yang kuat di
kalangan intern umat.
2. Kami sebagai penyusun makalah ini sangat menyadari bahwa dalam
penyusunan materi ini banyak sekali kekurangan. Untuk itu kami meminta
kepada para pembaca semuanya untuk memberikan saran dan kritikannya
supaya dalam pembuatan makalah selanjutnya bisa lebih baik lagi.

19
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Muhammad.2009. Tauhid ilmu kalam. Bandung: Pustaka Setia

Hanafi, Pengantar Theology Islam, Al Husna Zikra, Jakarta, 1995

Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-aliran, sejarah, Analisa perbandingan, UI


Press, Jakarta, 1986

Muhlis.2008.”PerananKaumKhawarijdanMu'tazilah”.(http://muhlis.fileswordpress
.com/2008/03/sejarah-ilmu-kalam.pdf diakses 18 maret 2012)

Rozak, Abdul, Rosihon Anwar. 2011. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia,

20

Anda mungkin juga menyukai