Makalah Kelompok 2 (Ilmu Kalam)
Makalah Kelompok 2 (Ilmu Kalam)
Disusun Oleh :
Kelompok II
1. Ahmad Rizki
2. Antoni
3. Suparman
Akhir kata, kami sampaikan terimakasih banyak kepada semua pihak yang
telah berperan serta dalam proses penyusunan makalah ini dari awal hingga akhir.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua yang membacanya.
Kelompok II
i
DAFTAR ISI
JUDUL
KATA PENGANTAR ....................................................................................... i
DAFTAR ISI ...................................................................................................... ii
A. Kesimpulan ........................................................................................... 18
B. Saran ..................................................................................................... 19
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu kalam adalah ilmu yang membahas mengenai akidah dengan
memakai pendekatan logika. Ilmu ini mengarahkan pembahasannya kepada segi-
segi yang menjadi landasan pokok agama islam yaitu kemahaesaan Tuhan,
masalah nubuwah, akhirat dan hal yang berhubungan dengan itu. Oleh sebab itu,
ilmu ini menempati posisi sangat penting dan terhormat dalam tradisi keilmuan
islam.
Sejarah ilmu kalam yang lahir karena terbunuhnya khalifah Utsman bin
Affan menjadi pintu awal keberangkatan dan perkembangan ilmu kalam.
Pemikiran yang lahir akibat perbedaan sebuah penafsiran mengenai ketuhanan dan
permasalahan tentang dosa besar. Konsep dosa besar ini diadakan oleh kaum
khawarij yaitu kaum yang keluar dari golongan Ali Bin Abi Thalib karena tidak
menyetujui diadakan tahkim dan menganggap tahkim itu sebagai dosa besar.
Pemikiran-pemikiran kalam telah ada sejak permulaan perkembangan ilmu kalam.
1
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
D. Manfaat Penulisan
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
perihal nama, sifat, kalam, ilmu dan kekuasaan Allah; mereka membicarakan apa
yang sengaja tidak dibicarakan oleh para sahabat dan tabi’in. sikap senada
diperlihatkan oleh Imam Abu Hanifah dalam ungkapannya : “Allah melaknat
Umar Ibn ‘Ubaid, tokoh Mu’tazilah sezaman washil, karena ia telah membuka
jalan bagi umat untuk membicarakan masalah-masalah yang tidak berguna
dibicarakan.
Umat pada masa awal-awal Islam belum merasakan arti penting dan
perlunya mengetahui lebih jauh dan memperbincangkan masalah-masalah yang
bersifat teoritis, seperti yang dibicarakan di dalam ilmu kalam. Masalah-masalah
yang dirasakan sangat perlu diketahui adalah yang dibicarakan dalam ilmu fikih.
Dengan kata lain, membicarakan dan mempersoalkan masalah-masalah teoritis
ketika itu dirasa tidak ada manfaatnya bagi umat, karena yang diperlukan di dalam
keberagamaan sehari-hari mereka adalah masalah yang bersifat amaliah.
4
mungkin bukan karena hal itu terlarang melainkan karena belum diperlukan.
Keberadaan ilmu kalam ketika itu belum diperlukan. Keberadaan ilmu kalam
ketika itu belum dirasa perlu, karena masalah bahasannya tidak atau kurang
menyentuh kebutuhan keberagamaan keseharian umat, yang ketika itu lebih
mengutamakan tindak ketaatan yang bersifat ibadah amaliah.
5
Namun adalah hal yang sangat wajar apabila pada perkembangan
berikutnya, umat islam segera pindah dari tahap penerimaan akidah melalui hati
kepada tahap penerimaan akidah melalui pemikiran dan analisis rasional. Kondisi
tersebut dikarenakan kecenderungan mempertanyakan dan menganalisis suatu
masalah, termasuk masalah keimanan, adalah suatu hal yang sangat alami pada
manusia. Dengan kata lain, setiap orang pada dasarnya memiliki kecenderungan
dan kesiapan melakukan penalaran rasional dan berfikir filosofis.
Ketika dunia islam berada pada era Dinasti Bani Abbas, suasana
perkembangan pemikiran umat mulai memperlihatkan kecenderungan baru. Pada
penghujung abad pertama atau awal abad kedua Hijriah, muncul diskusi sistematis
dan silang pendapat di sekitar persoalan kalam, seperti masalah iman dan kufur,
pelaku dosa besar, dan masalah qadha qadr. Diskusi ini masih diikuti oleh para
sahabat generasi akhir. Diskusi ini pula yang pada gilirannya melahirkan ilmu
kalam yang memusatkan materi bahasan pada aspek akidah dengan metode
sendiri, metode nasional.
6
Ilmu kalam, seperti ilmu keislaman lainnya, juga mempunyai dasarnya
sendiri dari sumber Al-Qur’an, baik menyangkut aspek metode maupun materi.
Secara metodologis, berpikir rasional sama sekali bukan hal terlarang. Al-Qur’an
menganjurkan Muslimin menggunakan daya pikir atau nalar dan sebaliknya,
mencela orang-orang yang tidak mau melakukan aktivitas berpikir. Di dalam Al-
Qur’an cukup banyak ayat yang dikemukakan dalam bentuk pertanyaan dan
mengisyaratkan pentingnya aktivitas pemikiran dan penalaran, seperti firman
Allah افﻼ تنظرون, افﻼ تتفكرون،افﻼ تعقلونdi samping ayat-ayat lain seperti yang terdapat di
dalam QS. Ali Imran: 190-191.
Begitu pula bila dilihat dari aspek materinya, tema atau materi bahasan
ilmu kalam sama sekali tidak bergeser dari materi pokok akidah islamiah yang
digariskan dan dititik beratkan oleh Al-Qur’an yaitu masalah Allah dan tauhid.
Masalah ini pula yang menjadi tema pokok dalam kajian ilmu kalam. Tujuan para
mutaklim atau teolog Muslim tidak lain adalah untuk memperkenalkan,
menamkan, dan membela kebenaran akidah tauhid.
Karena itu, ditinjau dari segi metode maupun materinya, keberadaan ilmu
kalam bukan yang terlarang dalam islam. Bahkan ilmu kalam mutlak diperlukan
demi terbangunnya keimanan yang kukuh di atas bukti dan argument yang kuat.
Tanpa ilmu kalam dengan metode rasionalnya, kaum muslim akan sulit membela
dan memperkenalkan kebenaran akidah islamiah di hadapan orang-orang terutama
kaum non-muslim yang terbiasa berpikir rasional.
Ilmu kalam tetap diperlukan sebagai hal yang sentral di dalam islam. Arti
penting ilmu ini bukan dan jangan dilihat dari sejarah awal keberadaannya yang
lebih dominan berperan membela akidah islamiah di hadapan orang-orang yang
menentang atau mengingkarinya. Ilmu kalam utamanya lebih dimaksudkan untuk
menanamkan akidah yang kuat di kalangan intern umat. Lagi pula persoalan
akidah yang menjadi pokok bahasan ilmu kalam bukan untuk satu atau beberapa
generasi semata, melainkan untuk semua generasi dari zaman ke zaman.
7
Para mutakalim zaman sekarang memang tidak seharusnya mengulang dan
memperdebatkan masalah-masalah kalam yang dimunculkan oleh para mutakalim
zaman klasik. Yang paling penting adalah harus mampu menjawab dan
menjelaskan persoalan-persoalan kekinian umat dalam perspektif akidah. Oleh
sebab itu, materi kalam harus dikembangkan dari yang bermuatan teosentris
semata kepada persoalan-persoalan yang menyentuh kehidupan umat manusia.
Demikian ilmu kalam telah lahir di dunia islam dengan materi, metode,
dan karakternya sendiri, yang membedakannya dengan disiplin keislaman lainnya.
Para ahli pun telah mencoba mengidentifikasi ilmu ini dengan mengemukakan
beberapa definisi konkret, antara lain sebangai berikut : secara Bahasa
kata kalam (Bahasa Arab) berarti “susunan kata” yang mempunyai arti tertentu.
Kata kalam ini kemudian digunakan bukan dalam arti asal kebahasaannya,
melainkan dalam arti menunjuk kepada salah satu sifat Allah, yaitu
sifat kalam yang pernah menjadi tema perdebatan hangat di Kalangan mutakalim.
Perdebatan tersebut yang kemudian melahirkan ilmu yang diberi nama ilmu
kalam, yang membahas ajaran bidang akidah, seperti tentang zat Allah dan sifat-
sifat-Nya, membicarakan hal-hal mumkinat yang berhubungan dengan mabda’
dan ma’ad, berdasarkan ajaran islam.
Cukup banyak definisi yang telah dikemukakan oleh para ahli tentang ilmu
yang membahas masalah akidah ini. Ibn Khaldun, misalnya mengemukakan
definisi sebagai berikut :
Kalam adalah ilmu yang membuat diskusi-diskusi tentang akidah atau keimanan
berdasrkan argument rasional dan berisi bantahan terhadap para pelaku bid’ah
yang menyimpang dari mazhab salaf dan Ahl al-Sunnah.
8
Definisi Ibn Khaldun ini secara eksplisit mengisyaratkan bahwa ilmu
kalam muncul untuk membela paham akidah salaf dana Ahl al-sunnah, terkesan
seakan paham yang bukan salaf dan ahl al-Sunnah dipandang menyimpang.
Definisi ini sekaligus mengandung kesan seakan ilmu kalam tersebut lahir oleh
tokoh salaf dan Ahl al-Sunnah.
Kalam adalah ilmu yang dengannya akidah agama (Islam) dapat diyakinkan
kepada orang lain dengan cara mengemukakan berbagai argument dan
menangkis berbagai keraguan.
Kalam adalah ilmu yang dengannya akidah agama dapat ditetapkan dengan
mengemukakan argument-argumen dan menangkis berbagai kerancuan serta
keraguan.
9
seseorang dapat membela pendapat dan tindakan tertentu, sepanjang
diperbolehkan oleh Allah, serta mampu menangkis setiap pertanyaan yang
menentang. Imam al-Ghazali juga mengemukakan pernyataan senada, bahwa
ketika ilmu kalam lahir dan berbagai diskusi semakin meluas, para mutakalim
semakin bersemangat membela al-Sunnah dengan membahas hakikat berbagai
masalah serta melibatkan diri dalam pembahasan lebih jauh
tentang jauhar dan ‘ard.
Dengan demikian, ilmu kalam adalah ilmu keislaman yang membahas masalah
akidah atau keimanan berdarkan argument rasional dan tentu saja tanpa
mengesampingkan nash Al-Qur’an dan al-Sunnah. Di dalam pembahasannya, para
mutakalim lazim mengetengahkan dalil rasional terlebih dahulu, lalu kemudian
memperkuatnya dengan dalil nash Al-Qur’an dan al-Hadis.
1. Persoalan Idiologi
1
Abbas Mahmoud Al-Akkad,Ketuhanan ,hlm.14
10
benda mati merupakan asal-usul kepercayaan terhadap Tuhan. Adapun Spencer
mengatakan bahwa pemujaan terhadap nenek moyang merupakan bentuk ibadah
yang paling tua. Keduanya menganggap bahwa animisme dan pemujaan terhadap
nenek moyang sebagai asal-usul kepercayaan dan ibadah tertua terhadap Tuhan
Yang Maha Esa, lebih dilatarbelakangi oleh adanya pengalaman setiap manusia
yang mengalami mimpi.2
Abbas Mahmoud Al- Akkad, pada bagian lain, mengetakan bahwa sejak
pemikiran pemujaan terhadap benda-benda alam berkembang, di wilayah-wilayah
tertentu pemujaan terhadap benda-benda alam berkembang secara beragam. Di
Mesir, masyarakatnya memuja Totemisme. Mereka menganggap suci terhadap
burung elang, burung nasr, ibn awa (semacam anjing hutan), buaya, dan lain-lain.
Anggapan itu lalu berkembang menjadi pemujaan terhadap matahari. Dari sini
berkembang lagi menjadi percaya adanya keabadian dan balasan bagi amal
perbuatan yang baik.3
2
Ibid., hlm .15
3
Ibid., hlm.50-51
11
originally viewed as concerned with myth). Selanjutnya teologi itu berkembang
menjadi “theology natural” (teologi alam) dan “revealed theology”(teologi
wahyu).4
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa secara historis, ilmu kalam
bersumber pada Al-Qur’an, hadist, pemikiran manusia, dan instink. Ilmu kalam
adalah sebuah ilmu yang mempunyai objek tersendiri, tersistematiskan, dan
mempunyai metodologi tersendiri. Dikatakan oleh Musthafa Abd Ar-Raziq bahwa
ilmu bermula di tangan pemikir Mu’taziiah, Abu Hasyim, dan kawannya Imam
Al-Hasan bin Muhammad bin Hanafiyah.5 Adapun orang yang pertama
membentangkan pemikiran kalam secara lebih baik dengan logikanya adalah
Imam Al-Asy’ari, tokoh ahli sunnah wa al-jamaah, melalui tulisan-tulisannya
yang terkenal, yaitu Al-Muqalat,6dan Al-Ibnah An-Ushul Ad-Diyanah.
2. Persoalan Politik.
4
William L Resse, Dictionary of Philosophy and Religion, hlm. 450
5
Rosihon Anwar dan Taufiq Rahman, Prinsip-prinsip Dasar Aliran-aliran Teologi
ISLAM,hlm.27
6
Harun Nasution, Teologi Islam, hlm.6
12
dengan nama Khawarij, yaitu orang yang keluar dan memisahkan diri atau
seceders.7
7
W.Mongomery Watt, Pemikiran Teologi Dan Filsafat Islam, terj,Umar Basalim.Penerbit
P3M,Jakarta, 1987, hlm.10
8
Ibid..hlm 6-7
9
Drs.H.Muhammad ahmad, Tauhid ilmu kalam, , Penerbit pustaka setia,Bandung.2009 ,hlm.145-
146
13
2. Aliran Qadariyah sering juga diidentikkan dengan aliran Mu’tazilah.
Aliran ini memahami bahwa manusia bebas memilih atas
perbuatannya(khaliqul af-al). mereka berpendapat bahwa kemauan
manusia itu bebas, dan itu berarti bahwa manusia bebas untuk berbuat atau
tidak berbuat, sehingga manusia bertanggung jawab sepenuhnya atas
pebuatannya, manusi berhak mendapatkan pujian dan pahala atas
perbuatannya yang baik dan menerima celaan atau hukuman atas
perbuatannya yang salah atau dosa.
3. Aliran Asy’ariyah, Yang dalam persoalan ini lebih dekat dengan paham
jabariyah daripada paham mu’tazilah. Untuk menggambarkan pahamnya
mengenai perbuatan manusia dalam kaitannya dengan perbuatan Tuhan.
Asy’ary menggunakan teori Al kasb.
Persoalan lain yan muncul dalam telogi islam atau ilmu kalam selain yang
diatas adalah persoalan tentang sifat-sifat tuhan.
Para mutakallimin dalam membahas tentan sifat tuhan secara garis besar
dibagi menjadi tiga golongan pendapat yang berlawanan, yaitu :
10
Drs.H.Muhammad ahmad, Tauhid ilmu kalam, , Penerbit pustaka setia,Bandung.2009 ,hlm.146
14
3. Aliran Maturidiyah yang dalam hal ini berpendapat bahwa tuhan mempunyai
sifat-sifat. Sifat –sifat Tuhan kekal melalui kekekalan yang terdapat dalam
esensi tuhan dan bukan melaui sifat-sifat itu sendiri.
5. Persoalan filosofis
Bermula dari timbulnya persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan
kafir dalam arti siapa yang telah ke luar dari Islam dan siapa yang masih tetap
dalam Islam.khawarij memandang bahwa Ali, Muawiyah, Amr Ibn al-As, kafir,
karenaAl-Qur’an mengatakan
Artinya : Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka
mereka itu adalah orang-orang yang kafir.11
Dari ayat inilah mereka mengambil semboyan la hukma illa lillah. Karena ke
empat pemuka Islam diatas telah dipandang kafir dalam arti bahwa mereka
mereka telah ke luar dari Islam.
12
Kemudian arti kafir, semakin berkembang tidak hanya pada orang yang
tidak menetukan hukum berdasarkan Alquran tetapi juga kepada orang yang
berbuat dosa besar. Persoalan dosa besar mempunyai pengaruh besar dalai
pertumbuhan teologi selanjutnya. Persoalan ini menimbulkan tiga aliran dalam
islam, yaitu :
11
QS. Almaidah : 44
12
Drs.H.Muhammad ahmad, Tauhid ilmu kalam, , Penerbit pustaka setia,Bandung.2009 ,hlm.143
15
2. Murji’ah, Menegaskan orang yang melakukan dosa besar tetap mukmin,
bukan Kafir. Adapun dosa yang dilakukannya terserah pada Allah untuk
diampuni atau tidak.
3. Mu’tazilah, kaum ini tidak setuju dengan pendapat diatas. Baginya oraaang
yang melakukan dosa besar bukan kafir tetapi juga bukan mukmin. Orang
yang melakukan dosa besar mengambil posisi antara mukmin Dan kafir.
Tekenal dengan paham/istilah Manzilah baina Almanzilataini.
Pendapat Al-Hasan ini dibantah keras oleh muridnya Washil Ibn Atha’. Dia
mengatakan bahwa orang yang mengerjakan dosa bsar berada diantara dua
martabat. Pendapatnya diikuti oleh Ibn Ubaid.
Karna mereka ini mengasingkan diri dari majlis gurunya Al Hasan atau dari
pendapat umum, dinamakanlah mereka dengan Mu’tazilah.
Oleh karena golongan Qadariyah dan Jabariyah tidak dapat berdiri sebagai
golongan, tetapi lebur dalam kelompok-kelompok lain, maka nama Qadariyah dan
Jabariyah menjadi nama faham sahaja, tidak menjadi nama golongan. Maka
Qadariyah berpindah kepada nama Mu’tazilah. Mereka dinamakan juga Qudriyah,
lantaran mereka menetapkan bahwa hamba mempunyai qudrat yang bebas aktif.
Mereka sendiri tidak menerima nama-nama itu. Mereka menanamkan dirinya
dengan Ahlul ‘ad-li wat Tauhid.
16
Tauhid adalah karena mereka menindak adakan sifat diri pada Allah, agar zat
Allah benar-benar tidak tersusun dari zat dan sifat dan supaya benar-benar Allah
Esa.
Di akhir masa ini washil bin atha’ telahdapat menyusun dasar-dasar Ilmiyah
bagi madzab Mu’tazilah dan jalan-jalan masyarakat kepadanya. Dia melepaskan
pembantu-pembantunya (pendukung-pendukung fahamnya) ke pelosok untuk
mengembangkan fahamnya dengan segenap tenaga dan kecakapannya, hingga
samapilah da’wahnya ke Khurasan sebelah timur dan ke Marokosebelah barat, ke
Armiya sebelah utara dan ke Yaman sebelah selatan.
Dengan demikian dapatlah kita katakan, bahwa dalam masa inilah mulai
timbul usaha menyusun ilmu (kitab) dalam Ilmu Kalam.
17
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada awal sejarah pemikiran islam, ilmu kalam kurang mendapat perhatian
bahkan tidak disetujui dikalangan muslimin. Kalam sama sekali tidak mendapat
tempat di masa-masa awal islam karena umat pada masa awal-awal islam belum
merasakan arti penting dan perlunya mengetahui lebih jauh dan
memperbincangkan masalah-masalah yang bersifat teoritis, seperti yang
dibicarakan di dalam ilmu kalam.
18
masalah-masalah yang berkaitan dengan masalah-masalah aqidah (kepercayaan),
sehingga tidak keluar dari ajaran dan ketentuan-ketentuan yang telah dinashkan
oleh hukum-hukum islam baik al-Qur’an maupun Sunnah Rasulullah saw.
Keyakinan yang wajib kita pegang ialah, bahwa agama islam adalah
agama (kepercayaan) “Tauhid” (monotheisme), bukan agama yang berpecah-
pecah dalam keprcayaan-kepercayaan itu. Akal adalah pembantunya yang paling
utama dan naql (al-Qur’an dan Sunnah) adalah merupakan sendi-sendi yang
paling kukuh. Dibalik itu hanyalah godaan-godaan setan belaka dan nafsu-nafsu
orang yang haus kekuasaan.
B. Saran
1. Arti penting ilmu kalam ini bukan dan jangan dilihat dari sejarah awal
keberadaannya yang lebih dominan berperan membela akidah islamiah di
hadapan orang-orang yang menentang dan mengingkarinya. Tetapi ilmu
kalam utamanya lebih dimaksudkan untuk menanamkan akidah yang kuat di
kalangan intern umat.
2. Kami sebagai penyusun makalah ini sangat menyadari bahwa dalam
penyusunan materi ini banyak sekali kekurangan. Untuk itu kami meminta
kepada para pembaca semuanya untuk memberikan saran dan kritikannya
supaya dalam pembuatan makalah selanjutnya bisa lebih baik lagi.
19
DAFTAR PUSTAKA
Muhlis.2008.”PerananKaumKhawarijdanMu'tazilah”.(http://muhlis.fileswordpress
.com/2008/03/sejarah-ilmu-kalam.pdf diakses 18 maret 2012)
Rozak, Abdul, Rosihon Anwar. 2011. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia,
20