Anda di halaman 1dari 10

PERTUSIS

A. Definisi

Pertusis (batuk rejan) disebut juga whooping cough, tussis quinta, violent
cough, dan di Cina disebut batuk seratus hari. Istilah pertusis lebih disukai dari batuk
rejan (whooping cough) karena kebanyakan individu yang terinfeksi tidak berteriak
(whoop artinya berteriak). Pertusis yang berarti batuk yang sangat berat atau batuk
yang intensif, merupakan penyakit infeksi saluran nafas akut yang dapat menyerang
setiap orang yang rentan seperti anak yang belum diimunisasi atau orang dewasa
dengan kekebalan yang menurun1,2,3.
Pertusis masih merupakan penyebab terbesar kesakitan dan kematian pada
anak, terutama di negara berkembang. WHO memperkirakan lebih kurang 600.000
kematian disebabkan pertussis setiap tahunnya terutama pada bayi yang tidak
diimunisasi. Dengan kemajuan perkembangan antibiotik dan program imunisasi maka
mortalitas dan morbiditas penyakit ini mulai menurun4.

B. Epidemiologi
Pertusis merupakan salah satu penyakit yang paling menular yang dapat
menimbulkan attack rate 80-100% pada penduduk yang rentan. Selama masa pra-
vaksin tahun 1922-1948, pertusis adalah penyebab utama kematian dari penyakit
menular pada anak di bawah usia 14 tahun di Amerika Serikat. Dilaporkan juga
bahwa 50 persen adalah bayi kurang dari setahun, 75 persen adalah anak kurang dari
5 tahun1,2,3,5,6.
Cara penularan ialah kontak dengan dengan penderita pertussis. Imunisasi
sangat mengurangi angka kejadian dan kematian yang disebabkan pertussis oleh
karena itu di negara dimana imunisasi belum merupakan prosedur rutin masih banyak
didapatkan pertusis. Imunitas setelah imunisasi tidak berlangsung lama. Tingkat
infeksi pertussis menurun drastis setelah vaksin pertusis mulai digunakan secara luas.

1
Antibodi dari ibu (transplasental) selama kehamilan tidaklah cukup untuk
mencegah bayi baru lahir terhadap pertussis. Pertussis yang berat pada neonatus dapat
ditemukan dari ibu dengan gejala pertussis ringan.1,5.

C. Etiologi

Penyebab pertusis adalah Bordetella pertusis. B. pertussis cirinya kecil,


tidak bergerak, cocobacillus gram (-).Bisa didapatkan dengan swab pada daerah
nasofaring penderita pertussis, dan biasanya tumbuh baik pada “glycerin-potato-
blood agar media (border-gengou)”.
Ada enam spesies dari Bordetella yaitu B. parapertussis, B. bronchiseptica,
B. avium, B. hinzii, B. holmesii, dan B. trematum. B. pertusis dan B. parapertussis
adalah dua patogen yang paling umum ditemukan pada manusia 8.
Hanya B. pertussis yang mengeluarkan toksin pertusis (TP), protein virulen
utama. B.pertussis juga menghasilkan beberapa bahan aktif, yang banyak darinya
dimaksudkan untuk memainkan peran dalam penyakit dan imunitas. Aerosol,
hemaglutinin filamentosa (HAF), beberapa aglutinogen (FIM2-FIM3), dan protein
permukaannonfimbria 69-kD yang disebut pertaktin (PRN) penting untuk perlekatan
terhadap sel epitel bersilia saluran pernapasan. Sitotoksin trakea, adenilat siklase, dan
TP menghambat pembersihan organisme. Sitotoksin trakea, factor dermonekrotik dan
adenilat siklase diterima secara dominant menyebabkan cedera epitel local yang
menghasilkan gejala-gejala pernapasan dan mempermudah penyerapan TP. 2,3,4

D. Patogenenis

Bordetella pertusis setelah ditularkan melalui sekresi udara pernapasan


kemudian melekat pada silia epitel saluran pernapasan. Mekanisme patogenesis
infeksi oleh Bordetella pertusis terjadi melalui empat tingkatan yaitu perlekatan,
perlawanan terhadap mekanisme pertahanan pejamu, kerusakan lokal dan akhirnya
timbul penyakit sistemik1,9.

2
Filamentous Hemaglutinin (FHA), Lymphosithosis Promoting Factor (LPF)/
Pertusis Toxin (PT) dan protein 69-Kd berperan pada perlekatan Bordetella pertusis
pada silia. Setelah terjadi perlekatan, Bordetella pertussis kemudian bermultiplikasi
dan menyebar ke seluruh permukaan epitel saluran napas. Proses ini tidak invasif oleh
karena pada pertusis tidak terjadi bakteremia. Selama pertumbuhan Bordetella
pertusis, maka akan menghasilkan toksin yang akan menyebabkan penyakit yang
dikenal dengan whooping cough1,9.
Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hyperplasia jaringan
limfoid peribronkial dan meningkatkan jumlah lendir pada permukaan silia, maka
fungsi silia sebagai pembersih terganggu, sehingga mudah terjadi infeksi sekunder
(tersering oleh Streptococcus pneumonia, H. influenzae dan Staphylococcus aureus).
Penumpukan lendir akan menimbulkan plak yang dapat menyebabkan obstruksi dan
kolaps paru1,9.
Hipoksemia dan sianosis disebabkan oleh gangguan perukaran oksigenasi
pada saat ventilasi dan timbulnya apnea saat terserang batuk. Terdapat perbedaan
pendapat mengenai kerusakan susunan saraf pusat, apakah akibat pengaruh langsung
toksin ataukah sekunder sebagai akibat anoksia1.

E. Manifestasi Klinis

Masa inkubasi pertusis 6-20 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan perjalanan


penyakit ini berlangsung antara 6 – 8 minggu atau lebih. Gejala timbul dalam waktu
7-10 hari setelah terinfeksi. Bakteri menginfeksi lapisan tenggorokan, trakea dan
saluran udara sehingga pembentukan lendir semakin banyak1.
Pada awalnya lendir encer, tetapi kemudian menjadi kental dan lengket.
Infeksi berlangsung selama 6 minggu, dan berkembangan melalui 3 tahapan1,10:
1. Tahap Kataral
Mulai terjadi secara bertahap dalam waktu 7-10 hari setelah terinfeksi,
ciri-cirinya menyerupai flu ringan seperti bersin-bersin, mata berair, nafsu

3
makan berkurang, lesu dan batuk (pada awalnya hanya timbul di malam hari
kemudian terjadi sepanjang hari)

2. Tahap Paroksismal
Mulai timbul dalam waktu 10-14 hari (setelah timbulnya gejala awal) 5-
15 kali batuk diikuti dengan menghirup nafas dalam dengan pada tinggi. Muka
anak akan merah atau sianosis, mata menonjol, lidah menjulur, lakrimasi,
salivasi dan distensi vena leher selama serangan. Pada stadium paroksismal
dapat terjadi petekia pada kepala dan leher atau perdarahan konjungtiva.Batuk
atau lendir yang kental sering merangsang terjadinya muntah. Serangan batuk
bisa diakhiri oleh penurunan kesadaran yang bersifat sementara.
Emesis sesudah batuk dengan paroksimal adalah cukup khas sehingga
anak dicurigai menderita pertussis walaupun tidak ada “whoop”. Anak akan
terlihat apatis dan berat badan menurun.

3. Tahap Konvalesen
Mulai terjadi dalam waktu 4-6 minggu setelah gejala awal. Batuk
semakin berkurang, muntah juga berkurang, anak tampak merasa lebih baik.
Kadang batuk terjadi selama berbulan-bulan, biasanya akibat iritasi saluran
pernafasan.

F. Diagnosis
1. Anamnesis
Dalam anamnesis ditanyakan identitas, keluhan utama serta gejala
klinis pertusis lainnya, faktor resiko, riwayat keluarga, riwayat penyakit
dahulu, dan riwayat imunisasi.
2. Pemeriksaan fisik
Gejala klinis yang didapat pada pemeriksaan fisik tergantung dari
stadium saat pasien diperiksa.

4
3. Pemeriksaan laboratorium
Pada minggu pertama dapat terjadi leukopenia seperti gambaran infeksi
virus. Pada minggu kedua, hitung limfosit absolut >10.000.
Peningkatan leukosit 20.000-50/000 / UI dengan limfositosis absolute
khas pada akhir stadium kataral dan selama stadium paroksismal. Pada bayi
jumlah leukosit tidak menolong untuk diagnosis oleh karena respon
limfositosis juga terjadi pada infeksi lain1,3,10.
Isolasi B.pertussis dari secret nasofaring dipakai untuk membuat
diagnosis pertussis. Biakan positif pada stadium kataral 95-100%, stadium
paroksismal 94% pada minggu ke-3 dan menurun sampai 20% untuk waktu
berikutnya1,3,10.
Tes serologi berguna pada stadium lanjut penyakit dan untuk
menetukan adanya infeksi pada individu dengan biakan. Cara ELISA dapat
dipakai untuk menentukan serum IgM, IgG, dan IgA terhadap FHA PT. Nilai
serum IgM FHA dan PT menggambarkan respon imun primer baik
disebabakan penyakit atau vaksinasi. IgG toksin pertusis merupakan tes yang
paling sensitive dan spesifik untuk mengetahui infeksi dan tidak tampak
setelah pertussis10,12.
4. Pemeriksaan penunjang
Pada pemeriksaan foto toraks dapat memperlihatkan infiltrat perihiler,
atelektasis atau emfisema.

G. Penatalaksanaan
Tujuan terapi adalah membatasi jumlah paroksismal, untuk mengamati
keparahan batuk, memberi bantuan bila perlu, dan memaksimalkan nutrisi, istirahat,
dan penyembuhan tanpa sekuele. Tujuan rawat inap spesifik, terbatas adalah untuk
menilai kemajuan penyakit dan kemungkinan kejadian yang mengancam jiwa pada
puncak penyakit, mencegah atau mengobati komplikasi, dan mendidik orang tua pada
riwayat alamiah penyakit dan pada perawatan yang akan diberikan di rumah. Untuk

5
kebanyakan bayi yang tanpa komplikasi, keadaan ini disempurnakan dalam 48-72
jam1,11.
Pada kasus ringan, umumnya anak-anak umur ≥ 6 bulan, dilakukan
pengobatan rawat jalan. Sedangkan pada anak < 6 bulan perlu dirawat di Rumah
sakit.15.
Pengobatan suportif yang bisa dilakukan diantaranya menghindarkan faktor-
faktor yang menimbulkan serangan batuk, mengatur hidrasi dan nutrisi, oksigen dapat
diberikan pada distres pernapasan akut/kronik, dan penghisapan lendir terutama pada
bayi dengan pneumonia dan distres pernapasan. Beberapa agen terapeutik atau
medikamentonsa yang digunakan pada pasien pertussis adalah sebagai berikut1,11,12 :
1. Agen Antimikroba
Agen antimikroba selalu diberikan bila pertussis dicurigai atau
diperkuat karena kemungkinan manfaat klinis dan membatasi penyebaran
infeksi. Eritromisin, 40-50 mg/kg/24 jam, secara oral dalam dosis terbagi
empat (maksimum 2 g/24 jam) selama 14 hari merupakan pengobatan baku.
Beberapa pakar lebih menyukai preparat estolat tetapi etilsuksinat dan stearat
juga manjur. Penelitian kecil eritromicin etilsuksinat yang diberikan dengan
dosis 50 mg/kg/24 jam dibagi menjadi dua dosis, dengan dosis 60 mg/kg/24
jam dibagi menjadi tiga dosis, dan eritromicin estolat diberikan dengan dosis
40 mg/kg/24 jam dibagi menjadi dua dosis menunjukkan pelenyapan
organisme pada 98% anak. Azitromisin, Claritomisin, Ampisillin, Rifampin,
Trimethoprim-Sulfametoksasol cukup aktif tetapi sefalosporin generasi
pertama dan ke-2 tidak. Pada penelitian klinis, eritromicin lebih unggul
daripada amoksisilin untuk pelenyapan B. pertussis dan merupakan satu-
satunya agen dengan kemanjuran yang terbukti.
2. Salbutamol
Sejumlah kecil trial klinis dan laporan memberi kesan cukup
pengurangan gejala-gejala dari stimulan 2-adrenergik salbutamol (albuterol).
Tidak ada trial klinis tepat yang telah menunjukkan pengaruh manfaat, satu

6
penelitian kecil tidak menunjukkan pengaruh. Pengobatan dengan aerosol
memicu paroksismal.
3. Kortikosteroid
Tidak ada trial klinis buta acak cukup besar yang telah dilakukan
untukan mengevaluasi penggunaan kortikosteroid dalam manajemen pertussis.
Penelitian pada binatang menunjukkan pengaruh yang bermanfaat pada
manifestasi penyakit yang tidak mempunyai kesimpulan pada infeksi
pernafasan pada manusia. Pengguanaan klinisnya tidak dibenarkan.

H. Pencegahan

1. Imunisasi aktif :
Dosis total 12 unit protektif vaksin pertussis dalam 3 dosis yang
seimbang dengan jarak 8 minggu. Imunisasi dilakukan dengan menyediakan
toksoid pertussis, difteria dan tetanus (kombinasi). Vaksin pertusis monovalen
(0.25 ml,i.m) telah dipakai untuk mengontrol epidemi diantara orang dewasa
yang terpapar 1,11,13,14.
2. Kontak dengan penderita :
Eritromisin efektif untuk pencegahan pertussis pada bayi-bayi baru
lahir dan ibu-ibu dengan pertussis. Eritromisin 50 mg/kg BB/hari dibagi
dalam 4 dosis, peroral selama 14 hari. Anak yang berumur > 7 tahun yang
telah mendapatkan imunisasi juga diberikan eritromisin profilaksis.
Pengobatan eritromisin awal akan mengurangi penyebaran infeksi eliminasi
B. pertussis dari saluran pernafasan dan mengurangi gejala-gejala penyakit.
Orang-orang yang kontak dengan penderita pertussis yang belum mendapat
imunisasi sebelumnya, diberikan eritromisin selama 14 hari sesudah kontak
diputuskan. 1,11,12.

7
I. Komplikasi

Komplikasi dapat terjadi pada berbagai macam sistem, terutama sistem respirasi
dan saraf pusat seperti pneumonia, atelectasis, rupture alveoli, episema dan
penumotoraks, perdarahan subkonjungtiva akibat batuk dengan tekanan tinggi, otitis
media, konvulsi dan koma, hipoksia serebral dan kejang.1,10,11.

J. Prognosis

Angka kematian karena pertussis telah menurun menjadi 10/1000 kasus.


Rasio kasus kematian bayi < 2 bulan adalah 1,8 % selama tahun 2000-2004 di USA.
Persentase rawat inap pada dewasa sebesar 3 % (12% dewasa tua). Tingkat
berkembangnya menjadi pneumonia hingga 5 % dan mengalami patah tulang rusuk
sampai 4 %12. Kebanyakan kematian disebabkan oleh ensefalopati dan pneumonia
atau komplikasi paru-paru lain1,12.

8
BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

1. S. Long, Sarah. (2019). Pertusis. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol II. Jakarta :
EGC. 181: 960-965.

2. Garna, Harry. Pertusis. Azhali M.S, dkk. (2013). Ilmu Kesehatan Anak Penyakit
Infeksi Tropik. Bandung, Indonesia : FK Unpad : 80-86.

3. Law Barbara J. (2018). Pertussis. Kendig’s : Disorders of Respiratory Tract in


Children. WB Saunders. 6th edition. Philadelphia, USA. Chapter 62. h :1018-
1023.

4. Heininger, U. (2010). Update on pertussis in children. Expert review of anti-


infective therapy 8 (2): 163–73.

5. Black S. (2017). Epidemiology of pertussis. Pediatr Infect Dis J. Available at


http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/9109162. Accessed on May 14th 2014.

6. Cherry JD. (2015). The epidemiology of pertussis: a comparison of the


epidemiology of the disease pertussis with the epidemiology of Bordetella
pertussis infection. Pediatrics : 115:1422-1427. Available at
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15867059. Accessed on May 14th 2014.

7. Farizo KM. (2012). Epidemiological features of pertussis in the United States,


1980-1989. Clin Infect Dis ; 14(3):708-19. Available at
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/1562663. Accessed on May 14th 2014.

8. Hewlett EL. (2005). Bordetella species. In: Principles and Practice of Infectious
Diseases, 6th ed, Mandell GL, Bennett JE, Dolin R (Eds), Churchill Livingstone,
Philadelphia. p.2701. Available at

9
http://www.uptodate.com/contents/microbiology-pathogenesis-and-
epidemiology-of-bordetella-pertussis-infection#H3. Accessed on May 13rd 2014.

9. Todar, Kenneth. (2011). Bordetella pertussis and Whooping Cough. Available at


http://textbookofbacteriology.net/pertussis_2.html. Accessed on May 13rd 2014.

10. Shehab, Ziad M. Pertussis. Taussig-Landau : Pediatric Respiratory Medicine.


Missouri, USA. Mosby Inc. 1999. Chapter 42. h: 693-699.

11. Staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. (2015). Pertusis. Staf pengajar
I.K.Anak FKUI : Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta, Indonesia. FKUI,
1997. Jilid 2. h: 564-566.

12. Tejpratap Tiwari. (2015). Recommended Antimicrobial Agents for the Treatment
and Postexposure Prophylaxis of Pertussis. CDC Guideline.
http://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/rr5414a1.htm

13. Kretsinger K, Broder KR, Cortese MM, et al. (2016). Preventing tetanus,
diphtheria, and pertussis among adults: use of tetanus toxoid, reduced diphtheria
toxoid and acellular pertussis vaccine. MMWR Recomm Rep. 55(RR-17):1-33.
Available at
https://online.epocrates.com/u/2951682/Pertussis/FollowUp/Overview. Accessed
on May 15th 2014.

14. Update: Vaccine Side Effects, Adverse Reactions, Contraindications, and


Precautions Recommendations of the Advisory Committee on Immunization
Practices. Available at:
http://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/00046738.html. Accessed on
May 15th 2014.

15. Pertusis. International Child Health Review Collaboration. Available at


http://www.ichrc.org/47-pertusis. Accessed on May 15th 2014

10

Anda mungkin juga menyukai