Anda di halaman 1dari 118

Kata Pengantar

Segala syukur dan puji hanya bagi Tuhan Yesus Kristus, oleh karena
anugerah-Nya yang melimpah, kemurahan dan kasih setia yang besar
akhirnya penulis dapat menyelesaikan dan menerbitkan Buku Ajar Gangguan
Sistem Gastrointestinal: Perdarahan Saluran Cerna pada Anak sesuai dengan
Standar Kompetensi Dokter Indonesia.
Buku ini berisikan kumpulan macam penyakit yang terkait dengan
perdarahan saluran cerna pada anak yang sudah disesuaikan dengan standar
kompetensi dokter indonesia (SKDI). Pemilihan topik pada buku ini
diprioritaskan pada kasus-kasus yang sering ditemui dalam praktek sehari-
hari.
Penulis banyak mengucapkan banyak terima kasih sebesar-besarnya
kepada para kontributor yang telah meluangkan waktu dan pikirannya dalam
proses penyusunan buku ajar ini. Penulis berharap dengan adanya buku ajar
ini, para dokter spesialis anak, peserta program studi Ilmu Kesehatan Anak,
dokter umum, maupun mahasiswa kedokteran mampu melakukan diagnosis
dan tatalaksana awal yang cepat dan tepat.
Manado, 1 November 2021

Dr. dr. Jeanette I. Ch. Manoppo, Sp.A(K)


Penulis

i
Daftar isi

Kata Pengantar………………………………………………………… i
Daftar Isi………………………………………………………………. ii
Pendekatan Diagnostik Anak dengan Perdarahan Saluran Cerna ............... 1
Perdarahan Saluran Cerna Pada Anak akibat Infeksi..................................... 11
Perdarahan Saluran Cerna Pada Anak akibat Alergi ...................................... 30
Perdarahan Saluran Cerna Pada Anak akibat Gangguan Anatomi .............. 43
Perdarahan Saluran Cerna Pada Anak dengan Gangguan Hati ................... 68
Pencitraan pada Anak dengan Perdarahan Saluran Cerna ............................ 88

ii
PENDEKATAN DIAGNOSTIK ANAK
DENGAN PERDARAHAN SALURAN
CERNA

Perdarahan saluran cerna pada anak merupakan masalah yang sering dihadapi
dengan manifestasi klinis yang beragam, mulai dari perdarahan masif yang
mengancam jiwa hingga perdarahan samar yang tidak dirasakan. Menurut
definisi, perdarahan saluran cerna merupakan suatu kondisi terjadinya
kehilangan darah pada saluran cerna mulai dari rongga mulut hingga anus
dengan jumlah perdarahan lebih dari 1,5 mL per hari. Berdasarkan data dari
Nationwide Emergency Department tahun 2006 – 2011, insidensi terjadinya
perdarahan saluran cerna pada anak banyak terjadi pada usia 11 – 15 tahun
(50,8%) dengan jumlah anak perempuan lebih banyak daripada anak laki –
laki (54,5% dengan 45,5%). Pada umumnya, insiden perdarahan saluran cerna
berat jarang dijumpai pada usia anak, sehingga angka kejadian secara pasti
sulit ditentukan. Di Amerika, perdarahan saluran cerna atas dijumpai pada 6-
20% kasus yang memerlukan perawatan di ICU sedangkan di Indonesia,
belum didapatkan data yang tepat. Mortalitas dari perdarahan saluran cerna
atas pada anak adalah sebesar 4,8% sedangkan pada saluran cerna bawah
adalah sebesar 0,6%. Pada kasus pediatri lebih sering ditemukan perdarahan
saluran cerna bawah, sebagian besar ringan dan dapat sembuh sendiri.
Insidensnya sebesar 0,3% dari seluruh kasus di Instalasi Gawat Darurat anak
dan hanya 4,2% yang mengancam nyawa; perdarahan saluran cerna atas lebih
jarang dengan insidens 1 – 2 kasus per 10.000 anak tiap tahun.
1
Perdarahan saluran cerna pada anak dapat diklasifikasikan
berdasarkan waktu terjadinya perdarahan, etiologi atau penyebab perdarahan,
maupun lokasi perdarahan. Berdasarkan waktu terjadinya perdarahan,
perdarahan saluran cerna dibagi menjadi akut, intermiten/rekuren yang
sering berulang maupun kronik hingga menyebabkan anemia defisiensi besi.
Sedangkan berdasarkan etiologi, perdarahan saluran cerna dibagi kembali
berdasarkan usia pasien yaitu pada periode neonatus, periode anak usia 1
bulan – 2 tahun, maupun anak usia 2 – 16 tahun. Usia pasien memegang
peranan penting dalam menentukan pendekatan diagnostik yang diperlukan.
Klasifikasi yang berikutnya adalah klasifikasi berdasarkan lokasi terjadinya
perdarahan yaitu perdarahan saluran cerna atas jika terjadi diatas ligamentum
Treitz di distal duodenum, yaitu pada rongga mulut, esofagus, gaster, dan
duodenum. Sedangkan perdarahan saluran cerna bawah merupakan
perdarahan yang terjadi dibawah ligamentum Treitz, yaitu pada usus halus,
kolon, rektum, dan anus.
Berdasarkan etiologi, perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat
infeksi maupun non-infeksi. Infeksi dapat terjadi akibat virus, bakteri, jamur,
maupun parasit seperti amoeba maupun cacing. Sedangkan etiologi non-
infeksi dapat berupa alergi, gangguan pembekuan, ataupun gangguan
anatomis. Jika diklasifikasikan berdasarkan usia, perdarahan saluran cerna
atas yang terjadi pada neonatus dapat terjadi akibat tertelannya darah ibu,
esofagitis, gastritis, duodenitis, malformasi vaskular, ataupun kelainan faktor
pembekuan. Pada perdarahan saluran cerna bawah yang terjadi pada periode
neonatus dapat terjadi akibat enterokolitis, proktokolitis, alergi, necrotizing
enterocolitis, volvulus, ataupun kelainan faktor pembekuan darah lainnya.
Perdarahan saluran cerna atas yang terjadi pada anak usia 1 bulan hingga 2
2
tahun dapat terjadi akibat esofagitis, gastritis, ulkus akut, sindrom Mallory-
Weiss, varises esofagus, kelainan vaskuler yang abnormal, dan duplikasi atau
kelainan anatomis dari saluran cerna. Pada perdarahan saluran cerna bagian
bawah pada anak usia 1 bulan hingga 2 tahun dapat terjadi akibat fisura ani,
kolitis infektif, kelainan vaskuler, kolitis akibat alergi ataupun divertikulitis
dengan divertikel Meckel. Etiologi lain yang menyebabkan perdarahan
saluran cerna atas pada anak usia diatas 2 tahun dapat terjadi akibat esofagitis,
gastritis, ulkus akut, sindrom Mallory-Weiss, varises esofagus, kelainan
vaskuler yang abnormal, dan duplikasi atau kelainan anatomis dari saluran
cerna. Pada perdarahan saluran cerna bagian bawah pada anak diatas usia 2
tahun dapat terjadi akibat fisura ani, kolitis infektif, kelainan pembuluh darah,
polip, ataupun inflammatory bowel disease.
Perdarahan saluran cerna dapat menunjukkan manifestasi klinis yang
beragam, dapat berupa melena (tinja berwarna hitam atau seperti ter);
hematokezia (darah segar per rektum berwarna merah cerah atau sedikit
gelap); atau hematemesis (muntah darah dengan material muntahan berwarna
merah terang atau merah gelap seperti bubuk kopi). Pada hampir seluruh
kasus, manifestasi klinis dapat menggambarkan letak perdarahan.
Hematemesis adalah gejala klasik perdarahan saluran cerna atas. Diare
berdarah dengan darah segar bercampur atau melapisi tinja adalah gejala
klasik perdarahan saluran cerna bawah. Sedangkan hematokezia, melena, dan
perdarahan samar saluran cerna dapat menandakan perdarahan saluran cerna
atas atau bawah. Pada kasus hematokezia atau melena akut, letak perdarahan
dapat dikonfirmasi dengan memasukkan pipa nasogastrik dan melakukan
aspirasi isi lambung. Adanya darah akan mengonfirmasi diagnosis perdarahan
saluran cerna atas (termasuk perdarahan duodenum yang biasanya refluks ke
3
lambung) serta memperkirakan jumlah perdarahan dan menentukan apakah
perdarahan telah berhenti.
Pada anamnesis, hal pertama yang perlu ditentukan adalah apakah
anak tersebut betul-betul mengalami perdarahan saluran cerna. Beberapa
kasus yang sering terjadi dan didiagnosis dengan perdarahan saluran cerna
antara lain adalah tertelannya darah ibu saat persalinan atau saat menyusui
akibat puting yang lecet, tertelan darah epistaksis, maupun mengkonsumsi
makanan dan obat – obatan tertentu. Beberapa makanan atau obat yang dapat
menyebabkan diagnosis keliru sebagai hematemesis atau melena seperti
permen merah, kulit tomat, buah bit, rifampisin, laksatif, maupun fenitoin.
Sedangkan beberapa makanan atau obat yang dapat menyebabkan tinja
berwarna hitam seperti tablet besi, bayam, obat bismuth, maupun karbon
aktif. Sedangkan keadaan yang dapat didiagnosis keliru sebagai hematokezia
seperti menstruasi ataupun hematuria. Hal kedua yang perlu ditanyakan saat
anamnesis adalah seberapa banyak volume darah yang hilang untuk
menentukan berat ringannya perdarahan saluran cerna. Berikutnya, pada
anamnesis dapat ditanyakan warna dan jenis perdarahan, frekuensi, durasi,
maupun gejala penyerta seperti demam ataupun nyeri perut. Anamnesis hal
lain juga perlu ditanyakan seperti riwayat konsumsi obat – obatan
sebelumnya, riwayat menelan benda asing, perubahan pola makan, trauma
abdomen, luka bakar dengan jumlah luas, maupun riwayat penyakit
sebelumnya seperti persalinan prematur, sepsis, penyakit hati, penyakit
saluran cerna sebelumnya (enterokolitis, intususepsi, anomali kongenital)
maupun kelainan hematologi seperti anemia sel sabit atau hemofilia. Hal yang
tidak kalah penting juga perlu ditanyakan mengenai riwayat penyakit dalam

4
keluarga seperti penyakit perdarahan, penyakit hati kronik, dan penyakit
saluran cerna lainnya (polip, ulkus, kolitis).
Pada pemeriksaan fisik, hal pertama yang perlu dinilai adalah dengan
pemeriksaan tanda – tanda vital dan saturasi oksigen serta keadaan umum
maupun status hemodinamik pasien untuk menentukan perkiraan volume
darah yang hilang. Gejala klinis yang sering timbul pada perdarahan saluran
cerna pada anak adalah pucat, gelisah ataupun letargis. Pada organ kulit, dapat
pula ditemukan ekimosis, ikterik, pruritus ataupun spider hemangioma.
Sedangkan pada organ kardiovaskular dapat ditemukan irama gallop atau
waktu pengisian kapiler yang memanjang akibat dehidrasi. Indikator terbaik
adanya perdarahan berat dan tanda awal gagal jantung adalah takikardia saat
istirahat dan perubahan ortostatik tekanan darah berupa peningkatan denyut
nadi 20 kali/menit ataupun penurunan tekanan darah sistolik lebih atau sama
dengan 10 mmHg saat perubahan posisi supine ke posisi duduk. Pada organ
pencernaan dan abdomen, dapat ditemukan organomegali dengan atau tanpa
disertai nyeri perut, maupun fisura, fistula atau ruam pada area perineum.
Dalam menegakkan diagnosis, pemeriksaan selanjutnya yang perlu
dilakukan adalah pemeriksaan penunjang. Pada umumnya, pemeriksaan
penunjang yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan darah rutin lengkap, laju
endap darah, kadar urea dan nitrogen dalam darah, waktu prothrombin,
waktu tromboplastin parsial, dan uji Guaiac dari sampel tinja dan muntahan.
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan uji Apt-Downey
yang digunakan untuk membedakan hematemesis bayi yang berasal dari
saluran cerna bayi atau berasal dari darah ibu yang tertelan. Pemeriksaan
penunjang lainnya yang umum dilakukan adalah endoskopi, baik gastroskopi
maupun kolonoskopi untuk kepentingan diagnostik yaitu mengetahui lokasi
5
perdarahan dan biopsi, maupun kepentingan terapeutik. Tak hanya itu,
pemeriksaan radiologis juga dapat dilakukan berupa foto polos abdomen
(untuk melihat tanda – tanda enterokolitis nekrotikans seperti pneumonia
intestinal, dilatasi usus, penebalan dinding usus), barium enema (untuk
melihat adanya polip, malrotasi ataupun intususepsi), foto kontras saluran
cerna, ultrasonografi abdomen (untuk melihat adanya hipertensi portal dan
penyakit hati kronis), CT-Scan dan MRI (untuk melihat kondisi vaskularisasi
abdomen), ataupun angiografi (untuk melihat lesi perdarahan aktif atau
perdarahan kronik rekuren yang tidak tampak dengan pemeriksaan lain).
Prinsip penatalaksanaan mencakup tindakan suportif dan terapi
untuk mengontrol perdarahan aktif. Tatalaksana suportif berupa stabilisasi
hemodinamik dengan resusitasi cairan intravena kristaloid, oksigenasi pada
perdarahan aktif masif dengan syok, transfusi darah jika terjadi perdarahan
masif, koreksi koagulasi, koreksi gangguan elektrolit, serta mencegah
ensefalopati hepatikum pada penderita penyakit hati kronis dengan laktulosa
dan non-absorbable antibiotic. Laktulosa berfungsi membersihkan saluran cerna
dari sisa-sisa darah sedangkan non-absorbable antibiotic seperti neomisin, kolistin
bertujuan untuk mensterilkan usus dari bakteri usus yang akan mencerna
bekuan darah menjadi amonia (neurotoksik). Prinsip penatalaksanaan yang
kedua adalah dengan terapi spesifik untuk mengontrol perdarahan dengan
pemberian penghambat sekresi asam lambung seperti antagonis histamin 2
(ranitidin), penghambat pompa proton (pantoprazol, esomeprazol) ataupun
pemberian agen vasoaktif untuk menurunkan tekanan vena porta dengan
menurunkan aliran darah splanik. Beberapa contoh agen vasoaktif adalah
oktreotid (analog somatostatin) dan vasopresin (hormon antidiuretik). Tak
hanya tatalaksana yang dilakukan saat perdarahan berlangsung, tatalaksana
6
lanjutan juga perlu dilakukan untuk mencegah perdarahan berulang seperti
pemberian propranolol (penghambat beta adrenergik), proteksi mukosa
saluran cerna (sukralfat), maupun pemberian penghambat sekresi asam
lambung. Selain tatalaksana medikamentosa, tatalaksana non-medikamentosa
lainnya yang dapat dilakukan berupa pemasangan pipa nasogastrik,
endoskopi maupun angiografi. Pemasangan pipa nasogastrik bertujuan untuk
mengeluarkan sisa bekuan darah, melihat apakah perdarahan masih
berlangsung dan untuk persiapan endoskopi emergensi. Pada endoskopi yang
dilakukan untuk terapeutik, terapi ligase dan skleroterapi dapat digunakan
untuk perdarahan karena varises esofagus walaupun memiliki efek samping
berupa striktur dan perdarahan berulang. Angiografi menggunakan teknik
embolisasi atau vasopresin juga dapat dilakukan untuk perdarahan saluran
cerna yang difus ataupun yang berasal dari pembuluh darah kecil.
Anak-anak dengan perdarahan saluran cerna dengan atau tanpa
disertai nyeri abdomen sebaiknya tidak dipulangkan sampai gejala membaik
atau diagnosis definitif ditegakkan. Pada anak yang keadaan umumnya baik
dengan keluhan perdarahan segar dalam jumlah sedikit atau dengan tanda
perdarahan kronik dapat dirujuk ke bagian gastroenterologi untuk
kolonoskopi rawat jalan. Bayi dengan dugaan alergi protein susu sapi yang
tampak sehat dan dapat di evaluasi rutin tidak membutuhkan terapi spesifik
di Instalasi Gawat Darurat. Sesudah perawatan selama 24 jam, sebagian besar
anak dengan perdarahan saluran cerna ringan dapat dipulangkan dari Instalasi
Gawat Darurat. Anak dengan hemodinamik stabil tanpa gejala sistemik atau
nyeri abdomen signifikan tidak memerlukan rawat inap ataupun evaluasi
lainnya. Keadaan yang dapat ditangani di Instalasi Gawat Darurat dan
memungkinkan rawat jalan antara lain: bayi tertelan darah ibu, robekan
7
Mallory-Weiss, gastritis, ulkus peptik, fisura anal, polip juvenil, alergi protein
susu sapi, dan disentri yang tidak membutuhkan rehidrasi intravena. Pada
pasien stabil dengan dugaan IBD atau divertikulum Meckel, diagnosis
definitif dapat ditegakkan saat rawat jalan.
Perdarahan saluran cerna terdiri dari perdarahan saluran cerna atas
(di atas ligamentum Treitz) dan perdarahan saluran cerna bawah (di bawah
ligamentum Treitz). Untuk membedakan keduanya, selain manifestasi klinis,
perlu pemasangan pipa nasogastrik dan aspirasi isi lambung. Diagnosis
banding perdarahan saluran cerna dikelompokkan berdasarkan manifestasi
klinis serta usia pasien. Prinsip penatalaksanaan berupa tindakan suportif dan
terapi untuk mengontrol perdarahan aktif.

Daftar Pustaka
1. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP,
Harmoniati ED, et al. Pedoman pelayanan medis. Volume 2. Edisi ke-
2. Jakarta: IDAI;2011. 215-23.
2. Reid SM. Gastrointestinal bleeding in infants and children. In: Tintinalli
JE, Stapczynski JS, Ma OJ, Yealy DM, Meckler GD, Cline DM.
Tintinalli’s emergency medicine. 8th ed. USA: Mc Graw Hill; 2016.
3. Hizal G, Ozen H. Gastrointestinal bleeding in children. In: Eren M,
Ozen H, editor. Gastroenterology in pediatrics: Current knowledge
about some common disorders. Journal of Pediatric Sciences
2011;3(4):100.
4. Juffrie M, Soenarto SSY, Oswari H, Arief S, Rosalina I, Mulyani NS.
Gastroenterologi-hepatologi. 1st ed. Jakarta: IDAI; 2010. p. 32-40.

8
5. Boyle JT. Gastrointestinal bleeding in infants and children. Pediatrics in
review 2008;29(2):39-51.
6. Neidich GA, Cole SR. Gastrointestinal bleeding. Pediatrics in review
2014;35(6):243-53.

Latihan Soal
1. Penyebab perdarahan saluran cerna pada pediatri tersering adalah
a. Perdarah saluran cerna bagian atas yang bersumber dari usus halus
b. Perdarahan saluran cerna bagian atas yang bersumber dari esofagus
c. Perdarahan saluran cerna bagian atas yang bersumber dari duodenum
d. Perdarahan saluran cerna bagian bawah yang bersumber dari rektum
e. Perdarahan saluran cerna bagian bawah yang bersumber dari gaster

2. Berdasarkan lokasi perdarahan, perdarahan saluran cerna diklasifikasikan


menjadi 2 jenis yaitu perdarahan saluran cerna bagian atas dan bawah
dengan batas lokasi yaitu?
a. Duodenojejunal junction
b. Ligamentum treitz
c. Gaster
d. Duodenum
e. Pankreas

9
3. Anak laki - laki berusia 12 tahun dibawa ke RS oleh ibunya dengan keluhan
3 hari terakhir BAB berwarna hitam. Menurut ibu pasien, tidak ada
keluhan lain selain BAB hitam yang dialami oleh anaknya dan tidak ada
riwayat mengkonsumsi obat-obatan lain atau perubahan pada pola
makannya. Apa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk
mencari letak perdarahan saluran cerna pada kasus anak ini adalah?
a. Pemeriksaan darah rutin dan LED
b. Pemeriksaan darah rutin, LED dan pemeriksaan sampel tinja
c. Pemeriksaan darah rutin, LED dan pemeriksaan gastroskopi
d. Pemeriksaan darah rutin, LED dan pemeriksaan aspirasi isi lambung
d. Pemeriksaan darah rutin, LED dan pemeriksaan kolonoskopi

10
PERDARAHAN SALURAN CERNA PADA
ANAK AKIBAT INFEKSI

Disentri adalah diare berdarah, yaitu setiap episode diare di mana feses yang
encer atau encer mengandung darah merah yang terlihat. Disentri paling
sering disebabkan oleh spesies Shigella (disentri basiler) atau Entamoeba
histolytica (disentri amuba).

1. Shigellosis
Shigellosis adalah jenis keracunan makanan yang disebabkan oleh
infeksi spesies Shigella. Ini adalah masalah kesehatan masyarakat yang
utama di negara berkembang di mana sanitasi buruk. Shigellosis menyebar
melalui transmisi fekal-oral. Disentri fulminan yang tidak diobati dapat
terjadi dan berpotensi fatal. Belum ada vaksin untuk spesies Shigella,
namun beberapa sedang dikembangkan.

Patofisiologi
Patogen ini menyebabkan kerusakan oleh dua mekanisme, (1) invasi epitel
kolon, yang bergantung pada faktor virulensi yang dimediasi oleh plasmid,
dan (2) produksi enterotoksin, yang tidak penting untuk kolitis tetapi
meningkatkan virulensi.
Lapaquette et al menunjukkan bahwa S. flexneri menggunakan
mekanisme tergantung Kalsium untuk menyebabkan penghambatan
sumoylation, sehingga memungkinkan masuknya bakteri patogen.

11
Epdemiologi
Shigellosis terjadi di seluruh dunia, dan cenderung terjadi setiap kali
perang, bencana alam (misalnya gempa bumi, banjir), atau kondisi hidup
yang tidak higienis mengakibatkan kepadatan berlebih dan sanitasi yang
buruk. Penyakit dari spesies Shigella menyebabkan sekitar 700.000
kematian dan 165 juta kasus diare setiap tahun di seluruh dunia.
Shigellosis paling sering terjadi pada anak-anak berusia 6 bulan sampai 5
tahun.

Manifestasi Klinis
Manifestasi shigellosis umumnya dimulai dalam 1-2 hari setelah infeksi
dan dapat mencakup serangkaian tanda dan gejala berikut:
ü Diare berdarah akut
ü Sakit perut kram
ü Tenesmus
ü Keluarnya lendir
ü Demam (1-3 hari setelah terpapar)
ü Kadang-kadang muntah (prevalensi 35%)
ü Kursus terbatas (3 hari hingga 1 minggu dan, jarang, 1 bulan)

Pemeriksaan Penunjang
ü Leukosit dan eritrosit tinja
ü Kadar hematokrit, natrium, dan nitrogen urea sedikit
meningkat indikasi penurunan volume pada kasus shigellosis.
ü Leukositosis jarang terjadi.
ü Temuan positif pada kultur feses dari spesimen feses segar
12
ü Pada pasien yang immunocompromised (misalnya, terinfeksi human
immunodeficiency virus [HIV]), kultur darah jarang membantu dalam
kasus shigellosis.

Tatalaksana
Infeksi Shigella menyebabkan penyakit diare yang sembuh sendiri yang
berlangsung selama 5-7 hari dan mungkin tidak memerlukan antibiotik
pada individu yang sehat. Namun, untuk alasan kesehatan masyarakat,
kebanyakan ahli merekomendasikan untuk merawat siapa saja yang kultur
fesesnya positif untuk spesies Shigella. Selain itu, antibiotik telah terbukti
mengurangi durasi demam dan diare sekitar 2 hari. Durasi penumpahan
yang lebih singkat dengan terapi antibiotik dapat mengurangi risiko
penularan dari orang ke orang.
Ampisilin digunakan secara luas di masa lalu tetapi tidak lagi menjadi
pengobatan empiris yang efektif di Amerika Serikat karena resistensi
antibiotik. Faktanya, resistensi antibiotik terhadap spesies Shigella tersebar
luas dan meningkat di seluruh dunia. Oleh karena itu, pengujian
kerentanan antibiotik penting untuk penatalaksanaan pasien yang
dicurigai mengalami infeksi Shigella.
Saat ini, ciprofloxacin, azithromycin, dan ceftriaxone adalah
pengobatan utama untuk shigellosis. Namun, di beberapa wilayah,
semakin banyak bukti yang menunjukkan penurunan kerentanan atau
resistensi penuh terhadap agen ini.
Mengingat resistensi luas terhadap ciprofloxacin serta trimetoprim-
sulfametoksazol dan azitromisin, sefalosporin generasi ketiga adalah
terapi empiris yang tepat dalam pengaturan penyakit akut.
13
Prognosa
Gejala pasca infeksi umumnya kurang dari 3-4 minggu. Kram ringan dan
diare dapat berlanjut selama berhari-hari hingga berminggu-minggu
setelah pengobatan shigellosis. Morbiditas/mortalitas infeksi spesies
Shigella mungkin berhubungan dengan komplikasi ekstragastrointestinal.
Bakteremia terjadi terutama pada anak-anak yang kekurangan gizi
dan membawa angka kematian 20% akibat gagal ginjal, hemolisis,
trombositopenia, perdarahan saluran cerna, dan syok. Gangguan
metabolisme: Hiponatremia sekunder akibat sindrom hormon
antidiuretik (ADH) sekresi yang tidak memadai dapat terjadi. Dapat
terjadi reaksi Leukemoid: Sebuah peningkatan WBC hitungan
50.000/mm3 terjadi pada sekitar 4% pasien, terutama pada pasien anak
usia 2-10 tahun. Penyakit neurologis yang dapat terjadi: Kejang,
merupakan komplikasi neurologis paling umum, selalu dikaitkan dengan
demam dan bersifat umum. Mereka biasanya tidak berulang dan tidak
rumit. Kejang paling umum dengan S dysenteriae. Prevalensi kejang sekitar
10% untuk semua usia. Artritis reaktif (juga dikenal sebagai sindrom
Reiter) dapat terjadi.

2. Amebiasis
Amebiasis disebabkan oleh Entamoeba histolytica, protozoa yang
ditemukan di seluruh dunia. Prevalensi amebiasis tertinggi ada di negara
berkembang di mana hambatan antara feses manusia dan persediaan
makanan dan air tidak memadai.20-23 Meskipun sebagian besar
kasus amebiasis tidak bergejala, disentri dan penyakit ekstraintestinal
invasif dapat terjadi. Abses hati amuba adalah manifestasi paling umum
14
dari amebiasis invasif, tetapi organ lain juga dapat terlibat,
termasuk pleuropulmoner, jantung, serebral, ginjal, genitourinari,
peritoneal, dan kulit. Di negara maju, amebiasis terutama menyerang
pelancong yang bermigrasi dari dan ke daerah endemik, laki-laki yang
berhubungan seks dengan laki-laki, dan individu yang mengalami
imunosupresi.
National Institute of Allergy and Infectious Diseases (NIAID) telah
mengklasifikasikan E. histolytica sebagai patogen biodefense kategori B
karena dosis infeksi yang rendah, stabilitas lingkungan, ketahanan
terhadap klorin, dan kemudahan penyebaran melalui kontaminasi
pasokan makanan dan air.

Patofisiologi
E. histolytica adalah parasite protozoa pembentuk pseudopoda,
nonflagelated yang menyebabkan proteolisis dan lisis jaringan (oleh karena
itu nama spesiesnya) dan dapat menyebabkan apoptosis sel inang (lihat
gambar di bawah). Manusia dan mungkin primata bukan manusia adalah
satu-satunya inang alami.
Penelanan kista E. histolytica (lihat gambar pertama di bawah) dari
lingkungan diikuti oleh eksistasi di ileum terminal atau usus besar untuk
membentuk trofozoit yang sangat motil (lihat gambar kedua di
bawah). Setelah kolonisasi mukosa kolon, trofozoit dapat keluar dan
kemudian diekskresikan dalam tinja, atau dapat menyerang penghalang
mukosa usus dan mendapatkan akses ke aliran darah, di mana ia menyebar
ke hati, paru-paru, dan tempat lain. Kista yang diekskresikan mencapai
lingkungan untuk menyelesaikan siklusnya.
15
Jalur litik dan apoptosis telah dijelaskan. Sitolisis dapat dilakukan
oleh amebapores, suatu keluarga peptida yang mampu membentuk pori-
pori pada lapisan ganda lipid. Selanjutnya, pada hewan model abses
hati , trofozoit diinduksi apoptosis melalui jalur reseptor non- Fas dan
non-tumor necrosis factor (TNF)-α1. Amobepores, pada konsentrasi sublytic,
bisa juga menginduksi apoptosis.
Sistein proteinase telah terlibat langsung dalam invasi dan
peradangan usus dan dapat memperkuat peradangan yang dimediasi
interleukin (IL) -1 dengan meniru aksi enzim pengubah IL-1 manusia,
membelah prekursor IL-1 menjadi bentuk aktifnya. The proteinase sistein
juga memotong dan dapat menonaktifkan Anafilatoksin C3a dan C5a,
serta IgA dan imunoglobulin G (IgG).
Sel epitel juga menghasilkan berbagai mediator inflamasi, termasuk
IL-1β, IL-8, dan cyclooxygenase (COX) -2, yang menyebabkan tarikan
neutrofil dan makrofag. Terapi kortikosteroid diketahui memperburuk
hasil klinis, kemungkinan karena efeknya yang tumpul pada respons imun
bawaan ini.
Pertahanan inang tambahan, termasuk sistem komplemen, dapat
dihambat secara langsung oleh trofozoit, seperti yang dikemukakan oleh
temuan bahwa wilayah lektin spesifik GAL/GaINAc
menunjukkan reaksi silang antigenik dengan CD59, penghambat
membran kompleks serangan C5b-9 dalam sel darah merah manusia.
Penyebaran amebiasis ke hati terjadi melalui darah portal. Strain
patogenik menghindari lisis yang dimediasi komplemen dalam aliran
darah. Trofozoit yang mencapai hati membuat abses unik dengan daerah
berbatas tegas dari hepatosit mati yang dikelilingi oleh beberapa sel
16
inflamasi dan trofozoit serta hepatosit yang tidak terpengaruh. Temuan
ini menunjukkan bahwa organisme E. histolytica mampu membunuh
hepatosit tanpa kontak langsung.
Antibodi serum pada pasien dengan abses hati amuba berkembang
dalam 7 hari dan bertahan selama 10 tahun. Respon IgA mukosa
terhadap E. histolytica terjadi selama amebiasis invasif; Namun, tidak ada
bukti yang menunjukkan bahwa amebiasis invasif meningkat dalam
insiden atau keparahan pada pasien dengan defisiensi IgA.
Imunitas yang diperantarai sel penting dalam membatasi penyakit
danmencegah kekambuhan. Terjadi respons blastogenik spesifik antigen,
yang mengaktifkan pembunuhan trofozoit E. histolytica oleh
makrofag. Pembunuhan ini tergantung pada kontak, jalur
oksidatif, jalur nonoksidatif, dan oksida nitrat (NO).
Limfokin, seperti TNF alfa mampu mengaktifkan aktifitas
amebicidal dari neutrophil. Inkubasi limfosit CD8+ dengan antigen E
hisolytica secara in vitro memunculkan aktivitas sel T sitotoksik melawan
trofozoit. Selama amebiasis invasive akut, respon sel T terhadap E
histolytica tertekan oleh factor serum yang diinduksi oleh parasite.

Epidemiologi
Di seluruh dunia, sekitar 50 juta kasus penyakit E. histolytica invasif terjadi
setiap tahun, yang mengakibatkan 100.000 kematian. Ini mewakili puncak
gunung es karena hanya 10% -20% orang yang terinfeksi menjadi
bergejala. Insiden amebiasis lebih tinggi di negara berkembang.
Amebiasis adalah penyebab utama kedua kematian akibat penyakit

17
parasit, menewaskan sekitar 40.000-100.000 orang per tahun di seluruh
dunia.
Prevalensi infeksi Entamoeba setinggi 50% di wilayah Amerika
Tengah dan Selatan, Afrika, dan Asia. Di daerah endemik, sebanyak 25%
pasien mungkin membawa antibodi terhadap E. histolytica sebagai akibat
dari infeksi sebelumnya. Prevalensi infeksi E. histolytica
asimtomatik tampaknya bergantung pada wilayah; di Brazil, misalnya,
mungkin mencapai 11%.

Manifestasi Klinis
Spektrum klinis amebiasis berkisar dari infeksi asimtomatik hingga kolitis
fulminan dan peritonitis hingga amebiasis ekstraintestinal, bentuk yang
paling umum adalah abses hati amuba. Amebiasis lebih parah pada pasien
yang sangat muda, pada pasien lanjut usia, dan pada pasien yang
menerima kortikosteroid.
ü Kolitis amuba
Kolitis amuba onsetnya bertahap, dengan gejala yang muncul selama
1-2 minggu; pola ini membedakan kondisi ini dari disentri
bakteri. Diare adalah gejala yang paling umum. Pasien dengan kolitis
amuba biasanya datang dengan kram perut, diare berair atau
berdarah, dan penurunan berat badan atau anoreksia. Demam terjadi
pada 10-30% pasien. Amebiasis usus mungkin mirip dengan
apendisitis akut. Pendarahan rektal tanpa diare dapat terjadi,
terutama pada anak-anak.39

18
ü Abses hati amuba
Abses hati amuba adalah bentuk paling umum
dari amebiasis ekstraintestinal. Ini terjadi pada sebanyak 5% pasien
dengan amebiasis usus bergejala dan 10 kali lebih sering pada pria
daripada pada wanita. Sekitar 80% pasien dengan abses hati amuba
muncul dalam 2-4 minggu setelah infeksi. Diperkirakan 95% abses
hati amuba yang terkait dengan perjalanan berkembang dalam 5
bulan, meskipun beberapa mungkin tidak terwujud sampai
bertahun-tahun setelah perjalanan ke atau tinggal di daerah
endemik.
Presentasi abses hati amuba yang paling khas adalah demam
(pada 85-90% kasus, berbeda dengan kolitis amuba), nyeri kuadran
kanan atas, dan nyeri tekan dalam durasi kurang dari 10
hari. Keterlibatan permukaan diafragma hati dapat menyebabkan
nyeri pleuritik sisi kanan atau nyeri bahu yang dirujuk. Gejala dan
tanda abdomen akut harus segera dilakukan pemeriksaan penunjang
untuk ruptur intraperitoneal. Gejala gastrointestinal (GI) terkait
terjadi pada 10-35% pasien dan termasuk mual, muntah, perut
kembung, diare, dan sembelit.

Pemeriksaan Fisik
Pasien dengan kolitis amuba akut mungkin mengalami nyeri perut
kuadran bawah (12-85% kasus). Demam terjadi hanya pada sebagian kecil
pasien (10-30%). Penurunan berat badan terjadi pada 40%. Dehidrasi
jarang terjadi. Darah samar hampir selalu ada di tinja (70-100%). Kolitis

19
amuba fulminan umumnya ditandai dengan nyeri perut, distensi, dan nyeri
tekan yang timbul kembali.
Abses hati amuba dapat muncul dengan demam (85-90% kasus)
dan hepatomegali lunak (30-50%). Nyeri interkostal kanan bawah dapat
timbul, terutama di posterior (84-90%). Penurunan berat badan tercatat
33-50%. Suara napas mungkin berkurang di dasar paru-paru kanan, dan
suara kerak mungkin terdengar. Sebagian kecil pasien memiliki presentasi
subakut dengan hepatomegali, penurunan berat badan, dan
anemia. Penyakit kuning tidak biasa (6-10%).

Pemeriksaan Penunjang
ü Mikroskopi
Diagnosis laboratorium amebiasis usus di negara
berkembang masih mengandalkan metode padat karya dan tidak
sensitif yang melibatkan pewarnaan dan pemeriksaan mikroskopis
dari apusan feses segar untuk trofozoit yang mengandung sel darah
merah yang tertelan (lihat gambar di bawah). Kehadiran sel darah
merah intracytoplasmic di trofozoit adalah diagnostik dari E. histolytica
infeksi, meskipun beberapa penelitian telah menunjukkan fenomena
yang sama dengan E. dispar.
Pemeriksaan sampel tinja tunggal memiliki sensitivitas
hanya 33-50%; namun, pemeriksaan 3 sampel feses selama tidak
lebih dari 10 hari dapat meningkatkan tingkat deteksi hingga 85-
95%.

20
Harus diingat bahwa mikroskop rutin tidak dapat
diandalkan untuk membedakan E. histolytica dan dispar E.
nonpatogenik, E. bangladeshi, dan E. moshkowskii.

Gambar 1.
Entamoeba Histolitica dalam Pemeriksaan Mikroskop

Leukosit feses dapat ditemukan, tetapi dalam jumlah yang


lebih sedikit daripada pada shigellosis . Temuan pemeriksaan feses
pada pasien dengan abses hati amuba biasanya negatif. Pengambilan
sampel feses berulang pada pasien dengan abses hati amuba terbukti
positif pada 8-40% kasus. Identifikasi parasit dalam aspirasi abses
hati hanya sensitif 20%.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan
bahwa amebiasis usus didiagnosis dengan tes spesifik E. histolytica,
sehingga pemeriksaan feses ova-dan-parasit klasik menjadi usang.

21
ü Kultur
Kultur dapat dilakukan dengan spesimen biopsi tinja atau rektal atau
dengan aspirasi abses hati. Kultur memiliki tingkat keberhasilan 50-
70%, tetapi secara teknis sulit. Secara keseluruhan, kultur kurang
sensitif dibandingkan mikroskop.
Kultur xenic, pertama kali diperkenalkan pada tahun 1925,
didefinisikan sebagai pertumbuhan parasit di hadapan flora yang
tidak terdefinisi. Teknik ini masih digunakan sampai sekarang,
menggunakan media telur Locke yang dimodifikasi. Budidaya
aksenik, pertama kali dicapai pada tahun 1961, melibatkan
pertumbuhan parasit tanpa adanya sel pemetabolisme
lainnya. Hanya beberapa galur dispar E yang dilaporkan dapat
bertahan dalam kultur aksenik.

ü Deteksi Antigen
Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) digunakan untuk
mendeteksi antigen dari E histolytica dalam sampel tinja. Beberapa kit
tersedia secara komersial.
Kit ELISA berbasis antigen menggunakan antibodi
monoklonal terhadap galaktosa/N-asetilgalaktosamin lektin
spesifik E histolytica menghasilkan sensitivitas keseluruhan 71-100%
dan spesifisitas 93-100%. Satu studi menunjukkan sensitivitas yang
jauh lebih rendah (14,2%). Pada pasien dengan abses hati amuba,
deteksi serum dan antigen aspirasi hati menggunakan kit yang sama
terbukti menghasilkan sensitivitas 96% dalam serum dan 100%
dalam aspirasi hati.
22
Kit deteksi feses lainnya menggunakan antibodi
monoklonal terhadap antigen E histolytica yang kaya serin atau
terhadap antigen spesifik lainnya.

Tatalaksana
Amebiasis asimtomatik di daerah nonendemis harus diobati dengan agen
luminal (iodoquinol, paromomycin, atau diloxanide furoate) untuk
memberantas infeksi. Infeksi dispar Entamoeba asimtomatik tidak boleh
diobati, tetapi pendidikan harus diupayakan. Kolitis amuba diobati
pertama kali dengan turunan nitroimidazol dan kemudian dengan agen
luminal untuk memberantas kolonisasi. Paromomisin aman, dapat
ditoleransi dengan baik, dan efektif dalam pengobatan amebiasis usus,
termasuk pada pasien dengan infeksi HIV. Diloksanida adalah turunan
dikloroasetamida yang bersifat ambesida melawan trofozoit dan bentuk
kista E. histolytica.
Abses hati amuba dapat disembuhkan tanpa drainase dengan
menggunakan metronidazol. Perawatan dengan agen luminal juga harus
dilakukan. Amebiasis diseminata harus diobati dengan metronidazole,
yang dapat melewati sawar darah otak. Terapi antibakteri empiris harus
digunakan bersamaan jika usus berlubang menjadi perhatian.

Daftar Pustaka
1. Kotloff KL, Riddle MS, Platts-Mills JA, Pavlinac P, Zaidi AKM.
Shigellosis. Lancet. 2018 Feb 24. 391(10122):801-12.
2. Mani S, Wierzba T, Walker RI. Status of vaccine research and
development for Shigella. Vaccine. 2016 Jun 3. 34(26):2887-94.
23
3. Baseer S, Ahmad S, Ranaghan KE, Azam SS. Towards a peptide-
based vaccine against Shigella sonnei: a subtractive reverse
vaccinology-based approach. Biologicals. 2017 Nov. 50:87-99.
4. Yagnik B, Sharma D, Padh H, Desai P. Oral immunization with
LacVax® OmpA induces protective immune response against
Shigella flexneri 2a ATCC 12022 in a murine model. Vaccine. 2019
May 21. 37(23):3097-105.
5. Barel LA, Mulard LA. Classical and novel strategies to develop
a Shigella glycoconjugate vaccine: from concept to efficacy in
human. Hum Vaccin Immunother. 2019 Jun 3.
6. Mellouk N, Enninga J. Cytosolic access of intracellular bacterial
pathogens: the Shigella paradigm. Front Cell Infect Microbiol. 2016.
6:35.
7. Killackey SA, Sorbara MT, Girardin SE. Cellular aspects of Shigella
pathogenesis: focus on the manipulation of host cell
processes. Front Cell Infect Microbiol. 2016. 6:38.
8. Agaisse H. Molecular and cellular mechanisms of Shigella flexneri
dissemination. Front Cell Infect Microbiol. 2016. 6:29.
9. Lapaquette P, Fritah S, Lhocine N, et al. Shigella entry unveils a
calcium/calpain-dependent mechanism for inhibiting
sumoylation. Elife. 2017 Dec 12. 6:.
10. Puzari M, Sharma M, Chetia P. Emergence of antibiotic resistant
Shigella species: A matter of concern. J Infect Public Health. 2017
Oct 20.
11. Centers for Disease Control and Prevention. Shigella -- shigellosis.
Questions & answers. Available
24
at https://www.cdc.gov/shigella/general-information.html.
Updated: October 12, 2017; Accessed: December 21, 2017.
12. Sivapalasingam S, Nelson JM, Joyce K, et al. High prevalence of
antimicrobial resistance among Shigella isolates in the United States
tested by the National Antimicrobial Resistance Monitoring System
from 1999 to 2002. Antimicrob Agents Chemother. 2006 Jan.
50(1):49-54.
13. Klontz KC, Singh N. Treatment of drug-resistant Shigella
infections. Expert Rev Anti Infect Ther. 2015 Jan. 13(1):69-80.
14. Medeiros PHQS, Lima AAM, Guedes MM, et al. Molecular
characterization of virulence and antimicrobial resistance profile of
Shigella species isolated from children with moderate to severe
diarrhea in northeastern Brazil. Diagn Microbiol Infect Dis. 2018
Mar. 90(3):198-205.
15. Murphy GS, Bodhidatta L, Echeverria P, et al. Ciprofloxacin and
loperamide in the treatment of bacillary dysentery. Ann Intern Med.
1993 Apr 15. 118(8):582-6.
16. Vinh H, Anh VT, Anh ND, et al. A multi-center randomized trial to
assess the efficacy of gatifloxacin versus ciprofloxacin for the
treatment of shigellosis in Vietnamese children. PLoS Negl Trop
Dis. 2011 Aug. 5(8):e1264.
17. Moralez EI, Lofland D. Shigellosis with resultant septic shock and
renal failure. Clin Lab Sci. 2011 Summer. 24(3):147-52.
18. Khan WA, Griffiths JK, Bennish ML. Gastrointestinal and extra-
intestinal manifestations of childhood shigellosis in a region where

25
all four species of Shigella are endemic. PLoS One. 2013.
8(5):e64097.
19. Dupont HL, Edelman R, Kimmey M. Infectious diarrhea: from E
coli to Vibrio. Patient Care. 1990. 30:18-43.
20. Pritt BS, Clark CG. Amebiasis. Mayo Clin Proc. 2008 Oct.
83(10):1154-9; quiz 1159-60.
21. Grecu F, Bulgariu T, Blanaru O, Dragomir C, Lunca C, Stratan I, et
al. Invasive amebiasis. Chirurgia (Bucur). 2006 Sep-Oct. 101(5):539-
42.
22. Haque R, Huston CD, Hughes M, Houpt E, Petri WA Jr.
Amebiasis. N Engl J Med. 2003 Apr 17. 348(16):1565-73.
23. Stanley SL Jr. Amoebiasis. Lancet. 2003 Mar 22. 361(9362):1025-34.
24. Shirley DT, Farr L, Watanabe K, Moonah S. A Review of the Global
Burden, New Diagnostics, and Current Therapeutics for
Amebiasis. Open Forum Infect Dis. 2018 Jul. 5 (7): ofy161.
25. Seydel KB, Stanley SL Jr. Entamoeba histolytica induces host cell
death in amebic liver abscess by a non-Fas-dependent, non-tumor
necrosis factor alpha-dependent pathway of apoptosis. Infect
Immun. 1998 Jun. 66(6):2980-3.
26. Que X, Reed SL. Cysteine proteinases and the pathogenesis of
amebiasis. Clin Microbiol Rev. 2000 Apr. 13(2):196-206.
27. Kelsall BL, Ravdin JI. Degradation of human IgA by Entamoeba
histolytica. J Infect Dis. 1993 Nov. 168(5):1319-22.
28. Reed SL, Keene WE, McKerrow JH, Gigli I. Cleavage of C3 by a
neutral cysteine proteinase of Entamoeba histolytica. J Immunol.
1989 Jul 1. 143(1):189-95.
26
29. Seydel KB, Li E, Swanson PE, Stanley SL Jr. Human intestinal
epithelial cells produce proinflammatory cytokines in response to
infection in a SCID mouse-human intestinal xenograft model of
amebiasis. Infect Immun. 1997 May. 65(5):1631-9.
30. Stenson WF, Zhang Z, Riehl T, Stanley SL Jr. Amebic infection in
the human colon induces cyclooxygenase-2. Infect Immun. 2001
May. 69(5):3382-8.
31. Braga LL, Ninomiya H, McCoy JJ, Eacker S, Wiedmer T, Pham C,
et al. Inhibition of the complement membrane attack complex by
the galactose-specific adhesion of Entamoeba histolytica. J Clin
Invest. 1992 Sep. 90(3):1131-7.
32. Stanley SL Jr. Amoebiasis. Lancet. 2003 Mar 22. 361 (9362):1025-
34. .
33. Tengku SA, Norhayati M. Public health and clinical importance of
amoebiasis in Malaysia: a review. Trop Biomed. 2011 Aug.
28(2):194-222.
34. Caballero-Salcedo A, Viveros-Rogel M, Salvatierra B, Tapia-Conyer
R, Sepulveda-Amor J, Gutierrez G, et al. Seroepidemiology of
amebiasis in Mexico. Am J Trop Med Hyg. 1994 Apr. 50(4):412-9.
35. Andrade JE, Mederos R, Rivero H, Sendzischew MA, Soaita M,
Robinson MJ, et al. Amebiasis presenting as acute
appendicitis. South Med J. 2007 Nov. 100(11):1140-2.
36. Rao S, Solaymani-Mohammadi S, Petri WA Jr, Parker SK. Hepatic
amebiasis: a reminder of the complications. Curr Opin Pediatr. 2009
Feb. 21(1):145-9.

27
37. Saidin S, Othman N, Noordin R. Update on laboratory diagnosis of
amoebiasis. Eur J Clin Microbiol Infect Dis. 2019 Jan. 38 (1):15-38.
38. Fotedar R, Stark D, Beebe N, Marriott D, Ellis J, Harkness J.
Laboratory diagnostic techniques for Entamoeba species. Clin
Microbiol Rev. 2007 Jul. 20(3):511-32, table of contents.
39. Kikuchi T, Koga M, Shimizu S, Miura T, Maruyama H, Kimura M.
Efficacy and safety of paromomycin for treating amebiasis in
Japan. Parasitol Int. 2013 Dec. 62(6):497-501.

Latihan Soal
1. Seorang anak laki-laki berumur 2 tahun datang dengan keluhan BAB cair
disertai darah dan lender sejak 3 hari terakhir, frekuensi 3-4x/hari, dan
selain itu disertai demam dan nyeri perut. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan mata cowong, mukosa bibir kering, anak tampak haus dan
terus meminta minum, dan pada pemeriksaan cubit kulit, kulit Kembali
agak lambat. Dari pemeriksaan penunjang Analisa feses, didapatkan
leukosit 5 / LPB dan eritrosit 8 / LPB. Apakah diagnosis pasien ini?
a. Disentri basiler
b. Infeksi parasit
c. Infeksi rotavirus
d. Intususepsi
e. Disentri amoeba

28
2. Pada kasus di atas, pasien diberikan tatalaksana berupa zinc, oralit, dan
nutrisi oleh dokter yang merawat, dokter yang merawat hendak
memberikan antibiotik parenteral (injeksi), apakah antibiotik pilihan
pada kasus diatas?
a. Ciprofoloxacin
b. Azithromycin
c. Gentamycin
d. Ceftriaxone
e. Amphotericin

3. Seorang anak laki-laki usia 15 tahun diantar Ibunya dengan keluhan


diare sejak 5 hari lalu. Diare berlendir, berdarah, dan disertai dengan
demam. Keadaan umum baik, dari pemeriksaan fisik didapatkan TD
110/60 mmHg, nadi 90x/menit, napas 20x/menit, suhu badan 38,1℃.
Pada pemeriksaan feses didapatkan parasit dengan sitoplasma bergranul
mengandung eritrosit, inti ditengah dengan kariosom padat
ditengahnya, kromatin tersebar di sekitar inti. Apakah yang menjadi
penyebab diare pada anak ini?
a. Disentri basiler
b. Infeksi parasit
c. Infeksi rotavirus
d. Intususepsi
e. Disentri amoeba

29
PERDARAHAN SALURAN CERNA PADA
ANAK AKIBAT ALERGI

Perdarahan saluran cerna pada anak dapat terjadi akibat respon alergi yang
berlebihan, biasanya disebabkan karena paparan terhadap makanan tertentu
pencetus alergi. Alergi makanan pada anak tidak hanya dapat menimbulkan
manifestasi gastrointestinal, namun juga dapat menimbulkan manifestasi
pada organ lainnya seperti pada sistem respirasi, kulit, bahkan hingga
menimbulkan anafilaksis. Namun pada pembahasan ini, penulis hanya akan
membahas mengenai manifestasi alergi pada sistem saluran cerna anak.
Alergi makanan pada sistem saluran cerna anak dapat
diklasifikasikan kembali berdasarkan keterlibatan IgE dalam patogenesis
alergi tersebut. Klasifikasi tersebut terbagi menjadi manifestasi alergi yang
dimediasi oleh IgE, tidak dimediasi oleh IgE, maupun campuran dengan atau
tanpa mediasi dari IgE. Gejala klinis seperti gagal tumbuh atau failure to thrive,
diare berdarah atau konstipasi dengan disertai muntah setelah 4 jam
mengkonsumsi makanan tertentu merupakan gejala klinis alergi yang tidak
diperantarai oleh IgE. Tak hanya itu, manifestasi alergi makanan juga dapat
diklasifikasikan berdasarkan usia anak tersebut. Beberapa manifestasi alergi
saluran cerna pada bayi adalah proktokolitis akibat induksi makanan (food
protein induce proctocolitis), enterokolitis akibat induksi makanan (food protein
induce enterocolities), dan enteropati akibat induksi makanan (food protein
enteropathy). Sedangkan pada kelompok umur bayi dan anak, manifestasi alergi
dapat terjadi akibat gastroenteropati eosinofilik dan alergi susu sapi, ataupun

30
penyakit peradangan lain seperti penyakit Celiac, kolitis ulserativa maupun
penyakit Chron. Beberapa penyakit memiliki manifestasi klinis yang mirip
dan beragam, sehingga anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat dan
holistik perlu dilakukan untuk menghindari kesalahan penegakkan diagnostik
maupun tatalaksana yang akan dilakukan.
Proktokolitis akibat induksi makanan (food protein induce proctocolitis)
merupakan penyakit yang pertama dikemukakan oleh Lake pada tahun 1982
dengan keluhan utama adalah adanya darah merah segar yang bercampur
dengan lendir pada feses bayi. Proktokolitis akibat induksi makanan
merupakan penyebab tersering pada bayi usia < 3 bulan dengan perdarahan
rektum. Pada anamnesis, dapat ditemukan bayi dengan atau tanpa kolik,
peningkatan gas/udara dalam perut (30%), muntah (27%), nyeri saat defeksi
(22%) ataupun nyeri abdomen (20%). Namun pada pemeriksaan fisik, bayi
tampak sehat tanpa memiliki gejala klinis sistemik lainnya dengan
peningkatan berat badan yang sesuai dan baik. Penyebab utama proktokolitis
akibat induksi makanan dapat terjadi akibat alergi susu sapi, baik dari ASI ibu
yang mengkonsumsi produk susu sapi maupun dari susu formula berbahan
dasar susu sapi. Mekanisme terjadinya proktokolitis akibat induksi makanan
hingga saat ini belum diketahui secara pasti. Pada pemeriksaan penunjang,
pemeriksaan uji tusuk kulit (skin prick test) ataupun IgE RAST dapat
menimbulkan hasil yang negatif. Diagnosis ditegakkan berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan fisik, dengan ciri utama berupa adanya
perdarahan saluran cerna berwarna merah segar dengan keadaan umum bayi
yang baik. Tatalaksana proktokolitis akibat induksi makanan adalah dengan
eliminasi diet yang berbahan dasar susu sapi selama minimal 2 hingga 4
minggu.
31
Penyebab alergi lainnya adalah enterokolitis akibat induksi makanan
(food protein induce enterocolities), penyakit ini pertama dikemukakan oleh
Gryboski pada tahun 1967. Enterokolitis akibat induksi makanan biasanya
terjadi pada bayi dengan rentang umur < 9 bulan, dengan manifestasi klinis
yang beragam mulai dari ringan-sedang hingga berat, maupun gejala klinis
yang klasik atau tipikal (tidak ditemukan adanya makanan pemicu IgE
spesifik) maupun dengan gejala klinis yang atipikal (ditemukan adanya
makanan pemicu IgE spesifik). Enterokolitis akibat induksi makanan
diklasifikasikan menjadi bentuk akut maupun bentuk kronis. Penyebab utama
enterokolitis akibat induksi makanan juga disebabkan oleh alergi susu sapi,
namun pada beberapa kasus juga dapat terjadi pada susu berbahan dasar
kedelai karena adanya reaksi simpang yang dapat terjadi. Penyebab
enterokolitis akibat induksi makanan tak hanya disebabkan oleh alergi susu
sapi, namun dapat juga terjadi akibat induksi dari beberapa makanan lain
seperti nasi, sereal, telur, ayam, pisang, dan juga jagung. Enterokolitis akibat
induksi makanan terjadi pada anak usia ≥ 1 tahun dengan prognosis yang
baik, biasanya gejala akan membaik saat anak berusia 2 tahun. Gejala klinis
dari enterokolitis akibat induksi makanan adalah adanya muntah hebat dan
diare dengan dehidrasi, distensi abdomen, letargis, penurunan berat badan
hingga bisa menyebabkan asidosis metabolik, dengan atau tanpa IgE spesifik
yang positif.
Pada pemeriksaan penunjang dapat ditemukan anemia, peningkatan
leukosit polimorfonuklear dengan eosinofilia. Karena memiliki gejala klinis
yang sangat beragam, enterokolitis akibat induksi makanan seringkali salah
didiagnosis sebagai gastroenteritis, sepsis, ataupun bahkan obstruksi usus
halus. Enterokolitis akibat induksi makanan dapat terjadi secara akut, yaitu
32
terjadi langsung ketika produk makanan pemicu tersebut dikonsumsi dan
menimbulkan gejala dalam 1 hingga 4 jam kemudian ataupun terjadi secara
kronis, saat makanan tersebut dikonsumsi secara regular. Gejala klinis pada
enterokolitis akibat induksi makanan dalam keadaan akut menimbulkan
gejala yang lebih berat berupa adanya muntah proyektil dan repetitif,
frekuensi muntah hingga ≥ 10 kali, sehingga menyebabkan anak tampak
lemas dan letargis hingga bisa menyebabkan syok hipovolemik dan asidosis
metabolik.

Gambar 2.
Skema Klasifikasi Enterokolitis Akibat Induksi Makanan
(FPIES – Food Protein Induce Enterocolities)

33
Tabel 1.
Kriteria Diagnosis Pada Enterokolitis Akibat Induksi Makanan
(FPIES – Food Protein Induce Enterocolities)

Enteropati akibat induksi makanan (food protein induced enteropathy)


memiliki manifestasi klinis berupa diare menahun dan kronis, yang terjadi
pada usia 9 bulan pertama (pada umumnya saat 1 hingga 2 bulan pertama),
terjadi beberapa minggu setelah mengkonsumsi makanan pemicu alergi
berupa susu sapi, kedelai, gandum dan telur. Manifestasi klinis dari enteropati
akibat induksi makanan menyerupai penyakit Celiac yang menahun, dengan
adanya diare kronis dan memiliki gejala malabsorpsi seperti steatorea dan
gagal tumbuh atau failure to thrive. Salah satu manifestasi klinis yang
membedakan enteropati akibat induksi makanan dengan penyakit Celiac
adalah bahwa enteropati akibat induksi makanan hanya memiliki gejala pada
saluran cerna, tidak seperti penyakit Celiac yang juga memiliki gejala diluar
saluran cerna berupa dermatitis herpetiformis.
Berikut terdapat gambar yang menggambarkan perbedaan antara
proktokolitis akibat induksi makanan (FPIAP – Food Protein Induced Allergic

34
Proctocolitis), enteropati akibat induksi makanan (FPE – Food Protein Induced
Enteropathy), dan enterokolitis akibat induksi makanan (FPIES – Food Protein
Induced Enterocolitis Syndrome).

Gambar 3. Organ Gastrointestinal yang Dipengaruhi oleh Alergi Makanan


Non-IgE-mediated

Secara garis besar, perdarahan saluran cerna pada anak dapat terjadi
akibat alergi susu sapi dengan atau tanpa disertai diare maupun konstipasi.
Alergi susu sapi didefinisikan sebagai suatu reaksi yang diperantarai secara
imunologis terhadap protein susu sapi, dengan diperantarai oleh IgE maupun
yang tidak diperantarai dengan IgE. Alergi susu sapi yang diperantarai oleh
IgE dapat menimbulkan gejala klinis dalam waktu 30 menit hingga 2 jam
(sangat jarang > 2 jam) dengan uji tusuk kulit atau RAST (Radio Allergo Sorbent
Test) positif. Sedangkan pada alergi susu sapi yang tidak diperantarai oleh IgE
menimbulkan gejala klinis lebih lambat yaitu 1 hingga 3 jam, bahkan dapat
dalam hitungan hari setelah mengkonsumsi susu sapi dengan manifestasi
35
klinis berupa allergic eosinophilic gastroenteropathy, kolik, enterokolitis,
proktokolitis, bahkan anemia hingga gagal tumbuh seperti yang sudah
dijelaskan sebelumnya.

Tabel 2.
Gambaran Klinis dan Laboratoris Alergi Makanan Gastrointestinal Non-
IgE-mediated

36
Gejala akibat alergi susu sapi ini memiliki manifestasi yang beragam,
dengan gejala saluran cerna menempati 50-60% dari keseluruhan gejala,
diikuti dengan gejala pada kulit (40-50%) dan sistem respirasi (20-30%).
Diagnosis baku untuk menegakkan alergi susu sapi adalah dengan uji
eliminasi dan provokasi diet yang mengandung bahan dasar susu sapi selama
2 – 4 minggu. Jika gejala alergi menghilang dengan eliminasi produk berbahan
dasar susu sapi selama 2 – 4 minggu, maka dapat dilanjutkan dengan uji
provokasi dengan memberikan formula berbahan dasar susu sapi kembali.
Uji provokasi dilakukan dibawah pengawasan dokter dan dilakukan di rumah
sakit dengan fasilitas resusitasi yang lengkap. Uji provokasi dinyatakan positif
jika gejala alergi susu sapi muncul kembali setelah konsumsi produk berbahan
dasar susu sapi, dan diagnosis alergi susu sapi dapat ditegakkan. Bila ingin
melakukan pemeriksaan penunjang dengan memeriksa darah pada feses,
kadangkala terdapat keadaan buang air besar dengan darah yang tidak nyata
sehingga sulit untuk dinilai secara klinis dan memerlukan pemeriksaan
penunjang lebih lanjut. Pemeriksaan seperti chromium 51 labelled erythrocyte pada
feses dan reaksi ortotolidin mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih
baik dibandingkan dengan uji guaiac atau benzidin. Uji guaiac hasilnya dapat
dipengaruhi oleh berbagai substrat non-hemoglobin sehingga memberikan
sensitivitas yang rendah (30 – 70%), spesifisitas (88 – 98%) dengan nilai duga
positif palsu yang tinggi.
Tatalaksana pada alergi susu sapi baik dengan diagnosis proktokolitis
akibat induksi makanan (food protein induce proctocolitis), enterokolitis akibat
induksi makanan (food protein induce enterocolities), dan enteropati akibat induksi
makanan (food protein enteropathy) adalah dengan menghindari (complete
avoidance) segala bentuk produk susu sapi dengan tetap memberikan nutrisi
37
yang seimbang dan sesuai untuk tumbuh kembang bayi dan anak. Untuk bayi
dengan ASI eksklusif yang alergi susu sapi, ibu dapat melanjutkan pemberian
ASI dengan menghindari protein susu sapi dan produk makanan yang
mengandung susu sapi pada diet ibu. ASI tetap merupakan pilihan terbaik
pada bayi dengan alergi susu sapi. Suplementasi kalsium dapat
dipertimbangkan pada ibu menyusui yang membatasi protein susu sapi dan
produk makanan yang mengandung susu sapi.
Pada bayi yang mengkonsumsi susu formula dengan alergi susu sapi,
pilihan utama susu formula adalah susu hipoalergenik. Susu hipoalergenik
adalah susu yang tidak menimbulkan reaksi alergi pada 90% bayi dan anak
dengan berat molekul peptida < 1500 kDa. Susu yang memenuhi kriteria
tersebut adalah susu terhidrolisat ekstensif dan susu formula asam amino.
Sedangkan susu terhidrolisat parsial tidak termasuk dalam kelompok ini dan
bukan merupakan pilihan untuk terapi alergi susu sapi. Formula susu
terhidrolisat ekstensif merupakan susu yang dianjurkan pada alergi susu sapi
dengan gejala klinis ringan atau sedang seperti regurgitasi berulang, muntah,
diare dengan atau tanpa darah, konstipasi dengan atau tanpa ruam perianal,
anemia defisiensi besi, dermatitis atopik, urtikaria, pilek atau batuk kronik,
dan kolik persisten. Sedangkan pada alergi susu sapi berat atau tidak membaik
dengan susu formula terhidrolisat ekstensif, maka perlu diberikan susu
formula asam amino. Gejala klinis dari alergi susu sapi berat adalah gagal
tumbuh karena diare atau regurgitasi kronis, muntah dan atau anak tidak mau
makan, anemia, protein losing enteropathy hingga menyebabkan
hipoalbuminemia, enteropati atau kolitis ulseratif kronik yang sudah terbukti
melalui endoskopi atau histologi, laringoedema akut hingga obstruksi
bronkus dan kesulitan bernapas. Eliminasi diet menggunakan susu formula
38
terhidrolisat ekstensif maupun formula asam amino diberikan sampai usia
bayi 9 hingga 12 bulan, atau paling tidak selama 6 bulan. Setelah itu, uji
provokasi dapat diulang kembali dan bila gejala tersebut tidak timbul kembali
maka anak sudah toleran terhadap produk susu sapi dan dapat dicoba untuk
diberikan kembali. Bila gejala timbul kembali maka eliminasi diet dapat
dilakukan selama 6 bulan dan seterusnya. Pemberian makanan pendamping
ASI juga perlu menghindari produk susu sapi bagi anak yang mengalami
alergi susu sapi diatas usia 6 bulan. Apabila susu formula terhidrolisat
ekstensif tidak tersedia atau terdapat kendala biaya, maka bayi diatas usia 6
bulan dapat diberikan susu formula berbahan dasar kedelai dengan
penjelasan kepada orangtua mengenai kemungkinan reaksi silang alergi
terhadap protein kedelai. Susu mamalia lain selain sapi bukan merupakan
alternatif karena berisiko menimbulkan reaksi silang alergi. Prognosis bayi
dengan alergi susu sapi umumnya baik, dengan angka remisi 45 – 55% pada
tahun pertama, 60 – 75% pada tahun kedua dan 90% pada tahun ketiga.
Namun, terjadinya alergi terhadap makanan lain juga meningkat hingga 50%
terutama pada jenis makanan telur, kedelai, kacang, sitrus, ikan dan sereal.

Daftar Pustaka
1. Labrosse R, Graham F, Caubet JC. Non-IgE mediated gastrointestinal
food allergies in children: An Update. Nutrients 2020, 12, 2086;
doi:10.3390/nu12072086.
2. Boyce JA. Guidelines for the Diagnosis and Management of Food
Allergy in the United States. J Allergy Clin Immunol. 2020 December;
126 (60): 51-58.

39
3. Heine RG. Gastrointestinal food allergies. Chen Immunology Allergy
2016; 101: 171-180.
4. Morita H, Nomura I, Matsuda A, Saito H, Matsumoto K.
Gastrointestinal food allergy in infants. Journal of Pediatric
Gastroenterology Nutr. 2017; 62: 297-230.
5. Dupont C. Food protein induced enterocolitis syndrome and
proctocolitis. Ann Nutr Metab 2018; 73 (suppl 4): 8-16.
6. Yilmaz EA, Soyer O, Cavkaytar O, Karaatmaca B, Buyukyityaki B,
Sahiner UM, et al. Characteristics of children with food protein-induced
enterocolitis and allergic proctocolitis. Allergy and Asthma Proceedings.

Latihan Soal

1. Seorang ibu datang membawa anak perempuannya yang berusia 2 bulan


dengan keluhan mencret disertai dengan perut kembung dan sedikit darah
pada tinja selama 3 hari terakhir. Keluhan muncul terutama setiap bayi
selesai minum ASI. Dari anamnesis ditemukan bahwa 4 hari terakhir ibu
sedang rutin mengkonsumsi minuman yoghurt untuk melancarkan
pencernaan. Pada pemeriksaan fisik, bayi terlihat lemas, dengan turgor
kulit menurun dan mata cowong. Dari Apa kemungkinan diagnosis dari
anak ini?
a. Disentri
b. Proktokolitis akibat induksi makanan
c. Enterokolitis akibat induksi makanan
d. Enteropati akibat induksi makanan
e. Penyakit celiac

40
2. Seorang bayi laki - laki berusia 11 bulan dibawa oleh ibunya ke IGD
Rumah sakit Cinta Ibu dengan keluhan sulit dibangunkan dan tampak
lemas. Dari anamnesis ditemukan bahwa 1.5 jam sebelum dibawa
kerumah sakit anak mengalami muntah - muntah hebat lebih dari 12 kali
setelah sebelumnya makan telur kukus. Setelah mengalami muntah -
muntah anak menjadi lemas kemudian tertidur, namun sangat sulit
dibangunkan sehingga ibu menjadi cemas. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan kesadaran anak yang menurun, disertai CRT yang
memanjang, ujung ekstremitas dingin dan nadi perifer sangat lemah.
Dari pemeriksaan laboratorium ditemukan peningkatan leukosit dengan
eosinofilia dan RAST test negatif. Apa kemungkinan diagnosis dari
kasus ini?
a. Syok hipovolemik karena keracunan makanan
b. Syok hipovolemik karena reaksi alergi makanan
c. Syok hipovolemik karena enterokolitis akut
d. Syok hipovolemik karena enteropati akut
e. Syok hipovolemik karena proktokolitis akut

3. Seorang ibu datang mengunjungi poliklinik anak dengan membawa anak


perempuannya berusia 8 bulan yang sudah didiagnosa memiliki alergi
susu sapi sejak +/- 3 bulan yang lalu. Sejak 1 minggu terakhir ibu melihat
gejala alergi berupa ruam kulit, dan diare pada anak muncul beberapa
kali dalam 1 minggu ini ketika anak minum susu UHT walaupun dengan
jumlah yang sangat sedikit. Pada pemeriksaan fisik, anak tampak bugar
dengan berat badan normal sesuai usianya dan tidak ditemukan tanda
dehidrasi pada anak. Karena khawatir berat badan anaknya akan
41
menurun, ibu menanyakan kepada anda, apakah rekomendasi susu
terbaik yang dapat diberikan pada anaknya?
a. Susu kedelai
b. Susu formula bubuk
c. Stop pemberian susu, dan tingkatkan jumlah pemberian MPASI
d. Susu formula asam amino
e. Susu formula terhidrolisat ekstensif

42
PERDARAHAN SALURAN CERNA PADA
ANAK AKIBAT GANGGUAN ANATOMI

1. Intususepsi
Intususepsi adalah proses di mana segmen usus menginvaginasi ke
dalam lumen usus yang berdampingan, menyebabkan obstruksi
usus. Dengan diagnosis dini, resusitasi cairan yang tepat, dan terapi,
angka kematian akibat intususepsi pada anak kurang dari 1%. Namun,
jika tidak diobati, kondisi ini akan berakibat fatal dalam 2-5 hari.

Manifestasi Klinis dan Pemeriksaan Fisik


Pasien dengan intususepsi biasanya bayi, seringkali orang yang pernah
mengalami infeksi saluran pernapasan atas, dengan gejala sebagai
berikut:
ü Muntah: awalnya, muntah bersifat nonbilious dan refleksif, tetapi
bila terjadi obstruksi usus, muntah menjadi empedu
ü Sakit perut: nyeri pada intususepsi bersifat kolik, parah, dan
intermiten
ü Keluarnya darah dan lendir: orang tua melaporkan pengeluaran
kotoran, oleh anak-anak yang terkena, yang terlihat seperti jelly
kismis; ini adalah campuran dari lendir, mukosa yang
mengelupas, dan darah yang tumpah; diare juga bisa menjadi
tanda awal intususepsi

43
ü Kelesuan: ini bisa menjadi satu-satunya gejala intususepsi, yang
membuat diagnosis kondisi sulit
ü Massa perut teraba
Ciri khas temuan fisik pada intususepsi adalah massa berbentuk
sosis hipokondrium kanan dan kekosongan di kuadran kanan
bawah (tanda Dance). Massa ini sulit dideteksi dan paling baik
teraba di antara kejang kolik, saat bayi sedang tenang. Distensi
abdomen sering ditemukan jika obstruksi selesai.

Pemeriksaan Penunjang
ü Radiografi: foto polos abdomen menunjukkan tanda-tanda yang
menunjukkan intususepsi hanya pada 60% kasus
ü Ultrasonografi: keunggulan dari ultrasonografi termasuk tanda-
tanda target dan pseudokidney.
ü Enema kontras: ini adalah cara tradisional dan paling andal untuk
membuat diagnosis intususepsi pada anak-anak.

Tatalaksana
ü Non Operatif
Terapeutik enema meliputi:
o Hidrostatis: Dengan barium atau kontras yang larut dalam
air
o Pneumatik: Dengan insuflasi udara; ini adalah pengobatan
pilihan di banyak institusi, dan risiko komplikasi utama
dengan teknik ini kecil

44
o Operatif
Tatalaksana operatif secara tradisional adalah melalui
sayatan paraumbilical kanan. Intususepsi dimasukkan ke
dalam luka, dan dilakukan reduksi manual. Intususepsi
harus diperah keluar dari intususipien.
Jika reduksi manual tidak memungkinkan atau terjadi
perforasi, reseksi segmental dengan anastomosis ujung ke
ujung dilakukan.
Laparoskopi telah ditambahkan ke armamentarium
bedah untuk intususepsi dan dapat dilakukan pada semua
kasus intususepsi.

2. Necrotizing Enterocolitis
Necrotizing enterocolitis (NEC), yang biasanya terjadi pada minggu
kedua hingga ketiga kehidupan pada bayi prematur yang diberi susu
formula, ditandai dengan berbagai kerusakan pada saluran usus,
mulai dari cedera mukosa hingga nekrosis ketebalan penuh dan
perforasi. NEC mempengaruhi hampir 10% bayi dengan berat
badan kurang dari 1500 g, dengan angka kematian 50% atau lebih
tergantung pada tingkat keparahan, tetapi juga dapat terjadi pada
bayi cukup bulan dan dekat.

Manifestasi Klinis dan Pemeriksaan Klinis


Pada bayi prematur, onset NEC biasanya selama beberapa minggu
pertama setelah lahir, dengan usia onset berbanding terbalik dengan
usia kehamilan saat lahir. Pada bayi cukup bulan, usia rata-rata onset
45
yang dilaporkan adalah 1-3 hari, tetapi onset dapat terjadi paling
lambat hingga usia 1 bulan. Gejala awal mungkin tidak kentara dan
dapat mencakup 1 atau lebih dari berikut ini:
ü Muntah
ü Diare
ü Pengosongan lambung tertunda
ü Perut kembung, nyeri perut, atau keduanya
ü Ileus / penurunan bising usus
ü Eritema dinding perut (stadium lanjut)
ü Hematochezia

Temuan fisik pada pasien dengan NEC dapat berupa GI, terutama
sistemik, malas, fulminan, atau kombinasi dari semuanya. Tanda
gastrointestinal dapat mencakup salah satu atau semua hal berikut:
ü Peningkatan lingkar perut
ü Lingkaran usus yang terlihat
ü Distensi abdomen yang jelas dan penurunan bising usus
ü Perubahan pola tinja
ü Hematochezia
ü Massa perut teraba
ü Eritema pada dinding perut

Pemeriksaan Penunjang
Dapatkan studi radiografi jika ada kekhawatiran tentang
NEC. Lakukan pemeriksaan laboratorium, terutama jika temuan
pemeriksaan perut mengkhawatirkan atau bayi menunjukkan tanda-
46
tanda sistemik. Pemeriksaan KB dengan diferensial manual biasanya
diulang setidaknya setiap 6 jam jika status klinis pasien terus
memburuk. Temuan yang relevan mungkin termasuk yang berikut:
ü Leukosit - neutropenia sedang sampai berat (jumlah neutrofil
absolut [ANC] <1500/μL) menunjukkan adanya sepsis.
ü Hematokrit dan hemoglobin - kehilangan darah akibat
hematochezia dan/atau koagulopati konsumtif yang
berkembang dapat bermanifestasi sebagai penurunan
hematokrit akut; peningkatan kadar hemoglobin dan
hematokrit dapat menandai hemokonsentrasi karena
akumulasi cairan ekstravaskular.
ü Jumlah trombosit - Mungkin ada trombositopenia.

Radiografi perut adalah pencitraan diagnostik andalan. AP dan


gambaran dekubitus lateral kiri penting untuk evaluasi
awal. Radiografi harus dilakukan secara serial dengan interval 6 jam
atau lebih, tergantung pada ketajaman presentasi dan perjalanan klinis,
untuk menilai perkembangan penyakit. Temuan karakteristik pada
pandangan AP termasuk pola gas yang abnormal, loop yang melebar,
dan dinding usus yang menebal. Lingkaran tetap dan melebar yang
bertahan selama beberapa pemeriksaan sangat mengkhawatirkan. Gas
usus yang langka atau tidak ada lebih mengkhawatirkan daripada
distensi difus yang berubah seiring waktu.

47
Tatalaksana
• Tahapan tatalaksana awal terdiri dari yang berikut:
1. Hentikan pemberian makan enteral
2. Lakukan dekompresi nasogastrik
3. Mulai antibiotik spektrum luas (misalnya, ampisilin,
gentamisin, dan klindamisin atau metronidazol)
• Bell stadium IA dan IB - penyakit yang dicurigai
1. Diet NPO dan antibiotik selama 3 hari
2. Cairan IV, termasuk nutrisi parenteral total (TPN)
• Bell tahap IIA dan IIB - penyakit pasti
Dukungan untuk gagal napas dan kardiovaskular, termasuk
resusitasi cairan
1. Diet NPO dan antibiotik selama 14 hari
2. Pertimbangkan konsultasi bedah
3. Setelah stabilisasi, berikan TPN sementara bayi NPO
• Bell stadium IIIA - penyakit lanjut
1. NPO selama 14 hari
2. Resusitasi cairan
3. Dukungan inotropik
4. Dukungan ventilator
5. Dapatkan konsultasi bedah
6. Menyediakan TPN selama periode NPO
7. Intervensi bedah
• Pembedahan
Indikasi utama untuk intervensi operatif pada NEC adalah usus
berlubang atau nekrotik, yang diprediksi paling kuat
48
oleh pneumoperitoneum. Indikasi lainnya adalah sebagai
berikut:
1. Eritema di dinding perut
2. Gas di vena portal
3. Paracentesis positif
4. Kerusakan klinis3-5

3. Hirscsprung
Penyakit Hirschsprung, penyebab umum obstruksi usus besar
neonatal dan kanak-kanak, yang pertama kali dijelaskan pada 1886
oleh Harold Hirschsprung sebagai penyebab sembelit pada awal
masa bayi. Penyakit ini ditandai dengan luasnya variabel
dari aganglionosis yang berdekatan yang meluas dari anorektum
ke proksimal. Deteksi dini dan koreksi bedah
segera penyakit Hirschsprung dapat melindungi bayi
dari enterokolitis dan sembelit yang melemahkan.

Manifestasi Klinis dan Pemeriksaan Fisik


Selama periode baru lahir, bayi yang
terkena penyakit Hirschsprung dapat mengalami distensi abdomen,
kegagalan pengeluaran mekonium dalam 48 jam pertama kehidupan,
dan muntah berulang. Riwayat keluarga dengan kondisi serupa
terjadi pada sekitar 30% kasus. Hampir setengah dari semua bayi
dengan penyakit Hirschsprung memiliki riwayat perjalanan
mekonium pertama yang tertunda (di atas usia 36 jam), dan hampir
setengah dari bayi dengan riwayat pertama mekonium yang tertunda
49
memiliki penyakit Hirschsprung. Anak-anak
dengan penyakit Hirschsprung mungkin kekurangan gizi. Hasil
nutrisi yang buruk dari rasa kenyang dini, ketidaknyamanan perut,
dan kembung yang berhubungan dengan sembelit kronis. Kegagalan
pertumbuhan dapat terjadi.
Pemeriksaan fisik pada bayi dengan penyakit Hirschsprung
biasanya ditemukan tympanitic distensi abdomen dan gejala
obstruksi usus. Individu dalam kelompok usia ini biasanya datang
dengan enterokolitis akut atau dengan sindrom sumbatan
meconium neonatal.
Anak-anak dengan penyakit Hirschsprung biasanya
terdiagnosis pada usia 2 tahun. Anak-anak
dengan penyakit Hirschsprung biasanya datang dengan konstipasi
kronis. Setelah pemeriksaan perut, anak-anak ini mungkin
menunjukkan distensi abdomen yang jelas dengan loop usus besar
yang dapat teraba. Pemeriksaan rektal biasanya menunjukkan kubah
rektal yang kosong dan dapat mengakibatkan pengeluaran kotoran
secara paksa setelah pemeriksaan selesai.

Pemeriksaan Penunjang
• Radiografi perut polos
Dapatkan radiografi perut jika ada tanda atau gejala obstruksi
abdomen.
• Enema barium kontras tunggal tanpa persiapan
Jika perforasi dan enterokolitis tidak dicurigai, enema barium
kontras tunggal yang tidak disiapkan dapat membantu
50
menegakkan diagnosis dengan mengidentifikasi zona transisi
antara segmen aganglionik yang menyempit dan segmen yang
berdilatasi dan biasanya dipersarafi. Zona transisi mungkin
tidak terlihat pada neonatus, karena waktu yang tidak cukup
untuk mengembangkan dilatasi kolon, atau pada bayi yang telah
menjalani pencucian rektal, pemeriksaan, atau enema.

Tatalaksana
Intervensi bedah memotong usus aganglionik dan
menyelamatkan nyawa, tetapi tidak
menyembuhkan penyakit Hirschsprung. Sebelum intervensi bedah
pada pasien dengan penyakit Hirschsprung, lakukan perawatan
lanjutan untuk memastikan usus besar terdekompresi secara
memadai dan tanda atau gejala enterokolitis tidak
berkembang. Ajarkan teknik keluarga dekompresi dan irigasi rektal
karena terapi ini membantu mengurangi pelebaran kolon dalam
persiapan untuk pembedahan.
Sebelum operasi, konseling keluarga mengenai pilihan
operasi yang tersedia. Jika anak akan menjalani prosedur bertahap
atau menjalani ostomi permanen, berikan petunjuk awal tentang
perawatan ostomi kepada keluarga. Pasca operasi, pasien
memerlukan perawatan lanjutan untuk menilai penyembuhan serta
skrining untuk melihat adanya potensi komplikasi
(misalnya pembentukan striktur). Pelebaran rawat jalan mungkin
diperlukan untuk meringankan striktur dan harus diharapkan pada

51
pasien yang menjalani prosedur pull-through satu tahap pada periode
bayi baru lahir.6-7

4. Divertikulum Meckel
Divertikulum meckel, adalah kelainan bawaan yang paling umum
pada usus kecil; hal ini disebabkan oleh obliterasi yang tidak lengkap
dari duktus vitelline (yaitu, kegagalan duktus omphalomesenteric
untuk menutup). Meskipun awalnya dijelaskan
oleh Fabricius Hildanus pada tahun 1598, ini dinamai berdasarkan
Johann Friedrich Meckel, yang menetapkan asal mula embrioniknya
pada tahun 1809. Meskipun divertikulum Meckel biasanya
asimtomatik, dua jenis komplikasi dapat memerlukan perhatian
klinis. Salah satu jenisnya melibatkan jaringan mukosa ektopik dan
paling sering menyebabkan perdarahan gastrointestinal pada anak
yang lebih kecil. Pada tipe kedua, terdapat obstruksi, inflamasi atau,
jarang, perforasi usus.

Manifestasi Klinis dan Pemeriksaan Fisik


Kebanyakan pasien dengan divertikulum Meckel menjalani
seluruh hidup mereka tanpa gejala apapun. Kondisi ini paling sering
didiagnosis sebagai temuan kebetulan saat pemeriksaan barium atau
laparotomi dilakukan untuk kondisi perut lainnya. Divertikulum
Meckel bergejala hampir identik dengan komplikasi. Ini
diperkirakan terjadi pada sebanyak 4-16% pasien. Komplikasi terjadi
akibat obstruksi, jaringan ektopik, atau peradangan. Dalam sebuah
penelitian terhadap 830 pasien dari segala usia, komplikasi termasuk
52
obstruksi usus (35%), perdarahan (32%), divertikulitis (22%), fistula
umbilikalis (10%), dan lesi pusar lainnya (1%). Pada anak-anak,
sebagian besar penelitian secara historis mencatat bahwa
hematochezia adalah tanda presentasi yang paling umum.
Kebanyakan pasien dengan divertikulum Meckel tidak
menunjukkan gejala. Namun, pasien dapat datang dengan berbagai
tanda klinis, termasuk peritonitis atau syok hipovolemik. Tiga gejala
yang paling umum adalah perdarahan gastrointestinal (GI), obstruksi
usus, dan peradangan akut divertikulum.
Pasien dengan divertikulitis disertai nyeri perut fokal atau
difus. Biasanya, nyeri perut lebih menonjol di daerah periumbilikalis
dibandingkan dengan nyeri usus buntu. Anak-anak mungkin datang
dengan nyeri perut dan nyeri rebound, selain nyeri perut. Distensi
abdomen dan bising usus yang hipoaktif merupakan temuan
lanjut. Divertikulum meckel supuratif dapat terjadi pada anak
dengan nyeri perut dan selulitis periumbilikalis. Jarang, divertikulum
Meckel telah dilaporkan menjadi incarcerated (Littre hernia) di
inguinalis, femoralis, atau kantung hernia obturator atau bahkan
cacat insisional.

Pemeriksaan Penunjang
• Radiografi
Radiografi polos abdomen memiliki nilai yang terbatas. Ini
mungkin dapat mengungkapkan adanya bukti komplikasi non-
perdarahan, termasuk enteroliths dan tanda-tanda obstruksi
usus, seperti tingkat udara atau cairan udara, atau
53
perforasi. Studi barium sebagian besar telah digantikan oleh
teknik pencitraan lainnya; namun, jika pemeriksaan barium
diindikasikan, pemeriksaan tersebut tidak boleh mendahului
pemindaian technetium-99m, karena barium dapat
mengaburkan hot spot.
Radiografi usus halus tradisional yang menggunakan barium
tidak dapat diandalkan dalam mendeteksi divertikulum
Meckel. Namun, untuk pasien yang memerlukan studi barium
untuk mencari kondisi lain, enteroclysis lebih sensitif dalam
mendeteksi divertikulum Meckel. Enteroclysis melibatkan
penggunaan infus barium terus menerus dengan kompresi yang
memadai pada loop ileum dan fluoroskopi intermiten untuk
mendeteksi divertikulum Meckel. Jika campuran barium terlalu
padat dan pola lipatan tidak dapat
terlihat, natrium karboksimetilselulosa dapat digunakan sebagai
media kontras.
Pada studi barium, divertikulum Meckel dapat muncul
sebagai kantong berujung buta pada sisi antimesenterika ileum
distal. Jika cacat pengisian terlihat, divertikulum mungkin
mengandung tumor. Tanda-tanda radiologis karakteristik untuk
divertikulum Meckel termasuk demonstrasi pola
lipatan triradiat atau dataran tinggi segitiga mukosa. Kadang-
kadang, pola rugal lambung juga dapat ditemukan dalam
divertikulum Meckel.

54
• Ultrasonografi
Ultrasonografi telah digunakan dalam beberapa kasus
divertikulum Meckel. Modalitas ini cenderung membantu jika
pasien datang dengan komplikasi anatomi daripada
mukosa. Sebuah studi retrospektif yang menganalisis
karakteristik USG dari divertikulum Meckel yang terbukti secara
patologis menyimpulkan bahwa kondisi ini sulit dideteksi
dengan USG (tingkat deteksi 15,5%). [ 42 ] Namun, adanya
komplikasi seperti intususepsi (24%), obstruksi usus (24%), dan
divertikulitis (15,5%) meningkatkan tingkat deteksi.

Tatalaksana
Evaluasi dan pengobatan gawat darurat pasien tergantung
pada presentasi klinis divertikulum Meckel. Karena sebagian besar
pasien yang bergejala sakit akut, segera buat jalur intravena, mulai
pemberian cairan kristaloid, dan pertahankan status pasien pada
status nothing by mouth (NPO). Dapatkan pemeriksaan darah yang
disarankan sebelumnya dengan tipe dan pencocokan silang. Jika
terjadi perdarahan yang signifikan, lakukan transfusi sel darah merah
yang dikemas. Seorang pasien yang datang dengan obstruksi usus
biasanya memerlukan dekompresi nasogastrik (NG). Setelah
melewati tabung NG, dapatkan radiografi polos perut.
Ketika seorang anak datang dengan pendarahan, khususnya
feses berwarna gelap, lakukan lavage lambung untuk menyingkirkan
perdarahan gastrointestinal bagian atas. Jika lavage lambung negatif

55
untuk perdarahan, pertimbangkan untuk melakukan endoskopi
bagian atas dan sigmoidoskopi fleksibel.
Hasil pemindaian Meckel mungkin negatif meskipun
terdapat kecurigaan klinis yang tinggi terhadap divertikulum
Meckel. Konsultasikan dengan tim bedah untuk mendiskusikan
kemungkinan perlunya laparoskopi dan/atau laparotomi, bahkan
tanpa diagnosis kedokteran nuklir.
Konsultasi dengan spesialis berikut mungkin
sesuai: ahli radiologi, ahli bedah, ahli gastroenterologi.8-11

5. Fisura Anal
Fisura anus adalah robekan mukosa epitel skuamosa dari
saluran anus, antara sambungan anokutan dan garis
dentate. Kondisi ini paling sering terjadi selama buang air besar yang
keras. Fisura anal sering terjadi pada masa bayi, dan merupakan
penyebab paling umum dari perdarahan rektal cerah pada semua
usia.
Fisura anus, meskipun tampaknya merupakan masalah
kecil, dapat menyebabkan ketidaknyamanan selama bertahun-tahun
jika diagnosis dan pengobatan tidak dilakukan tepat waktu. Jika
robekan kecil ini (dan infeksi superfisial yang kadang-kadang terkait)
tidak segera didiagnosis dan diobati, hal itu dapat menyebabkan nyeri
anorektal yang parah selama buang air besar dan memicu siklus
negativisme tinja, sembelit, dan meningkatkan rasa sakit dengan
buang air besar berikutnya.

56
Seringnya, masalah yang tampaknya kecil ini tetap kurang
dihargai atau tidak diperhatikan oleh dokter. Namun, jika
dipertimbangkan, diagnosisnya agak mudah dibuat, dan
pengobatannya biasanya cukup efektif.

Manifestasi Klinis dan Pemeriksaan Fisik


Diagnosis biasanya dibuat melalui anamnesis yang cermat
dan pemeriksaan fisik. Riwayat sembelit sering ditimbulkan. Anak
mungkin menangis saat buang air besar, dan pasien atau keluarganya
mungkin mengidentifikasi noda darah merah cerah di permukaan
feses yang keras, di popok, atau di kertas toilet setelah buang air
besar.
Diagnosis ditegakkan dengan memeriksa daerah
anus. Untuk pemeriksaan ini, orang tua harus memegang pinggul
anak dalam posisi fleksi akut sementara pemeriksa memisahkan
bokong, menarik lipatan kulit perianal. Untuk anak yang lebih
besar, anoderm dapat menyebar saat anak turun karena gerakan ini
memfasilitasi visualisasi retakan.
Jika fisura teridentifikasi, pemeriksaan digital sebaiknya
dihindari karena kemungkinan menimbulkan nyeri dan spasme
sfingter yang tidak perlu. Namun, jika celah tidak diamati,
pemeriksaan digital harus dilakukan untuk menyingkirkan patologi
lain.
Fisura muncul sebagai laserasi kecil, biasanya di garis
tengah, dan lebih sering posterior daripada anterior. Jika fisura
kronis, tanda kulit eksternal kecil (misalnya, tanda sentinel) dapat
57
diidentifikasi di dasar laserasi; ini merupakan jaringan granulomatosa
berepitelial sekunder akibat peradangan kronis. Tidak diperlukan
temuan laboratorium dan radiologi untuk mendiagnosis fisura anus.

Tatalaksana
Intervensi bedah jarang diperlukan untuk fisura akut pada
anak-anak, dan gejala fisura akut sering hilang dalam 10-14 hari
setelah penatalaksanaan medis konservatif. Namun, jika fisura anus
tidak sembuh setelah 6-8 minggu terapi medis dan diagnosis tidak
dipertanyakan, pembedahan dapat diindikasikan. Kontraindikasi
relatif terhadap pengobatan operatif fisura anus termasuk penyakit
radang usus (IBD) dan imunosupresi yang dalam (yaitu, jumlah
neutrofil absolut <100/μL.
Pengobatan fisura anus telah berkembang pesat selama
beberapa dekade terakhir. Rekonstruksi lokal dengan advancement
flaps telah dijelaskan sebagai tambahan yang efektif untuk eksisi
fisura kronis. Sfingterotomi kimiawi reversibel merupakan
perkembangan yang menjanjikan dalam pengobatan fisura anal akut
(dan mungkin kronis).

Medikamentosa
Fisura akut biasanya membaik dengan manajemen
konservatif, yang meliputi modifikasi pola makan, pelunak feses,
dan mandi sitz. Meningkatkan konsumsi cairan pasien dan asupan
serat mungkin cukup. Jika pelunak feses digunakan, pelunak tinja
harus dititrasi dengan hati-hati untuk menghindari perkembangan
58
diare dan dehidrasi. Pelembut feses pilihan adalah agen osmotik
yang menyebabkan air tertahan bersama tinja (misalnya, polietilen
glikol), dan dosisnya dititrasi sesuai ukuran pasien. Ini tersedia dalam
bentuk bubuk yang dicampur dengan 250 ml air sebelum pemberian.
Meskipun 10-14 hari penatalaksanaan medis konservatif seringkali
cukup untuk resolusi gejala fisura akut, selama 6-8 minggu mungkin
diperlukan agar robekan yang sebenarnya sembuh. Setelah 6-8
minggu, fisura dianggap kronis, dan tindakan yang lebih aktif dapat
dipertimbangkan.

Pembedahan
Seperti dicatat, perawatan bedah jarang diperlukan untuk sebagian
besar bayi dan anak-anak dengan fisura anus akut. Beberapa celah
mungkin membutuhkan waktu hingga 8 minggu untuk diatasi
dengan manajemen konservatif. Penting untuk diingat bahwa jika
fisura belum sembuh setelah terapi medis, diagnosis mungkin
dipertanyakan, dan pemeriksaan dengan anestesi diperlukan. Jika
fisura tetap ada meskipun dilakukan penatalaksanaan medis,
prosedur operasi pada anak-anak dan bayi
adalah sfingterotomi internal lateral terbuka. Eksisi ulkus kronis
mungkin diperlukan selain sfingterotomi. Semua jaringan yang
dipotong harus dievaluasi oleh ahli patologi. Karena setiap stenosis
anal terkait berhasil diredakan dengan sfingterotomi, flap lanjutan
untuk menangani stenosis refrakter yang terkait biasanya tidak
diperlukan.12-15

59
6. Penyakit radang usus (inflammatory bowel disease [IBD])
Ada dua jenis penyakit radang usus: penyakit Crohn dan kolitis
ulserativa. Jenis umum utama dalam pediatri adalah penyakit Crohn.
Penyakit Crohn, penyakit radang usus kronis yang pernah dianggap
langka pada populasi anak, saat ini dikenal sebagai salah satu
penyakit kronis terpenting yang menyerang anak-anak dan
remaja. Kira-kira 20-30% dari semua pasien dengan penyakit Crohn
hadir saat mereka lebih muda dari 20 tahun. Selain gejala GI yang
umum (diare, perdarahan rektal, dan sakit perut), anak dengan
penyakit Crohn seringkali mengalami gagal tumbuh, malnutrisi,
keterlambatan pubertas, dan demineralisasi tulang.

Manifestasi Klinis dan Pemeriksaan Fisik


Anak-anak dengan penyakit Crohn pada usus kecil biasanya datang
dengan bukti malabsorpsi, termasuk yang berikut ini:
ü Diare
ü Sakit perut
ü Perlambatan pertumbuhan
ü Penurunan berat badan
ü Anoreksia
Awalnya, manifestasi malabsorpsi mungkin tidak terlalu
kentara. Timbulnya kegagalan pertumbuhan biasanya tidak disadari
dan dapat mendahului gejala GI selama bertahun-tahun. Tanda vital
biasanya normal, meskipun takikardia dapat ditemukan pada pasien
anemia. Demam intermiten kronis adalah gejala yang sering
muncul. Berat badan dan tinggi badan dapat menunjukkan
60
penurunan berat badan dan keterlambatan pertumbuhan. Indikator
kelainan pertumbuhan yang paling sensitif adalah penurunan
kecepatan pertumbuhan, yang dapat diamati sebelum garis persentil
utama pada kurva pertumbuhan standar disilangkan. Penyakit
perianal (misalnya, tanda kulit, abses, fistula, fisura) ditemukan pada
sekitar 45% pasien. Manifestasi ekstraintestinal yang paling
umum dari penyakit Crohn adalah artritis dan artralgia, biasanya
mengenai sendi besar (misalnya, pinggul, lutut, pergelangan kaki).

Pemeriksaan Penunjang
Endoskopi
ü Kolonoskopi dengan beberapa biopsi kolon
dan ileum terminal dianggap sebagai prosedur diagnostik
standar.
ü Endoskopi bagian atas, atau esophagogastroduodenoscopy
(EGD), harus menjadi bagian dari investigasi lini pertama.
ü Endoskopi kapsul video semakin sering digunakan untuk
mengevaluasi penyakit Crohn usus halus pada anak-anak.

Tatalaksana
Tujuan umum pengobatan untuk anak-anak dengan penyakit Crohn
adalah sebagai berikut:
ü Untuk mencapai pengendalian klinis, laboratorium, dan
histologis terbaik dari penyakit inflamasi dengan efek samping
yang paling sedikit dari pengobatan.

61
ü Untuk meningkatkan pertumbuhan dengan nutrisi yang
memadai.
ü Untuk mengizinkan pasien berfungsi senormal mungkin
(misalnya, dalam hal kehadiran di sekolah dan partisipasi dalam
kegiatan).

Pendekatan step-up
ü Pasien dengan penyakit ringan diobati dengan sediaan asam 5-
aminosalisilat (5-ASA), antibiotik, dan terapi nutrisi.
ü Jika tidak ada respon terjadi atau jika penyakit lebih parah dari
yang diperkirakan, terapi kortikosteroid dan imunomodulator
dengan 6-mercaptopurine (6-MP) atau methotrexate (MTX)
dicoba.
ü Infliximab efektif pada pasien yang memiliki respon yang tidak
memadai terhadap terapi konvensional dan pada pasien yang
memiliki penyakit Crohn fistulizing.
ü Adalimumab adalah pengganti yang aman dan efektif untuk
pasien yang alergi terhadap infliximab atau mengembangkan
titer antibodi antichimeric manusia (HACA) yang tinggi.
ü Pembedahan dipertimbangkan jika terapi medis gagal.

Perawatan bedah
Indikasi pembedahan meliputi:
ü Penyakit yang tidak dapat disembuhkan dengan kegagalan
pertumbuhan
ü Obstruksi atau stenosis berat
62
ü Abses membutuhkan drainase
ü Fistula perianal
ü Perdarahan yang tidak bisa diatasi
ü Perforasi

Fitur pembedahan adalah sebagai berikut:


ü Kambuhnya penyakit di tempat anastomosis sering terjadi
setelah reseksi
ü Perawatan bedah untuk penyakit Crohn tidak bersifat
kuratif
ü Teknik laparoskopi menjadi standar perawatan.16-20

Daftar Pustaka
1. Bonnard A, Demarche M, Dimitriu C, et al. Indications for
laparoscopy in the management of intussusception: A multicenter
retrospective study conducted by the French Study Group for
Pediatric Laparoscopy (GECI). J Pediatr Surg. 2008 Jul. 43(7):1249-
53.
2. Fraser JD, Aguayo P, Ho B, et al. Laparoscopic management of
intussusception in pediatric patients. J Laparoendosc Adv Surg Tech A.
2009 Aug. 19(4):563-5.
3. Scmid O, Quaiser K. Uer eine besondere schwere verlaufende Form
von enteritis beim saugling. Oesterr Z Kinderh. 1953. 8:114.
4. Berdon WE. Necrotizing enterocolitis in the premature
infant. Radiology. 1964. 83:879.

63
5. Rusconi B, Good M, Warner BB. The microbiome and biomarkers
for necrotizing enterocolitis: are we any closer to prediction?. J
Pediatr. 2017 Oct. 189:40-7.e2.
6. Das K, Mohanty S. Hirschsprung disease - current diagnosis and
management. Indian J Pediatr. 2017 Aug. 84(8):618-23.
7. Heuckeroth RO. Hirschsprung disease - integrating basic science
and clinical medicine to improve outcomes. Nat Rev Gastroenterol
Hepatol. 2018 Mar. 15(3):152-67.
8. Opitz JM, Schultka R, Göbbel L. Meckel on developmental
pathology. Am J Med Genet A. 2006 Jan 15. 140 (2):115-28.
9. Farrell MB, Zimmerman J. Meckel's diverticulum imaging. J Nucl
Med Technol. 2020 Sep. 48 (3):210-3.
10. Elsayes KM, Menias CO, Harvin HJ, Francis IR. Imaging
manifestations of Meckel's diverticulum. AJR Am J Roentgenol.
2007 Jul. 189 (1):81-8.
11. Garg D, Singh AP, Kothari S, Kumar A. Urachal cyst, Meckel's
diverticulum and band, and urachus. APSP J Case Rep. 2017 Jan-
Feb. 8 (1):8.
12. Beaty JS, Shashidharan M. Anal Fissure. Clin Colon Rectal Surg.
2016 Mar. 29 (1):30-7.
13. Sanchez-Avila MT, Garcia-Valencia OA, Rivas-Calderon M,
Morales-Garza LA, Jacobo-Velazquez P, Chavez-Caraza KL.
Frequency and findings of the acquired anorectal disease in the
pediatric population with chronic constipation. Turk J Pediatr. 2018.
60 (5):547-553.

64
14. Jamshidi R. Anorectal Complaints: Hemorrhoids, Fissures,
Abscesses, Fistulae. Clin Colon Rectal Surg. 2018 Mar. 31 (2):117-
120.
15. Brown CJ, Dubreuil D, Santoro L, Liu M, O'Connor BI, McLeod
RS. Lateral internal sphincterotomy is superior to topical
nitroglycerin for healing chronic anal fissure and does not
compromise long-term fecal continence: six-year follow-up of a
multicenter, randomized, controlled trial. Dis Colon Rectum. 2007
Apr. 50 (4):442-8.
16. Fagerberg UL, Loof L, Myrdal U, et al. Colorectal inflammation is
well predicted by fecal calprotectin in children with gastrointestinal
symptoms. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2005 Apr. 40(4):450-5.
17. Frokjaer JB, Larsen E, Steffensen E, et al. Magnetic resonance
imaging of the small bowel in Crohn's disease. Scand J
Gastroenterol. 2005 Jul. 40(7):832-42.
18. Lee SS, Kim AY, Yang SK, et al. Crohn disease of the small bowel:
comparison of CT enterography, MR enterography, and small-
bowel follow-through as diagnostic techniques. Radiology. 2009
Jun. 251(3):751-61.
19. Guilhon de Araujo Sant'Anna AM, et al. Wireless capsule endoscopy
for obscure small-bowel disorders: final results of the first pediatric
controlled trial. Clin Gastroenterol Hepatol. 2005 Mar. 3(3):264-70.
20. Hyams J, Crandall W, Kugathasan S, et al. Induction and
maintenance infliximab therapy for the treatment of moderate-to-
severe Crohn's disease in children. Gastroenterology. 2007 Mar.
132(3):863-73; quiz 1165-6.
65
Latihan Soal
1. Seorang ibu membawa anaknya yang baru lahir 20 jam yang lalu di
rumah dibantu oleh dukun beranak dengan keluhan muntah lebih dari
5 kali sejak 4 jam sebelum masuk rumah sakit. Dari anamnesis, ibu
menceritakan bahwa bayinya muntah setelah diberikan susu formula,
karena khawatir anaknya mengalami alergi terhadap susu sapi maka ibu
memberikan ASI nya kurang lebih 30 menit setelah anaknya muntah.
Tetapi menurut ibu, meskipun sudah diberikan ASI, anak tetap muntah
dan hal tersebut berulang sampai lebih dari 5 kali. Pada pemeriksaan
fisik ditemukan tympanitic distensi abdomen dengan gejala obstruksi
usus. Setelah dilakukan pemeriksaan radiologi dengan barium enema
maka bayi ini didiagnosa sebagai Hirschsprung Disease. Apa penyebab
dari kelainan ini?
a. Kegagalan menutup dari duktus omphalomesenteric
b. Adanya bagian dari usus besar yang tidak memiliki syaraf
c. Peningkatan pada jumlah gas usus
d. Adanya segemen usus yang menginvaginasi bagian usus lain
e. Jumlah susu yang diberikan terlalu banyak sehingga terjadi
penumpukan di dalam usus

2. Seorang anak laki - laki berusia 2 tahun dibawa ke IGD oleh ibunya
setelah mengalami diare yang berwarna merah dan bercampur lendir
sejak 10 jam sebelum masuk rumah sakit. Keluhan dirasakan memberat
meskipun ibu sudah memberikan obat diare dan antibiotik yang ia
dapatkan dari puskesmas. Pada pemeriksaan fisik, terlihat anak menahan
nyeri saat dilakukan palpasi pada perut bagian kanan. Pada pemeriksaan
66
penunjang ditemukan adanya gambaran target sign. Apakah diagnosa
dari pasien ini?

a. Divertikulum meckel
b. NEC
c. Intususepsi
d. Disentri amuba
e. Disentri basiler

3. Seorang anak laki - laki usia 14 tahun datang ke poliklinik diantaroleh


ayahnya dengan keluhan sulit menambah berat badan dan terlihat lebih
pendek dibandingkan dengan anak seusianya. Setelah dilakukan
anamnesis, ditemukan bahwa pasien dalam 1 hari BAB 3 - 4 kali sejak 5
bulan yang lalu. Selain frekuensi BAB yang lebih sering, anak juga
merasa perutnya sering kembung dan lebih baik bila sudah BAB.
Apakah pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan pada pemeriksaan
ini?
a. Digital rectal examination
b. USG abdomen
c. Radiologi polos abdomen
d. Radiologi barium enema
e. Kolonoskopi

67
PERDARAHAN SALURAN CERNA PADA
ANAK DENGAN GANGGUAN HATI

Hati adalah organ yang terbesar yang terletak di sebelah kanan atas rongga
perut, persis disamping lambung dibawah paru-paru. Beratnya 1.500 gr atau
2,5 % dari berat badan orang dewasa normal. Hati dibungkus oleh selaput
tipis yang disebut kapsul Glisson. Kadang-kadang hati dapat membengkak
dan kapsul tersebut meregang, menimbulkan rasa tidak nyaman. Hati disuplai
oleh dua pembuluh darah, yaitu Vena porta hepatica yang berasal dari
lambung dan usus, yang kaya akan nutrien seperti asam amino,
monosakarida, vitamin yang larut dalam air, dan mineral. Arteri hepatika,
cabang dari arteri kuliaka yang kaya akan oksigen. Cabang-cabang pembuluh
darah vena porta hepatica dan arteri hepatica mengalirkan darahnya ke
sinusoid. Hematosit menyerap nutrien, oksigen, dan zat racun dari darah
sinusoid. Di dalam hematosit zat racun akan dinetralkan sedangkan nutrien
akan ditimbun atau dibentuk zat baru, dimana zat tersebut akan disekresikan
ke peredaran darah tubuh. Pada kondisi hidup, hati berwarna merah tua
karena kaya akan persediaan darah. Hati terbagi menjadi lobus kiri dan lobus
kanan yang dipisahkan oleh ligamentum falciforme. Lobus kanan hati lebih
besar dari lobus kirinya dan mempunyai 3 bagian utama yaitu: lobus kanan
atas, lobus caudatus, dan lobus quadrates. Vena porta hepatika mengalirkan
darah keluar dari sistem venous usus dengan membawa nutrien yang diserap
di dalam saluran cerna ke hati. Hati melaksanakan berbagai fungsi metabolik.
Sebagai contoh, pada saat puasa hati akan menghasilkan sebagian besar

68
glukosa melalui glukoneogenesis serta glikogenolisis, melakukan
detoksifikasi, menyimpan glikogen dan memproduksi getah empedu
disamping berbagai protein serta lipid.

1. Sirosis Hepatis
Sirosis hepatis adalah penyakit yang ditandai oleh adanya peradangan
difus dan menahun pada hati, diikuti dengan proliferasi jaringan ikat,
degenerasi dan regenerasi sel-sel hati, sehingga timbul kekacauan dalam
susunan parenkim hati. Sirosis hati ditandai dengan terbentuknya
jaringan ikat serta nodul pada hati, dimulaid ari nekrosis sel hati yang
luas sehingga mengakibatkan perubahan sirkulasi mikro dan makro
menjadi tidak teratur akibat penambahan jaringan ikat dan nodul
tersebut. Sirosis hati adalah stadium akhir dair penyakit hati kronis dan
terjadinya pengerasan hati. Penyebab sirosis hepatis antara lain:
malnutrisi, alkoholisme, virus hepatitis, kegagalan jantung yang
menyebabkan bendungan vena hepaitka, penyakit Wilson,
hemokromatosis, zat toksik.
Sirosis hepatis dibagi menjadi tiga jenis, yaitu:
1. Sirosis Laennec: jaringan parut secara khas mengelilingi daerah
portal. Sering disebabkan oleh alkoholis kronis.
2. Sirosis pascanekrotik: terdapat pita jaringan parut yang lebar sebagai
akibat lanjut dari hepatitis virus akut yang terjadi sebelumnya.
3. Sirosis bilier: pembentukan jaringan parut terjadi dalam hati
disekitar saluran empedu. Terjadi akibat obstruksi bilier yang kronis
dan infeksi (kolangitis).

69
Transisi dari penyakit hati kronik ke sirosis melibatkan peradangan,
aktivasi dari hepatic stellate cells dengan kejadian fibrogenesis,
angiogenesis, dan lesi-lesi kematian parenkim yang disebabkan
adanya hambatan vaskular. Proses ini menyebabkan perubahan
mikrovaskular yang ditandai oleh sinusoidal remodelling (deposisi
matriks ekstraselular dari sel-sel stelata aktif yang berproliferasi
sehingga menyebabkan proses kapilarisasi dari sinusoid hati),
formasi dari intrahepatic shunts (karena adanya angiogenesis dan
hilangnya selsel parenkimal), dan disfungsi endotelial hati. Disfungsi
endotelial ditandai oleh kurangnya pelepasan vasodilator-
vasodilator, dimana yang terpenting adalah nitric oxide (NO).
Pelepasan dari NO dihambat oleh rendahnya aktivitas dari endothelial
nitric oxide synthetase (terjadi karena kurangnya protein-kinase-
Bdependent phosphorylation, kurangnya kofaktor-kofaktor, adanya
peningkatan scavengingkarena adanya stres oksidatif, dan tingginya
konsentrasi dari inhibitor endogen dari NO), seiring dengan
peningkatan produksi vasokonstriktor (terutama stimulasi
adrenergik dan thromboxan A2), serta aktivasi dari sistem renin
angiotensin, antidiuretic hormone, dan endothelins. Peningkatan
tahanan hati terhadap aliran darah portal adalah faktor utama yang
meningkatkan tekanan portal pada SH. Hal tersebut dihasilkan dari
kombinasi dari gangguan-gangguan struktural yang diasosiasikan
dengan penyakit hati tahap lanjut dan dari abnormalitas-
abnormalitas fungsional yang menyebabkan disfungsi endotelial dan
peningkatan hepatic vascular tone; tekanan portal mungkin dapat
dikurangi sebanyak 30% bila abnormalitas fungsional ini dikoreksi.
70
Mekanisme molekular dari abnormalitas-abnormalitas ini sekarang
sedang berusaha untuk digambarkan dan merupakan target baru
dalam hal terapi. Vasodilatasi splanchnic dengan peningkatan aliran
masuk darah ke dalam sistem vena portal berkontribusi
memperberat peningkatan tekanan portal. Vasodilatasi splanchnic
adalah respon adaptif terhadap perubahan pada hemodinamik
intrahepatal dalam kasus SH. Mekanismenya berlawanan langsung
dengan peningkatan hepatic vascular tone. Karena adanya
mekanisme yang berlawanan ini, usaha-usaha untuk mengoreksi
hipertensi portal dengan aksi pada tahanan hati atau aliran masuk
darah portal seharusnya didasarkan secara ideal pada strategistrategi
yang bersifat seselektif mungkin pada sirkulasi intrahepatal atau
splancnic. Pada SH tahap lanjut, vasodilatasi splancnic terlalu intens
untuk menentukan hyperdynamic splanchnic dan sirkulasi sistemik,
dimana bersamasama dengan hipertensi portal memiliki peran utama
dalam patogenesis dari asites dan sindrom hepatorenal. Vasodilatasi
sistemik lebih lanjutnya akan menyebabkan pulmonary
ventilation/perfution mismatch yang pada kasus berat menyebabkan
sindrom hepatopulmonar dan hipoksemia arteri. Hipertensi
portopulmonar ditandai oleh vasokonstriksi paru, yang dipikirkan
terjadi karena disfungsi endotelial dalam sirkulasi paru. Formasi dan
peningkatan varises didorong oleh faktor-faktor anatomis,
peningkatan tekanan portal, peningkatan aliran darah kolateral, dan
oleh angiogenesis yang bergantung pada vascular endothelial growth
factor (VEGF), yang kesemuanya berkontribusi pada perdarahan
variceal. Pelebaran dari pembuluh mukosa gaster menyebabkan
71
portal-hypertensive gastropathy. Sebagai tambahan, adanya shunting dari
darah portal ke sirkulasi sistemik adalah penyebab utama dari hepatic
encephalopathy, penurunan first pass effect dari obat-obatan oral,
dan penurunan fungsi sistem retikuloendotelial. Bagaimanapun juga,
kapilarisasi dari sinusoid-sinusoid dan shunts intrahepatal juga
penting karena perubahan ini mempengaruhi perfusi efektif
hepatosit, dimana hal tersebut adalah penentu utama dari kegagalan
hati.

Gejala klinis sirosis hepatis mencakup:


a. Hepatomegali
Pada awal perjalanan sirosis hati, hati cenderung membesar dan
sel-selnya dipenuhi oleh lemak. Hati tersebut menjadi keras dan
memiliki tepi tajam yang dapat diketahui melalui palpasi. Nyeri
abdomen dapat terjadi sebagai akibat dari pembesaran hati yang
cepat dan baru saja terjadi sehingga mengakibatkan regangan
pada selubung fibrosa hati (kapsula Glissoni). Pada perjalanan
penyakit yang lebih lanjut, ukuran hati akan berkurang setelah
jaringan parut menyebabkan pengerutan jaringan hati. Apabila
dapat dipalpasi, permukaan hati akan teraba berbenjol-benjol
(noduler).
b. Obstruksi Portal dan Asites
Manifestasi lanjut sebagian disebabkan oleh kegagalan fungsi hati
yang kronis dan sebagian lagi oleh obstruksi sirkulasi portal.
Semua darah dari organ-organ digestif praktis akan berkumpul
dalam vena porta dan dibawa ke hati. Karena hati yang sirotik
72
tidak memungkinkan perlintasan darah yang bebas, maka aliran
darah tersebut akan kembali ke dalam limpa dan traktus
gastrointestinal dengan konsekuensi bahwa organ-organ ini
menjadi tempat kongesti pasif yang kronis; dengan kata lain,
kedua organ tersebut akan dipenuhi oleh darah dan dengan
demikian tidak dapat bekerja dengan baik. Pasien dengan keadaan
semacam ini cenderung menderita dispepsia kronis dan
konstipasi atau diare. Berat badan pasien secara berangsur-angsur
mengalami penurunan.
c. Varises Gastrointestinal
Obstruksi aliran darah lewat hati yang terjadi akibat perubahan
fibrotik juga mengakibatkan pembentukan pembuluh darah
kolateral dalam sistem gastrointestinal dan pemintasan (shunting)
darah dari pembuluh portal ke dalam pembuluh darah dengan
tekanan yang lebih rendah. Sebagai akibatnya, penderita sirosis
sering memperlihatkan distensi pembuluh darah abdomen yang
mencolok serta terlihat pada inspeksi abdomen (kaput medusae),
dan distensi pembuluh darah diseluruh traktus gastrointestinal.
Esofagus, lambung dan rektum bagian bawah merupakan daerah
yang sering mengalami pembentukan pembuluh darah kolateral.
Distensi pembuluh darah ini akan membentuk varises atau
hemoroid tergantung pada lokasinya.
d. Edema
Gejala lanjut lainnya pada sirosis hepatis ditimbulkan oleh gagal
hati yang kronis. Konsentrasi albumin plasma menurun sehingga
menjadi predisposisi untuk terjadinya edema. Produksi
73
aldosteron yang berlebihan akan menyebabkan retensi natrium
serta air dan ekskresi kalium.
e. Defisiensi Vitamin dan Anemia
Karena pembentukan, penggunaan dan penyimpanan vitamin
tertentu yang tidak memadai (terutama vitamin A, C dan K),
maka tanda-tanda defisiensi vitamin tersebut sering dijumpai,
khususnya sebagai fenomena hemoragik yang berkaitan dengan
defisiensi vitamin K. Gastritis kronis dan gangguan fungsi
gastrointestinal bersama-sama asupan diet yang tidak adekuat dan
gangguan fungsi hati turut menimbulkan anemia yang sering
menyertai sirosis hepatis. Gejala anemia dan status nutrisi serta
kesehatan pasien yang buruk akan mengakibatkan kelelahan
hebat yang mengganggu kemampuan untuk melakukan aktivitas
rutin sehari-hari.
f. Kemunduran Mental
Manifestasi klinis lainnya adalah kemunduran fungsi mental
dengan ensefalopati dan koma hepatik yang membakat. Karena
itu, pemeriksaan neurologi perlu dilakukan pada sirosis hepatis
dan mencakup perilaku umum pasien, kemampuan kognitif,
orientasi terhadap waktu serta tempat, dan pola bicara.

2. Varises Esofagus
Varises esofagus adalah penyakit yang ditandai oleh
pelebaran pembuluh darah vena di esofagus bagian bawah. Varises
esofagus terjadi jika adanya obstruksi aliran darah menuju hati.
Seringkali aliran darah diperlambat oleh jaringan parut pada hati
74
yang disebabkan oleh penyakit hati. Karena resistensi pembuluh
darah di sinusoid hati rendah, peningkatan tekanan vena portal (>10
mmHg) akan mendistensi vena proksimal ke tempat blok dan
meningkatkan tekanan kapiler pada organ yang dialiri oleh pembuluh
darah vena yang terobstruksi, salah satunya adalah esofagus. Tidak
imbangnya antara tekanan aliran darah dengan kemampuan
pembuluh darah mengakibatkan pembesaran pembuluh darah
(varises). Dalam keadaan yang demikian, terkadang vena bisa pecah
dan berdarah.
Penderita varises esofagus yang telah mengalami
perdarahan memiliki kesempatan 70% mengalami perdarahan ulang,
dan sekitar sepertiga dari episode perdarahan lebih lanjut yang fatal.
Risiko kematian tertinggi adalah selama beberapa hari pertama
setelah episode perdarahan dan menurun perlahan-lahan selama 6
minggu pertama. Tingkat mortalitas perdarahan varises akut yang
mendapatkan intervensi bedah cukup tinggi. Kelainan terkait dalam
sistem ginjal, paru, kardiovaskular, dan kekebalan tubuh pada pasien
dengan varises esofagus berkontribusi sebesar 20-65% dalam
mengakibatkan kematian.
Frekuensi varises esofagus bervariasi dari 30% sampai 70%
pada pasien dengan sirosis, dan 9-36% pasien yang memiliki risiko
tinggi varises. Varises esofagus berkembang pada pasien dengan
sirosis per tahun sebesar 5-8% tetapi varises yang cukup besar untuk
menimbulkan risiko perdarahan hanya 1-2% kasus. Sekitar 4-30%
pasien dengan varises kecil akan berkembang menjadi varises yang
besar setiap tahun sehingga akan berisiko terjadinya perdarahan.
75
Salah satu tempat potensial untuk komunikasi antara
sirkulasi splanknik intraabdomen dan sirkulasi vena sistemik adalah
melalui esofagus. Apabila aliran darah vena porta ke hati terhambat
oleh sirosis atau penyebab lain, hipertensi porta yang terjadi memicu
terbentuknya saluran pintas kolateral di tempat bertemunya sistem
porta dan sistemik. Oleh karena itu, aliran darah porta dialihkan
melalui vena koroner lambung ke dalam pleksus vena subepitel dan
submukosa esofagus, kemudian kedalam vena azigos dan vena kava
superior. Peningkatan tekanan di pleksus esofagus menyebabkan
pembuluh melebar dan berkelok-kelok yang dikenal sebagai varises.
Pasien dengan sirosis mengalamai varises dengan laju 5%-15% per
tahun, sehingga varises terdapat pada sekitar dua pertiga dari semua
pasien sirosis.
Ruptur varises menimbulkan pendarahan masif ke dalam
lumen, serta merembesnya darah ke dalam dinding esofagus. Varises
tidak menimbulkan gejala sampai mengalami ruptur. Pada pasien
dengan sirosis hati tahap lanjut separuh kematian disebabkan oleh
ruptur varises, baik sebagai konsekuensi langsung perdarahan atau
karena koma hepatikum yang dipicu oleh perdarahan. Meskipun
terbentuk, varises merupakan penyebab pada kurang dari separuh
episode hematemesis. Sisanya sebagian besar disebabkan oleh
pendarahan akibat gastritis, ulkus peptik, atau laserasi esofagus.
Faktor yang memicu ruptur varises belum jelas: erosi
mukosa di atasnya yang sudah menipis, meningkatnya tekanan pada
vena yang secara progresif mengalami dilatasi, dan muntah disertai
peningkatan tekanan intraabdomen mungkin berperan. Separuh
76
pasien juga ditemukan mengidap karsinoma haepato selular, yang
mengisyaratkan bahwa penurunan progresif cadangan fungsional
hati akibat pertumbuhan tumor meningkatkan kemungkinan ruptur
varises. Setelah terjadi, perdarahan varises mereda secara spontan
hanya pada 50% kasus.
Perdarahan dari varices biasanya parah/berat dan bila tanpa
perawatan segera, dapat menjadi fatal. Gejala-gejala dari perdarahan
varices termasuk muntah darah (muntahan dapat berupa darah
merah bercampur dengan gumpalan-gumpalan atau "coffee grounds"
dalam penampilannya, yang disebabkan oleh efek dari asam pada
darah), mengeluarkan tinja/feces yang hitam dan bersifat ter
disebabkan oleh perubahan-perubahan dalam darah ketika ia
melewati usus (melena), dan kepeningan ortostatik (orthostatic
dizziness) disebabkan oleh suatu kemerosotan dalam tekanan darah
terutama ketika berdiri dari suatu posisi berbaring. Keluhan yang
sering dillaporkan antara lain:
• Kelemahan
• Anoreksia
• Mual dan muntah
• Penurunan berat badan
• Ikterus / urin berwarna gelap
• Edema dan pembengkakan perut
• Pruritus biasanya terkait dengan kondisi kolestatik, seperti
obstruksi bilier ekstrahepatik, sirosis bilier primer,

77
sclerosing cholangitis, kolestasis kehamilan, dan cholestasis
berulang jinak
• Perdarahan spontan dan mudah memar.

Pada anamnesis perlu ditanyakan mengenai riwayat medis masa


lalu antara lain riwayat infeksi hepatitis, riwayat gangguan
hepatobilier, riwayat transfusi darah berulang atau penyakit hati yang
diinduksi obat.
Esophagogastroduodenoscopy (EGD) adalah gold standard
untuk diagnosis varises esofagus. Jika gold standard tidak tersedia,
tahap diagnostik selanjutnya yang memungkinkan adalah Doppler
ultrasonography sirkulasi darah (bukan endoscopic ultrasonography).
Meskipun ini merupakan pilihan kedua yang kurang baik, tapi dapat
menunjukkan temuan varises. Alternatif lain termasuk
radiografi/barium swallow pada esofagus dan lambung, angiografi
vena portal dan manometri.
Sangatlah penting untuk menilai lokasi (esofagus dan lambung)
dan ukuran varises, tanda yang mendekati, tanda akut yang pertama,
atau perdarahan yang berulang, dan (jika memungkinkan)
mempertimbangkan penyebab dan tingkat keparahan penyakit hati.
Alur diagnosis varises esofagus adalah sebagai berikut:
1. Skrining esophagogastroduodenoscopy (EGD) untuk diagnosis
varises esofagus dan lambung direkomendasikan ketika
diagnosis sirosis sudah ditegakkan.
2. Pengamatan endoskopi direkomendasikan berdasarkan level
sirosis, penampakan, dan ukuran varises. Pasien dengan
78
compensated sirosis tanpa varises sebaiknya melakukan
pengulangan EGD setiap 2-3 tahun, pasien dengan
compensated sirosis disertai varises kecil sebaiknya melakukan
pengulangan EGD setiap 1-2 tahun, sedangkan pasien dengan
decompensated sirosis sebaiknya melakukan pengulangan
EGD setiap tahun.
3. Perkembangan varises gastrointestinal dapat ditentukan pada
dasar klasifikasi ukuran pada saat dilakukan EGD.

Pada varises dengan pendarahan hal yang harus dilakukan adalah:


menilai tingkat dan volume pendarahan, melakukan pemeriksaan
tekanan darah dan denyut nadi pasien dengan posisi terlentang dan
duduk, melakukan pemeriksaan hematokrit segera, mengukur jumlah
trombosit dan protrombin time, memeriksa fungsi hati dan ginjal, dan
melakukan pengobatan darurat. Pengobatan darurat yang harus
dilakukan antara lain:
• Segera kembalikan tekanan dan volume darah penderita yang
dicurigai sirosis dan pendarahan visera
• Lakukan transfuse darah, dilakukan dengan infuse cepat dextrose
dan larutan koloid sampai tekanan darah dan ekskresi urin normal.
• Lindungi jalan nafas dari pendarahan saluran cerna bagian atas,
terutama jika penderita tidak sadar
• Jika memungkinkan, perbaiki factor pembekuan dengan cairan
plasma dan darah segar, dan vitamin K-1.
• Masukkan tabung nasogastrik untuk menilai keparahan
pendarahan sebelum dilakukan endoskopi.
79
• Pertimbangkan terapi farmakologis (octreotide atau somatostatin)
dan endoskopi segera setelah penderita pulih. Tujuannya untuk
menentukan dan mengendalikan pendarahan.

Prinsip penanganan mencakup tindakan suportif dan terapi untuk


mengontrol perdarahan aktif. Stabilisasi hemodinamik dengan
resusitasi cairan intravena kristaloid. Pada perdarahan karena varises
pemberian cairan harus hati-hati untuk menghindari pengisian
intravaskular terlalu cepat yang meningkatkan tekanan porta dan
memicu perdarahan berulang. Oksigenasi pada perdarahan aktif masif
dengan syok. Pada perdarahan masif diberi transfusi darah untuk
memperbaiki kapasitas pengangkutan oksigen. Transfusi darah
sebaiknya diberikan hingga target hematokrit kurang dari 30% untuk
menghindari kondisi overtransfused yang dapat meningkatkan tekanan
porta dan memicu perdarahan berulang. Pemantauan hematokrit
diperlukan pada kasus perdarahan aktif. Koreksi koagulasi atau
trombositopenia (fresh frozen plasma, trombosit). Koreksi gangguan
elektrolit bila ada. Mencegah ensefalopati hepatikum pada penderita
penyakit hati kronis yang mengalami perdarahan saluran cerna dengan
laktulosa dan nonabsorbable antibiotic. Laktulosa berfungsi membersihkan
saluran cerna dari sisa-sisa darah. Nonabsorbable antibiotic (neomisin,
colistin) bertujuan untuk mensterilkan usus dari bakteri usus yang akan
mencerna bekuan darah menjadi amonia (neurotoksik). Dosis laktulosa
0,5–1 mL/kgBB diberikan 2–4 kali sehari. Pengobatan spesifik untuk
mengontrol perdarahan: Gastric acid secretion inhibitor IV: Ranitidin
(antagonis histamin-2) infus kontinu 1 mg/kgBB dilanjutkan 2–4
80
mg/kgBB/hari atau bolus 3–5 mg/kgBB/hari terbagi dalam 3 dosis.
Pantoprazol (proton pump inhibitor/PPI): anak-anak 40 kg: 20–40 mg
sekali sehari (maksimal 40 mg/hari). Esomeprazol: bayi: 0,5 mg/kgBB/
hari; anak 1–17 tahun 55 kg: 20 mg. Agen vasoaktif IV: mempunyai
efek menurunkan tekanan vena porta dengan menurunkan aliran darah
splanik. Oktreotid (analog somatostatin): 1 mcg/kgBB IV bolus
(maksimal 50 mcg) dilanjutkan 1–4 mcg/ kgBB/jam. Bila perdarahan
sudah terkontrol, dosis diturunkan 50% perlahan-lahan tiap 12 jam
hingga mencapai 25% dosis pertama baru dihentikan. Oktreotid lebih
disukai karena lebih sedikit menimbulkan efek samping sistemik
dibanding vasopresin dan mempunyai efek mengurangi sekresi asam
lambung. Efek samping yang sering dijumpai adalah hiperglikemia.
Vasopresin (hormon antidiuretik) 0,002–0,005 unit/kgBB/menit tiap
12 jam kemudian diturunkan dalam 24–48 jam (maksimum 0,2
unit/menit). Vasopresin mempunyai efek samping vasokonstriksi
perifer dan memicu gagal ginjal. Mencegah perdarahan berulang: gastric
acid secretion inhibitor (oral). Pemasangan pipa nasogastrik Bertujuan
untuk mengeluarkan sisa bekuan darah, melihat apakah perdarahan
masih berlangsung dan untuk persiapan endoskopi emergensi. Sisa
bekuan darah yang tidak segera dikeluarkan akan menjadi sumber
protein yang dapat memicu ensefalopati dan dapat pula meningkatkan
aliran darah limpa sehingga memperberat perdarahan. Endoskopi
gastroskopi, Terapi ligasi dan skleroterapi untuk perdarahan karena
varises esofagus. Efek tidak diinginkan skleroterapi adalah striktur yang
terjadi pada sekitar 15% anak pasca-terapi sklerosing. Rebleeding dapat
terjadi pasca-terapi dan lebih sering pada skleroterapi dibanding ligasi.
81
Kolonoskopi: Terapi polipektomi. Angiografi Menggunakan teknik
embolisasi atau vasopresin. Vasopresin lebih bermanfaat untuk
perdarahan difus atau perdarahan dari pembuluh darah kecil.
Prognosis perdarhaan saluran cerna akibat sirosis hati dapat
menggunakan skoring Child-Pugh.

Tabel 2. Skoring Child-Pugh


Pemeriksaan 0 1 2
Albumin (g%) >3,6 3,0 – 3,5 <3,0
Bilirubin (mg%) <2,0 2,0 – 3,0 >3,0
Gangguan kesadaran - Minimal +
Asites - Minimal +

Keterangan:
1. kegagalan hati ringan = indeks hati 0-3
2. kegagalan hati sedang = indeks hati 4-6
3. kegagalan hati berat = indeks hati 7-10

Kelas A = dengan skor kurang dari atau sama dengan 6


Kelas B = dengan skor 7-9, dan
Kelas C = dengan skor 10 atau lebih

Pasien dari kelas A biasanya meninggal akibat efek pendarahan.


Sedangkan pasien dengan kelas C kebanyakan akibat penyakit dasarnya
predikator ketahanan hidup yang paling sering digunakan untuk
menentukan mortalitas dalam 6 minggu atau 30 hari setelah pendarahan
pertama adalah klasifikasi Child-Pugh. Rata-rata angka kematian setelah

82
pendarahan pertama pada sebagian besar penelitian menunjukkan
sekitar 50%. Angka kematian ini berhubungan erat dengan beratnya
penyakit hati. Dalam pengamatan selama 1 tahun, rata-rata angka
kematian akibat pendarahan varises berikutya adalah sebesar 5% pada
pasien dengan Child kelas A, 25% pada Child kelas B, dan 50% pada
Child kelas C.
Selain itu, Vinel dan kawan-kawan menunjukkan bahwa HVPG
dapat digunakan sebagai predikator ketahanan hidup, bila diukur 2
minggu setelah pendarahan akut. Masih belum jelas, apakah pendarah
aktif pada saat pemeriksaan endoskopi dapat dipakai sebagai predikator
terjadinya pendarahan ulangyang lebih awal. Resiko kematian menurun
jika cepat mendapatkan penanganan di rumah sakit, demikian pula
resiko kematian ini menjadi konstan sekitar 6 minggu setelah
pendarahan. Indeks hati juga dapat dipakai sebagai petunjuk untuk
menilai prognosis pasien hematemesis melena yang mendapat
pengobatan secara medik. Dari hasil penelitian sebelumnya, pasien yang
mengalami kegagalan hati ringan (indeks hati 0-2), angka kematiannya
antara 0-16%, sementara yang mempunyai kegagalan hati sedang sampai
berat (indeks hati 3-8) angka kematiannya 18-40%.

RINGKASAN
Sirosis hepatis adalah penyakit yang ditandai oleh adanya peradangan
difus dan menahun pada hati, diikuti dengan proliferasi jaringan ikat,
degenerasi dan regenerasi sel-sel hati, sehingga timbul kekacauan dalam
susunan parenkim hati. Sirosis hati ditandai dengan terbentuknya
83
jaringan ikat serta nodul pada hati, dimulaid ari nekrosis sel hati yang
luas sehingga mengakibatkan perubahan sirkulasi mikro dan makro
menjadi tidak teratur akibat penambahan jaringan ikat dan nodul
tersebut. Sirosis hati adalah stadium akhir dair penyakit hati kronis dan
terjadinya pengerasan hati.
Salah satu komplikasi yang fatal dari sirosis hati adalah perdarhaan
saluran cerna bagian atas yang disebabkan oleh ruptur varises esofagus.
Varises esofagus adalah penyakit yang ditandai oleh pelebaran
pembuluh darah vena di esofagus bagian bawah. Varises esofagus terjadi
jika aliran darah menuju hati terhalang. Aliran tersebut akan mencari
jalan lain, yaitu ke pembuluh darah di esofagus, lambung, atau rektum
yang lebih kecil dan lebih mudah pecah. Tidak imbangnya antara
tekanan aliran darah dengan kemampuan pembuluh darah
mengakibatkan pembesaran pembuluh darah (varises).
Gejala-gejala dari perdarahan varices termasuk muntah darah
(muntahan dapat berupa darah merah bercampur dengan gumpalan-
gumpalan atau "coffee grounds" dalam penampilannya, yang disebabkan
oleh efek dari asam pada darah), mengeluarkan tinja/feces yang hitam
dan bersifat ter disebabkan oleh perubahan- perubahan dalam darah
ketika ia melewati usus (melena), dan kepeningan orthostatic
(orthostatic dizziness) disebabkan oleh suatu kemerosotan dalam
tekanan darah terutama ketika berdiri dari suatu posisi berbaring.
Dalam menentukan prognosis digunakan sistem skor menurut
cara Child -Pugh dan indeks hati yang juga dapat dipakai sebagai petunjuk
untuk menilai prognosis pasien hematemesis melena yang mendapat
pengobatan secara medik.
84
Daftar Pustaka
1. Pinandhito GA, Widowati T, Damayanti W. Profil dan temuan klinis
pasien perdarahan saluran cerna di Departemen Kesehatan Anak RSUP
Dr. Sardjito 2009 - 2015. Sari Pediatr. 2018;19(4):196.
2. Romano C, Oliva S, Martellossi S, Miele E, Arrigo S, Graziani MG, et
al. Pediatric gastrointestinal bleeding: Perspectives from the Italian
Society of Pediatric Gastroenterology. World J Gastroenterol.
2017;23(8):1328–37.
3. Muin, Yulianti R, Julius R, Ibrahim M, Samad A. Clinical Pathology and
medical laboratory Majalah Patologi Klinik Indonesia dan Laboratorium
Medikik. Indones J Clin Pathol Med Lab Maj Patol Klin Indones dan
Lab Med [Internet]. 2011;18(1):57–62. Available from:
file:///C:/Users/A4/AppData/Local/Temp/351-178-1-SM.pdf
4. Jurnalis YD, Sayoeti Y. Tinjauan Pustaka Sindrom Hepatorenal pada
Anak. J Kesehat Andalas. 2012;1(3):134–9.
5. Mangunkusumo C, Rahayatri TH, Siahaan KBP, Ulima RP, Stephanie
M, Oswari H, et al. Evaluasi Pasien Praoperasi Transplantasi Hati Anak
Evaluation of Preoperative Pediatric Liver Transplantation. 2019;7(1).
6. IDAI. BUKU AJAR GASTROENTEROLOGI - HEPATOLOGI
ANAK. Jakarta: FKUI; 2013.
7. Sievert. Hepatitis. Arcan. Jakarta; 2010.
8. Hall G. 2020-Guyton Physiology.pdf. 2020; Available from:
http://libgen.lc/ads.php?md5=bd1c5ac3523b693a089f13dc69803d79
9. Roosen-Runge EC. Histology: A Text and Atlas. Vol. 7, Human
Pathology. 2016. 485 p.
10. David R, David W, John B. Lecture Notes Kedokteran klinis. Jakarta:
85
Erlangga; 2007.
11. Christanto. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius;
2014.
12. Geong GY, Kang SH, Lee CM. An updated review on the
epidemiology, pathophysiology, etiology, and diagnosis of liver
cirrhosis. Curr Probl Diagn Radiol [Internet]. 2019;44(1):449–61.
Available from:
http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S03630188150004
19
13. Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar
Ilmu Penyakit dalam. 7th ed. Jakarta: Interna Publishing; 2017.
14. Wan SZ, Nie Y, Zhang Y, Liu C, Zhu X. Assessing the Prognostic
Performance of the Child-Pugh, Model for End-Stage Liver Disease,
and Albumin-Bilirubin Scores in Patients with Decompensated
Cirrhosis: A Large Asian Cohort from Gastroenterology Department.
Dis Markers. 2020;2020.

Latihan Soal
1. Apakah pemeriksaan penunjang yang menjadi gold standard dalam
penegakan diagnosis varises esofagus?
a. USG Abdomen
b. Foto Abdomen 3 posisi
c. Esophagogastroduodenoscopy
d. Endoskopi
e. Kolonoskopi
86
2. Parameter apakah yang tidak termasuk dalam penentuan prognosis
perdarahan saluran cerna akibat sirosis hati yang terdapat dalam skoring
Child-Pugh:
a. Albumin
b. Bilirubin
c. Gangguan kesadaran
d. Asites
e. Hemoglobin

3. Agen vasoaktif IV yang mempunyai efek menurunkan tekanan vena


porta dengan menurunkan aliran darah splanik dan merupakan
analog somatostatin adalah:
a. Omeprazole
b. Oktreotid
c. Ranitidin
d. Vasopresin
e. Laktulosa

87
PENCITRAAN PADA ANAK DENGAN
PERDARAHAN SALURAN CERNA

Perdarahan gastrointestinal adalah kondisi umum pada anak-anak


dan dapat terjadi di setiap area saluran pencernaan, dari mulut hingga anus.
Perdarahan gastrointestinal pada bayi dan anak perlu mendapatkan perhatian
khusus karena dapat mengancam nyawa. Pada kasus pediatri lebih sering
ditemukan perdarahan saluran cerna bawah, sebagian besar ringan dan dapat
sembuh sendiri.
Gambaran klinis dapat bervariasi dan perdarahan dapat terjadi di
semua area saluran pencernaan. Sebuah studi oleh Cleveland et al, pada 167
pasien, menunjukkan tanda dan gejala umum perdarahan gastrointestinal atas
berupa hematemesis (73%), melena (21%) dan emesis (6%); namun, pasien
juga dapat mengalami nyeri epigastrik, nyeri perut, atau pusing. Gejala umum
dapat berupa hematemesis, melena, dan hematokezia. Diagnosis banding
pada perdarahan saluran cerna dikelompokkan berdasarkan usia pasien,
lokasi, dan karakteristik perdarahan, serta gejala penyerta.
Pendekatan diagnostik untuk perdarahan saluran cerna pediatrik
mencakup definisi etiologi, lokalisasi lokasi perdarahan dan penentuan
tingkat keparahan perdarahan. Endoskopi atas dan kolonoskopi adalah
pemeriksaan yang utama. Diagnostik yang teliti diperlukan untuk
mengidentifikasi sumber perdarahan serta penatalaksanaan yang tepat.
Diagnosis banding penting digunakan untuk menentukan urutan
penatalaksanaan. Diagnosis yang tepat waktu dan akurat diperlukan untuk

88
mengurangi morbiditas dan mortalitas. Pencitraan radiologi berperan penting
dalam diagnosis dan pengelolaan perdarahan saluran cerna selama 30 tahun
terakhir.

Diagnosa
Perdarahan saluran cerna dapat bermanifestasi klinis berupa melena
(tinja berwarna hitam atau seperti ter); hematokezia (darah segar per rektum
berwarna merah cerah atau sedikit gelap); atau hematemesis (muntah darah
dengan material muntahan berwarna merah terang atau merah gelap seperti
bubuk kopi).

Gambar 4. Pendekatan klinis untuk anak dengan perdarahan


gastrointestinal bagian atas.(podar)

89
Adanya darah akan mengonfirmasi diagnosis perdarahan saluran
cerna atas (termasuk perdarahan duodenum yang biasanya refluks ke
lambung) serta memperkirakan jumlah perdarahan dan menentukan apakah
perdarahan telah berhenti.
Untuk menegakkan diagnosa perdarahan saluran cerna, diperlukan
anamnesa yang detail, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
a. Anamnesis
• Menentukan apakah anak betul-betul mengalami perdarahan
saluran cerna.
• Tentukan volume darah yang hilang untuk menentukan berat
ringannya perdarahan saluran cerna dan perhatikan tanda-tanda
gangguan hemodinamik.
• Tanyakan warna darah dan jenis perdarahan untuk menentukan
lokasi perdarahan, serta frekuensi dan durasi perdarahan untuk
menentukan kronisitas perdarahan.
• Gejala-gejala penyerta lain seperti nyeri perut dan demam.
• Riwayat konsumsi obat jangka panjang seperti anti-inflamasi non-
steroid (AINS), steroid, aspirin, tablet besi, alkohol, dan obat-
obatan sitostatika tertentu.
• Riwayat menelan benda asing, bepergian keluar daerah, dan
perubahan pola makan.
• Riwayat trauma abdomen terutama epigastrium atau kuadran
kanan atas, serta luka bakar dengan jumlah luas.
• Riwayat penyakit sebelumnya: persalinan prematur, pemasangan
kateter arteri umbilical atau sepsis, riwayat operasi, penyakit hati,

90
penyakit saluran cerna sebelumnya (enterokolitis, intususepsi,
anomali kongenital), anemia sel sabit, atau hemofilia.
• Riwayat penyakit keluarga: penyakit perdarahan, penyakit hati
kronik, penyakit saluran cerna (polip, ulkus, colitis), pemakaian
obat-obat tertentu.

b. Pemeriksaan Fisik
• Pemeriksaan tanda-tanda vital dan saturasi oksigen.18
• Tentukan derajat perdarahan dengan menilai keadaan umum
pasien, status hemodinamik, perkiraan volume darah yang hilang,
dan warna perdarahan 4,17,18
ü Perdarahan berat ditandai dengan keadaan umum pucat,
gelisah, letargis, dan nyeri perut.
ü Anemis (pucat) penting untuk memperkirakan banyaknya
kehilangan darah. Indikator terbaik perdarahan berat dan
tanda awal gagal jantung adalah takikardi saat istirahat dan
perubahan ortostatik tekanan darah, yaitu peningkatan denyut
nadi 20 kali/menit atau penurunan tekanan darah sistolik
sebesar 10 mmHg atau lebih pada perubahan posisi supine ke
posisi duduk. Perdarahan kronis atau akut dapat
menimbulkan dekompensasi jantung.4,17,18
• Tanda-tanda fisik pada anak dengan perdarahan saluran cerna

91
c. Pemeriksaan Penunjang
• Pemeriksaan laboratorium:4,18
ü Uji Guaiac dengan sampel tinja digunakan untuk
mengetahui perdarahan samar.
ü Pemeriksaan Hb, hematokrit (Ht), dan eritrosit (RBC),
pada perdarahan kronis ditandai dengan penurunan Hb,
Ht, dan RBC, laju endap darah (LED), blood urea nitrogen
(BUN), prothrombin time (PT), partial thromboplastin
time (APTT), uji Guaiac dari sampel tinja dan muntahan.
ü Bila terdapat tanda-tanda syok, penyakit sistemik, ataupun
penyakit hati dilakukan pemeriksaan darah rutin lengkap,
LED, BUN, PT, APTT, uji Guaiac dari sampel tinja dan
muntahan, golongan darah dan cross match, aspartate
aminotransferase (AST), alanine transaminase (ALT),
gamma-glutamyl transferase (GGT), kreatinin, albumin,
dan protein total.
ü Uji Apt-Downey untuk konfirmasi apakah hematemesis bayi
berasal dari saluran cerna bayi atau darah ibu yang tertelan.
ü Gastritis primer terkait infeksi Helicobacter pylori
dideteksi dengan menggunakan level serum
immunoglobulin G (IgG), tes urease cepat (CLOtest), atau
biopsi mukosa.
• Endoskopi
Indikasi gastroskopi dan kolonoskopi untuk mengetahui lokasi
perdarahan, mencari penyebab spesifik perdarahan saluran

92
cerna, biopsi jaringan, dan bila mungkin sekaligus terapi
intervensi.4
Pasien dengan perdarahan saluran cerna bagian atas yang
berat harus dilakukan endoskopi dalam 12 jam pertama episode
hemoragik jika kondisi pasien cukup stabil, karena endoskopi
dini meningkatkan indeks diagnostik. Endoskopi atas adalah tes
pilihan untuk evaluasi hematemesis. Tujuan endoskopi pada
perdarahan saluran pencernaan atas adalah untuk
mengidentifikasi lokasi perdarahan, mendiagnosis penyebab
spesifik perdarahan, dan awal terapi intervensi bila
diindikasikan.
Endoskopi darurat hanya diperlukan jika pasien terus
mengalami perdarahan cepat yang dianggap mengancam jiwa
(hematemesis berkelanjutan, ketidakstabilan hemodinamik,
kebutuhan transfusi terus menerus). Kebanyakan rumah sakit
menggunakan anestesi umum dan kontrol jalan nafas pada anak
dengan perdarahan saluran cerna bagian atas yang aktif.
Endoskopi atas selama perdarahan aktif biasanya dapat
mengidentifikasi lokasi perdarahan, membedakan varises dari
perdarahan mukosa, dan mengidentifikasi gastritis difus.
Varises esofagus berjalan ke atas dari persimpangan
gastroesofagus. Permukaannya cenderung berwarna biru, dan
garis luar bermanik-manik. Diameter lebih besar, semakin
menonjol tampilannya. Gumpalan atau bintik merah-ceri pada
varix mendukung terjadinya perdarahan varises.

93
Gambaran endoskopi yang khas dari lesi Dieulafoy adalah
darah yang memancar dari mukosa yang rusak tanpa eksudat,
peradangan, atau ekimosis di sekitarnya. Varises lambung jarang
terjadi tanpa adanya varises esofagus. Kombinasi lavage
lambung dan eritromisin intravena sebelum endoskopi
memperbaiki pembersihan lambung.
Lokasi perdarahan saluran pencernaan atas dapat
diidentifikasi pada 90% kasus ketika endoskopi yang dilakukan
dalam waktu 24 jam. Modalitas ini juga bermanfaat dalam
memprediksi kemungkinan perdarahan lanjutan.19
Klasifikasi Forress membagi temuan endoskopi menjadi 3
kategori berikut:
o I - Perdarahan aktif (Ia = pendarahan merah terang, Ib
= pendarahan lambat)
o II - Perdarahan baru-baru ini (IIa = pembuluh darah
yang terlihat tidak berdarah, IIb = bekuan yang melekat
pada dasar lesi, IIc = bercak berpigmen datar)
o III - Tidak ada bukti perdarahan.
Insiden perdarahan ulang menurun secara drastis, karena
lebih sedikit bukti ulserasi atau perdarahan yang terlihat.
Endoskopi kapsul nirkabel sedang diselidiki untuk anak-anak,
meskipun hanya dapat digunakan secara diagnostik, bukan
untuk terapi.

94
• Pemeriksaan radiologis4,17,18
ü Foto polos abdomen untuk melihat tanda-tanda
enterokolitis nekrotikans seperti dilatasi usus,
penebalan dinding usus, dan pneumonia intestinal
ü Barium enema untuk melihat adanya polip, malrotasi,
atau intususepsi
ü Foto kontras saluran cerna bagian atas. Pada kasus
perdarahan saluran cerna atas disertai disfagia,
odinofagia, atau drooling
ü Ultrasonografi abdomen untuk melihat adanya
hipertensi portal dan penyakit hati kronis
ü CT scan dan MRI untuk melihat kondisi vaskularisasi
abdomen
ü Technetium99m-pertechnetate scan (Meckel’s scan)
untuk mendeteksi adanya divertikulum Meckel
ü Technetium99m-labelled red cells untuk melokalisir
perdarahan kecil dan intermiten dengan kecepatan
perdarahan 0,1–0,3 mL/menit (500 mL/hari)
ü Angiografi untuk lesi perdarahan aktif atau
perdarahan kronik rekuren yang tidak tampak dengan
pemeriksaan lain. Sumber perdarahan dapat
diketahui jika kecepatan perdarahan > 0,5 mL/menit.
Spesifisitas mencapai 100% tetapi sensitivitas
tergantung kecepatan perdarahan.

95
Gambar 5. Pendekatan diagnostik perdarahan gastrointestinal bagian
bawah pada bayi dan anak-anak.
UGIB: upper gastrointestinal bleeding (perdarahan gastrointestinal bagian
atas); GI: Gastrointestinal.

96
Gambar 6. Studi sel darah merah berlabel Technetium-99m menunjukkan
fokus kecil akumulasi radiotracer di kuadran kiri bawah (panah) pada pasien
transplantasi sumsum tulang ini dengan riwayat 3 hari perdarahan GI cepat

Gambar 7. Technetium-99m pertechnetate digunakan oleh fungsi mukosa


lambung ektopik (panah) dalam kasus pembedahan yang terbukti
Divertikulum Meckel (A) dan duplikasi kista ileum yang sangat panjang

97
Gambar 8. (A) CT scan tanpa kontras oral pada anak transplantasi sumsum
tulang yang mengalami perdarahan dan demam menunjukkan atenuasi fokal
tinggi dalam lingkaran usus halus di kuadran kiri bawah (panah) konsisten
dengan perdarahan akut. (S) Injeksi kontras melalui arteri mesenterika
superior menunjukkan ekstravasasi aktif ke dalam lingkaran jejunum distal
(panah). (C) Mikrokateterisasi subselektif secara tepat mendefinisikan
pembuluh darah. (0) Injeksi kontras setelah embolisasi dengan partikel
alkohol polivinil Uvalon 250 hingga 355 I) menunjukkan penghentian
pengeluaran darah

98
Pencitraan radiologi
Pencitraan radiologi berperan penting dalam diagnosis dan
pengelolaan perdarahan saluran cerna selama 30 tahun terakhir. Pencitraan
resonansi magnetik sebagai modalitas pencitraan pediatrik utama, lebih
disukai karena kurangnya radiasi pengion; cocok untuk mempelajari patologi
usus halus, dan saat ini menjadi modalitas lini pertama untuk hal tersebut.
Dalam kasus perdarahan episodik atau tidak jelas, studi
radionukleotida kedokteran nuklir, arteriografi, dan endoskopi kapsul video
nirkabel digunakan untuk membantu mengidentifikasi lokasi kehilangan
darah.
Sumber pasti perdarahan saluran cerna dapat dilokalisasi dengan
menggunakan skintigrafi nuklir, serta angiografi selektif. Secara umum,
pemeriksaan dengan pencitraan yang paling sering diminta setelah hasil
endoskopi negatif, atau untuk penyebab atau lokasi perdarahan yang tidak
pasti.
Pada perdarahan saluran pencernaan atas, selang nasogastrik
dipasang untuk memastikan adanya darah segar dan mengevaluasi derajat
perdarahan aktif. Jika perdarahan segar atau aktif dikonfirmasi,
esophagogastroduodenoscopy (EGD) dapat menentukan sumber
perdarahan saluran pencernaan atas pada 90% anak-anak ketika dilakukan 24
jam pertama. Sebagai alternatif, kolonoskopi dapat mengidentifikasi
penyebab perdarahan pada 80% anak dengan perdarahan saluran cerna
bawah.
Peran radiologi intervensi juga meningkat selama beberapa tahun
terakhir untuk pengobatan perdarahan gastrointestinal, terutama pada pasien
kondisi berat yang merupakan kandidat untuk pembedahan. Skintigrafi nuklir
99
adalah metode sensitif untuk mendeteksi perdarahan saluran cerna
(digunakan dengan kecepatan 0,1 mL/menit) dan metode ini lebih sensitif,
tetapi kurang spesifik, daripada angiografi. Meskipun diagnosis dan terapi
arteriografi telah ditinjau secara ekstensif dalam literatur pada kasus dewasa,
beberapa pengalaman pada anak-anak pernah dilaporkan. Dalam sebuah
studi pediatrik pada 27 anak, arteriografi memiliki tingkat diagnostik positif
64% dan tingkat negatif palsu 36%. Pada perdarahan saluran cerna akut,
diagnosis positif sebesar 71% dan negatif palsu 29%, sementara perdarahan
saluran cerna kronis atau berulang sebanyak 55% dan negatif palsu 45%.
Satu-satunya tanda angiografik dengan nilai diagnostik 100% pada
perdarahan saluran cerna akut adalah ekstravasasi kontras pada lumen usus.
Namun, tanda angiografik lainnya dapat berguna dalam evaluasi beberapa
patologi pediatrik umum yang menyebabkan perdarahan saluran cerna.
Salah satu keuntungan utama diagnosis angiografik perdarahan
saluran cerna adalah kemampuan untuk melakukan perawatan transkateter
setelah lokasi perdarahan ditemukan. Dua terapi transkateter utama adalah
infus vasopresin intraarterial dan embolisasi. Komplikasi paling serius yang
terkait dengan teknik ini adalah infark usus. Hongsakul et al, melaporkan
faktor risiko kegagalan mencapai hemostasis, konsentrasi hemoglobin,
koagulopati, perdarahan saluran cerna atas, ekstravasasi kontras, dan lebih
dari satu pembuluh darah yang mengalami embolisasi.

100
Gambar 9. MRI koronal Gambar 10. Gambar titik rawan dari
menunjukkan transformasi vena saluran cerna atas menunjukkan
portal yang luas dan beberapa kawah ulkus postbulbar besar
varises lambung dan duodenum. (panah) dengan edema di sekitarnya
dan dilatasi bagian kedua dan ketiga
dari duodenum.

Gambar 11. Pola mukosa granular Gambar 12. Loop ileum yang
di kolon asendens, "tombol collar menyempit terputus-putus terlihat
"ulkus di fleksura hepatik inferior pada anak dengan penyakit Crohn.
(kepala panah), dan pseudopolip di
kolon desendens adalah temuan
kolitis ulserativa pada barium
enema.

101
Gambar 13. Beberapa polip Gambar 14. Enema barium kontras
menyebabkan cacat pada pengisian ganda menunjukkan polip remaja
di seluruh bagian usus besar pada bertangkai besar di kolon desendens
pasien berusia 14 tahun dengan proksimal.
poliposis familial ganda.

Pencitraan radionuklear dengan sel darah merah berlabel teknesium


dapat digunakan untuk mendeteksi perdarahan dengan kecepatan serendah
0,1 mL per menit. Teknik ini agak tidak tepat; Namun, ini dapat mengarahkan
lokalisasi untuk angiografi selektif, menunjukkan endoskopi kapsul video,
atau memberikan beberapa arahan untuk pencarian dan reseksi laparotomi,
proses yang terkenal sulit untuk mengontrol perdarahan saluran pencernaan.
Arteriografi dapat digunakan untuk mendeteksi perdarahan dengan
kecepatan 0,5 mL per menit dan memberikan keuntungan dalam pengobatan
dan diagnosis. Pengobatan terdiri dari embolisasi dan pemberian
vasokonstriktor intra-arteri. Apabila gagal, dilakukan endoskopi berulang dan
enteroskopi tekan (sering juga disebut sebagai endoskopi balon ganda atau
enteroskopi).

102
Dalam banyak kasus, endoskopi kapsul video nirkabel
mengungkapkan penyebabnya secara noninvasif, tetapi kerugian utamanya
adalah ketidakmampuan mengumpulkan sampel jaringan untuk pemeriksaan
biopsi.
Jika semuanya gagal, laparoskopi diagnostik dan endoskopi
intraoperatif dapat dilakukan sebagai upaya terakhir. Pasien dengan dugaan
obstruksi harus menjalani foto polos abdomen. Radiografi abdomen juga
dapat membantu pada neonatus yang kemungkinan mengalami NEC;
gambar mungkin menunjukkan udara bebas, pneumatosis intestinalis
(gelembung di dinding usus), atau udara portal.
a) Neonatus
Pada sebagian besar neonatus dengan stres gastritis, diagnosis bersifat
dugaan. Jika perlu, diagnosis pasti dibuat dengan endoskopi bagian atas,
yang menunjukkan eritema, perdarahan difus, erosi, atau ulserasi mukosa
lambung.

b) Perdarahan gastrointestinal bagian atas pada anak usia 1 bulan sampai 1


tahun
Pemeriksaan diagnostik untuk GER sering diawali dengan menelan
barium. Modalitas diagnostik lainnya adalah probe pH, esofagoskopi,
manometri esofagus, dan kedokteran nuklir.

c) Perdarahan saluran cerna bagian bawah pada anak usia 1 bulan sampai 1
tahun
Dalam kasus intususepsi, ultrasonografi dapat digunakan sebagai studi
diagnostik awal untuk menghindari barium yang lebih invasif atau enema
103
pneumatik. Temuan ultrasonografi dari tanda "target" atau tanda
"pseudokidney" sangat sugestif untuk intususepsi. Karena studi
ultrasonografi hanya bersifat diagnostik, banyak dokter memilih untuk
melanjutkan langsung ke barium, saline, atau enema pneumatik, yang
bersifat diagnostik dan berpotensi terapeutik. Pada pasien dengan
gangren usus, studi kontras atas dan bawah membantu diagnosis.

d) Perdarahan saluran cerna bagian atas pada anak usia 1-2 tahun
Perdarahan saluran pencernaan atas yang signifikan pada pasien dengan
ulkus dievaluasi dan diobati dengan endoskopi segera. Sampel biopsi
diambil, jika diperlukan.

e) Perdarahan saluran cerna bagian bawah pada anak usia 1-2 tahun
Pada kasus polip, kolonoskopi adalah evaluasi diagnostik pilihan, karena
pemeriksaan ini memungkinkan pemeriksaan seluruh usus besar dan
potensi eksisi polip yang berdarah saat diidentifikasi. Kolonoskopi sangat
membantu dalam mendiagnosis sindrom poliposis lain, seperti sindrom
poliposis familial dan polip adenomatosa. Pada pasien dengan
divertikulum Meckel, pemindaian pertechnetate technetium-99m (99m
Tc) digunakan untuk mengidentifikasi anomali kongenital ini, dengan
akurasi 90%. Isotop ini memiliki afinitas tinggi untuk sel parietal mukosa
lambung dan memungkinkan identifikasi mukosa lambung normal dan
ektopik. Penggunaan penghambat H2 dan penghambat pompa proton
(PPI), pentagastrin, dan glukagon dapat meningkatkan akurasi tes ini,
karena penghambat H2 menghambat ekskresi isotop, pentagastrin

104
meningkatkan pengambilan mukosa lambung, dan glukagon
menghambat peristaltik.

f) Perdarahan saluran cerna bagian atas pada anak di atas usia 2 tahun
Setelah stabilisasi awal pasien dengan perdarahan GI bagian atas,
endoskopi atas merupakan alat diagnostik dan terapeutik yang lebih
disukai. Kerongkongan dan lambung dinilai untuk mengetahui adanya
varises dan untuk menyingkirkan gastritis atau penyakit maag sebagai
sumber perdarahan. Varises lambung paling sering ditemukan di fundus.

g) Perdarahan saluran cerna bagian bawah pada anak di atas usia 2 tahun
Lesi vaskular mencakup berbagai macam malformasi, termasuk
hemangioma, malformasi arteriovenosa, dan vaskulitis. Jika lesi ini
terletak di usus besar, kolonoskopi mungkin bersifat diagnostik dan
terapeutik. Namun, perdarahan cepat dapat mengaburkan bidang visual,
membuat lokalisasi perdarahan tidak mungkin dilakukan. Arteriografi
membantu dalam melokalisasi sumber dan mengembolisasi pembuluh
darah.

105
Gambar 15. Hiperplasia limfoid Gambar 16. Ulkus duodenum
nodular: submukosa multiple multipel pada anak berusia 12 tahun
nodul di daerah rektosigmoid yang menderita gastritis Helicobacter
dengan latar belakang mukosa pylori.
kolon normal

Gambar 17. Varises esofagus di esofagus distal.

106
Kontras Barium
Pencitraan pada perdarahan saluran pencernaan pediatrik non-
darurat dapat dimulai dengan studi kontras barium (menelan barium, seri
saluran pencernaan atas, mengikuti usus kecil, atau enema barium) untuk
menunjukkan benda asing, esofagitis, IBD, atau polip. Untuk neonatus
dengan malrotasi dengan volvulus midgut, kontras oral mungkin
menunjukkan gambaran "pembuka botol" dari usus halus atau "paruh
burung".
Kecurigaan malrotasi usus, harus segera dilakukan pemeriksaan
kontras saluran pencernaan atas untuk memastikan diagnosis malrotasi
dengan volvulus usus tengah. Udara bebas di perineum menunjukkan
perforasi usus.
Enema berhasil mengurangi intususepsi pada sebagian besar pasien.
Studi enema barium secara tradisional digunakan dengan tingkat keberhasilan
50-90%. Kondisi pasien membaik bila gejala muncul kurang dari 24 jam.
Pemeriksaan barium merupakan kontraindikasi jika diduga terjadi perforasi.
Enema kontras yang larut dalam udara dan air juga digunakan
dengan tingkat keberhasilan yang serupa. Enema udara membutuhkan lebih
sedikit paparan radiografik tetapi memiliki tingkat perforasi yang sedikit lebih
tinggi, sedangkan enema dengan agen kontras yang larut dalam air (atau
garam) membutuhkan sonografer berpengalaman.
Jika enema berhasil mengurangi intususepsi, diperlukan observasi di
rumah sakit karena kekambuhan sering terjadi.

107
Ultrasonografi Doppler
Untuk dugaan intususepsi, ultrasonografi Doppler warna dapat
digunakan. Sensitivitasnya 98-100%, dan spesifisitasnya 89-100%;
bergantung pada operator.

Ultrasonografi
Pemeriksaan USG abdomen saat puasa merupakan modalitas
diagnosis utama yang penting untuk menilai ada tidaknya lesi obstruksi pada
traktus biliaris, menilai ada tidaknya kista koledokus, maupun menilai
penyakit hepar stadium lanjut maupun kelainan vascular dan limpa lainnya.
Gambaran pada USG yang perlu dinilai adalah triangular cord sing,
morfologi kandung empedu yang abnormal, kurangnya kontraksi kandung
empedu setelah pemberian oral feeding, terlihat atau tidaknya ductus biliaris
komunis, diameter arteri hematika, perbandingan rasio arteri hepatica dan
vena porta. Parameter-parameter tersebut penting untuk mengkonfirmasi
diagnosis atresia bilier. Sangat penting untuk diingat bahwa gambaran USG
abdomen yang normal tidak mengeksklusi atresia bilier non-sindromik.

Skintigrafi
Pemeriksaan skintigrafi hepatobilier telah digunakan untuk
mengkonfirmasi patensi traktus biliaris, namun memiliki keterbatasan terkait
spesifitasnya (68,5%-72,2%). Banyak klinis dan ahli radiologis memberikan
fenobarbital selama 5 hari sebelum diberikan sebelum pemeriksaan
dilakukan, dengan tujuan untuk meningkatkan ekskesi bilier isotop, dan dapat
mengurangi keterlmabatan diagnosis atresia bilier. Meskipun modalitas

108
pencitraan semakin maju, tidaklah mudah membedakan atresia bilier dan
penyebab kolestasis lainnya.

Gambar 18. Gambaran USG Triangular Cord Sign26

Endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ERCP)


Mengingat detensi patensi traktus biliaris ekstrahepatik merupakan
tujuan utama evaluasi diagnosis pada bayi dengan kolestasis, peran
endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ERCP) dalam diagnosis
atresia bilier makin banyak diteliti. Meskipun ERCP tebukti efektif dengan
nilai prediksi positif yang tinggi dan angka nilai prediksi negaitf yang rendah
untuk mendiagnosis atresia bilier (sensitivitas 86%-100%, spesifitas 87%-
94%), ERCP membutuhkan seorang ahli endoskopi yang berpengalaman,
dan peralatan endoskopi spesifik untuk bayi tidak tersedia di semua senter,
dan juga mengharuskan dilakukan anestesi umum.

109
Enteroskopi
Enteroskopi dalam beberapa penelitian terbukti memiliki hasil
diagnostik yang lebih tinggi daripada esophagogastroduodenoscopy (EGD)
standar. Pada dasarnya, modalitas ini menggunakan endoskopi panjang yang
dipasang melalui mulut ke jejunum dan dapat mencapai sekitar 160 cm di luar
ligamen Treitz.
Pada sebuah penelitian, enteroskopi mengidentifikasi sejumlah besar
lesi mukosa yang tidak dapat diidentifikasi dengan endoskopi standar.
Enteroskopi balon ganda adalah teknologi lain yang menunjukkan
hasil terapeutik dan diagnostik yang tinggi. Modalitas ini menggunakan
endoskopi video resolusi tinggi dengan balon lateks terpasang di ujungnya,
dengan tabung berlebih yang dapat digelembungkan dan dikempiskan, dapat
dimasukkan secara oral atau anal.

Kolonoskopi
Untuk perdarahan saluran cerna yang lebih rendah, kolonoskopi
dapat memperlihatkan sumber perdarahan, lebih efektif daripada barium
enema, dan memiliki sensitivitas 80%. Kolonoskopi harus dilakukan hanya
jika pasien dalam keadaan stabil dan jika darah dan feses tidak dapat membuat
visualisasi yang tepat.
Sigmoidoskopi telah digunakan pada anak-anak yang memiliki gejala
perdarahan saluran cerna bawah kronis selama 1 tahun atau lebih.
Pemeriksaan ini dapat mendiagnosa etiologi yang paling umum, seperti polip
kolorektal pada remaja dan proktitis nonspesifik.

110
Ringkasan
Perdarahan saluran cerna terdiri dari perdarahan saluran cerna atas
(di atas ligament Treitz) dan perdarahan saluran cerna bawah (di bawah
ligamen Treitz). Untuk membedakan keduanya, selain manifestasi klinis,
perlu pemasangan pipa nasogastrik dan aspirasi isi lambung. Diagnosis
banding perdarahan saluran cerna dikelompokkan berdasarkan manifestasi
klinis serta usia pasien. Prinsip penatalaksanaan tindakan suportif dan terapi
untuk mengontrol perdarahan aktif.
Pendekatan diagnostik perdarahan saluran cerna harus mencakup
riwayat penyakit dan pemeriksaan ekstensif termasuk evaluasi laboratorium
dan prosedur diagnostik yang tersedia dan paling sesuai. Endoskopi adalah
metode pilihan untuk mengevaluasi perdarahan saluran cerna atas dan
bawah, setelah stabilisasi dan resusitasi, dan dalam waktu 24 jam setelah
muncul gambaran klinis. Tujuan endoskopi untuk mengidentifikasi lokasi
dan etiologi perdarahan saluran cerna, serta memfasilitasi pengobatan yang
memadai. Inspeksi visual pada area perianal dan pemeriksaan colok dubur
harus selalu dipertimbangkan jika terdapat lapisan darah merah cerah pada
feses yang normal atau keras.

Daftar Pustaka
1. Romano C, Oliva S, Martellossi S, et al. Pediatric gastrointestinal
bleeding: Perspectives from the Italian Society of Pediatric
Gastroenterology. World J Gastroenterol. 2017;23(8):1328-1337.
doi:10.3748/wjg.v23.i8.1328
2. Reid SM. Gastrointestinal bleeding in infants and children. In:
Tintinalli JE, Stapczynski JS, Ma OJ, Yealy DM, Meckler GD, Cline
DM. Tintinalli’s emergency medicine. 8th ed. USA: Mc Graw Hill;
2016
111
3. Cleveland K, Ahmad N, Bishop P, Nowicki M. Upper
gastrointestinal bleeding in children: an 11-year retrospective
endoscopic investigation. World J Pediatr. 2012;8:123–128.
4. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP,
Harmoniati ED, et al. Pedoman pelayanan medis. Volume 2. Edisi
ke-2. Jakarta: IDAI;2011 .p. 215-23
5. Owensby S, Taylor K, Wilkins T. Diagnosis and management of
upper gastrointestinal bleeding in children. J Am Board Fam Med.
2015;28:134–145
6. Zaher MM, Ahmed EM, Morsy AA. Case report: hematemesis could
be an unusual presentation of cow’s milk protein allergy in children
in Egypt. Egypt J Immunol. 2014;21:39–43
7. Pongprasobchai S, Nimitvilai S, Chasawat J, Manatsathit S. Upper
gastrointestinal bleeding etiology score for predicting variceal and
non-variceal bleeding. World J Gastroenterol. 2009;15:1099–1104
8. Yachha SK, Khanduri A, Sharma BC, Kumar M. Gastrointestinal
bleeding in children. J Gastroenterol Hepatol. 1996;11:903–907
9. Chawla S, Seth D, Mahajan P, Kamat D. Upper gastrointestinal
bleeding in children. Clin Pediatr (Phila) 2007;46:16–21
10. Grimaldi-Bensouda L, Abenhaim L, Michaud L, et al. Clinical
features and risk factors for upper gastrointestinal bleeding in
children: a case-crossover study. Eur J Clin Pharmacol 2010;66:831–
7
11. Boukthir S, Mazigh SM, Kalach N, Bouyahya O, Sammoud A. The
effect of non-steroidal anti-inflammatory drugs and Helicobacter
pylori infection on the gastric mucosa in children with upper
gastrointestinal bleeding. Pediatr Surg Int 2010;26:227–30.
12. Dolatkhah R, Khoshbaten M, Asvadi Kermani I, et al. Upper
gastrointestinal bleedings in patients with hereditary coagulation
disorders in northwest of Iran: prevalence of Helicobacter pylori
infection. Eur J Gastroenterol Hepatol 2011;23:1172–7.
13. Deerojanawong J, Peongsujarit D, Vivatvakin B, Prapphal N.
Incidence and risk factors of upper gastrointestinal bleeding in

112
mechanically ventilated children. Pediatr Crit Care Med 2009;10:91–
5.
14. Owensby S, Taylor K, Wilkins T. Diagnosis and management of
upper gastrointestinal bleeding in children. J Am Board Fam Med.
2015 Jan-Feb;28(1):134-45. doi: 10.3122/jabfm.2015.01.140153.
15. Hizal G, Ozen H. Gastrointestinal bleeding in children. In: Eren M,
Ozen H, editor. Gastroenterology in pediatrics: Current knowledge
about some common disorders. Journal of Pediatric Sciences
2011;3(4):100
16. Juffrie M, Soenarto SSY, Oswari H, Arief S, Rosalina I, Mulyani NS.
Gastroenterologi-hepatologi. 1St ed. Jakarta: IDAI; 2010 .p. 32-40
17. Boyle JT. Gastrointestinal bleeding in infants and children.
Pediatrics in review 2008;29(2):39-51
18. Neidich GA, Cole SR. Gastrointestinal bleeding. Pediatrics in review
2014;35(6):243-53
19. Lee KK, Anderson MA, Baron TH, Banerjee S, Cash BD, Dominitz
JA, et al. Modifications in endoscopic practice for pediatric patients.
Gastrointest Endosc. 2008 Jan. 67(1):1-9.
20. Kaye RD, Towbin RB. Imaging and intervention in the
gastrointestinal tract in children. Gastroenterol Clin North Am.
2002;31:897–923, viii.
21. Racadio JM, Agha AK, Johnson ND, Warner BW. Imaging and
radiological interventional techniques for gastrointestinal bleeding in
children. Semin Pediatr Surg. 1999;8:181–192
22. Hongsakul K, Pakdeejit S, Tanutit P. Outcome and predictive
factors of successful transarterial embolization for the treatment of
acute gastrointestinal hemorrhage. Acta Radiol. 2014;55:186–194
23. Racadio, J. M., Agha, A. K. M., Johnson, N. D., & Warner, B. W.
(1999). Imaging and Radiological Interventional Techniques for
Gastrointestinal Bleeding in Children. Seminars in Pediatric Surgery, 8(4),
181–192. doi:10.1016/s1055-8586(99)70025-9
24. Wayne Wolfram.Pediatric Gastrointestinal Bleeding.
2018.emedicine.medscape

113
25. Foutch PG, Sawyer R, Sanowski RA. Push-enteroscopy for
diagnosis of patients with gastrointestinal bleeding of obscure origin.
Gastrointest Endosc. 1990 Jul-Aug. 36(4):337-41.
26. Voderholzer WA, Ortner M, Rogalla P, Beinhölzl J, Lochs H.
Diagnostic yield of wireless capsule enteroscopy in comparison with
computed tomography enteroclysis. Endoscopy. 2003 Dec.
35(12):1009-14
27. Jufrie M, Soetanto SSY, Chaeri H, Arief S. Buku Ajar
Gastroenterologi-Hepatologi. Jilid 1. Jakarta: Ikatan Dokter Anak
Indonesia; 2015
28. Darbari A, Kalloo AN, Cuffari C. Diagnostic yield, safety, and
efficacy of push enteroscopy in pediatrics. Gastrointest Endosc.
2006 Aug. 64(2):224-8
29. Pant C, Sankararaman S, Deshpande A, Olyaee M, Anderson MP,
Sferra TJ. Gastrointestinal bleeding in hospitalized children in the
United States. Curr Med Res Opin. 2014 Jun. 30(6):1065-9.
30. Holtz LR, Neill MA, Tarr PI. Acute bloody diarrhea: a medical
emergency for patients of all ages. Gastroenterology. 2009 May.
136(6):1887-98.

114
Latihan Soal
1. Apa peran endoskopi dalam pemeriksaan perdarahan
gastrointestinal bagian atas?
a. Mengetahui lokasi perdarahan, mencari penyebab perdarahan,
biopsi jaringan dan terapi intervensi
b. Untuk melihat tanda-tanda enterokolitis nekrotikans seperti
dilatasi usus, penebalan dinding usus, dan pneumonia intestinal
c. Untuk melihat adanya hipertensi portal dan penyakit hati kronis
d. Untuk melihat kondisi vaskularisasi abdomen
e. Untuk mendeteksi adanya divertikulum Meckel

2. Bayi laki-laki berusia 6 bulan datang diantar ibunya dengan keluhan


muntah dan bab cair sejak 3 hari yang lalu disertai keluhan bayi
kadang-kadang menangis sangat kencang. Bab cair tampak seperti
jelly dan berwarna sedikit kemerahan, pada bayi dicurigai terjadinya
intususepsi. Pemeriksaan penunjang dengan nilai sensitivitas >95%
untuk kasus intususepsi adalah…
a. Technetium99m-pertechnetate scan
b. Foto polos abdomen
c. Kontras barium
d. Ultrasonografi doppler
e. CT Scan Abdomen

115
3. Terapi farmakologi lini pertama yang digunakan pada perdarahan
saluran cerna bagian atas yang disebabkan oleh varises esofagus
adalah…
a. Antagonis histamin-2
b. Vasopresin
c. Oktreotid
d. Proton pump inhibitor
e. Antasida

116

Anda mungkin juga menyukai