Anda di halaman 1dari 18

Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas

1.1.

Definisi
Perdarahan saluran cerna bagian atas adalah kehilangan darah dari saluran

cerna atas, di mana saja, mulai dari esofagus sampai dengan duodenum (dengan
batas anatomik di ligamentum Treitz), dengan manifestasi klinis berupa
hematemesis, melena, hematoskezia atau kombinasi.1
1.2.

Epidemiologi
Upper gastrointestinal tract bleeding (UGI bleeding) atau lebih dikenal

perdarahan saluran cerna bagian atas memiliki prevalensi sekitar 75 % hingga 80


% dari seluruh kasus perdarahan akut saluran cerna. Insidensinya telah menurun,
tetapi angka kematian dari perdarahan akut saluran cerna, masih berkisar 3 % hing
ga 10 %, dan belum ada perubahan selama 50 tahun terakhir. Tidak berubahnya
angka kematian ini kemungkinan besar berhubungan dengan bertambahnya usia
pasien yang menderita perdarahan saluran cerna serta dengan meningkatnya
kondisi comorbid.
Peptic ulcers adalah penyebab terbanyak pada pasien perdarahan saluran
cerna,terhitung sekitar 40 % dari seluruh kasus. Penyebab lainnya seperti erosi
gastric (15 % - 25% dari kasus), perdarahan varises (5 % - 25 % dari kasus), dan
Mallory-Weiss Tear (5 % - 15% dari kasus). Penggunaan aspirin ataupun NSAIDs
memiliki prevalensi sekitar 45 % hingga60 % dari keseluruhan kasus perdarahan
akut.
Di Indonesia kejadian yang sebenarnya di populasi tidak diketahui.
Berbeda dengan di negara barat dimana perdarahan karena tukak peptik
menempati urutan terbanyak maka di Indonesia perdarahan karena ruptur varises
gastroesofagei merupakan penyebab tersering yaitu sekitar 50-60%, gastritis
erosif hemoragika sekitar 25-30%, tukak peptik sekitar 10-15% dan karena sebab
lainnya < 5%. Mortalitas secara keseluruhan masih tinggi yaitusekitar 25%,

kematian pada penderita ruptur varises bisa mencapai 60% sedangkan kematian
pada perdarahan non varises sekitar 12%. Sebahagian besar penderita perdarahan
SCBA meninggal bukan karena perdarahannya itu sendiri melainkan karena
penyakit lain yang adasecara bersamaan seperti penyakit gagal ginjal, stroke,
penyakit jantung, penyakit hati kronis, pneumonia dan sepsis.2
Ulkus peptikum yakni ulkus gaster dan duodenum masuk dalam 5 besar
penyebab dispepsia. Angka kejadian lebih tinggi pada pria dan usia lanjut. Hal ini
dapat dijelaskan oleh karena berbagai penyebab, mulai dari perbedaan definisi
perdarahan SCBA, karakteristik populasi, prevalensi obatobatan penyebab ulkus
dan Helicobacter pylori. Mortalitasdikaitkan dengan usia lanjut dan adanya
komorbiditas berat. Mortalitas juga meningkat dengan perdarahan berulang yang
merupakan parameter mayor.
Etiologi perdarahan, lebih sering pada perdarahan variseal dan jarang pada
lesimukosal kecil seperti robekan MalloryWeiss. Perdarahan ulkus peptikum
merupakan penyebab tersering perdarahan SCBA berkisar 31 67% dari semua
kasus, diikuti olehgastritis erosif, perdarahan variceal, esofagitis, keganasan dan
robekan. Di Indonesia 70% penyebab perdarahan SCBA adalah karena varises
esophagus yang pecah. Namun demikian, diperkirakan oleh karena semakin
meningkatnya pelayanan terhadap penyakit hati kronis dan bertambahnya
populasi perdarahan oleh karena ulkus peptikum akan meningkat.3
1.3.

Etiologi
Banyak kemungkinan penyebab perdarahan saluran cerna bahagian atas

pada buku The Merck Manual of Patient Symptoms:4


1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Duodenal ulcer (20 30 %)


Gastric atau duodenal erosions (20 30 %)
Varices (15 20 %)
Gastric ulcer (10 20 %)
Mallory Weiss tear (5 10 %)
Erosive esophagitis (5 10 %)
Angioma (5 10 %)
Arteriovenous malformation (< 5 %)
Gastrointestinal stromal tumors

Dalam buku Current Diagnosis and Treatment in Gastroenterology ada


beberapa etiologi yang dapat menimbulkan perdarahan saluran cerna bagian atas
beserta tabel hasil penelitian dari Center for Ulcer Research and Education
(CURE):5
Tabel 1. Etiologi UGIB dari Data Center for Ulcer Research and Education
(CURE) (Jutabha, R., et al., 2003)
Diagnosis

Number of Pastients (%)(n=948)

Peptic Ulcers
Gastroesophageal varices
Angioma
Mallory-Weiss tear
Tumors
Erosions
Dieulafoys lesion
Other

524 (55)
131 (14)
54 (6)
45 (5)
42 (4)
41 (4)
6 (1)
105 (11)

1.3.1. Penyakit-Penyakit Ulcerativa atau Erosive


1.3.1.1. Penyakit Peptic Ulcer
Di Amerika Serikat, Peptic Ulcer Disease (PUD) dijumpai pada sekitar
4,5 juta orang pada tahun 2011. Kira-kira 10 % dari populasi di Amerika Serikat
memiliki PUD. Dari sebahagian besar yang terinfeksi H pylori, prevalensinya
pada orang usia tua 20%. Hanya sekitar 10% dari orang muda memiliki infeksi H
pylori; proporsi orang-orang yang terinfeksi meningkat secara konstan dengan
bertambahnya usia.6
Secara keseluruhan, insidensi dari duodenal ulcers telah menurun pada 3-4
dekade terkahir. Walaupun jumlah daripada simple gastric ulcer mengalami
penurunan, insidensi daripada complicated gastric ulcer dan opname tetap stabil,
sebagian dikarenakan penggunaan aspirin pada populasi usia tua. Jumlah pasien
opname karena PUD berkisar 30 pasien per 100,000 kasus.6

Prevalensi kemunculan PUD berpindah dari yang predominant pada pria


ke frekuensi yang sama pada kedua jenis kelamin. Prevalensi berkisar 11-14 %
pada pria dan 8-11 % pada wanita. Sedangkan kaitan dengan usia, jumlah
kemunculan ulkus mengalami penurunan pada pria usia muda, khususnya untuk
duodenal ulcer, dan jumlah meningkat pada wanita usia tua.6
1.3.1.2. Stress Ulcer
Dari buku Current Diagnosis and Treatment in Gastroenterology
dikatakan bahwa hingga saat ini masih belum dipahami bagaimana terjadinya
stress ulcer, tetapi banyak dikaitkan dengan hipersekresi daripada asam pada
beberapa pasien, mucosal ischemia, dan alterasi pada mucus gastric.5
1.3.1.3. Medication-Induced Ulcer
Berbagai macam pengobatan berperan penting dalam perkembangan
daripada penyakit peptic ulcer dan perdarahan saluran cerna bahagian atas akut.
Paling sering, aspirin dan NSAIDs dapat menyebabkan erosi gastroduodenal atau
ulcers, khususnya pada pasien lanjut usia.5
1.3.2. Mallory-Weiss Tear
Mallory- Weiss Tear muncul pada bagian distal esophagus di bagian
gastroesophageal junction. Perdarahan muncul ketika luka sobekan telah
melibatkan esophageal venous atau arterial plexus. Pasien dengan hipertensi
portal dapat meningkatkan resiko daripada perdarahan oleh Mallory-Weiss Tear
dibandingkan dengan pasien hipertensi non-portal.
Sekitar 1000 pasien di University of California Los Angeles datang ke ICU
dengan perdarahan saluran cerna bahagian atas yang berat, Mallory-Weiss Tear
adalah diagnosis keempat yang menyebabkan perdarahan saluran cerna bahagian
atas, terhitung sekitar 5 % dari seluruh kasus.5
1.3.3. Gastroesophageal Varices

Esophageal varices dan gastric varices adalah vena collateral yang


berkembang sebagai hasil dari hipertensi sistemik ataupun hipertensi segmental
portal. Beberapa penyebab dari hipertensi portal termasuk prehepatic thrombosis,
penyakit hati, dan penyakit postsinusoidal. Hepatitis B dan C serta penyakit
alkoholic liver adalah penyakit yang paling sering menimbulkan penyakit
hipertensi portal intrahepatic di Amerika Serikat.5
1.3.4. Pengaruh Obat NSAIDs
Penggunaan NSAIDs merupakan penyebab umum terjadi tukak gaster.
Penggunaan obat ini dapat mengganggu proses peresapan mukosa, proses
penghancuran mukosa, dan dapat menyebabkan cedera. Sebanyak 30% orang
dewasa yang menggunakan NSAIDs mempunyai GI yang kurang baik. Faktor
yang menyebabkan peningkatan penyakit tukak gaster dari penggunaan NSAIDs
adalah usia, jenis kelamin, pengambilan dosis yang tinggi atau kombinasi dari
NSAIDs, penggunaan NSAIDs dalam jangka waktu yang lama, penggunaan
disertai antikoagulan, dan severe comorbid illness.6
Sebuah studi prospektif jangka panjang didapatkan pasien dengan arthritis
dengan usia diatas 65 tahun, yang secara teratur menggunakan aspirin pada dosis
rendah beresiko menderita dyspepsia apabila berhenti menggunakan NSAIDs. Hal
ini menunjukkan bahwa penggunaan NSAIDs harus dikurangi.6
Walaupun prevalensi penggunaan NSAIDs pada anak tidak diketahui,
tetapi sudah tampak adanya peningkatan, terutama pada anak dengan arthritis
kronik yang dirawat dengan NSAIDs. Laporan menunjukkan terjadinya ulserasi
pada penggunaan ibuprofen dosis rendah, walau hanya 1 atau 2 dosis.6
Penggunaan kortikosteroid saja tidak meningkatkan terjadinya tukak
gaster, tetapi penggunaan bersama

NSAIDs

mempunyai

potensi untuk

menimbulkan tukak gaster.6


Resiko perdarahan saluran cerna bahagian atas dapat terjadi dengan

penggunaan spironolactone diuretic atau serotonin reuptake inhibitor.6

Gambar 1. Sumber Perdarahan Pada Lambung dan Usus


1.4.

Patofisiologi
Ulkus peptikum merupakan hasil dari ketidakseimbangan antara faktor-

faktor yang menyebabkan kerusakan dengan sistem pertahanan mukosa. Beberapa


mekanisme protektif dapat mencegah kejadian ulkus peptikum pada keadaan sehat
(gambar 1). Pada saat mekanisme-mekanisme ini terganggu atau tidak berfungsi,
maka mukosa menjadi rentan terhadap pelbagai serangan. Hal ini sering
ditemukan pada berbagai keadaan penyakit, diantaranya syok, penyakit
kardiovaskular, hati atau gagal ginjal, yang merupakan kondisi predisposisi
terjadinya penyakit ulkus peptikum.1

PERTAHANAN LINI PERTAMA


Lapisan mukus/bikarbonat

PERTAHAN LINI KEDUA


Mekanisme sel epithelial
Fungsi perlindungan apical plasma membrane
Proses pengeluaran asam

PERTAHANAN LINI KETIGA


Pengeluaran asam terkait dengan
pengeluaran darah
Ulkus merusak pembuluh darah yang
memperdarahi saluran cerna bagian atas

PERDARAHAN
Gambar 2. Sistem Pertahanan Mukosa Saluran Cerna Atas.
Sebagian besar ulkus, meskipun demikian, timbul pada saat mekanisme
pertahanan normal diganggu atau ditekan oleh gangguan mukosa yang hebat
sehingga mengalahkan mekanisme protektif saluran cerna atas. Gangguan yang
paling sering didapatkan adalah oleh karena infeksi H. pylori dan penggunaan
obat anti-inflamasi non steroid (OAINS). Penyebab yang lebih jarang termasuk
hipersekresi asam lambung (sindrom Zollinger-Ellison), hiperplasia sel-G antral
dan mastositosis. Infeksi virus seperti herpes simplex dan sitomegalovirus,
kelainan inflamasi seperti penyakit Crohns atau sarkoidosis, serta trauma radiasi
dapat menyebabkan ulserasi saluran cerna, termasuk lambung dan duodenum.
Perdarahan akibat ulkus peptikum terjadi pada saat ulkus menyebabkan salah satu
pembuluh darah besar yang memperdarahi saluran cerna bagian atas.1
1.5.

Manifestasi Klinik

Gejala klinis perdarahan saluran cerna, ada 3 gejala khas, yaitu:4


1. Hematemesis
Muntah darah dan mengindikasikan adanya perdarahan saluran cerna atas,
yang berwarna coklat merah atau coffee ground.4
2. Hematochezia
Keluarnya darah dari rectum yang diakibatkan perdarahan saluran cerna

bahagian bawah, tetapi dapat juga dikarenakan perdarahan saluran cerna


bagian atas yang sudah berat.4
3. Melena
Kotoran (feses) yang berwarna gelap yang dikarenakan kotoran bercampur
asam lambung; biasanya mengindikasikan perdarahan saluran cerna bagian
atas, atau perdarahan daripada usus-usus ataupun colon bahagian kanan
dapat juga menjadi sumber lainnya.4
Disertai gejala anemia, yaitu: pusing, syncope, angina atau dyspnea.7
Studi meta-analysis mendokumentasikan insidensi dari gejala klinis UGIB
akut sebagai berikut: Hematemesis 40-50%, Melena 70-80%, Hematochezia 1520%, Hematochezia disertai melena 90-98%, Syncope 14.4%, Presyncope 43.2%,
Dyspepsia 18%, Nyeri epigastric 41%, Heartburn 21%, Diffuse nyeri abdominal
10%, Dysphagia 5%, Berat badan turun 12%, dan Jaundice 5.2%.8

1.6.

Diagnosis dan Diagnosis Banding

1.6.1. Diagnosis
1.6.1.1.
Anamnesis
Tanda dan gejala tersering dari perdarahan saluran cerna bagian atas
adalah hematemesis (muntah darah), muntah berwarna coffee ground dan
melena (tinja seperti aspal/tar). Sekitar 30% pasien dengan perdarahan ulkus
datang dengan hematemesis, 20% dengan melena dan 50% dengan keduanya.
Hematoskezia (darah segar di tinja) biasanya menunjukkan sumber
perdarahan saluran cerna bawah, oleh karena darah dari saluran cerna atas
berubah hitam dan serupa aspal pada saat melewati saluran cerna, sehingga
menghasilkan melena. Meskipun demikian, 5% pasien dengan perdarahan
ulkus datang dengan hematoskezia, yang menandakan perdarahan berat, biasa

lebih dari 1.000 mL. Pasien yang datang dengan hematoskezia dan disertai
dengan tanda-tanda gangguan hemodinamik, seperti sinkop, hipotensi
postural, takikardia dan syok harus dicurigai menderita perdarahan saluran
cerna bagian atas. Tanda dan gejala nonspesifik termasuk nausea, vomitus,
nyeri epigastrik, fenomena vasovagal dan sinkop, serta adanya penyakit
komorbid tersering (misalnya diabetes melitus, penyakit jantung koroner,
stroke, penyakit ginjal kronik dan penyakit arthritis) dan riwayat penggunaan
obat-obatan harus diketahui.1
1.6.1.2.
Pemeriksaan Fisik
Penilaian hemodinamik (denyut nadi, tekanan darah), laju pernafasan,
status kesadaran, konjungtiva yang pucat, capillary refill yang melambat,
serta tidak ditemukannya stigmata sirosis hati kronik merupakan tanda-tanda
awal yang harus segera diidentifikasi. Takikardia pada saat istirahat dan
hipotensi ortostatik menunjukkan adanya kehilangan darah yang cukup
banyak. Luaran urin rendah, bibir kering dan vena leher kolaps juga
merupakan tanda yang cukup berguna. Sebagai catatan, takikardia dapat tidak
timbul apabila pasien mendapatkan terapi dengan penyekat beta, sering
digunakan pada pasien gagal jantung dan sirosis hati.1
1.6.1.3.
Pemeriksaan Penunjang
Walaupun bukan merupakan prosedur rutin pada perdarahan ulkus
peptikum, pemasangan nasogastric tube (NGT) dan menilai aspiratnya
biasanya bermanfaat untuki penilaian klinis awal. Apabila terdapat darah
merah segar, maka pasien membutuhkan evaluasi endoskopik segera dan
perawatan di unit intensif. Penurunan kadar hemoglobin 1g/dL diasosiasikan
dengan kehilangan darah 250mL. Apabila terdapat warna coffee ground, maka
pasien membutuhkan rawat inap dan evaluasi endoskopik dalam waktu 24
jam. Namun demikian aspirat normal tidak menyingkirkan perdarahan saluran
cerna. Sekitar 15% pasien dengan aspirat normal, tetap mempunyai
perdarahan saluran cerna aktif atau risiko tinggi mengalami perdarahan
ulang.1

Pemeriksaan endoskopi, tidak hanya mendeteksi ulkus peptikum, namun


juga dapat digunakan untuk mengevaluasi stigmata yang dikaitkan dengan
peningkatan risiko perdarahan ulang. Klasifikasi Forrest digunakan untuk
mengklasifikasi temuan selama evaluasi endoskopik, digambarkan sebagai
berikut:1
Ulkus dengan perdarahan aktif menyemprot (Forrest IA);
Ulkus dengan perdarahan merembes (Forrest IB);
Ulkus dengan pembuluh darah visibel tak berdarah (Forrest IIA);
Ulkus dengan bekuan adheren (Forrest IIB);
Ulkus dengan bintik pigmentasi datar (Forrest IIC); dan
Ulkus berdasar bersih (Forrest III).
Pasien dengan risiko tinggi perdarahan ulang tanpa terapi adalah pasien
dengan perdarahan arterial aktif (90%), adanya pembuluh darah visibel tak
berdarah (50%) atau bekuan adheren (33%).1

Gambar 3. Gambaran endoskopis ulkus duodenum9 (Wilkins, Thad et


al., 2012)

10

Gambar 4. Gambaran endoskopis ulkus gaster (Wilkins, Thad et al.,


2012)

Gambar 5. Gambaran endoskopis Mallory-Weiss Tear (Wilkins, Thad et


al., 2012)
1.6.2. Diagnosis Banding
Hemoptisis
Hematoskezia

1.7.
Penatalaksanaan
1.7.1. Non-Endoskopis

11

Salah satu usaha menghentikan perdarahan yang sudah lama dilakukan


adalah kumbah lambung lewat pipa nasogastric dengan air suhu kamar.
Prosedur ini diharapkan mengurangi distensi lambung dan memperbaiki
proses hemostatic, namun demikian manfaatnya dalam menghentikan
perdarahan tidak terbukti. Kumbah lambung ini sangat diperlukan untuk
persiapan pemeriksaan endoskopi dan dapat dipakai untuk membuat
perkiraan kasar jumlah perdarahan. Berdasar percobaan hewan., kumbah
lambung dengan air es kurang menguntungkan, waktu perdarahan jadi
memanjang, perfusi dinding lambung menurun, dan bias timbul ulserasi pada
mukosa lambung.10
Pemberian vitamin K pada pasien dnegan penyakit hati kronis yang
mengalami perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) diperbolehkan,
dengan pertimbangan pemberian tersebut tidak merugikan dan relatif murah.10
Vasopressin

dapat

menghentikan

perdarahan

SCBA lewat

efek

vasokonstriksi pembuluh darah splanknik, menyebabkan aliran darah dan


tekanan vena porta menurun. Digunakan di klinik untuk perdarahan akut
varises esophagus sejak tahun 1953. Pernah dicobakan pada perdarahan
nonvarises, namun berhentinya perdarahan tidak berbeda dengan placebo.
Terdapat dua bentuk sediaan, yakni pitresin yang mengandung vasopressin
murni dan preparat pituitary gland yang mengandung vasopressin dan
oxcytocin. Pemberian vasopressin dilakukan dengan mengencerkan sediaan
vasopressin 50 unit dalam 100 ml dekstrose 5%, diberikan 0,5-1 mg/menit/iv
selama 20-60 menit dan dapat diulang tiap 3-6 jam; atau setelah pemberiaan
pertama

dilanjutkan

per infus

0,1-0,5 U/menit.

Vasopressin

dapat

menimbulkan efek smaping serius berupa insufiensi coroner mendadak, oleh


karena itu pemberiannya disarankan bersama preparat nitrat, misalnya
nitrogliserin intravena dengan dosis awal 40 mcg/menit kemudian secara
titrasi

dinaikkan

sampai

maksimal

400

mcg/menit

dengan

tetap

mempertahankan tekanan sistolik di atas 90 mmHg.10

12

Somatostatin dan analognya (octreotide) diketahui dapat menurunkan


aliran darah splanknik, khasiatnya lebih selektif diabnding vasopressin.
Penggunaan di klinik pada perdarahan akut varises esophagus dimulai sekitar
tahun 1978. Somastostatin dapat menghentikan perdarahn akut varises
esophagus pada 70-80% kasus, dan dapat pula digunakan pada perdarhan
nonvarises dengan dosis pemberian somatostatin, diawali dengan bolus 250
mcg/iv, dilanjutkan per infus 250 mcg/jam selama 12-24 jam atau sampai
perdarhan berhenti; oktreotide dosis bolus 100 mcg/iv dilanjutkan per infus
25 mcg/jam selama 8-24 jam atau sampai perdarahan berhenti.10
Obat-obatan golongan anti sekresi yang dilaporkan bermanfaat untuk
mencegah perdarahan ulang SCBA karena tukak peptic ialah inhibitor pompa
proton (PPI) dosis tinggi. Diawali bolus omeprazole 80 mg/iv kemudian
dilanjutkan per infus 8 mg/kgBB/jam selama 72 jam, perdarahan ulang pada
kelompok placebo 20% sedangkan yang diberi omeprazole hanya 4,2%.
Suntikan omeprazole yang beredar di Indonesia hanya untuk pemberian
bolus, yang bias digunakan per infus ialah persediaan esomeprazole dan
pantoprazole dengan dosis sama seperti omeprazole. Pada perdarahan SCBA
ini antasida, sukralfat, dan antagonis reseptor H2 masih boleh diberikan untuk
tujuan penyembuhan lesi mukosa penyebab perdarhan. Antagonis reseptor H2
dalam mencegah perdarhan ulang SCBA karena tukak peptik kurang
bermanfaat.10
Penggunaan balon tamponade untuk menghentikan perdarhan varises
esophagus dimulai sekitar tahun 1950, paling popular adalah SengstakenBlakemore tube (SB-tube) yang mempunyai tiga pipa serta dua balon masingmasing untuk esophagus dan lambung. Komplikasi pemasangan SB-tube
yang bias berakibat fatal ialah pneumoni aspirasi, laserasi sampai perforasi.
Pengembangan balon sebaiknya tidak melebihi 24 jam. Pemasangan SB-tube
seyogyanya dilakukan oleh tenaga medic yang berpengalaman dan
ditindaklanjuti dengan observasi yang ketat.10
1.7.2. Endoskopis

13

Terapi endoskopi ditujukan pada perdarahan tukak yang masih aktif atau
tukak dengan pembuluh darah yang tampak. Metode terapinya meliputi:10
1) Contact thermal (monopolar atau bipolar elektrokoagulasi, heater probe).
2) Noncontact thermal (laser).
3) Nonthermal (misalnya suntikan adrenalin, polidokanol, alcohol,
cyanoacrylate, atau pemakaian klip).
Berbagai cara terapi endoskopi tersebut akan efektif dan aman apabila
dilakukan ahli endoskopi yang terampil dan berpengalaman. Endoskopi
terapeutik ini dapat diterapkan pada 90% kasus perdarahan SCBA, sedangkan
10% sisanya tidak dapat dikerjakan karena alasan teknis seperti darah terlalu
banyak sehingga pengamatan terhalang atau letak lesi tidak terjangkau.
Secara keseluruhan 80% perdarahan tukak peptic dapat berhenti spontan,
namun pada kasus perdarahan arterial yang bias berhenti spontan hanya 30%.
Terapi endoskopi yang relatif mudah dan tanpa banyak peralatan pendukung
ialah penyuntikan submukosa sekitar titik perdarahan menggunakan adrenalin
1:10000 sebanyak 0,5-1 ml tiap kali suntik dengan batas dosis 10 ml atau
lakohol absolut (98%) tidka melebihi 1 ml. penyuntikan bahan sklerosan
seperti alcohol absolut atau polidokanol umumnya tidak dianjurkan karena
bahaya timbulnya tukak dan perforasi akibat nekrosis jaringan di lokasi
penyuntikan. Keberhasilan terapi endoskopi dalam menghentikan perdarahn
bisa mencapai di atas 95% dan tanpa terapi tambahan lainnya perdarahan
ulang frekuensinya sekitar 15-20%.10
Hemostasis endoskopi merupakan terapi pilihan pada perdarahan karena
esophagus. Ligase varises merupakan pilihan pertama untuk mengatasi
perdarahan varises esophagus. Dengan ligasi varises dapat dihindari efek
samping akibat pemakaian sklerosan, lebih sedikit frekuensi terjaidnya
ulserasi dan striktur. Ligase dilakukan mulai distal mendekati cardia bergerak
spiral setiap 1-2 cm. Dilakukan pada varises yang sedang berdarah atau bila
ditemukan tanda baru mengalami perdarahan seperti bekuan darah yang
melekat, bilur-bilur merah, noda hematokistik, vena pada vena. Skleroterapi
endoskopik sebagai alternatif bila ligasi endoskopik sulit dilakukan karena

14

perdarahan yang massif, terus berlangsung, atau teknik tidak memungkinkan


sklerosan yang bisa digunakan antara lain camouran sama banyak
polidokanol 3%, NaCl 0,9%, dan alcohol absolut. Campuran dibuat sesaat
sebelum sklenoterapi dikerjakan. Penyuntikan dimulai dari bagian paling
distal mendekati kardia dilanjutkan ke proksimal bergerak spiral sampai
sejauh 5 cm. pada perdarahan varises lambung dilakukan penyuntikan
cyanoacrylate, skleroterapi untuk varises lambung hasilnya kurang baik.10
1.7.3. Terapi Radiologi
Terapi angiografi

perlu

dipertimbangkan

bila

perdarahan

tetap

berlangsung dan belum bisa ditentukan asal perdarahan, atau bila terapi
endoskopi dinilai gagal dan pembedahan sangat berisiko. Tindakan
hemostasis yang bisa dilakukan dengan penyuntikan vasopressin atau
embolisasi arterial. Bila dinilai tidak ada kontraindikasi dan fasilitas
dimungkinkan, pada perdarahan varises dapat dipertimbangkan Transjugular
Intrahepatic Portosystemic Shunt (TIPS).10
1.7.4. Pembedahan
Pembedahan pada dasarnya dilakukan bila terapi medic, endoskopi dan
radiologi dinilai gagal. Ahli bedah seyogyanya dilibatkan sejak awal dalam
bentuk tim multidisipliner pada pengelolaan kasus perdarahan SCBA untuk
menentukan waktu yang tepat kapan tindakan bedah sebaiknya dilakukan.10

15

Gambar 6. Algoritma tatalaksana perdarahan saluran cerna bagian atas.9


1.8.

Komplikasi

a. Syok hipovolemia
b. Aspirasi pneumonia
c. Gagal ginjal akut
d. Anemia karena perdarahan
e. Sindrom hepatorenal
f. Koma hepatikum

16

1.9.

Prognosis
Identifikasi letak perdarahan adalah langkah awal yang paling penting

dalam pengobatan. Setelah letak perdarahan terlokalisir, pilihan pengobatan


dibuat secara

langsungdan

kuratif.

Meskipun

metode

diagnostik

untuk

menentukan letak perdarahan yang tepattelah sangat meningkat dalam 3 dekade


terakhir, 10-20% dari pasien dengan perdarahansaluran cerna bagian bawah tidak
dapat dibuktikan sumber perdarahannya. Oleh karena itu,masalah yang kompleks
ini membutuhkan evaluasi yang sistematis dan teratur untuk mengurangi
persentase kasus perdarahan saluran cerna yang tidak terdiagnosis dan tidak
terobati.11
Dalam penatalaksanaan perdarahan SCBA banyak faktor yang berperan
terhadaphasil pengobatan. Ada beberapa prediktor buruk dari perdarahan SCBA
antara lain, umurdiatas 60 tahun, adanya penyakit komorbid lain yang bersamaan,
adanya hipotensi atau syok,adanya koagulopati, onset perdarahan yang cepat,
kebutuhan transfuse lebih dari 6 unit, perdarahan rekurens dari lesi yang sama.
Setelah diobati dan berhenti, perdarahan SCBA dapat berulang lagi atau rekurens.
Secara endoskopik ada beberapa gambaran endoskopik yang dapat memprediksi
akan terjadinya perdarahan ulang antara lain tukak peptic dengan bekuan darah
yang menutupi lesi, adanya visible vessel tak berdarah, perdarahan segar yang
masih berlangsung.11

17

DAFTAR PUSTAKA
1. K., Marcellus Simadribata et al. 2012. Konsensus Nasional Penatalaksanaan
Perdarahan Saluran Cerna Atas Non Varises di Indonesia. Jakarta:
Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia
2. Djumhana A;Hadi S;Abdurachman SA;Wijojo J;Saketi R: Upper GI
bleeding in Hasan
3. Holster IL, Kuipers EJ. 2012. Management of acute nonvariceal upper
gastrointestinal bleeding:current policies and future perspectives. World J
Gastroenteral. 18:1207-7
4. Porter, R.S., et al., 2008. The Merck Manual of Patient Symptoms. USA:
MerckResearch Laboratories
5. Jutabha, R., et al. 2003. Acute Upper Gastrointestinal Bleeding. Dalam:
Friedman, S.L., et al. Current Diagnosis & Treatment in Gastroenterology 2
ed. USA: McGraw-Hill Companies, 53 67.
6. Anand, B.S., 2011. Peptic Ulcer Disease, Bayler College of Medicine.
Available

from:

http://emedicine.medscape.com/article/181753-overview

(Accesed 26 Maret 2016)


7. Laine, L., 2008. Gastrointestinal Bleeding. Dalam: Fauci, A.S., et al.
Harrisons Principles of Internal Medicine: 17th ed. Vol 1. USA: McGrawHill Companies, 257 260.
8. Caestecker, J.d., 2011. Upper Gastrointestinal Bleeding Clinical Presentation,
Hahnemann

University.

Available

http://emedicine.medscape.com/article/187857-clinical#b1

from:
(Accesed

26

Maret 2016)
9. Wilkins, Thad et al. 2012. American Family Physician. Diagnosis and
Management of Upper Gastrointestinal Bleeding. Vol 85 (5);470-476
10. Sudoyo, Aru W., et al. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed 5. Jil 1.
Jakarta: Interna Publishing
11. Perdarahan
Saluran

Cerna

Bagian

Atas.

Available Form
:http://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/medula/article/viewFile/75/78. (
Accesed Maret 2016)

18

Anda mungkin juga menyukai