Anda di halaman 1dari 10

DEMAM TIFOID

Definisi
Demam tifoid adalah suati penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan oleh
Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai oleh panas berkepanjangan, ditopang dengan
bakteremia tanpa keterlibatan struktus endothelial atau endocardial dan invasi bakteri
sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuclear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus
dan Peyer’s patch.

Epidemiologi
Demam tifoid sering terjadi di beberapa negara di dunia dan umumnya pada negara
dengan tingkat kesehatan yang rendah. Penyakit ini juga merupakan masalah Kesehatan
masyarakat yang penting karena penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi. Besarnya
angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sukar ditentukan, sebab penyakit ini dikenal
mempunya gejala dengan spektrum klinis yang luas. Kejadian demam tifoid pada negara
maju kurang dari 15 kasus per 100.000 poulasi sedangkan di negara berkembang
diperkirakan tingkat kejadiannya lebih besar yaitu 100 hingga 1.000 kasus per 100.000
populasi. WHO memperkirakan angka kejadian demam tifoid diseluruh dunia sekitar 17 juta
jiwa pertahunnya, dimana angka kematian akibat demam tifoid itu sendiri mencapai 600.000
dan 70% nya terjadi di Asia.
Demam tifoid merupakan penyakit endemis yang mengancam masyarakat di Indonesia
serta menjadi masalah kompleks dikarenakan meningkatnya kasus-kasus karier dan resistensi
terhadap obat sehingga menyulitkan upaya pencegahan dan pengobatan. Angka kejadian
demam tifoid di Indonesia 350-810 per 100.000 penduduk dengan morbiditas yang
meningkat setiap tahunnya sekitar 500 hingga 100.000 penduduk dengan angka kematian 0,6
hingga 5%. Jumlah penderita demam tifoid di setiap daerah berbeda.
Salmonella typhi dapat hidup di dalam tubuh manusia. Manusia yang terinfeksi
salmonella typhi dapat mengekskresikannya melalui secret saluran nafas, urin, dan tinja
dalam jangka waktu yang sangat bervariasi. Salmonella typhi yang berada di luar tubuh
manusia dapat hidup untuk bebrapa minggu apabila berada di dalam air, es, debu atau kotoran
yang kering maupun pada pakaian, akan tetapi Salmonella typhi hanya dapat hidup kurang
dari 1 minggu pada raw savage dan mudah di matikan dengan klorinasi dan pasteurisasi.
Etiologi
Salmonella Typhi merupakan bakteri dari subspesies Salmonella enterica yang menjadi
penyebab demam tifoid dengan manifestasi demam yang berlangsung lama. Bakteri ini
merupakan bakteri gram negatif, berbentuk batang, tumbuh pada suasana aerob dan fakultatif
aerob serta masuk dalam keluarga Enterobacteriaceae. Bakteri ini tidak berspora, bergerak
dengan flagella serta memiliki 3 jenis antigen yaitu antigen O, H, dan VI didalam serum
penderita demam tifoid. Mempunyai makromolekular lipopolisakarinda kompleks yang
membentuk lapis luar dari dinding sel dan dinamakan endotoksiN. Salmonella typhi juga
dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadapt multiple
antibiotik. Seseorang yang serumnya mengalami infeksi akan mendapatkan perlindungan
dari aksi bakterisida karena peran dari antigen Vi.

Tiga macam antigen Salmonella Typhi yaitu:


1. Antigen O (Antigen Somatik)
Antigen ini terletak pada lapisan luar dari tubuh kuman, tahan terhadap panas dan alkohol
namun tidak tahan terhadap formaldehid. Antigen ini mempunyai struktur kima
lipopolisakarida atau disebut endotoksin.
2. Antigen H (flagela)
Antigen ini terletak pada flagela, fimbriae atau pili dari kuman. Struktur kimia suatu protein
dan tahan terhadap formaldehid tetapi tidak pada panas dan alhohol yang telah memenuhi
kriteria penilaian.
3. Antigen Vi
Antigen ini terletak pada kapsul dari kuman dimana dapat melindungi kuman dari fagositosis.
Antigen yang dimiliki Salmonella Typhi ini jika didalam tubuh pasien
tifoid akan menimbulkan pembentukan 3 macam antibodi lazim yang disebut aglutinin

Bakteri Salmonella Typhi pada suhu 15ºC-41ºC dapat tumbuh dengan baik dan suhu optimal
bakteri tersebut tumbuh yaitu pada suhu 37ºC. Dengan proses pasteurisasi, pendidihan serta
klorinisasi dengan suhu 60ºC dalam waktu 15-20 menit akan menyebabkan kematian bakteri.
Taksonomi dari Salmonella Typhi adalah sebagai berikut:
Kingdom : Bacteria
Filum : Proteobacteria
Ordo : Gamma proteobacteria
Class : Enterobacteriales
Family : Enterobacteriaceae
Genus : Salmonella
Spesies : Salmonella Typhi

Gambar. Salmonellya Typhi

Rute fecal-oral menjadi jalur penularan Salmonella Typhi. Bakteri


tersebut dapat muncul dikarenakan kebiasaan hidup yang kurang bersih, misalnya konsumsi
air tidak bersih dan makanan yang terkontaminasi. Usia, jenis kelamin, pendidikan, status
sosial ekonomi, kebiasaan mencuci tangan serta kebiasaan membuang jamban merupakan
faktor resiko penyebab demam tifoid. Selain itu, bakteri. Salmonella Typhi mampu bertahan
hidup berhari-hari didalam air.

Patogenesis
Penularan bakteri Salmonella Typhi penyebab demam tifoid dapat melalui feses dan
muntahan dari penderita tifoid. Makanan dan minuman yang terkontaminasi serta lalat yang
hinggap di makanan yang akan kurang diperhatikan maka bakteri tersebut dapat mudah
masuk dan menyebabkan infeksi.
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri gram negatif Salmonella Typhi yang bentuknya
batang, mempunyai flagella, aerob atau anaerob fakultatif. Bakteri Salmonella Typhi masuk
ke dalam usus halus dengan diperantarai oleh makanan atau minuman yang terkontaminasi.
Jumlah kuman yang dapat menginfeksi tubuh manusia bervariasi yakni antara 1000 hingga
1.000.000 kuman. Kuman dapat bertahan terhadap asam lambung dan kemudian masuk ke
dalam tubuh melalui mukosa usus pada ileum terminalis dan berkembang biak.
Respon humoral mukosa (IgA) usus yang kurang baik dapat menyebabkan kuman
menembus sel-sel epitel terutama sel M dan selanjutnya menuju ke lamina propia. Kemudian
kuman akan berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag.
Kuman dapat bertahan hidup serta dapat berkembang biak di dalam makrofag dan kemudian
dibawa ke Plak Peyer ileum distal dan kemudian kelenjar getah bening mesenterika. Kuman
yang terdapat di dalam makrofag akan masuk ke dalam sirkulasi darah melalui duktus
toraksikus sehingga mengakibatkan bakterimia pertama yang asimtomatik. Biasanya tidak
didapatkan gejala dan kultur darah biasanya masih memberikan hasil yang negatif. Periode
inkubasi terjadi selama 7 hingga 14 hari.
Kuman dalam pembuluh darah kemudian akan menyebar ke seluruh tubuh dan
berkolonisasi dalam organ-organ sistem retikuloendotelial yaitu hati, limpa, serta sumsum
tulang. Selain itu, kuman juga melakukan replikasi didalam makrofag. Setelah periode
replikasi, kuman akan kembali menyebar ke sistem peredarah darah dan menyebabkan
bakterimia yang kedua. Hal ini juga sekaligus menandai berakhirnya masa inkubasi.
Bakterimia kedua akan menimbulkan beberapa manifestasi klinis seperti demam, sakit
kepala, serta nyeri abdomen. Pada tahap ini, bakteri tersebar luas dihati, limpa, sumsum
tulang, kantung empedu, dan Plak Peyer di mukosa ileum terminal. Ulserasi pada Plak Peyer
dapat terjadi melalui inflamasi yang mengakibatkan nekrosis dan iskemia. Bakterimia dapat
menetap selama beberapa minggu jika tidak diobati dengan antibiotik. Kekambuhan dapat
terjadi jika kuman masih menetap di dalam organ-organ sistem retikuloendotelial dan
mempunyai kesempatan berproliferasi kembali.
Bakteri Salmonella Typhi harus mampu bertahan hidup di lambung
dengan pH rendah untuk menginfeksi usus dimana jumlah bakteri Salmonella Typhi yang
menyebabkan seseorang sakit bervariasi sekitar 103 sampai 106 sel. Selain itu, waktu
inkubasinya antara 7 hingga 14 hari tergantung jumlah bakteri, virus serta respon daya tahan
tubuh manusia.

Manifestasi Klinis
Pada anak, periode inkubasi demam tifoid antara 5-40 hari dengan rata-rata antara 10-
14 hari. Gejala klinis demma tifoid sangat bervariasi dari gejala klinis ringan dan tidak
memerlukan perawatan khsus sampai dengan berat hingga harus dirawatl
Semua pasien demam tifoid selalu menderita demam pada awal penyakit. Penampilan
demam pada kasus demam tifoid mempunyai istilah khusus, yaitu step ladder temperature
chart yang ditandai dengan demam timbul insidious, kemudian naik secara bertahap tiap
harinya dan mencapai titik teritnggi pada akhir minggu pertama, setelah itu demam akan
bertahan tinggi dan pada minggu ke-4 demma turun perlahan secara lisis. Pada saat demma
sudah tinggi, pada kasus demam tifoid dapat disertai gejala system saraf pusat, seperti
kesadaan berkabut atau delirium atau obtundasi, atau penurunan kesadaran mulai apati
sampai koma.
Gejala sistemik lain yang menyertai timbulnya demam adalah nyeri kepala, malaise,
anoreksi, nausea, myalgia, nyeri perut dan radang tenggorokan. Gejala gastrointestinal pada
kasus demam tifoid sangat bervariasi. Pasien dapat mengeluh diare, obstipasi, atau obstipasi
kemudia disusul episode diare. Pada sebagian pasien lidah tampak kotor dengan putih di
tengah sedang tepi dan ujungnya kemerahan.
Rose spot, suatu ruan maculopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1-5 mm,
sering kali dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas dan punggung pada orang
kulit putih. Ruam ini muncul pada hari ke 7 – 10 dan bertahan selama 2-3 hari.

Komplikasi
Perforasi usus halus dilaporkan dapat terjadi pada 0,5-3%, sedangkan perdarahan usus
pada 1-10% kasus demam tifoid anak. Penyulit ini terjadi pada minggu ke 3 sakit, walau
pernah dilaporkan terjadi pada minggu pertama. Komplikasi didahului dengan penurunan
suhu, tekanan darah dan peningkatan frekuensi nadi.
Dilaporkan juga kasus dengan komplikasi neuropsikiatri dengan manifestasi gangguan
kesadaran, disorientasi, delirium, obtundasi, stupor bahkan koma. Miokarditis dapat timbul
dengan manifestasi klinis berupa aritmia, perubahan ST-T pada EKG, syok kardiogenik,
infiltrasi lemak maupun nekrosis pada jantung. Hepatitis tifosa asimtomatik dapat dijumpai
pada kasus demam tifoid dengan ditandai peningkatan kadar transaminase yang tidak
mencolok. Sistitis bahkan pielonefritis dapat juga merupakan penyulit demam tifoid.

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis berupa demam, gangguan
gastrointestinal dan mungkin disertai perubahan atau gangguan kesadaran, dengan kriteria in
maka seorang klinisi dapat membuat diagnosis tersangka demam tifoid. Diagnosis pasti
ditegakkan melalui isolasi S. typhi dari darah. Pada dua minggu pertama sakit, kemungkinan
mengisolasi S. typhi dari dalam darah pasien lebih besar dari pada minggu berikutnya.
Biakan yang dilakukan pada urin dan fess, kemungkinan keberhasilan lebih kecil. Biakan
spesimen yang berasal dari aspirasi sumsum tulang mempunyai sensitivitas tertinggi, hasil
positif didapat pada 90% kasus. Akan tetapi prosedur ini sangat invasil, sehingga tidak
dipakai dalam praktek
sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan biakan spesimen empedu yang diambil
dari duodenum dan memberikan hail yang cukup baik.
Uji serologi Widal suatu metode serologik yang memeriksa antibodi aglutinasi terhadap
antigen somatik (O), flagela (H) banyak dipakai untuk membuat diagnosis demam tifoid. Di
Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin 21/40 dengan memakai wig Widal slide
aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal
positif 96%. Artinya apabila hasil tes positif. 96% kasus benar sakit demam tifoid, akan tetapi
apabila negatif tidak menyingkirkan. Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O
aglutinin sekali periksa ›1 /200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka
diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca
imunisasi atau infeksi masa lampau, sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa
kuman S. typhi (karier). Banyak peneliti mengemukakan bahwa uji serologik Widal kurang
dapat dipercaya sebab dapat timbul positif palsu pada daerah endemis, dan sebaliknya dapat
timbul negatif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif.
Akhir-akhir in banyak dimunculkan beberapa jenis pemeriksaan untuk mendeteksi
antibodi S. typhi dalam serum, antigen terhadap S. typhi dalam darah, serum dan urin bahkan
DNA. S. typhi dalam darah dan feces. Polymerase chain reaction talah digunakan untuk
memperbanyak gen Salmonella ser. Typhi secara spesifik pada darah pasien dan hasil dapat
diperoleh hanya dalam beberapa jam. Metode in spesifik dan lebih sensitif dibandingkan
dengan biakan darah. Walaupun laporan-laporan pendahuluan menunjukkan hasil yang baik
namun sampai sekarang tidak salah satupun dipakai secara luas. Sampai sekarang belum
disepakati adanya pemeriksaan yang dapat menggantikan uji serologi Widal.

Diagnosis Banding
Pada stadium dini demam tifoid, beberapa penyakit kadang-kadang secara klinis dapat
menjadi diagnosis bandingnya yaitu influenza, gastroenteritis, bronkitis dan
bronkopneumonia. Beberapa penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme intraselular
seperti tuberkulosis, infeksi jamur sistemik, bruselosis, tularemia, shigelosis dan malaria juga
perlu dipikirkan. Pada demam tifoid yang berat, sepsis, leukemia, limfoma dan penyakit
Hodgkin dapat sebagai diagnosis banding.

Tatalaksana
Sebagian bear pasien demam tifoid dapat diobati di rumah dengan tirah baring, isolasi
yang memadai, pemenuhan kebutuhan cairan, nutrisi serta pemberian antibiotik. Sedangkan
untuk kasus berat harus dirawat di rumah sakit agar pemenuhan cairan, elektrolit serta nutrisi
disamping observasi kemungkinan timbul penyulit dapat dilakukan dengan seksama.
Pengobatan antibiotik merupakan pengobatan utama karena pada dasarnya patogenesis
infeksi Salmonella typhi berhubungan dengan keadaan bakteriemia.
Kloramfenikol mash merupakan pilihan pertama pada pengobatan penderita demam
tifoid. Dosis yang diberikan adalah 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali pemberian selama
10 - 14 hari atau sampai 5 - 7 hari setelah demam turn, sedang pada kasus dengan malnutrisi
atau penyakit, pengobatan dapat diperpanjang sampai 21 hari, 4 – 6 minggu untuk
osteomielits akut, dan 4 minggu untuk meningitis. Salah satu kelemahan kloramfenikol
adalah tingginya angka relaps dan karier. Namun pada anak hal tersebut jarang dilaporkan.
Ampisilin memberikan respons perbaikan klinis yang kurang apabila dibandingkan
dengan kloramfenikol. Dosis yang dianjurkan adalah 200 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali
pemberian secara intravena. Amoksilin dengan dosis 100 mg/kgBB/ hari dibagi dalam 4 kali
pemberian per oral memberikan hasil yang setara dengan kloramfenikol walaupun penurunan
demam lebih lama. Kombinasi trimethoprim sulfametoksazol (TMP-SMZ) memberikan hail
yang kurang baik dibanding kloramfenikol. Dosis yang dianjurkan adalah TMP 10
mg/kg/hari atau SMZ 50 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis. Di beberapa negara sudah
dilaporkan kasus demam tifoid yang resisten terhadap kloramfenikol. Di India resistensi
ganda terhadap kloramfenikol, Ampisilin, dan TMP-SMZ terjadi sebanyak 49 - 83%. Strain
yang resisten umumnya rentan terhadap sefalosporin generasi ketiga. Pemberian sefalosporin
generasi ketiga seperti Seftriakson 100 mg/kg/hari dibagi dalam 1 atau 2 dosis (maksimal 4
gram/ hari) salama 5 - 7 hari atau sefotaksim 150-200 mg/kg/hari dibagi dalam 3 - 4 dosis
efektif pada isolat yang rentan. Efikasi kuinolon baik tetapi tidak dianjurkan untuk anak.
Akhir-akhir ini cefixime oral 10-15 mg/KgBB/hari selama 10 hari dapat diberikan sebagai
alternatif, terutama apabila jumlah leukosit <2000/ ul atau dijumpai resistensi terhadap S.
typhi.
Pada demam tifoid kasus berat seperti delirium, obtundasi, stupor, koma dan shock,
pemberian deksametason intravena (3 mg/kg diberikan dalam 30 menit untuk dosis awal,
dilanjutkan dengan 1 mg/kg tap 6 jam sampai 48 jam) disamping antibiotik yang memadai,
dapat menurunkan angka mortalitas dari 35-55% menjadi 10%. Demam tifoid dengan
penyulit perdarahan usu kadang-kadang memerlukan transfusi darah. Sedangkan apabila
diduga terjadi perforasi, adanya cairan pada peritoneum dan udara bebas pada foto abdomen
dapat membantu menegakkan diagnosis, Laparatomi harus segera dilakukan pada perforasi
usu disertai penambahan antibiotik metronidazol dapat memperbaiki prognosis. Reseksi 10
cm di setiap sisi perforasi dilaporkan dapat meningkatkan angka harapan hidup. Transfusi
trombosit dianjurkan untuk pengobatan trombositopenia yang dianggap cukup berat sehingga
menyebabkan perdarahan saluran cerna pada pasien-pasien yang masih dalam pertimbangan
untuk dilakukan intervensi bedah.
Ampisilin (atau amoksisilin) dosis 40 mg/kg/hari dalam 3 dosis peroral ditambah
dengan probenecid 30 mg/kg/hari dalam 3 dosis peroral atau TMP-SMZ selama 4-6 minggu
memberikan angka kesembuhan 80% pada karier tapa penyakit -saluran empedu. Bila
terdapat kolelitiasis atau kolesistitis, pemberian antibiotik saja jarang berhasil, kolesistektomi
dianjurkan setelah pemberian antibiotik (ampisilin 200 mg/kgBB/hari dalam 4-6 dosis IV)
selama 7 - 10 hari, setelah kolesistektomi dilanjutkan dengan amoksisilin 30 mg/ kgBB/hari
dalam 3 dosis peroral selama 30 hari. Kasus demam tifoid yang mengalami relaps diberi
pengobatan sebagai kasus demam tifoid serangan pertama.

Prognosis
Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan Kesehatan
sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi antibiotik yang
adekuat, angka mortalitas <1%. Di negara berkembang, angka mortalitasnya >10%, biasanya
karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan pengobatan. Munculnya komplikasi, seperti
perforasi gastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia,
mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S. ser. Typhi > 3 bulan
setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis. Risiko menjadi karier pada anak-anak rendah
dan meningkat sesuai usia. Karier kronik terjadi pada 1 - 5% dari seluruh pasien demam
tifoid. Insides penyakit traktus biliaris lebih tinggi pada karier kronis dibandingkan dengan
populasi umum. Walaupun karier urin kronis juga dapat terjadi, hal ini jarang dan dijumpai
terutama pada individu dengan skistosomiasis.

Pencegahan
Secara umum, untuk memperkecil kemungkinan tercemar S.typhi, maka setiap individu
harus memperhatikan kualitas makanan dan minuman yang mereka konsumsi. Salmonella
typhi di dalam air akan mati apabila dipanasi setinggi 57C untuk beberapa menit atau dengan
proses iodinasi/klorinasi.
Untuk makanan, pemanasan sampai suhu 57C beberapa menit dan secara merata juga
dapat mematikan kuman Salmonella typhi. Penurunan endemisitas suatu negara/ daerah
tergantung pada baik buruknya pengadaan sarana air dan pengaturan pembuangan sampah
serta tingkat kesadaran individu terhadap higiene pribadi. Imunisasi aktif dapat membantu
menekan angka kejadian demam tifoid.
Daftar Pustaka
1. Soedarno S, Garna H. Hadinegoro SR, Satari HI. Buku ajar infeksi dan penyakit tropis
edisi kedua. Jakarta: Badan Penerbit IDAl; 2008. Hal 338-46.
2. Ochoa T, Cleary T. Salmonella. In: Feigin R, Cherry JD, Harrison GI,Kaplan Sl.,
editors. Feign & Cherry's textbook of pediatric infectious disease. 6th ed. Philadephia:
Saunders; 2009. p.1567-82.
3. Balasurman S, Kaarthigeyan K, Rajeawari S. Serum ALT:LDH ratio typhoid fever and
acute hepatitis viral. Indian Pediatrics. 2010;47:339-40
4. Keddy K, Sooka A, Letsoalo M, Chaignat C, Morrissey A, Crump J. Sensitivity and
specificity of typhoid fever rapid test for laboratory diagnosis at sub-Saharan African
sites. Bull World Health Organ. 2011;89:640-7.
5. Zaki SA, Karande S. Multidrug-resistant typhoid fever: a review. J Infect Dev Cries.
2011;2:324-7.
6. Le TP, Hoffman Sl.. Trphoid fever. In: Guerrant RI., WalkerDH, Weller PF, eds.
Tropical Infectious Diseases: Principles, Pathogens and Practice. 2nd ed. Philadelphia:
Churchill Livingstone; 2006.
7. Zaki SA, Karande S. Multicirug-resistant typhoid fever: a review. J Infect Dev tries.
2011;2:324-7.

Anda mungkin juga menyukai