Anda di halaman 1dari 5

PEMERIKSAAN PENUNJANG INFEKSI BAKTERI

Sesuai dengan data demografi yang didapat, anamnesis dan pemeriksaan fisis yang saksama maka akan
didapat diagnosis sementara. Untuk mendapatkan diagnosis yang lebih tepat kadang-kadang diperlukan
pemeriksaan penunjang yang khas selain pemeriksaan laboratorium rutin. Laboratorium rutin yang perlu
dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap dengan hitung jenis leukosit dan morfologi darah tepi.

Pada infeksi bakteri umumnya ditemukan leukositosis dengan shift to the left pada hitung jenis
leukositnya. Dari morfologi darah tepi juga dapat diketahui tanda-tanda infeksi (bakteri) dari gambaran
leukositnya. Pemeriksaan laboratorium khas umumnya merupakan pemeriksaan serologis dan kultur atau
biakan kuman dari bahan pemeriksaan yang tepat, serta pemeriksaan antigen atau materi genetik seperti
polymerase chain reaction (PCR).

Penegakkan diagnosis infeksi parasit hingga saat ini masih mengandalkan pemeriksaan
mikroskopis. Pemeriksaan tersebut memakan waktu lama dan tidak dapat dilakukan di semua fasilitas
pelayanan kesehatan. Infeksi jamur invasif dapat berakibat fatal terutama pada pasien imunodefisiensi.
Diagnosis infeksi jamur invasif ditegakkan melalui penilaian kondisi klinis, radiologis, dan mikrobiologis
pasien dalam merespons terapi. Pemeriksaan radiologis dan mikrobiologis harus dilakukan secara serial
sehingga tidak bersifat cost effective dan tidak dapat dilakukan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang
memiliki sarana terbatas. Di lain pihak, biomarker berpotensi untuk digunakan pada seluruh proses
perjalanan penyakit. Sebelum dipergunakan untuk menegakkan diagnosis, marker dipergunakan untuk
skrining dan menentukan faktor risiko. Selama waktu menegakkan diagnosis, biomarker dapat
menentukan stadium, derajat penyakit, serta pengobatan awal. Sedangkan selama pengobatan, biomarker
dapat dipergunakan untuk monitor hasil pengobatan, memilih pengobatan dengan tepat, atau menentukan
terjadinya rekurensi. Pemeriksaan genomics, proteomics, dan patologi molekuler merupakan calon
biomarker masa depan.

Definisi

Biomarker adalah biological parameter yang berhubungan dengan adanya penyakit dan derajat
keparahannya. Biomarker dapat diketahui dan diukur dengan berbagai metode termasuk pemeriksaan
fisis, pemeriksaan laboratorium, dan medical imaging Secara spesifik, biomarker mempunyai
karakteristik objektif yang terukur dan dapat dievaluasi dalam proses biologi, juga dalam proses
patologis, atau respons farmakologik pada intervensi terapi. Untuk sepsis, biomarker yang baik apabila
dapat mendeteksi sepsis secara dini, menentukan pengobatan empiris, serta akhirnya dapat mengurangi
morbiditas dan mortalitas. Pengertian biomarker dalam bidang kedokteran bersifat khas sehingga dapat
diukur untuk menunjukkan adanya dan derajat penyakit. Biomarker dapat mendeteksi perubahan yang
terjadi dalam ekspresi protein yang berhubungan dengan risiko mendapat penyakit, menilai progresivitas
suatu penyakit, atau kerentanan (susceptibility) seseorang terhadap penyakit untuk segera mendapat
pengobatan. Biomarker adalah biological properties yang khas yang dapat mendeteksi dan mengukur
bagian tubuh seperti darah dan jaringan. Biomarker spesifik berasal dari sel, molekul, gen, produk gen,
enzim, atau hormon. Sebagai contoh, suhu badan telah dikenal sebagai biomarker demam, dan tekanan
darah dipergunakan untuk mengetahui risiko strok juga telah diketahui secara las bahwa nilai kolesterol
adalah biomarker dan indicator untuk penyakit jantung koroner serta penyakit vaskular, sedangkan C-
reactive protein (CRP) adalah biomarker untuk inflamasi.

Secara fisiologis terdapat dua jenis biomarker infeksi, yaitu biomarker yang berhubungan dengan
agent infectious atau hubungan respons tubuh terhadap agent infectious. Komponen infeksius yang akan
menghasilkan biomarker sepsis, berasal dari komponen sel bakteri, DNA bakteri, atau RNA/DNA virus.
Respons tubuh lainnya terhadap infeksi, yaitu sitokin, marker koagulasi, marker inflamasi, acute phase
reactants, marker disoksia, dan soluble reseptor. Mayoritas biomarker infeksi saat ini terfokus pada
respons tubuh terhadap infeksi. Akan tetapi, biomarker tersebut kurang bermanfaat untuk neonatus atau
pasien imunokompromais, oleh karena imaturitas imunologi.

Secara biologi molekuler, terminologi biomarker adalah suatu subset marker yang dapat dideteksi
dengan mempergunakan teknologi genomics, proteomics, dan metabolomics. Biomarker memegang peran
dalam medicinal biology. Biomarker membantu menegakkan diagnosis dini suatu penyakit, pencegahan
penyakit, identifikasi target obat, respons obat, dan lain-lain. Beberapa biomarker dapat
mengindentifikasi beberapa penyakit misalnya gen P53 dan MMPs untuk mendeteksi kanker. Secara
ilmiah, biomarker gene-based sat ini dikenal efektif untuk keperluan tersebut.

Biomarker Infeksi Bakteri

Infeksi bakteri sistemik, sepsis, serta sindrom serupa dapat bersifat fatal dan mengancam nyawa. Oleh
karena itu, infeksi bakteri harus didiagnosis secara tepat dan cepat sehingga terapi antimikroba yang tepat
dapat diberikan segera. Penggunaan biomarker dalam menegakkan diagnosis infeksibakteri dapat
mempersingkat waktu penegakkan diagnosis. Biomarker yang digunakan harus bersifat cepat, dapat
memprediksi perjalanan dan prognosis infeksi yang terjadi, serta dapat menjadi dasar pemberian terapi
antimikroba. Beberapa jenis biomarker potensial yang telah banyak diteliti dalam mendiagnosis sepsis
bakterial adalah hitung leukosit, laju endap darah (LED), C-reactive protein (CRP), soluble triggering
receptor expressed on myeloid cells 1 (sTREM-1), pro-adrenomodullin (ProADM), prokalsitonin serum
(PCI), mid-regional pro-atrial natriuretic peptide (ANP), pancreatic stone protein (PSP) atau
regenerating protein (reg), interleukin-6 (IL-6), IL-8, IL-27, dan soluble urokinase-type plasminogen
activator receptor (suPAR).

Laju endap darah merupakan suatu marker nonspesifk terhadap cedera jaringan, dinilai lebih
bermanfaat dalam mengidentifikasi inflamasi dibanding dengan hitung leukosit. Di samping itu, LED
juga bermanfaat dalam mendeteksi keganasan, namun tidak dapat menentukan etiologi infeksi.

C-reactive protein merupakan suatu protein fase akut yang dibentuk oleh hepatosit sebagai
respons dari interleukin (IL)-6 terhadap terjadinya kerusakan sel karena proses inflamasi. Kadar CRP
akan meningkat dalam 4-6 jam, meningkat hingga 2 kali lipat dalam 8 jam, dan mencapai puncalnya
dalam 36-50 jam. CRP sangat baik digunakan untuk menilai perjalanan penyakit dalam fase akut. Secara
luas CRP dipergunakan sebagai marker inflamasi akut dan banyak dipelajari sebagai biomarker sepsis.
Pada kejadian sepsis, CRP meningkat setelah biomarker lain (IL-6 dan IL-1) meningkat. Sensitivitas CRP
dalam mendiagnosis sepsis berkisar antara 44-100% dan spesifisitas 58-98%, bergantung pada nilai cut-of
yang dipergunakan. Sebenarnya CRP adalah marker inflamasi dan bukan biomarker untuk infeksi bakteri
saja, karena dapat meningkat pada beberapa keadaan seperti keganasan, trauma, pascaoperasi, luka bakar,
nekrosis jaringan, immunologically mediated inflammatory diseases, komplikasi hipersensitivitas (demam
rematik, eritema nodusum), penyakit inflamasi noninfeksi (artritis reumatoid, ankylosing spondilitis,
artritis psoriatik, vaskulitis sistemik, penyakit Crohn), bahkan obesitas. Maka CRP tidak dapat
dipergunakan untuk membedakan antara infeksi bakteri atau virus, walaupun demikian beberapa laporan
mempergunakan CRP untuk memonitor penyakit infeksi. Nilai CRP mempunyai spesifisitas 87-97% dan
sensitivitas 15-29% dalam diagnosis sepsis neonatal, namun pada bayi prematur, kasus gagal hati, dan
dalam pengobatan steroid sering kali dijumpai CRP rendah bahkan negatif.

Procalcitonin adalah prekursor hormon kalsitonin yang dalam keadaan inflamasi dapat
menunjukkan aktivitas mirip sitokin, Dalam keadaan infeksi mikrob atau inflamasi, kadar PCT yang
bersirkulasi dapat meningkat hingga berkali-kali lipat. Inteksi mikrob dapat meningkatkan pelepasan PCT
dari seluruh jaringan parenkim dari berbagai sel-sel tubuh. PCT yang dilepaskan dari sel-sel parenkim
(termasuk hepar, paru, ginjal, adiposit, dan otot rangka) lebih banyak dibanding dengan yang dilepaskan
oleh sel-sel yang bersirkulasi (misalnya leukosit). Hal tersebut menunjukkan bahwa fungsi pertahanan
tubuh yang dimediasi oleh PCT bersifat tissue based. Oleh karena itu, PCT dapat digunakan sebagai
biomarker diagnosis infeksi bakteri pada pasien dengan febrile neutropenia. PCT memiliki sensitivitas
dan spesifisitas sebesar 64,5% dan 84% dalam mendeteksi infeksi bakteri pada pasien demam.
Dinyatakan pula bahwa PCT lebih baik dibandingkan CRP, IL-6, dan serum amyloid A (SAA) dalam
mendeteksi dini infeksi bakteri.
Pelepasan PCT dalam keadaan inflamasi terjadi karena adanya induksi langsung dari toksin
mikrob (misalnya endotoksin) atau induksi tidak langsung melalui respons imun humoral atau seller
(misalnya IL-Iß, tumor necrosis factor-alpha (TNF-a), dan IL-6). Kadar PCT hampir tidak pernah
meningkat pada infeksi virus, hal ini diduga karena pada infeksi virus terjadi sintesis interferon alfa oleh
makrofag yang kemudian menginhibisi sintesis INF. Oleh karena itu, PCT dapat pula digunakan untuk
membedakan infeksi bakteri dengan infeksi virus. PCT memiliki rentang biologis yang lebar, waktu
induksi yang singkat (2-4 jam), dan waktu paruh yang panjang (22-26 jam) sehingga baik digunakan
sebagai biomarker infeksi bakteri dan dasar pemberian terapi antimikroba yang rasional. Sebuah
metaanalisis (30 penelitian, 3244 pasien) tahun 2013 menganalisis akurasi dan nilai klinis dari PCT dalam
penegakkan diagnosis sepsis pada pasien kritis menghasilkan rerata sensitivitas 0,77 [95%CI: 0,72-0,81],
spesifisitas sebesar 0,79 (95% CI: 0,74-0,84), dan area under the curve (AUC) 0,85 (95% CI 0,81-0,88),
mengonfirmasi peran PCT sebagai biomarker yang berguna dalam penegakkan diagnosis infeksi bakteri.

Secara keseluruhan, PCT bermanfaat sebagai biomarker infeksi bakteri pada pasien dengan
demam. Dalam mempergunakan PCT sebagai biomarker infeksi bakteri, hasil positif dan negatif palsu
harus diperhitungkan. Peningkatan kadar PCT yang bersifat positif palsu (tapa infeksi bakteri) dapat
terjadi pada acute respiratory distress syndrome (ARDS), malaria falsiparum berat, trauma, dan
pneumonitis kimiawi. Kadar PCT yang rendah dapat digunakan untuk menyingkirkan infeksi bakteri,
tetapi kadar PCT yang rendah dapat pula terjadi pada awal perjalanan infeksi bakteri, endocarditis
bakterialis subakut dengan bakteremia, dan pada infeksi bakteri yang bersifat lokal. Oleh karena itu, jika
kondisi klinis pasien sesuai dengan sepsis bakterialis, pasien harus ditata laksana sesuai dengan diagnosis
sepsis meskipun kadar PCT tidak meningkat. Pemeriksaan PCT dapat dilakukan secara serial dalam 18
jam untuk mengonfirmasi diagnosis infeksi bakteri sehingga pemberian antimikroba dapat dihentikan
segera apabila kadar PCT tetap rendah. Pemeriksaan PCT relatif mahal bila dibanding dengan biomarker
lainnya seperti CRP. Hal tersebut dapat menjadi faktor penghalang dalam penggunaan PCT sebagai
biomarker pilihan di negara-negara berkembang.

Pada kondisi sehat, konsentrasi PCT plasma dibawah 0,05 ug/L namun pada pasien sepsis atau
syok septik dapat meningkat hingga 1.000 ug/L. kadar PCT pada umumnya rendah pada infeksi virus,
penyakit inflamasi kronik, serta kondisi terkait proses otoimun, sebagaimana ditunjukkan gambar di atas.

Kegunaan PCT dalam klinis

 Untuk mendeteksi infeksi serius seperti sepsis.


 Sebagai panduan untuk memberikan antibiotik empiris, misalnya pada bronchitis kronis dengan
eksaserbasi, community-acquired pneumonia (CAP), dan sepsis.
 Sebagai standar klinis untuk memantau apakah pengobatan antibiotik empiris efektif
 Pemeriksaan PCT serial dapat dipergunakan untuk menentukan penghentian antibiotik (terutama
apabila konsentrasi PCT telah menurun >50% dari pemeriksaan sebelumnya) sehingga
mengurangi hari perawatan.

Daftar Pustaka

1. Mohan A. dan Harikrishna J. Biomarkers for the diagnosis of bacterial infections: in pursuit of
the holy grail. Indian J of Med Research, 2015;141:271-3.
2. Qu J, LüX, Liu Y, Wang X. Evaluation of procalcitonin, C-reactive protein, interleukin-6 &
serum amyloid A as diagnostic biomarkers of bacterial infection in febrile patients. Indian J Med
Research, 2015;141:315-21.
3. Wacker C, Prkno A, Brunkhorst FM, Schlattmann P. Procalcitonin as a diagnostic marker for
sepsis: a systematic review and meta-analysis. The Lancet Infectious Diseases. 2013;13:426-35.
4. Hadinegoro SRS, Moedjito I, Hapsari D, Alam A. Buku Ajar Infeksi & Penyakit Tropis. IDAI,
2018;1:73-82.

Anda mungkin juga menyukai