AMANAT Upacara HSN
AMANAT Upacara HSN
أما بعد
Hari ini tahun keempat Keluarga Besar Nahdlatul Ulama dan seluruh rakyat
Indonesia memperingati Hari Santri. Setelah sebelumnya tugas kaum santri
diakui negara melalui Kepres No. 22 Tahun 2020 wacana Penetapan
Tanggal 22 Oktober sebagai HARI SANTRI, tahun ini kaum santri kembali
menerima penguatan negara melalui pengesahaan UU Pesantren.
Diharapkan melalui UU ini, santri dan pendidikan pesantren sanggup
meningkatkan tugas dan kontribusinya dalam pembangunan bangsa dan
negara melalui fungsi pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan masyarakat.
Jati diri santri ialah moralitas dan tabiat pesantren dengan kiai sebagai
simbol kepemimpinan spiritual (qiyâdah rūhâniyah). Karena itu, meskipun
santri telah melanglang buana, menempuh pendidikan hingga ke
mancanegara, ia dihentikan melupakan jati dirinya sebagai santri yang
hormat dan patuh pada kiai. Tidak ada kosakata bekas kiai atau bekas
santri dalam khazanah pesantren. Santri menempel sebagai stempel
seumur hidup, membingkai moral dan tabiat pesantren. Di hadapan kiai,
santri harus menanggalkan gelar dan titelnya, pangkat dan jabatannya, siap
berbaris di belakang kepemimpinan kiai.
Tujuan dedikasi santri ialah meninggikan kalimat Allah yang paling luhur
(li i’lâi kalimâtillâh allatî hiya al-ulyâ) yaitu tegaknya agama Islam
rahmatan lil alamin. Islam yang harus diperjuangkan bukan sekadar
kepercayaan dan syariah, tetapi ilmu dan peradaban (tsaqâfah wal-
hadlârah), budaya dan kemajuan (taqaddum wat tamaddun). Islam dalam
ethos santri ialah keterbukaan, kecendekiaan, toleransi, kejujuran, dan
kesederhanaan. Semangat inilah yang diwariskan oleh salafus shâlih, yang
telah mencontohkan cara bela agama yang benar. Islam pernah mencapai
zaman keemasan pada masa ke-7 hingga 13 M dengan ilmu dan peradaban.
Para filsuf dan ulama menyerupai Jabir ibn Hayyan (721-815 M), Al-Fazari
(w. 796/806 M), Al-Farghani (w. 870 M), Al-Kindi (801-873 M), Al-
Khawarizmi (780-850 M), Al-Farabi (874-950 M), Al-Mas’udi (896-956 M),
Ibn Miskawaih (932-1030 M), Ibn Sina (980-1037 M), Al-Razi (1149-1209
M), Al-Haitsami (w. 1039 M), Al-Ghazali (1058-1111 M), dan Ibn Rushd
(1126-1198 M) telah berjasa kepada dunia dengan pemberian mereka yang
tiada tara bagi ilmu pengetahuan dan kemanusiaan. Manfaatnya lintas
zaman, melampaui sekat agama dan bangsa. Dunia berterima kasih kepada
Islam alasannya ialah ilmu pengetahuan. Itulah cara bela Islam yang benar.
“Dan kecelakaan agama dari para pembela yang tidak tahu caranya itu
lebih besar daripada kecelakaan agama dari para pencela yang tahu
caranya.”