Anda di halaman 1dari 4

Hukum Seputar Darah Wanita: HAID

Bolehkah seorang wanita yang sedang haid masuk dan duduk di dalam masjid ?

Sebagian ulama melarang seorang wanita masuk dan duduk di dalam masjid dengan dalil:

‫ُأ‬
ٍ ُ ‫الَ ِحلُّ ْال َم ْس ِج ُد ِل َحاِئ‬
ٍ ُ‫ض َوال َ ُجن‬
‫ب‬

“Aku tidak menghalalkan masjid untuk wanita yang haidh dan orang yang junub.”
(Diriwayatkan oleh Abu Daud no.232, al Baihaqi II/442-443, dan lain-lain)

Akan tetapi hadits di atas merupakan hadits dho’if (lemah) meski memiliki beberapa syawahid
(penguat) namun sanad-sanadnya lemah sehingga tidak bisa menguatkannya dan tidak dapat
dijadikan hujjah. Syaikh Albani –rahimahullaah– telah menjelaskan hal tersebut dalam ‘Dho’if
Sunan Abi Daud’ no. 32 serta membantah ulama yang menshahihkan hadits tersebut seperti Ibnu
Khuzaimah, Ibnu al Qohthon, dan Asy Syaukani. Beliau juga menyebutkan ke-dho’if-an hadits
ini dalam Irwa’ul Gholil’ I/201-212 no. 193.

Berikut ini sebagian dalil yang digunakan oleh ulama yang membolehkan seorang wanita haid
duduk di masjid (Jami’ Ahkamin Nisa’ I/191-192):

1. Adanya seorang wanita hitam yang tinggal di dalam masjid pada zaman Nabi
shallallahu’alaihi wa sallam. Namun tidak ada dalil yang menyatakan bahwa Nabi
shallallahu’alaihi wa sallam memerintahkannya untuk meninggalkan masjid ketika ia
mengalami haidh.
2. Sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam kepada ‘Aisyah radhiyallahu’anha,
“Lakukanlah apa yang bisa dilakukan oleh orang yang berhaji selain thowaf di
Baitullah.” Larangan thowaf ini dikarenakan thowaf di Baitullah termasuk sholat, maka
wanita itu hanya dilarang untuk thowaf dan tidak dilarang masuk ke dalam masjid.
Apabila orang yang berhaji diperbolehkan masuk masjid, maka hal tersebut juga
diperbolehkan bagi seorang wanita yang haidh.

Kesimpulan:

Wanita yang sedang haid diperbolehkan masuk dan duduk di dalam masjid karena tidak ada dalil
yang jelas dan shohih yang melarang hal tersebut. Namun, hendaknya wanita tersebut menjaga
diri dengan baik sehingga darahnya tidak mengotori masjid.

Bolehkah seorang wanita yang sedang haid membaca Al Qur’an (dengan hafalannya) ?

Sebagian ulama berpendapat bahwa wanita yang haid dilarang untuk membaca Al Qur’an
(dengan hafalannya) dengan dalil:

ِ ْ‫الَ تَقرَِأ ْال َحا ءضُ َ َوالَ ْال ُجنُبُ َش ْيًئا ِمنَ ْالقُر‬
‫ان‬

“Orang junub dan wanita haid tidak boleh membaca sedikitpun dari Al Qur’an.” (Diriwayatkan
oleh Imam Tirmidzi I/236; Al Baihaqi I/89 dari Isma’il bin ‘Ayyasi dari Musa bin ‘Uqbah dari
Nafi’ dari Ibnu ‘Umar)

Kesimpulan dari komentar para imam ahli hadits mengenai hadits di atas adalah sanad hadits
tersebut lemah sehingga tidak dapat digunakan sebagai dalil untuk melarang wanita haid
membaca Al Qur’an.

Hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha beliau berkata, “Aku datang ke Mekkah sedangkan aku
sedang haidh. Aku tidak melakukan thowaf di Baitullah dan (sa’i) antara Shofa dan Marwah.
Saya laporkan keadaanku itu kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, maka beliau
bersabda, ‘Lakukanlah apa yang biasa dilakukan oleh haji selain thowaf di Baitullah hingga
engkau suci’.” (Hadits riwayat Imam Bukhori no. 1650)

Seorang yang melakukan haji diperbolehkan untuk berdzikir dan membaca Al Qur’an. Maka,
kedua hal tersebut juga diperbolehkan bagi seorang wanita yang haid karena yang terlarang
dilakukan oleh wanita tersebut -berdasar hadits di atas- hanyalah thowaf di Baitullah. (Jami’
Ahkamin Nisa’ I/183)

Kesimpulan:

Wanita yang sedang haid diperbolehkan untuk berdzikir dan membaca Al Qur’an karena tidak
ada dalil yang jelas dan shohih dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam yang melarang hal
tersebut. Wallahu Ta’ala a’lam.

Bolehkah seorang wanita yang sedang haid menyentuh mushhaf Al Qur’an ?

Telah terjadi perselisihan pendapat di kalangan ulama. Ulama yang melarang hal tersebut
berdalil dengan ayat:

َ‫الَّ يَ َم َّسةُ ِإالَّ ْال ُمطَهَّرُون‬

Artinya:

“Tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan.” (QS. Al Waqi’ah: 79)

ُّ‫ يَ ُمس‬maksudnya adalah menyentuh mushhaf al Qur’an. َ‫ ال ُمطَهَّرُون‬maksudnya adalah orang-orang


yang bersuci. Oleh karena itu tidak boleh menyentuh mushaf al Qur’an kecuali bagi orang-orang
yang telah bersuci dari hadats besar atau kecil.

Mereka juga berdalil dengan hadits Abu Bakar bin Muhammad bin ‘Amr bin Hazm dari
bapaknya dari kakeknya bahwasanya Nabi shallallahu’alaihi wa sallam menulis surat kepada
penduduk Yaman dan di dalamnya terdapat perkataan:

‫الَّ يَ َمسُّ ْالقُرْ اَنَ ِإالَّ طَا ِه ٌر‬

“Tidak boleh menyentuh Al Qur’an kecuali orang yang suci.” (Hadits Al Atsram dari Daruqutni)

Sanad hadits ini dho’if namun memiliki sanad-sanad lain yang menguatkannya sehingga menjadi
shahih li ghairihi (Irwa’ul Ghalil I/158-161, no. 122)

Ulama yang membolehkan wanita haid menyentuh mushhaf Al Qur’an memberikan penjelasan
sebagai berikut:

َ‫ب َّم ْكنُو ٍن الَّ يَ َم َّسهُ ِإالَّ ْال ُمطَهَّرُونَ تَتِري ٌل ِّمن رَّبِّ ْال َعا لَ ِمين‬ ٌ ‫ِإنَّهُ لَقُرْ َء‬
ٍ ‫ان َك ِر ْي ٌم فِي ِكتَا‬

Artinya:
“Sesungguhnya Al qur’an ini adalah bacaan yang sangat mulia pada kitab yang terpelihara.
Tidak menyentuhya kecuali (hamba-hamba) yang disucikan. Diturunkan oleh Robbul ‘Alamin.”
(QS. Al Waqi’ah: 77-80)

Kata ganti ‫( ﻪ‬-nya pada “Tidak menyentuhnya”) kembali kepada ‫( ﻛﺘﺎﺏ ﻣﻜﻨﻮﻥ‬Kitab yang
terpelihara). Ibnu ‘Abbas, Jabir bin Zaid, dan Abu Nuhaik berkata, “(yaitu) kitab yang ada di
langit”.

Adh Dhahhak berkata, “Mereka (orang-orang kafir) menyangka bahwa setan-setanlah yang
menurunkan Al Qur’an kepada Muhammad shallallaahu’alaihi wa sallam, maka Allah
memberitakan kepada mereka bahwa setan-setan tidak kuasa dan tidak mampu melakukannya.”
(Tafsir Ath Thobari XI/659).

Mengenai َ‫ ﺍﻟ ُﻤﻄَﻬَّﺮُﻭﻥ‬menurut pendapat beberapa ulama, di antaranya:

1. Ibnu ‘Abbas berkata, “Adalah para malaikat. Demikian pula pendapat Anas, Mujahid,
‘Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Adh Dhahhak, Abu Sya’tsa’ , Jabir bin Zaid, Abu Nuhaik, As
Suddi, ‘Abdurrohman bin Zaid bin Aslam, dan selain mereka.” [Tafsir Ibnu Katsir
(Terj.)]
2. Ibnu Zaid berkata, “yaitu para malaikat dan para Nabi. Para utusan (malaikat) yang
menurunkan dari sisi Allah disucikan; para nabi disucikan; dan para rasul yang
membawanya juga disucikan.” (Tafsir Ath Thobari XI/659)

Imam Asy Syaukani berkata dalam Nailul Author, Kitab Thoharoh, Bab Wajibnya Berwudhu
Ketika Hendak Melaksanakan Sholat, Thowaf, dan Menyentuh Mushhaf: “Hamba-hamba yang
disucikan adalah hamba yang tidak najis, sedangkan seorang mu’min selamanya bukan orang
yang najis berdasarkan hadits:

ُ‫ْال ُمْؤ ِمنُ الَ يَ ْنجُس‬

“Orang mu’min itu tidaklah najis.” (Muttafaqun ‘alaih)

Maka tidak sah membawakan arti (hamba) yang disucikan bagi orang yang tidak junub, haid,
orang yang berhadats, atau membawa barang najis. Akan tetapi, wajib untuk membawanya
kepada arti: Orang yang tidak musyrik sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala yang artinya,
“Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis.” (QS. At Taubah: 28)

Di samping itu lafadz yang digunakan dalam ayat tersebut adalah dalam bentuk isim maf’ul-nya
(orang-orang yang disucikan), bukan dalam bentuk isim fa’il (orang-orang yang bersuci). Tentu
hal tersebut mengandung makna yang sangat berbeda.

Mengenai hadits “Tidak boleh menyentuh Al Qur’an kecuali orang yang suci”, Syaikh
Nashiruddin Al Albani rahimahullah berkata, “Yang paling dekat -Wallahu a’lam- maksud
“orang yang suci” dalam hadits ini adalah orang mu’min baik dalam keadaan berhadats besar,
kecil, wanita haid, atau yang di atas badannya terdapat benda najis karena sabda beliau
shallallahu’alaihi wa sallam: “Orang mu’min tidakah najis” dan hadits di atas disepakati
keshahihannya. Yang dimaksudkan dalam hadits ini (yaitu hadits Tidak boleh menyentuh Al
Qur’an kecuali orang yang suci) bahwasanya beliau melarang memberikan kuasa kepada orang
musyrik untuk menyentuhnya, sebagaimana dalam hadits:

‫ض ْال َعدُو‬
ِ ْ‫نَهَى َأ ْن يُ َسا فَ َر بِا ْلقُرْ ا ِن ِإلَى َأر‬

“Beliau melarang perjalanan dengan membawa Al Qur’an menuju tanah musuh.” (Hadits
riwayat Bukhori). (Dinukil dari Larangan-larangan Seputar Wanita Haid dari Tamamul Minnah,
hal. 107).

Meski demikian, bagi seseorang yang berhadats kecil sedang ia ingin memegang mushaf untuk
membacanya maka lebih baik dia berwudhu terlebih dahulu. Mush’ab bin Sa’ad bin Abi Waqash
berkata, “Aku sedang memegang mushhaf di hadapan Sa’ad bin Abi Waqash kemudian aku
menggaruk-garuk. Maka Sa’ad berkata, ‘Apakah engkau telah menyentuh kemaluanmu?’ Aku
jawab, ‘Ya.’ Dia berkata, ‘Berdiri dan berwudhulah!’ Maka aku pun berdiri dan berwudhu
kemudian aku kembali.” (Diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Al Muwaththa’ dengan sanad
yang shahih)

Ishaq bin Marwazi berkata, “Aku berkata (kepada Imam Ahmad bin Hanbal), ‘Apakah seseorang
boleh membaca tanpa berwudhu terlebih dahulu?’ Beliau menjawab, ‘Ya, akan tetapi hendaknya
dia tidak membaca pada mushhaf sebelum berwudhu”.

Ishaq bin Rahawaih berkata, “Benar yang beliau katakan, karena terdapat hadits yang dari Nabi
shallallahu’alaihi wa sallam. Beliau bersabda, ‘Tidak boleh menyentuh Al Qur’an kecuali orang
yang suci’ dan demikian pula yang diperbuat oleh para shahabat Nabi shallallahu’alaihi wa
sallam.” (Dari Larangan-larangan Seputar Wanita Haid, dari Irwaul Gholil I/161 dari Masa’il
Imam Ahmad hal. 5)

Abu Muhammad bin Hazm dalam Al Muhalla I/77 berkata, “Menyentuh mushhaf dan berdzikir
kepada Allah merupakan ibadah yang diperbolehkan untuk dilakukan dan pelakunya diberi
pahala. Maka barangsiapa yang melarang dari hal tersebut, maka ia harus mendatangkan dalil.”
(Jami’ Ahkamin Nisa’ I/188).
Materi Keputrian
Bagaimana Menghitung Masa Haid?
Dikatakan bahwa ilmu tentang haid adalah ilmu yang paling sulit, dan banyak yang
berkesimpulan salah tentang hukum haid, disebabkan masalah-masalah seputar haid begitu
komplek. Haid adalah masalah umum dan tidak bisa dihindari dalam kehidupan sehari-hari, dan
tidak bisa lepas dari hukum syariah, karena haid berkaitan dengan ibadah, seperti shalat dan
puasa dan berkaitan dengan hubungan suami isteri. Karena itu para fuqaha memutuskan bahwa
belajar ilmu haid hukumnya wajib ain bagi seorang wanita. Jika suami mampu mengajarinya,
maka wajib baginya. Jika tidak, suami haram melarang isterinya belajar haid kepada orang lain,
kecuali ia sendiri yang belajar lalu mengajarkannya kepada isterinya.
Sebagai langkah awal menghitung masa haid ialah mengerti apa definisi haid. Haid ialah
darah yang keluar dari rahim wanita melalui farji atas dasar sehat dan menjadi kebiasaan tanpa
disebabkan melahirkan.
Awal mula seorang wanita berkemungkinan mengalami haid ialah saat ia memasuki usia
9 tahun kurang 16 hari, (dihitung per bulan : 30 hari). Darah yang keluar di bawah usia itu bukan
darah haid.
Masa terpendek keluarnya darah haid ialah selama sehari semalam atau selama 24 jam
tanpa henti. Dan masa terpanjang ialah 15 hari/malam, dengan masa keluarnya darah mencapai
24 jam, dihitung dari awal keluar darah.
Keluarnya darah haid bisa terus-menerus (ittishal), dan bisa juga terputus-putus
(inqitha'). Darah disebut inqitha' (terputus/mampet) jika darah tidak keluar sama sekali. Untuk
mengetahui bahwa darah telah mampet yaitu dengan cara memasukkan sepotong kapas ke liang
farji. Jika kapas masih bersih setelah diangkat, maka dipastikan darah telah mampet. Jika basah
oleh darah, meski tidak berwarna darah, maka darah haid masih belum mampet. Setelah
mengetahui masa terpendek dan masa terpanjang keluarnya darah haid, perlu juga diketahui
bahwa masa suci terpendek diantara dua kali masa haid adalah 15 hari/malam.

Menghitung Masa Haid

1. Darah yang keluar tidak mencapai 24 jam, meskipun berlangsung hingga 15 hari/malam
(secara terputus-putus) tidak disebut haid, tapi disebut istihadhoh (suci)
2. Darah yang keluar mencapai 24 jam, meskipun berlangsung hingga 15 hari/malam
(terputus-putus atau terus-menerus), disebut darah haid semuanya. Darah yang masih
keluar sesudah berlangsung hingga 15 hari/malam adalah darah istihadhoh (suci)
3. Darah keluar mencapai 24 jam meskipun tidak mencapai 15 hari/malam, lalu mampet
dengan lama mencapai 15 hari/malam maka masa mampetnya darah adalah masa suci.
Jika setelah itu darah keluar lagi, maka lihat no 1 dan 2.
4. Darah keluar mencapai 24 jam meskipun tidak mencapai 15 hari, mampet sebentar lalu
keluar lagi hingga mencapai 15 hari/malam dihitung dari awal mampetnya darah pertama,
maka masa mampetnya darah plus masa keluar darah kedua sebelum 15 hari dari awal
mampetnya darah adalah masa suci. Selebihnya adalah darah haid.

Wanita yang merasa keluar darah pada usia-usia yang dimungkinkan haid harus segera menjauhi
perkerjaan-pekerjaan yang diharamkan bagi wanita haid, tidak perlu menunggu berlangsungnya
masa keluar darah hingga sehari semalam. Bila ternyata sebelum sehari semalam darah sudah
mampet, segeralah mengqodloi shalat puasa yang ditinggalkan dan tidak usah mandi, karena
darah bukan haid.

Wanita yang merasa darah terhenti setelah berlangsung mencapai 24 jam, harus segera mandi
dan melakukan kewajiban dan boleh jima'. Bila ternyata sebelum mencapai 15 hari/malam
dihitung dari awal keluar darah, ia merasa keluar darah lagi, maka tinggalkan shalat dan
berhentilah berpuasa serta jangan jima', karena ia masih dalam masa haid. Untuk jima' yang
dilakukan semasa terhentinya darah diatas, tidak apa-apa hukumnya. Wallau A'lam

Anda mungkin juga menyukai