Kesetaraan Gender Dalam Budaya Patriarki 24 April 2014 15
Kesetaraan Gender Dalam Budaya Patriarki 24 April 2014 15
memperhatikan nasib kaum wanita saat zaman penjajahan dengan negara Belanda. Tidak bisa
dipungkiri, nasib kaum wanita yang termaginalkan saat zaman penjajahan menjadi latar
wanita. Seiring dengan berkembangnya waktu, isu kesetaraan gender bagi kaum wanita dan
pria pun terangkat di permukaan sebagai wujud dari bentuk protes posisi kaum wanita yang
lemah karena didukung berlakunya budaya patriarki yang menekankan bahwa kedudukan
pria adalah mutlak sebagai pemimpin dan mempunyai derajat yang lebih tinggi daripada
wanita. Dalam budaya patriarki secara eksplisit terungkap bahwa wanita mempunyai
kebutuhan kaum pria) , mainan (penghibur kaum pria) dan penghasil keturunan . Sangat
tergambar dengan jelas bahwa wanita tidak mempunyai kemandirian dan hidup hanya
tergantung dari kaum pria. Hal ini terjadi secara turun temurun karena didukung tidak adanya
kemampuan/daya saing seorang wanita untuk bisa menunjukkan eksistensi diri karena
terbatasnya akses pendidikan yang membatasi kaum wanita pada jaman penjajahan Belanda.
RA Kartini memandang perlunya pendidikan sebagai pintu utama mengangkat derajat kaum
wanita untuk mengimbangi budaya patriarki yang semakin melampaui batas sehingga
Dengan berbekal referensi dari koresponden teman-teman wanita di luar negeri, RA Kartini
pendidikan . Dalam perkembangannya, saat ini telah banyak kita temui peran wanita yang
telah berkembang dalam pembangunan, ketenaga kerjaan hingga mencapai lintas gender
tentunya tidak terlepas dari perjuangan kaum feminis sebagai penerus RA Kartini .
Pemerintah ikut mengupayakan keadilan bagi semua gender, tidak ada yang lebih rendah atau
lebih tinggi . Tidak ada pengecualian gender dalam memperoleh pendidikan, lapangan kerja
bahkan mengutamakan quota 30% bagi perwakilan perempuan dalam parlemen. Namun
adanya kesetaraan gender yang semakin pesat perkembangannya, tidak serta merta
menghilangkan begitu saja praktik tindakan semena-mena terhadap wanita berkurang. Masih
banyak kita temukan di sekitar kita kasus KDRT yang masih tinggi akibat adanya
pemahaman budaya patriarki yang sempit oleh pria maupun wanita. Berlakunya budaya
patriarki yang sampai sekarang masih dianut oleh masyarakat membuat sebagian kaum
wanita atas nama kesetaraan gender menjadi tidak nyaman dengan posisi sebagai warga
“kelas dua”. Pandangan yang sempit dalam budaya patriarki mendukung kaum pria
gerakan kaum feminis yang menentang anggapan bahwa wanita hanya berperan dalam urusan
domestik lokal hingga yang beranggapan bahwa pernikahan sebagai ‘’ladang subur’’ praktik
patriarki bisa menghambat eksistensi seorang wanita, nyata-nyata sangat bertentangan dengan
kodrat dan budaya patriarki yang masih dianut hingga saat ini. RA Kartini pun bukan seorang
yang menentang adanya budaya patriarki. Beliau juga menjalankan perannya sebagai seorang
istri yang mengabdi kepada suami. Tentunya RA Kartini tidak ingin perjuangannya dalam
mengangkat derajat wanita berkembang menjadi bumerang dan menghambat kaum wanita
untuk menjalankan kodratnya karena tidak mampu untuk menyeimbangkan antara kodrat dan
keinginan untuk aktualisasi diri. Hidup dalam budaya patriarki bukan berarti kita semata-
mata hanya menjalankan kodrat dengan membiarkan diri sebagai wanita konvensional yang
tidak menyesuaikan dengan perubahan jaman hingga berlarut-larut terintimidasi oleh kaum
pria yang sangat fatal akibatnya bagi psikologis pendidik generasi penerus. Namun
hendaknya juga memandang kesetaraan gender sebagai suatu jalan untuk lebih memantaskan
diri bagi wanita untuk tidak sekedar menjadi objek dan bukan memandang kesetaraan gender
dalam makna yang sempit yaitu untuk menggantikan posisi kaum pria sebagai pemimpin
tetapi untuk meningkatkan kualitas wanita dalam posisinya yang sejajar dengan kaum pria.
Untuk membuat kaum wanita menjadi lebih tau hak dan kewajibannya sebagai bekal untuk