Anda di halaman 1dari 3

Kesetaraan Gender dalam Budaya Patriarki

Oleh ; Dra Yohana Afra Baboraki


Ketua LPS Peduli Kasih Kab. Ende

Sudah sepatutnya kita berterimakasih kepada RA Kartini dengan perjuangannya yang

memperhatikan nasib kaum wanita saat zaman penjajahan dengan negara Belanda. Tidak bisa

dipungkiri, nasib kaum wanita yang termaginalkan saat zaman penjajahan menjadi latar

belakang RA Kartini dalam memulai perjalanan panjangnya mengangkat derajat kaum

wanita. Seiring dengan berkembangnya waktu, isu kesetaraan gender bagi kaum wanita dan

pria pun terangkat di permukaan sebagai wujud dari bentuk protes posisi kaum wanita yang

lemah karena didukung berlakunya budaya patriarki yang menekankan bahwa kedudukan

pria adalah mutlak sebagai pemimpin dan mempunyai derajat yang lebih tinggi daripada

wanita. Dalam budaya patriarki secara eksplisit terungkap bahwa wanita mempunyai

kedudukan sebagai ‘milik’ kaum pria , pelayan/asisten (melayani/membantu memenuhi

kebutuhan kaum pria) , mainan (penghibur kaum pria) dan penghasil keturunan . Sangat

tergambar dengan jelas bahwa wanita tidak mempunyai kemandirian dan hidup hanya

tergantung dari kaum pria. Hal ini terjadi secara turun temurun karena didukung tidak adanya

kemampuan/daya saing seorang wanita untuk bisa menunjukkan eksistensi diri karena

terbatasnya akses pendidikan yang membatasi kaum wanita pada jaman penjajahan Belanda.

RA Kartini memandang perlunya pendidikan sebagai pintu utama mengangkat derajat kaum

wanita untuk mengimbangi budaya patriarki yang semakin melampaui batas sehingga

membuat wanita terbelenggu dalam kebodohan dan semakin terinjak-injak derajatnya .

Dengan berbekal referensi dari koresponden teman-teman wanita di luar negeri, RA Kartini

bertekad untuk memperjuangkan kaum wanita khususnya dalam memperoleh akses

pendidikan . Dalam perkembangannya, saat ini telah banyak kita temui peran wanita yang

telah berkembang dalam pembangunan, ketenaga kerjaan hingga mencapai lintas gender
tentunya tidak terlepas dari perjuangan kaum feminis sebagai penerus RA Kartini .

Keberadaan Undang-Undang yang mendukung kesetaraan gender sebagai bukti bahwa

Pemerintah ikut mengupayakan keadilan bagi semua gender, tidak ada yang lebih rendah atau

lebih tinggi . Tidak ada pengecualian gender dalam memperoleh pendidikan, lapangan kerja

bahkan mengutamakan quota 30% bagi perwakilan perempuan dalam parlemen. Namun

adanya kesetaraan gender yang semakin pesat perkembangannya, tidak serta merta

menghilangkan begitu saja praktik tindakan semena-mena terhadap wanita berkurang. Masih

banyak kita temukan di sekitar kita kasus KDRT yang masih tinggi akibat adanya

pemahaman budaya patriarki yang sempit oleh pria maupun wanita. Berlakunya budaya

patriarki yang sampai sekarang masih dianut oleh masyarakat membuat sebagian kaum

wanita atas nama kesetaraan gender menjadi tidak nyaman dengan posisi sebagai warga

“kelas dua”. Pandangan yang sempit dalam budaya patriarki mendukung kaum pria

melegalkan tindakan semena-mena terhadap kaum wanita. Sehingga muncul macam-macam

gerakan kaum feminis yang menentang anggapan bahwa wanita hanya berperan dalam urusan

domestik lokal hingga yang beranggapan bahwa pernikahan sebagai ‘’ladang subur’’ praktik

patriarki bisa menghambat eksistensi seorang wanita, nyata-nyata sangat bertentangan dengan

kodrat dan budaya patriarki yang masih dianut hingga saat ini. RA Kartini pun bukan seorang

yang menentang adanya budaya patriarki. Beliau juga menjalankan perannya sebagai seorang

istri yang mengabdi kepada suami. Tentunya RA Kartini tidak ingin perjuangannya dalam

mengangkat derajat wanita berkembang menjadi bumerang dan menghambat kaum wanita

untuk menjalankan kodratnya karena tidak mampu untuk menyeimbangkan antara kodrat dan

keinginan untuk aktualisasi diri. Hidup dalam budaya patriarki bukan berarti kita semata-

mata hanya menjalankan kodrat dengan membiarkan diri sebagai wanita konvensional yang

tidak menyesuaikan dengan perubahan jaman hingga berlarut-larut terintimidasi oleh kaum

pria yang sangat fatal akibatnya bagi psikologis pendidik generasi penerus. Namun
hendaknya juga memandang kesetaraan gender sebagai suatu jalan untuk lebih memantaskan

diri bagi wanita untuk tidak sekedar menjadi objek dan bukan memandang kesetaraan gender

dalam makna yang sempit yaitu untuk menggantikan posisi kaum pria sebagai pemimpin

tetapi untuk meningkatkan kualitas wanita dalam posisinya yang sejajar dengan kaum pria.

Untuk membuat kaum wanita menjadi lebih tau hak dan kewajibannya sebagai bekal untuk

membentengi diri dari tindakan yang semena-mena.

Anda mungkin juga menyukai