Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

“HASIL PEMBELAJARAN PASRAMAN KILAT”

Disusun oleh :
SAYU PUTU PURNAMI
XI TBSM

SMK NEGERI 1 RAMAN UTARA


KECAMATAN RAMAN UTARA
LAMPUNG TIMUR
2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala
rahmat-Nya sehingga makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak
lupa kami mengucapkan terima kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah
berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya.

Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah


pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh
lagi agar makalah ini bisa pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Bagi
kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami.
Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Raman Utara, Juni 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman Judul ............................................................................................. i


Kata Pengantar ............................................................................................ ii
Daftar Isi ..................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ...........................................................................
A. Latar Belakang ................................................................................1
B. Rumusan Masalah ...........................................................................1
C. Tujuan..............................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................
A. Aksara Bali .....................................................................................2
B. Dharma Wacana ..............................................................................4
C. Canang Caru/Banten Caru ..............................................................11
BAB III PENUTUP.....................................................................................
A. Kesimpulan .....................................................................................14
B. Saran.................................................................................................14
LAMPIRAN.................................................................................................

iii
BAB I

PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Istilah pasraman mengacu kepada lembaga pendidikan, lembaga
pendidikan yang dimaksud adalah lembaga pendidikan agama dan
keagamaan Hindu. Istilah ini muncul sebagai bentuk hegemoni Hindu
dalam lingkup pendidikan, tidak hanya pada pelaksanaan ritual-ritual
semata, namun Hindu juga berkembang melalui proses-proses pendidikan.
Keberadaan pasraman memiliki posisi yang cukup penting dalam
kemajuan pendidikan khususnya bagi umat Hindu, dimana konsep
pembelajaran pada pasraman tidak hanya melatih penguatan kecerdasan
pada lingkup intelektualitas, namun menyeimbangkan kecerdasan
emosional dan spiritual untuk membentuk proses pendidikan yang utuh.
Begitu penting keberadaan pasraman namun belum mampu menyentuh
kesadaran masyarakat khususnya umat Hindu untuk dapat memotivasi
generasi muda Hindu menempuh pendidikan pada lembaga-lembaga
pasraman.

2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Bentuk Aksara Bali ?
2. Apa pengertian Dharma Wacana ?
3. Apa pengertian Canang caru ?

3. Tujuan
1. Mengetahui bentuk aksara bali
2. Mengetahui arti dharma wacana
3. Mengetahui arti cananng caru dan fungsinya

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. AKSARA BALI
1. Pengertian
Aksara Bali, juga dikenal sebagai Hanacaraka, adalah salah satu aksara
tradisional Indonesia yang berkembang di Pulau Bali. Aksara ini
terutama digunakan untuk menulis bahasa Bali, Sanskerta, dan Kawi,
tetapi dalam perkembangannya juga digunakan untuk menulis
beberapa bahasa daerah lainnya seperti bahasa Sasak dan Melayu
dengan tambahan dan modifikasi. Aksara Bali merupakan turunan dari
aksara Brahmi India melalui perantara aksara Kawi dan berkerabat
dekat dengan aksara Jawa. Aksara Bali aktif digunakan dalam sastra
maupun tulisan sehari-hari masyarakat Bali sejak pertengahan abad ke-
15 hingga kini dan masih diajarkan di Bali sebagai bagian dari muatan
lokal, meski penerapannya dalam kehidupan sehari-hari telah
berkurang.
Aksara Bali adalah sistem tulisan abugida yang terdiri dari sekitar 18
hingga 33 aksara dasar, tergantung dari penggunaan bahasa yang
bersangkutan. Seperti aksara Brahmi lainnya, setiap konsonan
merepresentasikan satu suku kata dengan vokal inheren /a/ yang dapat
diubah dengan pemberian diakritik tertentu. Arah penulisan aksara
Bali adalah kiri ke kanan. Secara tradisional aksara ini ditulis tanpa
spasi antarkata (scriptio continua) dengan sejumlah tanda baca.
2. Sejarah Aksara Bali
Akar paling tua dari aksara Bali adalah aksara Brahmi India yang
berkembang menjadi aksara Pallawa di Asia Selatan dan Tenggara
antara abad ke-6 hingga 8. Aksara Pallawa kemudian berkembang
menjadi aksara Kawi yang digunakan sepanjang periode Hindu-
Buddha Indonesia antara abad ke-8 hingga 15. Di berbagai daerah
Nusantara, aksara Kawi kemudian berkembang menjadi aksara-aksara
tradisional Indonesia yang salah satunya adalah aksara Bali.

2
Aksara Bali kebanyakan ditemukan dalam media lontar, yakni daun
palem yang telah diolah sedemikian rupa hingga dapat ditulisi. Media
ini telah digunakan di Indonesia sejak periode Hindu-Buddha dan
memiliki rekam jejak penggunaan yang panjang di seantero Asia
Selatan dan Asia Tenggara. Di Bali, palem yang digunakan sebagai
bahan dasar lontar adalah palem tal (Borassus flabellifer, disebut juga
palem siwalan). Hanya palem dari tempat-tempat tertentu yang
daunnya layak dipakai untuk dijadikan media tulis, dan di Bali palem
yang dianggap paling baik berasal dari daerah kering di utara
kabupaten Karangasem, di sekitar Culik, Kubu, dan Tianyar. Daun
palem dipetik pada bulan-bulan tertentu ketika daun palem sudah
cukup berkembang namun belum menjadi terlalu tua, umumnya sekitar
bulan Maret–April atau September–Oktober.[3] Daun yang telah dipetik
kemudian dibelah dan dijemur, proses ini membuat warna daun yang
semula hijau menjadi kekuningan. Setelah itu, daun direndam di dalam
air selama beberapa hari, digosok, kemudian dijemur kembali. Setelah
pengeringan kedua, lidi tiap daun dibuang. Daun kering kemudian
direbus dalam campuran herbal yang bertujuan untuk mengeraskan dan
memperkuat lontar. Setelah direbus selama kurang lebih 8 jam, daun
diangkat, kemudian dijemur kembali namun dibasahi secara berkala.
Berikutnya, daun ditekan dengan alat penjepit yang disebut
pamlagbagan atau pamĕpĕsan agar permukaannya mulus dan rata.
Daun ditekan selama kurang lebih 15 hari, tetapi dikeluarkan secara
berkala untuk digosok dan dibersihkan. Setelah dianggap cukup mulus,
daun dipotong sesuai ukuran pesanan, dilubangi, dan diberi garis
bantu; lembar lontar kini siap ditulisi.

3. Bentuk Aksara Bali


a. Aksara
Aksara merupakan huruf dasar yang merepresentasikan satu suku kata.
Aksara Bali memiliki sekitar 45 aksara dasar, tetapi tidak semuanya
digunakan dengan setara. Dalam perkembangannya, terdapat aksara

3
yang tidak lagi dibedakan secara fonetis dan hanya digunakan untuk
ejaan etimologis dalam konteks tertentu sehingga huruf-huruf dalam
aksara Bali dikelompokkan ke dalam beberapa jenis berdasarkan
fungsi dan penggunaannya.

b. Wyañjana
Aksara wyañjana adalah aksara konsonan dengan vokal inheren /a/.
Sebagai salah satu aksara turunan Brahmi, aksara Bali memiliki 33
aksara wyañjana untuk menuliskan 33 bunyi konsonan yang digunakan
dalam bahasa Sanskerta dan Kawi. Bentuknya dapat dilihat
sebagaimana berikut :

B. DHARMA WACANA SINGKAT

4
1. Pengertian
dharma wacana adalah metode penerangan agama Hindu yang artinya
berbicara mengenai ajaran agama atau dharma. Disampaikan pada setiap
kesempatan umat Hindu melaksanakan kegiatan yang berkaitan dengan
keagamaan, bisa dikatakan dharma wacana itu sama dengan pidarta atau
pidato, hanya saja cara pembawaannya lebih lembut. Topiknya berkisar
tentang moral, adat, dan agama. Dharma Wacana diberikan secara umum
kepada umat Hindu sesuai dengan sifat, tema, bentuk jenis kegiatan
keagamaan tersebut, meliputi desa (tempat), kala (waktu) dan patra (keadaan).
Di masa lalu, metode penerangan semacam ini biasa disebut Upanisada.
Upanisada adalah bagian dari kitab Sruthi dan mengandung arti dan sifatnya
yang Rahasyapadesa. Ajaran Upanisad dahulu sering dihubungkan dengan
“Pawisik” yaitu ajaran rahasia dari seorang guru kerohanian kepada muridnya
dalam jumlah yang sangat terbatas.
Pendharma wacana disebut juga dengan Dharma pracaraka. Tugasnya
menyebarkan ajaran agama yang terdapat dalam kitab suci Weda. Dalam kitab
suci Weda dikatakan bahwa persembahan ilmu pengetahuan nilainya lebih
tinggi dari pada persembahan materi. Sehingga untuk memperluas wawasan
dan memperdalam penghayatan nilai spiritual agama Hindu itulah dilakukan
Dharma Wacana.
Materi Dharma Wacana yang disampaikan pada setiap kegiatan keagamaan
yang ada, pada dasarnya meliputi semua aspek ajaran agama Hindu yang
dikaitkan dengan kehidupan. Aspek ajaran ini dapat diklasifikasikan kedalam
Smerthi, Sruthi, Itihasa, Purana dan Sang Sistha. Sementara penyampaian
materinya disesuaikan dengan jenis kegiatan itu sendiri. Contohnya kegiatan
persembahyangan bersama hari purnama dan tilem, arisan, resepsi
perkawinan, dan sejenisnya. Maka materi yang diungkap adalah beberapa
sloka/ayat kitab suci yang sesuai dengan tema dan jenis kegiatan tersebut.
Dharma Wacana hasilnya akan sangat baik dan lebih memuaskan jika
disampaikan melalui bahasa yang mudah dimengerti, dihayati dan diresapi
serta mampu memukau hadirin. Untuk tujuan inilah penggunaan istilah-istilah
dan kata asing dihindari, kecuali istilah yang belum atau tidak ada padanan

5
katanya. Bahasa yang digunakan dalam Dharma Wacana adalah bahasa
Indonesia atau bahasa daerah setempat. Hal ini dikarenakan umat Hindu
banyak terdapat di Bali, sehingga banyak digunakanlah Dharma Wacana
dalam bahasa Bali.

2. Contoh Dharma Wacana Singkat

Om Swastyastu,
Om  Annobadrahkrtavoyantu Visvatah

Rasa angayu bagya serta puji syukur saya panjatkan kehadirat Ida Sang Hyang
Widhi Wasa / Tuhan Yang Maha Esa, karena atas asung kertha wara nugraha
Beliau, saya, Ni Luh Sundra Kristyani, Mahasiswi Institut Hindu Dharma Negeri
Denpasar pada kesempatan ini dapat menyampaikan sebuah wacana dharma
dalam parade dharma wacana BALI TV 2011. Begitu pula pemirsa setia BALI
TV di seluruh Nusantara semoga selalu dalam keadaan sehat dan tanpa
kekurangan suatu apapun. Pada kesempatan yang maha mulia ini saya akan
menyampaikan sebuah dharma wacana yang berjudul “Tri Parartha, Sebagai
Dasar Dalam Kehidupan Berbhinneka”

Umat sedharma yang saya mulyakan,


Seorang Mahakawi yang bergelar Mpu Tantular dalam karyanya Kitab Sutasoma
menyatakan :
“ Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa”
Artinya: “ berbeda-beda itu, tetapi pada hakekatnya adalah satu, tidak ada
kebenaran yang kedua.
Sebuah contoh, Pak Nyoman pagi hari pergi ke kantor mengenakan seragam dinas
kepolisian disebutlah ia “Pak Polisi”, sepulang dari kantor ia mengganti
pakaiannya dan mengambil cangkul lalu pergi ke sawah, maka disebutlah ia “Pak
Tani”, ketika hari senja ia kembali ke rumah untuk berkumpul bersama putra-putri
dan istrinya, disebutlah ia “ayah dan suami”. Yang disebut Pak Polisi, Pak Tani,
Ayah dan Suami beliau adalah satu, yaitu Pak Nyoman.

6
Contoh lain dalam lingkup yang lebih luas, kita menjumpai tata cara
mengamalkan Agama Hindu yang didukung dengan tata cara adat istiadat Budaya
Bali. Di Pulau Jawa tentunya didukung dan diterapkan sesuai dengan adat istiadat
Jawa.  Demikian pula halnya di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan berbagai
daerah lainnya. Antara satu orang dengan orang lain, antara satu daerah dengan
daerah lain, itu berbeda. Walaupun kita sama-sama Hindu, tetapi cara
pengamalannya yang berbeda.
Kita simak petikan sloka yang tertulis dalam Bhagawadgita: IV-11 berikut:
            Ye yatha mam prapadyante
            Tams tathai ‘va bhajami aham
            Mama vartma ‘nuvartante
Manusyah partha sarvasah.
Artinya :
Jalan manapun yang ditempuh manusia kepada-Ku semuanya Ku terima. Dari
mana-mana mereka semua menuju jalan-Ku.
Lantas mengapa justru perbedaan itu senantiasa menimbulkan perpecahan?
Kita ketahui bersama, berbagai macam hiruk pikuk kehidupan begitu jelas
terpangpang di depan mata. Coba kita merenung sejenak,bagaimana sepak terjang
manusia sekarang dalam menjalani kehidupan ini, tidak jarang kita melihat di
media massa maupun dilingkungan tempat tinggal kita berbagai macam peristiwa
yang membuat kita miris dan tercengang menyaksikanya.
Ada seorang filusuf Cina pada abad ke 400 SM yaitu Composius menyatakan :
“Dengan melihat aku tahu, dengan mendengar aku mengerti, dengan menjalani
aku paham”.
Dalam realita, ada yang mengagung-agungkan Tuhannya sebagai yang paling
mulia sehingga menjelek-jelekkan kepercayaan atau agama lain, ada yang
menganggap lingkungan daerahnya yang paling bagus sehingga daerah lain
merasa tidak perlu untuk dijaga, tidak perlu untuk dilestarikan. Ada yang
menyatakan orang-orang dikaumnyalah yang paling hebat, paling berkuasa,
sehingga orang lain menjadi tidak dihormati, saling menjatuhkan, saling cemburu
dan bermusuhan.  Hal inilah pemicu timbulnya perpecahan, tidak ada rasa syukur

7
hingga menjadi konflik yang berkepanjangan, bahkan kerusuhan sama seperti
yang melanda Bali pada beberapa pekan lalu.
Umat sedharma yang berbahagia,
Manusia selain sebagai mahluk individu sekaligus sebagai mahluk sosial,
yangtidak akan terlepas dari kehidupan bermasyarakat. Untuk menciptakan
kehidupan yang tentram dan damai maka kita harus menjaga hubungan yang
harmonis yang dalam ajaran Agama Hindu disebut dengan Tri Hita Karana, yaitu
hubungan yang harmonis antara manusia dengan Sang Pencipta, antara manusia
dengan sesama manusia, begitu pula antara manusia dengan lingkungan alam.
Selain itu, upaya untuk mewujudkan tatanan hidup yang bahagia dan sejahtera
dapat dilakukan dengan berbagai cara,  salah satunya dengan memahami dan
menerapkan ajaran Tri Parartha yakni asih, punyadan bhakti.
Selanjutnya saya akan menyampaikan tentang apa arti dan makna dari Tri
Parartha tersebut. Tri berarti tiga, Parartha berartikesempurnaan, kebahagiaan,
keselamatan, kesejahteraan, keagungan, dan kesukaan hidup umat manusia.
Sehingga Tri Parartha adalah tiga prihal yang dapat menyebabkan terwujudnya
kesempurnaan, kebahagiaan, keselamatan, kesejahteraan, keagungan dan
kesukaan hidup umat manusia. Adapun tiga prihal yang dimaksudkan tersebut,
diantaranya :
1. Asih
Asih berarti cinta kasih atau kasih sayang. Kita mulai mencintai diri
sendiri, mencintai sesama dan mencintai alam  lingkungan sekalipun kita
berbeda.Melalui perbedaan ini akan memunculkan saling introspeksi satu
sama lain. Karena tidak satupun manusia diciptakan sempurna. Ketika kita
mencintai diri sendiri, sudah tentu pikiran, perkataan dan perbuatan kita
jaga, itulah sesungguhnya pengendalian indria yang diungkap dalam
ajaran Tri Kaya Parisudha. Cinta kasih juga dapat kita temukan dalam
konsep Tat Twam Asidengan hakekatnya bermuara dari kasih sayang yang
diaktualisasikan kedalam bentuk sikap yang memandang segala mahluk
adalah sama, “vasudeva kutumbakam”. Andai saja cinta kasih yang
dimiliki setiap manusia  dipelihara dan diarahkan dengan baik, meskipun
kita berbeda, kita akan temui ketentraman dan kedamaian itu.Cinta kasih

8
dalam pikiran adalah kebenaran, dalam ucapan adalah kejujuran, dalam
perbuatan adalah kebajikan, dan cinta kasih dalam perasaan adalah
kedamaian.
                Kitab suci Rg Veda, X. 191.4 menyebutkan sebagai berikut :
                        “ Samani va akutih, samana hrdayani vah,
                           Samanam astu vo mano, yatha va susahasati “
artinya:
“Samalah hendaknya tujuanmu, samalah hendaknya hatimu, samalah hendaknya
pikiranmu, dengan demikian semoga semua hidup bahagia bersama – sama”.

2. Punya
Punya berarti dermawan, tulus dan iklas. Dalam Yajur Veda XL.1
disebutkan sebagai berikut :
“ Īsā vāsyam idam śarvam yat kim ca, jagatyām jagat tena tyaktena,
bhuñjῑthā mā gadhah kasya svid dhanam”
Yang artinya,“Semestinya dipahami bahwa segalanya diresapi oleh Ida Sang
Hyang Parama Kawi, segala yang bergerak dan yang tak bergerak dialam semesta
ini. Hendaknya, orang tidak terikat dengan berbagai kenikmatan dan tidak rakus
serta menginginkan milik orang lain”.
Punya dalam arti luas juga termasuk pelayanan, dalam bahasa Sansekerta disebut
dengan sevanamdan dalam bahasa Bali diidentikkan dengan kata ngayah atau
melayani. Berpunia terhadap  sesama ciptaan-Nyasekalipun antara satu dan yang
lainnya tidaklah sama. Perbedaan ini dimaksudkan agar kita mengetahui
kelemahan dan kelebihan masing-masing, sehingga bisa untuk saling tolong
menolong. Danketika kita memberikan pertolongan baik berupa jasa ataupun
materi, agar didasari olehketulusan dan keiklasan tanpa mengharapkan suatu
imbalan.

3. Bhakti
Bhakti artinya hormat, sujud kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa
karena Ialah yang menciptakan semua ini dan yang akan memberi kita
keselamatan. Pustaka suci Ṛgveda X.7.3 menyebutkan sebagai berikut :

9
“ Agniṁ manye pitaram agnim āpim agniṁ bhrātaraṁ sadami sakhāyam, agner
anῑkaṁ bṛhatah saparyaṁ divi śukraṁ yajataṁ sūryasya“
Yang artinya :
“Tuhan Yang Maha Kuasa yang kami yakini sebagai bapak kami, ibu kami, sanak
saudara dan  keluarga kami, kami puja Engkau sebagai yang memiliki wajah yang
agung, sinar suci Surya di langit”.
Walaupun berbeda gelar yang diberikan kepada-Nya, berbeda tata cara untuk
bersujud dan berbhakti terhadap-Nya, namun ialah yang esa, ekam sat viprah
bahuda vadanti. Begitu pula halnya kepada sesama manusia kita harus saling
hormat menghormati, harga menghargai karena dihadapan-Nya kita semua sama,
yang membedakan hanyalahamal perbuatan yang kita lakukan.
Asih, punya dan bhakti adalah ajaran agama yang patut dijadikan pedoman untuk
menumbuhkan sikap mental masing – masing pribadi agar tidak terikat oleh
pengaruh benda duniawi. Cinta kasih melandasi segalanya, kita melaksanakan
punya karena cinta kasih dan berbhakti pula atas dasar kasih sayang. Dengan
mengamalkannya senantiasa mampu menciptakan keharmonisan dan kedamaian,
sesuai tujuan Agama Hindu yakniMoksartam Jagadhitaya Ca Iti Dharma.
Umat sedharma yang saya hormati,
Sebagai kesimpulan dari dharma wacana saya, bahwa perbedaan sebagai wahana
untuk saling introspeksi diri, mengetahui kekurangan dan kelebihan masing-
masing sehingga menimbulkan suatu interaksi, hubungan timbal balik antar
sesama, bukan untuk memecah melainkan untuk penyatuan. 
Yakni dengan menjadikan ajaran Tri Parartha sebagai pondasinya. 
1. Asih, yaitu cinta kasih kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta semua
ciptaan-Nya dalam kehidupan yang paras paros sarpa naya salung – lung
sabayan taka.
2. Punya, yaitu dermawan, tulus dan iklas. Ketika hidup berdampingan selalu
saling tolong menolong baik berupa jasa maupun materi tanpa
mengharapkan suatu imbalan.
3. Bhakti, yaitu sujud kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, serta saling
menghormati dan menghargai antar sesama ciptaan-Nya.

10
Janganlah memandang pluralisme seperti memandang satu sisi mata uang yang
hanya dapat kita lihat dari satu sisinya saja, tetapi pandanglah pluralisme layaknya
memandang hamparan laut yang luas dengan karang dan bebatuan yang kita
ibaratkan sebagai baik buruknya suatu perbedaan.
“Jadi orang yang dapat bersyukur dengan hadirnya pluralisme adalah orang-orang
yang memiliki cinta di hatinya”. The colour of world, bukan warna merah,
kuning, hijau seperti yang kita kenal, tetapi agama yang berbeda, suku bangsa
yang berbeda, cara pandang yang berbeda, adat istiadat serta budaya yang berbeda
yang mewarnai seisi dunia. Tidak ada pelangi yang indah hanya dengan satu
warna.
Demikian yang dapat saya sampaikan pada kesempatan yang berbahagia ini
mengenai Tri Parartha dalam kaitannya dengan kebhinnekaan. Semoga dapat
memberikan manfaat dan dijadikan sebagai dasar dalam meniti kehidupan di
Dunia ini. Apabila ada hal – hal yang kurang berkenan mohon dimaafkan, “Tan
Hana Wwang Swasty Hayu Nulus”  tidak ada manusia yang sempurna. 
Om Santih, Santih, Santih Om

C. CANANG CARU (BANTEN CARU)

Banten caru berfungsi sebagai pengharmonis atau penetral buwana agung


(alam semesta), di mana caru ini bisa dikaitkan dengan proses pemlaspas

11
maupun pangenteg linggihan pada tingkatan menengah (madya). Usia caru
ini 10-20 tahun, tergantung tempat upacara. Penyelenggaraan caru juga
dapat dilaksanakan manakala ada kondisi kadurmanggalan dibutuhkan
proses pengharmonisan dengan caru sehingga lingkungan alam kembali
stabil.
Caru adalah kurban suci, yang dalam sejarahnya caru (tawur) ini
disebutkan diawali dari terjadinya kekacauan alam semesta yang
mengganggu ketentraman hidup sebagai akibat dari godaan-godaan bhuta
kala, sehingga Hyang Widhi Wasa menurunkan Hyang Tri Murti untuk
membantu manusia agar bisa menetralisir dan selamat dari godaan-godaan
para bhuta kala itu sehingga mulailah timbul banten “Caru” sebagaimana
disebutkan dalam mitologi caru ini
Dan dijelaskan pula bahwa, Caru (Mecaru; Pecaruan; Tawur) adalah suatu
upacara yadnya yang bertujuan untuk keharmonisan bhuwana agung (alam
semesta) dan bhuwana alit (mahluk Hidup) agar menjadi baik, indah,
lestari sebagai bagian dari upacara Butha Yadnya.
Dengan demikian, upacara mecaru adalah aplikasi dari filosofi Tri Hita
Karana, seperti yang disebutkan dalam Lontar Pakem Gama Tirta, agar
terjadi keharmonisan.Upacara pecaruan ada yang dilakukan dalam bentuk
kecil sehari-hari, disebut Nitya Karma, sedangkan upacara pecaruan disaat
tertentu (biasanya lebih besar) disebut Naimitika Karma.

Tetandingan Banten Caru Ayam Brumbun


Tetandingan Banten Caru Ayam Brumbun puniki medasar antuk ngiyu
susunin taledan, duwur nyane dagingin beras ajumput, benang,
tampelan,duwur nyane susunin ceper lelima, medaging tumpeng :

 Tumpeng putih 5 bungkul, 


 tumpeng barak 9 bungkul, 
 tumpeng kuning 7 bungkul, 
 tumpeng selem 4 bungkul, 
 tumpeng brumbun 8 bungkul magenah nyatur desa, 

12
masampyan nagasari sowang-sowang, medaging sesedep tepung tawar,
tatebus nyane manut warna, canang 5 tanding, duwur nyane medaging
sengkwi 5, medaging olah-olahan lawar barak lan putih, medaging sesate
manut urip, duwur nyane medaging layang-layang nyane, susunin
kawangen 8 besik, duwur nyane susunin banten glar sangha asoroh,
daksina l, sodaan l, peras tulung sesayut, sangga urip, lis peselan, Padma,
canang pahyasan, payuk pere l, coblong 1. Demikian disebutkan
tetandingan banten caru ayam brumbun.

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil telaah ditemukan bahwa pasraman bukan hanya sekedar
lembaga pendidikan keagamaan semata, namun dalam konteks pendidikan
pasraman merupakan media pembentukan kepribadian dan pengembangan
karakter, pasraman sebagai wahana transformasi kebudayaan, pasraman
juga sebagai lembaga penyiapan sumber daya manusia Hindu dan
pasraman merupakan lembaga yang menyiapkan umat Hindu untuk dapat
menjadi warga negara yang baik dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara yang berdasarkan Pancasila.

B. Saran
Tentunya pada penulis telah menyadari bahwa dalam penyusunan makalah
diatas masih banyak terdapat kesalahan dan jauh dari kata sempurna.
Adapun nantinya penulis akan segera melakukan perbaikan susunan
makalah tersebut dengan berpedoman dari berbagai sumber serta kritik
yang dapat membangun dari para pembaca

14

Anda mungkin juga menyukai