Anda di halaman 1dari 89

ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

KULIAH 8 ANALGESIK, ANTIINLAMASI, DAN PEMILIHAN


ANTIBIOTIK DALAM RANGKA MENGURANGI INFEKSI PASCA
BEDAH

Penggunaan Analgesik dan Antiinflamasi

Analgesik dan antiinflamasi bedah diperlukan pada perioperatif (preoperatif,


intraoperatif, maupun postoperatif). Analgesik merupakan jenis obat yang digunakan untuk
tujuan analgesia atau mengurangi rasa sakit. Analgesik bekerja pada beberapa jalur syaraf
perifer maupun pusat. Analgesik yang digunakan pada postoperatif biasanya adalah golongan
opioid (cth: morphine, fentanyl, hydromorphone, buprenorphine, butorphanol, methadon),
Non-Steroid Antiinflamatory Drugs (NSAID), dan obat lain (cth: tramadol, gabapentin,
amitryptiline). Antiinflamasi merupakan golongan obat yang memiliki aktivitas penekanan
terhadap peradangan. Antiinflamasi bekerja sebagai mediator kimia kecil yang dihasilkan
secara endogenus atau autocoid yang berperan dalam mengendalikan laju peradangan
dengan menghambat proliferasi sel polimorfonuklear dan meningkatkan aktivitas monosit
nonphlogistic. Obat antiinflamasi terdiri dari steroid dan NSAID.

Steroid
Steroid merupakan jenis obat yang bekerja menyerupai kortikosteroid yang dihasilkan
oleh kelenjar adrenal. Steroid bekerja menekan sistem imun tubuh sehingga jika digunakan
dalam durasi yang lama akan menyebabkan imunosupresi. Beberapa efek samping yang harus
diperhatikan dari penggunaan obat ini adalah hyperglicemia, diabetes, retensi cairan tubuh,
shock anaphylaksis, dan kelemahan otot. Steroid juga menyebabkan penurunan kemampuan
tubuh untuk mengabsorbsi kalsium sehingga menyebabkan timbulnya kondisi hipokalsemia
yang berdampak terhadap metabolisme maupun fungsi vital tubuh. Beberapa jenis steroid
yang sering digunakan dalam pengobatan hewan adalah dexamethasone, prednisone, dan
hydrocortisone.
a. Dexamethasone
Dexamethasone merupakan antiinflamasi steroid yang penggunaannya luas pada hewan.
Obat ini dapat digunakan secara oral maupun parenteral dengan indikasi tick paralysis
dan pada dosis tinggi diindikasikan untuk gangguan cardiovaskular dan shock
septicaemia. Penggunaan dexamethasone perioperatif bertujuan untuk mencegah efek
samping dari operasi seperti mual dan muntah akibat penggunaan anastetikum serta
berperan sebagai analgesik postoperatif. Pemberian dexamethasone preoperatif
memberikan efek analgesik postoperatif yang sangat baik dibandingkan pemberian pada
saat intraoperatif atau postoperatif.
b. Prednisone
Prednisone merupakan antiinflamasi steroid yang biasa digunakan pada hewan
kesayangan seperti anjing dan kucing. Obat ini dapat digunakan secara oral dan memiliki
aktivitas antiinflamasi yang lebih kuat empat kali dibandingkan hydrocortisone. Obat ini
sangat efektif karena dapat menekan proses inflamasi pada berbagai level mulai dari
ringan hingga berat. Indikasi penggunakan prednisone pada umumnya untuk mengatasi
DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI
DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKUTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

dermatitis allergika, eczeme, reaksi alergi yang menyebabkan bronkokonstriksi (asthma),


peradangan pada mata dan telinga, hingga peradangan pada persendian maupun bursa.
c. Hydrocortisone
Hydrocortisone merupakan pilihan terbaik dalam kasus addison disease pada hewan
maupun manusia. Selain itu, hydrocortisone juga digunakan dengan indikasi
hipercalcemia, thyroiditis, dermatitis, asthma, dan Chronic Obstructive Pulmonary
Disease (COPD). Obat ini juga banyak ditemukan dalam bentuk salep mata yang
dicampur dengan antibiotik. Namun, hal yang harus diperhatikan dalam penggunaan obat
ini adalah ulserasi pada kornea mata. Obat ini tidak dapat diberikan sebagai salep mata
maupun obat tetes mata jika terdapat ulserasi pada kornea karena dapat memperburuk
kondisi ulserasi pada mata. Kortikosteroid ini akan menyebabkan ulser pada kornea
berkembang menjadi keratokonjungtivitis.

Non-Steroid Antiinflamatory Drugs (NSAID)


NSAID merupakan jenis obat yang bekerja secara perifer pada penghambatan enzim
Cyclooxigenase (COX-1) atau inflamatory cyclooxygenase (COX-2). COX-1 diketahui
berperan sebagai renoprotektif, gastroprotektif, dan pembekuan darah. sehingga, pemberian
NSAID ini memiliki efek samping yaitu gastric ulser, kegagalan ginjal, dan menyebabkan
kegagalan pembekuan darah (diskrasia darah). sementara itu, COX-2 diketahui berperan
dalam inisiasi reaksi peradangan, sehingga pemberian NSAID yang menghambat COX-2
dapat dikategorikan sebagai antiinflamasi sekaligus analgesik. Inhibitor COX-2 lebih bersifat
gastroprotektif, namun memiliki efek samping terhadap fungsi ginjal, otak, mata, dan saluran
pencernaan. NSAID pada akhirnya bekerja menurunkan prostaglandin (PGE2) dan
prostasiklin (PGI2) yang merupakan mediator inflamasi.
United state telah memperbolehkan penggunaan beberapa jenis NSAID perioperatif
pada hewan kecil khususnya anjing dan kucing. NSAID yang dapat digunakan pada tindakan
perioperatif untuk anjing adalah carprofen dan deracoxib. Sementara itu, pada kucing NSAID
yang diperbolehkan hanya meloxicam. Penggunaan NSAID perioperatif ini berfungsi untuk
mengurangi penggunaan analgesik, memudahkan penanganan hewan, dan menurunkan
mordibitas postoperasi.

Tabel 1 NSAID yang sering digunakan pada hewan kecil (US)


NSAID Indikasi Dosis Formulasi
Carprofen Perioperatif Anjing: 1-2mg/kg PO q12-24hr atau 4 mg/kg SC Tablet kunyah, kaplet,
injeksi
Carprofen Osteoarthritis Anjing: 1-2mg/kg PO q12-24hr atau 4 mg/kg SC Tablet kunyah, kaplet,
injeksi
Deracoxib Perioperatif Anjing: 3-4mg/kg PO q24hr selama 7 hari Tablet kunyah
Deracoxib Osteoarthritis Anjing: 1-2mg/kg PO q24hr Tablet kunyah
Etodolac Osteoarthritis Anjing: 10-15mg/kg PO q24hr Tablet
Firocoxib Osteoarthritis Anjing: 5mg/kg PO q24hr Tablet kunyah
Meloxicam Osteoarthritis Anjing: 0.2 mg/kg PO, SC diikuti 0.1mg/kg PO Suspensi, injeksi
q24hr
Meloxicam Perioperatif Kucing: 0.05-0.1 mg/kg SC Injeksi
Tepoxalin Osteoarthritis Anjing: 10-20mg/kg PO diikuti 10mg/kg q24hr Tablet troches

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKUTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

NSAID dapat dengan mudah berinteraksi dengan beberapa obat lainnya karena
memiliki afinitas tinggi terhadap protein, sehingga kombinasi NSAID dengan beberapa obat
lain (cth: digoxin, cisplatin, methotrexate, antikoagulan oral) akan meningkatkan
toksisitasnya. Penggunaan kortikosteroid, aminoglycosida, dan heparin pada waktu yang
bersamaan juga akan meningkatkan efek samping NSAID. Sementara itu, NSAID akan
menurunkan efektivitas dari beberapa obat seperti diuretik, inhibitor angiotensin converting
enzyme (ACE), atau β-blocker.
NSAID hanya digunakanpada pasien muda atau dewasa yang dalam keadaan sehat,
normovolemik/hidrasi baik, dan normotensif tanpa adanya riwayat penyakit penyerta seperti
gangguan hati dan ginjal atau sindroma perdarahan diatetis. NSAID pada anjing hanya dapat
digunakan pada anjing dengan berat minimal 5 kg. NSAID pada intraoperatif
diadministrasikan bersama infus melalui intravena. Sementara itu, pemberian secara oral
lebih efektif pada saat postoperatif dibandingkan preoperatif.
Hal yang penting untuk diperhatikan dalam penggunaan NSAID ini adalah edukasi
klien. Riwayat pemberian obat pada pasien harus diperhatikan secara teliti untuk memastikan
penggunaan NSAID tidak dilakukan bersama dengan penggunaan kortikosteroid (termasuk
penggunaan secara topikal). NSAID harus diberikan dengan dosis yang sesuai dengan
anjuran dokter hewan. Selain itu, pemilik hewan juga harus tanggap untuk menghentikan
penggunaan NSAID pada hewannya dan segera menghubungi dokter hewan jika hewan
mengalami penurunan nafsu makan, muntah, diare, lemah.

Penggunaan Antibiotik

Antibiotik biasanya digunakan sebagai terapi profilaksis atau terapeutik. Antibiotik


sebagai terapi profilaksis sebelum dilakukan operasi harus digunakan berdasarkan ada
tidaknya risiko signifikan terhadap infeksi serta pemilihannya harus berdasarkan jenis flora
bakteri pada jaringan target. Semantara itu, pemilihan antibiotik sebagai terapi terapeutik
yang digunakan setalah operasi idealnya harus berdasarkan hasil kultur bakteri dan uji
kepekaan bakteri. Namun, hal ini membutuhkan waktu yang lama, sehingga biasanya
pemilihan antibiotik untuk tujuan terapeutik hanya berdasarkan dugaan flora bakteri pada
jaringan target dan uji sensitivitas pasien terhadap antibiotik. Penggunaan antibiotik yang
tidak tepat menyebabkan penggunaan antibiotik menjadi tidak efektif atau menyebabkan
meningkatnya mordibitas dan mortalitas pasien akibat toksisitas antibiotik maupun
perkembangan bakteri yang resisten terhadap antibiotik. Selain itu, penggunaan antibiotik
juga akan menunjukkan hasil yang lebih baik jika luka atau jaringan target mendapatkan
perawatan yang benar (debridisasi luka, drainase luka, dan pembersihan luka dari seluruh
benda asing)

Mekanisme Kerja Antibiotik


Bakteriostatik merupakan antibiotik yang menghambat pertumbuhan bakteri.
Bakterisidal merupakan antibiotik yang membunuh bakteri. Perbedaan antara bakteriostatik
dan bakterisidal berdasarkan pada rasio antara Minimum Bactericidal Concentration (MBC)

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKUTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

dan Minimum Inhibitory Concentration (MIC). Antibiotik diklasifikasikan berdasarkan


mekanisme kerjanya.
a. Merusak dinding sel bakteri
Antibiotik golongan β-lactam (penicillin, chepalosporin, carbapenem, monobactam),
vancomycin, bacitracin, polymixin, nystatin, amphotericin B, dan imidazole merupakan
antibiotik yang bekerja dengan menghambat sintesis atau merusak dinding sel bakteri.
b. Inhibisi sintesis protein
Antibiotik golongan chloramphenicol, tetracyclin, erythromycin, dan clyndamicin
bekerja dengan menempel pada ribosom bakteri menyebabkan inhibisi yang bersifat
reversibel pada proses sintesis protein.
c. Inhibisi sintesis DNA
Antibiotik golongan floroquinolone (enrofloxacin, difloxacin, ciprofloxacin, ofloxacin,
marbofloxacin) dan sulfa (trimetropim-sulfa) bekerja dengan menghambat sintesis DNA.
Floroquinolon bekerja dengan menghambat DNA gyrase sehingga menghambat
transkripsi mRNA. Floroquinolone juga merupakan bakterisidal yang bekerja cepat serta
efektif untuk infeksi pada jaringan lunak, pneumonia, osteomyelitis, dan infeksi saluran
kemih yang disebabkan oleh bakteri gram-negatif dan staphylococcus spp.

Faktor yang Memengaruhi Kesuksesan Penggunaan Antibiotik


Kesuksesan penggunaan antibiotik sebagai terpai bergantung pada konsentrasi
antibiotik yang cukup untuk membunuh atau menghambat perkembangan bakteri pada area
infeksi. Faktor yang menyebabkan kegagalan terapi menggunakan antibiotik, yaitu:
a. Dosis yang tidak tepat (cth: kurang atau lebih)
b. Frekuensi pemberian
c. Rute administrasi
d. Durasi penggunaan yang tidak tepat
e. Pemilihan antibiotik yang tidak tepat (cth: tidak berdasarkan kultur bakteri maupun uji
kepekaan dan sensitivitas)
f. Penyebab infeksi yang persisten (cth: benda asing atau implan)
g. Ketidakmampuan antibiotik untuk menjangkau jaringan target pada dosis yang cukup
(cth: tidak mampu melewati blood brain barrier)
h. Resistensi antibiotik
i. Imunosupresi (cth: penyakit kronis)
j. Farmakokinetik antibiotik
k. Reaksi antibiotik
l. Antagonis antibiotik
m. Diagnosa yang tidak tepat

Mekanisme Resistensi Antibiotik


Terdapat beberapa mekanisme resistensi antibiotik oleh bekteri, yaitu:
a. Enzimatik
Resistensi antibiotik akibat bakteri memproduksi enzim yang mampu merusak antibiotik
(cth: β-lactamase yang menghambat β-lactam).
b. Perubahan permeabilitas
DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI
DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKUTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Resistensi antibiotik akibat perubahan permeabilitas dinding sel bakteri terhadap


antibiotik (cth: streptococcus memiliki barrier permeabilitas alami terhadap
aminoglycosida).
c. Perubahan pada struktur target antibiotik
Resistensi antibiotik akibat perubahan struktur target antibiotik (cth: perubahan
komposisi ribosom bakteri yang berfungsi sebagai target reseptor dari antibiotik
aminoglycosida)
d. Perubahan pada jalur metabolisme yang berkembang menjadi reaksi antagonis terhadap
partikel antibiotik

Klasifikasi Jenis Luka Operasi


Luka operasi diklasifikasikan berdasarkan derajat kontaminasi untuk membantu
memerkirakan kemungkinan perkembangan infeksi. Infeksi bakteri merupakan infeksi
dengan jumlah bakteri lebih dari 105 per gram jaringan. Infeksi pada luka operasi
berhubungan dengan tiga faktor resiko utama (durasi operasi, jumlah tim operasi di dalam
ruang operasi, dan kebersihan area operasi) dan satu faktor perlindungan (antibiotik
profilaksis). Oleh karena itu, jenis luka operasi akan menentukan penggunaan antibiotik
secara tepat
Tabel 2 Klasifikasi Luka
Klasifikasi Luka Deskripsi Contoh Tipe Prosedur Bedah
Bersih Nontraumatis, luka operasi non-inflamasi -Laparotomi eksplorasi
tanpa pembukaan organ atau bagian pada -Cauterisasi
saluran respirasi, gastrointestinal,-Reposisi sendi pinggul total
genitourinari, dan oropharyngeal -Rekonstruksi Patent Ductus
Arteriosus (PDA)
Bersih- -Luka operasi dengan kondisi pembukaan -Bronchoskopi
Terkontaminasi organ atau bagian pada saluran respirasi, -Cholecystectomi
gastrointestinal, genito-urinari, dan -Reseksi usus halus
oropharyngeal yang terkontrol tanpa -Enterotomi
kontaminasi
-Luka operasi yang bersih dengan adanya
sistem drainase pada luka
Kontaminasi -Luka terbuka, segar, yang sifatnya tidak -Cholecystotomi
disengaja -Pembukaan rongga thorax
-Luka yang terkontaminasi oleh urin serta -Cystotomi
cairan atau subtansi dari
salurangastrointestinal
Kotor -Luka yang dibiarkan dalam waktu lama -Eksisi atau drainase abses
dengan discharge purulen -Penanganan peritonitis
-Luka dengan jaringan nekrotik atau jaringan -Penanganan perforasi usus
yang telah membusuk (gangrenosa) halus
-Luka dengan kontaminasi benda asing -Penanganan ruptur kantung
-Luka akibat tusukan benda asing empedu akibat Cholelitiasis
-Luka dengan kontaminasi feses -Osteotomi bullae pada
penanganan otitis media

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKUTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Pencegahan Infeksi pada Luka Operasi


Pencegahan infeksi pada luka operasi merupakan tujuan utama prinsip operasi aseptik
untuk mencegah terjadinya infeksi nosokomial. Faktor yang menjadi predisposisi infeksi
adalah penggunaan antibiotik yang berlebihan, penggunaan kateter (cth: intravena atau
urinary), prosedur diagnostik (cth: swab trachea, thorachocentesis, dan abdominocentesis),
umur (cth: diatas 10 tahun), dan penyakit penyerta kronis. Pencegahan infeksi nosokomial
memerlukan kontrol terhadap flora endogenous pasien, minimaliris transmisi bakteri,
protokol sterilisasi, dan penggunaan antibiotik yang sesuai berdasarkan kultur bakteri dan uji
sensitivitas. Selain penggunakan antibiotik sebagai profilaksis dan terapeutik, risiko infeksi
pada luka operasi dapat diminimalisir dengan menghindari beberapa aspek berikut:
a. Durasi operasi berkepanjangan: faktor resiko operasi dengan risiko infeksi yang akan
berlipat ganda setiap 70 menit
b. Kondisi area operasi yang buruk: keberadaan jaringan nekrotik, hematoma, kantung
serum, infeksi lokal, dan benda asing akan meningkatkan laju proliferasi bakteri dan
menghambat respon imun tubuh
c. Durasi anastesi berkepanjangan: faktor resiko infeksi luka setelah operasi
d. Hipotermi perioperatif: menurunkan kekebalan alami tubuh terhadap infeksi
e. Persiapan operator, peralatan, dan ruangan operasi yang buruk
f. Penggunaan peralatan dalam perawatan luka operasi yang tidak sesuai

Pemilihan Antibiotik

Pemilihan antibiotik harus berdasarkan tujuan penggunaannya sebagai terpai profilaksis


atau terapi terapeutik.

Penggunaan antibiotik profilaksis


Antibiotik sebagai terapi profilaksis harus diberikan pada area operasi untuk mencegah
perkembangan bakteri kontaminan yang bersifat patogen. Indikasi umum penggunaan
antibiotik sebagai terapi profilaksis adalah operasi dengan durasi lebih dari 90 menit,
prosedur implantasi prosthesis (cth: mesh, pacemaker, prosthesis vaskular, dan bone
cement), prosedur pengangkatan implant, operasi luka trauma atau luka dengan kontaminasi
berat. Terdapat beberapa prosedur yang memerlukan antibiotik sebagai terapi profilaksis
diantara adalah prosedur operasi orthopedic, respiratory, gastrointestinal, dan urogenital.
Antibiotik profilaksis dengan rute intravena harus diberikan minimal 30 menit sebelum
prosedur operasi dilakukan dan penggunaannya harus dihentikan sesaat setelah operasi
selesai atau paling lambat 24 jam setelah operasi. Berikut merupakan beberapa pertimbangan
dalam pemilihan dan administrasi antibiotik profilaksis:
a. Pemilihan antibiotik
Pemilihan berdasarkan target flora mikroorganisme umum pada area operasi atau
pemilihan antibiotik berspektrum luas (cth: cefazolin dapat digunakan untuk mencegah
pertumbuhan bakteri kontaminan pada umumnya).
b. Waktu administrasi antibiotik

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKUTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Antibiotik diadministrasikan kepada pasien minimal 30 menit hingga 1 jam sebelum


operasi.
c. Perhatikan dosis antibiotik
d. Rute administrasi antibiotik
Administrasi antibiotik profilaksis pada umumnya dilakukan melalui intravena dan harus
diulangi setiap 1.5 hingga 2 jam tergantung durasi operasi.
e. Durasi administrasi antibiotik
Pemberian antibiotik profilaksis harus dihentikan sesaat setelah penutupan area operasi
atau paling lambat 24 jam setelah operasi.

Penggunaan antibiotik terapeutik


Penggunaan antibiotik terapetik harus berdasarkan justifikasi klinis, pengetahuan
mengenai mekanisme kerja antibiotik, dan faktor mikrobiologis. Tujuan dari penggunaan
antibiotik sebagai terapetik ini adalah untuk mencegah terjadinya infeksi akibat kontaminasi
mikroorganisme dengan toksisitas yang rendah, membunuh bakteri tepat pada area luka, dan
tidak memiliki efek yang negatif terhadap sistem imun pasien. Indikasi antibiotik sebagai
terapi terapetik pada pasien operasi adalah mencegah infeksi sistemik (cth: septicemia atau
bacterimia) dan mengobati infeksi pada luka operasi atau rongga tubuh. Secara umum, terapi
antibiotik ini dilakukan sebelum operasi dan dilanjutkan hingga 2-3 hari setelah operasi
tergantung kondisi pasien dan toksisitas obat yang digunakan. Penggunaan antibiotik
terapetik juga memerlukan perawatan tambahan agar terapi lebih efektif. Perawatan tersebut
antara lain adalah drainase akumulasi serum, pus, atau darah dari luka operasi atau rongga
tubuh; debridisasi jaringan nekrotik; dan bersihkan luka atau implantasi dari benda asing.
Berikut merupakan beberapa pertimbangan dalam pemilihan dan administrasi antibiotik
terapetik:
a. Pemilihan antibiotik
Pemilihan berdasarkan target flora mikroorganisme umum pada area operasi atau
berdasarkan kultur bakteri serta uji kepekaan dan sensitifitas antibiotik (cth: kultur
cairan, jaringan, implants, debri nekrotik). Selain itu antibiotik juga harus dipastikan
dapat mencapai jaringan target. Jika terdapat beberapa antibiotik yang efektif maka pilih
antibiotik dengan harga yang lebih murah, toksisitas lebih rendah, dan yang lebih mudah
untuk diadministrasikan.
b. Waktu administrasi antibiotik
Secepatnya setelh kultur bakteri telah terkonfirmasi atau berdasarkan pengalaman klinis.
c. Perhatikan dosis antibiotik
d. Rute administrasi antibiotik
Rute administrasi berdasarkan jenis antibiotik yang digunakan.
e. Durasi administrasi antibiotik
Durasi pemberian bergantung efek antibiotik, toksisitas, penyakit pada pasien, dan
diberikan minimal 2-3 hari setelah operasi.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKUTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

DAFTAR PUSTAKA

Fossum TW, Dewey CW, Horn CV, Johnson AL, MacPhail CM, Radlinsky MG, Schulz KS,
Willard MD. 2013. Small Animal Surgery 4th Edition. Missouri (US): Elsevier Mosby.
Grimm KA, Tranquilli WJ, Lamont LA. 2011. Small Animal Anasthesia and Analgesia 2nd
Edition. Oxford(UK): Willey-Blackwell.
Tobias KM, Johnston SA. 2012. Veterinary Surgery: Small Animal 2nd Volume. Missouri
(US): Elsevier Saunders.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKUTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

KULIAH 9 PERSEMBUHAN LUKA DAN TEKNIK PEMBALUTAN PADA


PASIEN BEDAH

Persembuhan Luka

Secara definitif, luka merupakan rusak atau hilangnya kontinuitas sel atau
anatomi yang mengakibatkan penurunan fungsi protektif dan fisiologis dari suatu
jaringan. Kulit, subkutis, dan lapisan otot yang ada di bawahnya merupakan
jaringan yang paling sering mengalami perlukaan. Kausa dari luka dapat
bermacam-macam, diantaranya adalah luka akibat gigitan, kecelakaan, laserasi
akibat benda tajam, penetrasi oleh benda logam, maupun cidera akibat panas.
Berdasarkan keutuhan lapisan superfisialnya, luka dapat diklasifikasikan
menjadi luka terbuka (open wound) dan luka tertutup (closed wound). Pada luka
terbuka, lapisan superfisial kulit atau membran mukus rusak atau terkuak sehingga
memungkinkan terjadinya kontaminasi pada luka. Sedangkan pada luka tertutup,
lapisan superfisial masih utuh dan mampu melindungi luka dari kontaminasi.
Open wound atau luka terbuka dapat dikategorikan berdasarkan tingkat
kontaminasi dan lama kejadian;
1. Kategori 1 “Clean wounds”
Pada kategori clean wounds, luka merupakan tipe luka non-traumatis
yang tidak melibatkan organ respiratori, orofaring, gastrointestinal,
maupun urogenital. Tidak ditemukan adanya kontaminasi pada luka dan
terjadi 0 – 6 jam pasca-operasi.
2. Kategori 2 “Clean-contaminated wounds”
Pada kategori clean-contaminated wounds, luka merupakan
nontraumatis yang melibatkan organ respiratori, orofaring,
gastrointestinal, maupun urogenital tanpa adanya tumpahan isi dari
organ. Jenis luka ini memiliki kontaminasi yang minimal (luka operasi
dengan teknik operasi yang terjadi kontaminasi minor) dan terjadi dalam
rentang 0 – 6 jam pasca-operasi.
3. Kategori 3 “Contaminated wounds”
Golongan contaminated wounds merupakan luka traumatis yang terjadi
dalam rentang 4 – 6 jam, proses inflamasi tidak terdapat eksudat purulen.
Prosedur operasi yang terkontaminasi isi organ gastrointestinal ataupun
urin yang terinfeksi, atau prosedur operasi yang tidak mengikuti prosedur
aseptik termasuk ke dalam kategori ini.
4. Kategori 4 “Infected or Dirty wounds”
Infected or dirty wounds merupakan luka traumatis yang terjadi lebih dari
4-6 jam dengan gejala-gejala infeksi yang terlihat jelas. Proses inflamasi
menghasilkan eksudat purulen atau terdapat jaringan nekrotik pada luka.
Prosedur operasi yang termasuk ke dalam kategori ini adalah operasi
dimana terjadi perforasi organ gastrointestinal atau organ urogenital yang
terinfeksi, dan terjadi kontaminasi feses yang serius. Luka yang
terkontaminasi mengandung >105 bakteri per gram jaringan.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

(a) (b)

(c) (d)
Gambar 1 (a) Clean wounds, luka yang terjadi dalam kondisi aseptis; (b) Clean-
contaminated wounds, luka terbuka yang masih baru dan kontaminasi
minimal; (c) Contaminated wounds, luka yang masih baru tetapi
terkontaminasi pada bagian luka yang terbuka tetapi tidak ditemukan
eksudat purulen maupun jaringan nekrotik; (d) Infected wounds, luka
yang sudah lama, terlihat eksudat purulen dan jaringan nekrotik pada
daerah wilayah.

Proses Persembuhan Luka

Proses persembuhan luka terdiri dari empat tahapan. Fase-fase persembuhan


luka ini bisa dipercepat, diperlambat, bahkan dihambat prosesnya tergantung
kepada tipe dan klasifikasi luka. Fase dalam proses persembuhan terdiri dari fase
inflamatori (inflammatory phase), fase reparasi atau proliferasi (reparation or
proliferation phase), dan fase remodeling atau maturasi (remodeling or maturation
phase). Proses persembuhan luka ini sebagian besar diregulasi oleh cytokine.

Fase Inflamatori
Segera setelah terjadi perlukaan, daerah luka akan diisi oleh darah dan cairan
limfatik dari pembuluh yang rusak. Kejadian ini akan diikuti oleh vasokonstriksi
yang dimediasi oleh katekolamin, serotonin, bradykinin, prostaglandin, dan
histamin untuk meminimalisir terjadinya kehilangan darah. Vasokonstriksi ini akan
diikuti oleh vasodilatasi yang kemudian akan mengaktivasi platelet untuk
membentuk blood clot atau penggumpalan darah di lumen pembuluh darah. Blood
clot ini merupakan komponen penting dalam respon inflamasi dan berfungsi untuk
melindungi luka.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Platelet juga akan menginisiasi lepasnya mediator vasoaktif dan faktor


kemotaktik (chemotactic factors; sitokin dan growth factor) untuk merekrut
leukosit (makrofag, polymorphonuclear cells (PMN), dan limfosit). Selanjutnya,
fibrinolisis akan diaktivasi dan akan memfasilitasi migrasi sel ke daerah luka.
Setelah 30–60 menit, terjadi marginasi leukosit ke endothelium pembuluh di daerah
luka. Jarak antar endotel yang terjadi memungkinkan cairan dan makromolekul
(protein plasma, komplemen, antibodi, elektrolit, air, dan substansi humoral yang
bersirkulasi) untuk keluar secara diapedesis. Neutrofil selanjutnya akan diaktivasi
dan merilis molekul elastase dan kolagenase. Proteinase juga akan dirilis oleh
neutrofil yang sudah diaktivasi untuk mendegradasi jaringan nekrotik. Neutrofil
akan memfagositosis bakteri yang mengontaminasi daerah luka dan akan
mengalami apoptosis setelah beberapa hari apabila tidak terjadi infeksi pada luka.
Makrofag yang berada di dalam luka akan merilis proteinase dan enzim yang
akan merusak blood clot dan jaringan debris, kemudian membentuk kanal untuk
masuknya fibroblas dan sel endothelial ke dalam luka. Growth factor yang berasal
dari makrofag akan menginisiasi pembentukan jaringan baru, termasuk proses
fibroplasia dan angiogenesis. Makrofag juga akan merilis laktat ke dalam luka
untuk menstimulasi fibroplasia yang dilanjutkan dengan produksi kolagen.
Fase inflamatori ini berlangsung sekitar 5 hari. Gejala umum inflamasi seperti
kemerahan, bengkak, panas, dan rasa sakit akan muncul sebagai akibat dari
vasodilatasi, keluarnya cairan ke jaringan, dan obstruksi dari kanal limfatik di
sekitar daerah luka. Rasa sakit diakibatkan oleh tekanan, stimulasi kimia, dan
peregangan pada ujung-ujung syaraf. Pada luka yang bersifat kronis, fase
inflamatori akan diperpanjang secara abnormal.

Fase Proliferatif
Fase proliferatif umumnya dimulai 5 – 20 hari setelah perlukaan terjadi. Fase
ini terjadi dalam empat tahapan, yaitu neovaskularisasi, fibroplasia dan deposisi
kolagen, epitelisasi, dan kontraksi luka.
Neovaskularisasi merupakan tahapan pembentukan pembuluh darah baru
(neoangiogenesis). Plasminogen dan kolagenase akan dilepaskan dari sel
endothelial melalui membran basal yang terdegradasi. Sel endothelial dari
pembuluh darah akan berproliferasi dan akan menjadi sumber sel selama proses
angiogenesis. Jaringan kapiler akan terbentuk seiring dengan proliferasi sel endotel
pembuluh darah. Sel endotel yang terbentuk akan saling bersambungan mengisi
bagian-bagian kapiler yang rusak akibat luka. Kemudian, sel-sel endotel ini akan
diikat dan diperkuat oleh fibroblast. Proses ini termasuk ke dalam proses granulasi
jaringan.
Fibroplasia dan deposisi kolagen merupakan tahap granulasi jaringan
selanjutnya. Sitokin dan matriks profisional akan menstimulasi proliferasi dari
fibroblast dan mempercepat pembentukan reseptor integrin. Fibroblast akan
melepaskan enzim proteolitik dan aktivator plasminogen, interstisial collagenase,
gelatinase, dan stromelysin. Enzim-enzim ini akan melemahkan matriks ekstrasel
yang telah terbentuk dan dirubah menjadi matriks kolagen. Fase fibroplastik ini
terjadi selama 2 – 4 minggu tergantung pada besarnya luka.
Epitelisasi, merupakan proses dimana sel-sel epithelial mulai berproliferasi
dari epitel pada basal sel yang berdekatan kemudian bergerak menempel dan
menutupi permukaan luka. Aktivitas sel epithelial ini akan menghambat

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

pembentukan jaringan granulasi dan mencegah pembentukan jaringan granulasi


yang berlebihan. Lama durasi pembentukan epitelisasi dapat bervariasi dari
beberapa hari hingga beberapa minggu. Hal ini ditentukan oleh luas permukaan
luka dan kondisi dari jaringan granulasi.
Kontraksi luka, merupakan proses dimana myofibroblast menempel pada
bagian dermis di bawah tepi luka kemudian menarik tepi luka yang berdekatan
mengarah ke bagian tengah luka. Proses ini akan berhenti ketika ketegangan dari
kulit di sekitarnya sudah sangat tinggi atau ketika ujung-ujung luka bertemu satu
sama lain. Apabila terjadi kontraksi luka berlebihan, akan mengakibatkan wound
contracture dimana terjadi pemendekan dan pengerasan jaringan. Hal ini
merupakan proses patologis yang berakibat pada pergerakan yang terbatas dari
struktur di bawahnya. Faktor yang dapat menghambat kontraksi luka adalah
tekanan pada luka.

Fase Maturasi dan Remodelling


Saat proses transisi dari jaringan granulasi menuju maturasi luka, terjadi
remodeling kolagen. Proses ini terjadi deposisi kolagen dan katabolisme kolagen
yang seimbang. Kolagen tipe III secara bertahap digantikan dengan kolagen tipe I
yang lebih kuat. Ikatan kolagen akan semakin tebal dan jumlah ikatan kolagen dan
fiber akan meningkat. Deposisi kolagen ini berpengaruh langsung terhadap
tensilitas (kekuatan regangan) dari luka. Fase maturasi dan remodeling ini terjadi
mulai dari 20 – 365 hari (1 tahun) setelah terjadi perlukaan.

Penutupan Luka (Wound Closure)

Pemilihan opsi penutupan luka dapat dilakukan berdasarkan klasifikasi dari


kondisi luka tersebut. Terdapat empat pilihan dasar dalam penutupan luka, yaitu
primary closure (persembuhan luka per primam), delayed primary closure,
secondary closure, dan healing by second intention (persembuhan per secundam).

Primary Closure
Primary closure atau persembuhan luka dengan kontak alami antar bagian
luka. Metode ini dilakukan dengan menjahit langsung luka yang baru terjadi. Luka
operasi atau cidera traumatis yang baru saja terjadi biasanya termasuk luka yang
ditutup dengan cara ini. Primary closure dapat dilakukan pada luka yang tidak
terkontaminasi atau kontaminasi minimal, tidak terdapat jaringan nekrotik, dan
lama perlukaan kurang dari 6 jam.

Delayed Primary Closure


Delayed primary closure, merupakan luka yang tidak ditutup secara langsung
akan tetapi diobati sebagai luka terbuka hingga luka bersih dan tidak terbentuk
jaringan granulasi. Penutupan biasanya dilakukan 3 – 5 hari setelah timbulnya luka.
Delayed closure memungkinkan luka untuk mengering, menurunnya kontaminasi,
dan memungkinkan terbentuknya batas yang jelas antara jaringan yang masih hidup
dengan jaringan nekrotik.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Secondary Closure
Secondary closure merupakan penutupan luka yang dilakukan setelah
terbentuknya jaringan granulasi pada luka terbuka. Tindakan ini dilakukan pada
luka yang kondisinya tidak memungkinkan untuk dilakukan delayed primary
closure seperti pada kondisi infeksi persisten, terdapat jaringan nekrotik yang
persisten dan membutuhkan perawatan lebih dari 5 hari, atau terdapat respon
inflamasi parah yang persisten.
Penutupan ini dapat dilakukan melalui dua cara: (1) membiarkan jaringan
granulasi tetap utuh dan menjahit kulit menutupi jaringan granulasi; (2) melakukan
eksisi terhadap jaringan granulasi dan dilanjutkan dengan primary closure. Cara
kedua lebih disukai oleh kebanyakan operator karena tepian luka lebih mudah untuk
ditutup, hasilnya lebih baik dari segi kosmetik, insidensi infeksi setelah eksisi
jaringan granulasi lebih rendah.

Healing by Second Intention (per secundam)


Merupakan persembuhan dengan memanfaatkan kontraksi luka dan
epitalisasi. Metode ini umum digunakan di dunia kedokteran hewan untuk menutup
luka yang bermasalah. Dengan manajemen luka yang tepat, proses kontraksi luka
oleh myofibroblast dan migrasi sel epithelial dapat dipercepat. Pilihan persembuhan
per secundam ini umum dilakukan pada luka yang kotor dan terinfeksi yang tidak
memungkinkan penutupan menggunakan tiga metode lainnya, defek cutaneous
yang tidak mencukupi untuk dilakukan penutupan menggunakan teknik operasi
konvensional, defek yang mengakibatkan kompresi dari sirkulasi di distal daerah
perlukaan.

Faktor yang Menghambat Persembuhan Luka

1. Malnutrisi, pasien malnutrisi memiliki resiko tinggi mengalami hambatan


dalam persembuhan luka dan mudah mengalami infeksi. Suplementasi protein
sangat penting dalam pembentukan kolagen dan jaringan ikat yang berperan
dalam persembuhan luka.
2. Medikasi, pemberian obat-obatan yang mengganggu nafsu makan dan fungsi
gastrointestinal, seperti adrenal kortikosteroid, kloramfenikol, sulfonamide,
diuretic, salisilat, tetrasiklin, dan trimethophim.
3. Hipovolemia dan anemia, kondisi dehidrasi dapat mengakibatkan kerusakan
jaringan, nafsu makan yang buruk, konstipasi, dan kerusakan ginjal.
Hipovolemia akan menurunkan sirkulasi ke lokasi luka sehingga oksigen dan
nutrisi yang dibutuhkan untuk persembuhan tidak tercukupi.

Teknik Pembalutan

Bandage dan dressing merupakan bagian yang dibutuhkan dalam manajemen


luka. Dressing merupakan bahan/material yang digunakan untuk menutup
permukaan luka secara langsung. Beberapa jenis dressing dapat berdiri sendiri dan
tidak membutuhkan penahan apapun, tetapi pada umumnya dressing membutuhkan
lapisan penahan untuk mencegah dressing bergerak/bergeser dari tempatnya.
Bandage merupakan lapisan yang digunakan untuk membalut luka dan melapisi
dressing. Fungsi utama dari bandage adalah menahan dressing yang sudah diberi

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

medikasi agar tetap berada di tempatnya, menahan pergerakan pada bagian tubuh
yang dibalutnya, memberikan tekanan untuk mengontrol perdarahan,
menghilangkan rongga (dead spaces atau cavity), serta melindungi luka dari trauma
eksternal maupun kontaminasi.
Bandages memiliki tiga lapisan utama, yaitu lapisan primer (contact
dressing), layer sekunder (intermediate layer), layer tersier (outer layer).

Lapisan Primer
Primary/contact dressing merupakan lapisan yang bersentuhan langsung
dengan permukaan luka. Secara umum, fungsi dressing adalah menyerap dan
menahan keluarnya discharge dari luka, memberikan lingkungan yang lembab
untuk mempercepat persembuhan luka, memberikan produk yang mampu
mempercepat proses persembuhan, memberikan proteksi dari kontaminan,
menyerap bau, memberikan proteksi secara mekanis, dan memfasilitasi terjadinya
autolisis dari jaringan yang rusak pada daerah luka.
Contoh dari contact dressing yang bisa digunakan adalah kassa (dapat
digunakan langsung atau dibasahi menggunakan RL, NaCl, povidone iodine, atau
chlorhexidine sesuai kebutuhan), Telfa, polyurethane foams, atau hydrogel
dressing.

Lapisan Sekunder
Secondary layer dari proses pembalutan merupakan lapisan yang bersifat
absorptif. Lapisan ini bisa menggunakan gulungan kapas atau kassa gulung. Pada
luka dengan discharge yang sangat banyak, lapisan sekunder ini berperan menyerap
cairan berlebih dan menahan cairan keluar dari permukaan luka. Frekuensi
penggantian bandage sangat dipengaruhi oleh kelembapan luka, pada luka yang
banyak mengeluarkan discharge maka penggantian bandage akan lebih sering.

Lapisan Tersier
Tertiary layer merupakan lapisan yang berfungsi membalut dan
mengamankan lapisan-lapisan di bawahnya. Banyak produk yang dapat digunakan
untuk balutan luar, diantaranya adalah Vetrap, elastic bandage, kain blacu, self-
adherent materials, atau stoking.

Casts dan Splints


Penggunaan gips dan splint adalah untuk perlukaan untuk meminimalkan atau
meniadakan pergerakan pada daerah luka. Material ini umumnya dipakai untuk
menstabilkan fraktur agar tulang dapat menyatu kembali atau agar hewan dapat
ditransportasikan dengan nyaman.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Teknik Pembalutan Kepala dan Telinga

Pembalutan pada daerah telinga dan kepala umumnya dilakukan pada kasus
pengobatan auricular hematoma, total ear canal ablation, trauma, atau
pengangkatan tumor.
1. Permukaan telinga dibersihkan dari rambut hingga ke tepi, kemudian
dibersihkan dan dikeringkan
2. Tepi-tepi telinga dipasangkan kassa panjang (menyerupai pita) yang
direkatkan menggunakan plester untuk membantu menahan telinga
3. Kapas tebal diletakkan di atas kepala di dekat telinga, kemudian daun
telinga diangkat keatas kepala dan pita kassa yang sudah dipasangkan tadi
dilingkarkan ke bawah kepala hingga kembali lagi ke atas dan direkatkan
kembali di bagian atas kepala menggunakan plester.
4. Outer dressing diletakkan di atas daerah insisi, kemudian lapisan
sekunder dibalutkan mulai dari bagian atas kepala terus mengelilingi
kepala
5. Setelah balutan selesai, dipasangkan plester di tepi depan dan belakang
bandage untuk mencegah balutan bergeser ke depan atau ke belakang

Gambar 2 Metode pembalutan kepala dan telinga

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Teknik Pembalutan Daerah Thoraks, Abdomen, dan Pelvis

Pembalutan pada daerah thoraks dan abdomen ditujukan untuk menutup luka
terbuka maupun luka jahitan di wilayah thoraks, abdomen, maupun tulang
belakang. Lapisan primer dapat diberikan obat yang mempercepat persembuhan
luka terutama pada balutan untuk luka terbuka.
Metode pembalutan daerah thoraks dan abdomen:
1. Lapisan primer dipasangkan tepat di atas luka terbuka maupun luka
jahitan yang hendak ditutup, kemudian dilanjutkan dengan pembalutan
lapisan sekunder
2. Pembalutan lapisan sekunder dimulai dari bagian thoraks tepat di
belakang kaki depan melingkar beberapa kali, kemudian balutan
dilingkarkan ke antara kaki depan melingkari bahu.
3. Setelah balutan melingkari bahu, dilingkarkan ke sekeliling badan satu
kali dan kembali lagi ke antara kaki depan melingkari bahu yang lainnya,
lalu balutan dilanjutkan mengelilingi daerah thoraks hingga ke abdomen
di depan kaki belakang (pada anjing jantan, balutan berakhir di depan
preputium). Balutan dilakukan sebanyak 2 – 3 lapisan untuk menutupi
sepanjang daerah thoraks hingga abdomen.
4. Lapisan tersier (bisa menggunakan adhesive tape, kain blacu, atau elastic
bandage) dapat digunakan untuk melapisi lapisan sekunder, dibalutkan
mulai dari daerah thoraks hingga ke abdomen. Tiap putaran dilakukan
overlapping ½ hingga 1/3 bagian bandage untuk mencegah adanya bagian
dari lapisan sekunder yang tidak tertutupi.
5. Tepi-tepi bandage yang berada di antara kaki depan dan di dekat kaki
belakang dipasangkan plester untuk menghindari balutan bergeser ke
depan atau ke belakang.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Gambar 3 Metode pembalutan daerah thoraks dan abdomen

Pembalutan pada daerah pelvis diindikasikan untuk menutup luka pada


daerah kaudal lumbar dan sacral, baik luka terbuka maupun luka bekas jahitan.
Balutan ini dapat melindungi luka dari kontaminasi maupun dari jilatan hewan
lainnya. Lapisan primer dapat digunakan untuk memberikan obat yang dapat
mempercepat persembuhan luka terbuka. Balutan ini sangat berguna terutama pada
kondisi luka terbuka yang luas di daerah pelvis atau kaudal tulang belakang
(contoh: luka bakar).
Metode pembalutan daerah abdomen dan pelvis:
1. Lapisan primer diletakkan menutupi seluruh permukaan luka diikuti
dengan lapisan sekunder yang bersifat absorptive.
2. Pembalutan lapisan sekunder dimulai dari bagian abdomen di depan kaki
belakang (pada anjing jantan, balutan dimulai di atas preputium) memutar
ke arah belakang sebanyak dua hingga tiga lapisan, kemudian balutan
dibawa mengelilingi salah satu kaki belakang sebanyak 2 – 3 lapisan
kemudian dilanjutkan ke bagian kaudal abdomen sebanyak 1 – 2 lapisan.
3. Balutan dibawa melalui bagian atas pelvis menuju ke kaki belakang yang
lainnya dan dilingkarkan seperti yang dilakukan pada kaki lainnya hingga
balutan sepenuhnya menutupi daerah abdomen, pelvis, dan kaudal tulang

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

rusuk, menyisakan ekor, anus, dan daerah vulva (pada betina) atau
skrotum (pada jantan).
4. Lapis tersier dipasangkan seperti pada proses pemasangan lapis sekunder,
kemudian tepi-tepi bandage diberi plester untuk mencegah bandage
bergeser ke depan atau ke belakang. Setelah itu, khusus pada anjing jantan
diberikan tanda pada daerah ujung preputium, kemudian bandage
digunting sehingga ujung preputium dapat keluar untuk memudahkan
urinasi.

Gambar 4 Metode pembalutan daerah abdomen belakang dan pelvis

Pembalutan Daerah Ekstremitas, Pemasangan Gips, dan Splinting

Pembalutan Ekor
Bandaging pada ekor dilakukan untuk melindungi luka terbuka atau luka
jahitan dari tekanan terutama pada ujung ekor. Perlukaan pada ekor sering terjadi
pada anjing yang memiliki ekor panjang akibat anjing mengibaskan ekornya
sehingga ujung ekor mengalami trauma. Pembalutan juga dilakukan pada kasus
amputasi ekor.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Teknik pembalutan ekor:


1. Daerah proksimal dan profundal luka dicukur dan didesinfeksi terlebih
dahulu, terutama pada hewan yang berambut panjang
2. Lapisan primer diletakkan di atas luka yang hendak ditutup, tepi-tepi
kassa yang digunakan sebagai lapisan primer difiksasi menggunakan
plester agar tidak berpindah tempat. Lapisan sekunder diletakkan
memanjang sejajar dengan ekor dan memutar dari bagian dorsal ke bagian
profundal.
3. Fiksasi lapisan sekunder dilakukan dengan plester yang dipasangkan
seperti pemasangan lapis sekunder dan dilanjutkan dengan lapisan baru
yang memutari ekor dari bagian proksimal luka terus memutar hingga ke
ujung ekor.
4. Apabila dibutuhkan perlindungan lebih, dapat menggunakan splint
berukuran kecil sebelum diberikan lapisan tersier untuk mencegah
tekanan dan gesekan pada luka.

Gambar 5 Metode pembalutan pada ekor

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Pembalutan pada Daerah Kaki Depan


Basic soft padded limb bandage, merupakan metode pembalutan yang umum
digunakan pada kaki depan. Metode pembalutan ini ditujukan untuk membantu
memberikan tumpuan, membatasi pergerakan, dan kompresi untuk perlukaan atau
luka jahitan yang terjadi pada daerah kaki depan. Langkah pembalutan metode ini:
1. Hewan dibaringkan lateral dengan kaki yang hendak dibalut berada di
atas. Kaki diposisikan sesuai dengan sudut sendi yang terluka (neutral
angulation), sela-sela jari dan sela diantara pad dipisahkan menggunakan
kapas sebelum dibalut. Pemasangan kapas diantara interdigit dan inter-
pad ini ditujukan untuk menghindari lembab pada daerah tersebut
sehingga dapat mencegah pertumbuhan bakteri.
2. Lapisan primer diletakkan di atas luka yang hendak ditutup, kemudian
bantalan yang dibuat dari gulungan kapas atau beberapa lapis kassa
dipasangkan pada daerah metacarpal hingga digit untuk menghindari
tekanan pada daerah tersebut
3. Lapisan sekunder dipasangkan dengan cara memutar dimulai dari daerah
distal kaki depan (dekat digit) ke arah atas (setiap putaran bandage
dilakukan overlapping ½ bagian dari bandage untuk mencegah balutan
bergeser dari tempatnya) hingga di bawah bahu kemudian tepi atas lapis
sekunder dipasangkan plester untuk mencegah bandage turun. Apabila
diperlukan pemakaian gips, maka lapisan sekunder diganti menjadi gips
terlebih dahulu sebelum dibalut dengan elastic bandage.
4. Lapisan tersier berupa elastic bandage dipasangkan mulai dari daerah
digit memutar ke atas hingga di bawah bahu kemudian difiksasi
menggunakan plester.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Gambar 6 Metode pembalutan basic soft padded limb

Basic paw and distal limb bandage, merupakan pembalutan untuk luka yang
terdapat pada daerah distal kaki depan dan daerah telapak kaki. Pada metode ini,
seluruh telapak kaki dibalut sehingga tidak ada jari-jari yang terlihat. Langkah
pembalutan daerah distal dan telapak kaki depan:
1. Kapas dipasangkan ke sela-sela antara jari dan inter-pad untuk mencegah
kondisi lembab. Akan tetapi, apabila perlukaan terdapat di daerah ini,
maka kapas digantikan dengan lapisan primer (kassa atau bahan lainnya)
yang dipasangkan di interdigit atau inter-pad apabila perlukaan hanya di
beberapa daerah saja, sedangkan apabila mencakup seluruh daerah digit
dan carpal, maka dapat menggunakan bahan pelapis primer yang
dibungkuskan pada daerah carpal hingga digit secara langsung.
2. Bantalan dipasangkan pada daerah carpal yang menonjol (carpal pad) dan
daerah-daerah yang potensial mengalami cidera akibat tekanan dari
bandage atau gips yang dipasangkan.
3. Lapisan sekunder dipasangkan memutar dari daerah distal ke arah atas
hingga mencapai pertengahan tulang radius-ulna, kemudian kembali lagi
hingga ke digit. Kemudian balutan dilipatkan berulang-ulang di daerah
ujung jari hingga membentuk semacam bantalan pada ujung jari, lalu

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

balutan diputar kembali ke atas hingga pertengahan tulang radius-ulna.


Setelah itu, dipasangkan plester pada tepi atas untuk memfiksasi agar
balutan tidak bergeser. Hasil akhir balutan akan menutupi seluruh telapak
kaki.
4. Kemudian dipasangkan lapisan tersier (misal adhesive tape atau elastic
bandage) menutupi seluruh permukaan lapisan sekunder. Pada tepi
bagian atas, lapisan tersier dilebihkan satu kali balutan agar separuh
bagian yang lengket menempel pada kulit. Hal ini akan membantu
bandage tetap berada di tempatnya dan tidak bergeser.

Gambar 7 Metode pembalutan pada daerah distal kaki depan

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Velpeau sling, merupakan metode pembalutan yang berfungsi untuk


mencegah pemberian beban pada kaki yang mengalami cidera. Metode pembalutan
ini juga berguna sebagai manajemen luksasio persendian bahu secara konvensional.
Langkah pembalutan velpeau sling adalah:
1. Aplikasi velpeau sling dimulai dari pemasangan cast padding (gips) di
daerah metacarpus hingga ke carpus sebanyak 2 – 3 lapisan, kemudian
kaki ditahan menekuk mendekati thoraks dan gulungan gips dibawa ke
arah dorsal hewan dan kembali ke kaki untuk menahan posisi kaki hewan
tetap menekuk di dekat thoraks, dibalutkan sebanyak 2 – 3 lapisan.
2. Pembalutan dilanjutkan dengan lapisan berikutnya menggunakan kassa
gulung atau plester untuk melapisi gips yang dipasangkan. Kassa
dibalutkan dengan cara yang sama dengan cast padding, perlu dipastikan
bahwa bagian depan carpus tertutup dengan baik agar kaki tidak dapat
bergeser keluar dari arah kranial.
3. Terakhir, diberikan lapisan pelindung menggunakan elastic bandage
dengan metode pembalutan yang sama dengan lapisan-lapisan
sebelumnya.

Gambar 8 Metode pembalutan Velpeau sling

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Pembalutan pada Daerah Kaki Belakang


Basic soft padded limb bandage, merupakan metode pembalutan dasar pada
kaki. Balutan ini dilakukan dengan cara yang sama dengan pembalutan dasar pada
kaki depan. Pada metode ini, pemasangan gips dapat dilakukan apabila diperlukan
pembatasan gerak pada kaki yang cidera. Umumnya, pemasangan gips dapat
mempercepat persembuhan pada beberapa tipe fraktura dan juga dapat digunakan
untuk mengurangi pergerakan pada kaki post-operasi. (Langkah pembalutan sama
dengan basic soft padded limb bandage pada kaki depan)
Ehmer sling, metode ini digunakan untuk menjaga kepala femur tetap berada
di dalam acetabulum akibat luxatio persendian coxofemoral ke arah cranio-dorsal.
Akan tetapi, pembalutan ini tidak boleh digunakan pada luxatio coxofemoral ke
arah ventral. Langkah pembalutan Ehmer sling adalah:
1. Lapisan primer berupa gulungan kassa dipasangkan sebanyak 2 – 3 lapis
di sekeliling daerah metatarsus sebagai padding, kemudian difiksasi
menggunakan plester agar lapisan dasar tersebut tidak bergeser.
2. Kemudian lapisan sekunder berupa elastic bandage atau adhesive tape
dibalutkan mulai dari bagian metatarsal sebanyak 2 lapisan. Balutan
dibawa ke arah medial dari persendian femorotibial, kemudian turun
kembali ke daerah metatarsus melalui bagian menonjol dari tulang tarsus.
Pembalutan diulang 2 – 3 kali untuk memastikan balutan cukup kuat
untuk menahan beban kaki belakang.
3. Setelah itu, balutan dibawa dari daerah metatarsus ke arah dorsal dan
melingkari bagian abdomen belakang untuk memfiksasi kaki belakang
yang dibalut. Lapisan diulangi 2 – 3 kali untuk memastikan kaki belakang
sudah benar-benar terangkat dengan posisi kaki terabduksi dan terlipat
dengan sedikit rotasi ke arah dalam.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Gambar 9 Metode pembalutan Ehmer sling

Pembalutan pada Hewan Besar (Kuda)

Kuda terutama kuda pacu, sangat rentan mengalami perlukaan pada bagian
kaki. Pembalutan pada kuda ditujukan tidak hanya untuk terapi luka atau fraktur
saja, tetapi dapat pula digunakan sebagai pencegahan cidera. Jenis-jenis balutan
yang digunakan untuk pencegahan cidera pada kuda adalah stable bandage, polo
wraps, dan shipping bandage.
Sedangkan pembalutan yang ditujukan untuk pengobatan adalah sweat
bandages dan wound bandages. Sweat bandages dilakukan untuk mengurangi
kebengkakan pada kaki kuda. Sedangkan wound bandages diaplikasikan untuk
perlindungan pada kaki yang mengalami cidera. Berikut merupakan teknik-teknik
pembalutan wound bandages:

Pembalutan daerah Persendian Fetlock


1. Lapisan primer dibalutkan mulai dari atas persendian coffin kemudian
melingkar naik hingga persendian fetlock.
2. Lapis sekunder dibalutkan dengan cara yang sama sebanyak 2 – 3 lapisan
sampai bagian heels belakang tertutupi sedikit.
3. Kemudian kaki diangkat dan lapisan tersier dipasangkan menutupi
keseluruhan bandage yang sudah dipasang dan juga bagian bawah kaki.
4. Waterproof adhesive tape dipasangkan untuk mencegah kerusakan pada
bandage yang sudah dipasangkan. Pemasangan plester dilakukan pada
bagian sol kaki kuda secara menyilang berulang sebanyak 2 – 3 lapisan.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Gambar 10 Metode pembalutan daerah distal kaki kuda

Pemasangan Bandage pada Daerah Carpus


Hal yang perlu diperhatikan pada pemasangan balutan di daerah lutut adalah
tekanan yang diberikan pada persendian carpus. Tekanan yang berlebihan dapat
mengakibatkan perlukaan yang sulit disembuhkan.
1. Lapisan primer dipasangkan di atas luka yang hendak dibalut. Lapis
sekunder (kassa gulung) dibalutkan mulai dari persendian carpus secara
memutar tepat di atas lapis primer untuk menahan lapisan primer tetap
pada tempatnya.
2. Pembalutan dilanjutkan dengan Gerakan memutar angka 8 dengan
menghindari tuber calcanei yang menonjol keluar.
3. Gulungan kapas dibalutkan pada daerah carpus sebanyak 2 – 3 lapisan
dengan memberikan lubang pada bagian tulang yang menonjol agar
tulang carpus aksesori tersebut tidak tertutup balutan.
4. Bandage lapis tersier dipasangkan diatas gulungan kapas dengan cara
yang sama dengan pemasangan gulungan kassa yaitu dengan Gerakan
memutar angka 8 dengan menghindari tulang carpus aksesori. Fiksasi
bandage dapat dilakukan dengan memasangkan plester pada bagian atas
dan bawah bandage.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Gambar 11 Metode pembalutan daerah persendian carpus kuda

Pemasangan Bandage pada Daerah Tarsus


Seperti pada pembalutan di daerah persendian carpus, tekanan yang
berlebihan pada daerah tarsus juga dapat mengakibatkan cidera pada balutan.
Metode pembalutan daerah tarsus yaitu:
1. Lapisan primer dipasangkan di atas luka yang hendak dibalut. Lapis
sekunder (kassa gulung) dibalutkan mulai dari persendian tarsus secara
memutar tepat di atas lapis primer untuk menahan lapisan primer tetap
pada tempatnya.
2. Pembalutan dilanjutkan dengan Gerakan memutar angka 8 dengan
menghindari tulang calcaneus yang menonjol keluar.
3. Gulungan kapas dibalutkan pada daerah tarsus sebanyak 2 – 3 lapisan
dengan memberikan lubang pada bagian tulang yang menonjol agar
tulang calcaneus tersebut tidak tertutup balutan.
4. Bandage lapis tersier dipasangkan diatas gulungan kapas dengan cara
yang sama dengan pemasangan gulungan kassa yaitu dengan Gerakan
memutar angka 8. Fiksasi bandage dapat dilakukan dengan memasangkan
plester pada bagian atas dan bawah bandage.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Gambar 12 Metode pembalutan daerah persendian tarsus kuda

DAFTAR PUSTAKA

Kirpensteijn J, ter Haar G. 2013. Reconstructive Surgery and Wound Management


of the Dog and Cat. London (UK): Manson Publishing.
Knottenbelt DC, Malalana F. 2015. Saunders Equine Formulary, Second Edition.
London (UK): Elsevier Saunders.
Pavletic MM. 2018. Atlas of Small Animal Wound Management and Reconstructive
Surgery, Fourth Edition. New Jersey (US): Wiley Backwell.
Swaim SF, Renberg WC, Shike KM. 2011. Small Animal Bandaging, Casting, and
Splinting Techniques. Iowa (US): Blackwell Publishing.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

MATERI 10 ANESTESI PADA HEWAN KECIL, LABORATORIUM, DAN


EKOSTIK

Sediaan anestesi merupakan sediaan yang digunakan untuk menghilangkan rasa


nyeri, memberikan efek relaksasi otot pada saat prosedur bedah, dan untuk
menenangkan rasa takut dan gelisah, serta menimbulkan amnesia pada waktu tersebut.
Anestesi pada pasien bertujuan menyediakan ketidaksadaran yang reversibel, amnesia,
analgesia (mencegah respon terhadap nyeri), dan imobilitas (relaksasi otot skelet) pada
saat prosedur medis yang bersifat invasif. Penggunaan anestesi pada pasien perlu
menggunakan persetujuan dari wali/pemilik hewan tersebut. Sebuah rumah sakit atau
klinik harus menyediakan formulir persetujuan (inform consent) yang diisi oleh
pemilik hewan. Inform consent tidak hanya diisi sebelum prosedur anestesi, akan tetapi
prosedur invasif lainnya seperti prosedur operasi juga perlu diberikan kepada pemilik
hewan. Pemilik hewan memiliki hak untuk menyetujui atau menolak prosedur medis
tersebut. Orang yang mengisi formulir harus berusia minimal 18 tahun sehingga dapat
mempertimbangkan prosedur medis dari sisi pemilik hewan.

Indikasi anestesi:
- Mempertimbangkan aspek kemanusiaan yaitu untuk mengurangi penderitaan
hewan saat dilakukan tindakan medis atau invasif;
- Mempertimbangkan teknis prosedur perlakuan pada hewan, seperti saat
transportasi/pengambilan gambar radiografi dan sonografi/pemeriksaan fisik,
khususnya untuk hewan yang galak dan tidak dapat direstrain secara manual.

Anestesi yang baik/ideal:


- Mekanisme detoksifikasi yang baik
- Induksi cepat dan kedalaman anastesi dapat cepat dirubah
- Recovery cepat
- Depresi yang minimal terhadap sistem kardiovaskular dan respirasi
- Tidak iritan terhadap jaringan
- Tidak mahal, stabil, tidak korosif/mudah terbakar/meledak
- Tidak perlu peralatan mahal untuk aplikasinya

Prinsip umum dalam manajemen anestesi


Terlepas dari spesies dan prosedur, pedoman ini harus diterapkan pada semua pasien:
1. Evaluasi dari anamnesa, pemeriksaaan fisik, dan data laboratorium.
2. Menimbang manfaat dari prosedur terhadap potensi efek merugikan anestesi.
3. Stabilisasi dan koreksi semua abnormalitas yang terjadi akibat anestesi.
4. Minimalisasi waktu pemberian anestesi.
5. Mengidentifikasi dan mempersiapkan potensi komplikasi.
6. Memilih protokol anestesi berdasarkan pasien dan abnormalitas yang ada.
7. Membuat akses intavena bila memungkinkan dan layak.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

8. Mengamankan dan memelihara saluran udara jika memungkinkan dan layak.


9. Menggunakan oksigen tambahan berdasarkan pasien dan durasi prosedur.
10. Menggunakan cara hidup perawatan yang dapat meminimalisasi efek samping.
11. Menyediakan ventilatory support
12. Monitor sistem vital tubuh, termasuk kardiovaskular, respirasi, dan sistem saraf
pusat.
13. Mengidentifikasi dan mengoreksi abnormalitas yang timbul ketika anestesi
14. Melanjutkan monitoring dan support hingga tanda vital stabil.
15. Menggunakan anestesia yang sesuai dan sedasi post-operasi untuk
meminimalkan sakit dan stres

Penilaian Pre-Anestesi

Penilaian status kesehatan hewan sangat penting dilakukan sebelum diberi


tindakan anestesi. Hal ini bertujuan mempertimbangkan resiko tindakan anestesi dan
pemilihan sediaan anestesinya. Penilaian-penilaian yang perlu dilakukan adalah:
- Anamnesa:
o Gejala klinis yang perlu diperhatikan: diare, muntah, poliuri/polidipsi,
epilepsi, batuk dan abnormalitas suara napas
o Anestesi yang pernah diberikan
o Sejarah alergi
o Kapan makan terakhir kali sebelum diperiksa
- Pemeriksaan umum
- Uji laboratorium tambahan:
o Complete Blood Count (CBC) (terutama Packed Cell Volume (PCV)
dan konsentrasi plasma protein);
o Urinalisis;
o Kimia darah (untuk mengetahui fungsi hati dan ginjal);
o EKG;
o Waktu beku darah dan jumlah platelet
o Pemeriksaan feses
o Radiografi/ultrasonografi
Diagnosa status fisik hewan kemudian harus diklasifikasi menjadi status
kesehatan umum menurut klasifikasi American Society of Anesthesiologist (ASA). Hal
ini dapat membantu dokter untuk mengevaluasi kondis pasien sehingga dapat memilih
sediaan anestesi yag tepat.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Tabel 1 Klasifikasi status kesehatan umum (ASA)


Kategori Status Fisik Contoh
I Pasien normal sehat Tidak ada penyakit; pasien operasi steril
(OH/Kastrasi)
II Pasien dengan penyakit sitemik ringan Tumor kulit, fraktur tanpa shock, hernia tanpa
komplikasi
III Pasien dengan penyakit sitemik parah Demam, dehidrasi, anemia, kaheksia,
hipovolemik moderat
IV Pasien dengan penyakit sistemik parah Uremia, toksemia, hipovolemi dan dehidrasi
yang dapat beresiko kematian parah, anemia, demam tinggi
V Pasien yang tidak dapat bertahan 1 hari Shock dan dehidrasi berat, trauma parah,
dengan/tanpa operasi penyakit terminal
Sumber: Muir WW. 2007. Lumb and Jones’ Veterinary Anesthesia and Analgesia, 4th ed. Iowa (US):
Blackwell Publishing.

Preparasi Pasien Pre-Anastesi:


- Puasa: Induksi anestesi tidak boleh dilakukan pada pasien dengan kondisi
lambung yang penuh. Puasa lebih baik dilakukan minimal 12 jam sebelum
tindakan anestesi. Induksi anestesi pada hewan dengan keadaan lambung yang
penuh akan berbahaya karena terdapat resiko makanan akan teraspirasi ke
saluran pernapasan.
- Terapi cairan pre-anestesi: terutama pada pasien dehidrasi. Pemberian terapi
cairan pada saat anestesi akan menjaga volume darah tetap normal dan juga
membantu produksi urin, serta memudahkan administrasi sediaan obat lain.
- Pemberian antibiotik profilaktik khususnya sebelum tindakan operasi. Hal ini
bertujuan mengantisipasi apabila terdapat kontaminasi ketika operasi
berlangsung.
- Oksigenasi dan ventilasi khususnya bagi pasien yang memiliki penyakit saluran
respirasi, atau bagi pasien yang diberikan anestesi inhalasi. Hal ini bertujuan
melancarkan airway pasien dan menjaga respirasi pasien tetap baik pada saat
teranestesi.

Pertimbangan pemilihan sediaan anastesi dan analgesik:


- Spesies, ras, dan umur pasien
- Status present pasien
- Waktu yang dibutuhkan, tipe dan keparahan kondisi hewan untuk prosedur
medis/operasi, dan kehandalan operator
- Pengalaman dalam penggunaan teknik anestesi yang akan digunakan
- Ketersediaan personal dan peralatan pendukung

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Premedikasi Anestesi Dan Sedativa

Premedikasi merupakan obat yang diberikan sebagai persiapan sebelum


prosedur bedah atau prosedur invasif lainnya. Premedikasi merupakan sediaan yang
dapat membantu mengurangi efek samping dari anestesi yang diberikan pada pasien.

Agen Antikolinergik
Agen antikolinergik befungsi mengatasi bradikardi dan AV-block pada
jantung yang dapat terjadi sebagai efek samping dari sediaan anestesi. Secara umum,
agen ini juga digunakan untuk mencegah hipersalivasi. Agen antikolinergik pada
umumnya sediaan parasimpatolitik karena sediaan ini mencegah efek dari syaraf
parasimpatik di sistem-sitem tubuh terutama sistem kardiovaskular dan
gastrointestinal. Premedikasi juga dapat membantu menenangkan dan imobilisasi
hewan sehingga dapat memudahkan dokter hewan atau operator dalam memasang iv,
atau menginduksi anestesi. Agen ini juga memiliki sifat analgesik.
Sediaan premedikasi anestesi yang dapat digunakan berupa atropin dan
glikopirolat. Kedua sediaan tersebut bersifat antagonis muskarinik non-selektif,
sehingga dapat mencegah sekresi kelenjar saliva dan bronkial yang berlebih.
Administrasi agen antikolinergik umumnya dapat menyebabkan sinus takikardi,
sehingga sediaan ini berbahaya bagi pasien dengan penyakit kardiovaskular.
Kombinasi agen antikolinergik dan ketamin dapat mencegah terjadinya infark
miokardium.

1. Atropin
Sediaan ini dapat menembus blood-brain barrier di sistem syaraf pusat serta
memiliki sedikit efek sedasi dan dapat menembus placenta barrier. Atropin dapat
mencegah adanya muntah/emesis dan menyebabkan dilatasi pupil hingga
midriasis yang lama. Sekresi lakrimalis juga dihambat, sehingga dapat
menyebabkan kekeringan pada mata ketika anestesi, sehingga seringkali artificial
tears perlu diberikan.
Aplikasi sediaan: subkutan (sc), intramuskular (im), atau intravena (iv) dengan
dosis 0.02-0.04 mg/kgbb (anjing dan kucing).

2. Glikopirolat
Sediaan ini tidak memiliki efek sedasi. Pemberian sediaan ini tidak
menyebabkan adanya dilatasi pupil dan tidak merubah tekanan intraokular.
Berbeda dengan atropin, sediaan ini memiliki efek pada saluran pencernaan, yaitu
mengurangi motilitas usus setidaknya selama 30 menit. Pada umumnya
glikopirolat digunakan pada saat operasi berlangsung untuk mencegah bradikardia
yang parah (akibat efek samping prosedur operasi atau obat anestetikum).

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Aplikasi sediaan: subkutan (sc), intramuskular (im), intravena (iv), dengan dosis
5-10 μg/kgbb.

Sedativa
Sedativa merupakan sediaan yang dapat menghasilkan efek depresi tingkat
kesadaran secara cukup, sehingga menimbulkan rasa mengantuk dan menghilangkan
kecemasan tanpa kehilangan komunikasi verbal.
1. Phenothiazine (contoh: Acepromazine)
- Sedativa yang efektif pada kucing dan anjing.
- Blokade reseptor dopamin
- Menghambat perilaku siaga dan perilaku motorik spontan
- Dengan dosis yang tinggi: menyebabkan tremor, kekakuan, dan katalepsi
- Memiliki efek anti-emetik dan deplesi katekolamin di pusat termoregulator
(hipotalamus)
- Acepromazin umumnya dikombinasikan dengan opioid untuk menurunkan
dosis anestesi inhalasi dan untuk menjaga stadium anestesi.
- Rute: im (kucing dan anjing kecil) dosis 0.01-0.2 mg/kgbb; dosis 0.01-0.05
mg/kgbb (anjing besar)

2. Alpha-2 adrenergic agonist (Xilazin, Medetomidin, Dexmedetomidin)


- Memiliki efek sedasi, analgesik, dan muscle relaxant
- Medetomidine, Dexmedetomidine:
o Administrasi iv, im
o Metabolisme di hati, dan diekskresikan melalui urin
o Onset cepat, durasi tergantung dari dosis yang diberikan
o Anjing: Dosis 0.01-0.05 mg/kgbb (onset: 5 menit; durasi: 1-2 jam)
o Kucing: Dosis 0.05-0.12 μg/kgbb (onset 15 menit; durasi: 1-2 jam)
- Xylazine:
o Memiliki efek sedasi, analgesic, dan muscle relaxant
o Rute: iv, im, dosis 0.3-2.2 mg/kgbb

3. Benzodiazepin
- Bekerja dengan memodulasikan neurotransmisi oleh Gammaaminobutyric acid
(GABA).
- Memiliki efek sedasi, anxiolytic, muscle relaxant, dan antikonvulsan.
- Diazepam:
o Digunakan sebagai muscle relaxant dan antikonvulsan
o Tidak bekerja efektif sebagai sedativa karena dapat menyebabkan
eksitasi, ataksia, dan perilaku agresif pada anjing dan kucing, maka dari
itu perlu dikombinasikan dengan sediaan sedativa lainnya.
o Rute: iv, im; dosis 0.2-0.4 mg/kgbb

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

- Midazolam
o Umumnya digunakan sebagai muscle relaxant
o Dikombinasikan dengan ketamin, etomidate, atau propofol
o Memiliki efek minimal pada sistem kardiovaskular, sehingga aman
digunakan untuk pasien tua atau pasien dengan penyakit kardiovaskular
o Rute: iv, im, sc; dosis: 0.1-0.3 mg/kgbb

Stadium/Tahapan Anestesi General

Tahap 1: Amnesia dan Analgesia / Voluntary Movement


Tahapan sesaat setelah hewan diinduksi anestesi hingga hewan kehilangan
kesadaran. Pada tahap ini, rasa sakit masih dapat dirasakan pasien, akan tetapi respon
rasa sakit pasien dikurangi.

Tahap 2: Delirium / Involuntary Movement


Tahap ini dimulai saat pasien kehilangan kesadaran hingga pernafasan pasien
kembali teratur. Pada tahap ini, reflex kelopak mata sudah tidak ada, Tahap ini
merupakan tahap eksitasi, sehingga memulai prosedur medis pada tahap ini akan
berbahaya. Pada tahap ini, pasien masih dapat bergerak secara spontan, hiperventilasi,
dan lainnya.

Tahap 3: Surgical Anesthesia


Tahap ini dimulai saat pasien sudah memiliki pola respirasi teratur hingga
penurunan respirasi. Kedalaman tahap ini dibagi empat yaitu: plane 1, plane 2, plane
3, dan plane 4.

Tahap 4: Medullary Paralysis


Tahap ini dimulai saat sudah terjadi penurunan respirasi hingga kegagalan
sirkulasi. Hal ini terjadi karena sistem syaraf pusat sudah terdepresi secara berlebihan.

Cotoh Sediaan Anestesi dan Kombinasinya

1. Ketamin
Dosis 2.0 – 10.0 mg/kgbb, Rute: iv, im. Harus dikombinasikan apabila
diberikan pada anjing. Berguna untuk restraint kucing dalam waktu 5-30
menit.
2. Ketamin + Diazepam/Midazolam
Dosis: 5.5 + 0.2 mg/kgbb. Rute iv. Restraint dalam 5-10 menit, dengan efek
muscle relaxant tidak sempurna, dan analgsik
3. Ketamin + Xylazine

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Dosis: 10.0 + 0.7-1.0 mg/kgbb. Rute: iv, im. Restraint dalam 20-40 menit.
4. Ketamin + Acepromazine
Dosis: 10,0 + 0.2 mg/kgbb. Restraint dalam 20-30 menit
5. Tiletamin + Zolazepam (Telazol)
Dosis: 2.0 – 8.0 mg/kgbb. Rute: iv, im. Restraint dalam 20 menit – 1 jam.
6. Thiopental
Dosis: 8.0 – 20.0 mg/kgbb. Rute: iv. Dosis rendah digunakan setelah
pemberian premedikasi.
7. Etomidate
Dosis: 0.5 – 2.0 mg/kgbb. Rute iv. Durasi 5-10 menit, akan menimbulkan efek
myoclonus dan gagging/retching.
8. Propofol
Dosis 4.0-6.0 mg/kgbb / 0.4-0.8 mg/kgbb/menit. Rute: iv. Onset cepat, durasi
5-10 menit, dan akan menimbulkan efek apnea selama beberapa menit.
9. Xylazine/Midazolam/Butorphanol
Dosis: 0.4/1.0/1.0 mg/kgbb. Rute iv. Durasi 30-40 menit, dengan onset yang
berbeda.

Anestesi Inhalasi

Sediaan anestesi ini diadministrasikan dan diekskresikan dari tubuh


menggunakan paru-paru. Anestesi inhalasi merupakan anestesi yang sering digunakan
karena kedalaman anestesinya dapat diatur secara cepat. Sediaan ini tidak perlu
mekanisme detoksifikasi tubuh, aman untuk bedah toraks, aman untuk bedah dengan
durasi yang panjang, dan recovery pasien cepat. sediaan anestsi ini harus dilakukan
dengan penggunaan oksigen, dan beberapa peralatan seperti endotracheal tube/face
mask untuk membantu mengeluarkan karbon dioksida.
Terdapat standar umum untuk penggunaan anestesi inhalasi, yaitu Minimum
Alveolar Concentration (MAC). MAC merupakan konsentrasi anestesi yang
diperlukan untuk mencegah terjadinya gerakan otot terhadap rangsangan/stimulus rasa
nyeri. Tahap anestesi akan dicapai ketika konsentrasi anestesi sama atau lebih besar
dari nilai MAC. Nilai dosis ED95 (95% individu teranestesi) adalah 20-40% lebih tinggi
daripada MAC.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Peralatan Anestesi Inhalasi


1. Endotracheal tube (ETT) dan Laryngoscope

Gambar 1 ETT dan laryngoscope

Laryngoscope digunakan untuk membantu pemasangan ETT ketika


intubasi. Alat ini digunakan untuk mempermudah operator dalam melihat laring,
sehingga ETT dapat dimasukkan dengan tepat. ETT merupakan alat yang
digunakan untuk mempertahankan airway pada pasien anestesi inhalasi.
Intubasi ETT dilakukan segera setelah induksi anestesi oleh sediaan yang
bersifat menghilangkan reflek menelan seperti ketamin dan
tiletamine/zolazepam.

Gambar 2 ETT tipe cuffed Murphy dan tipe Cole

ETT memiliki berbagai ukuran yang harus disesuaikan dengan ukuran


pasien. Ukuran ETT umumnya ditentukan oleh diameter internal dari tubenya.
Terdapat dua tipe ETT yang umumnya digunakan pada hewan, yaitu tipe cuffed
Murphy dan tipe Cole and guarded. Tipe cuffed Murphy merupakan tipe ETT
yang paling umum digunakan, dan dapat digunakan pada hewan kecil maupun
besar. Tipe Cole and guarded tidak memiliki cuff, memiliki diameter yang lebih
kecil pada bagian distal daripada proksimalnya. Bagian distal dari tube tersebut
yang dimasukkan ke dalam trakea hingga mencapai laring. Tipe ini umumnya
digunakan pada pasien yang sangat kecil dan untuk intubasi jangka pendek. Hal
ini dikarenakan tube ini tidak memiliki cuff, sehingga tidak dapat menjamin
tube ini terpasang dalam waktu yang lama.

2. Medical Gas Supply dan mesin anestesi inhalasi

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Terdiri dari beberapa komponen, yaitu silinder oksigen dan nitrous oxide,
regulator, flow meter, katup satu arah, rebreathing bag, carbon dioxide
absorber, katup pop-off, dan vaporizer.

Gambar 3 Mesin anestesi inhalasi (vetlandmedical.com 2017)

Silinder nitrous oxide merupakan sistem penyerapan nitrogen dari udara untuk
menghasilkan gas dengan konsentrasi oksigen 90-96%. Regulator merupakan
komponen untuk mengatur tekanan dari silinder, yaitu menurunkan tekanan
tinggi silinder gas menjadi lebih rendah dan aman.
Flow meter merupakan komponen pengatur jumlah gas ke area tekanan rendah
dari mesin anestesi. Carbon dioxide absorber digunakan untuk menyerap
karbon dioksida yang diekspirasi. Katup pop off untuk membuang tekanan yang
berlebih.

Sediaan Anestesi Inhalasi


1. Isofluran
Isofluran memiliki onset dan pemulihan dari anestesi yang lambat, dan
kedalaman anestesi dapat diubah dengan mudah dan cepat. Sediaan ini bersifat

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

non-iritan, noneksplosif dan tidak mudah terbakar. Isofluran menghasilkan


depresi pernafasan moderat dan sistem kardiovaskular. Sediaan ini umumnya
digunakan untuk mempertahankan kondisi anestesi pasien, bukan untuk induksi
anestesi.
2. Sevofluran
Sevofluran memiliki onset dan pemulihan dari anestesi lebih cepat
daripada isofluran, dan kedalaman anestesi dapat diubah dengan sangat mudah
dan cepat. Sediaan ini bersifat non-eksplosif dan tidak mudah terbakar. Berbeda
dengan isoflurane, sediaan ini dapat digunakan untuk induksi anestesi, akan
tetapi sediaan ini relatif mahal. Produk breakdown dapat menyebabkan
kerusakan pada ginjal, tetapi konsentrasi dihasilkan sangat rendah dalam
keadaan normal.
3. Desflurane
Onset dan pemulihan dari anestesi dengan desfluran adalah yang paling
cepat dari anestesi volatil. Desflurane relatif mahal dan memerlukan tekanan
dan temperatur yang terkontrol karena titik didih yang sangat rendah. Sediaan
ini memiliki bau yang kuat dan dapat mengiritasi saluran pernapasan. Sediaan
ini juga tidak cocok untuk digunakan sebagai induksi anestesi.
4. Halotan
Sediaan ini mudah menguap, dan induksi dan pemulihan yang cepat (1-
3 menit). Ini adalah anestesi kuat, non-iritan dan tidak mudah terbakar atau
meledak. Halotan memiliki efek depresan pada sistem kardiovaskular.
Hipotensi moderat diproduksi pada tingkat bedah anestesi karena pengurangan
cardiac output dan vasodilatasi perifer. Halotan juga dapat depresi sistem
respires, tergantung konsentrasi yang digunakan. Selain itu, halotan juga
bersifat hepatotoksik.
5. Enfluran
Induksi dan pemulihan dari anestesi yang cepat, sehingga kedalaman
anestesi dapat diubah dengan mudah dan cepat. Enfluran tidak mudah terbakar,
non-eksplosif dan non-iritan. Enfluran menghasilkan depresi kardiovaskular
dan pernafasan. Enfluran sebagian besar dihilangkan melalui paru-paru, dan
tidak seperti halotan, sangat sedikit dimetabolisme di hati. Penggunaan sediaan
ini dengan dosis yang tidak tepat akan menyebabkan kejang.
6. Metoksifluran
Metoksiflurana adalah non-iritasi, tidak mudah terbakar dan non-
eksplosif dalam udara atau oksigen. Ini memiliki efek analgesik kuat.
Metoksifluran menghasilkan depresi pernafasan dan sistem kardiovaskular.
Hasil metabolisme methoxyflurane dapat menyebabkan kerusakan ginjal
(nefrotoksik).

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Monitoring Pasien Anestesi

Anestesi akan menyebabkan depresi pada sistem kardiovaskular dan respirasi,


maka dari itu, pasien harus terus dimonitor keadaannya. Tindakan monitoring yang
perlu dilakukan adalah kedalaman sedasi, sistem kardiovaskular, sistem respirasi, suhu
tubuh, dan gula darah. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa pasien masih tetap
aman. Tindakan tersebut juga terkadang dilakukan bersama dengan tindakan suportif
seperti pemberian oksigen, terapi cairan, dan menjaga suhu tubuh.

Gambar 4 Patient monitor (untuk monitoring HR, RR, EKG, SpO2, dan suhu tubuh)

Sistem Kardiovaskular:
- Memantau sirkulasi darah tubuh pasien, dengan mengetahui capillary refill
time (CRT) pada membran mukosa. CRT yang lebih lama dari normal
menandakan bahwa terdapat vasokonstriksi dan gangguan perfusi darah,
sementara CRT yang cepat menandakan vasodilatasi.
- Memantau heart rate (HR) atau frekuensi nadi hewan, khususnya ketika ada
perubahan menjadi takikardia, bradikardia, atau aritmia.

Gambar 5 Pulse oximeter

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

- Memantau saturasi oksigen dalam darah, dengan cara melihat warna membran
mukosa (normal: pink/rose; oksigenasi rendah: biru (cyanosis)) atau
menggunakan alat pulse oximetry atau patient monitoring.

Sistem Respirasi
- Memantau frekuensi napas pasien
- Memastikan posisi pasien yang benar sehingga airway tidak terganggu dan
respirasi lancar.

Gambar 6 Apnea monitor (membunyikan alarm ketika hewan tidak bernapas)

- Menggunakan alat capnography, patient monitoring; atau apnea monitor untuk


mengetahui frekuensi napas pasien.

Suhu Tubuh
- Memastikan suhu tubuh pasien tetap normal, tidak hipotermia.
- Memastikan suhu ruangan tidak terlalu dingin

Gambar 7 Heating pad

- Menyediakan alas hangat dapat berupa heating pad atau diberikan penghangat
berupa latex gloves yang diisi air hangat.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Terapi Cairan
- Pasien yang teranestesi akan kesulitan untuk homeostasis, termasuk mengatur
keseimbangan cairan. Maka dari itu perlu diberikan terapi cairan. Khususnya
untuk hewan dengan kondisi gagal ginjal.

Anestesi Hewan Lab

Persiapan Pre-Anestesi
- Pemeriksaan umum dan penimbangan bobot badan
- Pemeriksaan darah
- Puasa

Tabel 1 Data fisiologis hewan laboratorium (Flecknell, Richardson, dan Popovic 2007)
Mencit Tikus Kelinci Marmut
Bobot badan 25-40 300-500 2000-6000 700-1200
dewasa (g)
Suhu tubuh 37.5 38 38 38
(℃)
RR (kali/menit) 80-200 70-115 40-60 50-140
HR (kali/menit) 350-600 250-350 135-325 150-250

Anestesi
Anestesi pada hewan laboratorium dapat digunakan secara inhalasi atau
perinjeksi seperti intraperitoneal (IP), subkutan (SC), atau IM. Berbeda dengan hewan
anjing atau kucing, umumnya mamalia kecil seperti hewan laboratorium, memiliki laju
metabolisme yang tinggi, sehingga dosis yang dibutuhkan untuk anestesi akan lebih
tinggi. Ketika sediaan anestesi yang memiliki efikasi rendah seperti ketamin digunakan,
maka dosis yang diperlukan akan sangat tinggi. Maka dari itu, pada umumnya
dikombinasikan dengan acepromazine, dexmedetomidine atau opioid.
Kombinasi anestesi pada rodensia dan kelinci:
- Ketamin + Medetomidin: 75 mg/kgbb + 1mg/kg BB(IP)
- Ketamin + Xylazine: 80 mg/kgbb + 10 mg/kg BB (IP)
- Tiletamin + Zolazepam: 80-100 mg/kg BB (IM)
- Lidokain: Lidokain 1% 0.25 ml, Lidokain 2% 0.3 ml (epidural)
- Metoksifluran: inhalasi
- Isofluran: 2.5-4% inhalasi
- Eter dan karbondioksida: 1-2% atau 0.5-1% inhalasi

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Anestesi Hewan Eksotik

Persiapan anestesi yang dilakukan pada hewan eksotik sama dengan hewan lab.
Berikut merupakan nilai fisiologis beberapa hewan eksotik

Tabel 2 Data fisiologis beberapa hewan eksotik


Iguana hijau Kura-kura Merpati Lovebird
mediteran
Bobot badan 900-1500 1000-2500 260-350 50-70
dewasa (g)
Suhu tubuh 26-36 20-35 40-42 40-42
(℃)
RR 10-30 2-10 30-50 60-100
(kali/menit)
Pulsus 30-60 40-60 150-300 250-400
(kali/menit)

Sediaan Preanestesi pada hewan eksotik:


- Reptil:
o Atropin: 0.01-0.04 mg/kg BB (IM)
o Glikopirolat: 0.01 mg/kg BB (IM)
o Butorpanol: 0.4 mg/kg BB (IM)
o Butorpanol + Midazolam: 0.4 + 2 mg/kg BB (IM)
- Aligator
o Diazepam: 0.22-0.62 mg/kg BB (IM)
- Kura-kura
o Midazolam: 2 mg/kg BB
Sediaan Anestesi pada hewan eksotik:
- Reptil
o Ketamin: 22-44 mg/kg BB (IM) untuk sedasi. Untuk anestesi: 55-88
mg/kg BB (IM)
o Alfaxalone/alfadolone: 6-9 mg/kg BB (IV), 9-15 mg/kg BB (IV)
o Succinylcholine: 0.5-1 mg/kg BB (IM)
- Iguana
o Propofol: 10 mg/kg BB (IM)
Sediaan Anestesi Inhalasi pada hewan eksotik:
- Halotan: Chelonia (4-5%), kadal (5 ml/2840 cm3 )
- Isofluran: 0.3%

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Anestesi Lokal

Anestesi lokal dan regional bermaksud untuk menghilangkan sensasi pada


suatu bagian tubuh atau wilayah tubuh tertentu. Sediaan anestesi lokal merupakan
sediaan yang dapat mengikat sodium channels dan menghentikan konduksi impuls di
serabut syaraf secara reversibel. Induksi anestesi lokal memberikan efek berupa
mencegah atau mengurangi rasa nyeri atau input nosiseptif ketika dan setelah tindakan
operasi. Sediaan ini umumnya digunakan apabila tindakan operasi harus dilakukan
dalam kondisi pasien yang sadar atau apabila nyeri yang terkait dengan trauma atau
peradangan harus dikurangi. Penggunaan anestesi lokal juga akan memberikan
keuntungan bagi pasien agar tidak dianestesi general, atau untuk mengurangi dosis
anestesi general.

Sediaan anestesi lokal:


1. Lidokain: untuk infiltrasi jaringan lokal, nerve blocks, intra-artikular, dan
epidural
2. Prilokain: untuk infiltasi jaringan lokal, nerve blocks, dan epidural
3. Etidokain: untuk infiltasi jaringan lokal, nerve blocks, dan epidural
4. Mepivakain: untuk infiltrasi jaringan lokal, nerve blocks, intra-artikular, dan
epidural
5. Bupivakain: untuk infiltrasi jaringan lokal, nerve blocks, epidural, dan
subaraknoid
6. Levbupivakain: untuk infiltrasi jaringan lokal, nerve blocks, epidural, dan
subaraknoid
7. Ropivakain: untuk infiltrasi jaringan lokal, nerve blocks, epidural, dan
subaraknoid
8. Artikain: untuk infiltrasi jaringan lokal, nerve blocks, epidural, anestesi
regional, intravena
9. Kokain: untuk pemakaian topikal
10. Benzokain: untuk pemakaian topikal
11. Prokain: untuk infiltasi jaringan lokal, nerve blocks, dan epidural
12. Kloroprokain: untuk infiltasi jaringan lokal, nerve blocks, dan epidural
13. Tetrakain: untuk pemakaian topikal, subaraknoid

Toksisitas
Dosis maksimum dan toksisitas sediaan anestesi lokal tergantung pada rute
administrasi, tempat injeksi, umur, status kesehatan, dan spesies hewan. Kucing lebih
sensitive terhadap sediaan anestesi lokal, dengan dosis toksiknya setengah dari dosis
toksik pada anjing. Gejala toksisitas anestesi lokal dapat berupa gejala syaraf dan
kardiovaskular. Gejala syaraf berupa berkedut, koma, hingga kegagalan respirasi,

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

sedangkan gejala kardiovaskular berupa aritmia, bradikardia, vasodilatasi, dan


kegagalan jantung.

Aplikasi Anestesi Lokal


1. Dental Nerve Block: situs injeksi di foramen infraorbitale (infraorbital), bagian
nervus zigomatikus (maxillary), syaraf inferior alveolar (di bagian syaraf
mandibular), dan foramen mentale.
2. Nerve block kaki depan: situs injeksi di plexus brachialis dan syaraf radialis
3. Epidural: situs injeksi di ruang antara tulang lumbosakralis. Desensitisasi
bagian kaudal abdomen, kaki belakang, dan perineum.
4. Nerve block kaki belakang: situs injeksi di syaraf femoralis, syaraf sciatic.

DAFTAR PUSTAKA

Amboss. 2020. Inhalational anesthetics (Volatile anesthetics). [Internet]. [Diunduh


pada 2020 Juli 19]. Tersedia pada:
https://www.amboss.com/us/knowledge/Inhalational_anesthetics
Flecknell PA, Richaardson CA, Popovic A. 2007. Lumb and Jones’ Veterinary
Anesthesia and Analgesia, 4th ed. Iowa (US): Blackwell Publishing.
Grimm KA, Tranquilli WJ, Lamont LA. 2011. Essentials of Small Animal Anesthesia
and Analgesia, Second Edition. Iowa (US): John Wiley & Sons, Inc.
Keating S. 2020. Small animal local and regional anesthesia. [Internet]. [diunduh pada
2020 Juli 19]. Tersedia pada: https://vetmed.illinois.edu/wp-
content/uploads/2016/09/75.-Keating-Local-and-Regional-Anesthesia-in-
Small-Animals.pdf
Vetland Medical Sale & Services. 2017. EX3000 Electronic veterinary anesthesia
machine. [Internet]. [Diunduh pada 2020 Juli 19]. Tersedia pada:
https://vetlandmedical.com/vet_products/vetland-ex-3000-2/ex3000-labeled-
fb/

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

KULIAH 11 ANASTESI PADA HEWAN BESAR

Tehnik Anastesi Pada Hewan Besar

Prinsip anastesi, fase anastesi, monitoring dan kontrol selama anastesi, serta
farmakologi dan fisiologi yang berhubungan dengan anstesi telah dibahas pada bab atau mata
kuliah lain. Bagian ini akan lebih terfokus pada tehnik anastesi pada hewan besar. Terdapat
beberapa tehnik anastesi yang sering dilakukan pada hewan besar yaitu, anastesi lokal atau
regional (analgesia), sedasi dan transquilizer, dan anastesi general (umum).

Anastesi Lokal dan Regional (Analgesia)

Anastesi regional dilakukan dengan menghilangkan sensitifitas syaraf sensoris pada


area tertentu. Anastesi regional dapat dilakukan dengan tehnik infiltrasi pada lokasi tertentu
atau blokade syaraf sensoris yang menginervasi regio tertentu. Kedua tehnik tersebut
bertujuan untuk menghilangkan sensitifitas saraf pada daerah operasi. Berdasarkan durasi
anastesi, sediaan anastesi lokal yang biasanya digunakan adalah lidocaine hydrochlorida
(onset dan durasi anastesi singkat), mepivacaine hydrochlorida, dan bupivacaine
hydrochlorida (onset dan durasi anastesi panjang). Penggunaan bupivacaine hanya terbatas
untuk administrasi epidural dan perineural karena bersifat toksik pada jantung. Penggunaan
lidocaine dan mepivacaine lebih luas karena dapat diadministrasikan melalui beberapa rute.
Sediaan yang paling efektif untuk digunakan pada tehnik anastesi ini adalah mepivacaine
karena memiliki onset yang singkat, durasi yang cukup panjang, dan reaktivitas yang rendah
terhadap jaringan. Anastesi regional lebih sering digunakan pada ruminansia dengan
tambahan sedasi. Sementara itu, pada kuda, anastesi regional merupakan tehnik tambahan
dari anastesi umum.

Tehnik Anastesi Lokal dan Regional

Anastesi Infiltrasi
Anastesi infiltrasi dilakukan dengan menginjeksikan dan menginfiltrasi sediaan anastesi
lokal di sekitar area operasi dengan menggunakan needle berukuran kecil dan panjang.
Infiltrasi pertama dilakukan pada lapisan kulit dan subkutis, jika memungkinkan infiltrasi
berikutnya dilakukan pada lapisan yang lebih dalam seperti otot dan peritoneum. Jumlah
sediaan anastesi lokal tidak boleh berlebihan jika diinfiltrasikan hingga lapisan peritoneum
untuk mencegah absorpsi vaskuler yang dapat meningkatkan toksisitasnya. Infiltrasi
dilakukan dengan arah yang lurus dengan minimal penyimpangan untuk mencegah trauma
jaringan. Injeksi berulang dilakukan bila daerah operasi kembali peka.
Anastesi infiltrasi biasanya digunakan dengan indikasi penjahitan luka atau
pengangkatan lesio pada kulit. Selain itu, indikasi anastesi ini adalah untuk prosedur

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

laparotomi dengan infiltrasi yang dilakukan sepanjang garis insisi. Anastesi jenis ini dapat
digunakan pada seluruh jenis hewan besar domestik.

Anastesi Infiltrasi Pola L


Anastesi infiltrasi pola L merupakan tehnik paling sederhana dalam anastesi lokal dan
regional dengan indikasi untuk prosedur laparotomi dan laparoskopi pada hewan besar.
Tehnik ini biasanya digunakan dalam prosedur operasi dengan tehnik flank atau paramedian.
Sediaan anastesi diadministrasikan dengan infiltrasi berpola L dengan tujuan untuk
memblokade syaraf yang terdapat pada area operasi. Tehnik anastesi ini menggunakan needle
berukuran 16 – 18 G dengan panjang 8 – 10 cm. Secara umum, dosis anastetikum yang
direkomendasikan adalah 2 mg/kg. Namun, pada kuda dan sapi dewasa membutuhkan
lidocaine 2% hingga 100 ml (4 mg/kg untuk hrwan dengan berat 500 kg). lokasi administrasi
adalah sisi vertikal di caudal dari os costae terakhir dan sisi horizontal dari proceccus
transversus dari os vertebrae lumbalis terakhir. Area operasi akan teranastesi secara lokal 10
– 15 menit setelah administrasi sediaan anastesi. Toksisitas sistemik sediaan anastesi akibat
absorbsi vaskuler pada kambing dan domba dapat diminimalisir dengan mengencerkan
sediaan anastesi sehingga konsentrasinya menjadi lebih rendah.

Gambar 1 Tehnik Anastesi Infiltrasi Pola L

Blokade Paravertebral
Blokade paravertebral merupakan salah satu tehnik anastesi regional yang jarang
dilakukan pada kuda. Walaupun demikian, tehnik ini sangat efektif dalam menghilangkan
sensitifitas syaraf pada area flank untuk kuda yang dioperasi dalam kondisi berdiri. Tehnik ini
lebih sering dilakukan pada ruminansia seperti sapi, kambing, dan domba. Daerah flank
memiliki inervasi syaraf yang keluar dari foramen vertebralis lateralis (T13, L1 dan L2, serta
L3). Syaraf tersebut merupakan syaraf sensoris dan motoris yang menginervasi kulit, fascia,
otot, dan peritoneum bagian flank. Blokade percabangan syaraf bagian dorsolateral L3 jarang
dilakukan pada operasi-operasi dengan tehnik flank, karena sedikit kesalahan dalam
DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI
DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

administrasi akan menyebabkan blokade pada percabangan syaraf yang keluar dari celah L4.
Saraf yang keluar dari celah L4 tersebut merupakan syaraf sensoris dan motoris yang
menginervasi kaki belakang.
Tehnik blokade paravertebral sangat sering dilakukan pada sapi dengan orientasi
administrasi pada proceccus transversus pada T13, L1 dan L2, serta L3. Administrasi
dilakukan sedekat mungkin dengan foramen vertebralis lateralis. Hal ini dilakukan agar
terjadi blokade pada badan syaraf atau setidaknya terjadi blokade pada percabangan dorsal
dan ventral dari syaraf tersebut. Proceccus transversus dari L1 menjadi titik orientasi untuk
blokade syaraf pada T13, begitu juga dengan L2 dan L3 merupakan titik orientasi untuk
blokade syaraf pada L1 dan L2. Administrasi sediaan anastesi dilakukan 3 – 5 cm ke ventral
sejajar dengan caudal dari garis tengah proceccus transversus. Needle yang digunakan dalam
administrasi sediaan anastesi adalah needle dengan ukuran 16 – 20 G dengan panjang 10 cm.
Administrasi dilakukan hingga menembus ligamentum intratransversal dengan ketebalan
kurang lebih 0,75 cm. Sediaan anastesi yang biasanya digunakan adalah lidocaine atau
mepivacaine 2% sebanyak 10 ml di ventral ligamen dan tambahan sebanyak 5 ml pada dorsal
ligamen.

Gambar 2 Tehnik Blokade Paravertebral

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Tehnik blokade paravertebral yang dilakukan pada kambing dan domba sama seperti
pada sapi. Volume sediaan lidocaine 1% yang diadministrasikan adalah 5 ml dengan dosis
total tidak melebihi 6 mg/kg. Dosis terendah yang dapat diberikan pada kambing dan domba
adalah 2 mg/kg.

Anastesi Epidural
Anastesi epidural merupakan tehnik yang sangat sering dilakukan untuk keperluan
prosedur operasi sapi dan kuda dalam keadaan berdiri, operasi caesar pada babi, operasi
urogenital pada kambing, serta analgesia postoperatif. Pemilihan sediaan anastesi dilakukan
berdasarkan spesies dan tujuan prosedur yang dilakukan (contoh: anastetikum untuk anastesi
lokal area operasi, opioid atau alpha-2-agonist untuk analgesik tanpa blokade syaraf). Domba
lebih mudah untuk di restrain secara fisik sehingga hanya memerlukan administrasi sediaan
anastesi lokal. Sementara itu, kambing dan babi lebih sulit untuk di restrain secara fisik
sehingga memerlukan administrasi sediaan yang bersifat sedativ.
Anastesi epidural dapat dilakukan pada cranial epidural maupun caudal epidural.
Cranial epidural dilakukan pada celah lumbosakral. Tehnik ini biasanya dilakukan pada
kambing, domba, dan babi. Sementara itu, caudal epidural dilakukan pada celah
sacrococcygeal. Tehnik ini biasanya dilakukan pada sapi dan kuda. Anastesi epidural ini
memungkinkan operasi dalam kondisi berdiri karena tidak berpengaruh terhadap syaraf pada
kaki belakang. Namun, anastesi epidural akan menyebabkan relaksasi sphincter ani.
Administrasi sediaan anastesi pada caudal epidural dilakukan pada 1 – 2 inchi dari
pangkal ekor. Titik orientasi didapatkan dengan cara menggerakkan ekor ke atas dan ke
bawah, persendian pertama yang ditemukan di caudal sacrum merupakan celah
intercoccygeal pertama. Setelah titik orientasi ditemukan, pangkal ekor di ikat atau dijepit
menggunakan tourniquet dan dilakukan preparasi kulit. Titik orientasi ditusuk menggukan
needle berukuran 18 – 19 G dengan panjang 3 – 5 cm (needle spinal) dengan membentuk
sudut 45o pada sapi dan 30o/60o pada kuda hingga ke dalam canalis spinalis. Posisi needle
yang tepat pada ruang epidural ditandai dengan adanya tekanan negatif. Pembuktian adanya
tekanan negatif dilakukan dengan cara aspirasi larutan steril pada needle. Selain itu, jika
posisi needle tepat di ruang epidural maka tidak akan ada hambatan dalam administrasi
sediaan anastesi. Volume sediaan anastesi yang diadministrasikan pada caudal epidural tidak
boleh lebih dari 3 ml pada kambing dan 10 ml pada sapi untuk mencegah inkoordinasi dan
rekumbensi pada kaki belakang.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Gambar 3 Tehnik Anastesi Epidural pada Sapi

Gambar 4 Tehnik Anastesi Epidural pada Kuda

Alpha2-agonist yang biasanya digunakan pada sapi untuk durasi analgesik yang
panjang adalah lidocaine 2%. Sementara itu, pada kuda penggunaan lidocaine 2% memiliki
durasi analgesik yang lebih singkat kurang lebih hanya 7.5 menit. Volume yang dinaikkan
hingga 5 – 7 ml dapat memperpanjang durasi analgesik. Alpha2-agonist yang juga sering
digunakan dalam bentuk kombinasi untuk meningkatkan durasi analgesik adalah detomidine,
medetomidine, dan xylazine. Kombinasi beberapa sediaan tersebut dapat menurunkan potensi
ataxia.

Anastesi Regional pada Mata


Tehnik anastesi regional pada mata memiliki indikasi utama untuk analgesia pada
daerah orbital. Tehnik yang paling mudah dan sangat memuaskan adalah blokade infiltrasi
retrobulbar (empat titik). Tehnik ini digunakan untuk prosedur enukleasi bola mata. Tehnik
lain yang dapat digunakan adalah blokade peterson pada pertemuan antara proceccus
zygomaticus dan tepi cranial dari proceccus coronoideus dari os mandibulla. Infiltrasi
DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI
DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

kemudian dilakukan hingga krista pterygoideus kemudian diarahkan rostral dan turun hingga
fossa pterigopalatinum pada foramen orbitorotundum. Sediaan anastesi yang
diadministrasikan sebanyak 15-20 ml pada kulit dan jaringan subkutan sepanjang cabang
zygomaticus. Bagian ujung dorsomedial canthus juga harus diinfiltrasi. Tehnik ini jarang
digunakan karena dapat berakibat fatal akibat orientasi infiltrasi yang sangat dekat dengan
arteri maxillaris interna.

Anastesi Regional pada Tanduk


Tehnik blokade cornual merupakan tehnik yang sangat sederhana dengan indikasi
prosedur dehorning pada sapi dan kambing. Infiltrasi pada sapi dilakukan pada lateral
canthus mata kemudian sepanjang krista dorsalis pangkal tanduk hingga fossa temporalis.
Sebelum mencapai pangkal tanduk, infiltrasi sediaan dilakukan melalui m. Frontalis. Needle
yang digunakan berukuran 18G dengan panjang 2.5 cm. Sediaan anastesi yang biasanya
digunakan adalah lidocaine 2% dengan volume sebanyak 5 ml. Berbeda dengan sapi,
kambing memiliki dua percabangan syaraf cornual, satu berasal dari n.lacrimalis dan lainnya
berasal dari n.infrathrochlearis.infiltrasi pada kambing dilakukan blokade subkutan pada
pertengahan kepala bagian frontal diatas mata hingga krista fascialis.

Anastesi Intravena pada Kaki Ruminansia


Tehnik anastesi intravena pada kaki bagian distal lebih efektif dibandingkan dengan
anastesi blokade atau ring blokade. Tehnik ini dilakukan dengan administrasi sediaan anastesi
lokal pada vena superficial di bagian distal kaki yang telah di tourniquet. Torniquet dipasang
di distal dari carpus atau persendian carpus. Administrasi biasanya dilakukan pada vena
digitalis communis lateralis III di metacarpus atau cabang cranial dari vena saphena lateralis
di metatarsus. Volume sediaan yang diadministrasikan adalah 10 – 20 ml lidocaine atau
mepivacaine 2%. Pada kambing dan sebagian domba volume pemberian terbatas sebanyak 2
– 3 ml (tidak melebihi dosis 2 mg/kg). hal penting lain yang harus diperhatikan adalah,
kombinasi lidocaine dengan epinefrin harus dihindari karena akan menyebabkan
vasokonstriksi regional serta pelepasan epinefrin secara sistemik setelah pelepasan
tourniqueti akan menyebabkan timbulnya efek samping. Torniquet harus dilepaskan perlahan
pada akhir prosedur operasi dan fungsi motoris kaki bagian distal akan kembali normal dalam
waktu 5 menit.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Gambar 5 Tehnik Anastesi Intravena Distal Kaki Sapi

Anastesi Blokade Saraf lain


Tehnik blokade syaraf dan ring blocksi biasanya digunakan untuk diagnosis
kepincangan dan penanganan luka pada kaki. Blokade syaraf spesifik dan analgesia
intrarticular merupakan prosedur yang sangat penting untuk diagnosis kepincangan.

Transquilizasi dan Sedasi

Tujuan utama transquilizasi dan sedasi pada hewan besar adalah untuk keperluan
prosedur diagnostik dan terapetik, prosedur operasi minor dengan anastesi lokal, dan
prosedur medikasi preanastesi. Transquilizer yang biasanya digunakan pada kuda adalah
golongan phenothiazine yaitu acetylpromazine maleate, namun memiliki beberapa efek
samping yaitu hipotensi, takikardia, dan kelumpuhan sementara serta tidak memiliki efek
analgesik. Penggunaan alpha-2-adrenoreseptor agonist seperti xylazine hydrochlorida,
detomidine, romifidine, dan dexmedetomidine untuk menggantikan acepromazine akan
menghasilkan efek analgesik dan sedasi. Namun, penggunaan sediaan ini juga memiliki efek
samping yang bergantung pada jenis obat, dosis dan rute pemberian. efek samping yang dapat
DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI
DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

terjadi adalah penurunan denyut jantung dan cardiac output, hipertensi, serta perubahan
karakter. Efek samping tersebut dapat diminimalisir melalui kombinasi dengan opioid.
Sedativ pada babi yang biasanya digunakan adalah azeperone dan droperidol.
Kombinasi opioid dengan alpha-2-adrenoreseptor agonist menghasilkan efek sedasi
preanastesi dan analgesik yang baik. Benzodiazepam atau midazolam menghasilkan efek
sedasi yang singkat pada kambing dan domba. Sementara itu, alpha-2-adrenoreseptor agonist
memberikan efek samping pada sistem cardiopulmoner pada kambing dan domba. Opioid
seperti fentanyl dan morphine sering digunakan sebagai analgesik pada kambing dan domba.

Anastesi Umum (Anastesi General)

Berbagai macam prosedur operasi pada kuda memerlukan anastesi umum berbeda
dengan sapi yang dapat dilakukan dengan kondisi berdiri atau dengan hanya menggunakan
restrain fisik maupun kimia. Anastesi umum pada ruminansia juga jarang dilakukan karena
pertimbahan karakteristik fisiologi ruminansia. Recumbensi yang lama pada ruminansia akan
menyebabkan bloating yang berakhir pada penekanan diafragma sehingga terjadi
hipoventilasi, hipoksia, hipercarbia, dan asidosis respirasi.
Evaluasi preanastesi pada hewan yang akan dianastesi secara umum harus dilakukan
dengan lengkap. Evaluasi preanastesi termasuk pemeriksaan fisik, klinis, dan complete blood
count (CBC). Selain itu monitoring selama prosedur intraoperatif hingga postoperatif juga
penting untuk dilakukan secara teliti. Hewan harus dipuasakan sebelum operasi misalnya
pada kuda 12 jam sebelum dilakukan anastesi tanpa pembatasan minum.

Premedikasi
Sedasi dan transquilizasi pada kuda dilakukan untuk memudahkan induksi anastesi
umum, namun hal ini tidak dilakukan pada sapi dan ruminansia kecil. Secara umum,
transquilizer dan sedativa memiliki efek samping terhadap fisiologi abdomen secara akut.
Pemberian transquilizer preanastesi pada anak kuda yang baru lahir juga harus dihindari
karena perkembangan sistem enzim mikrosomal pada hati belum maksimal akan
menyebabkan metabolisme obat yang sangat lama.
Alpha-2-agonist merupakan sediaan yang sering digunakan sebagai premedikasi pada
kuda dan kadang-kadang pada sapi. Sediaan yang biasanya digunakan adalah
guaifenensin+ketamine, tiletamine+zolazepam, dan xylazine+ketamine. Sediaan
antikolinergik yang digunakan atropine. Namun, penggunaan sediaan ini sangat jarang
dilakukan karena dapat menyebabkan illeus, takikardi, dan peningkatan konsumsi oksigen
mitokondrial. Antikolinergik akan mengurangi efek salivasi pada rumin namun meningkatkan
eksresi viskus mata. Atropin atau glycopyrolate sangat berguna bagi babi untuk mengkontrol
salivasi berlebihan selama anastesi umum terutama penggunaan sediaan ketamine atau
tiletamine.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Induksi Anastesi
Induksi anastesi sering dilakukan melalui intravena. Sementara itu, pada babi sulit
dilakukan sehingga induksi anastesi dilakukan dengan metode inhalasi. Thiobarbiturat
merupakan sediaan yang paling efektif untuk induksi rekumbensi pada kuda yang telah
tersedasi namun ketersediaannya sangat kurang. Oleh karena itu, sediaan ini biasanya
digantikan dengan ketamine dam tiletamine. Sementara itu, induksi menggunakan anastesi
inhalasi pada anak kuda adalah prosedur terbaik untuk menjaga stabilitas fungsi
cardiovaskular. Penggunaan kombinasi guaifenesin dengan ketamine pada sapi sering
dilakukan untuk induksi sekaligus pemeliharaan anastesi. Kombinasi yang lebih baik lagi
adalah kombinasi antara guaifenesin, ketamine, dan xylazine pada sapi yang disebut tripple
drip. Hipoksemia merupakan efek samping utama pada prosedur induksi anastesi, oleh
karena itu suplementasi oksigen yang tinggi sangat dibutuhkan.
Intubasi endotracheal dapat dilakukan sebelum atau setelah induksi anastesi dengan
efek regurgitasi minimal jika dilakukan setelah induksi anastesi. Intubasi endotracheal pada
babi sangat sulit untuk dilakukan karena babi memiliki larynx yang panjang dan tidak
terfiksir dengan baik. Penggunaan laryngoscope dapat memudahkan pemasangan intubasi
pada babi. Induksi anastesi pada hewan muda dilakukan dengan inhalasi atau menggunakan
sediaan propofol atau ketamine yang dikombinasikan dengan benzodiazepine.

Pemeliharaan Anastesi
Anastesi inhalasi merupakan metode yang paling efektif untuk memelihara kondisi
anastesi selama operasi terutama jika durasi operasi panjang. Sediaan yang dapat digunakan
adalah isoflurane, sevoflurane, dan desflurane. Metode intravena merupakan salah satu cara
untuk memelihara kondisi anastesi hewan dengan kelebihan peralatan yang sederhana dan
biaya murah. Kekurangan dari metode ini adalah memperpanjang waktu pemulihan dari
anastesi karena eksresi sediaan anastesi lebih lambat dibandingkan dengan metode inhalasi.
Selama pemeliharaan anastesi, sangat penting untuk memperhatikan kondisi vital pasien
seperti kedalaman anastesi, aktivitas refleks, serta parameter respirasi dan cardiovaskular.

DAFTAR PUSTAKA

Hendrickson DA, Baird AN. 2013. Turner and McIIwraith’s Techniques in Large Animal
Surgery 4th Edition. New Jersey (US): John Willey and Sons.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

DAFTAR PENGGUNAAN SEDIAAN ANASTESI PADA HEWAN BESAR

Tabel 1 Anastesi Epidural dan Analgesik pada Sapi dan Ruminansia Kecil
Obat Indikasi Dosis Keterangan
Lidocaine 2% -Anastesi epidural (cranial dan caudal) Sapi: 1 ml/10 lb atau 0.5-1 ml/100 lb Onset dan durasi singkat
-Anastesi epidural (caudal) pada kambing Kambing/domba: 2-3 ml
dan domba
Lidocaine 2% anastesi epidural (caudal) pada sapi Lidocaine: 0.22 mg/kg Onset singkat dan durasi
+ Xylazine Xylazine: 0.05 mg/kg panjang
Volume total: 5-7 ml13,72
Medetomidine -Anastesi epidural (caudal) pada sapi Sapi: 15 µg/kg diencerkan dengan 5 ml saline Durasi panjang dengan efek
-anastesi epidural (cranial) pada kambing 0.9% samping sistemik
Kambing/domba: 20 µg/kg diencerkan
dengan 5 ml steril water/water for injection
Medetomidine Anastesi epidural (caudal) pada sapi Medetomidine: 15 ug/kg Durasi panjang dengan
+ Mepivacaine Mepivacaine: 0.5-1 ml/100 lb minimal efek samping
sistemik
Morphine -Anastesi epidural 15 mg/ml morphine dilarutkan hingga 0.15- Memberikan analgesia tanpa
-painkiller postoperatif 0.20 ml/kg dengan saline 0.9% kelumpuhan
Keterangan: 1 lb = 0.453 kg

Tabel 2 Anastesi Epidural (Caudal) pada Kuda


Obat Indikasi Dosis Keterangan
Detomidine Sedasi/analgesi 20-60 µg/kg dilarutkan ke dalam saline 0.9% Analgesi poten dengan ataxia ringan
hingga volume total 10-15 ml
Detomidine+ Sedasi/analgesi Detomidine: 20-40 µg/kg Analgesi durasi panjang
Morphine Morphine: 0.1-0.2 mg/kg dilarutkan ke dalam
saline 0.9% hingga volume total 10-15 ml
Xylazine+ Sedasi/analgesi Lidocaine: 0.22 mg/kg Lebih baik jika dikombinasikan dengan alpha-2-
Lidocaine 2% Xylazine: 0.17 mg/kg agonist
Mepivacaine 2% Anastesi 4-4.5 ml Onset cepat dan durasi sedang
DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI
DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Tabel 3 Anastesi Epidural pada Babi


Obat Indikasi Dosis Keterangan
Detomidine Anastesi epidural (cranial) 0.05-0.1 mg/kg dengan 5 ml Onset 10 menit dan durasi 30 menit
saline 0.9%
Lidocaine 2% Anastesi epidural (cranial) 0.5-1 mg/kg Sering digunakan untuk prosedur kastrasi kuda jantan
dan caesaria pada betina
Xylazine Anastesi epidural (cranial) 1-2 mg/kg dengan 5 ml saline Durasi panjang
0.9%
Xylazine 10%+ Anastesi epidural (cranial) Xylazine: 1 mg/kg Durasi panjang
Lidocaine 2% Lidocaine: 10 ml

Tabel 4 Transquilizer dan Sedativ pada Sapi


Obat Indikasi Dosis Keterangan
Detomidine Sedasi posisi berdiri 0.01-0.03 mg/kg IV Tidak menimbulkan residu pada susu serta tidak
meningkatkan resiko aborsi
Medetomidine Sedasi yang dalam dengan 0.002-0.01 mg/kg IV Dosis rendah menyebabkan sedasi yang dalam dan
posisi rekumbensi dan dosis tinggi menyebabkan rekumbensi
dosis tinggi
Xylazine Sedasi posisi berdiri 0.11-0.22 mg/kg IM Dosis tinggi pada pemberian IM menyebabkan
0.055-0.11 mg/kg IV rekumbensi dan meningkatkan resiko aborsi spontan
Xylazine+ Sedasi posisi berdiri Xylazine: 0.2 mg/kg IV Dosis tinggi pada pemberian IM menyebabkan
Butorphanol Butorphanol: 0.05-0.07 mg/kg IV rekumbensi dan meningkatkan resiko aborsi spontan
Xylazine+ Ketamine stun Xylazine: 0.02-0.05 mg/kg Dosis tinggi pada pemberian IM menyebabkan
Butorphanol+ Butorphanol: 0.01-0.025 mg/kg rekumbensi dan meningkatkan resiko aborsi spontan
Ketamine Ketamine: 0.04-0.1 mg/kg

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Tabel 5 Transquilizer dan Sedativ pada Kuda


Obat Indikasi Dosis Keterangan
Acepromazine (tunggal Sedasi Acepromazine: 0.03–0.06 mg/kg tidak dapat digunakan bersamaan
atau kombinasi dengan Butorphanol: 0.01–0.04 mg/kg, IV/IM dengan pemberian anthelmintik
opioid lain) Morphine: 0.03–0.09 mg/kg IV/IM golongan organophospat
Detomidin Sedasi 4-20 µg/kg IV Durasi panjang (60-120 menit)
Detomidine + opioid
Medetomidine Sedasi 5 µg/kg IV Durasi lebih sedikit panjang
dibandingkan xylazine
Romifidine Sedasi 40-120 µg/kg IV Kedalaman sedasi yang sama dengan
detomidine dan lebih panjang dari
xylazine
Xylazine Premedikasi dan sedasi Premedikasi: 0.3-0.6 mg/kg IV Menyebabkan bradikardia dan aritmia
posisi berdiri Sedasi: 1.1 mg/kg IV
Xylazine + Acepromazine Sedasi Xylazine: 0.5 mg/kg Sedasi yang baik
Ace: 0.05 mg/kg IV
Xylazine + Butorphanol Sedasi Xylazine: 0.3–1 mg/kg Sedasi yang baik
tartat Butorphanol: 0.01–0.05 mg/kg IV

Xylazine + Morphine sedasi Xylazine: 0.3–1 mg/kg Sedasi yang baik


Morphine: 0.03–0.9 mg/kg IV
80,81

Tabel 6 Transquilizer dan Sedativ pada Babi


Obat Indikasi Dosis Keterangan
Acepromazine Transquilizasi 1-8 mg/kg Babi hutan tidak lebih 1 mg/kg
Droperidol Transquilizasi 0.1-0.4 mg/kg Sedasi sama dengan azaperon
Ketamine + Diazepam Sedasi Ketamine: 10-15 mg/kg; Diazepam: 0.5-2.0 mg/kg IM Sedasi dalam dan durasi panjang
Ketamine + Midazolam Sedasi Ketamine: 10-20 mg/kg; Diazepam: 0.1-0.5 mg/kg IM Sedasi dalam dan durasi panjang
Xylazine Sedasi dan analgesi 1-2 mg/kg IM bisa dikombinasi dengan opioid Sedasi dalam dan durasi panjang
DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI
DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Tabel 7 Transquilizer dan Sedativ pada Ruminansia Kecil


Obat Indikasi Dosis Keterangan
Acepromazine Sedasi ringan 0.05–0.1 mg/kg IM Restrain pada induksi
Ketamine + Diazepam Sedasi Ketamine: 2–5 mg/kg Dosis tinggi untuk anastesi
Diazepam: 0.1–0.2 mg/kg IV
Ketamine + Midazolam Sedasi Ketamine: 2–5 mg/kg, Dosis tinggi untuk anastesi dan midazolam dapat
Midazolam: 0.1–0.2 mg/kg IM dikombinasikan dengan opioid
Xylazine Sedasi 0.1–0.4 mg/kg pada kambing Efek negatif terhadap sistem kardiopulmoner
0.05–0.1 mg/kg IV

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP321)

KULIAH 12 BEDAH JARINGAN LUNAK

Laparotomi

Laparotomi atau celiotomy merupakan prosedur bedah dengan melakukan insisi


pada dinding rongga abdomen. Laparotomi diindikasikan untuk diagnostik (mis. biopsi
organ) dan tindakan terapeutik. Beberapa kondisi pasien yang mengancam nyawa
(misalnya gastric dilatation volvulus (GDV), perforasi kolon, internal bleeding yang
parah) harus segera ditangani dengan pembedahan. Keputusan untuk melakukan
laparotomi harus berdasarkan sejarah dan temuan pemeriksaan fisik, radiografi,
ultrasonografi dan analisa laboratorium. Namun beberapa kondisi dari hasil
pemeriksaan ini tidak cukup meggambarkan kondisi pasien. Pada beberapa kasus,
pemeriksaan fisik dan berbagai pemeriksaan penunjang tidak cukup menggambarkan
kondisi pasien sehingga laparotomi dapat dijadikan pilihan untuk mengetahui kondisi
internal abdomen pasien.
Hal yang perlu diperhatikan pada manajemen pre operasi laparotomi antara lain
kondisi umum pasien (sikap, postur, suhu, laju pernapasan, frekuensi jantung dan
ritme); auskultasi, perkusi dan palpasi abdomen; pemeriksaan rektal. Selain itu
pemantauan pasien terus menerus penting dilakukan untuk mengamati ada tidaknya
penurunan kondis pasien yang progresif.

Prosedur Laparotomi Hewan Kecil


 Anestesi dan Antibiotik
Pemilihan sediaan dan rute anestetikum disesuaikan dengan kondisi
pasien dan penyakit yang diderita pasien. Hewan yang tidak mengalami syok
dapat diberikan sediaan premedikasi benzodiazepine, serta opioid dan induksi
yaitu propofol, ketamine, atau etomidate secara intravena.
Penggunaan antibiotik yang tepat pada pasien yang menjalani laparotomi
tergantung pada penyakit, kondisi umum pasien, durasi serta jenis prosedur
bedah. Antibiotik diberikan untuk mencegah terjadinya komplikasi pasca operasi
akibat infeksi bakteri.
 Anatomi
Lapisan dinding rongga abdomen yang akan disayat dimulai dari kulit,
jaringan subkutan (lemak), otot dan peritoneum. Terdapat 4 lapisan otot pada
dinding abdomen dari luar ke dalam, yaitu otot abdominal oblique eksternal, otot
abdominal oblique internal, rektus abdominis, dan transversus abdominis. Pada
garis tengah, di antara lapisan otot abdomen kanan dan kiri terdapat linea alba
dengan vaskularisasi yang paling sedikit sehingga risiko perdarahan lebih rendah
jika sayatan dilakukan di daerah ini (ventral midline). Terdapat beberapa organ
dan sistem organ yang ditemukan di dalam rongga abdomen yaitu, pencernaan,
limfatik, urinari dan reproduksi.
DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI
DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP321)

Linea alba

Gambar 1 Anatomi lapisan dinding abdomen hewan (Sumber: Fossum et al. 2013)

 Teknik Bedah
Pembedahan pada daerah abdomen untuk hewan kecil biasanya diinsisi
dari garis tengah (linea alba). Pembersihan area operasi harus dilakukan cukup
luas, bahkan hingga daerah inguinalis dan thoraks untuk mengantisipasi
perluasan daerah sayatan, terutama untuk eksplorai abdomen pasien yang
mengalami trauma. Sayatan dapat dilakukan sepanjang linea alba dari processus
xiphoidea hingga ke pubis jika ingin mengeksplorasi keseluruhan rongga
abdomen. Sayatan di bagian kaudal dari umbilikal hingga ke pubis biasanya
dilakukan untuk eksplorasi VU dan organ genitala, sedangkan sayatan di kranial
dari umbilikal hingga processus xiphoidea untuk eksplorasi organ hati, lambung
serta intestin. Sayatan dapat diperpanjang ke arah lateral pada processus
xiphoidea (1 cm pada kaudal tulang rusuk terakhir) untuk memudahkan
eksplorasi hati, sistem bilier, dan diafragma. Laparotomi paracostal (paralumbar)
biasanya dilakukan untuk tujuan operasi pada organ ginjal dan kelenjar adrenal;
teknik ini umum digunakan untuk unilateral adrenalektomi.
 Ventral Midline Celiotomy in Cats and Female Dogs
Pasien dibaringkan dengan posisi terlentang (dorsal recumbancy) lalu
sayatan dilakukan pada garis tengah pada processus xiphoidea dan
meluas hingga ke pubis (panjang sayatan disesuaikan dengan prosedur
bedah). Sayatan dilakukan pada kulit dan jaringan subkutan hingga
fascia eksternal dari otot rektus abdominis terbuka. Kulit difiksasi
terlebih dahulu agar mudah mengeksplorasi lapisan profundal. Apabila
terdapat perdarahan pada jaringan subkutan dapat diligasi atau
dikauterisasi. Kemudian dilakukan identifikasi linea alba. Setelah itu
linea alba disayat dengan pisau bedah (scalpel) (tekanan scalpel perlu
diperhatikan agar tidak sampai melukai organ internal). Selanjutnya jari
dimasukkan ke dalam sayatan untuk mengangkat otot tersebut dan
sayatan diperluas ke kranial dan kaudal menggunakan gunting. Otot

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP321)

kemudian difiksasi untuk memudahkan eksplorasi organ abdominal.


Peritoneum kemudian disayat, lalu organ abdomen selanjutnya dapat
dieksplorasi.

Ventral midline
incision

Gambar 2 Orientasi sayatan ventral midline celiotomy pada kucing dan anjing betina
(Sumber: Fossum et al. 2013)

 Ventral Midline Celiotomy in Male Dogs


Prosedur berbeda pada laparotomi pada ventral midline anjing jantan
dikarenakan adanya preputium yang akan sedikit menggeser sayatan.
Preputium biasanya dijepit ke sisi lateral. Sayatan dilakukan dengan
orientasi bagian kranial yaitu dari processus xiphoidea dan berlanjut ke
kaudal hingga preputium. Lalu sayatan bergeser ke lateral preputium
pada sisi yang berlawanan dengan arah penjepitan preputium. Jaringan
subkutan dan otot preputialis disayat hingga mencapai fascia otot
abdomen. Hal yang perlu diperhatikan pada anjing jantan adalah adanya
cabang vena yang cukup besar yaitu vena epigastrikum superfisial kaudal
pada preputium sehingga perlu diligasi atau dikauter. Selanjutnya
dilanjutkan dengan prosedur yang sama seperti pada laparotomi hewan
betina.

Ventral midline
incision

Gambar 3 Orientasi sayatan ventral midline celiotomy pada kucing dan anjing jantan
(Sumber: Fossum et al. 2013)

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP321)

 Paracostal Celiotomy
Pasien diposisikan berbaring lateral kemudian kulit disayat dari batas
ventral ossa vertebralis hingga ke garis tengan abdomemen (arah sayatan
vertikal terhadap sumbu tubuh hewan). Sayatan dilakukan sepanjang
kaudal rusuk terakhir. Kemudian sayatan diteruskan hingga ke
peritoneum dan diperluas dengan menggunakan gunting sama seperti
prosedur sebelumnya.
 Eksplorasi Abdomen
Ketika rongga abdomen dalam kondisi terbuka, hal yang perlu
diperhatikan adalah kelembaban organ interna dan meminimalisir kontaminasi.
Sehingga perlu menyiapkan kassa yang dibasahi dengan larutan fisiologis steril
kemudian digunakan sebagai alas apabila organ dikeluarkan. Selain itu dapat
juga diguyur dengan larutan saline hangat untuk tetap menjaga suhu organ dan
rongga abdomen. Pada beberapa kasus, kassa sering tertinggal di dalam rongga
abdomen sehingga penting untuk memastikan jumlah kassa yang digunakan
sebelum penjahitan dinding abdomen. Berikut merupakan orientasi dan panduan
dalam eksplorasi abdomen:
 Kuadran Kranial
- Pemeriksaan diafragma (termasuk hiatus esofagus) dan hati.
- Inspeksi kantong emepedu dan sistem billiary
- Pemeriksaan lambung, pylorus, duodenum proksimal dan limpa
- Pemeriksaan pankreas (palpasi dengan lembut), vena porta, arteri
hepatika, dan vena cava.
 Kuadran Kaudal
- Pemeriksaan kolon desendens, VU, prostat atau uterus
- Pemeriksaan cincin inguinal
 Eksplorasi Usus
- Palpasi usus dari duodenum hingga ke kolon desendens
- Observasi vaskularisasi mesenterika dan kelenjar pertahanan lokal
 Eksplorasi Organ Lainnya
- Usus (mesoduodenum) ditarik ke sebelah kiri untuk memeriksa
organ di profundal. Selanjutnya dapat dilakukan pemeriksaan ginjal,
kelenjar adrenal, ureter, dan ovarium.
- Usus (kolon desendens) ditarik ke sisi kanan lalu dilakukan
pemeriksaan ginjal kiri, kelenjar adrenal ureter dan ovarium.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP321)

A B

Gambar 4 Letak organ abdomen pada hewan kecil (A) ventral view (Sumber: Jack dan Watson 2014), (B)
lateral view (Anatomy Note 2019)

 Penjahitan Dinding Abdomen


Setelah melakukan eksplorasi rongga abdomen maka selanjutnya
dilakukan penutupan kembali dengan menjahit linea alba. Jahitan yang
direkomendasikan untuk linea alba adalah jahitan simple interrupted atau simple
continous. Jahitan simple continous memiliki risiko yang lebih rendah terhadap
kemungkinan merenggang atau terbukanya luka jahitan (apabila simpul dan
material benangnya tepat) dan memungkinkan luka menutup lebih cepat. Jenis
benang yang digunakan sebaiknya yang kuat, mudah diserap (misalnya
polydioxanone (PDS), poliglikonat (Maxon), poliglicaprone 25 (Monocryl),
glycomer 631 (Biosyn) dapat digunakan untuk jahitan simple continous serta 6-8
simpul ditempatkan di setiap ujung sayatan. Jika menggunakan jenis jahitan
simple interrupted, maka jarak antar loop jahitan yang dianjurkan adalah antara
5-10 mm tergantung ukuran tubuh hewan. Tiap loop jahitan dikencangkan
secukupnya untuk menyatukan sisi sayatan dan tidak berlebihan karena dapat
mempengaruhi penyembuhan luka. Peritoneum jangan sampai ikut terjahit
bersama linea alba. Penjahitan subkutan dengan jahitan simple continous dengan
bahan benang yang mudah diserap. Lalu yang terakhir adalah penjahitan kulit
dengan pola jahitan simple interrupted maupun dengan simple contious.
Kemampuan jaringan untuk menahan jahitan tergantung pada kekuatan
jaringan dan serat kolagennya. Kulit dan fasia umumnya lebih kuat dari otot dan
lemak. Peritoneum dapat sembuh dengan cepat dari sayatan dan tidak
berpengaruh pada kekuatan jahitan dan proses penyembuhan luka operasi. Oleh
karena itu penjahitan pada peritoneum hewan kecil tidak dilakukan. Berdasarkan
eksperimental dan studi klinis pada anjing menunjukkan bahwa penjahitan
peritoneum memungkinkan terjadinya komplikasi pasca operasi berupa adhesi
intraabdominal.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP321)

 Perawatan dan Komplikasi Post Operasi


Jahitan perlu diperiksa dua kali sehari untuk mengamati ada tidaknya
kemerahan, bengkak dan discharge. Jika hewan menjilat atau mengigit perban
daerah sayatan maka perlu dipasangkan Ellizabeth collar. Tanda awal adanya
gangguan pada proses penyembuhan luka adalah peradangan dan edema.
Pembengkakan dan adanya discharge serosanguineous dari sayatan adalah tanda
dehiscence insisi akut. Dehiscence atau terbukanya jahitan biasanya terjadi 3-5
hari post operasi. Namun hal ini dapat terjadi lebih awal apabila simpul tidak
diikat dengan dengan benar. Eviserasi isi abdomen dapat menyebabkan sepsis
dan kehilangan darah yang parah. Tindakan pencegahan yang dapat dilakukan
antara lain pembalutan luka, terapi cairan dan terapi antibiotik spektrum luas
sebelum operasi dilakukan. Gangguan luka yang terjadi 10-21 hari post operasi
dapat menyebabkan pembentukan hernia dan eviserasi.
Dehiscence (hernia insisional) dan eviserasi dapat terjadi jika
menggunakan teknik bedah yang tidak tepat. Penyebab dehiscence pada perode
awal post operasi biasanya adalah kerusakan jahitan dan longgarnya simpul.
Risiko dehiscence yang lebih tinggi dapat terjadi pada luka infeksi,
ketidakseimbangan cairan atau elektrolit, anemia, hipoproteinemia, penyakit
metabolisme (mis. hyperadrenocortocism, diabetes melitus), imunosupresi (mis.
FIV), leukemia, perut kembung, atau pada pasien yang sedang dalam
pengobatan dengan kortikosteroid, agen kemoterapi, atau radiasi. Selain itu
penggunaan benang nonabsorbable pada penjahitan linea alba atau subkutan
dapat menimbulkan pembentukan sinus (rongga) pada jahitan.

Prosedur Laparotomi Hewan Besar


 Anesthesi dan Persiapan Pre Operasi
Pada operasi daerah abdomen hewan besar anesthesi yang dilakukan
adalah epidural dan lokal pada daerah sayatan menggunakan sediaan anesthesi
lokal. Kemudian area orientasi sayatan dicukur dan didisinfeksi dari dorsal
midline hingga ke seluruh flank dan dari caudal costae 12 hingga tuber coxae.
 Anatomi
Lapisan otot dinding abdomen hewan dari luar ke dalam terdiri dari kulit,
subkutan, m. abdominal oblique eksternus, m. abdominal oblique internus, m.
abdominal transversus, dan peritoneum. Di dalam rongga abdomen dapat
ditemukan organ pencernaan, limfatik, urinari, dan reproduksi.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP321)

Gambar 5 Anatomi lapisan dinding abdomen hewan besar (Sumber: Ames 2014)

 Teknik Operasi
Pendekatan yang umum digunakan untuk operasi hewan besar adalah
insisi left/right paralumbar (laparotomi flank kiri atau kanan) dengan posisi
hewan berdiri. Operasi dilakukan dengan menyayat kulit dari ventral procesus
transversus L2 dan dilanjutkan ke arah ventral sepanjang 20 cm. Kemudian
subkutan disayat hingga menemukan lapisan otot. Kemudian lapisan otot disayat
perlahan pada tiap lapisannya, jika terjadi perdarahan maka pembuluh darah
segera dijepit dengan forcep dan diligasi dengan benang. Tekanan pada
penyayatan peritoneum perlu diperhatikan terutama pada bagian dorsal karena
dapat melukai organ interna terutama rumen apabila insisi dilakukan dari flank
kiri. Jika rongga abdomen sudah terlihat maka selanjutnya dapat dilakukan
eksplorasi untuk meneguhkan diagnosa maupun melakukan prosedur operasi
lainnya pada organ abdomen.
 Eksplorasi Abdomen
Abdomen terbagi menjadi 4 bagian yaitu abdomen kanan, tengah, kiri
dan kaudal, dengan letak organ sebagai berikut:
 Abdomen kanan: ginjal kanan, hati, gall bladder, abomasum, duodenum,
sisi kanan omasum, dinding abdomen kanan, dan sisi kanan diafragma.
 Abdomen tengah: ginjal kiri, pembuluh darah mayor abdominal (aorta,
arteri mesenterika), usus halus, sisi medial abdomen, dan omasum.
 Abdomen kiri: dinding abdomen kiri, sisi kiri abomasum, limpa,
retikulum, sisi kiri diafragma.
 Abdomen kaudal: organ reproduksi, VU ureter, sekum, kolon, cincin
inguinal, dan rektum.
Eksplorasi abdomen dilakukan dengan palpasi setiap organ dan jaringan
sekitarnya dan diperhatikan lokasi, tekstur, ukuran dan kelainan pada organ.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP321)

Gambar 6 Lateral view of cow’s abdomen (A) kanan, (B) kiri (Sumber: Ames 2014)

 Penjahitan Dinding Abdomen


Penjahitan dindin abdomen hewan besar dilakukan pada 3 lapisan, yaitu:
 Lapisan 1: jahit peritoneum dan m. abdominal oblique internus serta m.
abdominal transversus sekaligus. Pola jahitan yaitu simple continous
dengan benang monofilamen absorbable atau catgut No 2 atau 3.
 Lapisan 2: jahit m. abdominal oblique eksternus dan subkutan sekaligus
dengan tetap menautkannya pada m. abdominal oblique internus untuk
mencegah terbentuknya rongga. Pola jahitan simple continous dengan
benang monofilamen absorbable atau catgut No 2 atau 3.
 Lapisan 3: penjahitan kulit dengan pola jahitan continous interlocking.
Jenis benang yaitu sintetis nonabsorbable, material noncapillary No. 3.
 Perawatan Post Operasi
Medikasi untuk perawatan hewan operasi abdomen yang
direkomendasikan yaitu antibiotik yang diberikan preoperasi, administrasi

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP321)

intraperitoneal, dan antibiotik general 3-5 hari post operasi. Selain itu pakan dan
nutrisi hewan juga penting untuk diperhatikan.

Ovariohisterektomi

Salah satu tindakan bedah yang sering dilakukan pada ronga abdomen
adalah bedah saluran reproduksi. Pada hewan betina jenis pembedahan tersebut
adalah pengambilan ovarium dan uterus (ovariohisterektomi) dan pengambilan
ovarium saja (ovariektomi) atau uterus saja (histerektomi). Selain itu terdapat
juga prosedur operasi yang dilakukan dengan menyayat uterus tanpa
mengambilnya dari ruang abdomen (histerotomi), misalnya pada sectio
caesaria.
Pembedahan pada saluran reproduksi mencakup berbagai teknik yang
dapat mengubah kemampuan hewan untuk bereproduksi, membantu proses
kelahiran, dan mengobati atau mencegah penyakit organ reproduksi. Indikasi
utama untuk bedah saluran reproduksi adalah untuk mengontrol populasi,
membantu proses partus pada kasus distokia, mencegah atau mengatasi tumor
yang dipengaruhi oleh hormon reproduksi, dan tindakan terapi untuk penyakit
saluran reproduksi (misalnya pyometra, metritis).
Usia pasien untuk tindakan ovariohisterektomi yaitu minimal 6-9 bulan.
Pembedahan pada pasien pada usia yang lebih muda (mis 6-16 minggu)
berpotensi mengalami hipoglikemia, hipotermia dan perdarahan. Pasien pada
usia kurang dari 16 minggu memiliki sistem metabolisme yang belum matang
sehingga pemberian obat-obatan yang keras dapat membahayakan. Selain itu
sistem saraf simpatik yang belum matang membuat anak anjing atau kucing
berpotensi mengalami bradikardia dan hipotensi. Oleh karena itu rekomendasi
tindakan OH sangat penting mempertimbangkan usia hewan. Selain itu pada
pasien yang tua peting disarankan pemeriksaan darah lengkap untuk mengetahui
kondisi umum pasien.

Anatomi Saluran Reproduksi Betina


Saluran reproduksi betina mencakup ovarium, oviduk, uterus, vagina,
dan vulva. Ovarium terletak di dalam kantung peritoneum dengan bursa ovarium
terletak di kaudal ginjal. Ovarium kanan terletak lebih kranial yaitu pada dorsal
dudenum descendens, sedangkan ovarium kiri terletak pada dorsal kolon
descendes dan lateral limpa. Apabila medial mesoduodenum atau mesokolon
dikuakkan maka ovarium dapat terlihat. Penggantung ovarium di dalam ruang
abdomen (mesovarium) terdiri dari ligamentum suspensori, arteri dan vena,
lemak dan jaringan ikat. Pada anjing, penggantung ovarium memiliki banyak
lapisan lemak sehingga cukup sulit untuk melihat pembuluh darah.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP321)

Uterus berbentuk pendek dengan adanya cornua yang lebih sempit dan
panjang. Kemudian pada bagian kaudal terdapat serviks dengan ukuran lebih
sempit dan tebal (keras). Alat penggantung uterus di dalam abdomen disebut
mesometrium. Vagina terlertak pada kaudal serviks dan terhubung dengan
saluran urinari (orifisium urethralis). Kemudian pada organ reproduksi luar pada
betina yaitu klitoris dan vulva.

Teknik Operasi
Area operasi pada bagian ventral abdomen dipersiapkan dengan dicukur
dan disinfeksi dari processus xiphoidea hingga ke pubis. Kemudian temukan
umbilikal sebagai patokan lalu kulit dan jaringan subkutan disayat sepanjang 4-8
cm ke arah kaudal. Setelah jaringan subkutan dipreparir, selanjutnya dilakukan
identifikasi linea alba. Linea alba lalu dijepit dan sedikit diangkat, kemudian
disayat hingga menembus ke rongga abdomen. Sayatan linea alba diperpanjang
ke kranial dan kaudal dengan menggunakan gunting Mayo. Otot yang sudah
disayat kemudian difiksir dengan forcep agar mudah mengakses peritoneum dan
organ-organ.
Orientasi dalam mencari organ reproduksi betina dimulai dari uterus.
Uterus dapat dengan mudah ditemukan apabila VU sedikit dikuakkan ke
samping sehingga cornua dan corpus uterus dapat terlihat. Selanjutnya melalui
cornua uterus dapat ditelusuri ke kiri dan ke kanan untuk menemukan ovarium.
Ligamentum suspensorium pada pedikulus penggantung ovarium dipalpasi dan
sedikit dirobek untuk memudahkan ligasi pedikulus (hati-hati pembuluh darah).
Selanjutnya 2-3 forcep digunakan untuk menjepit pedikulus, kemudian
pedikulus diligasi dengan benang absorbable. Jenis ligasi yang disarankan
terutama untuk pedikulus yang tebal, yaitu dengan ligasi angka delapan. Ujung
jarum terlebih dahulu ditusukkan ke tengah-tengah pedikulus lalu diligasi,
kemudian benang dililitkan lagi melingkari pedikulus dan diligasi kembali. Jenis
ligasi ini direkomendasikan untuk mencegah benang terlepas karena licin.
Selanjutnya pedikulus disayat di antara kedua forcep, lalu forcep perlahan
dilepaskan dan kemudian dipastikan tidak ada hemoragi. Teknik ligasi yang
sama juga diterapkan pada uterus dengan orientasi ligasi dan sayatan yaitu pada
coprus uterus (cranial serviks). Selanjutnya dilakukan penutupan dinding
abdomen dengan penjahitan pada tiga lapisan yaitu fasia/linea alba, subkutan
dan kulit.
Ovariohisterektomi dengan pendekatan insisi ventral midline abdomen
lebih mudah dilakukan, risiko trauma rendah, dan risiko sakit postoperasi yang
lebih ringan daripada insisi dari flank abdomen, yang mana akan menyayat otot
pada 3 lapisan sekaligus serta risiko penyayatan pada pembuluh darah. Akan
tetapi risiko komplikasi post operasi berupa hernia lebih rendah pada insisi
flank. Selain itu OH dengan insisi flank diindikasikan untuk pasien dengan

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP321)

kelenjar mamari yang sedang aktif (masa laktasi) ataupun adanya neoplasia atau
hiperplasia mamari.

Manajemen Post Operasi


Hewan yang menjalani prosedur operasi saluran reproduksi harus
diperhatikan rasa sakit post operasi, hemoragi, dan infeksi. Analgesik
postoperasi diindikasikan dengan dosis opioid. Jahitan diperiksa setidaknya dua
kali sehari terhadap ada tidaknya kemerahan, bengkak atau discharge. Aktivitas
pasien dibatasi setidaknya 10-14 hari post operasi. Air minum dapat diberikan 4-
6 jam postoperasi dan jika tidak ada muntah makan pakan dapat diberikan dalam
6-12 post operasi. Pada pasien bedah OH non elektif misalnya pada kasus
pyometra, penting untuk diberikan treatment lainnya seperti terapi cairan,
elektrolit, dan keseimbangan asam-basa. Untuk melindungi jahitan maka perlu
diperban dan pasien menggunakan Elizaberthan collar.

DAFTAR PUSTAKA

Ames NK. 2014. Noordsy’s Food Animal Surgery, Fifth Edition. Michigan
(US): John Wiley & Sons.
[Anatomy Note]. 2019. Dog digestive system anatomy. [Internet]
https://www.anatomynote.com/animal-anatomy/mammals/dog/dog-
digestive-system-anatomy/ (17 Juli 2020).
Asrat M, Melkamu S. 2018. Review on ovariohysterectomy: surgical approach,
postoperative complications and their management in bitch. Int. J. Adv.
Multidicip. Res. 5(3): 20-28.
Fossum TW, Dewey CW, Horn CV, Johnson AL, MacPhail CM, Radlinsky MG,
Schulz KS, Willard MD. 2013. Small Animal Surgeri Fourth Edition. St.
Louis(AS): Elsevier Health Science.
Griffon D, Hamaide A. 2016. Complications in Small Animal Surgery. Californa
(US): John Wiley & Sons.
Jack CM, Watson PM. 2014. Veterinaru Technician’s Daily Reference Guide:
Canine and Feline, 3rd Edition. Seattle (US): Blackwell Publishing.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

KULIAH 13 BEDAH ORTOPEDIK PADA HEWAN

Fraktur

Fraktur merupakan pemecahan atau kerusakan suatu bagian dari tulang. Fraktur ini
dapat disebabkan oleh trauma/stress fisik yang kuat, atau luka lanjutan dari beberapa kondisi
atau penyakit yang melemahkan kekuatan tulang seperti osteoporosis, kanker tulang, atau
ketidaksempurnaan osteogenesis.

Klasifikasi Fraktur
Identifikasi jenis fraktur pada pasien penting dilakukan agar tepat dalam treatment
dan komunikasi kepada klien. Fraktur pada hewan dapat dideskripsikan berdasarkan:
Jumlah fragmen tulang yang patah
Konfigurasi fraktur
Lokasi fraktur pada tulang
Tulang yang mengalami fraktur

1. Jumlah Fragmen Tulang yang Patah


 Dua fragmen: terdapat satu garis patahan yang membagi dua tulang tersebut menjadi
2 fragmen yang besar. Jenis fraktur ini adalah yang paling sederhana dan mudah
untuk diterapi.
 Dua fragmen dengan satu patahan kecil yang dapat direposisi: fraktur dengan dua
fragmen besar disertai adanya fragmen kecil yang cukup mengganggu namun masih
dapat direposisi dalam proses rekonstruksi tulang.
 Dua fragmen dengan beberapa patahan kecil yang sulit direposisi: rekonstruksi tulang
menjadi seperti sedia kala akan sulit dilakukan dan dapat terjadi cacat tulang.
 Multiple fragmen atau kompleks: fraktur dengan lebih dari 3 fragmen besar.
2. Konfigurasi Fraktur
 Incomplete atau greenstick: fraktur dengan retakan yang terjadi pada satu korteks dan
tidak benar-benar membagi tulang menjadi dua bagian. Jenis fraktur ini umum terjadi
pada hewan muda.
 Transverse: garis fraktur tegak lurus terhadap sumbu panjang dari tulang.
 Oblique: garis fraktur yang miring terhadap sumbu panjang dari tulang. Terbagi
menjadi short oblique jika kemiringan kurang dari 45º dan long oblique jika
kemiringan lebih dari 45º.
 Spiral: garis fraktur yang mengelilingi tulang dengan bentuk spiral.
 Avulsion: fraktur yang terjadi pada tonjolan tulang di mana tendon besar menempel
seperti akromion, tuberositas supraglenoid, olecranon, tuberositas tibialis dan
kalkaneus. Tingkat keparahan tetap bergantung pada jumlah garis fraktur yang
terbentuk.
 Comminuted: fraktur dengan multipel garis. Fraktur yang terjadi membagi tulang
menjadi tiga fragmen (butterfly fragment) hingga banyak fragmen.
DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI
DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Gambar 1 Klasifikasi fraktur berdasarkan konfigurasi dan garis fraktur

3. Lokasi Fraktur
 Articular: fraktur yang terjadi pada daerah persendian (epifisis) yang
melibatkan tulang rawan artikular.
 Epiphysis: lokasi fraktur pada epifisis, baik di proksimal atau distal tulang
panjang.
 Physis: fraktur terjadi pada bagian phyisis, yaitu kartilago proksimal dan distal
dari tulang panjang yang terletak di antara ephyphysis dan metaphysis
 Metaphysis: fraktur terjadi pada bagian metaphysis, yaitu pada proksimal dan
distal tulang yang terletak di antara physis dan diaphysis. Metaphysis memiliki
bagian korteks yang lebih tipis dari diaphysis.
 Diaphysis:fraktur terjadi di bagian tengah/poros tulang, di bagian diaphysis.
Memiliki korteks yang lebih tebal dan pada medula terdapat sumsum berupa
jaringan adiposa.
 Komponen tulang yang spesifik secara anatomis, misalnya supracondylar,
trochanteric, dan femoral neck.

Physis

Gambar 2 Anatomi tulang panjang (sumber: Teachers Pay Teachers 2018)

4. Fraktur Salter-Harris
Klasifikasi fraktur yang spesifik apabila lokasi fraktur termasuk bagian physis
atau lempeng pertumbuhan yang berperan penting dalam proses osifikasi
endokondral.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

 SH I : fraktur terjadi pada physis atau istilah lainnya “slipped physis”


 SH II : fraktur terjadi pada physis dan metaphysis
 SH III : fraktur terjad pada fraktur terjadi pada physis dan epiphysis, yang
mana akan menjadi fraktur persendian. Kasus ini jarang terjadi.
 SH IV : fraktur terjadi dengan arah tegak lurus terhadap physis, dari
permukaan persendian (epiphysis) hingga ke metaphysis. Kasus ini
umumnya terjadi pada bagian siku (fraktur lateral condylar pada hewan
muda)
 SH V : fraktur yang terjadi akibat kompresi pada tulang yang menekan
physis sehingga terkadang tidak teramati pada radiografi. Namun
kelainan pada tulang akan terlihat pada beberapa minggu setelahnya
akibat fungsi physis yang berhenti. Fraktur ini sering terjadi pada distal
ulnar.

metaphysis
physis

epiphysis

Gambar 3 Klasifikasi fraktur Salter-Harris

5. Fraktur Terbuka
Fraktur terbuka diklasifikasikan berdasarkan mekanisme puncture dan
keparahan cedera jaringan lunak.
 Grade I : sebuah lubang tusukan (puncture) kecil pada kulit akibat tulang
yang menembus keluar. Akan tetapi tulang mungkin tidak terlihat pada luka
tersebut.

Gambar 4 Hasil radiografi fraktur terbuka grade I, terlihat adanya rongga berisi udara pada
jaringan lunak sekitar daerah fraktur (panah) (Sumber: Sylvestre 2019)

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

 Grade II: terdapat luka pada kulit dengan ukuran yang bervariasi tergantung
keparahan fraktur, disebabkan oleh trauma eksternal.

Gambar 5 Hasil radiografi fraktur terbuka grade II dengan adanya bagian tulang yang
menusuk jaringan lunak hingga menonjol terlihat pada kulit (Sumber: Sylvestre 2019)

 Grade III: terdapat beberapa fragmen tulang dan menimbulkan jaringan lunak
yang cukup luas. Kondisi ini biasanya terkait dengan fraktur comminuted
akibat trauma eksternal dari benda berkecepatan tinggi, misalnya akibat
tembakan peluru.

Gambar 6 Hasil radiografi fraktur terbuka grade II dengan terlihatnya tulang (persendian
bahu) pada area luka (panah) (Sumber: Sylvestre 2019)

Proses Persembuhan Tulang


Proses persembuhan tulang merupakan proses biologis pada kartilago dan tulang yang
akan mengembalikan kontinuitas jaringan sehingga dapat berfungsi kemabali. Tujuan dari
treatmen fraktur adalah untuk meningkatkan proses persembuhan, mengembalikan fungsi
tulang dan jaringan sekitar, serta memperbaiki penampilan kosmetis. Tujuan ini
mempengaruhi jenis manajemen treatmen yang dipilih.
Faktor-faktor yang memengaruhi proses persembuhan tulang, terbagi atas faktor
biologis dan faktor mekanis. Fakor biologis meliputi lokasi fraktur pada tulang, jenis tulang,
kartilago, respon seluler, sistem sirkulasi, dan keparahan kerusakan jaringan. Faktor mekanis
yang mempengaruhi adalah stabilitas segmen tulang setelah dilakukan fiksasi.
Proses persembuhan tulang pada kejadian fraktur meliputi tiga fase, yaitu fase
inflamasi, fase proliferatif, dan fase remodeling.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

 Fase inflamasi: inflamasi terjadi seketika setelah terjadinya hematoma pada tulang
dan jaringan sekitarnya. Hematoma ini terjadi karena perdarahan dari ruptur tulang
dan pembuluh darah periosteal. Sistem koagulasi kemudian teraktifasi dan
melepaskan mediator vasoaktif yang dihasilkan oleh platelet. Level mediator radang
seperti sitokin (interleukin-1 (IL-1), IL-6, IL-!!, IL-18 dan tumor necrosis factor-α
(TNF-α) meningkat secara signifikan selama beberapa hari post trauma. Mediator
radang ini akan beperan dalam efek kemotaktik yang mengaktifkan sel-sel radang.
Makrofage akan berperan dalam fagositosis jaringan nekrosis dan mengaktifkan
growth factor dalam pembentukan tulang seperti bone morphogenic proteins, insulin-
like growth factor, dll. Semua growth factor ini berfungsi dalam proses migrasi,
rekrutmen, dan proliferasi sel stem mesenkim dan diferensiasinya menjadi angioblast,
chondroblast, fibroblast, dan osteoblast. Selama proses inflamasi, proses pembentukan
kalus primitif juga terjadi sehingga dapat mengurangi mobilitas atau gerakan pada
area fraktur.
 Fase proliferatif: merupakan proses fibroplasia yang ditandai dengan pembentukan
callus dan vaskularisasi, sekresi osteoid, dan adanya serat kolagen. Fase ini meliputi
juga respon periosteal yaitu angiogenesis, pembentukan jaringan ikat dan formasi soft
callus. Selanjutnya secara bertahap digantikan oleh pembentukan anyaman tulang
yang belum matang (immature) melalui formasi tulang intramembran dan
endochondral. Kemudian sel stem mesenkim yang sebelumnya teraktifasi oleh growth
factor akan membantu proses osifikasi sehingga anyaman tulang yang immature akan
berubah menjadi lebih keras (mature) karena adanya pembentukan hard callus.
 Fase remodeling: meliputi pembentukan dan mineralisasi callus yang kemudian
secara bertahap callus digantikan dengan tulang yang sudah termineralisasi. Proses ini
akan diikuti dengan pebaikan bentuk, ukuran dan kandungan biokimiawi pada tulang.

Cara Diagnosis Frakktur


1. Anamnesa
2. Pemeriksaan umum
- Status present dari hewan (suhu, pulsus, frekuensi napas dan jantung)
- Rangkaian pemeriksaan umum
- Gejala: Rasa nyeri karena kerusakan tulang (kerusakan periosteum dengan/tanpa
endosteum, karena banyak nosiseptor), kebengkakan (edema) di sekitar jaringan
lunak akibat perdarahan dari pembuluh darah, dan spasmus otot.
Kepincangan harus diperhatikan. Kepincangan yang jelas terlihat, mengurangi
beban di kaki yang terpengaruh (rasa nyeri), kelainan otot (atrofi atau
perkembangan otot yang abnormal). Dapat diobservasi dengan cara membiarkan
hewan ketka berjalan atau berdiri. Apakah kepincangan terjadi unilateral atau
bilateral.
3. Penunjang Diagnosa
- Radiografi (x-ray)
- MRI
- CT scan

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Gambar 7 Contoh hasil radiograf terhadap kondisi fraktur di tulang tibia; CT-scan terhadap fraktur pada tulang
mandibula

Gambar 8 CT-scan terhadap fraktur pada tulang mandibula (Sumber: Veterian Key 2016)

Gambar 9 Gambaran MRI terhadap fraktur pada kaki kuda (Sumber: Genton et al. 2019)

Pilihan Penanganan Kasus Fraktur


Terdapat tiga cara utama untuk mengatasi kasus fraktur, yaitu fiksasi intramedular,
bone plating, dan fiksasi eksternal. Fiksasi intramedular merupakan cara dimna implan
dimasukkan ke dalam kanal intramedular dari tulang. Implan yang dimaksud berupa pin, rod,
wire, dan nail. Bone plating merupakan cara menstabilisaikan tulang dengan menempelkan
lempengan kuat sepanjang garis fraktur menggunakan ‘sekrup’. Fiksasi eksternal merupakan
cara menstabilkan fraktur dengan implan pada kulit.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Gambar 10 Tiga cara penanganan bedah ortopedik. (kiri) Fiksasi intramedular. (tengah) Bone plating. (kanan)
Fiksasi eksternal

Terdapat beberapa kasus fraktur yang tidak direkomendasikan untuk dibedah. Kasus-
kasus tersebut adalah apabila fraktur terjadi pada os coxae, yaitu pada bagian illial wing,
tuber ischii, dan pelvic floor. Bagian-bagian tersebut merupakan tempat tautan otot, sehingga
sulit untuk dioperasi, maka dari itu kasus ini harus dirawat secara konservatif, pembatasan
gerak, dan penanganan rasa nyeri.

Gambar 11 Fraktura pada tuber ischia (tanda panah)

Bedah Ortopedik
 Manajemen Pre-operasi
1. Evaluasi preoperasi
a. Hewan muda (kurang dari 5-7 tahun): harus disertai dengan beberapa uji
laboratorium seperti packed cell volume (PCV), urinalisis, pemeriksaan feses,
tergantung dengan hasil anamnesa, sinyalemen, dan pemeriksaan umum.
b. Hewan tua (lebih dari 5-7 tahun: harus diperiksa dan ditangani secara hati-
hati karena fungsi organ serta sistem muskuloskeletalnya sudah menurun. Uji
laboratorium seperti CBC, kimia darah, dan urinalisis, serta uji laboratorium
khusus (seperti uji koagulasi darah) berdasarkan hasil anamnesa, sinyalemen,
dan pemeriksaan umum.
Hasil evaluasi pre-operasi ini akan memengaruhi kepurusan dalam pemberian
sediaan premedikasi dan anestesi, terapi cairan, dan lainnya.
2. Anestesi dan manajemen rasa nyeri
- Operasi ortopedik merupakan salah satu operasi yang sangat menyakitkan, karena
banyak reseptor sensorik (nosiseptif) pada tulang. Maka dari itu perlu diberikan
sediaan analgesik sebelum operasi. Kedalaman analgesia dari sediaan tersebut
DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI
DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

harus cukup untuk menahan reseptor nyeri ketika operasi, khususnya reseptor
nosiseptif di sekitar tulang tersebut harus dapat di-block. Sediaan analgesiknya
pun harus dilanjutkan hingga post-operasi.
- Prosedur anestesi yang direkomendasikan untuk operasi ortopedik adalah
penggunaan sediaan analgesia yang juga dikombinasikan dengan sediaan anestesi
epidural (lidokain, bupivakain, atau ropivakain) untuk menurunkan respon nyeri
pada saat operasi dan juga untuk menurunkan dosis anestetikum yang dibutuhkan.
- Prosedur lain yang dapat digunakan adalah kombinasi anestesi epidural dengan
anestesi umum. Kombinasi tersebut dapat memberikan efek paralisis sementara
pada otot kaki belakang, dan menahan rasa nyeri pada kasus fraktur pelvis, femur,
dan tibia.
- Sediaan analgesik yang dapat digunakan pada pasien ortopedik adalah non-
steroidal anti-inflammatory drugs (NSAID). Sediaan tersebut dapat
dikombinasikan opioid (tergantung keparahan rasa nyeri pasien, contoh: fentanyl)
atau tidak dikombinasikan.

 Fracture Support
Cedera yang tidak stabil harus diberikan support agar mengurangi kerusakan jaringan
lunak dan untuk meningkatkan kenyamanan pasien. Support yang dimaksud adalah external
splint, yang dapat menyokong kaki secara sementara dan untuk menstabilkan fraktur.
Pemasangan splint yang baik dapat mencegah komplikasi. Komplikasi dapat berupa minor
atau serius. Komplikasi minor seperti kebengkakan kaki di bagian distal dari splint, splint
yang longgar, dan abrasi kulit. Komplikasi serius dapat berupa tidak menyatunya tulang-
tulang yang fraktur, nekrosa iskemik pada kaki.

 Tipe external splint:


1. Robert Jones Bandages: pada umumnya digunakan sebelum atau sesudah bedah
ortopedik. Balutan ini menggunakan micropore tape, kapas, kassa, dan perekat
elastik. Balutan ini menggunakan kapas sebagai bantalan dan juga berfungsi untuk
menekan jaringan lunak dan mencegah tulang yang fraktur untuk bergerak, tanpa
menyebabkan penekanan pembuluh darah.

Gambar 12 Pemasangan Robert Jones Bandages

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

2. Metal Spoon Splint (Metasplint): digunakan untuk menyokong cedera pada distal
radius dan ulna, tulang carpus/tarsus, metacarpus/metatarsus, dan phalanges.
Digunakan untuk fiksasi tulang, menurunkan stress fisik, dan mempercepat
persembuhan.

Gambar 13 Pemasangan metal spoon splint (lingkaran merah)

3. Soft Padded Bandages: digunakan ketika tidak perlu ada penekanan yang berlebihan
pada jaringan. Balutan ini dapat disertakan Mason metasplint, lateral splint, atau
tidak.
4. Spica splints: balutan ini akan membalut kaki yang cedera dan badan sebagai splint
sementara untuk imobilisasi fraktur humerus/femur, atau untuk stabilisasi tulang
setelah dilakukan fiksasi.

Gambar 14 Spica splint

5. Ehmer Sling: dapat mencegah beban bobot badan pada tulang pelvis dan kaki
belakang. Umumnya digunakan untuk menyokong hip luxation.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Gambar 15 Ehmer sling pada kasus hip luxation

6. Velpeau Sling: digunakan untuk mencegah beban bobot badan dan menstabilkan kaki
depan bagian proksimal. Umumnya digunakan untuk menyokong fraktur scapula atau
medial shoulder luxation.

Gambar 16 Velpeau sling pada kasus fraktur scapula

Manajemen Post-Operasi
- Komunikasi dengan klien tentang perkembangan kondisi hewannya
- Penggunaan metode rehabiltasi fisik yang benar
- Check up pasien dengan teratur
- Pemakaian dan pemeliharaan bandage dan splint agar tidak terjadi komplikasi.
Pembengkakan, kegatalan, dan adanya bau busuk dari bandage harus diperhatikan
dan jika ada, bandage harus segera dilepas. Balutan harus tetap bersih dan kering.
- Radiografi post-operasi untuk melihat perkembangan cedera atau posisi implan
tulang.
- Pembatasan pergerakan pasien (exercise seperti leash walking) dan rehabilitasi
fisik
- Rehabilitasi fisik dilakukan setelah frakturanya sembuh.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

DAFTAR PUSTAKA

Fossum TW, Dewey CW, Horn CV, Johnson AL, MacPhail CM, Radlinsky MG, Schulz KS,
Willard MD. 2013. Small Animal Surgery, 4th edition. Missouri (US): Elsevier
Mosby.
Genton M, Vila T, Olive J, Rossignol F. 2019. Standing MRI for surgical planning of equine
fracture repair. Veterinary Surgery. 48 (8): 1372-1381.
Oryan A, Manazzah S, Sadegh AB. 2015. Reiew bone injury and fracture healing biology.
Biomed Environ Sci. 28(1):57-71.
Sylvestre AM. 2019. Fracture Management for the Small Animal Practicioner. Hoboken
(US): John Wiley & Sons, Inc.
Teachers Pay Teachers. 2018. Bone anatomy diagrams for coloring adn labeling, with
reference and summary. [Internet]. [diunduh pada 04 Agustus 2020].
https://www.teacherspayteachers.com/Product/Bone-Anatomy-Diagrams- for-
Coloring-and-Labeling-with-Reference-and-Summary-5286917
Veterian Key. 2016. Mandibullar and maxillofacial fractures. [Internet]. [diunduh pada 27
Juli 2020]. Tersedia pada: https://veteriankey.com/mandibular-and-maxillofacial-
fractures/

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

KULIAH 14 FISIOTERAPI

Definisi Umum

Fisioterapi didefinisikan sebagai terapi yang menggunakan agen atau sarana


fisik seperti pemijatan atau pemberian latihan untuk memberikan terapi pada
beberapa penyakit maupun trauma fisik. Tujuan dari fisioterapi adalah untuk
mengembalikan fungsi gerak atau mobilitas dan meningkatkan kualitas hidup
pasien. Fisioterapi dilakukan dengan prinsip stimulasi pada proses penyembuhan
jaringan yang trauma, meningkatkan kekuatan muskuloskeletal, meningkatkan
keseimbangan tubuh, memperbaiki sistem kardiorespirasi, neurologi, dan
muskuloskeletal. Fisioterapi juga berperan dalam mengoptimalkan performa tubuh
serta berperan sebagai tindak pencegahan trauma pada hewan yang berfungsi
sebagai pekerja. Fisioterapi dapat dilakukan di hewan besar maupun hewan kecil,
namun kebanyakan kasus yang membutuhkan fisioterapi adalah kasus pada praktisi
hewan kecil terutama anjing.
Fisioterapi juga merupakan tindak lanjut dalam proses rehabilitasi pasien
setelah prosedur pembedahan untuk memperbaiki atau mengurangi komplikasi
antar sistem yang trjadi. Salah satu contoh pemanfaatan fisioterapi sebagai tindakan
rehabilitatif pasien adalah fisioterapi terhadap pasien yang mendapatkan prosedur
operasi Tibial Tuberosity Advancement (TTA). Fisioterapi dilakukan untuk melatih
pasien agar dapat berdiri seperti postur semula.
Fisioterapi digunakan secara luas pada berbagai kondisi pasien. Secara
tradisional fisioterapi dibagi menjadi beberapa spesialisasi yaitu:
a. Muskuloskeletal
b. Respiratori
c. Orthopedik
d. Neurologikal
e. Geriatrik
f. Medis olah fisik (Atletik)
g. Gangguan Pertumbuhan

Muskuloskeletal
Fisioterapi pada sistem muskuloskeletal biasanya disebut sebagai fisioterapi
konvensional atau tradisional. Fisioterapi ini dilakukan untuk terapi terhadap
trauma jaringan lunak (ruptur ligamen, tendn, dan otot), bursitis, trauma persendian,
fraktur, dan penyakit persendian (cth: Osteochondritis Discecans atau OCD).

Respiratori
Fisioterapi pada sistem respirasi merupakan salah satu prosedur perawatan
darurat pada hewan yang dilakukan pada beberapa prosedur atau tindakan misalnya

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI, DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

rehabilitasi post-anastesi atau penanganan hewan yang membutuhkan ventilasi


akibat trauma. Fisioterapi bertujuan untuk mengatur sekresi, tekanan pada rongga
thorax, mencegah athelektasis, menurunkan frekuensi respirasi yang berlebihan,
dan optimalisasi rasio ventilasi atau perfusi jaringan untuk meningkatkan saturasi
oksigen tubuh hewan. Fisioterapi dilakukan dengan perbaikan posisi hewan,
pemberian getaran untuk meningkatkan laju pengeluaran sekresi, penekanan rongga
thorax untuk meningkatkan kapasitas paru, dan ventilasi manual.

Orthopedik
Fisioterapi pada orthopedik biasanya sebagai tindakan rebilitatif setelah
prosedur operasi untuk memaksimalkan tingkat keberhasilan operasi. Fisioterapi
dilakukan dengan penerapan prinsip latihan dan pengurangan beban berat pada
bagian atau area yang telah dioperasi.

Neurologikal
Fisioterapi pada sistem neurologik merupakan tindakan rehabilitatif terhadap
hewan yang mengalami trauma neurologis yang dpat terjadi pada satu tungkai
maupun seluruh badan. Kerusakan neurologis dapat diterapi secara konservatif atau
fisik maupun melalui prosedur operasi. Keruskaan tersebut juga dapat disembuhkan
secara total atau sebagian dengan meninggalkan kerusakan permanen pada berbagai
bagian. Tingkat kerusakan tau banyaknya jaringan syaraf yang rusak menentukan
waktu atau lamanya fisioterapi yang akan dilakukan hingga terjadi perbaikan.
Selain fisioterapi, solusi jangka panjang terhadap kerusakan permanen yang
signifikan juga dibutuhkan seperti pemasangan roda dan sabuk pengaman atau
penyangga untuk mendukung kegiatan hewan sehari-hari.

Geriatrik
Hewan peliharaan saat ini memiliki waktu hidup yang lebih lama sehingga
dapat bertahan hingga umur yang tua. Beberapa permasalahan kesehatan yang
banyak ditemukan pada hewan peliharaan yang tua adalah gangguan pada
persendian yang disertai dengan penyakit co-morbiditi seperti diabetes yang dapat
menyebabkan komplikasi dalam proses rehabilitasi. Fisioterapi dilakukan dengan
melakukan perawatan terhadap pengurangan rasa sakit, latihan, diet penurunan
bobot baan, serta perbaikan terhadap faktor lingkungan.

Medis Olah Fisik (Atletik)


Fisioterapi pada bidang ini dilakukan untuk membantu para pelatih hewan
agar hewan yang difungsikan sebagai hewan atlet terhindar dari permasalahan fisik.
Fisioterapi dilakukan dengan menggabungkan latihan fisik, skill, dan
kardiovaskuler. Bidang olahraga hewan yang berbeda akan menuntut terapi fisik
yang berbeda pada setiap hewan. Misalnya pelatihan untuk meningkatkan daya
tahan pada anjing yang difungsikan sebagai atlet kereta luncur berbeda dengan

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI, DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

anjing yang difungsikan sebagai atlet balap lari. Rehabilitasi pada trauma akibat
kegiatan olahraga pada hewan sangatlah penting, mengingat hewan tidak selalu
menunjukkan gejala kepincangan secara langsung jika mengalami kelemahan pada
ototnya, namun, hal ini akan menyebabkan perubahan performa pada hewan.

Gangguan Pertumbuhan
Banyak hewan muda yang memiliki masalah perkembangan secara genetik
pada persendian maupun tulang. Hal ini memerlukan terapi fisik sebagai terapi yang
secara signifikan bermanfaat untuk mendukung peningkatan kekuatan pada
persendian maupun tulang hewan tersebut. Kondisi seperti dislokasi persendian
piggul dan siku paling sering ditemui. Fisioterapi dapat dilakukan untuk
meningkatkan kualitas hidup hewan dan mencegah masalah lain atau dapat
menghindarkan hewan dari prosedur operasi relokasi persendian pinggul total.

Keuntungan Fisioterapi

Fisioterapi dapat memberikan keuntungan bagi hewan, namun demikian,


pemilihan terapi harus sesuai dengan penyakit utama dan memperhatikan penyakit
penyerta. Kesuksesan fisioterapi ditentukan oleh kebiasaan hewan, tingkat
pengetahuan owner, agresivitas hewan, serta keadaan hewan. keuntungan utama
dari fisioterapi adalah pengurangan rasa sakit pada, perbaikan gerak, peningkatan
kemampuan berdiri, penigkatan kekuatan dan fungsi otot tanpa penggunaan bahan
atau obat kimia sehingga tidak ada bahaya yang terjadi. Selain itu target fisioterapi
juga dapat terbatas pada daerah yang bermasalah atau secara menyeluruh pada
tubuh. Selain terapi pada hewan, edukasi kepada owner juga penting untuk
dilakukan untuk membantu proses rehabilitasi melalui program latihan di rumah
maupun strategi manajemen individu.

Kontraindikasi Fisioterapi

Terdapat beberapa kontaindikasi spesifik terhadap tehnik fisioterapi tertentu.


Ada beberapa kondisi-kondisi tertentuyang memerlukan kehati-hatian dalam
melakukan fisioterapi, yaitu:
a. Bunting: tehnik terapi dengan menggunakan energi elektromagnetik
pulsed harus dihindari karena dapat mengganggu perkembangan jaringan
yang sedang bertumbuh
b. Cancer: tehnik elektroterapi harus dihindari pada pasien dengan tumor
metastatik karena dapat menyebabkan pasien mudah lelah
c. Gangguan sirkulasi: jika fisioterapi menyebabkan tidak adanya
penyembuhan yang signifikan sebaiknya terapi dihentikan

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI, DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

d. Myopati: fisioterapi tidak dapat dilakukan pada penderita myastenia


gravis dan rhabdomyelosis exertional
e. Sikap Agresiv: fisioterapi pada hewan yang aggresiv dapat menimbulkan
sakit dan menurunkan laju progres persembuhan karena hewan agresiv
cenderung memberontak ketika dilakukan terapi

Teknik Fisioterapi pada Sistem Muskuloskeletal dan Neurologis

Fisioterapi pada sistem muskuloskeletal dilakukan berdasarkan hasil


pemeriksaan fisik, sejarah klinis, analisis cara berjalan/kelumpuhan, dan
penyusunan program terapi. Kelumpuhan yang terjadi pada hewan dapat bersifat
patologis (cth: osteoarthritis pada hewan ras besar) atau kongenital (cth:
abnormalitas chondrodistropik/valgus pada dachsund). Terdapat beberapa tehnik
fisioterapi pada sistem muskuloskeletal diantaranya adalah terapi dingin, terapi
panas, perbaikan posisi/postur hewan, pemberian alat bantu, elektroterapi (pulsed
electromagnetic energy/PEME, laser, transcutaneus electrical nerve stimulation/
TENS), dan latihan (gerakan pasif/passive range of motion exercise/PROM,
peregangan, pergerakan aktif), serta pemijatan.

a. Terapi Dingin
Terapi ini bertujuan mengontrol dan meminimalisir inflamasi yang
terjadi setelah prosedur operasi atau inflamasi akibat trauma fisik. Tubuh
akan merespon trauma melalui aktivasi reaksi inflamasi pada sel. Fase
normal inflamasi pada sel tubuh yang sehat berjalan selama kurang lebih 72
jam. Periode inilah, terapi dingin sangat direkomendasikan untuk
meminimalisir respon inflamasi. Terapi dingin dapat diaplikasikan di area
inflamasi dengan beberapa cara. Cold theraapy gel pack atau bisa
digantikan dengan potongan es batu yang dimasukkan kedalam tas tahan
panas/dingin diletakka pada area inflamasi selama 10-20 menit dan diulagi
setiap 4-6 jam agar lebih efektif. Jika terjadi hipotermia setelah operasi,
maka terapi ini dapat ditunda hingga temperatur hewan kembali normal.
Selain itu, kontraindikasi terapi ini adalah hewan yang megalami
hipersensitivitas terhadap dingin. Perlu perhatian khusus terhadap kondisi
jantung, tekanan darah yang tinggi, dan luka yang terbuka.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI, DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Gambar 1 Ice Packs

b. Terapi Panas
Terapi ini dilakukan pada inflamasi lanjut atau setelah 72 jam paska
trauma dengan pemberian handuk hangat-panas pada area inflamasi 10-20
menit 4-6 kali sehari. Prinsip terapi ini adalah untuk meningkatkan sirkulasi
darah pada area inflamasi dengan meningkatkan vasodilatasi pembuluh
darah sehingga aliran darah pada area inflamasi meningkat sehingga
mempercepat proses persembuhan. Terapi panas dapat digunakan untuk
mengurangi rasa sakit, kekakuan, dan spasmus pada otot. Panas akan
meningkatkan elastisitas jaringan. Kontraindikasi dari terapi ini adalah
trombus/embolisme, hipersensitiv terhadap panas, luka bakar, infeksi, dan
tumor malignan.

Gambar 2 Warming Pad

c. Perbaikan Postur dan Pemberian Alat Bantu


Terapi dengan metode ini bertujuan menjaga stabilitas otot dan
menyagga kaki atau bagian tubuh yang mengalami kelumpuhan atau
luka/trauma. Selain itu, terapi ini juga diperuntukkan bagi hewan yang
kehilangan sebagian atau keseluruhan fungsi gerak pada kaki setelah
prosedur operasi relokasi maupun fraktur. Hewan akan mendapatkan alat
bantu gerak atau hanya sekedar penyangga untuk membantu aktivitasnya
sehari-hari.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI, DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

d. Elektroterapi
PEME atau yang biasa disebut stimulasi otot secara elektrik berfungsi
untuk mengurangi rasa sakit pada daerah tubuh yang trauma dengan
stimulasi syaraf sensoris. Tehnik ini digunakan untuk mengenbalikan atau
mengurangi atropi pada otot dengan stimulasi serabut syaraf motoris yang
dapat meningkatkan kontraksi otot.

Gambar 3 Elektroterapi pada Kucing

Indikasi terapi ini adalah untuk mencegah atrofi otot pada hewan yang
mengalami kelumpuhan. Terapi ini juga dapat dilakukan sebagai terapi
tambahan preoperasi maupun postoperasi. Sementara itu, kontraindikasi
dari terapi ini adalah hewan yang sedang bunting, luka terbuka, tumor
malignan, gangguan konduksi jantung, operasi laminectomy, hewan
epilepsi, trombosis, serta pada area pharyng dan sinus carotid.
TENS merupakan terapi dengan memanfaatkan gelombang elektrik
berfrekuensi 90-130 Hz untuk menstimulasi serabut saraf besar dalam
aktivasi sistem inhibisi interneuron yang memblkade sinyal pada neuron
proyeksi yang berhubungan dengan otak sehingga terjadi blokade persepsi
rasa sakit.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI, DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Gambar 4 Aplikasi TENS pada Anjing

Terapi laser juga merupakan bagian dari elektroterapi yang


memanfaatkan panjang gelombang laser 600-940 nm untuk penetrasi ke
dalam jaringan. Terdaat beberapa kelas laser, pada kedokteran hewan, laser
yang digunakan adalah laser kelas 4 (>500 mW) dengan kegunaan pada
prosedur operasi dan rehabilitasi. Namun, penggunaan laser kelas ini
memiliki resiko tinggi terhadap kerusakan jaringan dan dapat menyebabkan
jaringan terbakar. Kontraindikasi penggunaan laser adalah hewan bunting,
tidak dapat digunakan pada mata, thyroid, dan jaringan neoplasia.
Terapi menggunakan laser memiliki prinsip meningkatkan laju
metabolisme sel dengan meningkatkan siklus kreb pada mitokondria
sehingga terjadi peningkatan jumlah ATP jaringan. Hal ini dapat berefek
baik pada peningkatan laju produksi komponen pembangun sel seperti
fibroblast yang menghasilkan kolagen dan chondrocyte yang menghasilkan
matriks kartilago. Selain itu pemberian laser juga dapat meningkatkan laju
persembuhan serabut syaraf yang mengalami trauma. Laser juga dapat
menurunkan jumlah mikroorganisme dengan meningkatkan produksi
limfosit yang berfungsi dalam granulasi luka (cth: otitis eksterna).

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI, DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Gambar 5 Alat Laser kelas 4


e. Pemijatan
Pemijatan merupakan tehnik fisioterapi tambahan yang tidak hanya
bekerja pada kulit dan otot, namun juga bekerja pada sistem sirkulasi dan
syaraf. Persembuhan atau pengembalian fungsi normal tubuh tidak dapat
dicapai hanya dengan terapi pemijatan. Terapi pemijatan merupakan salah
satu tehnik fisioterapi dengan pengembangan kemampuan palpasi para
terapis sehingga mampu membedakan bagian tubuh yang normal atau
abnormal, atrofi atau hipertrofi, kebengkakan, dan penebalan jaringan.
Pemijatan memiliki beberapa keuntungan diantaranya adanya mengurangi
rasa stress dengan memberikan efek penenang melalui aktivasi saraf
sensoris, penurunan produksi ACTH (meningkatkan oksitosin yang
menghambat pelepasan ACTH), memperbaiki sistem peredaran limfatik
dan sistem sirkulasi, merelaksasi otot dengan meningkatkan fleksibilitas
otot, dan mengurangi rasa sakit, serta meningkatkan performa tubuh.
Indikasi pemijatan adalah untuk masalah orthopedik kronis,
postoperasi, atrofi otot, meningkatkan aliran limfatik dan darah,
mengurangi rasa sakit, dan mengurangi pembentukan jaringan ikat pada
luka. Kontraindikasi dari pemijatan adalah adanya tumor malignant pada
tubuh hewan, atherosclerosis/arteriosklerosis, thrombosis, shock, dan
penyakit infeksius seperti adanya gejala demam, serta hewan agresiv. Hal
tersebut menjadi kontraindikasi karena sifat pemijatan yang meningkatkan
aliran darah. sementara itu hewan yang agresiv dapat membahayakan
terapis.

Hidrotherapi

Beberapa tahun terakhir, hydroterapi merupakan terapi yang banyak dipilih


untuk hewan. Hydroterapi bekerja melalui berbagai cara (temperatur, daya apung,
efek hidrostatik, dan viskositas) untuk mengembalikan fungsi normal tubuh.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI, DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Temperatur air untuk hidroterapi di atur antara 29 – 32 oC. Temperatur tersebut


dapat meningkatkan aliran darah pada tubuh dan merelaksasi pasien. Air yang
hangat tersebut dapat menstimulasi syaraf sensoris yang penting untuk kasus-kasus
spinal (cth: Intervertebral Disc Disease/IVDD, Wobler Syndrome). Daya apung
dapat membantu latihan pergerakan hewan karena sebagian berat tubuh hewan
ditopang oleh adanya daya apung pada air. Efek hidrostatik atau tekanan hidrostatik
dapat membantu mengurangi kebengkakan dan kongesti vena pada tulang bagian
subkondrial yang menjadi penyebab utama arthritis pada persendian yang sangat
sakit. Viskositas air dapat membantu pembentukan sel-sel otot yang mengalami
trauma dan memperbaiki posturberdiri hewan akibat dislokasi persendian pinggul.
Selain itu, hidroterapi juga kadang dikombinasikan dengan letihan aktiv atau
mobilisasi menggunakan tredmil (Underwater Treadmil/UWTM).

Gambar 6 Underwater Treadmill

Hidroterapi memiliki beberapa kontraindikasi diantaranya adalah hewan yang


mengalami gagal jantung, luka terbuka, hewan yang dalam masa penyembuhan
luka operasi, hewan dengan penyakit kulit, dan hewan yang mengalami diare.
Kondisi lain yang memerlukan perhatian khusus adalah hewan dengan penyakit
respirasi.

Actinotherapi/Heliotherapi

Actinotherapy merupakan terapi penyakit menggunakan sinar baik sinar


alami maupun sinar buatan. Sumber sinar alami yaitu matahari, sedangkan sumber
sinar buatan yang sering digunakan adalah radiasi ultraviolet (UV) atau infrared

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI, DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

(IR). Karakteristik sinar yang dapat digunakan sebagai actinotherapy adalah sinar
yang memiliki daya kimia dalam penyembuhan penyakit.
Sinar ultraviolet dapat memperbaiki kondisi kekakuan, kelelahan, kekakuan
sendi, kebengkakan sendi, dan kekuatan genggaman (grip strength) pada manusia.
Sedangkan sinar infrared diketahui dapat menghilangkan rasa sakit (pain relief),
menghilangkan back pain, dan meningkatkan aliran darah pada daerah yang
diterapi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada kerbau di India, actinotherapy
menggunakan sinar infrared dapat menghilangkan rasa sakit lebih efektif
dibandingkan dengan sinar ultraviolet.

DAFTAR PUSTAKA

Carver D. 2016. Practical Physiotherapy for Veterinary Nurses. Oxford (UK): John
Willey and Sons.
Choudhary CK, Sharma AK, Gupta MK. 2018. Clinical and physical evaluation of
infrared and ultraviolet treatment in arthritic buffalo calves. Buffalo Buletin.
37(3): 411 – 419.
Lindley S, Watson P. 2010. BSAVA Manual of Canine and Feline Rehabilitation,
Supportive, and Palliative Care: Case Studies in Patient Management.
Quedgeley (UK): British Small Animal Veterinary Association.
Prydie D, Hewitt I. 2015. Practical Physiotherapy for Small Animal Practice.
Oxford (UK): John Willey and Sons.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI, DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB

Anda mungkin juga menyukai