Modul Ibuv 8-14
Modul Ibuv 8-14
Steroid
Steroid merupakan jenis obat yang bekerja menyerupai kortikosteroid yang dihasilkan
oleh kelenjar adrenal. Steroid bekerja menekan sistem imun tubuh sehingga jika digunakan
dalam durasi yang lama akan menyebabkan imunosupresi. Beberapa efek samping yang harus
diperhatikan dari penggunaan obat ini adalah hyperglicemia, diabetes, retensi cairan tubuh,
shock anaphylaksis, dan kelemahan otot. Steroid juga menyebabkan penurunan kemampuan
tubuh untuk mengabsorbsi kalsium sehingga menyebabkan timbulnya kondisi hipokalsemia
yang berdampak terhadap metabolisme maupun fungsi vital tubuh. Beberapa jenis steroid
yang sering digunakan dalam pengobatan hewan adalah dexamethasone, prednisone, dan
hydrocortisone.
a. Dexamethasone
Dexamethasone merupakan antiinflamasi steroid yang penggunaannya luas pada hewan.
Obat ini dapat digunakan secara oral maupun parenteral dengan indikasi tick paralysis
dan pada dosis tinggi diindikasikan untuk gangguan cardiovaskular dan shock
septicaemia. Penggunaan dexamethasone perioperatif bertujuan untuk mencegah efek
samping dari operasi seperti mual dan muntah akibat penggunaan anastetikum serta
berperan sebagai analgesik postoperatif. Pemberian dexamethasone preoperatif
memberikan efek analgesik postoperatif yang sangat baik dibandingkan pemberian pada
saat intraoperatif atau postoperatif.
b. Prednisone
Prednisone merupakan antiinflamasi steroid yang biasa digunakan pada hewan
kesayangan seperti anjing dan kucing. Obat ini dapat digunakan secara oral dan memiliki
aktivitas antiinflamasi yang lebih kuat empat kali dibandingkan hydrocortisone. Obat ini
sangat efektif karena dapat menekan proses inflamasi pada berbagai level mulai dari
ringan hingga berat. Indikasi penggunakan prednisone pada umumnya untuk mengatasi
DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI
DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKUTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)
NSAID dapat dengan mudah berinteraksi dengan beberapa obat lainnya karena
memiliki afinitas tinggi terhadap protein, sehingga kombinasi NSAID dengan beberapa obat
lain (cth: digoxin, cisplatin, methotrexate, antikoagulan oral) akan meningkatkan
toksisitasnya. Penggunaan kortikosteroid, aminoglycosida, dan heparin pada waktu yang
bersamaan juga akan meningkatkan efek samping NSAID. Sementara itu, NSAID akan
menurunkan efektivitas dari beberapa obat seperti diuretik, inhibitor angiotensin converting
enzyme (ACE), atau β-blocker.
NSAID hanya digunakanpada pasien muda atau dewasa yang dalam keadaan sehat,
normovolemik/hidrasi baik, dan normotensif tanpa adanya riwayat penyakit penyerta seperti
gangguan hati dan ginjal atau sindroma perdarahan diatetis. NSAID pada anjing hanya dapat
digunakan pada anjing dengan berat minimal 5 kg. NSAID pada intraoperatif
diadministrasikan bersama infus melalui intravena. Sementara itu, pemberian secara oral
lebih efektif pada saat postoperatif dibandingkan preoperatif.
Hal yang penting untuk diperhatikan dalam penggunaan NSAID ini adalah edukasi
klien. Riwayat pemberian obat pada pasien harus diperhatikan secara teliti untuk memastikan
penggunaan NSAID tidak dilakukan bersama dengan penggunaan kortikosteroid (termasuk
penggunaan secara topikal). NSAID harus diberikan dengan dosis yang sesuai dengan
anjuran dokter hewan. Selain itu, pemilik hewan juga harus tanggap untuk menghentikan
penggunaan NSAID pada hewannya dan segera menghubungi dokter hewan jika hewan
mengalami penurunan nafsu makan, muntah, diare, lemah.
Penggunaan Antibiotik
Pemilihan Antibiotik
DAFTAR PUSTAKA
Fossum TW, Dewey CW, Horn CV, Johnson AL, MacPhail CM, Radlinsky MG, Schulz KS,
Willard MD. 2013. Small Animal Surgery 4th Edition. Missouri (US): Elsevier Mosby.
Grimm KA, Tranquilli WJ, Lamont LA. 2011. Small Animal Anasthesia and Analgesia 2nd
Edition. Oxford(UK): Willey-Blackwell.
Tobias KM, Johnston SA. 2012. Veterinary Surgery: Small Animal 2nd Volume. Missouri
(US): Elsevier Saunders.
Persembuhan Luka
Secara definitif, luka merupakan rusak atau hilangnya kontinuitas sel atau
anatomi yang mengakibatkan penurunan fungsi protektif dan fisiologis dari suatu
jaringan. Kulit, subkutis, dan lapisan otot yang ada di bawahnya merupakan
jaringan yang paling sering mengalami perlukaan. Kausa dari luka dapat
bermacam-macam, diantaranya adalah luka akibat gigitan, kecelakaan, laserasi
akibat benda tajam, penetrasi oleh benda logam, maupun cidera akibat panas.
Berdasarkan keutuhan lapisan superfisialnya, luka dapat diklasifikasikan
menjadi luka terbuka (open wound) dan luka tertutup (closed wound). Pada luka
terbuka, lapisan superfisial kulit atau membran mukus rusak atau terkuak sehingga
memungkinkan terjadinya kontaminasi pada luka. Sedangkan pada luka tertutup,
lapisan superfisial masih utuh dan mampu melindungi luka dari kontaminasi.
Open wound atau luka terbuka dapat dikategorikan berdasarkan tingkat
kontaminasi dan lama kejadian;
1. Kategori 1 “Clean wounds”
Pada kategori clean wounds, luka merupakan tipe luka non-traumatis
yang tidak melibatkan organ respiratori, orofaring, gastrointestinal,
maupun urogenital. Tidak ditemukan adanya kontaminasi pada luka dan
terjadi 0 – 6 jam pasca-operasi.
2. Kategori 2 “Clean-contaminated wounds”
Pada kategori clean-contaminated wounds, luka merupakan
nontraumatis yang melibatkan organ respiratori, orofaring,
gastrointestinal, maupun urogenital tanpa adanya tumpahan isi dari
organ. Jenis luka ini memiliki kontaminasi yang minimal (luka operasi
dengan teknik operasi yang terjadi kontaminasi minor) dan terjadi dalam
rentang 0 – 6 jam pasca-operasi.
3. Kategori 3 “Contaminated wounds”
Golongan contaminated wounds merupakan luka traumatis yang terjadi
dalam rentang 4 – 6 jam, proses inflamasi tidak terdapat eksudat purulen.
Prosedur operasi yang terkontaminasi isi organ gastrointestinal ataupun
urin yang terinfeksi, atau prosedur operasi yang tidak mengikuti prosedur
aseptik termasuk ke dalam kategori ini.
4. Kategori 4 “Infected or Dirty wounds”
Infected or dirty wounds merupakan luka traumatis yang terjadi lebih dari
4-6 jam dengan gejala-gejala infeksi yang terlihat jelas. Proses inflamasi
menghasilkan eksudat purulen atau terdapat jaringan nekrotik pada luka.
Prosedur operasi yang termasuk ke dalam kategori ini adalah operasi
dimana terjadi perforasi organ gastrointestinal atau organ urogenital yang
terinfeksi, dan terjadi kontaminasi feses yang serius. Luka yang
terkontaminasi mengandung >105 bakteri per gram jaringan.
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 1 (a) Clean wounds, luka yang terjadi dalam kondisi aseptis; (b) Clean-
contaminated wounds, luka terbuka yang masih baru dan kontaminasi
minimal; (c) Contaminated wounds, luka yang masih baru tetapi
terkontaminasi pada bagian luka yang terbuka tetapi tidak ditemukan
eksudat purulen maupun jaringan nekrotik; (d) Infected wounds, luka
yang sudah lama, terlihat eksudat purulen dan jaringan nekrotik pada
daerah wilayah.
Fase Inflamatori
Segera setelah terjadi perlukaan, daerah luka akan diisi oleh darah dan cairan
limfatik dari pembuluh yang rusak. Kejadian ini akan diikuti oleh vasokonstriksi
yang dimediasi oleh katekolamin, serotonin, bradykinin, prostaglandin, dan
histamin untuk meminimalisir terjadinya kehilangan darah. Vasokonstriksi ini akan
diikuti oleh vasodilatasi yang kemudian akan mengaktivasi platelet untuk
membentuk blood clot atau penggumpalan darah di lumen pembuluh darah. Blood
clot ini merupakan komponen penting dalam respon inflamasi dan berfungsi untuk
melindungi luka.
Fase Proliferatif
Fase proliferatif umumnya dimulai 5 – 20 hari setelah perlukaan terjadi. Fase
ini terjadi dalam empat tahapan, yaitu neovaskularisasi, fibroplasia dan deposisi
kolagen, epitelisasi, dan kontraksi luka.
Neovaskularisasi merupakan tahapan pembentukan pembuluh darah baru
(neoangiogenesis). Plasminogen dan kolagenase akan dilepaskan dari sel
endothelial melalui membran basal yang terdegradasi. Sel endothelial dari
pembuluh darah akan berproliferasi dan akan menjadi sumber sel selama proses
angiogenesis. Jaringan kapiler akan terbentuk seiring dengan proliferasi sel endotel
pembuluh darah. Sel endotel yang terbentuk akan saling bersambungan mengisi
bagian-bagian kapiler yang rusak akibat luka. Kemudian, sel-sel endotel ini akan
diikat dan diperkuat oleh fibroblast. Proses ini termasuk ke dalam proses granulasi
jaringan.
Fibroplasia dan deposisi kolagen merupakan tahap granulasi jaringan
selanjutnya. Sitokin dan matriks profisional akan menstimulasi proliferasi dari
fibroblast dan mempercepat pembentukan reseptor integrin. Fibroblast akan
melepaskan enzim proteolitik dan aktivator plasminogen, interstisial collagenase,
gelatinase, dan stromelysin. Enzim-enzim ini akan melemahkan matriks ekstrasel
yang telah terbentuk dan dirubah menjadi matriks kolagen. Fase fibroplastik ini
terjadi selama 2 – 4 minggu tergantung pada besarnya luka.
Epitelisasi, merupakan proses dimana sel-sel epithelial mulai berproliferasi
dari epitel pada basal sel yang berdekatan kemudian bergerak menempel dan
menutupi permukaan luka. Aktivitas sel epithelial ini akan menghambat
Primary Closure
Primary closure atau persembuhan luka dengan kontak alami antar bagian
luka. Metode ini dilakukan dengan menjahit langsung luka yang baru terjadi. Luka
operasi atau cidera traumatis yang baru saja terjadi biasanya termasuk luka yang
ditutup dengan cara ini. Primary closure dapat dilakukan pada luka yang tidak
terkontaminasi atau kontaminasi minimal, tidak terdapat jaringan nekrotik, dan
lama perlukaan kurang dari 6 jam.
Secondary Closure
Secondary closure merupakan penutupan luka yang dilakukan setelah
terbentuknya jaringan granulasi pada luka terbuka. Tindakan ini dilakukan pada
luka yang kondisinya tidak memungkinkan untuk dilakukan delayed primary
closure seperti pada kondisi infeksi persisten, terdapat jaringan nekrotik yang
persisten dan membutuhkan perawatan lebih dari 5 hari, atau terdapat respon
inflamasi parah yang persisten.
Penutupan ini dapat dilakukan melalui dua cara: (1) membiarkan jaringan
granulasi tetap utuh dan menjahit kulit menutupi jaringan granulasi; (2) melakukan
eksisi terhadap jaringan granulasi dan dilanjutkan dengan primary closure. Cara
kedua lebih disukai oleh kebanyakan operator karena tepian luka lebih mudah untuk
ditutup, hasilnya lebih baik dari segi kosmetik, insidensi infeksi setelah eksisi
jaringan granulasi lebih rendah.
Teknik Pembalutan
medikasi agar tetap berada di tempatnya, menahan pergerakan pada bagian tubuh
yang dibalutnya, memberikan tekanan untuk mengontrol perdarahan,
menghilangkan rongga (dead spaces atau cavity), serta melindungi luka dari trauma
eksternal maupun kontaminasi.
Bandages memiliki tiga lapisan utama, yaitu lapisan primer (contact
dressing), layer sekunder (intermediate layer), layer tersier (outer layer).
Lapisan Primer
Primary/contact dressing merupakan lapisan yang bersentuhan langsung
dengan permukaan luka. Secara umum, fungsi dressing adalah menyerap dan
menahan keluarnya discharge dari luka, memberikan lingkungan yang lembab
untuk mempercepat persembuhan luka, memberikan produk yang mampu
mempercepat proses persembuhan, memberikan proteksi dari kontaminan,
menyerap bau, memberikan proteksi secara mekanis, dan memfasilitasi terjadinya
autolisis dari jaringan yang rusak pada daerah luka.
Contoh dari contact dressing yang bisa digunakan adalah kassa (dapat
digunakan langsung atau dibasahi menggunakan RL, NaCl, povidone iodine, atau
chlorhexidine sesuai kebutuhan), Telfa, polyurethane foams, atau hydrogel
dressing.
Lapisan Sekunder
Secondary layer dari proses pembalutan merupakan lapisan yang bersifat
absorptif. Lapisan ini bisa menggunakan gulungan kapas atau kassa gulung. Pada
luka dengan discharge yang sangat banyak, lapisan sekunder ini berperan menyerap
cairan berlebih dan menahan cairan keluar dari permukaan luka. Frekuensi
penggantian bandage sangat dipengaruhi oleh kelembapan luka, pada luka yang
banyak mengeluarkan discharge maka penggantian bandage akan lebih sering.
Lapisan Tersier
Tertiary layer merupakan lapisan yang berfungsi membalut dan
mengamankan lapisan-lapisan di bawahnya. Banyak produk yang dapat digunakan
untuk balutan luar, diantaranya adalah Vetrap, elastic bandage, kain blacu, self-
adherent materials, atau stoking.
Pembalutan pada daerah telinga dan kepala umumnya dilakukan pada kasus
pengobatan auricular hematoma, total ear canal ablation, trauma, atau
pengangkatan tumor.
1. Permukaan telinga dibersihkan dari rambut hingga ke tepi, kemudian
dibersihkan dan dikeringkan
2. Tepi-tepi telinga dipasangkan kassa panjang (menyerupai pita) yang
direkatkan menggunakan plester untuk membantu menahan telinga
3. Kapas tebal diletakkan di atas kepala di dekat telinga, kemudian daun
telinga diangkat keatas kepala dan pita kassa yang sudah dipasangkan tadi
dilingkarkan ke bawah kepala hingga kembali lagi ke atas dan direkatkan
kembali di bagian atas kepala menggunakan plester.
4. Outer dressing diletakkan di atas daerah insisi, kemudian lapisan
sekunder dibalutkan mulai dari bagian atas kepala terus mengelilingi
kepala
5. Setelah balutan selesai, dipasangkan plester di tepi depan dan belakang
bandage untuk mencegah balutan bergeser ke depan atau ke belakang
Pembalutan pada daerah thoraks dan abdomen ditujukan untuk menutup luka
terbuka maupun luka jahitan di wilayah thoraks, abdomen, maupun tulang
belakang. Lapisan primer dapat diberikan obat yang mempercepat persembuhan
luka terutama pada balutan untuk luka terbuka.
Metode pembalutan daerah thoraks dan abdomen:
1. Lapisan primer dipasangkan tepat di atas luka terbuka maupun luka
jahitan yang hendak ditutup, kemudian dilanjutkan dengan pembalutan
lapisan sekunder
2. Pembalutan lapisan sekunder dimulai dari bagian thoraks tepat di
belakang kaki depan melingkar beberapa kali, kemudian balutan
dilingkarkan ke antara kaki depan melingkari bahu.
3. Setelah balutan melingkari bahu, dilingkarkan ke sekeliling badan satu
kali dan kembali lagi ke antara kaki depan melingkari bahu yang lainnya,
lalu balutan dilanjutkan mengelilingi daerah thoraks hingga ke abdomen
di depan kaki belakang (pada anjing jantan, balutan berakhir di depan
preputium). Balutan dilakukan sebanyak 2 – 3 lapisan untuk menutupi
sepanjang daerah thoraks hingga abdomen.
4. Lapisan tersier (bisa menggunakan adhesive tape, kain blacu, atau elastic
bandage) dapat digunakan untuk melapisi lapisan sekunder, dibalutkan
mulai dari daerah thoraks hingga ke abdomen. Tiap putaran dilakukan
overlapping ½ hingga 1/3 bagian bandage untuk mencegah adanya bagian
dari lapisan sekunder yang tidak tertutupi.
5. Tepi-tepi bandage yang berada di antara kaki depan dan di dekat kaki
belakang dipasangkan plester untuk menghindari balutan bergeser ke
depan atau ke belakang.
rusuk, menyisakan ekor, anus, dan daerah vulva (pada betina) atau
skrotum (pada jantan).
4. Lapis tersier dipasangkan seperti pada proses pemasangan lapis sekunder,
kemudian tepi-tepi bandage diberi plester untuk mencegah bandage
bergeser ke depan atau ke belakang. Setelah itu, khusus pada anjing jantan
diberikan tanda pada daerah ujung preputium, kemudian bandage
digunting sehingga ujung preputium dapat keluar untuk memudahkan
urinasi.
Pembalutan Ekor
Bandaging pada ekor dilakukan untuk melindungi luka terbuka atau luka
jahitan dari tekanan terutama pada ujung ekor. Perlukaan pada ekor sering terjadi
pada anjing yang memiliki ekor panjang akibat anjing mengibaskan ekornya
sehingga ujung ekor mengalami trauma. Pembalutan juga dilakukan pada kasus
amputasi ekor.
Basic paw and distal limb bandage, merupakan pembalutan untuk luka yang
terdapat pada daerah distal kaki depan dan daerah telapak kaki. Pada metode ini,
seluruh telapak kaki dibalut sehingga tidak ada jari-jari yang terlihat. Langkah
pembalutan daerah distal dan telapak kaki depan:
1. Kapas dipasangkan ke sela-sela antara jari dan inter-pad untuk mencegah
kondisi lembab. Akan tetapi, apabila perlukaan terdapat di daerah ini,
maka kapas digantikan dengan lapisan primer (kassa atau bahan lainnya)
yang dipasangkan di interdigit atau inter-pad apabila perlukaan hanya di
beberapa daerah saja, sedangkan apabila mencakup seluruh daerah digit
dan carpal, maka dapat menggunakan bahan pelapis primer yang
dibungkuskan pada daerah carpal hingga digit secara langsung.
2. Bantalan dipasangkan pada daerah carpal yang menonjol (carpal pad) dan
daerah-daerah yang potensial mengalami cidera akibat tekanan dari
bandage atau gips yang dipasangkan.
3. Lapisan sekunder dipasangkan memutar dari daerah distal ke arah atas
hingga mencapai pertengahan tulang radius-ulna, kemudian kembali lagi
hingga ke digit. Kemudian balutan dilipatkan berulang-ulang di daerah
ujung jari hingga membentuk semacam bantalan pada ujung jari, lalu
Kuda terutama kuda pacu, sangat rentan mengalami perlukaan pada bagian
kaki. Pembalutan pada kuda ditujukan tidak hanya untuk terapi luka atau fraktur
saja, tetapi dapat pula digunakan sebagai pencegahan cidera. Jenis-jenis balutan
yang digunakan untuk pencegahan cidera pada kuda adalah stable bandage, polo
wraps, dan shipping bandage.
Sedangkan pembalutan yang ditujukan untuk pengobatan adalah sweat
bandages dan wound bandages. Sweat bandages dilakukan untuk mengurangi
kebengkakan pada kaki kuda. Sedangkan wound bandages diaplikasikan untuk
perlindungan pada kaki yang mengalami cidera. Berikut merupakan teknik-teknik
pembalutan wound bandages:
DAFTAR PUSTAKA
Indikasi anestesi:
- Mempertimbangkan aspek kemanusiaan yaitu untuk mengurangi penderitaan
hewan saat dilakukan tindakan medis atau invasif;
- Mempertimbangkan teknis prosedur perlakuan pada hewan, seperti saat
transportasi/pengambilan gambar radiografi dan sonografi/pemeriksaan fisik,
khususnya untuk hewan yang galak dan tidak dapat direstrain secara manual.
Penilaian Pre-Anestesi
Agen Antikolinergik
Agen antikolinergik befungsi mengatasi bradikardi dan AV-block pada
jantung yang dapat terjadi sebagai efek samping dari sediaan anestesi. Secara umum,
agen ini juga digunakan untuk mencegah hipersalivasi. Agen antikolinergik pada
umumnya sediaan parasimpatolitik karena sediaan ini mencegah efek dari syaraf
parasimpatik di sistem-sitem tubuh terutama sistem kardiovaskular dan
gastrointestinal. Premedikasi juga dapat membantu menenangkan dan imobilisasi
hewan sehingga dapat memudahkan dokter hewan atau operator dalam memasang iv,
atau menginduksi anestesi. Agen ini juga memiliki sifat analgesik.
Sediaan premedikasi anestesi yang dapat digunakan berupa atropin dan
glikopirolat. Kedua sediaan tersebut bersifat antagonis muskarinik non-selektif,
sehingga dapat mencegah sekresi kelenjar saliva dan bronkial yang berlebih.
Administrasi agen antikolinergik umumnya dapat menyebabkan sinus takikardi,
sehingga sediaan ini berbahaya bagi pasien dengan penyakit kardiovaskular.
Kombinasi agen antikolinergik dan ketamin dapat mencegah terjadinya infark
miokardium.
1. Atropin
Sediaan ini dapat menembus blood-brain barrier di sistem syaraf pusat serta
memiliki sedikit efek sedasi dan dapat menembus placenta barrier. Atropin dapat
mencegah adanya muntah/emesis dan menyebabkan dilatasi pupil hingga
midriasis yang lama. Sekresi lakrimalis juga dihambat, sehingga dapat
menyebabkan kekeringan pada mata ketika anestesi, sehingga seringkali artificial
tears perlu diberikan.
Aplikasi sediaan: subkutan (sc), intramuskular (im), atau intravena (iv) dengan
dosis 0.02-0.04 mg/kgbb (anjing dan kucing).
2. Glikopirolat
Sediaan ini tidak memiliki efek sedasi. Pemberian sediaan ini tidak
menyebabkan adanya dilatasi pupil dan tidak merubah tekanan intraokular.
Berbeda dengan atropin, sediaan ini memiliki efek pada saluran pencernaan, yaitu
mengurangi motilitas usus setidaknya selama 30 menit. Pada umumnya
glikopirolat digunakan pada saat operasi berlangsung untuk mencegah bradikardia
yang parah (akibat efek samping prosedur operasi atau obat anestetikum).
Aplikasi sediaan: subkutan (sc), intramuskular (im), intravena (iv), dengan dosis
5-10 μg/kgbb.
Sedativa
Sedativa merupakan sediaan yang dapat menghasilkan efek depresi tingkat
kesadaran secara cukup, sehingga menimbulkan rasa mengantuk dan menghilangkan
kecemasan tanpa kehilangan komunikasi verbal.
1. Phenothiazine (contoh: Acepromazine)
- Sedativa yang efektif pada kucing dan anjing.
- Blokade reseptor dopamin
- Menghambat perilaku siaga dan perilaku motorik spontan
- Dengan dosis yang tinggi: menyebabkan tremor, kekakuan, dan katalepsi
- Memiliki efek anti-emetik dan deplesi katekolamin di pusat termoregulator
(hipotalamus)
- Acepromazin umumnya dikombinasikan dengan opioid untuk menurunkan
dosis anestesi inhalasi dan untuk menjaga stadium anestesi.
- Rute: im (kucing dan anjing kecil) dosis 0.01-0.2 mg/kgbb; dosis 0.01-0.05
mg/kgbb (anjing besar)
3. Benzodiazepin
- Bekerja dengan memodulasikan neurotransmisi oleh Gammaaminobutyric acid
(GABA).
- Memiliki efek sedasi, anxiolytic, muscle relaxant, dan antikonvulsan.
- Diazepam:
o Digunakan sebagai muscle relaxant dan antikonvulsan
o Tidak bekerja efektif sebagai sedativa karena dapat menyebabkan
eksitasi, ataksia, dan perilaku agresif pada anjing dan kucing, maka dari
itu perlu dikombinasikan dengan sediaan sedativa lainnya.
o Rute: iv, im; dosis 0.2-0.4 mg/kgbb
- Midazolam
o Umumnya digunakan sebagai muscle relaxant
o Dikombinasikan dengan ketamin, etomidate, atau propofol
o Memiliki efek minimal pada sistem kardiovaskular, sehingga aman
digunakan untuk pasien tua atau pasien dengan penyakit kardiovaskular
o Rute: iv, im, sc; dosis: 0.1-0.3 mg/kgbb
1. Ketamin
Dosis 2.0 – 10.0 mg/kgbb, Rute: iv, im. Harus dikombinasikan apabila
diberikan pada anjing. Berguna untuk restraint kucing dalam waktu 5-30
menit.
2. Ketamin + Diazepam/Midazolam
Dosis: 5.5 + 0.2 mg/kgbb. Rute iv. Restraint dalam 5-10 menit, dengan efek
muscle relaxant tidak sempurna, dan analgsik
3. Ketamin + Xylazine
Dosis: 10.0 + 0.7-1.0 mg/kgbb. Rute: iv, im. Restraint dalam 20-40 menit.
4. Ketamin + Acepromazine
Dosis: 10,0 + 0.2 mg/kgbb. Restraint dalam 20-30 menit
5. Tiletamin + Zolazepam (Telazol)
Dosis: 2.0 – 8.0 mg/kgbb. Rute: iv, im. Restraint dalam 20 menit – 1 jam.
6. Thiopental
Dosis: 8.0 – 20.0 mg/kgbb. Rute: iv. Dosis rendah digunakan setelah
pemberian premedikasi.
7. Etomidate
Dosis: 0.5 – 2.0 mg/kgbb. Rute iv. Durasi 5-10 menit, akan menimbulkan efek
myoclonus dan gagging/retching.
8. Propofol
Dosis 4.0-6.0 mg/kgbb / 0.4-0.8 mg/kgbb/menit. Rute: iv. Onset cepat, durasi
5-10 menit, dan akan menimbulkan efek apnea selama beberapa menit.
9. Xylazine/Midazolam/Butorphanol
Dosis: 0.4/1.0/1.0 mg/kgbb. Rute iv. Durasi 30-40 menit, dengan onset yang
berbeda.
Anestesi Inhalasi
Terdiri dari beberapa komponen, yaitu silinder oksigen dan nitrous oxide,
regulator, flow meter, katup satu arah, rebreathing bag, carbon dioxide
absorber, katup pop-off, dan vaporizer.
Silinder nitrous oxide merupakan sistem penyerapan nitrogen dari udara untuk
menghasilkan gas dengan konsentrasi oksigen 90-96%. Regulator merupakan
komponen untuk mengatur tekanan dari silinder, yaitu menurunkan tekanan
tinggi silinder gas menjadi lebih rendah dan aman.
Flow meter merupakan komponen pengatur jumlah gas ke area tekanan rendah
dari mesin anestesi. Carbon dioxide absorber digunakan untuk menyerap
karbon dioksida yang diekspirasi. Katup pop off untuk membuang tekanan yang
berlebih.
Gambar 4 Patient monitor (untuk monitoring HR, RR, EKG, SpO2, dan suhu tubuh)
Sistem Kardiovaskular:
- Memantau sirkulasi darah tubuh pasien, dengan mengetahui capillary refill
time (CRT) pada membran mukosa. CRT yang lebih lama dari normal
menandakan bahwa terdapat vasokonstriksi dan gangguan perfusi darah,
sementara CRT yang cepat menandakan vasodilatasi.
- Memantau heart rate (HR) atau frekuensi nadi hewan, khususnya ketika ada
perubahan menjadi takikardia, bradikardia, atau aritmia.
- Memantau saturasi oksigen dalam darah, dengan cara melihat warna membran
mukosa (normal: pink/rose; oksigenasi rendah: biru (cyanosis)) atau
menggunakan alat pulse oximetry atau patient monitoring.
Sistem Respirasi
- Memantau frekuensi napas pasien
- Memastikan posisi pasien yang benar sehingga airway tidak terganggu dan
respirasi lancar.
Suhu Tubuh
- Memastikan suhu tubuh pasien tetap normal, tidak hipotermia.
- Memastikan suhu ruangan tidak terlalu dingin
- Menyediakan alas hangat dapat berupa heating pad atau diberikan penghangat
berupa latex gloves yang diisi air hangat.
Terapi Cairan
- Pasien yang teranestesi akan kesulitan untuk homeostasis, termasuk mengatur
keseimbangan cairan. Maka dari itu perlu diberikan terapi cairan. Khususnya
untuk hewan dengan kondisi gagal ginjal.
Persiapan Pre-Anestesi
- Pemeriksaan umum dan penimbangan bobot badan
- Pemeriksaan darah
- Puasa
Tabel 1 Data fisiologis hewan laboratorium (Flecknell, Richardson, dan Popovic 2007)
Mencit Tikus Kelinci Marmut
Bobot badan 25-40 300-500 2000-6000 700-1200
dewasa (g)
Suhu tubuh 37.5 38 38 38
(℃)
RR (kali/menit) 80-200 70-115 40-60 50-140
HR (kali/menit) 350-600 250-350 135-325 150-250
Anestesi
Anestesi pada hewan laboratorium dapat digunakan secara inhalasi atau
perinjeksi seperti intraperitoneal (IP), subkutan (SC), atau IM. Berbeda dengan hewan
anjing atau kucing, umumnya mamalia kecil seperti hewan laboratorium, memiliki laju
metabolisme yang tinggi, sehingga dosis yang dibutuhkan untuk anestesi akan lebih
tinggi. Ketika sediaan anestesi yang memiliki efikasi rendah seperti ketamin digunakan,
maka dosis yang diperlukan akan sangat tinggi. Maka dari itu, pada umumnya
dikombinasikan dengan acepromazine, dexmedetomidine atau opioid.
Kombinasi anestesi pada rodensia dan kelinci:
- Ketamin + Medetomidin: 75 mg/kgbb + 1mg/kg BB(IP)
- Ketamin + Xylazine: 80 mg/kgbb + 10 mg/kg BB (IP)
- Tiletamin + Zolazepam: 80-100 mg/kg BB (IM)
- Lidokain: Lidokain 1% 0.25 ml, Lidokain 2% 0.3 ml (epidural)
- Metoksifluran: inhalasi
- Isofluran: 2.5-4% inhalasi
- Eter dan karbondioksida: 1-2% atau 0.5-1% inhalasi
Persiapan anestesi yang dilakukan pada hewan eksotik sama dengan hewan lab.
Berikut merupakan nilai fisiologis beberapa hewan eksotik
Anestesi Lokal
Toksisitas
Dosis maksimum dan toksisitas sediaan anestesi lokal tergantung pada rute
administrasi, tempat injeksi, umur, status kesehatan, dan spesies hewan. Kucing lebih
sensitive terhadap sediaan anestesi lokal, dengan dosis toksiknya setengah dari dosis
toksik pada anjing. Gejala toksisitas anestesi lokal dapat berupa gejala syaraf dan
kardiovaskular. Gejala syaraf berupa berkedut, koma, hingga kegagalan respirasi,
DAFTAR PUSTAKA
Prinsip anastesi, fase anastesi, monitoring dan kontrol selama anastesi, serta
farmakologi dan fisiologi yang berhubungan dengan anstesi telah dibahas pada bab atau mata
kuliah lain. Bagian ini akan lebih terfokus pada tehnik anastesi pada hewan besar. Terdapat
beberapa tehnik anastesi yang sering dilakukan pada hewan besar yaitu, anastesi lokal atau
regional (analgesia), sedasi dan transquilizer, dan anastesi general (umum).
Anastesi Infiltrasi
Anastesi infiltrasi dilakukan dengan menginjeksikan dan menginfiltrasi sediaan anastesi
lokal di sekitar area operasi dengan menggunakan needle berukuran kecil dan panjang.
Infiltrasi pertama dilakukan pada lapisan kulit dan subkutis, jika memungkinkan infiltrasi
berikutnya dilakukan pada lapisan yang lebih dalam seperti otot dan peritoneum. Jumlah
sediaan anastesi lokal tidak boleh berlebihan jika diinfiltrasikan hingga lapisan peritoneum
untuk mencegah absorpsi vaskuler yang dapat meningkatkan toksisitasnya. Infiltrasi
dilakukan dengan arah yang lurus dengan minimal penyimpangan untuk mencegah trauma
jaringan. Injeksi berulang dilakukan bila daerah operasi kembali peka.
Anastesi infiltrasi biasanya digunakan dengan indikasi penjahitan luka atau
pengangkatan lesio pada kulit. Selain itu, indikasi anastesi ini adalah untuk prosedur
laparotomi dengan infiltrasi yang dilakukan sepanjang garis insisi. Anastesi jenis ini dapat
digunakan pada seluruh jenis hewan besar domestik.
Blokade Paravertebral
Blokade paravertebral merupakan salah satu tehnik anastesi regional yang jarang
dilakukan pada kuda. Walaupun demikian, tehnik ini sangat efektif dalam menghilangkan
sensitifitas syaraf pada area flank untuk kuda yang dioperasi dalam kondisi berdiri. Tehnik ini
lebih sering dilakukan pada ruminansia seperti sapi, kambing, dan domba. Daerah flank
memiliki inervasi syaraf yang keluar dari foramen vertebralis lateralis (T13, L1 dan L2, serta
L3). Syaraf tersebut merupakan syaraf sensoris dan motoris yang menginervasi kulit, fascia,
otot, dan peritoneum bagian flank. Blokade percabangan syaraf bagian dorsolateral L3 jarang
dilakukan pada operasi-operasi dengan tehnik flank, karena sedikit kesalahan dalam
DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI
DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)
administrasi akan menyebabkan blokade pada percabangan syaraf yang keluar dari celah L4.
Saraf yang keluar dari celah L4 tersebut merupakan syaraf sensoris dan motoris yang
menginervasi kaki belakang.
Tehnik blokade paravertebral sangat sering dilakukan pada sapi dengan orientasi
administrasi pada proceccus transversus pada T13, L1 dan L2, serta L3. Administrasi
dilakukan sedekat mungkin dengan foramen vertebralis lateralis. Hal ini dilakukan agar
terjadi blokade pada badan syaraf atau setidaknya terjadi blokade pada percabangan dorsal
dan ventral dari syaraf tersebut. Proceccus transversus dari L1 menjadi titik orientasi untuk
blokade syaraf pada T13, begitu juga dengan L2 dan L3 merupakan titik orientasi untuk
blokade syaraf pada L1 dan L2. Administrasi sediaan anastesi dilakukan 3 – 5 cm ke ventral
sejajar dengan caudal dari garis tengah proceccus transversus. Needle yang digunakan dalam
administrasi sediaan anastesi adalah needle dengan ukuran 16 – 20 G dengan panjang 10 cm.
Administrasi dilakukan hingga menembus ligamentum intratransversal dengan ketebalan
kurang lebih 0,75 cm. Sediaan anastesi yang biasanya digunakan adalah lidocaine atau
mepivacaine 2% sebanyak 10 ml di ventral ligamen dan tambahan sebanyak 5 ml pada dorsal
ligamen.
Tehnik blokade paravertebral yang dilakukan pada kambing dan domba sama seperti
pada sapi. Volume sediaan lidocaine 1% yang diadministrasikan adalah 5 ml dengan dosis
total tidak melebihi 6 mg/kg. Dosis terendah yang dapat diberikan pada kambing dan domba
adalah 2 mg/kg.
Anastesi Epidural
Anastesi epidural merupakan tehnik yang sangat sering dilakukan untuk keperluan
prosedur operasi sapi dan kuda dalam keadaan berdiri, operasi caesar pada babi, operasi
urogenital pada kambing, serta analgesia postoperatif. Pemilihan sediaan anastesi dilakukan
berdasarkan spesies dan tujuan prosedur yang dilakukan (contoh: anastetikum untuk anastesi
lokal area operasi, opioid atau alpha-2-agonist untuk analgesik tanpa blokade syaraf). Domba
lebih mudah untuk di restrain secara fisik sehingga hanya memerlukan administrasi sediaan
anastesi lokal. Sementara itu, kambing dan babi lebih sulit untuk di restrain secara fisik
sehingga memerlukan administrasi sediaan yang bersifat sedativ.
Anastesi epidural dapat dilakukan pada cranial epidural maupun caudal epidural.
Cranial epidural dilakukan pada celah lumbosakral. Tehnik ini biasanya dilakukan pada
kambing, domba, dan babi. Sementara itu, caudal epidural dilakukan pada celah
sacrococcygeal. Tehnik ini biasanya dilakukan pada sapi dan kuda. Anastesi epidural ini
memungkinkan operasi dalam kondisi berdiri karena tidak berpengaruh terhadap syaraf pada
kaki belakang. Namun, anastesi epidural akan menyebabkan relaksasi sphincter ani.
Administrasi sediaan anastesi pada caudal epidural dilakukan pada 1 – 2 inchi dari
pangkal ekor. Titik orientasi didapatkan dengan cara menggerakkan ekor ke atas dan ke
bawah, persendian pertama yang ditemukan di caudal sacrum merupakan celah
intercoccygeal pertama. Setelah titik orientasi ditemukan, pangkal ekor di ikat atau dijepit
menggunakan tourniquet dan dilakukan preparasi kulit. Titik orientasi ditusuk menggukan
needle berukuran 18 – 19 G dengan panjang 3 – 5 cm (needle spinal) dengan membentuk
sudut 45o pada sapi dan 30o/60o pada kuda hingga ke dalam canalis spinalis. Posisi needle
yang tepat pada ruang epidural ditandai dengan adanya tekanan negatif. Pembuktian adanya
tekanan negatif dilakukan dengan cara aspirasi larutan steril pada needle. Selain itu, jika
posisi needle tepat di ruang epidural maka tidak akan ada hambatan dalam administrasi
sediaan anastesi. Volume sediaan anastesi yang diadministrasikan pada caudal epidural tidak
boleh lebih dari 3 ml pada kambing dan 10 ml pada sapi untuk mencegah inkoordinasi dan
rekumbensi pada kaki belakang.
Alpha2-agonist yang biasanya digunakan pada sapi untuk durasi analgesik yang
panjang adalah lidocaine 2%. Sementara itu, pada kuda penggunaan lidocaine 2% memiliki
durasi analgesik yang lebih singkat kurang lebih hanya 7.5 menit. Volume yang dinaikkan
hingga 5 – 7 ml dapat memperpanjang durasi analgesik. Alpha2-agonist yang juga sering
digunakan dalam bentuk kombinasi untuk meningkatkan durasi analgesik adalah detomidine,
medetomidine, dan xylazine. Kombinasi beberapa sediaan tersebut dapat menurunkan potensi
ataxia.
kemudian dilakukan hingga krista pterygoideus kemudian diarahkan rostral dan turun hingga
fossa pterigopalatinum pada foramen orbitorotundum. Sediaan anastesi yang
diadministrasikan sebanyak 15-20 ml pada kulit dan jaringan subkutan sepanjang cabang
zygomaticus. Bagian ujung dorsomedial canthus juga harus diinfiltrasi. Tehnik ini jarang
digunakan karena dapat berakibat fatal akibat orientasi infiltrasi yang sangat dekat dengan
arteri maxillaris interna.
Tujuan utama transquilizasi dan sedasi pada hewan besar adalah untuk keperluan
prosedur diagnostik dan terapetik, prosedur operasi minor dengan anastesi lokal, dan
prosedur medikasi preanastesi. Transquilizer yang biasanya digunakan pada kuda adalah
golongan phenothiazine yaitu acetylpromazine maleate, namun memiliki beberapa efek
samping yaitu hipotensi, takikardia, dan kelumpuhan sementara serta tidak memiliki efek
analgesik. Penggunaan alpha-2-adrenoreseptor agonist seperti xylazine hydrochlorida,
detomidine, romifidine, dan dexmedetomidine untuk menggantikan acepromazine akan
menghasilkan efek analgesik dan sedasi. Namun, penggunaan sediaan ini juga memiliki efek
samping yang bergantung pada jenis obat, dosis dan rute pemberian. efek samping yang dapat
DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI
DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)
terjadi adalah penurunan denyut jantung dan cardiac output, hipertensi, serta perubahan
karakter. Efek samping tersebut dapat diminimalisir melalui kombinasi dengan opioid.
Sedativ pada babi yang biasanya digunakan adalah azeperone dan droperidol.
Kombinasi opioid dengan alpha-2-adrenoreseptor agonist menghasilkan efek sedasi
preanastesi dan analgesik yang baik. Benzodiazepam atau midazolam menghasilkan efek
sedasi yang singkat pada kambing dan domba. Sementara itu, alpha-2-adrenoreseptor agonist
memberikan efek samping pada sistem cardiopulmoner pada kambing dan domba. Opioid
seperti fentanyl dan morphine sering digunakan sebagai analgesik pada kambing dan domba.
Berbagai macam prosedur operasi pada kuda memerlukan anastesi umum berbeda
dengan sapi yang dapat dilakukan dengan kondisi berdiri atau dengan hanya menggunakan
restrain fisik maupun kimia. Anastesi umum pada ruminansia juga jarang dilakukan karena
pertimbahan karakteristik fisiologi ruminansia. Recumbensi yang lama pada ruminansia akan
menyebabkan bloating yang berakhir pada penekanan diafragma sehingga terjadi
hipoventilasi, hipoksia, hipercarbia, dan asidosis respirasi.
Evaluasi preanastesi pada hewan yang akan dianastesi secara umum harus dilakukan
dengan lengkap. Evaluasi preanastesi termasuk pemeriksaan fisik, klinis, dan complete blood
count (CBC). Selain itu monitoring selama prosedur intraoperatif hingga postoperatif juga
penting untuk dilakukan secara teliti. Hewan harus dipuasakan sebelum operasi misalnya
pada kuda 12 jam sebelum dilakukan anastesi tanpa pembatasan minum.
Premedikasi
Sedasi dan transquilizasi pada kuda dilakukan untuk memudahkan induksi anastesi
umum, namun hal ini tidak dilakukan pada sapi dan ruminansia kecil. Secara umum,
transquilizer dan sedativa memiliki efek samping terhadap fisiologi abdomen secara akut.
Pemberian transquilizer preanastesi pada anak kuda yang baru lahir juga harus dihindari
karena perkembangan sistem enzim mikrosomal pada hati belum maksimal akan
menyebabkan metabolisme obat yang sangat lama.
Alpha-2-agonist merupakan sediaan yang sering digunakan sebagai premedikasi pada
kuda dan kadang-kadang pada sapi. Sediaan yang biasanya digunakan adalah
guaifenensin+ketamine, tiletamine+zolazepam, dan xylazine+ketamine. Sediaan
antikolinergik yang digunakan atropine. Namun, penggunaan sediaan ini sangat jarang
dilakukan karena dapat menyebabkan illeus, takikardi, dan peningkatan konsumsi oksigen
mitokondrial. Antikolinergik akan mengurangi efek salivasi pada rumin namun meningkatkan
eksresi viskus mata. Atropin atau glycopyrolate sangat berguna bagi babi untuk mengkontrol
salivasi berlebihan selama anastesi umum terutama penggunaan sediaan ketamine atau
tiletamine.
Induksi Anastesi
Induksi anastesi sering dilakukan melalui intravena. Sementara itu, pada babi sulit
dilakukan sehingga induksi anastesi dilakukan dengan metode inhalasi. Thiobarbiturat
merupakan sediaan yang paling efektif untuk induksi rekumbensi pada kuda yang telah
tersedasi namun ketersediaannya sangat kurang. Oleh karena itu, sediaan ini biasanya
digantikan dengan ketamine dam tiletamine. Sementara itu, induksi menggunakan anastesi
inhalasi pada anak kuda adalah prosedur terbaik untuk menjaga stabilitas fungsi
cardiovaskular. Penggunaan kombinasi guaifenesin dengan ketamine pada sapi sering
dilakukan untuk induksi sekaligus pemeliharaan anastesi. Kombinasi yang lebih baik lagi
adalah kombinasi antara guaifenesin, ketamine, dan xylazine pada sapi yang disebut tripple
drip. Hipoksemia merupakan efek samping utama pada prosedur induksi anastesi, oleh
karena itu suplementasi oksigen yang tinggi sangat dibutuhkan.
Intubasi endotracheal dapat dilakukan sebelum atau setelah induksi anastesi dengan
efek regurgitasi minimal jika dilakukan setelah induksi anastesi. Intubasi endotracheal pada
babi sangat sulit untuk dilakukan karena babi memiliki larynx yang panjang dan tidak
terfiksir dengan baik. Penggunaan laryngoscope dapat memudahkan pemasangan intubasi
pada babi. Induksi anastesi pada hewan muda dilakukan dengan inhalasi atau menggunakan
sediaan propofol atau ketamine yang dikombinasikan dengan benzodiazepine.
Pemeliharaan Anastesi
Anastesi inhalasi merupakan metode yang paling efektif untuk memelihara kondisi
anastesi selama operasi terutama jika durasi operasi panjang. Sediaan yang dapat digunakan
adalah isoflurane, sevoflurane, dan desflurane. Metode intravena merupakan salah satu cara
untuk memelihara kondisi anastesi hewan dengan kelebihan peralatan yang sederhana dan
biaya murah. Kekurangan dari metode ini adalah memperpanjang waktu pemulihan dari
anastesi karena eksresi sediaan anastesi lebih lambat dibandingkan dengan metode inhalasi.
Selama pemeliharaan anastesi, sangat penting untuk memperhatikan kondisi vital pasien
seperti kedalaman anastesi, aktivitas refleks, serta parameter respirasi dan cardiovaskular.
DAFTAR PUSTAKA
Hendrickson DA, Baird AN. 2013. Turner and McIIwraith’s Techniques in Large Animal
Surgery 4th Edition. New Jersey (US): John Willey and Sons.
Tabel 1 Anastesi Epidural dan Analgesik pada Sapi dan Ruminansia Kecil
Obat Indikasi Dosis Keterangan
Lidocaine 2% -Anastesi epidural (cranial dan caudal) Sapi: 1 ml/10 lb atau 0.5-1 ml/100 lb Onset dan durasi singkat
-Anastesi epidural (caudal) pada kambing Kambing/domba: 2-3 ml
dan domba
Lidocaine 2% anastesi epidural (caudal) pada sapi Lidocaine: 0.22 mg/kg Onset singkat dan durasi
+ Xylazine Xylazine: 0.05 mg/kg panjang
Volume total: 5-7 ml13,72
Medetomidine -Anastesi epidural (caudal) pada sapi Sapi: 15 µg/kg diencerkan dengan 5 ml saline Durasi panjang dengan efek
-anastesi epidural (cranial) pada kambing 0.9% samping sistemik
Kambing/domba: 20 µg/kg diencerkan
dengan 5 ml steril water/water for injection
Medetomidine Anastesi epidural (caudal) pada sapi Medetomidine: 15 ug/kg Durasi panjang dengan
+ Mepivacaine Mepivacaine: 0.5-1 ml/100 lb minimal efek samping
sistemik
Morphine -Anastesi epidural 15 mg/ml morphine dilarutkan hingga 0.15- Memberikan analgesia tanpa
-painkiller postoperatif 0.20 ml/kg dengan saline 0.9% kelumpuhan
Keterangan: 1 lb = 0.453 kg
Laparotomi
Linea alba
Gambar 1 Anatomi lapisan dinding abdomen hewan (Sumber: Fossum et al. 2013)
Teknik Bedah
Pembedahan pada daerah abdomen untuk hewan kecil biasanya diinsisi
dari garis tengah (linea alba). Pembersihan area operasi harus dilakukan cukup
luas, bahkan hingga daerah inguinalis dan thoraks untuk mengantisipasi
perluasan daerah sayatan, terutama untuk eksplorai abdomen pasien yang
mengalami trauma. Sayatan dapat dilakukan sepanjang linea alba dari processus
xiphoidea hingga ke pubis jika ingin mengeksplorasi keseluruhan rongga
abdomen. Sayatan di bagian kaudal dari umbilikal hingga ke pubis biasanya
dilakukan untuk eksplorasi VU dan organ genitala, sedangkan sayatan di kranial
dari umbilikal hingga processus xiphoidea untuk eksplorasi organ hati, lambung
serta intestin. Sayatan dapat diperpanjang ke arah lateral pada processus
xiphoidea (1 cm pada kaudal tulang rusuk terakhir) untuk memudahkan
eksplorasi hati, sistem bilier, dan diafragma. Laparotomi paracostal (paralumbar)
biasanya dilakukan untuk tujuan operasi pada organ ginjal dan kelenjar adrenal;
teknik ini umum digunakan untuk unilateral adrenalektomi.
Ventral Midline Celiotomy in Cats and Female Dogs
Pasien dibaringkan dengan posisi terlentang (dorsal recumbancy) lalu
sayatan dilakukan pada garis tengah pada processus xiphoidea dan
meluas hingga ke pubis (panjang sayatan disesuaikan dengan prosedur
bedah). Sayatan dilakukan pada kulit dan jaringan subkutan hingga
fascia eksternal dari otot rektus abdominis terbuka. Kulit difiksasi
terlebih dahulu agar mudah mengeksplorasi lapisan profundal. Apabila
terdapat perdarahan pada jaringan subkutan dapat diligasi atau
dikauterisasi. Kemudian dilakukan identifikasi linea alba. Setelah itu
linea alba disayat dengan pisau bedah (scalpel) (tekanan scalpel perlu
diperhatikan agar tidak sampai melukai organ internal). Selanjutnya jari
dimasukkan ke dalam sayatan untuk mengangkat otot tersebut dan
sayatan diperluas ke kranial dan kaudal menggunakan gunting. Otot
Ventral midline
incision
Gambar 2 Orientasi sayatan ventral midline celiotomy pada kucing dan anjing betina
(Sumber: Fossum et al. 2013)
Ventral midline
incision
Gambar 3 Orientasi sayatan ventral midline celiotomy pada kucing dan anjing jantan
(Sumber: Fossum et al. 2013)
Paracostal Celiotomy
Pasien diposisikan berbaring lateral kemudian kulit disayat dari batas
ventral ossa vertebralis hingga ke garis tengan abdomemen (arah sayatan
vertikal terhadap sumbu tubuh hewan). Sayatan dilakukan sepanjang
kaudal rusuk terakhir. Kemudian sayatan diteruskan hingga ke
peritoneum dan diperluas dengan menggunakan gunting sama seperti
prosedur sebelumnya.
Eksplorasi Abdomen
Ketika rongga abdomen dalam kondisi terbuka, hal yang perlu
diperhatikan adalah kelembaban organ interna dan meminimalisir kontaminasi.
Sehingga perlu menyiapkan kassa yang dibasahi dengan larutan fisiologis steril
kemudian digunakan sebagai alas apabila organ dikeluarkan. Selain itu dapat
juga diguyur dengan larutan saline hangat untuk tetap menjaga suhu organ dan
rongga abdomen. Pada beberapa kasus, kassa sering tertinggal di dalam rongga
abdomen sehingga penting untuk memastikan jumlah kassa yang digunakan
sebelum penjahitan dinding abdomen. Berikut merupakan orientasi dan panduan
dalam eksplorasi abdomen:
Kuadran Kranial
- Pemeriksaan diafragma (termasuk hiatus esofagus) dan hati.
- Inspeksi kantong emepedu dan sistem billiary
- Pemeriksaan lambung, pylorus, duodenum proksimal dan limpa
- Pemeriksaan pankreas (palpasi dengan lembut), vena porta, arteri
hepatika, dan vena cava.
Kuadran Kaudal
- Pemeriksaan kolon desendens, VU, prostat atau uterus
- Pemeriksaan cincin inguinal
Eksplorasi Usus
- Palpasi usus dari duodenum hingga ke kolon desendens
- Observasi vaskularisasi mesenterika dan kelenjar pertahanan lokal
Eksplorasi Organ Lainnya
- Usus (mesoduodenum) ditarik ke sebelah kiri untuk memeriksa
organ di profundal. Selanjutnya dapat dilakukan pemeriksaan ginjal,
kelenjar adrenal, ureter, dan ovarium.
- Usus (kolon desendens) ditarik ke sisi kanan lalu dilakukan
pemeriksaan ginjal kiri, kelenjar adrenal ureter dan ovarium.
A B
Gambar 4 Letak organ abdomen pada hewan kecil (A) ventral view (Sumber: Jack dan Watson 2014), (B)
lateral view (Anatomy Note 2019)
Gambar 5 Anatomi lapisan dinding abdomen hewan besar (Sumber: Ames 2014)
Teknik Operasi
Pendekatan yang umum digunakan untuk operasi hewan besar adalah
insisi left/right paralumbar (laparotomi flank kiri atau kanan) dengan posisi
hewan berdiri. Operasi dilakukan dengan menyayat kulit dari ventral procesus
transversus L2 dan dilanjutkan ke arah ventral sepanjang 20 cm. Kemudian
subkutan disayat hingga menemukan lapisan otot. Kemudian lapisan otot disayat
perlahan pada tiap lapisannya, jika terjadi perdarahan maka pembuluh darah
segera dijepit dengan forcep dan diligasi dengan benang. Tekanan pada
penyayatan peritoneum perlu diperhatikan terutama pada bagian dorsal karena
dapat melukai organ interna terutama rumen apabila insisi dilakukan dari flank
kiri. Jika rongga abdomen sudah terlihat maka selanjutnya dapat dilakukan
eksplorasi untuk meneguhkan diagnosa maupun melakukan prosedur operasi
lainnya pada organ abdomen.
Eksplorasi Abdomen
Abdomen terbagi menjadi 4 bagian yaitu abdomen kanan, tengah, kiri
dan kaudal, dengan letak organ sebagai berikut:
Abdomen kanan: ginjal kanan, hati, gall bladder, abomasum, duodenum,
sisi kanan omasum, dinding abdomen kanan, dan sisi kanan diafragma.
Abdomen tengah: ginjal kiri, pembuluh darah mayor abdominal (aorta,
arteri mesenterika), usus halus, sisi medial abdomen, dan omasum.
Abdomen kiri: dinding abdomen kiri, sisi kiri abomasum, limpa,
retikulum, sisi kiri diafragma.
Abdomen kaudal: organ reproduksi, VU ureter, sekum, kolon, cincin
inguinal, dan rektum.
Eksplorasi abdomen dilakukan dengan palpasi setiap organ dan jaringan
sekitarnya dan diperhatikan lokasi, tekstur, ukuran dan kelainan pada organ.
Gambar 6 Lateral view of cow’s abdomen (A) kanan, (B) kiri (Sumber: Ames 2014)
intraperitoneal, dan antibiotik general 3-5 hari post operasi. Selain itu pakan dan
nutrisi hewan juga penting untuk diperhatikan.
Ovariohisterektomi
Salah satu tindakan bedah yang sering dilakukan pada ronga abdomen
adalah bedah saluran reproduksi. Pada hewan betina jenis pembedahan tersebut
adalah pengambilan ovarium dan uterus (ovariohisterektomi) dan pengambilan
ovarium saja (ovariektomi) atau uterus saja (histerektomi). Selain itu terdapat
juga prosedur operasi yang dilakukan dengan menyayat uterus tanpa
mengambilnya dari ruang abdomen (histerotomi), misalnya pada sectio
caesaria.
Pembedahan pada saluran reproduksi mencakup berbagai teknik yang
dapat mengubah kemampuan hewan untuk bereproduksi, membantu proses
kelahiran, dan mengobati atau mencegah penyakit organ reproduksi. Indikasi
utama untuk bedah saluran reproduksi adalah untuk mengontrol populasi,
membantu proses partus pada kasus distokia, mencegah atau mengatasi tumor
yang dipengaruhi oleh hormon reproduksi, dan tindakan terapi untuk penyakit
saluran reproduksi (misalnya pyometra, metritis).
Usia pasien untuk tindakan ovariohisterektomi yaitu minimal 6-9 bulan.
Pembedahan pada pasien pada usia yang lebih muda (mis 6-16 minggu)
berpotensi mengalami hipoglikemia, hipotermia dan perdarahan. Pasien pada
usia kurang dari 16 minggu memiliki sistem metabolisme yang belum matang
sehingga pemberian obat-obatan yang keras dapat membahayakan. Selain itu
sistem saraf simpatik yang belum matang membuat anak anjing atau kucing
berpotensi mengalami bradikardia dan hipotensi. Oleh karena itu rekomendasi
tindakan OH sangat penting mempertimbangkan usia hewan. Selain itu pada
pasien yang tua peting disarankan pemeriksaan darah lengkap untuk mengetahui
kondisi umum pasien.
Uterus berbentuk pendek dengan adanya cornua yang lebih sempit dan
panjang. Kemudian pada bagian kaudal terdapat serviks dengan ukuran lebih
sempit dan tebal (keras). Alat penggantung uterus di dalam abdomen disebut
mesometrium. Vagina terlertak pada kaudal serviks dan terhubung dengan
saluran urinari (orifisium urethralis). Kemudian pada organ reproduksi luar pada
betina yaitu klitoris dan vulva.
Teknik Operasi
Area operasi pada bagian ventral abdomen dipersiapkan dengan dicukur
dan disinfeksi dari processus xiphoidea hingga ke pubis. Kemudian temukan
umbilikal sebagai patokan lalu kulit dan jaringan subkutan disayat sepanjang 4-8
cm ke arah kaudal. Setelah jaringan subkutan dipreparir, selanjutnya dilakukan
identifikasi linea alba. Linea alba lalu dijepit dan sedikit diangkat, kemudian
disayat hingga menembus ke rongga abdomen. Sayatan linea alba diperpanjang
ke kranial dan kaudal dengan menggunakan gunting Mayo. Otot yang sudah
disayat kemudian difiksir dengan forcep agar mudah mengakses peritoneum dan
organ-organ.
Orientasi dalam mencari organ reproduksi betina dimulai dari uterus.
Uterus dapat dengan mudah ditemukan apabila VU sedikit dikuakkan ke
samping sehingga cornua dan corpus uterus dapat terlihat. Selanjutnya melalui
cornua uterus dapat ditelusuri ke kiri dan ke kanan untuk menemukan ovarium.
Ligamentum suspensorium pada pedikulus penggantung ovarium dipalpasi dan
sedikit dirobek untuk memudahkan ligasi pedikulus (hati-hati pembuluh darah).
Selanjutnya 2-3 forcep digunakan untuk menjepit pedikulus, kemudian
pedikulus diligasi dengan benang absorbable. Jenis ligasi yang disarankan
terutama untuk pedikulus yang tebal, yaitu dengan ligasi angka delapan. Ujung
jarum terlebih dahulu ditusukkan ke tengah-tengah pedikulus lalu diligasi,
kemudian benang dililitkan lagi melingkari pedikulus dan diligasi kembali. Jenis
ligasi ini direkomendasikan untuk mencegah benang terlepas karena licin.
Selanjutnya pedikulus disayat di antara kedua forcep, lalu forcep perlahan
dilepaskan dan kemudian dipastikan tidak ada hemoragi. Teknik ligasi yang
sama juga diterapkan pada uterus dengan orientasi ligasi dan sayatan yaitu pada
coprus uterus (cranial serviks). Selanjutnya dilakukan penutupan dinding
abdomen dengan penjahitan pada tiga lapisan yaitu fasia/linea alba, subkutan
dan kulit.
Ovariohisterektomi dengan pendekatan insisi ventral midline abdomen
lebih mudah dilakukan, risiko trauma rendah, dan risiko sakit postoperasi yang
lebih ringan daripada insisi dari flank abdomen, yang mana akan menyayat otot
pada 3 lapisan sekaligus serta risiko penyayatan pada pembuluh darah. Akan
tetapi risiko komplikasi post operasi berupa hernia lebih rendah pada insisi
flank. Selain itu OH dengan insisi flank diindikasikan untuk pasien dengan
kelenjar mamari yang sedang aktif (masa laktasi) ataupun adanya neoplasia atau
hiperplasia mamari.
DAFTAR PUSTAKA
Ames NK. 2014. Noordsy’s Food Animal Surgery, Fifth Edition. Michigan
(US): John Wiley & Sons.
[Anatomy Note]. 2019. Dog digestive system anatomy. [Internet]
https://www.anatomynote.com/animal-anatomy/mammals/dog/dog-
digestive-system-anatomy/ (17 Juli 2020).
Asrat M, Melkamu S. 2018. Review on ovariohysterectomy: surgical approach,
postoperative complications and their management in bitch. Int. J. Adv.
Multidicip. Res. 5(3): 20-28.
Fossum TW, Dewey CW, Horn CV, Johnson AL, MacPhail CM, Radlinsky MG,
Schulz KS, Willard MD. 2013. Small Animal Surgeri Fourth Edition. St.
Louis(AS): Elsevier Health Science.
Griffon D, Hamaide A. 2016. Complications in Small Animal Surgery. Californa
(US): John Wiley & Sons.
Jack CM, Watson PM. 2014. Veterinaru Technician’s Daily Reference Guide:
Canine and Feline, 3rd Edition. Seattle (US): Blackwell Publishing.
Fraktur
Fraktur merupakan pemecahan atau kerusakan suatu bagian dari tulang. Fraktur ini
dapat disebabkan oleh trauma/stress fisik yang kuat, atau luka lanjutan dari beberapa kondisi
atau penyakit yang melemahkan kekuatan tulang seperti osteoporosis, kanker tulang, atau
ketidaksempurnaan osteogenesis.
Klasifikasi Fraktur
Identifikasi jenis fraktur pada pasien penting dilakukan agar tepat dalam treatment
dan komunikasi kepada klien. Fraktur pada hewan dapat dideskripsikan berdasarkan:
Jumlah fragmen tulang yang patah
Konfigurasi fraktur
Lokasi fraktur pada tulang
Tulang yang mengalami fraktur
3. Lokasi Fraktur
Articular: fraktur yang terjadi pada daerah persendian (epifisis) yang
melibatkan tulang rawan artikular.
Epiphysis: lokasi fraktur pada epifisis, baik di proksimal atau distal tulang
panjang.
Physis: fraktur terjadi pada bagian phyisis, yaitu kartilago proksimal dan distal
dari tulang panjang yang terletak di antara ephyphysis dan metaphysis
Metaphysis: fraktur terjadi pada bagian metaphysis, yaitu pada proksimal dan
distal tulang yang terletak di antara physis dan diaphysis. Metaphysis memiliki
bagian korteks yang lebih tipis dari diaphysis.
Diaphysis:fraktur terjadi di bagian tengah/poros tulang, di bagian diaphysis.
Memiliki korteks yang lebih tebal dan pada medula terdapat sumsum berupa
jaringan adiposa.
Komponen tulang yang spesifik secara anatomis, misalnya supracondylar,
trochanteric, dan femoral neck.
Physis
4. Fraktur Salter-Harris
Klasifikasi fraktur yang spesifik apabila lokasi fraktur termasuk bagian physis
atau lempeng pertumbuhan yang berperan penting dalam proses osifikasi
endokondral.
metaphysis
physis
epiphysis
5. Fraktur Terbuka
Fraktur terbuka diklasifikasikan berdasarkan mekanisme puncture dan
keparahan cedera jaringan lunak.
Grade I : sebuah lubang tusukan (puncture) kecil pada kulit akibat tulang
yang menembus keluar. Akan tetapi tulang mungkin tidak terlihat pada luka
tersebut.
Gambar 4 Hasil radiografi fraktur terbuka grade I, terlihat adanya rongga berisi udara pada
jaringan lunak sekitar daerah fraktur (panah) (Sumber: Sylvestre 2019)
Grade II: terdapat luka pada kulit dengan ukuran yang bervariasi tergantung
keparahan fraktur, disebabkan oleh trauma eksternal.
Gambar 5 Hasil radiografi fraktur terbuka grade II dengan adanya bagian tulang yang
menusuk jaringan lunak hingga menonjol terlihat pada kulit (Sumber: Sylvestre 2019)
Grade III: terdapat beberapa fragmen tulang dan menimbulkan jaringan lunak
yang cukup luas. Kondisi ini biasanya terkait dengan fraktur comminuted
akibat trauma eksternal dari benda berkecepatan tinggi, misalnya akibat
tembakan peluru.
Gambar 6 Hasil radiografi fraktur terbuka grade II dengan terlihatnya tulang (persendian
bahu) pada area luka (panah) (Sumber: Sylvestre 2019)
Fase inflamasi: inflamasi terjadi seketika setelah terjadinya hematoma pada tulang
dan jaringan sekitarnya. Hematoma ini terjadi karena perdarahan dari ruptur tulang
dan pembuluh darah periosteal. Sistem koagulasi kemudian teraktifasi dan
melepaskan mediator vasoaktif yang dihasilkan oleh platelet. Level mediator radang
seperti sitokin (interleukin-1 (IL-1), IL-6, IL-!!, IL-18 dan tumor necrosis factor-α
(TNF-α) meningkat secara signifikan selama beberapa hari post trauma. Mediator
radang ini akan beperan dalam efek kemotaktik yang mengaktifkan sel-sel radang.
Makrofage akan berperan dalam fagositosis jaringan nekrosis dan mengaktifkan
growth factor dalam pembentukan tulang seperti bone morphogenic proteins, insulin-
like growth factor, dll. Semua growth factor ini berfungsi dalam proses migrasi,
rekrutmen, dan proliferasi sel stem mesenkim dan diferensiasinya menjadi angioblast,
chondroblast, fibroblast, dan osteoblast. Selama proses inflamasi, proses pembentukan
kalus primitif juga terjadi sehingga dapat mengurangi mobilitas atau gerakan pada
area fraktur.
Fase proliferatif: merupakan proses fibroplasia yang ditandai dengan pembentukan
callus dan vaskularisasi, sekresi osteoid, dan adanya serat kolagen. Fase ini meliputi
juga respon periosteal yaitu angiogenesis, pembentukan jaringan ikat dan formasi soft
callus. Selanjutnya secara bertahap digantikan oleh pembentukan anyaman tulang
yang belum matang (immature) melalui formasi tulang intramembran dan
endochondral. Kemudian sel stem mesenkim yang sebelumnya teraktifasi oleh growth
factor akan membantu proses osifikasi sehingga anyaman tulang yang immature akan
berubah menjadi lebih keras (mature) karena adanya pembentukan hard callus.
Fase remodeling: meliputi pembentukan dan mineralisasi callus yang kemudian
secara bertahap callus digantikan dengan tulang yang sudah termineralisasi. Proses ini
akan diikuti dengan pebaikan bentuk, ukuran dan kandungan biokimiawi pada tulang.
Gambar 7 Contoh hasil radiograf terhadap kondisi fraktur di tulang tibia; CT-scan terhadap fraktur pada tulang
mandibula
Gambar 8 CT-scan terhadap fraktur pada tulang mandibula (Sumber: Veterian Key 2016)
Gambar 9 Gambaran MRI terhadap fraktur pada kaki kuda (Sumber: Genton et al. 2019)
Gambar 10 Tiga cara penanganan bedah ortopedik. (kiri) Fiksasi intramedular. (tengah) Bone plating. (kanan)
Fiksasi eksternal
Terdapat beberapa kasus fraktur yang tidak direkomendasikan untuk dibedah. Kasus-
kasus tersebut adalah apabila fraktur terjadi pada os coxae, yaitu pada bagian illial wing,
tuber ischii, dan pelvic floor. Bagian-bagian tersebut merupakan tempat tautan otot, sehingga
sulit untuk dioperasi, maka dari itu kasus ini harus dirawat secara konservatif, pembatasan
gerak, dan penanganan rasa nyeri.
Bedah Ortopedik
Manajemen Pre-operasi
1. Evaluasi preoperasi
a. Hewan muda (kurang dari 5-7 tahun): harus disertai dengan beberapa uji
laboratorium seperti packed cell volume (PCV), urinalisis, pemeriksaan feses,
tergantung dengan hasil anamnesa, sinyalemen, dan pemeriksaan umum.
b. Hewan tua (lebih dari 5-7 tahun: harus diperiksa dan ditangani secara hati-
hati karena fungsi organ serta sistem muskuloskeletalnya sudah menurun. Uji
laboratorium seperti CBC, kimia darah, dan urinalisis, serta uji laboratorium
khusus (seperti uji koagulasi darah) berdasarkan hasil anamnesa, sinyalemen,
dan pemeriksaan umum.
Hasil evaluasi pre-operasi ini akan memengaruhi kepurusan dalam pemberian
sediaan premedikasi dan anestesi, terapi cairan, dan lainnya.
2. Anestesi dan manajemen rasa nyeri
- Operasi ortopedik merupakan salah satu operasi yang sangat menyakitkan, karena
banyak reseptor sensorik (nosiseptif) pada tulang. Maka dari itu perlu diberikan
sediaan analgesik sebelum operasi. Kedalaman analgesia dari sediaan tersebut
DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI
DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)
harus cukup untuk menahan reseptor nyeri ketika operasi, khususnya reseptor
nosiseptif di sekitar tulang tersebut harus dapat di-block. Sediaan analgesiknya
pun harus dilanjutkan hingga post-operasi.
- Prosedur anestesi yang direkomendasikan untuk operasi ortopedik adalah
penggunaan sediaan analgesia yang juga dikombinasikan dengan sediaan anestesi
epidural (lidokain, bupivakain, atau ropivakain) untuk menurunkan respon nyeri
pada saat operasi dan juga untuk menurunkan dosis anestetikum yang dibutuhkan.
- Prosedur lain yang dapat digunakan adalah kombinasi anestesi epidural dengan
anestesi umum. Kombinasi tersebut dapat memberikan efek paralisis sementara
pada otot kaki belakang, dan menahan rasa nyeri pada kasus fraktur pelvis, femur,
dan tibia.
- Sediaan analgesik yang dapat digunakan pada pasien ortopedik adalah non-
steroidal anti-inflammatory drugs (NSAID). Sediaan tersebut dapat
dikombinasikan opioid (tergantung keparahan rasa nyeri pasien, contoh: fentanyl)
atau tidak dikombinasikan.
Fracture Support
Cedera yang tidak stabil harus diberikan support agar mengurangi kerusakan jaringan
lunak dan untuk meningkatkan kenyamanan pasien. Support yang dimaksud adalah external
splint, yang dapat menyokong kaki secara sementara dan untuk menstabilkan fraktur.
Pemasangan splint yang baik dapat mencegah komplikasi. Komplikasi dapat berupa minor
atau serius. Komplikasi minor seperti kebengkakan kaki di bagian distal dari splint, splint
yang longgar, dan abrasi kulit. Komplikasi serius dapat berupa tidak menyatunya tulang-
tulang yang fraktur, nekrosa iskemik pada kaki.
2. Metal Spoon Splint (Metasplint): digunakan untuk menyokong cedera pada distal
radius dan ulna, tulang carpus/tarsus, metacarpus/metatarsus, dan phalanges.
Digunakan untuk fiksasi tulang, menurunkan stress fisik, dan mempercepat
persembuhan.
3. Soft Padded Bandages: digunakan ketika tidak perlu ada penekanan yang berlebihan
pada jaringan. Balutan ini dapat disertakan Mason metasplint, lateral splint, atau
tidak.
4. Spica splints: balutan ini akan membalut kaki yang cedera dan badan sebagai splint
sementara untuk imobilisasi fraktur humerus/femur, atau untuk stabilisasi tulang
setelah dilakukan fiksasi.
5. Ehmer Sling: dapat mencegah beban bobot badan pada tulang pelvis dan kaki
belakang. Umumnya digunakan untuk menyokong hip luxation.
6. Velpeau Sling: digunakan untuk mencegah beban bobot badan dan menstabilkan kaki
depan bagian proksimal. Umumnya digunakan untuk menyokong fraktur scapula atau
medial shoulder luxation.
Manajemen Post-Operasi
- Komunikasi dengan klien tentang perkembangan kondisi hewannya
- Penggunaan metode rehabiltasi fisik yang benar
- Check up pasien dengan teratur
- Pemakaian dan pemeliharaan bandage dan splint agar tidak terjadi komplikasi.
Pembengkakan, kegatalan, dan adanya bau busuk dari bandage harus diperhatikan
dan jika ada, bandage harus segera dilepas. Balutan harus tetap bersih dan kering.
- Radiografi post-operasi untuk melihat perkembangan cedera atau posisi implan
tulang.
- Pembatasan pergerakan pasien (exercise seperti leash walking) dan rehabilitasi
fisik
- Rehabilitasi fisik dilakukan setelah frakturanya sembuh.
DAFTAR PUSTAKA
Fossum TW, Dewey CW, Horn CV, Johnson AL, MacPhail CM, Radlinsky MG, Schulz KS,
Willard MD. 2013. Small Animal Surgery, 4th edition. Missouri (US): Elsevier
Mosby.
Genton M, Vila T, Olive J, Rossignol F. 2019. Standing MRI for surgical planning of equine
fracture repair. Veterinary Surgery. 48 (8): 1372-1381.
Oryan A, Manazzah S, Sadegh AB. 2015. Reiew bone injury and fracture healing biology.
Biomed Environ Sci. 28(1):57-71.
Sylvestre AM. 2019. Fracture Management for the Small Animal Practicioner. Hoboken
(US): John Wiley & Sons, Inc.
Teachers Pay Teachers. 2018. Bone anatomy diagrams for coloring adn labeling, with
reference and summary. [Internet]. [diunduh pada 04 Agustus 2020].
https://www.teacherspayteachers.com/Product/Bone-Anatomy-Diagrams- for-
Coloring-and-Labeling-with-Reference-and-Summary-5286917
Veterian Key. 2016. Mandibullar and maxillofacial fractures. [Internet]. [diunduh pada 27
Juli 2020]. Tersedia pada: https://veteriankey.com/mandibular-and-maxillofacial-
fractures/
KULIAH 14 FISIOTERAPI
Definisi Umum
Muskuloskeletal
Fisioterapi pada sistem muskuloskeletal biasanya disebut sebagai fisioterapi
konvensional atau tradisional. Fisioterapi ini dilakukan untuk terapi terhadap
trauma jaringan lunak (ruptur ligamen, tendn, dan otot), bursitis, trauma persendian,
fraktur, dan penyakit persendian (cth: Osteochondritis Discecans atau OCD).
Respiratori
Fisioterapi pada sistem respirasi merupakan salah satu prosedur perawatan
darurat pada hewan yang dilakukan pada beberapa prosedur atau tindakan misalnya
Orthopedik
Fisioterapi pada orthopedik biasanya sebagai tindakan rebilitatif setelah
prosedur operasi untuk memaksimalkan tingkat keberhasilan operasi. Fisioterapi
dilakukan dengan penerapan prinsip latihan dan pengurangan beban berat pada
bagian atau area yang telah dioperasi.
Neurologikal
Fisioterapi pada sistem neurologik merupakan tindakan rehabilitatif terhadap
hewan yang mengalami trauma neurologis yang dpat terjadi pada satu tungkai
maupun seluruh badan. Kerusakan neurologis dapat diterapi secara konservatif atau
fisik maupun melalui prosedur operasi. Keruskaan tersebut juga dapat disembuhkan
secara total atau sebagian dengan meninggalkan kerusakan permanen pada berbagai
bagian. Tingkat kerusakan tau banyaknya jaringan syaraf yang rusak menentukan
waktu atau lamanya fisioterapi yang akan dilakukan hingga terjadi perbaikan.
Selain fisioterapi, solusi jangka panjang terhadap kerusakan permanen yang
signifikan juga dibutuhkan seperti pemasangan roda dan sabuk pengaman atau
penyangga untuk mendukung kegiatan hewan sehari-hari.
Geriatrik
Hewan peliharaan saat ini memiliki waktu hidup yang lebih lama sehingga
dapat bertahan hingga umur yang tua. Beberapa permasalahan kesehatan yang
banyak ditemukan pada hewan peliharaan yang tua adalah gangguan pada
persendian yang disertai dengan penyakit co-morbiditi seperti diabetes yang dapat
menyebabkan komplikasi dalam proses rehabilitasi. Fisioterapi dilakukan dengan
melakukan perawatan terhadap pengurangan rasa sakit, latihan, diet penurunan
bobot baan, serta perbaikan terhadap faktor lingkungan.
anjing yang difungsikan sebagai atlet balap lari. Rehabilitasi pada trauma akibat
kegiatan olahraga pada hewan sangatlah penting, mengingat hewan tidak selalu
menunjukkan gejala kepincangan secara langsung jika mengalami kelemahan pada
ototnya, namun, hal ini akan menyebabkan perubahan performa pada hewan.
Gangguan Pertumbuhan
Banyak hewan muda yang memiliki masalah perkembangan secara genetik
pada persendian maupun tulang. Hal ini memerlukan terapi fisik sebagai terapi yang
secara signifikan bermanfaat untuk mendukung peningkatan kekuatan pada
persendian maupun tulang hewan tersebut. Kondisi seperti dislokasi persendian
piggul dan siku paling sering ditemui. Fisioterapi dapat dilakukan untuk
meningkatkan kualitas hidup hewan dan mencegah masalah lain atau dapat
menghindarkan hewan dari prosedur operasi relokasi persendian pinggul total.
Keuntungan Fisioterapi
Kontraindikasi Fisioterapi
a. Terapi Dingin
Terapi ini bertujuan mengontrol dan meminimalisir inflamasi yang
terjadi setelah prosedur operasi atau inflamasi akibat trauma fisik. Tubuh
akan merespon trauma melalui aktivasi reaksi inflamasi pada sel. Fase
normal inflamasi pada sel tubuh yang sehat berjalan selama kurang lebih 72
jam. Periode inilah, terapi dingin sangat direkomendasikan untuk
meminimalisir respon inflamasi. Terapi dingin dapat diaplikasikan di area
inflamasi dengan beberapa cara. Cold theraapy gel pack atau bisa
digantikan dengan potongan es batu yang dimasukkan kedalam tas tahan
panas/dingin diletakka pada area inflamasi selama 10-20 menit dan diulagi
setiap 4-6 jam agar lebih efektif. Jika terjadi hipotermia setelah operasi,
maka terapi ini dapat ditunda hingga temperatur hewan kembali normal.
Selain itu, kontraindikasi terapi ini adalah hewan yang megalami
hipersensitivitas terhadap dingin. Perlu perhatian khusus terhadap kondisi
jantung, tekanan darah yang tinggi, dan luka yang terbuka.
b. Terapi Panas
Terapi ini dilakukan pada inflamasi lanjut atau setelah 72 jam paska
trauma dengan pemberian handuk hangat-panas pada area inflamasi 10-20
menit 4-6 kali sehari. Prinsip terapi ini adalah untuk meningkatkan sirkulasi
darah pada area inflamasi dengan meningkatkan vasodilatasi pembuluh
darah sehingga aliran darah pada area inflamasi meningkat sehingga
mempercepat proses persembuhan. Terapi panas dapat digunakan untuk
mengurangi rasa sakit, kekakuan, dan spasmus pada otot. Panas akan
meningkatkan elastisitas jaringan. Kontraindikasi dari terapi ini adalah
trombus/embolisme, hipersensitiv terhadap panas, luka bakar, infeksi, dan
tumor malignan.
d. Elektroterapi
PEME atau yang biasa disebut stimulasi otot secara elektrik berfungsi
untuk mengurangi rasa sakit pada daerah tubuh yang trauma dengan
stimulasi syaraf sensoris. Tehnik ini digunakan untuk mengenbalikan atau
mengurangi atropi pada otot dengan stimulasi serabut syaraf motoris yang
dapat meningkatkan kontraksi otot.
Indikasi terapi ini adalah untuk mencegah atrofi otot pada hewan yang
mengalami kelumpuhan. Terapi ini juga dapat dilakukan sebagai terapi
tambahan preoperasi maupun postoperasi. Sementara itu, kontraindikasi
dari terapi ini adalah hewan yang sedang bunting, luka terbuka, tumor
malignan, gangguan konduksi jantung, operasi laminectomy, hewan
epilepsi, trombosis, serta pada area pharyng dan sinus carotid.
TENS merupakan terapi dengan memanfaatkan gelombang elektrik
berfrekuensi 90-130 Hz untuk menstimulasi serabut saraf besar dalam
aktivasi sistem inhibisi interneuron yang memblkade sinyal pada neuron
proyeksi yang berhubungan dengan otak sehingga terjadi blokade persepsi
rasa sakit.
Hidrotherapi
Actinotherapi/Heliotherapi
(IR). Karakteristik sinar yang dapat digunakan sebagai actinotherapy adalah sinar
yang memiliki daya kimia dalam penyembuhan penyakit.
Sinar ultraviolet dapat memperbaiki kondisi kekakuan, kelelahan, kekakuan
sendi, kebengkakan sendi, dan kekuatan genggaman (grip strength) pada manusia.
Sedangkan sinar infrared diketahui dapat menghilangkan rasa sakit (pain relief),
menghilangkan back pain, dan meningkatkan aliran darah pada daerah yang
diterapi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada kerbau di India, actinotherapy
menggunakan sinar infrared dapat menghilangkan rasa sakit lebih efektif
dibandingkan dengan sinar ultraviolet.
DAFTAR PUSTAKA
Carver D. 2016. Practical Physiotherapy for Veterinary Nurses. Oxford (UK): John
Willey and Sons.
Choudhary CK, Sharma AK, Gupta MK. 2018. Clinical and physical evaluation of
infrared and ultraviolet treatment in arthritic buffalo calves. Buffalo Buletin.
37(3): 411 – 419.
Lindley S, Watson P. 2010. BSAVA Manual of Canine and Feline Rehabilitation,
Supportive, and Palliative Care: Case Studies in Patient Management.
Quedgeley (UK): British Small Animal Veterinary Association.
Prydie D, Hewitt I. 2015. Practical Physiotherapy for Small Animal Practice.
Oxford (UK): John Willey and Sons.