Refrerat - Fisiologi Filtrasi Ginjal, Obat Diuretik, Pompa Na, K, ATPase - Aldy Bachtiar Hidayat 222011101134
Refrerat - Fisiologi Filtrasi Ginjal, Obat Diuretik, Pompa Na, K, ATPase - Aldy Bachtiar Hidayat 222011101134
Disusun oleh
Aldy Bachtiar Hidayat
222011101134
Dokter Pembimbing
dr. Suryono,Sp.JP (K)-FIHA, FAsCC.
B. Etiologi
Banyak penyebab gagal ginjal akut, diklasifikasikan kedalam 3 hal, yaitu;
prerenal, renal dan postrenal, sebagai berikut: Apakah sebelumnya terdapat batu,
pernah mengalami trauma; pernah mendapat radiasi didaerah pelvik. Apakah
terdapat hipertropi prostat. GGA Pre renal: Kelainan kelompok ini banyak terjadi
pada kasus bedah akut. sebagai berikut: hal-hal yang dapat menyebabkan
kehilangan cairan misalnya; dari traktus gastrointestinal, drain, kehilangan
incensible, diuretik, prosedur bedah. GGA renal (parenkim): Kelainan ini
sekunder karena perubahan pada glomerulus, pembuluh darah atau peradangan.
GGA post-renal: disebabkan oleh obstruksi intrarenal dan ekstrarenal (Makris K
& Spanou L, 2016). Gagal ginjal akut dapat disebabkan oleh pengunaan obat-
obatan, salah satunya adalah kotrimoksazol. Efek samping dari kotrimoksazol
apabila digunakan dalam dosis berlebih ialah dapat menyebabkan terjadinya
gagal ginjal akut (Phazayattil GS & Shirali AC , 2014).
C. Epidemiologi
Gagal ginjal akut (GGA) menjadi komplikasi medis di Negara
berkembang, terutama pasien dengan latar belakang adanya penyakit diare,
penyakit infeksi seperti malaria, leptospirosis, dan bencana alam seperti gempa
bumi. Insidennya meningkat hingga 4 kali lipat di United State sejak 1988 dan
diperkirakan terdapat 500 per 100.000 populasi pertahun. Insiden ini bahkan lebih
tinggi dari insiden stroke (Unitate State Renal Data System, 2015). Mortalitas
pasien dengan GGA dan memerlukan hemodialisis masih tinggi. Angka kematian
pasien Gagal Ginjal Kronik (GGK) adalah 30-40% walaupun sudah dikelola
dengan baik. Jika dilakukan tindakan bedah dan anestesia nilai ini meningkat
sampai lebih dari 60%; untuk bedah yang berat seperti laparatomi eksplorasi
dapat mencapai 90% (Makris K & Spanou L, 2016).
D. Patofisiologi
Ada tiga patofisiologi utama dari penyebab gagal ginjal akut yaitu
penurunan perfusi ginjal (pre-renal), penyakit intrinsik ginjal (renal), dan
obstruksi renal akut (post renal) (Awdishu & Wu, 2017). Gagal Ginjal Akut Pre
Renal yaitu pada hipoperfusi ginjal yang berat (tekanan arteri rata-rata < 70
mmHg) serta berlangsung dalam jangka waktu lama, maka mekanisme
otoregulasi tersebut akan terganggu dimana arteriol afferent mengalami
vasokonstriksi, terjadi kontraksi mesangial dan penigkatan reabsorbsi natrium dan
air. Keadaan ini disebut prerenal atau gagal ginjal akut fungsional dimana belum
terjadi kerusakan struktural dari ginjal (Awdishu & Wu, 2017).
Gagal Ginjal Akut Intra Renal (azotemia Intrinsik Renal) yaitu
berdasarkan lokasi primer kerusakan tubulus penyebab gagal ginjal akut intra
renal, yaitu : pembuluh darah besar ginjal, glomerulus ginjal, tubulus ginjal
(nekrosi tubular akut), dan intersisiel ginjal (Awdishu & Wu, 2017). Gagal ginjal
akut intra renal yang sering terjadi adalah nekrosi tubular akut disebabkan oleh
keadaan iskemia dan nefrotoksin. Pada gagal ginjal renal terjadi kelainan vaskular
yang sering menyebabkan nekrosis tubular akut. Dimana pada NTA terjadi
kelainan vascular dan tubular. Pada kelainan vaskuler terjadi: Peningkatan Ca2+
sitosolik pada arteriol afferent glomerolus yang menyebabkan sensitifitas
terhadap substansi-substansi vasokonstriktor dan gangguan otoregulasi; Terjadi
peningkatan stress oksidatif yang menyebabkan kerusakan sel endotel vaskular
ginjal, yang mengakibatkan peningkatan A-II dan ET-1 serta penurunan
prostaglandin dan ketersediaan nitric oxide yang berasal dari endotelial NO-
sintase; Peningkatan mediator inflamasi seperti tumor nekrosis faktor dan
interleukin-18, yang selanjutnya akan meningkatkan ekspresi dari intraseluler
adhesion molecule-1 dan P- selectin dari sel endotel, sehingga peningkatan
perlekatan sel radang terutama sel netrofil. Keadaan ini akan menyebabkan
peningkatan radikal bebas oksigen. Kesuluruhan proses di atas secara bersama-
sama menyebabkan vasokonstriksi intrarenal yang akan menyebabkan penurunan
GFR (Awdishu & Wu, 2017).
Salah satu penyebab tersering GGA intrinsik lainnya adalah sepsis,
iskemik dan nefrotoksik baik endogenous dan eksogenous dengan dasar
patofisiologinya yaitu peradangan, apoptosis dan perubahan perfusi regional yang
dapat menyebabkan nekrosis tubular akut (NTA). Penyebab lain yang lebih
jarang ditemui dan bisa dikonsep secara anatomi tergantung bagian major dari
kerusakan parenkim renal : glomerulus, tubulointerstitium, dan pembuluh darah
(Awdishu & Wu, 2017).
GGA post-renal disebabkan oleh obstruksi intra-renal dan ekstrarenal.
Obstruksi intrarenal terjadi karena deposisi kristal (urat, oksalat, sulfonamide) d
protein ( mioglobin, hemoglobin). Obstruksi ekstrarenal dapat terjadi pada pelvis
ureter oleh obstruksi intrinsik (tumor, batu, nekrosis papilla) dan ekstrinsik
( keganasan pada pelvis dan retroperitoneal, fibrosis) serta pada kandung kemih
(batu, tumor, hipertrofi/ keganasan prostate) dan uretra (striktura). GGA postrenal
terjadi bila obstruksi akut terjadi pada uretra, buli – buli dan ureter bilateral, atau
obstruksi pada ureter unilateral dimana ginjal satunya tidak berfungsi (Awdishu
& Wu, 2017)
E. Diagnosis
Pendekatan Diagnosis Pada pasien yang memenuhi kriteria diagnosis AKI
sesuai dengan yang telah dipaparkan di atas, pertama-tama harus ditentukan
apakah keadaan tersebut memang merupakan AKI atau merupakan suatu keadaan
akut pada PGK. Beberapa patokan umum yang dapat membedakan kedua
keadaan ini antara lain riwayat etiologi PGK, riwayat etiologi penyebab AKI,
pemeriksaan klinis (anemia, neuropati pada PGK) dan perjalanan penyakit
(pemulihan pada AKI) dan ukuran ginjal. Patokan tersebut tidak sepenuhnya
dapat dipakai. Misalnya, ginjal umumnya berukuran kecil pada PGK, namun
dapat pula berukuran normal bahkan membesar seperti pada neuropati diabetik
dan penyakit ginjal polikistik. Upaya pendekatan diagnosis harus pula mengarah
pada penentuan etiologi, tahap AKI, dan penentuankomplikasi. Pemeriksaan
Klinis Pemeriksaan jasmani dan penunjang adalah untuk membedakan pre-renal,
renal dan post-renal. Dalam menegakkan diagnosis gagal ginjal akut diperiksa:
a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Penilaian awal dengan teliti untuk mencari penyebabnya seperti misalnya
operasi kardiovaskular, angiografi, riwayat infeksi (infeksi kulit, infeksi
tenggorokan, infeksi saluran kemih), riwayat bengkak, riwayat kencing batu.
b. Membedakan gagal ginjal akut dengan kronis
misalnya anemia dan ukuran ginjal yang kecil menunjukkan gagal ginjal
kronis.
c. Pemeriksaan fungsi ginjal
Untuk mendiagnosis GGA diperlukan pemeriksaan berulang fungsi ginjal
yaitu kadar ureum, kreatinin atau laju filtrasi glomerulus. Pada pasien rawat selalu
diperiksa asupan dan keluaran cairan, berat badan untuk memperkirakan adanya
kehilangan atau kelebihan cairan tubuh. Pada GGA berat dengan berkurangnya fungsi
ginjal ekskresi air dan garam berkurang sehingga dapat menimbulkan edema, bahkan
sampai terjadi kelebihan air yang berat atau edema paru. Ekskresi asam yang
berkurang juga dapat menimbulkan asidosis metabolic dengan kompensasi 18
pernapasan Kussmaul. Umumnya manifestasi GGA lebih didominasi oleh factor-
faktor presipitasi atau penyakit utamanya.
d. Pemeriksaan kreatinin serum
Assessment pasien dengan AKI a. Kadar kreatinin serum. Pada GGA faal
ginjal dinilai dengan memeriksa berulang kali kadar serum kreatinin. Kadar serum
kreatinin tidak dapat mengukur secara tepat LFG karena tergantung dari produksi
(otot), distribusi dalam cairan tubuh, dan ekskresi oleh ginjal b. Volume urin. Anuria
akut atau oliguria berat merupakan indicator yang spesifik untuk gagal ginjal akut,
yang dapat terjadi sebelum perubahan nilai-nilai biokimia darah. Walaupun
demikian, volume urin pada GGA bisa bermacam-macam, GGA prerenal biasanya
hampir selalu disertai oliguria
c. Sistem Hematologi
1) Anemia yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor antara lain: Berkurangnya
produksi eritropoitin, hemolisis akibat berkurangnya masa hidup eritrosit dalam
suasana uremia toksin, defisiensi besi, asam folat, dan lain-lain akibat nafsu
makan yang berkurang, perdarahan, dan fibrosis sumsum tulang akibat
hipertiroidism sekunder.
2) Gangguan fungsi trombosit dan trombositopenia. d. Sistem saraf dan otot
3 ) Restless Leg Syndrome, pasien merasa pegal pada kakinya sehinnga selalu
digerakkan.
4) Burning Feet Syndrome rasa kesemutan dan seperti terbakar terutama ditelapak
kaki.
3) Ensefalopati metabolik, lemah, tidak bisa tidur, gangguan konsetrasi, tremor,
asteriksis, mioklonus, kejang.
4) Miopati, kelemahan dan hipertrofi otot terutama ekstermitas proksimal.
e. Sistem kardiovaskuler
1) Hipertensi akibat penimbunan cairan dan garam atau peningkatan aktivitas
sistem renin angiotensin aldosteron.
2) Nyeri dada dan sesak nafas akibat perikarditis atau gagal jantung akibat
penimbunan cairan hipertensif.
3) Gangguan irama jantung akibat aterosklerosis, gangguan elektrolit dan
klasifikasi metastasik.
4) Edema akibat penimbunan cairan.
f. Sistem Endokrin
1) Gangguan seksual, libido, fertilitas, dan ereksi menurun pada laki-laki akibat
testosteron dan spermatogenesis menurun. Pada wnita tibul gangguan menstruasi,
gangguan ovulasi, sampai amenore.
2) Gangguan metabolisme glokusa, resistensi insulin dan gangguan sekresi
insulin.
3) Gangguan metabolisme lemak.
4) Gangguan metabolisme vitamin D.
C. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien Chronic Kidney
Disease (CKD), antara lain (Monika, 2019):
a. Hematologi
1) Hemoglobin: HB kurang dari 7-8 g/dl
2) Hematokrit: Biasanya menurun
3) Eritrosit
4) Leukosit
5) Trombosit
b. LFT (Liver Fungsi Test)
c. Elektrolit (Klorida, kalium, kalsium)
1) AGD : penurunan asidosis metabolik (kurang dari 7 )
2) Kalium : peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai dengan
perpindahan seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan hemolisis
d. RFT (Renal Fungsi Test) (Ureum dan Kreatinin) 1) BUN/ Kreatinin :
Kadar BUN (normal: 5-25 mg/dL), kreatinin serum (normal 0,5-1,5 mg/dL; 45-
132,5 μmol/ L [unit SI]) biasanya meningkat dalam proporsi kadar kreatinin
10mg/dl, natrium (normal: serum 135-145 mmol/L; urine: 40-220 mEq/L/24
jam), dan kalium (normal: 3,5-5,0 mEq/L; 3-5,0 mmol/Lm [unit SI]) meningkat
e. Urine rutin
1) Urin khusus : benda keton, analisa kristal batu
2) Volume : kurang dari 400ml/jam, oliguri, anuria
3) Warna:secara abnormalurine keruh,disebabkan bakteri partikel koloid
dan fosfat.
4) Sedimen:kotor,kecoklatanmenunjukanadanyadarah,Hb,mioglobin,porfirin.
5)Berat jenis kurang dari1.015 (menetap pada1,015)menunjukkan
kerusakan ginjal berat.
f. EKG
EKG : mungkin abnormal untuk menunjukkan keseimbangan elektrolit
dan
asam basa.
g. Endoskopi ginjal : dilakukan secara endoskopik untuk menentukkan
pelvis
ginjal, pengangkatan tumor selektif.
h. USG abdominal
i. CT scan abdominal
j. Renogram
RPG (Retio Pielografi) katabolisme protein bikarbonat menurun PC02
menurun Untuk menunjukkan abnormalis pelvis ginjal dan ureter.
D. Penatalaksanaan
Menurut Monika, (2019) Penatalaksanaan medis pada pasien dengan CKD dibagi
tiga yaitu :
a. Konservatif
1) Melakukan pemeriksaan lab darah dan urine
2) Optimalisasi dan pertahankan keseimbangan cairan dan garam. Biasanya
diusahakan agar tekanan vena jugularis sedikit meningkat dan terdapat
edema betis ringan. Pengawasan dilakukan melalui pemantauan berat
badan, urine serta pencatatan keseimbangan cairan.
3) Diet TKRP (Tinggi Kalori Rendah Protein). Diet rendah protein (20-240
gr/hr) dan tinggi kalori menghilangkan gejala anoreksia dan nausea dari
uremia serta menurunkan kadar ereum. Hindari pemasukan berlebih dari
kalium dan garam.
4)Kontrol hipertensi. Pada pasien hipertensi dengan penyakit ginjal,
keseimbangan garam dan cairan diatur tersendiri tanpa tergantung pada
tekanan darah. Sering diperlukan diuretik loop selain obat anti hipertensi
(Guswanti, 2019).
5) Kontrol ketidak seimbangan elektrolit. Yang sering ditemukan adalah
hiperkalemia dan asidosis berat. Untuk mencegah hiperkalemia hindari
pemasukan kalium yang banyak (batasi hingga 60 mmol/hr), diuretik hemat
kalium, obat-obat yang berhubungan dengan ekskresi kalium (penghambat
ACE dan obat anti inflamasi nonsteroid), asidosis berat, atau kekurangan
garam yang menyebabkan pelepasan kalium dari sel dan ikut dalam
kaliuresis. Deteksi melalui kalium plasma dan EKG.
b. Dialisis
Peritoneal dialysis Biasanya dilakukan pada kasus – kasus emergency.
Sedangkan dialysis yang bisa dilakukan dimana saja yang tidak bersifat akut
adalah CAPD (Continues Ambulatori Peritonial Dialysis).
c. Hemodialisis
Yaitu dialisis yang dilakukan melalui tindakan infasif di vena dengan
menggunakan mesin. Pada awalnya hemodiliasis dilakukan melalui daerah
femoralis namun untuk mempermudah maka dilakukan:
AV fistule : menggabungkan vena dan arteri
Double lumen : langsung pada daerah jantung (vaskularisasi ke jantung)
Tujuannya yaitu untuk menggantikan fungsi ginjal dalam tubuh fungsi eksresi
yaitu membuang sisa-sisa metabolisme dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan
sisa metabolisme yang lain (Guswanti, 2019).
d. Operasi
1)Pengambilan batu
2) Transplantasi ginjal
2.6 Pompa Na K ATPase
Pompa Na+ K+ adalah ATPase transmembran elektrogenik yang pertama kali
ditemukan pada tahun 1957 dan terletak di membran plasma luar sel; di sisi
sitosol. Na+ K+ ATPase memompa 3 Na+ keluar dari sel dan 2K+ ke dalam sel,
untuk setiap ATP tunggal yang dikonsumsi. Membran plasma merupakan lipid
bilayer yang tersusun asimetris, mengandung kolesterol, fosfolipid, glikolipid,
sphingolipid, dan protein di dalam membran. Pompa Na+K+-ATPase membantu
mempertahankan keseimbangan osmotik dan potensial membran dalam sel.
Natrium dan kalium bergerak melawan gradien konsentrasi. Pompa Na+ K+-
ATPase mempertahankan gradien konsentrasi natrium yang lebih tinggi secara
ekstraseluler dan tingkat kalium yang lebih tinggi secara intraseluler. Gradien
konsentrasi yang berkelanjutan sangat penting untuk proses fisiologis di banyak
organ dan memiliki peran berkelanjutan dalam menstabilkan potensial membran
istirahat sel, mengatur volume sel, dan transduksi sinyal sel. Ini memainkan peran
penting pada proses fisiologis lainnya, seperti pemeliharaan penyaringan produk
limbah di nefron (ginjal), motilitas sperma, dan produksi potensial aksi saraf.
Selanjutnya, konsekuensi fisiologis menghambat Na + -K + ATPase berguna dan
target dalam banyak aplikasi farmakologis. Na, K-ATPase adalah protein
perancah penting yang dapat berinteraksi dengan protein pensinyalan seperti
protein kinase C (PKC) dan fosfoinositida 3-kinase.
Gradien natrium dan kalium berfungsi dalam berbagai proses fisiologis sistem
organ. Ginjal memiliki tingkat ekspresi Na, K-ATPase yang tinggi, dengan
tubulus distal yang berbelit-belit mengekspresikan hingga 50 juta pompa per sel.
Gradien natrium ini diperlukan ginjal untuk menyaring produk limbah dalam
darah, menyerap kembali asam amino, menyerap kembali glukosa, mengatur
kadar elektrolit dalam darah, dan mempertahankan pH. Sel sperma juga
menggunakan Na, K-ATPase, tetapi mereka menggunakan isoform berbeda yang
diperlukan untuk menjaga kesuburan pada pria. Sperma membutuhkan Na, K
ATPase untuk mengatur potensi membran dan ion, yang diperlukan untuk
motilitas sperma dan fungsi akrosom sperma selama penetrasi ke dalam sel telur.
Otak juga membutuhkan aktivitas NA, K ATPase. Neuron membutuhkan pompa
Na, K ATPase untuk membalikkan fluks natrium postinaptik untuk membangun
kembali gradien kalium dan natrium yang diperlukan untuk memicu potensial
aksi. Astrosit juga membutuhkan Na, pompa K ATPase untuk mempertahankan
gradien natrium karena gradien natrium mempertahankan pengambilan kembali
neurotransmitter. Na, K ATPases dalam materi abu-abu mengkonsumsi sejumlah
besar energi, hingga tiga perempat energi diserap oleh Na, K ATPases dalam
materi abu-abu sementara hanya seperempat dari total energi yang digunakan
untuk sintesis protein dan sintesis molekuler.
Na+-K+ ATPase memainkan peran penting dalam patofisiologi tiroid. Pada
hiperparatiroidisme, terjadi peningkatan intoleransi panas, peningkatan keringat,
dan peningkatan penurunan berat badan akibat peningkatan sintesis Na+-K+
ATPase yang diinduksi oleh hormon tiroid yang berlebihan. Sintesis Na+-K+
ATPase yang meningkat ini kemudian meningkatkan laju metabolisme basal,
yang kemudian meningkatkan konsumsi oksigen, laju pernapasan, suhu tubuh,
dan kalorigenesis
Efek samping
1. Reaksi alergi berupa kelainan kulit, purpura, dermatitis disertai fotosensitivitas
dan kelainandarah.
2. Pada penggunaan lama dapat timbul hiperglikemia, terutama pada penderita
diabetes yang laten.
Ada 3 faktor yang menyebabkan antara lain : berkurangnya sekresi insulin
terhadappeninggian kadar glukosa plasma, meningkatnya glikogenolisis dan
berkurangnyaglikogenesis. Menyebabkan peningkatan kadar kolesterol dan
trigliserid plasma dengan mekanisme yangtidak diketahui.4. Gejala infusiensi
ginjal dapat diperberat oleh tiazid, mungkin karena tiazid langsungmegurangi
aliran darah ginjal. Indikasi. Tiazid merupakan diuretik terpilih untuk pengobatan
udem akibat payah jantung ringansampai sedang. Ada baiknya bila dikombinasi
dengan diuretik hemat kalium pada penderitayang juga mendapat pengobatan
digitalis unruk mencegah timbulnya hipokalemia yangmemudahkan terjadinya
intoksikasi digitalis.2. Merupakan salah satu obat penting pada pengobatan
hipertensi, baik sebagai obat tunggalatau dalam kombinasi dengan obat hipertensi
lain.3. Pengobatan diabetes insipidus terutama yang bersifat nefrogen dan
hiperkalsiuria padapenderita dengan batu kalsium pada saluran kemih.
Ginjal merupakan salah satu organ tubuh yang mempunyai peran penting
dalam sistem ekskresi dan sekresi pada tubuh manusia. Apabila ginjal gagal
melakukan fungsinya, maka akan terjadi kerusakan pada pembuluh ginjal
sehingga ginjal tidak bisa mempertahankan keseimbangan cairan dan zat – zat
kimia di dalam tubuh. Zat kimia akan masuk kedalam tubuh dan menimbulkan
penyakit gagal ginjal. Gagal ginjal yang terjadi secara menahun akan
menyebabkan penyakit gagal ginjal kronis. Gagal ginjal kronis dapat mengancam
jiwa karena dapat menimbulkan komplikasi. Komplikasi yang sering di temukan
pada pasien Gagal ginjal kronis antara lain: anemia, osteodistofi ginjal, gagal
jantung, dan disfungi ereksi. Pasien yang terdiagnosis gagal ginjal kronis harus
menjalani hemodialisis untuk memberihkan toksik dalam tubuhnya
Daftar Pustaka