Anda di halaman 1dari 5

Bulan april adalah bulan wanita Indonesia, karena pada tanggal 21 April merupakan hari lahir

Kartini. Bila sudah membicarakan Kartini, pemikiran kita akan “diarahkan” kepada persamaan hak
antara laki-laki dan perempuan. Apakah hanya sekedar itu saja?maka jawabnya tidak,karena
memperingati hari Kartini,temanya bukan itu saja,karena ada sebuah hal penting (entry point) yang
harus di ingat ketika kita membicarakan Kartini, yaitu bagaimana menempatkan hak wanita tepat
pada posisinya. Yaitu posisi yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Kita ketahui bersama
bahwa peran seorang wanita sangat mempengaruhi kehidupan manusia, sudah banyak cerita dalam
rona kehidupan manusia yang menunjukkan bagaimana mulianya seorang wanita, apalagi kalau sang
wanita telah mendapatkan gelar baru yaitu menjadi seorang ibu,maka ridlonya akan menjadi kunci
sukses putra-putrinya, dan kedudukannya sangat tinggi di hadapan Allah swt, sebagaimana sabda
Rasul SAW “Wahai Rasulullah, siapakah di antara manusia yang paling berhak untuk aku berbuat baik
kepadanya?” Rasulullah menjawab, “Ibumu.” “Kemudian siapa?” tanyanya lagi. “Ibumu,” jawab
beliau. Kembali orang itu bertanya, “Kemudian siapa?” “Ibumu.” “Kemudian siapa?” tanya orang itu
lagi. “Kemudian ayahmu,” jawab Rasulullah.
Nampak dalam hadits di atas bahwa wanita secara umum, dan ibu secara khusus sangatlah
memiliki peran dalam pentas kehidupan manusia. Lantas bagaimana sebenarnya peranan wanita
islam dalam membangun keluarga atau masyarakat? Mari kita simak tulisan berikut, bagaimana
seharusnya wanita membangun sebuah keluarga bahkan Negara?
Peranan wanita dalam keluarga
Keluarga merupakan pondasi dasar penyebaran islam. Dari keluarga lah, muncul pemimpin-
pemimpin yang berjihad di jalan Allah, dan akan datang bibit-bibit yang akan berjuang meninggikan
kalimat-kalimat Allah. Mari kita simak dengan seksama firman Allah dalam qurán surat at-Tahrim ayat
6 “ ... jagalah dirimu dan keluargamu dari siksa api neraka”, dalam ayat ini Allah menunjukkan kepada
kita tentang sebuah kewajiban bagi diri kita untuk melakukan proses pendidikan keluarga tanpa batas.
Ayat ini juga menunjukkan kepada kita semua bagaimana pentingnya peran orang tua terhadap nasib
anak-anaknya. Dan peran terbesar dalam hal tersebut adalah kaum wanita.
Pertama: Wanita sebagai seorang istri
Ketika seorang laki-laki merasa kesulitan, maka sang istri lah yang bisa membantunya. Ketika
seorang laki-laki mengalami kegundahan, sang istri lah yang dapat menenangkannya. Dan ketika sang
laki-laki mengalami keterpurukan, sang istri lah yang dapat menyemangatinya.
Sungguh, tidak ada yang mempunyai pengaruh terbesar bagi seorang suami melainkan sang istri
yang dicintainya. Terkait hal ini, contohlah apa yang dilakukan oleh teladan kaum Muslimah, Khadijah
r.a dalam mendampingi Rasulullah di masa awal kenabiannya. Ketika Rasulullah merasa ketakutan
terhadap wahyu yang diberikan kepadanya, dan merasa kesulitan, lantas apa yang dikatakan Khadijah
kepadanya?
“Demi Allah, Allah tidak akan menghinakanmu selama-lamanya. Karena sungguh engkau suka
menyambung silaturahmi, menanggung kebutuhan orang yang lemah, menutup kebutuhan orang
yang tidak punya, menjamu dan memuliakan tamu dan engkau menolong setiap upaya menegakkan
kebenaran”. Tidak ada pangkat tertinggi melainkan pangkat seorang Nabi, dan tidak ada ujian yang
paling berat selain ujian menjadi seorang Nabi. Untuk itu, tidak ada obat penenang bagi Rasulullah
dalam mengemban amanah nubuwahnya melainkan istri yang sangat dicintainya. Sampai-sampai
ketika Aisyah cemburu kepada Khadijah, dan berkata “Kenapa engkau sering menyebut perempuan
berpipi merah itu, padahal Allah telah menggantikannya untukmu dengan yang lebih baik? ” Lantas
Rasulullah marah dan bersabda: “Bagaimana engkau berkata demikian?  Sungguh dia beriman
kepadaku pada saat orang-orang menolakku, dia membenarkanku ketika orang-orang
mendustakanku, dia mendermakan seluruh hartanya untukku pada saat semua orang menolak
mambantuku, dan Allah memberiku rizki darinya berupa keturunan.”
Demikianlah kecintaan Rasulullah kepada Khadijah, dan demikianlah seharusnya bagi seorang
wanita muslimah di dalam keluarganya. Tidak ada yang diinginkan bagi setiap suami melainkan
seorang istri yang dapat menerimanya apa adanya, yang selalu percaya dan yakin kepadanya dan
selalu membantu ketika sang suami mengalami kesulitan.
Inilah peran yang seharusnya dilakukan bagi seorang wanita. Menjadi seorang pemimpin
bukanlah hal yang perlu dilakukan wanita, akan tetapi menjadi pendamping seorang pemimpin
(pemimpin rumah tangga atau lainnya) adalah yang utama karena dapat membantu, mengarahkan
dan menenangkan sangs suami yang didampinginya merpakan hal yang sangat mulia karena di
dalamnya berisi ketaatan kepada Allah Ta’ala.
Kedua: Wanita sebagai seorang Ibu
Tidak ada kemulian terbesar yang diberikan Allah bagi seorang wanita, melainkan perannya
menjadi seorang Ibu. Bahkan Rasulullah pun bersabda ketika ditanya oleh seseorang:
“Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak untuk kuperlakukan dengan baik?” Beliau
berkata, “Ibumu.” Laki-laki itu kembali bertanya, “Kemudian siapa?”, tanya laki-laki itu. “Ibumu”. Laki-
laki itu bertanya lagi, “Kemudian siapa?”, tanya laki-laki itu. “Ibumu”, “Kemudian siapa?” tanyanya
lagi. “Kemudian ayahmu”, jawab beliau”.
Di dalam rumah, siapakah yang mempunyai banyak waktu untuk anak-anak? Siapakah yang
lebih mempunyai pengaruh terhadap anak-anak? Siapakah yang lebih dekat kepada anak-anak? Tidak
lain adalah ibu-ibu mereka. Seorang ibu merupakan seseorang yang senantiasa diharapkan
kehadirannya bagi anak-anaknya. Seorang ibu dapat menjadikan anak-anaknya menjadi orang yang
baik sebagaimana seorang ibu bisa menjadikan anaknya menjadi orang yang jahat. Baik buruknya
seorang anak, dapat dipengaruhi oleh baik atau tidaknya seorang ibu yang menjadi panutan (baca suri
tauladan) anak-anaknya.
Pernahkah kita membaca kisah-kisah tentang kepahlawanan atau kemuliaan seseorang?
Siapakah dalang di balik keberhasilan mereka menjadi seorang yang pemberani, ahli ilmu atau bahkan
seorang imam? Maka jawabnya tidak lain adalah sosok seorang ibu yang senantiasa membimbingnya
dengan penuh keikhlasan.
Untuk lebih meyakinkan kita tentang besarnya peran seorang ibu, mari kita simak perkataan
seorang shahabiyah, Khansa ketika melepaskan keempat anaknya ke medan jihad.
“Wahai anak-anakku, kalian telah masuk islam dengan sukarela dan telah hijrah berdasarkan
keinginan kalian. Demi Allah yang tidak ada tuhan selain Dia, sesungguhnya kalian adalah putra dari
ayah yang sama dan dari ibu yang sama, nasab kalian tidak berbeda. Ketahuilah bahwa
seseungguhnya akhirat itu lebih baik dari dunia yang fana. Bersabarlah, tabahlah dan teguhkanlah hati
kalian serta bertaqwalah kepada Allah agar kalian beruntung. Jika kalian menemui peperangan, maka
masuklah ke dalam kancah peperangan itu dan raihlah kemenangan dan kemuliaan di alam yang kekal
dan penuh kenikmatan”
Keesokan harinya, masuklah keempat anak tersebut dalam medan pertempuran dengan hati
yang masih ragu-ragu, lalu salah seorang dari mereka mengingatkan saudara-saudaranya akan wasiat
yang disampaikan oleh ibu mereka. Mereka pun bertempur bagaikan singa dan menyerbu bagaikan
anak panah dengan gagah berani dan tidak pernah surut setapak pun hingga mereka memperoleh
syahadah fii sabilillah satu per satu.
Lihatlah kekuatan seorang ibu yang diberikan kepada anak-anaknya. Tatkala sang anak merasa
ragu akan hal yang akan diperbuatnya, namun ketika mereka teringat akan nasehat ibunda mereka
tercinta, maka semua keraguan itu menjadi hilang dan digantikan semangat dan keyakinan akan
harapan seorang ibu.
Demikianlah peran mulia seorang ibu, dan tidak ada peran yang lebih mendatangkan pahala
yang banyak melainkan peran mendidik anak-anaknya menjadi anak yang diridhoi Allah dan rasulnya.
Mereka (para ibu) sangat sadar bahwa anak-anaknya adalah sumber pahala bagi dirinya sekaligus
sumber kebaikan baginya.
Mungkin kita harus tahu, bahwa banyak kalangan orang-orang besar, bahkan sebagian para
imam dan ahli ilmu merupakan anak-anak yatim, yang hanya dibesarkan oleh seorang ibu. Dan
lihatlah hasil yang di dapatkannya. Mereka berkembang menjadi seorang ahli ilmu dan menjadi para
imam kaum muslimin. Sebut saja, Imam Syafi’I, Imam Ahmad, Al-Bukhori adalah para ulama yang
dibesarkan hanya dari seorang ibu. Karena kasih sayang, pendidikan yang baik dan doa serta
keikhlasan dari seorang ibu merupakan kekuatan yang dapat menyemangati anak-anak mereka dalam
berbuat kebaikan.
Tahukah para pembaca dengan Imam Shalat Masjidil Haram, Asy-Syaikh Sudais? Apa yang
melatarbelakangi beliau menjadi Imam shalat Masjidil Haram? Tidak lain adalah karena harapan dan
doa dari ibu beliau. Seorang ibu yang terus menerus memotivasi anaknya untuk menjadi imam
masjidil haram, telah membuat tekad Syaikh Sudais kecil menjadi besar dan membuatnya
bersemangat untuk menghafalkan al-Qur’an dan selalu berusaha agar keinginannya dan keinginan
ibunya tercapai yaitu menjadi Imam Masjidil Haram.
Mungkin para pembaca pernah membaca kisah seorang tabi’in yang bernama Ar-Rabi’ah Ar-
Ra’yi? Seorang ulama yang ditinggalkan oleh ayahnya untuk berjihad selama 30 tahun dan hidup
bersama ibunya, dan mereka berdua hanya diberikan bekal sejumlah uang untuk mencukupi
kebutuhan hidupnya. Dengan bekal yang diberikan oleh sang ayah tersebut, oleh sang ibu dihabiskan
hanya untuk pendidikan anaknya, digunakan sebagai modal untuk menjadikan sang anak berkembang
menjadi seorang ulama dan pemuka Madinah, yang bahkan Majelisnya dihadiri oleh Malik bin Anas,
Abu Hanifah, An-Nu’man, Yahya bin Sa’id Al-Anshari, Sufyan Tsauri, Abdurrahman bin Amru Al-Auza’I,
Laits bin Sa’id dan lainnya.
Itulah adalah segelintir kisah-kisah nyata yang sungguh mengagumkan dan menunjukkan
kepada kita bagaimana pengaruh yang amat besar dari seorang ibu, sangat menentukkan kesuksesan
anaknya dan masih banyak kisah-kisah lainnya jika kita mau mencari dan membacanya.
Oleh karenanya, jika para wanita sadar akan pentingnya dan sibuknya kehidupan di keluarga,
niscaya mereka tidak akan mempunyai waktu untuk mengurusi hal-hal di luar keluarganya. Apalagi
berangan-angan untuk menggantikan posisi laki-laki dalam mencari nafkah.
Peranan wanita dalam masyarakat dan Negara
Wanita disamping perannya dalam keluarga, ia juga bisa mempunyai peran lainnya di dalam
masyarakat dan Negara. Jika ia adalah seorang yang ahli dalam ilmu agama, maka wajib baginya untuk
mendakwahkan apa yang ia ketahui kepada kaum wanita lainnya. Begitu pula jika ia merupakan
seorang yang ahli dalam bidang tertentu, maka ia bisa mempunyai andil dalam urusan tersebut
namun dengan batasan-batasan yang telah disyariatkan dan tentunya setelah kewajibannya sebagai
ibu rumah tangga telah terpenuhi.
Banyak hal yang bisa dilakukan kaum wanita dalam masyarakat dan Negara, dan ia punya
perannya masing-masing yang tentunya berbeda dengan kaum laki-laki. Hal ini sebagaimana yang
dilakukan para shahabiyah nabi.
Pada jaman nabi, para shahabiyah biasa menjadi perawat ketika terjadi peperangan, atau
sekedar menjadi penyemangat kaum muslimin, walaupun tidak sedikit pula dari mereka yang juga ikut
berjuang berperang menggunakan senjata untuk mendapatkan syahadah fii sabilillah, seperti
Shahabiyah Ummu Imarah yang berjuang melindungi Rasulullah dalam peperangan.
Penutup
Jika kita melihat akan keutamaan-keutamaan yang diberikan Allah untuk kaum wanita, maka
jelaslah bahwa wanita merupakan tumpuan dasar kemuliaan suatu masyarakat bahkan Negara.
Masyarakat atau Negara yang baik dapat terlihat dari baiknya perempuan di dalam Negara tersebut
dan begitupun sebaliknya.
Karenanya, peran wanita baik dalam keluarga atau masyarakat merupakan peran yang sangat
agung yang tidak sepantasnya kaum wanita untuk menyepelekannya.
Ingatlah, Pemimpin-pemimpin yang adil dan generasi-generasi yang baik akan muncul seiring
dengan baiknya kaum wanita pada waktu tersebut.
Semoga tulisan ini bermanfaat.
Wallahu ‘alamu bi showwab
Penulis :
Akhmad Fakhrur Rouzi
Telp. 085855899122
Penulis adalah:
1. Guru SMP ‘Aisyiyah Muhammadiyah 3 Malang
2. Sekretaris Umum Pemuda Muhammadiyah Kota Malang
3. Sekretaris Pimpinan Cabang Muhammadiyah Blimbing

Anda mungkin juga menyukai