Anda di halaman 1dari 113

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Hukum pada umumnya diartikan sebagai keseluruhan kumpulan-

kumpulan peraturan-peraturan tertulis atau kaidah-kaidah dalam suatu

masyarakat sebagai susunan sosial, keseluruhan peraturan tingkah laku

yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama yang dapat dipaksakan

pelaksanaannya dengan memberikan sanksi bila dilanggar. Tujuan pokok

dari hukum ialah menciptakan suatu tatanan hidup dalam masyarakat

yang tertib dan sejahtera didalam keseimbangan-keseimbangan. Dengan

terciptanya ketertiban didalam masyarakat diharapkan kepentingan

manusia akan terlindungi1.

Oleh karena itu, setiap kesalahan yang diperbuat oleh seseorang,

tentunya harus ada sanksi yang layak untuk diterima si pembuat

kesalahan, agar terjadi keseimbangan dan keserasian didalam kehidupan

sosial. Untuk mengatur kehidupan masyarakat diperlukan kaidah-kaidah

yang mengikat setiap anggota masyarakat agar tidak terjadi kejahatan dan

pelanggaran terhadap ketertiban umum agar masyarakat dapat hidup

damai, tenteram dan aman.

1
Soeparto, Pitono,dkk, Etik Dan Hukum Dibidang Kesehatan, Surabaya: Airlangga University, 2008, hal
129

1
Demikian pula bagi pasien, sebagai anggota masyarakat tentunya

juga memerlukan kaidah-kaidah yang dapat menjaganya dari perbuatan

tenaga kesehatan yang melanggar aturan ketertiban tenaga kesehatan itu

sendiri. Disinilah hukum diperlukan untuk mengatur agar tenaga

kesehatan menaati peraturan yang telah ditentukan oleh profesinya.

Tanpa sanksi yang jelas terhadap pelanggaran yang dilakukannya,

sebagai manusia biasa tentunya tenaga kesehatan pun dapat bersikap

ceroboh. Oleh karena itu, bila memang seorang tenaga kesehatan terbukti

melakukan malpraktek yang berakibat fatal terhadap pasien, tentunya

perlu dikaji pula apakah ada pidana yang dapat diberlakukan kepada

profesi ini2.

Tindak pidana merupakan salah satu istilah untuk menggambarkan

suatu perbuatan yang dapat dipidana. Wirjono Prodjodikoro memberikan

definisi tindak pidana sebagai “suatu perbuatan yang pelakunya dapat

dikenakan pidana”3.

Malpraktek atau malpraktek medik adalah istilah yang sering

digunakan orang untuk tindak pidana yang dilakukan oleh orang-orang

yang berprofesi didalam dunia kesehatan atau biasa disebut tenaga

kesehatan. Menurut Jusuf Hanafiah, malpraktek medik adalah kelalaian

seorang dokter untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu

2
Isfandyarie,Anny, Malpraktek Dan Resiko Medik Dalam Kajian Hukum Pidana, Jakarta: Prestasi Pustaka,
2005, hal 46-47
3
Ibid Hal.48

2
pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau

orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama 4.

Perlindungan dan penegakan hukum di Indonesia di bidang

kesehatan terlihat jelas masih sangat kurang. Akan tetapi bisa dikatakan

kesehatan merupakan kebutuhan yang utama bagi setiap penduduk yang

hidup di dunia ini, dan pembangunan kesehatan pada dasarnya

menyangkut baik kesehatan fisik maupun mental. Keadaan kesehatan

seseorang sangat berpengauh pada segi kehidupan sosial ekonominya,

bahkan akan mempengaruhi kelangsungan hidup suatu bangsa dan

Negara manapun yang berada di dunia ini, baik negara yang sedang

berkembang maupun negara yang sudah maju sekalipun.

Kesehatan merupakan salah satu unsur kesejahteraan umum yang

harus diwujudkan sesuai dengan cita cita bangsa Indonesia sebagaimana

dimaksud dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 5. Dalam

penjelasan umum atas Undang-undang Republik Indonesia No.23 Tahun

1992 tentang Kesehatan pada Huruf (b), bahwa pembangunan kesehatan

sebagai salah satu upaya pembangunan kesehatan secara optimal 6. Hal

itu menunjukkan bahwa masalah kesehatan di negara kita mendapatkan

perhatian dan perlakuan khusus oleh pemerintah, yaitu dengan

4
Hanafiah, M.Yusuf dan Amri Amir, Etika Kedokteran Dan Hukum Kesehatan, Jakarta: Kedokteran EGC,
1999, hal 87
5
Pembukaan Undang-undang Dasar 1945
6
Penjelasan Umum atas Undang-undang Republik Indonesia No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan pada
huruf (b)

3
didirikannya sarana-sarana kesehatan, tidak hanya di kota-kota tetapi

sampai ke desa-desa.

Akan tetapi tidak seperti kenyataannya tidak seperti yang kita

harapkan, Satu demi satu terdapat beberapa contoh kasus yang terjadi

terhadap seorang pasien yang tidak mendapatkan pelayanan semestinya,

yang terburuk, dan kadang-kadang akan berakhir dengan kematian.

Berlakunya Undang-undang No.36 Tahun 2009 tentang

Kesehatan,memberi peluang bagi pengguna jasa atau pasien untuk

mengajukan gugatan/tuntutan hukum terhadap pelaku usaha apabila

terjadi konflik antara pelanggan dengan pelaku usaha yang dianggap telah

melanggar hak-haknya, terlambat melakukan / tidak melakukan /

terlambat melakukan sesuatu yang menimbulkan kerugian bagi pengguna

jasa/barang, baik kerugian harta benda atau cedera atau bisa juga

kematian.

Pada era global dewasa ini, tenaga medik merupakan salah satu

profesi yang mendapatkan sorotan masyarakat, karena sifat

pengabdiannya kepada masyarakat sangat kompleks. Akhir-akhir ini,

masyarakat banyak yang menyoroti kinerja tenaga medik, baik sorotan

yang disampaikan secara langsung ke Ikatan Dokter Indonesia (IDI)

sebagai induk organisasi para dokter, maupun yang disiarkan melalui

media cetak maupun media elektronik. Faktor-faktor tersebut dapat

mengakibatkan upaya medik (yang terbaik sekali pun) menjadi tidak

berarti apa-apa. Oleh sebab itu tidaklah salah jika kemudian dikatakan

4
bahwa hasil suatu upaya medik penuh dengan ketidakpastian

(uncertainty) dan tidak dapat diperhitungkan secara matematik7 .

Hingga saat ini, Selama ada proses reproduksi manusia,

Keberadaan bidan di Indonesia sangat diperlukan untuk meningkatkan

kesejahteraan ibu dan janinnya, dimana pelayanan kebidanan berada

dimana-mana dan kapan saja.

Ibu dan janin yang dalam hal ini sebagai pasien, harus dipandang

sebagai subyek yang memiliki pengaruh besar atas hasil akhir layanan

bukan sekedar obyek. Hak-hak pasien harus dipenuhi mengingat

kepuasan pasien menjadi salah satu barometer mutu layanan sedangkan

ketidakpuasan pasien dapat menjadi pangkal tuntutan hukum.

Dalam hukum kesehatan sebagaimana diatur dalam Undang-

undang Nomor Tahun 1992 (Bahder Johan Nasution, 2005:13) dikenal

adanya dua macam perjanjian yaitu8 :

1. Inspanningsverbintenis, yakni perjanjian upaya artinya kedua belah


pihak yang berjanji berdaya upaya secara maksimal untuk
mewujudkan apa yang diperjanjikan.
2. Resultaatverbintenis, yakni suatu perjanjian bahwa pihak yang
berjanji akan memberikan suatu hasil yang nyata sesuai dengan
apa yang diperjanjikan.

Selanjutnya dari penjelasan pasal tersebut dapat diketahui bahwa

tindakan disiplin berupa tindakan administratif, misalnya pencabutan izin

7
Sutrisno.1991.Analisis Butir Untuk Instrumen.Yogyakarta
8
Bahder Johan Nasution , 2005. Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, Jakarta : Rineka
Cipta.

5
untuk jangka waktu tertentu atau hukuman lain sesuai dengan kesalahan

atau kelalaian yang dilakukan.

Bidan dalam melaksanakan tugas profesinya kadang kala diprotes

oleh masyarakat karena telah membuat kesalahan atau kelalaian yang

mendatangkan kerugian bagi pasien yang ditolongnya. Dimana,

kemungkinan terjadinya kesalahan atau kelalaian tersebut, biasanya

datang dari pasien itu sendiri. Hal ini juga disebabkan perubahan norma

sosial budaya dalam masyarakat juga perkembangan ilmu dan pengaruh

lingkungan akan merupakan faktor untuk mencegah timbulnya

pelanggaran etik profesi, agar setiap bidan diharuskan benar-benar

menghayati dan mengamalkan peraturan-peraturan dan etik profesi.

Bidan harus mengetahui dan menghormati norma-norma yang

hidup dalam masyarakat, yang meliputi norma agama, norma hukum dan

norma etik yaitu berupa sopan santun, adat istiadat dan lain-lain. Jangan

melanggar ketentuan hukum (Malpraktik) dan melakukan yang

bertentangan dengan kode etik kebidanan. Bidan sesuai dengan

profesinya serta fungsinya untuk memberikan pelayanan, dimana

hubungan pribadi setiap bidan dengan pasien dan keluarganya adalah

sangat erat. Yang perlu dipelihara dan dibina sebaik mungkin, sehingga

hubungan bidan dan masyarakat yang memerlukan jasa bidan dapat

berjalan baik secara terus-menerus.

6
Banyak persoalan malpraktek, atas kesadaran hukum pasien

diangkat menjadi masalah pidana. Menurut Maryanti, hal tersebut

memberi kesan adanya kesadaran hukum masyarakat terhadap hak-hak

kesehatannya9.

Profesi bidan, seperti juga profesi-profesi lain yang merupakan

tenaga kesehatan adalah salah satu profesi yang sangat dibutuhkan

masyarakat. Peranan bidan dalam masyarakat cukup besar, terutama

bagi ibu atau wanita hamil untuk dapat memberikan bimbingan, nasehat

dan bantuan baik selama masa kehamilan, melahirkan hingga pasca

melahirkan. Bidan juga dapat memberikan pelayanan kesehatan kepada

masyarakat umum atau dengan kata lain tidak terbatas pada ibu atau

wanita hamil saja, apabila tidak terdapat dokter atau tenaga kesehatan

lain.

Bidan sebagai salah satu profesi yang termasuk dalam tenaga

kesehatan seperti yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah No.32

Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan, tentu tidak lepas dari

permasalahan ini. Profesi bidan, seperti juga profesi-profesi lain yang

merupakan tenaga kesehatan adalah salah satu profesi yang sangat

dibutuhkan masyarakat. Peranan bidan dalam masyarakat cukup besar,

terutama bagi ibu atau wanita hamil untuk dapat memberikan bimbingan,

nasehat dan bantuan baik selama masa kehamilan, melahirkan hingga

9
Isfandyarie,Anny, op.cit., hal 22

7
pasca melahirkan. Bidan juga dapat memberikan pelayanan kesehatan

kepada masyarakat umum atau dengan kata lain tidak terbatas pada ibu

atau wanita hamil saja, apabila tidak terdapat dokter atau tenaga

kesehatan lain yang berwenang untuk melakukan pengobatan pada

wilayah tersebut. Seperti yang tercantum dalam Pasal 17 Keputusan

Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 900/MENKES/SK/VII/2002

tentang Registrasi dan Praktik Bidan, yang berbunyi: “Dalam keadaan

tidak terdapat dokter yang berwenang pada wilayah tersebut bidan dapat

memberikan pelayanan pengobatan pada penyakit ringan bagi

ibu dan anak sesuai dengan kemampuannya.”

Kebijakan penanggulangan terhadap malpraktik profesi medis atau

malpraktik di bidang kesehatan ini, sebelumnya telah diatur di dalam

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan. Namun,

karena Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan sudah

tidak sesuai lagi dengan perkembangan, tuntutan, dan kebutuhan hukum

dalam masyarakat sehingga dicabut dan diganti dengan UndangUndang

Tentang Kesehatan yang baru, yakni Undang-Undang Nomor 36 Tahun

2009.

Selain itu, untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum

kepada penerima pelayanan kesehatan, dokter, dan dokter gigi (profesi

medis), diperlukan pengaturan mengenai penyelenggaraan praktik

kedokteran, yakni Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik

Kedokteran. Berlakunya kedua undang-undang tersebut, mempunyai asas

8
yang tujuannya adalah agar undang-undang tersebut mempunyai dampak

yang positif. Artinya undang-undang tersebut dapat dapat mencapai

tujuannya, sehingga dapat dikatakan berlaku efektif. Perumusan undang-

undang dan perbuatan melawan hukum merupakan titik sentral yang

menjadi perhatian hukum pidana.

Permasalahan mengenai malpraktik profesi medis begitu rumit,

maka upaya atau kebijakan untuk melakukan pencegahan dan

penanggulangan terhadap tindak pidana malpraktik ini sangat diperlukan.

Kebijakan penanggulangan terhadap malpraktik profesi medis atau

malpraktik di bidang kesehatan ini.

Meningkatnya kesadaran masyarakat akan hak-haknya merupakan

salah satu indicator positif meningkatnya kesadaran hukum dalam

masyarakat. Sisi negatifnya adalah adanya kecenderungan meningkatnya

kasus tenaga kesehatan ataupun rumah sakit di somasi, diadukan atau

bahkan dituntut pasien yang akibatnya seringkali membekas bahkan

mencekam para tenaga kesehatan yang pada gilirannya akan

mempengaruhi proses pelayanan kesehatan tenaga kesehatan

dibelakang hari. Secara psikologis hal ini patut dipahami mengingat

berabad-abad tenaga kesehatan telah menikmati kebebasan otonomi

paternalistik yang asimitris kedudukannya dan secara tiba-tiba didudukkan

dalam kesejajaran. Masalahnya tidak setiap upaya pelayanan kesehatan

hasilnya selalu memuaskan semua pihak terutama pasien, yang pada

9
gilirannya dengan mudah menimpakan beban kepada pasien bahwa telah

terjadi malpraktek.

Malpraktek Menurut valentin v. La Society de Bienfaisance Muttule


e los Angelos, Califfornia, 1956 didefinisikan dengan,

“kelalaian dari seorang dokter atau perawat untuk mempergunakan


tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat
pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka
menurut ukuran di lingkungan yang sama”.10
 Dari definisi tersebut malpraktek harus dibuktikan bahwa apakah benar

telah terjadi kelalaian tenaga kesehatan dalam menerapkan ilmu

pengetahuan dan keterampilan yang ukurannya adalah lazim

dipergunakan diwilayah tersebut. Andaikata akibat yang tidak diinginkan

tersebut terjadi apakah bukan merupakan resiko yang melekat terhadap

suatu tindakan medis tersebut (risk of treatment) karena perikatan dalam

transaksi teraputik antara tenagakesehatan dengan pasien adalah

perikatan/perjanjian jenis daya upaya(inspaning verbintenis) dan bukan

perjanjian/perjanjian akan hasil (resultaaverbintenis).

Dalam pelaksanaan pelayanan medis kepada pasien, informasi

memegang peranan yang sangat penting. Informasi tidak hanya penting

bagi pasien, tetapi juga bagi bidan agar dapat menyusun dan

menyampaikan informasi kedokteran yang benar kepada pasien demi

kepentingan pasien itu sendiri. Peranan informasi dalam hubungan

pelayanan kesehatan mengandung arti bahwa pentingnya peranan

informasi harus dilihat dalam hubungannya dengan kewajiban pasien


10
http://agungrakhmawan.wordpress.com/2009/06/20/malpraktek-dalam-pelayanan-kesehatan/, Agung
Rakhmawan, Malpraktek Dalam Pelayanan Kesehatan, diakses pada tanggal 6 Januari 2015.

10
selaku individu yang membutuhkan pertolongan untuk mengatasi keluhan

mengenai kesehatannya, di samping dalam hubungannya dengan

kewajiban dokter selaku profesional di bidang kesehatan. Agar pelayanan

medis dapat diberikan secara optimal, maka diperlukan informasi yang

benar dari pasien tersebut agar dapat memudahkan bagi dokter dalam

diagnosis, terapi, dan tahapan lain yang diperlukan oleh pasien. Dengan

kata lain, penyampaian informasi dari pasien tentang penyakitnya dapat

mempengaruhi perawatan pasien.

Pelayanan kesehatan pada dasarnya bertujuan untuk

melaksanakan upaya pencegahan dan pengobatan suatu penyakit,

termasuk di dalamya pelayanan medis yang didasarkan atas dasar

hubungan individual antara dokter dengan pasien yang membutuhkan

kesembuhan atas penyakit yang dideritanya. Dokter merupakan pihak

yang mempunyai keahlian di bidang medis atau kedokteran yang

dianggap memiliki kemampuan dan keahlian untuk melakukan tindakan

medis. Sedangkan pasien merupakan orang sakit yang awam akan

penyakit yang dideritanya dan mempercayakan dirinya untuk diobati dan

disembuhkan oleh dokter.

Keberadaan hukum kesehatan membawa pengaruh yang sangat

besar terhadap pembangunan, khususnya di bidang kesehatan. Hukum

kesehatan termasuk hukum lex specialis yang melindungi secara khusus

tugas profesi kesehatan (provider) dalam program pelayanan kesehatan

manusia ke arah tujuan deklarasi Health for All dan perlindungan secara

11
khusus terhadap pasien (receiver) untuk mendapatkan pelayanan

kesehatan. Dan dalam pemberian pelayanan kesehatan, pada akhir-akhir

ini ramai dibicarakan masyarakat dari berbagai golongan mengenai

masalah malpraktik.

Malpraktik merupakan pelayanan kesehatan yang mengecewakan

pasien karena kurang berhasil atau tidak berhasilnya dokter dalam

mengupayakan kesembuhan bagi pasiennya. dikarenakan kesalahan

profesional seorang dokter yang mengakibatkan cacat hingga kematian

pasien. Berbagai upaya perlindungan hukum yang dilakukan dalam

memberikan perlindungan menyeluruh kepada masyarakat sebagai

penerima pelayanan kesehatan terhadap tindakan dokter atau dokter gigi

sebagai pemberi pelayanan kesehatan telah dilakukan pemerintah dengan

melakukan pembuatan Undang-Undang Kesehatan dan Undang-Undang

Praktik Kedokteran sebagai salah satu upaya pembangunan nasional

yang mengarah kepada terwujudnya derajat kesehatan yang optimal.

Penegakan hukum dalam menyelesaikan pelanggaran tersebut

mengalami kesulitan yang dihadapi oleh aparat penegak hukum, yaitu

dalam hal tataran pemahaman. Tataran pemahaman yang dimaksud

adalah kurangnya kemampuan dan pengetahuan aparat penegak hukum

tentang hukum kesehatan. Persoalan yang ditemukan biasanya antara

etik dan hukum, artinya apakah perbuatan atau tindakan tenaga

kesehatan yang dianggap merugikan pasien itu merupakan pelanggaran

12
etik atau pelanggaran hukum positif yang berlaku sehingga akibatnya

timbul keraguan dalam menegakkan hukum kesehatan tersebut.

B. RUMUSAN MASALAH

Dari uraian-uraian latar belakang masalah diatas maka penulis

menarik beberapa permasalahan yang timbul terkait “pelayanan

kesehatan optimal dalam rangka pencegahan tindak pidana malpraktik

kebidanan” yakni sebagai berikut :

1. Bagaimana kewajiban bidan dalam memberi pelayanan kesehatan

yang optimal kepada pasien?

2. Bagaimana pelayanan kesehatan saat ini dalam hal pencegahan

tindak pidana malpraktik kebidanan?

3. Apa yang menjadi faktor penghambat dalam pemberian pelayanan

kesehatan yang optimal kepada masyarakat?

C. TUJUAN PENELITIAN

1. Untuk mengetahui dan menjelaskan Bagaimana kewajiban bidan

dalam memberi pelayanan kesehatan yang optimal kepada pasien.

2. Untuk mengetahui dan menjelaskan pelayanan kesehatan yang

diberikan oleh bidan selama ini.

3. Untuk mengetahui dan menjelaskan kendala yang di hadapi dalam

pemberian pelayanan kesehatan kepada masyarakat

13
D. MANFAAT PENELITIAN

Bagi perkembangan Ilmu Hukum:

1. Diharapkan penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan

mengembangkan ilmu hukum pada umumnya, khususnya dalam

bidang hukum tertentu, yaitu hukum kesehatan.

2. Diharapkan penelitian ini dapat memperluas kajian ilmu hukum

mengenai pelayanan kesehatan maksimal yang diberikan oleh

bidan.

Bagi pihak-pihak terkait:

1. Masyarakat: supaya masyarakat dapat lebih memahami tindakan

yang sesuai standar pelayanan yang diberikan oleh bidan..

2. Aparat penegak hukum: supaya aparat penegak hukum dapat lebih

memahami tataran ilmu hukum kesehatan dan tidak lagi mengalami

keraguan dalam menegakkan hukum tersebut.

3. Tenaga Kesehatan: supaya tenaga kesehatan dapat lebih berhati-

hati dalam menjalankan tugasnya

4. Penulis: supaya penulis mengerti, memahami, dan dapat lebih

mengembangkan ilmu yang ada padanya agar tidak terhenti pada

penelitian ini saja.

14
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pelayanan Kesehatan

Pelayanan kesehatan dapat dibedakan dalam dua golongan

yakni:11

1.
2. Pelayanan kesehatan primer (primary health care), atau
pelayanan kesehatan masyarakat adalah pelayanan kesehatan
yang paling depan, yang pertama kali diperlukan masyarakat pada
saat mereka mengalami gangguan kesehatan atau kecelakaan.
3. Pelayanan kesehatan sekunder dan tersier (secondary and tertiary
health care), adalah rumah sakit tempat masyarakat mendapatkan
perawatan lebih lanjut.

Pelayanan kesehatan masyarakat pada prinsipnya mengutamakan

pelayanan kesehatan promotif dan prefentiv. Pelayanan promotif adalah

upaya peningkatan kesehatan masyarakat kearah yang lebih baik lagi dan

prefentiv untuk mencegah agar masyarakat terhindar dari penyakit. Sebab

itu pelayanan kesehatan tidak hanya tertuju pada pengobatan individu

yang sedang sakit saja.

Dalam rangka menunjang terwujudnya pelayanan kesehatan yang

baik dan optimal, pemerintah menetapkan berlakunya standar pelayanan

medis di rumah sakit dan standar pelayanan rumah sakit. Standar

pelayanan medis tersebut merupakan sendi utama dalam upaya

peningkatan mutu pelayanan medis di Indonesia. Standar pelayanan


11
Juanita, Peran Asuransi Kesehatan dalam Benchmarking Rumah Sakit dalam
Menghadapi Krisis Ekonomi ,Univ. Sumatera Utara:PPS, 2002, hal. 2.

15
meedis ini merupakan hukum yang mengikat para pihak yang berprofesi di

bidang kesehatan, yaitu untuk mengatur pelayanan kesehatan dan untuk

mencegah terjadinya kelalaian staf medis dalam melakukan tindakan

medis.12

Rumah sakit adalah tempat untuk menyelenggarakan salah satu

upaya kesehatan yaitu upaya pelayanan kesehatan (health services).

Dalam Pasal 58 UU Kesehatan nomor 23 tahun 1992 yang telah dicabut

dinyatakan pula bahwa sarana kesehatan tertentu harus berbentuk badan

hukum antara lain rumah sakit. Ini berarti bahwa rumah sakit tidak dapat

diselenggarakan oleh orang perorangan (individu, natuurlijk persoon),

tetapi harus diselenggarakan oleh suatu badan hukum (rechts persoon)

yang dapat berupa perkumpulan, yayasan atau perseroan terbatas. 13 Akan

tetapi dalam UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit dijelaskan di

Pasal 20 dan Pasal 21 yang intinya menjelaskan bahwa rumah sakit

terbagi dua yakni Publik dan Privat, di mana rumah sakit publik dikelola

oleh pemerintah dan rumah sakit privat dikelola oleh badan hukum

dengan tujuan profit yang berbentuk perseroan terbatas atau persero.

Pelayanan kesehatan merupakan usaha yang dilakukan oleh

pemerintah bersama masyarakat dalam rangka meningkatkan,

memelihara, dan memulihkan kesehatan penduduk yang meliputi

pelayanan preventif, promosi, kuratif, dan rehabilitatif. Dalam arti sempit,

12
Bahder Johan Nasution, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, Jakarta: Rineka
Cipta, 2005, hal. 43.
13
Ibid. hal. 19

16
upaya itu dilakukan oleh lembaga-lembaga yang memberikan pengobatan

kepada seseorang yang sakit, dalam hal ini adalah rumah sakit. 14

Pelayanan kesehatan di rumah sakit diawali dengan sebuah

transaksi terapeutik antar dokter dengan pasien. Dalam upaya pelayanan

kesehatan rumah sakit, tenaga kesehatan seperti dokter, perawat,

radiology, terapi kerja, terapi fisik, laboratorium, ahli gizi dan petugas

sosial mempunyai hubungan langsung dengan pasien. Sebagaimana

yang digambarkan dalam diagram berikut :15

Keberhasilan upaya pelayanan kesehatan bergantung pada

ketersediaan sumber daya kesehatan berupa tenaga, sarana, dan

prasarana dalam jumlah dan mutu yang memadai. Rumah sakit

merupakan salah satu sarana kesehatan yang diselenggarakan baik oleh

pemerintah maupun masyarakat. Pelayanan kesehatan sebagai kegiatan

utama rumah sakit menempatkan dokter dan perawat sebagai tenaga

kesehatan yang dekat hubungannya dengan pasien dalam penanganan

penyakit. Sebagai salah satu sarana kesehatan, rumah sakit berdasarkan

ketentuan Pasal 5 Kepmenkes 983/1992 mempuyai fungsi :

1. Menyelenggarkan pelayanan medis;


2. Menyelenggarakan pelayanan penunjang medis dan non medis;
3. Menyelenggarakan pelayanan dan asuhan keperawatan;
4. Menyelenggarakan pelayanan rujukan;
5. Menyelenggarakan penelitian dan pengembangan;
6. Menyelenggarakan administrasi umum dan keuangan.

14
Sri Praptianingsih, Op. Cit. Hal.19.
15
Ibid. hal. 30

17
Standar pelayanan rumah sakit berkaitan dengan kemampuan

rumah sakit memberikan layanan kesehatan sesuai dengan kualifikasinya.

Konsekuensinya, terhadap penyakit pasien dengan penderitaan/penyakit

yang termasuk dalam kompetensi kualifikasinya, wajib bagi rumah sakit

untuk memberikan pelayanan kesehatan dengan sebaik-baiknya sesuai

dengan hak pasien. Sebaliknya, apabila penyakit pasien diluar

kemampuan rumah sakit untuk menangani, wajib bagi rumah sakit untuk

merujuknya kerumah sakit yang mempunyai sarana dan prasarana yang

diperlukan sesuai dengan kebutuhan berdasarkan penyakit pasien.

B. Tinjauan umum mengenai Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

Tindak pidana merupakan salah satu istilah untuk menggambarkan

suatu perbuatan yang dapat dipidana. Selain istilah tindak pidana, ada

yang memakai istilah peristiwa pidana, perbuatan pidana, pelanggaran

pidana maupun perbuatan yang dapat di hukum.

Prodjodikoro memberikan definisi tindak pidana sebagai “suatu

perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan pidana”16 sedangkan untuk

dapat disebut sebagai tindak pidana, Moeljatno mensyaratkan 3 unsur

yang harus dipenuhi, yaitu :

1. Adanya perbuatan (manusia)


2. Memenuhi rumusan Undang-undang
16
Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 2000, hal 60

18
3. Bersifat melawan hukum17

Saeur menyebut adanya “Trias dalam Hukum Pidana” yaitu sifat

melawan hukum perbuatannya, kesalahan dan pidana 18. Sifat melawan

hukum perbuatan merupakan syarat materiil karena perbuatan yang

dilakukan tersebut oleh masyarakat betul-betul dirasakan sebagai

perbuatan yang tidak patut dilakukan. Sedangkan tentang memenuhi

rumusan Undang-undang merupakan syarat formil yang harus dipenuhi

sebagai konsekuensi adanya asas legalitas dalam hukum pidana 19. Asas

legalitas menentukan bahwa tiap-tiap perbuatan pidana harus ditentukan

sebagai demikian oleh suatu aturan atau setidak-tidaknya oleh suatu

hukum yang telah ada dan berlaku bagi terdakwa sebelum orang dapat

dituntut untuk dipidana karena perbuatannya 20.

Asas legalitas ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, yang berbunyi :

“Tiada suatu perbuatan yang dapat di pidana, melainkan atas kekuatan


ketentuan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum
perbuatan itu terjadi”.
Inti dari ketentuan tersebut adalah :

1. Ketentuan dari hukum pidana harus tertulis (dirumuskan dalam

undang-undang)

2. Ketentuan hukum pidana tidak boleh berlaku surut (retro-aktif)

17
Masruchin Ruba’i (I), Asas-asas Hukudengan FH Unibraw, Malang, 2001, hal. 21
18
Masruchin Ruba’i (II),IKIP Malang, 1997, hal. 1
19
Masruchin Ruba’I (II),Op Cit
20
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 2000

19
Konsekuensi dari hukum pidana harus tertulis adalah :

Pertama, suatu perbuatan yang tidak dicantumkan sebagai tindak

pidana dalam Undang-undang tidak dapat dipidana.

Kedua, dalam hukum pidana tidak boleh dilakukan penafsiran analogi.

Penafsiran analogi adalah memperluas berlakunya suatu peraturan

dengan mengabstrakannya secara rasio dari suatu peraturan dan

kemudian menerapkan pada perbuatan konkret lainnya yang tidak diatur

dalam Undang-undang21.

Larangan asas retro-aktif dapat disimpangi apabila dilakukan

perubahan Undang-Undang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat

(2) KUHP, yang berbunyi :”Jika sesudah perbuatan dilakukan ada

perubahan dalam perundang-undangan, dipakai aturan yang paling

meringankan terdakwa”22.

Aturan yang meringankan terdakwa ini tidak saja terkait dengan

ancaman pidananya saja, tetapi juga dapat diartikan dalam peristiwa in

concreto, misalnya : Suatu tindak pidana ancaman yang diperberat

dijadikan tindak pidana aduan, maka berlaku aturan tindak pidana aduan

yang secara konkrit lebih ringan karena bila tidak ada pengaduan si

pelaku tidak dapat dituntut berdasarkan peraturan yang baru tersebut 23.

Moeljatno mengartikan asas legalitas sebagai 24 :


21
Masruchin Ruba’i (I),, op. Cit., hal. 11-12
22
Ibid.
23
Ibid.
24
Moeljatno, op.cit., hal. 25

20
a. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana
kalau perbuatan itu belum dinyatakan dalam suatu aturan
Undang-Undang
b. untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh dilakukan
analogi (kiyas)
c. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut

2. Perbedaan Kesengajaan dan Kealpaan

Perbuatan pidana dapat bersifat kesengajaan atau kealpaan.

Berdasarkan doktrin ilmu pidana, tindak pidana dalam praktik

kedokteran juga harus dipisahkan apakah masuk dalam delik dolus atau

delik culpa.

Menurut Dahlan, tindak pidana yang bersifat kesengajaan adalah

perbuatan pidana yang dilakukan berdasarkan kehendak bathin atau

sengaja untuk melakukan perbuatan pidana tersebut.

Mengenai kesengajaan, KUHP tidak menjelaskan apa arti

kesengajaan tersebut. Dalam Memorie van Toelichting (MvT),

kesengajaan diartikan yaitu melakukan perbuatan yang dilarang, dengan

dikehendaki dan diketahui25.

Moeljatno menyatakan bahwa kesengajaan merupakan tindakan

yang secara sadar dilakukan dengan menentang larangan sedangkan

kealpaan adalah kekurang perhatian pelaku terhadap obyek dengan tidak

disadari bahwa akibatnya merupakan keadaan yang dilarang. Dengan

25
Moeljatno, op.cit., hal. 171

21
demikian kesalahan yang berbentuk kealpaan pada hakekatnya adalah

sama dengan kesengajaan hanya berbeda gradasi saja 26.

Van Hamel menyatakan bahwa suatu perbuatan merupakan

kealpaan bila dipenuhi 2 syarat, sebagai berikut :

1. Tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan oleh

hukum.

2. Tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh

hukum27.

Moeljatno menjelaskan bahwa “tidak mengadakan penduga-duga

menurut hukum” dapat terjadi dalam 2 bentuk, yaitu :

1. Terdakwa berpikir bahwa tidak akan terjadi akibat perbuatannya,


padahal pandangan tersebut tidak benar. Hal ini berarti bahwa
kesalahan terletak pada salah pikir atau salah pandang terdakwa.
2. Terdakwa sama sekali tidak memikirkan bahwa perbuatannya akan
dapat menimbulkan akibat yang dilarang. Ini merupakan sikap yang
berbahaya, karena penindak tidak memiliki pikiran sama sekali
akan akibat dari perbuatannya28.

Mengenai frasa “tidak mengadakan penghati-hati menurut hukum”,

Moeljatno merujuk kepada pendapat beberapa pakar sebagai berikut :

1. Van Hamel berpendapat bahwa dalam melakukan perbuatannya


terdakwa tidak mengadakan penelitian, kebijaksanaan, kemahiran
atau usaha pencegah yang seharusnya dilakukannya pada

26
Ibid., hal. 199
27
Moeljatno, op.cit., hal 201
28
Ibid., hal. 202

22
keadaan-keadaan tertentu. Perbuatan yang dilakukan terdakwa
seharusnya mengacu pada ukuran-ukuran yang berlaku pada
masyarakat tempat terdakwa berasal.
2. Langemayer menyatakan bahwa penghati-hati berkaitan dengan
standar tertentu yang berlaku dalam pekerjaan petindak ataupun
berkaitan dengan keahliannya29.

Moeljatno berpendapat bahwa kedua syarat tersebut selalu saling

berkait, yang harus dibuktikan oleh jaksa, karena barangsiapa dalam

melakukan suatu perbuatan tidak mengadakan penghati-hati seperlunya,

maka dia juga tidak menduga-duga akan terjadinya akibat karena

kelakuannya.

Menurut Teori Hukum Pidana, kealpaan diartikan sebagai suatu

kesalahan yang terjadi akibat kurang berhati-hati sehingga secara tidak

sengaja mengakibatkan terjadinya sesuatu kerugian pada korban.

Kealpaan dapat dibagi menjadi 2 (dua) bentuk, yaitu :

1. Kealpaan ringan (Culpa Levis)

2. Kealpaan berat (Culpa Lata)30.

Dalam melakukan penilaian ada tidaknya kealpaan, ada 2 persyaratan

yang harus dipenuhi, yaitu keadaan psikis pelaku dan sikap tindaknya

secara lahiriah. Tolak ukur tindakan yang digunakan bagaimana pelaku

tersebut berbuat bila dibandingkan dengan ukuran yang umum di

lingkungan pelaku.

29
Moeljatno, op.cit., hal 204
30
Harjo Wisnoewardono (I), Fungsi Medical record sebagai Alat Pertanggungjawaban Pidana Dokter
terhdap Tuntutan Malpraktik, Arena Hukum No. 17, FH Inbraw, Malang, Juli 2002, hal. 163

23
Menurut Wiradharma, kealpaan memiliki gradasi sebagai berikut :

1. Culpa lata atau kelalaian berat. Kesalahan ini disebabkan oleh


kekurang hati-hatian yang menyolok. Untuk menentukan gradasi
kesalahan ini, harus membandingkan perbuatan petindak dengan
perbuatan rata-rata orang lain yang segolongan dengan petindak.
Bila perbuatan petindak berbeda dengan perbuatan rata-rata
tersebut dalam menangani suatu keadaan, maka petindak masuk
dalam kategori culpa lata ini.
2. Culpa levis atau kelalaian ringan. Adanya kelalaian ini dinilai
dengan membandingkan perbuatan petindak dengan perbuatan
orang yang lebih ahli dari golongan si petindak. Perlakuan yang
berbeda antara petindak dengan orang yang lebih ahli
menunjukkan adanya kelalaian ringan si petindak31.

Wisnoewardono menyatakan bahwa suatu tindakan yang lalai

adalah tindakan sembrono yang menimbulkan akibat yang keliru atau

tidak tepat menurut KUHP. Sianturi menyebutkan bahwa dalam Memorie

van Toelichting (MvT) dijelaskan bahwa kealpaan dapat terjadi jika pelaku:

1 Kekurangan pemikiran (penggunaan akal yang diperlukan)


2 Kekurangan pengetahuan (ilmu) yang diperlukan
3 Kekurangan kebijaksanaan (beleid) yang diperlukan43

Bekhouwer dan Vorstman yang menyatakan bahwa suatu

kesalahan disebabkan karena 3 hal, yakni:

1. Kekurangan pengetahuan (Onvoldoende Kennis)

31
Danny Wiradharma, Penuntun Kuliah Kedokteran dan Hukum Kesehatan., Penerbit Buku Kedokteran
EGC, Jakarta, 1999, hal. 101

24
2. Kekurangan pengalaman (Onvoldoende Ervaring)

3. Kekurangan pengertian (Onvoldoende Inzicht)

C. Pengertian dan Dasar Hukum Kesehatan

1. Ruang Lingkup Hukum Kesehatan

Kesehatan adalah hak semua manusia yang bersendi pada lima

norma kesepakatan internasional yang menjadi kegiatan PBB, WHO, WMA.

Kelima norma tersebut adalah Social defence, Social security, Social

welfare, Social Policy yang bersendi Human Right sebagai asas universal32.

Dengan demikian, sumber hukum kesehatan adalah “Lex specialis” bukan

kodifikasi hukum pidana atau kodifikasi hukum perdata dan bukan pula

hukum perlindungan konsumen33.

Kesalahan persepsi dasar hukum kesehatan yang bersumber dari

kodifikasi hukum perdata atau pidana mengakibatkan pelecehan hukum

kesehatan dan profesi kesehatan sehingga dapat membahayakan

pembangunan bidang kesehatan di Indonesia.

Hukum kesehatan termasuk “lex specialis” melindungi secara

khusus tugas profesi kesehatan (provider) dalam program pelayanan

kesehatan manusia menuju ke arah tujuan deklarasi “Health for All” dan

perlindungan secara khusus terhadap pasien untuk mendapat pelayanan

kesehatan.

32
Nusye KL Jayanti.2009.Penyelesaian hukum dalam malpraktik Kedokteran.yogyakarta
33
Ibid. Hal 14

25
Hukum kesehatan eksistensinya masih sangat relatif baru

perkembangannya di Indonesia yang semula dikembangkan oleh Fred

Ameln dan Alm. Oetama dalam bentuk ilmu hukum Kedokteran34.

Ruang lingkup hukum kesehatan:35

1. Hukum medis (Medical law)

2. Hukum keperawatan (Nurse law)

3. Hukum rumah sakit (Hospital law)

4. Hukum perlindungan konsumen (Consumer law)

5. Hukum pencemaran lingkungan

6. Hukum keselamatan kerja

7. dan peraturan-peraturan lainnya yang ada kaitan langsung yang

dapat mempengaruhi kesehatan manusia.

Upaya peningkatan kualitas hidup manusia di biang kesehatan,

merupakan suatu usaha yang sangat luas dan menyeluruh, usaha tersebut

meliputi peningkatan kesehatan masyarakat baik fisik maupun non-fisik. Di

dalam Sistem Kesehatan Nasional disebutkan, bahwa kesehatan

menyangkut semua segi kehidupan yang ruang lingkup dan jangkauannya

sangat luas dan kompleks36. Hal ini sejalan dengan pengerian kesehatan

yang diberikan oleh dunia internasional sebagai: A state of complete

34
Amir Ilyas.2010.Hukum Korporasi Rumah Sakit.Yogyakarta
35
J.Guwandi,2005,Hukum Medik (Medical Law),Balai Penerbit FKUI,Jakarta
36
dr.Bahder Johan.2013.Hukum Kesehatan,Jakarta

26
physical, mental, and social, well being and not merely the absence of

desease or infirmity37.

Mengingat bahwa upaya kesehatan harus dilaksanakan secara

serasi dan seimbang oleh pemerintah dan masyarakat, sudah barang tentu

pemerintah diharapkan lebih mampu menghadapi tugasnya agar dapat

mengatur secara baik masalah yang menyangkut dengan kesehatan. Untuk

itu masalah organisasi dan manajemen kesehatan harus selalu mendapat

perhatian yang sungguh-sungguh.

Fakta yang sering terjadi dalam malapraktik, misalnya38:

1. Dirut RSU di Bekasi, dr. HU bersama stafnya dr. Htt dari UGD
diperiksa Polres Bekasi berkaitan dengan tewasnya AS (19
Tahun) setelah menjalani operasi. Kedua dokter tersebut diduga
melakukan malpraktik. Sebelumnya AS sudah dua minggu
dirawar di rumah sakit tersebut akibat luka parah karena bacokan
di sekujur tubuhnya.dr. htt dipersalahkan karena tidak melapor
kepada kepolisisan atas kematian AS untuk dilakukan autopsi
seperti yang diatur dalam KUHP, tetapi langsung diserahkan
kepada keluarga untuk dimakamkan. Dugaan keluarga, AS
meninggal akibat operasi.
2. Kasus Dr.Sty dari Pati yang melakukan diagnosis dan terapi
pasien (korban), dianggap secara hukum melakukan kelalaian
atau kesalahan oleh Pengadilan Negeri dan Pengadilan tinggi.
Sebaliknya menurut dasar ilmu hukum dalam menentukan
“ukuran lalai”, dr.sty dianggap tidak terbukti melakukan kesalahan
tersebut sehingga dibebaskan oleh putusan Mahkamah Agung.

37
Koeswadji.1992
38
Nusye KL Jayanti.2009.Penyelesaian hukum dalam malpraktik Kedokteran.yogyakarta

27
Akibat putusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi maka dr.sty

selama hampir empat tahun menjadi korban hukum, sebelum putusan

inkraht oleh Mahkamah Agung.

Medical practice (praktik kedokteran) merupakan hasil pelayanan

kesehatan yang tidak mengecewakan dan upaya optimal terhadap

keinginan pasien. Sebaliknya, medical malpratice (malpraktik kedokteran)

merupakan pelayanan kesehatan yang mengecewakan pasien karena

kurang atau tidak berhasil menurut keinginan pasien39.

Kesalahpahaman dan perbedaan presepsi tentang terjadi nya

medical malpractice (malpraktik kedokteran) inilah yang menghambat

kelancaran tugas profesi kesehatan. Peristiwa terjadinya malapraktik juga

menjadi bagian dari tanggung jawab rumah sakit (respondent hospital

liability)40.

Proses medical liability dan respondent hospital liabilitydalam lingkup

hukum kesehatan yang bersifat lex specialis mendalilkan pada “meical

defences profession of justice” sebagai peradilan profesi kesehatan yang

dapat dilakukan oleh organisasi profesi kesehatan dan pimpinan rumah

sakit yang bersangkutan.

39
ibid
40
ibid

28
Tugas pelayanan kesehatan yang menuju pada masyarakat

sejahtera menjadi tanggung jawab pemerintah bersama-sama dengan

masyarakat itu sendiri.

2. Bidan

Keberadaan bidan di Indonesia sangat diperlukan untuk

meningkatkan kesejahteraan ibu dan janinnya. Pelayanan kebidanan

berada dimana-mana dan kapan saja selama ada proses reproduksi

manusia.

Ada beberapa pengertian bidan, Dari berbagai pengertian dapat

disimpulkan bahwa bidan adalah profesi yang khusus, dinyatakan suatu

pengertian bahwa bidan adalah orang pertama yang melakukan

penyelamat kelahiran sehingga ibu dan bayinya lahir dengan selamat.

Tugas yang diemban oleh bidan, berguna untuk kesejahteraan manusia.

Dengan demikian pengertian masyarakat, pasti ada kelahiran ada bidan.

Pada saat ini, pengertian bidan adalah seseorang yang telah

menyelesaikan pendidikan kebidanan yang diakui dan mendapatkan

lisensi untuk melaksanakan praktek kebidanan. Pelayanan kebidanan

adalah pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari

pelayanan kesehatan yang diberikan kepada ibu dalam kurun waktu masa

reproduksi dan bayi baru lahir.

Bidan sebagai profesi memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

29
1. Mengembangkan pelayanan kepada masyarakat.
2. Anggota-anggotanya dipersiapkan melalui suatu program
pendidikan yang ditujukan untuk maksud profesi yang
bersangkutan.
3. Memiliki serangkaian pengetahuan ilmiah.
4. Anggota-anggotanya menjalankan tugas profesinya sesuai
dengan kode etik yang berlaku.
5. Anggota-anggotanya wajar menerima imbalan jasa atas
pelayanan yang diberikan.
6. Anggota-anggotanya bebas mengambil keputusan dalam
menjalankan profesinya.
7. Memiliki suatu organisasi profesi yang senantiasa
meningkaaatkan kualitas pelayanan yang diberikan kepada
masyarakat oleh anggotanya.

Dari pernyataan diatas terlihat bahwa bidan mempunyai tugas

penting dalam memberikan bimbingan, asuhan dan penyuluhan kepada

ibu hamil, persalinan, nifas dan menolong persalinan dengan tanggung

jawabnya sendiri serta memberikan asuhan pada bayi yang baru lahir.

Asuhan ini berupa tindakan pencegahan, deteksi kondisi abnormal

ibu dan anak, usaha mendapatkan bantuan medik dan melaksanakan

tindakan kedaruratan di mana tidak ada tenaga medis. Dia mempunyai

tugas penting dalam pendidikan dan konseling tidak hanya untuk klien,

tetapi juga keluarga dan masyarakat. Tugas ini meliputi pendidikan

antenal, persiapan menjadi orang tua dan meluas ke bidang tertentu dari

ginekologi, keluarga berencana dan asuhan terhadap anak.

3. Etik Kebidanan

Istilah etik pada awalnya bersumber dari istilah Latin yang

merupakan paduan dari istilah mores of community dan ethos of the people

30
yang dapat diartikan dengan kesopanan suatu masyarakat dan akhlak

manusia. Konsep ini kemudian berkembang terutama di kalangan

masyarakat pengemban profesi. Nilai-nilai yang merupakan mores dan

ethos tersebut kemudian oleh kalangan profesi dirumuskan dan dikodifikasi

sehingga melahirkan suatu code of conduct atau kode etik. Di kalangan

masyarakat pengemban profesi kesehatan kode etik ini dikenal dengan

sebutan kode etik kebidanan41.

Dalam praktiknya apa yang dimaksud dengan etik kedokteran ini,

mempunyai dua sisi di mana satu sama lain saling terkait dan saling

pengaruh-mempengaruhi. Kedua sisi tersebut adalah: Pertama, etik jabatan

atau yang dikenal dengan istilah medical ethics, yaitu menyangkut masalah

yang berhubungan dengan sikap para dokter terhadap sejawatnya, sikap

dokter terhadap pembantunya dan sikap dokter terhadap masyarakat dan

pemerintah. Kedua, etik asuhan atau yang dikenal dengan sebutan ethics

of the medical care, yaitu, merupakan etik kedokteran dalam kehidupan

sehari-hari mengenai sikap dan tindakan seorang dokter terhadap penderita

yang menjadi tanggung jawabnya42.

Etik kedokteran mengacu dan berlandaskan atas asas-asas etik

yang mengatur hubungan antara manusia. Hubungan tersebut memiliki

akar dalam filsafat masyarakat yang diterima dan dikembangkan terus

dalam masyarakat tersebut. Artinya secara filosofis dalam kehidupan

41
dr.Bahder Johan.2013.Hukum Kesehatan,Jakarta
42
ibid

31
masyarakat tersebut terkandung nilai-nilai etik yang menjiwai dan memberi

arti bagi kehidupan masyarakat. Jadi, jelas terlihat baha etik termasuk salah

satu wilayah penyelidikan filsafat dalam bidang moral43.

Jika nilai-nilai etik kedokteran itu menjiwai sikap dan perilaku dokter

dan mempedomaninya dalam setiap sikap dan tindakannya sehari-hari,

nilai etik itu kemudian akan membawanya pada suatu konsekuensi tentang

keyakinannya mengenai bagaimana ia harus berbuat dan bersikap. Nilai

etik senantiasa ingin menempatkan diri dengan membei warna dan

pertimbangan terhadap siakp dan perilaku dokter dalam memasyarakatkan

dan memberi pedoman tentang mana yang dianggap baik, buruk, benar,

dan salah44.

- Unsur Etika45

1. Nilai :

 Pra-moral : tidak/belum merujuk pada suatu norma konkrit

perilaku manusia; misalnya: kesehatan,kehidupan,integritas

fisik, seksualitas.

 Moral : mengharuskan manusia melakukan/merujuk sesuatu

tindakan konkrit pada suatu norma konkrit; misalnya :

kesetiaan yaitu untuk menepati janji, keadilan yakni kesediaan

menghargai hak orang lain.


43
ibid
44
ibid
45
dr.Nasruddin Dkk.2010.Bioetika,Hukum Keokteranm dan Hak asasi manusia,Makassar

32
2. Norma = prinsip dasar :

 Proposisi (“dalil”) pemindah nilai ke tingkat kehidupan konkrit,

baik fungsi positi atau negati.

 Ungkapan teknis pengalaman etis manusia

 Generalisasi relevan tentang apa yang secara normal

relevan.

- Pembagian teori etika46

Ditinjau dari segi inti :

1. Etika kebijaksanaan :

a. Dasar agama/kepercayaan : moralitas agama non-samawi.

b. Dasar filsafat : etika kebahagiaan (Yunani).

2. Etika kewajiban :

a. Dasar agama : moralitas agama samawi (etika teonom)

b. Dasar filsafat : Immanuel Kant (etika otonom).

Ditinjau dari segi metodologinya :

1. Etika Substantif

Dasarnya etika kebijaksanaan atau etika kewajiban

2. Etika Prosedural :

a. Dasar keadilan : contoh John Rawls

b. Dasar Komunikasional : contoh Juergen Habermas

Ditinjau dari segi subyek pelaksanaannya :


46
ibid

33
1. Etika maksim (prinsip subyektif bertindak, sikap dasar hati nurani

ketika bersikap-tindak-perilaku-konkrit).

Misalnya etika kebijaksanaan. Bisa dilihat konteksnya,

keterarahannya pada maksim tertentu yang merangkai dalam

satu jalinan makna (seperti tanggungjawab), dapat

memperlihatkan watak seseorang dan dapat membedakan

antara legalitas dan moralitas.

2. Etika norma-norma

Dasarnya ialah peraturan-peraturan (hukum) sehingga tak bisa

membedakan legalitas-moralitas.

Ada tiga pendekatan dalam melakukan analisis etika: normatif,

praktis dan non normatis. Pendekatan secara normatif maksudnya adalah

apa yang harus dilakukan. Pendekatan etika praktis maksudnya adalah apa

yang paling banyak dilakukan oleh orang. Sedangkan pendekatan non

normatis lebih pada upaya untuk menyususn secara faktual apa yang

sebenarnya terjadi. Non normatis merupakan suatu deskripsi tentang apa

yang sebenarnya terjadi47.

D. Praktik kebidanan

Bidan mempunyai lingkup kerja yang luas di bidang kesehatan.

Selama ini kewenangan bidan memang lebih banyak dikenal melayani

kesehatan ibu hamil, melahirkan dan menangani bayi atau balita. Namun

47
ibid

34
ternyata kewenangan bidan tak hanya menyangkut hal-hal tersebut.

Seiring perjalanan waktu, kewenangan bidan semakin diperluas. Mulai

dari menangani kesehatan reproduksi, program Keluarga Berencana (KB)

hingga ikut dalam pencegahan penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika

dan Zat Adiktif (Napza).

Kembali ke ruang lingkup kerja bidan, Peraturan Menteri Kesehatan

Nomor 1464/Menkes/PER/X/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan

Praktik Bidan disebutkan sejumlah kewenangan utama bidan. Adapun

kewenangan utama bidan dalam Permenkes yaitu:

a) Pelayanan Kesehatan Ibu

Pelayanan kesehatan ibu diberikan oleh bidan dari sejak masa pra

hamil, kehamilan, masa persalinan, masa nifas, masa menyusui dan masa

antara dua kehamilan. Pelayanan kesehatan ibu meliputi:

meliputi:

 Pelayanan konseling pada masa pra hamil


 Pelayanan antenatal (layanan kesehatan untuk ibu hamil
oleh tenaga kesehatan sesuai dengan standar yang
ditetapkan) pada kehamilan normal
 Pelayanan persalinan normal
 Pelayanan ibu menyusui
 Pelayanan konseling pada masa antara dua kehamilan
Pelayanan kesehatan ibu penting bagi perempuan sejak sebelum

hamil atau saat merencanakan kehamilan. Berbagai persoalan seperti

sulitnya mengandung atau bagaimana membuat program kehamilan

memerlukan dukungan dari orang lain maupun bidan. Demikian pula saat

35
masa kehamilan. Faktor minimnya pengetahuan ibu, ekonomi, sosial,

budaya sangant berpengaruh pada cara setiap ibu menjaga dan merawat

kandungannya. Yang pada akhirnya akan sangat berpengaruh pada

kesehatan bayi yang ia lahirkan. Sebab tak semua ibu hamil memahami

hal itu. Kondisi-kondisi seperti naiknya kadar gula darah, tekanan darah

yang akan berpengaruh pada ibu hamil dapat saja muncul di luar dugaan.

Atau misalnya pengaruh fisik dan psikis bagi ibu hamil. Layanan konseling

dan antenatal bagi ibu hamil yang diberikan bidan sangat berperan

penting.

Layanan antenatal bertujuan untuk memberi perlindungan bagi ibu

hamil. Karena dapat mendeteksi dini faktor risiko, pencegahan dan

penanganan komplikasi. Pada saat melahirkan bidan berperan sebagai

penolong utama. Namun khusus bagi kelahiran normal, bila ternyata

kehamilannya berisiko maka dapat dirujuk ke RS atau dokter spesialis.

Selanjutnya pasca melahirkan, pasien juga tak dilepas begitu saja. Sebab

masih ada masa nifas dan menyusui yang membutuhkan dukungan dari

bidan. Bidan dapat mengajarkan hal-hal seperti cara menyusui yang tepat

bagi anak, cara merawat payudara, gizi bagi ibu nifas dan sebagainya.

Layanan apa saja yang dapat diberikan bidan di bidang kesehatan ibu

sedianya telah diatur dalam peraturan perundang-undangan.

b) Pelayanan Kesehatan Anak

36
Tidak hanya ibu yang berhak mendapat pelayana kesehatan dari

bidan. Anak juga mempunyai hak yang sama. Pelayanan kesehatan akan

diberikan pada bayi baru lahir, bayi, anak balita, dan anak pra sekolah.

Dalam memberi pelayanan kepada anak, bidan mempunyai

kewenangan sebagai berikut:

 Melakukan asuhan bayi baru lahir normal termasuk


resusitasi (upaya menyediakan oksigen ke otak, jantung,
dan organ-organ vital lainnya melalui tindakan yang meliputi
pemijatan jantung dan menjamin ventilasi yang adekwat),
pencegahan hipotermi (suhu badan dibawah normal), inisiasi
menyusui dini, injeksi vitamin K 1, perawatan bayi baru lahir
pada masa neonatal (0-28 hari), dan perawatan tali pusat.
 Penanganan hipotermi pada bayi baru lahir dan segera
merujuk.
 Penanganan kegawatdaruratan, dilanjutkan dengan
perujukan.
 Pemberian imunisasi rutin sesuai program pemerintah.
 Pemantauan tumbuh kembang bayi, anak balita dan anak
pra sekolah.
 Pemberian konseling dan penyuluhan.
 Pemberian surat keterangan kelahiran, dan pemberian surat
keterangan kematian.
Dalam upaya memberi pelayanan kesehatan pada anak, bidan

memberi promosi kesehatan melalui ibu, ayah atau keluarga bayi.

c) Pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga

berencana (kontrasepsi oral dan komdom)

Bidan sangat berperan dalam mempromosikan bagaimana

menjaga kebersihan organ reproduksi perempuan. Serta pentingnya

promosi pemeriksaan dini untuk mendeteksi penyakit kanker serviks atau

payudara. Karena meskipun masalah kesehatan reproduksi seperti kanker

37
kerap menjadi penyebab kematian, namun dapat dicegah dan diobati bila

penyakit dapat diketahui sedini mungkin.

Adapun mengenai pelayanan KB, bidan berperan dalam promosi

pentingnya KB lewat penggunaan kontrasepsi. Mengingat potensi ledakan

penduduk yang terjadi saat ini. Bidan dapat memberi motivasi pada pada

kelurga mengenai manfaat program serta memberi konseling tentang alat

kontrasepsi apa yang tepat dan nyaman untuk digunakan.

Terkait layanan kesehatan reproduksi dan KB, peraturan menteri

kesehatan menyebutkan kewajiban bidan untuk memberi layanan

penyuluhan dan konseling kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga

berencana, serta memberikan alat kontrasepsi oral dan kondom.

38
E. Standar Pelayanan dan Standar Operasional Praktik Kebidanan

a) Standar Pelayanan Kebidanan

1. Standar I : Falsafah dan Tujuan.

Pengelola pelayanan kebidanan memiliki visi, misi, filosofi dan

tujuan pelayanan serta organisasi pelayanan sebagai dasar untuk

melaksanakan tugas pelayanan yang efektif dan efisien.

Defenisi oprasional :

a. Pengelola pelayanan kebidanan memiliki visi, misi dan

filosofi pelayanan kebidanan yang mengacu pada visi, misi

dan filosofi masing-masing.

b. Ada bagian struktur organisasi yang menggambarkan garis

komando, fungsi dan tanggung jawab serta kewenangan

dalam pelayanan kebidanan dan hubungan dengan unit lain

dan di sahkan oleh pimpinan.

c. Ada uraian tertulis untuk setiap tenaga yang ada pada

organisasi yang disahkan oleh pimpinan.

d. Ada bukti tertulis tentang persyaratan tenaga yang

menduduki jabatan pada organisasi yang di sahkan oleh

pimpinan.

2. Standar II : Administrasi dan pengelolaan.

39
Pengelola pelayanan kebidanan memiliki pedoman pengelolaan

pelayanan, standar pelayanan, prosedur tetap dan pelaksanaan kegiatan

pengelolaan pelayanan yang kondusif yang memungkinkan terjadinya

praktik pelayanan kebidanan akurat.

Defenisi operasaional :

a. Ada pedoman pengelolaan pelayanan yang mencerminkan

mekanisme kerja di unit pelayanan tersebut yang disahkan

oleh pimpinan.

b. Ada standar pelayanan yang dibuat mengacu pada pedoman

standar alat, standar ruangan, standar ketenagaan yang telah

di sahkan pimpinan.

c. Ada prosedur tetap untuk setiap jenis kegiatan/tindakan

kebidanan yang di sahkan oleh pimpinan.

d. Ada rencana/program kerja di setiap institusi pengelolaan

yang mengacu ke institusi induk.

e. Ada bukti tertulis terselenggaranya pertemuan berkala secara

teratur, dilengkapi dengan daftar hadir dan notulen rapat.

f. Ada naskah kerja sama, program praktik dari institusi yang

menggunakan satu lahan praktik, program, pengajaran klinik

dan penilaian klinik. Ada bukti administrasi yang meliputi buku

registrasi.

3. Standar III : Staf dan Pimpinan.

40
Pengelola pelayanan kebidanan mempunyai program pengelolaan

sumber daya manusia, agar pelayanan kebidanan berjalan efektif dan

efisien.

Defenisi operasional :

a. Ada program kebutuhan Somber Daya Manusia (SDM)

sesuai dengan kebutuhan.

b. Mempunyai jadwal pengaturan kerja harian.

c. Ada jadwal dinas yang menggambarkan kemampuan tiap-tiap

per unit yang menduduki tanggung jawab dan kemampuan

yang dimiliki oleh bidan.

d. Ada seorang bidan pengganti dengan tperan dan fungsi yang

jelas dan kualifikasi minimal selaku kepala ruangan bila

kepala ruangan berhalangan bertugas.

e. Ada data personil yang bertugas diruangan tersebut.

4. Standar IV : Fasilitas dan Peralatan.

Tersedia sarana dan peralatan untuk mendukung pencapaian

tujuan pelayanan kebidanan sesuai dengan beban tugasnya dan fungsi

institusi pelayanan.

Defenisi operasional :

a. Tersedia peralatan yang sesuai dengan standar dan ada

mekanisme keterlibatan bidan dalam perencanaan dan

perkembangan sarana dan prasarana.

41
b. Ada buku inventaris peralata yang mencerminkan jumlah

barang dan kualitas barang.

c. Ada pelatihan khusus untuk bidan tentang penggunaan-

penggunaan alat tertentu.

d. Ada prosedur permintaan dan penghapusan alat.

5. Standar V : Kebijaksanaan dan Prosedur.

Pengelola pelayanan kebidanan memiliki kebijakan dalam

penyelenggaraan pelayanan dan pembinaan persenil menuju pelayanan

yang berkualitas.

Defenisi operasional :

a. Ada kebijaksanaan tertulis tentang prosedur pelayanan dan

standar pelayanan yang di sahkan oleh pimpinan.

b. Ada prosedur personalia : penerimaan pegawai, kontrak

kerja, haka dan kewajiban personalia.

c. Ada personalia pengajuan cuti personil, istirahat, sakit dan

lain-lain.

d. Ada prosedur pembinaan personal.

6. Standar VI : Pengembangan staf dan program pendidikan.

Pengelola pelayanan kebidanan memiliki program pengembangan

dan perencanaan pendidikan, sesuai dengan kebutuhan pelayanan.

Defenisi operasional :

42
a. Ada program pembinaan staf dan program pendidikan

secara berkesinambungan.

b. Ada program pelatihan dan orientasi bagi tenaga

bidan/personil baru dan lama agar dapat beradaptasi

dengan pekerjaan.

c. Ada data hasil identifikasi kebutuhan pelatihan dan evaluasi

hasil pelatihan.

7. Standar VII : Standar Asuhan.

Pengelola pelayanan kebidanan memiliki standar asuhan atau

manajemen kebidanan yang diterapakan sebagai pedoaman dalam

memberikan pelayanan kepada pasien.

Defenisi operasional :

a. Ada standar manajemen kebidanan (SMK), Sebagai

pedoman dalam mebeikan pelayanan kebidanan.

b. Ada format manajemen kebidanan yang terdaftar pada

catatan medik.

c. Ada pengkajian asuhan kebidanan bagi setiap klien.

d. Ada diagnosa kebidanan.

e. Ada rencana asuhan kebidanan.

f. Ada dokumen tertulis tentang tindakan kebidanan.

g. Ada evaluasi dalam memberikan asuhan kebidanan.

h. Ada dokumentasi untuk kegiatan manajemen kebidanan.

43
8. Standar VIII : Evaluasi dan pengendalian mutu.

Pengelola pelayanan kebidanan memiliki program dan pelaksanaan

dalam evaluasi dan pengendalian mutu pelayanan kebidanan yang

dilaksanakan secara berkesinambungan.

Defenisi operasional :

a. Ada program atau rencana tertulis peningkatan mutu

pelayanan kebidanan.

b. Ada program atau rencana tertulis untuk melakukan

penilaian terhadap standar asuhan kebidanan.

c. Ada bukti tertulis dari risalah rapat sebagai hasil dari

kegiatan pengendalian mutu asuhan dan pelayanan

kebidanan.

d. Ada bukti tertulis tentang pelaksanaan evaluasi pelayanan

dan rencana tindak lanjut.

e. Ada laporan hasil evaluasi yang dipublikasikan secara

teratur kepada semua staf layanan kebidanan.

b) Standar Praktik Kebidanan

1. Standar I : metode asuhan.

Asuhan kebidanan dilaksanakan dengan metode manajemen

kebidanan dengan langkah : pengumpulan data dan analisis data,

44
penentuan diagnosa perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan

dokumentasi.

Defenisi operasional :

a. Ada format manajemen kebidanan yang sudah terdaftar

pada catatan medis.

b. Format manajemen kebidanan terdiri dari: format

pengumpulan data, rencan format pengawasan resume dan

tindak lanjut catatan kegiatan dan evaluasi.

2. Standar II : Pengkajian.

Pengumpulan data tentang status kesehatan klien dilakukan secara

sistematis dan berkesinambungan. Data yang diperoleh dicatat dan di

analisis.

Defenisi operasional :

a. Ada format pengumpulan data.

b. Pengumpulan data dilakukan secara sistematis, terfokus,

yang meliputi data :

- Demografi identitas klien.

- Riwayat penyakit terdahulu.

- Riwayat kesehatan reproduksi.

- Keadaan kesehatan saat ini termasuk kesehatan

reproduksi.

- Analisis data.

45
c. Data dikumpulkan dari :

- Klien atau pasien, keluarga dan sumber lain.

- Tenaga kesehatan.

- Individu dalam lingkungan terdekat.

d. Data diperoleh dengan cara :

- Wawancara.

- Observasi.

- Pemeriksaan fisik.

- Pemeriksaan penunjang.

3. Standar III : Diagnosa kebidanan.

Diagnosa kebidanan dirumuskan berdasarkan analisis data yang

telah dikumpulkan.

Defenisi operasional :

a. Diagnosa kebidanan dibuat sesuai dengan kesenjangan

yang dihadapi oleh klien atau suatu keadaan psikoligis

yang ada pada tindakan kebidanan sesuai dengan

wewenang bidang dan kebutuhan klien.

b. Diagnosa kebidanan dirumuskan dengan padat, jelas

sistimatis mengarah pada asuhan kebidanan yang

diperlukan oleh klien.

4. Standar IV : Rencana asuhan.

46
Rencana asuhan kebidanan dibuat berdasrakan diagnosa

kebidanan.

Defenisi operasional :

a. Ada format rencana asuahan kebidanan.

b. Format rencana asuhan kebidanan terdiri dari diagnosa,

rencan tindakan dan evaluasi.

5. Standar V : Tindakan.

Tindakan kebidanan dilaksanakan berdasarkan rencana dan

perkembangan keadaan klien: tindakan kebidanan dilanjutkan dengan

evaluasi keadaan klien.

Defenisi operasional :

a. Ada format tindaka kebidanan dan evaluasi.

b. Format tindakan kebidanan terdiri dari tindakan dan

evaluasi.

c. Tindakan kebidanan dilaksanakan sesuai dengan rencana

dan perkembangan klien.

d. Tindakan kebidanan dilaksanakan sesuai dengan prosedur

tetatp dan wewenang bidan atau tugas kolaborasi.

e. Tindakan kebidanan dilaksanakan dengan menerapkan

kode etik kebidanan, etika kebidanan serta

mempertimbangkan hak klien aman dan nyaman.

47
f. Seluruh tindkan kebidanan dicatat pada format yang telah

tersedia.

6. Standar VI : Partisipasi Klien.

Tindakan kebidanan dilaksanakan bersama-sama/partisipasi klien

dan keluarga dalam rangka peningktan pemelihaaan dan pemulihan

kesehatan.

Defenisi operasional :

a. Klien atau keluarga mendapatkan informasi :

- Status kesehatan saat ini.

- Rencana tindakan yang akan dilaksanakan.

- Peranan klien/keluarga dalam tindakan kebidanan.

- Peranan petugas kesehatan dalam tindakan kebidanan.

- Sumber-sumber yang dapat dimanfaatkan.

b. Klien dan keluarga bersama-sama dengan petugas

melaksanakan tindakan/kegiatan.

7. Standar VII : Pengawasan.

Monitor/pengawasan terhadap klien dialksanakan secara terus

menerus dengan tujuan untuk mengetahui perkembangan klien.

Defenisi operasional :

a. Adanya format pengawasan klien.

48
b. Pengawasan dilaksanakan secara terus menerus

sistematis untuk mengetahui keadaan perkembangan klien.

c. Pengawasan yang dilaksanakan selalu dicatat pada catatan

yang telah disediakan.

8. Standar VIII : Evaluasi.

Evaluasi asuhan kebidanan dilaksanakan terus menerus seiring

dengan tindakan kebidanan yang dilaksanakan dan evaluasi dari rencana

yang telah dirumuskan.

Defenisi operasional :

a. Evaluasi dilaksanakan setelah dilaksanakan tindakan

kebidanan. Klien sesuai dengan standar ukuran yang telah

ditetapkan.

b. Evaluasi dilaksnakan untuk mengukur rencana yang telah

dirumuskan.

c. Hasil evaluasi dicatat pada format yang telah disediakan.

9. Standar IX : Dokumentasi.

Asuhan kebidanan didokumentasikan sesuai dengan standar

dokumentasi asuhan kebidanan yang diberikan.

Defenisi operasional :

a. Dokumentasi dilaksanakan untuk disetiap langkah

manajemen kebidanan.

49
b. Dokumentasi dilaksanakan secara jujur sistimatis jelas dan

ada yang bertanggung jawab.

c. Dokumentasi merupakan bukti legal dari pelaksanaan

asuhan kebidanan.

F. Malpraktik

Malpraktik adalah kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh

tenaga kesehatan dalam melaksanakan profesinya yang tidak sesuai

dengan standar profesi dan standar prosedur operasional, akibat

kesalahan atau kelalaian tersebut pasien menderita luka berat, cacat

bahkan meninggal dunia.

Menurut M jusuf Hanafi & Amri Amir, Malpraktik adalah:

Kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan tingkat keterampilan


dan ilmu yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang
yang terluka menurut ukuran di lingkungan yang sama. Yang dimaksud
kelalaian disini adalah sikap kurang hati-hati, yaitu tidak melakukan
apa yang seseorang dengan sikap hati-hati melakukannya dengan
wajar, tapi sebaliknya melakukan apa yang seseorang dengan sikap
hati-hati tidak akan melakukannya dalam situasi tersebut. Kelalaian
diartikan pula dengan melakukan tindakan kedokteran di bawah
standar pelayanan medis (standar profesi dan standar prosedur
pelayanan)48.

Unsur-unsur malpraktek, yaitu49:

48
M Jusus Hanafiah dan Amri Amir, 1999, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, EGC, Jakarta,hlm 87.
49
Amir Ilyas dan dr.Yuyun Widaningsih,Hukum Korporasi dan Rumah Sakit,Jakarta hlm.21

50
1. Adanya unsur kesalahan/kelalaian yang dilakukan oleh tenaga

kesehatan dalam menjalankan profesinya;

2. Adanya perbuatan yang tidak sesuai dengan standar prosedur

operasional;

3. Adanya luka berat atau mati, yang mengakibatkan pasien cacat

atau meninggal dunia;

4. Adanya hubungan kausal, dimana luka berat yang dialami pasien

merupakan akibat dari perbuatan dokter yang tidak sesuai dengan

standar pelayanan medik.

Contoh-contoh malpraktik adalah ketika seorang dokter atau

tenaga kesehatan:

a. Meninggalkan kain kasa di dalam rahim pasien;

b. Melupakan kateter di dalam perut pasien;

c. Menunda persalinan sehingga janin meninggal di dalam kandungan

ibunya;

d. Menjahit luka operasi dengan asal-asalan sehingga pasien terkena

infeksi berat;

e. Tidak mengikuti standar profesi dan standar prosedur operasional.

Secara umum, malpraktik berarti perbuatan atau tindakan yang

salah. Malpraktik juga berarti praktik yang buruk (badpractice) yang

menunjukkan pada setiap sikap tindak yang keliru. Sedangkan menurut

John M. Echols dan Hasan Shadily dalam Kamus Bahasa Inggris-

51
Indonesia, “malpractice” berarti cara pengobatan yang salah. Ruang

lingkupnya yaitu, kurangnya kemampuan untuk melaksanakan kewajiban-

kewajiban professional atau didasarkan kepada kepercayaan.

Malpraktik menurut Black’s Law Dictionary sebagaimana dicatat

Dedi Afandi ialah any professional misconduct or unreasonable lack of

skill or fidelity in professional or fiduciary duties, evil practice or illegal or

immoral conduct50. Sri Ratna Suminar menjelaskan bahwa malpraktik

merupakan setiap sikap tindak profesional yang salah, kekurangan

keterampilan dalam ukuran tingkat yang tidak wajar, kegagalan untuk

memberikan pelayanan professional dalam ukuran tingkat keterampilan

dan kepandaian yang wajar yang diakui masyarakat, yang mengakibatkan

luka, kehilangan atau kerugian pada penerima pelayanan yang cenderung

menaruh kepercayaan terhadap tindakan profesional itu, termasuk di

dalamnya setiap sikap- tindak profesional ilegal atau sikap imoral 51.

Dalam bahasa Belanda, malpraktik disebut juga “kunstfout” (seni

salah) yaitu suatu tindakan medis yang dilakukan tidak dengan sengaja

akan tetapi di sini ada unsur kelalaian yang tidak patut dilakukan oleh

seorang ahli dalam dunia medis dan tindakan yang mengakibatkan

sesuatu hal yang fatal, misalnya mati, cacat 52. Menurut J. Guwandi,

batasan pengertian malpraktik yaitu53:

50
Loc.cit.
51
Sri Ratna Suminar, hal. 170.
52
J. Guwandi, Kelalaian Medik, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, 2004, hal. 20. Bandingkan lebih
lanjut dengan Pasal 359, 360, dan 361 KUHP.
53
Ibid., hal. 21.

52
a. Melakukan sesuatu yang seharusnya tidak boleh dilakukan.
b. Tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan atau melalaikan
kewajiban.
c. Melanggar sesuatu ketentuan menurut atau berdasarkan peraturan
perundang- undangan.

Charles Wendell Camahan menegaskan bahwa dalam arti umum,

malpractice adalah praktek jahat atau buruk, yang tidak memenuhi

standar yang ditentukan oleh profesi. Dilihat dari sudut pasien yang telah

dirugikan itu, meliputi kesalahan pemberian diagnosa, selama operasi,

dan sesudah perawatan54.

Terkait itu Veronika Komalawati menegaskan bahwa malpraktik

atau kesalahan profesional di bidang medis (medical malpractice) adalah

kesalahan dalam menjalankan profesi medis sesuai dengan standar

profesi medis; atau tidak melakukan tindakan medis menurut ukuran

tertentu yang didasarkan pada ilmu pengetahuan medis dan pengalaman

yang rata-rata dimiliki seorang dokter menurut situasi dan kondisi di mana

tindakan medis itu dilakukan55.

Lebih lanjut dikatakan bahwa malpraktik mempunyai pengertian

yang luas, yaitu56:

a. Arti umum: suatu praktik (khususnya praktek dokter) yang buruk,

yang tidak memenuhi standar yang telah ditentukan oleh profesi.

54
Charles Wendell Chamahan, The Dentist and The Law, tanpa tahun, (tidak diterbitkan), Jakarta, hal. 12.
55
Veronica Komalawati, Hukum dan Etika dalam Praktek Dokter, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1989,
hlm. 120.
56
Ibid., hal. 13-14.

53
b. Arti khusus (dilihat dari segi pasien) malpraktik dapat terjadi dalam:

1) Menentukan diagnosis, misalnya: diagnosisnya sakit maag tetapi


ternyata pasien sakit liver yang berbahaya.
2) Menjalankan operasi, misalnya: seharusnya yang dioperasi adalah
mata bagian kanan tetapi yang dilakukan pada mata bagian kiri.
3) Selama menjalani perawatan.
4) Sesudah perawatan, tentu saja dalam batas waktu yang telah
ditentukan.

Malpraktek menurut kedokteran dapat dikategorikan dalam

beberapa bidang hukum. Adami Chazawi mengelompokkannya dalam

beberapa bidang hukum yaitu57:

a. Malpraktek dalam bidang hukum pidana, ditemukan antara lain

karena:

1) Membuat surat keterangan palsu (Pasal 263 dan 267 KUHP)


2) Menipu penderita atau pasien (Pasal 378 KUHP)
3) Melakukan kealpaan sehingga mengakibatkan kematian atau luka-
luka (melanggar Pasal 351, 359, 360 dan 361 KUHP)
4) Melakukan pelanggaran kesopanan (Pasal 290 -1, 294 – 2, 285
dan 286 KUHP);
5) Melakukan pengguguran tanpa indikasi medis (Pasal 299, 348,
349, dan 350 KUHP);
6) Membocorkan rahasia kedokteran yang diadukan oleh penderita
(Pasal 322 KUHP);
7) Kesengajaan membiarkan penderita tidak tertolong (Pasal 322
KUHP);
8) Tidak memberikan pertolongan kepada orang yang berada dalam
keadaan bahaya maut (Pasal 351 KUHP);
9) Euthanasia (Pasal 344 KUHP).

Khusus mengenai masalah mengakibatkan matinya orang atau

terluka karena kesalahan (Pasal 359, 360,361 KUHP), di dalam ilmu

hukum pidana, kesalahan dapat disebabkan karena kesengajaan tersebut

57
Adami Chazawi, Malpraktik Kedokteran, Bayumedia, Malang, 2007, hal. 8.

54
termasuk dalam arti kelalaian atau kealpaan. Selanjutnya menurut Anny

Isfandyarie, terdapat 3 (tiga) aspek hukum yang dapat dipakai untuk

menentukan malpraktik, yaitu penyimpangan dari standar profesi medis,

kesalahan yang dilakukan dokter, baik berupa kesengajaan maupun

kelalaian, dan akibat yang terjadi yang disebabkan oleh tindakan medis

yang menimbulkan kerugian baik materiil maupun non materiil, atau fisik

(luka atau kematian) atau mental58.

58
Anny Isfandyarie, op.cit., hal. 111.

55
G. Kerangka Fikir

Pelayanan Kesehatan Optimal Dalam Rangka Pencegahan Tindak Pidana


Malpraktik Kebidanan

Hakikat pengaturan hukum kepastian hukum norma Kepastian hukum


mengenai penyelesaian mediasi di luar pengadilan Penerapan mediasi di
sengketa medis di luar terhadap penyelesaian luar pengadilan
pengadilan melalui mediasi sengketa medis (X2) terhadap penyelesaian
(X1)  Harmonisasi norma sengketa medis (X3)
(keselarasan norma)
 Efektifitas dan Efisiensi  Harmonisasi Internal  Bersifat mandatoris
 Restorasi  Harmonisasi Vertikal
 Solusi  Harmonisasi Horisontal  Dapat dijalankan
 Kejelasan Norma (eksekutorial)
 Dapat dimaknai secara
terang
 Tidak multi tafsir
 Ruang lingkup yang
jelas

Mewujudkan Pelayanan Kesehatan berkualitas yang sesuai dengan


Aturan Perundang-undangan, standar profesi, standar operasional
prosedur, dan kode etik kebidanan bagi seluruh bidan

56
H. Definisi Operasional

Definisi operasional disusun untuk menghindari perbedaan

penaffsiran mengenai istilah atau defensi yang digunakan dalam

penulisan hukum ini, adapun defensi operasional yang digunakan dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial

yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan

ekonomis59.

2. Hukum kesehatan adalah semua peraturan hukum yang

berhubungan langsung pada pemberian pelayanan kesehatan dan

penerapannya pada hukum perdata, hukum administrasi dan

hukum pidana60.

3. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan

meningkatkan kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah dan atau

masyarakat61.

4. Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri

dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau

keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk

jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya

kesehatan62.
59
Penjelasan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang kesehatan Pasal 1 ayat (1).
60
Prof.H.J.J.Leenen
61
Op.Cit
62
Op.Cit

57
5. Malpraktik adalah kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh

tenaga kesehatan dalam melaksanakan profesinya yang tidak

sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional,

akibat kesalahan atau kelalaian tersebut pasien menderita luka

berat, cacat bahkan meninggal dunia63.

6. Etika adalah disiplin ilmu yang mempelajari baik-buruk atau benar-

salahnya suatu sikap dan atau perbuatan seseorang individu atau

institusi dilihat dari moralitas64.

7. Standar profesi adalah sebagai alat pengukur benar tidaknya

pelayanan kesehatan pada masyarakat, sekaligus untuk

membuktikan adanya penyimpangan praktik atau tidak 65.

8. Standar pelayanan medik adalah suatu pedoman yang harus diikuti

oleh dokter atau dokter gigi dalam menyelenggarakan praktek

kedokterannya66.

9. Pelayanan kesehatan adalah pelayanan yang paling di depan dan

yang pertama kali diperlukan masyarakatpada saat mereka

mengalami gangguan kesehatan atau kecelakaan 67.

63
Amir ilyas dan dr.yuyun widaningsih, Hukum Korporasi Rumah Sakit, rangka education,Yogyakarta.2010
64
Dr.nasruddin DKK, Pengantar bioetika, hukum kedokteran, dan hak asasi manusia, Makassar.2010
65
Adami chazawi, Malpraktik Kedokteran, Malang.2007
66
Amir ilyas dan dr.yuyun widaningsih, Hukum Korporasi Rumah Sakit, rangka education,Yogyakarta.2010
67
ibid

58
I. Kerangka Teoritis

A. Teori Sistem Hukum

Menurut Wolfgang Friedmann, “a legal system constitutes an

individual system determined by an inner coherence of meaning... an

integrated body rules”68. Senada dengan itu, Lawrence M. Friedman

berpandangan bahwa69,

a legal system in actual operation is a complex organism which


structure, substance, and culture interact. Substance is composed
of substantive (primary) rules and rules about how institution
should behave. Structure is the institutional body of system.
Culture is the element of social attitude and values. Structure and
substance are real component of a legal system.

Pemikiran Friedman di atas menggarisbawahi komponen sistem

hukum yaitu substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. Ketiga

elemen ini saling bersinergi untuk membentuk suatu sistem hukum yang

kuat selayaknya suatu organisme.

Komponen struktur dari suatu sistem hukum mencakup berbagai

institusi (lembaga) yang diciptakan oleh sistem hukum tersebut dengan

berbagai macam fungsinya dalam mendukung bekerjanya sistem hukum

tersebut. Salah satu diantara institusi tersebut adalah peradilan dengan

berbagai perlengkapannya. Mengenai hal ini Friedman

menulis,”….structure is the body, the framework, the longlasting shape of

Wolfgang Friedmann, Legal Theory, Columbia University Press, NY, 1970, hal. 16.
68

69
Lawrence M. Friedman, The Legal System: A Social Science Perspective, Russell Sage
Foundation, NY, 1975, hal. 14.

59
the system; the way courts of police depatements are organized, the lines

of jurisdication, the table of organization”70.

Substansi hukum meliputi aturan-aturan hukum, norma-norma dan

pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu termasuk

produk yang dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem hukum

itu, mencakup keputusan-keputusan yang mereka keluarkan atau aturan

baru yang mereka susun. Mengenai hal ini Lawrence M. Friedman,

menyatakan bahwa “subtance is what we call the actual rules or norms

used by institutions, (or as the case may be) the real observable behavior

patterns of actors within the system71.

Budaya hukum (legal culture) oleh Lawrence M. Friedman

didefinisikan sebagai “….attitude and values that related to law and legal

system, together with those attitudes and values affecting behavior related

to law and its institutions, either positively or negatively 72. Budaya hukum

terdiri dari 1) budaya hukum eksternal (eksternal legal culture); dan 2)

budaya hukum internal (internal legal culture). Mengenai hal ini Lawrence

M. Friedman menyatakan bahwa73:

“we can distinguish between an external and an internal legal


culture. The external legal culture is the legal culture of those
members of society who perform specialized legal tasks. Every
society has a legal culture but only societes with legal specialists
have an internal legal culture”.
70
Ibid., hal. 16.
71
Ibid., hal. 23.
72
Lawrence M.Friedman, “On Legal Development”, dalam Rutgers Law Review Vol. 24,
1969, hal. 28.
73
Ibid., hal. 225.

60
Dalam tataran aplikatif, H.L.A. Hart menambahkan bahwa legal

system adalah “double sets of rules, the union of primary rules and

secondary rules. Primary rules are norm of behaviour, secondary rules are

norms about how to enforce them”74.

Lebih lanjut menurut Wolfgang Friedmann, sekurang-kurangnya

terdapat 8 (delapan) prinsip yang tercakup dalam legal system yaitu

generality, promulgation, prospective legal operation, intelligilibility and

clarity, avoidance of contradictions, avoidance of impossible demands,

constancy of the law through time, congruence between official action and

declared rule75.

B. Teori Kepastian Hukum

Gustav Radbruch, sebagaimana dikutip oleh Sudikno Mertokusumo

menyebutkan 3 (tiga) unsur cita hukum (idee des Rechts), yaitu keadilan

(Gerechtigkeit), kepastian hukum (Rechtssicherkeit), dan kemanfaatan

(Zweckmaeszigkeit)76. Ketiga nilai dasar tersebut tidak selalu berada

dalam hubungan yang harmonis satu sama lain, melainkan berhadapan,

bertentangan satu sama lain77. Walaupun demikian, ketiga cita hukum

tersebut saling melengkapi satu sama lain.

74
Wolfgang Friedmann, op.cit., hal. 15.
75
Ibid., hal. 18.
76
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2009,
hlm. 92.
77
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence)
termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Prenada Media Group, Jakarta, 2009,
hal. 292.

61
Menurut Radbruch sebagaimana dicatat Achmad Ali 78, ada 4

(empat) hal yang berhubungan dengan makna kepastian hukum yaitu

pertama, bahwa hukum itu positif yakni perundang-undangan. Kedua,

bahwa hukum didasarkan pada fakta dan bukan penilaian. Ketiga, bahwa

fakta tersebut harus dirumuskan secara jelas sehingga menghindari

kekeliruan. Keempat, bahwa hukum positif itu tidak boleh sering diubah-

ubah. Dengan demikian kepastian hukum itu bermakna kepastian tentang

hukum itu sendiri.

Herlien Budiono mengatakan bahwa kepastian hukum merupakan

ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum, terutama untuk norma hukum

tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan makna karena tidak

dapat dijadikan sebagai pedoman perilaku bagi semua orang 79.

Dalam konsep kepastian hukum terdapat beberapa aspek yang

saling terkait. Berkaitan dengan aspek-aspek tersebut, Herlien Budiono

mengungkapkan bahwa80:

Salah satu aspek dari kepastian hukum ialah perlindungan yang

diberikan pada individu terhadap kesewenang-wenangan individu lainnya

misalnya hakim, dan administrasi (pemerintah). Adalah kepercayaan akan

kepastian hukum yang seharusnya dapat dikaitkan individu berkenaan

dengan apa yang dapat diharapkan individu akan dilakukan penguasa,

78
Ibid., hlm. 293.
79
Herlien Budiono, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia-Hukum Perjanjian
Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal. 203.
80
Ibid, hal. 208-209.

62
termasuk juga kepercayaan akan konsistensi putusan-putusan hakim atau

administrasi (pemerintah). Sedangkan aspek lainnya dari konsep

kepastian hukum ialah fakta bahwa seorang individu harus dapat menilai

akibat-akibat dari perbuatannya, baik akibat dari tindakan maupun

kelalaian. Aspek ini dari kepastian hukum memberikan jaminan bagi dapat

diduganya serta terpenuhinya perjanjian dan dapat dituntutnya

pertanggungjawaban atas pemenuhan perjanjian.

Selanjutnya, menurut Scheltema, sebagaimana di catat Arief

Sidharta, negara hukum bertujuan menjamin bahwa kepastian hukum

terwujud dalam masyarakat dengan tingkat prediktabilitas yang tinggi,

sehingga dinamika kehidupan bersama dalam masyarakat bersifat

‘predictable’81. Asas-asas yang terkandung dalam atau terkait dengan

asas kepastian hukum itu adalah82:

a. Asas legalitas, konstitusionalitas, dan supremasi hukum;

b. Asas undang-undang menetapkan berbagai perangkat

peraturan tentang cara pemerintah dan para pejabatnya

melakukan tindakan pemerintahan;

81
B. Arief Sidharta, “Kajian Kefilsafatan tentang Negara Hukum”, dalam Jentera (Jurnal
Hukum), “Rule of Law”, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Jakarta, edisi 3
Tahun II, November 2004, hal.124.
82
Ibid, hal. 124-125.

63
c. Asas non-retroaktif perundang-undangan, sebelum mengikat

undang-undang harus lebih dulu diundangkan dan diumumkan

secara layak;

d. Asas peradilan bebas, independent, imparial, dan objektif,

rasional, adil dan manusiawi;

e. Asas non-liquet, hakim tidak boleh menolak perkara karena

alasan undang-undangnya tidak ada atau tidak jelas;

f. Hak asasi manusia harus dirumuskan dan dijamin

perlindungannya dalam undang-undang atau UUD.

Apabila ditinjau dari konsep pembuktian, kepastian hukum menurut

Mahfud MD, menekankan pada penegakan hukum yang berdasarkan

pembuktian secara formil, artinya suatu perbuatan baru dapat

dikategorikan sebagai pelanggaran hanya jika melanggar aturan tertulis

tertentu83. Dengan demikian, ukuran kepastian hukum terbatas pada ada

atau tidaknya peraturan yang mengatur perbuatan tersebut. Selama

perbuatan tersebut tidak dilarang dalam hukum materiil, maka perbuatan

tersebut dianggap boleh. Kepastian hukum merupakan produk dari hukum

atau lebih khusus dari perundang-undangan. Begitu datang hukum maka

datanglah kepastian84.

83
Mahfud M.D., “Kepastian Hukum Tabrak Keadilan,” dalam Fajar Laksono, Ed., Hukum
Tak Kunjung Tegak: Tebaran Gagasan Otentik Prof. Dr. Mahfud MD, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2007, hal. 91.
84
Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir: Catatan Kritis tentang Pergulatan Manusia dan
Hukum, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2007, hal. 85.

64
Dalam pengertian yang sejalan, Maria S.W. Sumardjono

menyatakan bahwa secara normatif, kepastian hukum itu memerlukan

tersedianya perangkat peraturan perundang-undangan yang secara

operasional maupun mendukung pelaksanaannya. Secara empiris,

keberadaan peraturan perundang-undangan itu perlu dilaksanakan secara

konsisten dan konsekuen oleh sumber daya manusia pendukungnya 85.

Dengan kata lain kepastian hukum harus menyangkut kepastian dalam

arti normatif-yuridis dan kepastian dalam arti tindakan-empiris yang

menaati aturan tersebut.

Pendapat lain mengenai kepastian hukum diungkapkan oleh Van

Apeldoorn yang menegaskan bahwa kepastian hukum meliputi dua hal,

yakni86:

a. Kepastian hukum adalah hal yang dapat ditentukan

(bepaalbaarheid) dari hukum, dalam hal-hal yang kongkrit.

Pihak-pihak pencari keadilan (yustisiabelen) ingin mengetahui

apakah hukum dalam suatu keadaan atau hal tertentu, sebelum

iamemulai dengan perkara;

b. Kepastian hukum berarti pula keamanan hukum, artinya

melindungi para pihak terhadap kewenang-wenangan hakim.

85
Maria S.W Sumardjono, “Kepastian Hukum dalam Pendaftaran Tanah dan Manfaatnya
Bagi Bisnis Perbankan dan Properti,” Makalah, disampaikan dalam Seminar Kebijaksanaan
Baru di Bidang Pertanahan, Dampak dan Peluang Bagi Bisnis Properti dan Perbankan, Jakarta 6
Agustus 1997, hal. 1.
86
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Chandra
Pratama, Jakarta, 1996, hal 134 -135.

65
Berdasarkan hal-hal di atas, kepastian hukum dapat dimaknai

dalam arti adanya kejelasan hukum itu sendiri, tidak menimbulkan

multitafsir, tidak menciptakan kontradiksi, dan dapat dilaksanakan 87.

Makna tersebut berkaitan erat dengan pemikiran Hans Kelsen mengenai

hukum berjenjang (Stufenbau Theorie). Menurut Hans Kelsen, demi

kepastian hukum, suatu undang-undang tidak boleh bertentangan dengan

undang-undang lainnya, dan suatu peraturan tidak boleh bertentangan

dengan peraturan, baik yang ada di atas maupun yang ada di

sampingnya88. Dengan demikian kepastian hukum bermakna keselarasan

hukum secara vertikal maupun horizontal, secara normatif maupun secara

empiris.

a.

87
Fence M. Wantu, “Peranan Hakim dalam Mewujudkan Kepastian Hukum, Keadilan,
dan Kemanfaatan di Peradilan Perdata”, Ringkasan Disertasi, Fakultas Hukum UGM,
2011, hal. 8.
88
Erman Rajagukguk, “Judicial Review Peraturan Menteri: Penerapan Stufentheorie Hans
Kelsen”, Artikel, tanpa tahun, tanpa penerbit.

66
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian

Penelitian ini merupakan penlitian normatif yang dikombinasikan

dengan penelitian hukum empiris, yaitu:

1) Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan

cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder. Penelitian hukum

normatif mencakup penelitian terhadap asas-asas hukum,

penelitian terhadap sistematika hukum dan sejarah hukum.

2) Penelitian hukum empiris dilakukan dengan wawancara yang

mendalam dengan narasumber yang berkompeten dan terkait

dengan masalah yang diteliti serta penelitian dengan menggunakan

berbagai metode seperti wawancara.

B. Jenis Penelitian

1. Sifat Penelitian

Penulisan ini bersifat deskriptif analisis, yaitu suatu penelitian yang

bermaksud memberikan gambaran sesuatu tentang gejala sosial

yang bertujuan untuk memberikan gambaran secara sistematis,

faktual, dan akurat.

67
2. Metode Pendekatan

Dalam melakukan penelitian dan pembahasan pada tesis ini,

menggunakan pendekatan secara empiris yaitu mencermati dan

menelaah peraturan yang ada serta mengevaluasi dengan baik

secara akademis dengan dukungan landasan teori serta bahan-

bahan dokumenter lainnya maupun dengan menganalisis fakta

serta gejala sosial yang terjadi dewasa ini.

C. Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di Kota Makassar, Meliputi :

Rumah Sakit Bersalin (RSB) dan Puskesmas yang ada di Kota

Makassar, lokasi ini dipilih dengan pertimbangan RSB dan Puskesmas

merupakan tempat terjadinya pelayanan kesehatan dan memberikan

pelayanan langsung terhadap pasien.

D. Jenis dan Sumber data

Jenis data yang dilakukan dalam penelitian ini terdiri dari data

primer dan data sekunder.

1. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh dari responden dengan

menggunakan daftar pertanyaan seperti wawancara dan

pengamatan langsung pada objek penelitian.

2. Data Dekunder

68
Data sekunder adalah data yang didapatkan dari hasil studi

kepustakaan yang akan dilakukan dengan cara membaca bahan-

bahan hukum yang terkait dengan topik pembahasan atau masalah

yang sedang diteliti, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan

hukum sekunder, bahan hukum tersier, serta kepustakaan lainnya

seperti buku, majalah, dan lain sebagainya.

E. Teknik Pengumpulan data

Dalam suatu penelitian termasuk penelitian hukum, pengumpulan

data merupakan fase terpenting dalam proses penelitian. Dari data yang

diperoleh kita mendapatkan gambaran yang jelas tentang objek yang akan

diteliti, sehingga membantu kita untuk menarik suatu kesimpulan dari data

dan semakin dekat pada kebenarannya atau kenyataan setiap kesimpulan

yang akan dipaparkan. Dalam penelitian ini data diperoleh melalui dua

cara, yaitu89:

1. Studi Kepustakaan

Studi ini dilakukan untuk mencari teori-teori, norma-norma, dan

peraturan perundang-undangan serta hasil serta hasil pemikiran

lainnya yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.

2. Studi Lapangan

Studi ini digunakan untuk mengumpulkan data dan informasi yang

langsung dari lapangan dengan menggunakan wawancara

89
Burhan Ashshofa.2010.Metode Penelitian Hukum.Jakarta:Rineka Cipta

69
langsung kepada pihak terkait dan pengamatan langsung

dilapangan.

F. Teknik Analisis data

Keseluruhan data yang diperoleh baik primer maupun sekunder

dianalisis secara deskriptif kualitatif dan diberikan penggambaran pada

masing-masing variabel. Metode analisis kualitatif ini dipilih agar gejala-

gejala normatif yang diperhatikan dapat dianalisis dari berbagai aspek

secara mendalam dan terintegrasi antara yang satu dengan yang lainnya.

Maka dapat dilakukan penafsiran dengan metode interpretasi yang dikenal

dalam ilmu hukum, dimana interpretasi yuridis ini, dapat menjawab segala

permasalahan hukum yang diajukan dalam tesis secara lengkap.

70
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Kewajiban bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan yang


optimal kepada pasien

Dalam menjalankan kewenangannya memberi pelayanan optimal

kepada seluruh masyarakat khususnya pasien, seorang bidan tentu

melakukan tahapan-tahapan dalam praktik layanan. Mulai dari diagnosa,

implementasi pelayanan hingga evaluasi. Agar semua tahapan tersebut

dilakukan dengan tepat dan secara optimal, maka seorang bidan wajib

diperhatikan.

Bidan bekerja sebagai profesi dan adapun dalam sebuah profesi

kebidanan memiliki beberapa standar dan aturan sendiri dalam

menjalankan praktik bidan itu sendiri yang telah di atur oleh pemerintah

melalui permenkes, standar oleh karena itu dalam memberikan

pelayanan kami selaku pemberi pelayanan akan memperhatikan

kewajiban yang telah ada dan seorang bidan harus memperhatikan hal

tersebut sebelum melakukan pelayanan agar dalam proses pelayanan

tersebut berjalan dengan optimal dan sesuai aturan yang ada. Dalam hal

ini kami selaku profesi yang behubungan langsung dengan pasien dalam

hal memberikan pelayanan harus memperhatikan prinsip kehati-hatian

dalam menjalankan tugas agar tidak menyalahi kode etik profesi

kebidanan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku 90.

90
Wawancara : Ibu Wirda Al-Habsyi (Ketua Ikatan Bidan Indonesia Cab. Makassar)

71
Dalam hukum positif di Indonesia di atur mengenai kewenangan

bidan berupa norma-norma yang berlaku bagi profesi bidan itu sendiri

terhadap masyarakat guna terciptanya pelayanan yang optimal dan

menjadi dasar hukum dalam pelayanan bidan itu sendiri, maka penulis

menyimpulkan antara lain, Kongres Nasional IBI X Tahun 1988 tentang

Kode Etik Kebidanan, Keputusan Menteri Kesehatan Nomor

938/Menkes/SK/VII/2007 tentang Standar Asuhan Kebidanan, Peraturan

Menteri Kesehatan Nomor 1464/Menkes/PER/X/2010 tentang Izin dan

Penyelenggaraan Praktik Bidan, Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009

tentang Kesehatan, Undang-undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang

Tenaga Kesehatan, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab

Undang-undang Hukum Pidana.

a) Kode Etik Kebidanan

Kode etik kebidanan merupakan pernyataan komprehensif profesi

yang menuntut bidan melaksanakan praktik kebidanan baik yang

berhubungan dengan kesejahteraan keluarga, masyarakat, teman

sejawat, profesi dan dirinya.

Kode etik bidan berisi 7 (tujuh) bab dan dibedakan menjadi

beberapa bagian, antara lain:

1. BAB I Kewajiban Bidan terhadap klien dan masyarakat

2. BAB II Kewajiban terhadap tugasnya

3. BAB III Kewajiban Bidan terhadap sejawat dan tenaga

72
kesehatan lainnya

4. BAB IV Kewajiban terhadap profesinya

5. BAB V Kewajiban terhadap diri sendiri

6. BAB VI Kewajiban Bidan terhadap pemerintah, nusa,

bangsa dan tanah air

7. BAB VII Penutup

b) Standar Asuhan Kebidanan

Menjalankan sebuah profesi yang bisa dikatakan berhadapan

langsung dengan pasien ataupun masyarakat merupakan hal yang tidak

mudah dilakukan oleh setiap individu manapun. Oleh karena itu dalam

setiap profesi mempunyai aturan sebagai petunjuk pelaksanaan setiap

tindakan yang akan di lakukan agar sesuai dengan standar operasional

prosedur yang telah ada.

Acuan dalam standar asuhan kebidanan dituangkan dalam

Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 938/Menkes/SK/VIII/2007 tentang

standar asuhan kebidanan. Standar asuhan kebidanan bertujuan agar

kualitas layanan bidn tetap terjaga dan menjadi sarana pemerintah untuk

mencapai target peningkatan layanan kesehatan seperti penurunan AKB

(angka kematian bayi) dan AKI (angka kematian ibu). Standar asuhan

kebidanan melingkupi asuhan kepada Ibu hamil, Ibu bersalin, nifas dan

masa antara asuhan pada bayi, asuhan pada anak balita sehat dan

asuhan pada masa reproduksi91.

91
Ringgi Suryani&Rosmauli, Prinsip-prinsip dasar praktik lebidanan, Dunia cerdas. Jakarta,2014 hal. 120

73
Dalam Keputusan Menteri Kesehatan disebutkan standar asuhan

kebidanan adalah acuan dalam proses pengambilan keputusan dan

tindakan yang dilakukan oleh bidan sesuai wewenang dan ruang lingkup

praktiknya berdasarkan ilmu dan kiat kebidanan. Mulai dari pengkajian,

perumusan diagnosa dan atau masalah kebidanan, perencanaan,

implementasi, evaluasi dan pencatatan asuhan kebidanan.

Dari hasi studi kepustakaan dan hasil wawancara di atas dapat

disimpulkan bahwa bidan mempunyai peran yang sangat luas. Mengutip

dari buku konsep kebidanan, karangan Rita Yulifah, bidan setidaknya

mempunyai peran yang ia pegang dan memiliki tugas masing-masing.

Sebagai peran pelaksana, bidan mempunyai tugas mandiri, kerja sama

atau kolaborasi serta merujuk.

Tugas mandiri seorang bidan antara lain:

1. Menetapkan manajemen kebidanan pada setiap asuhan

kebidanan yang diberikan

2. Memberikan pelayanan dasar pada anak remaja dan wanita

pranikah dengan melibatkan klien

3. Memberikan asuhan kebidanan kepada klien selama

kehamilan normal.

4. Memberikan asuhan kebidanan kepada klien dalam masa

persalinan normal dengan melibatkan klien atau keluarga.

5. Memberikan asuhan kebidanan pada bayi baru lahir.

74
6. Memberikan asuhan kebidanan pada klien pada masa nifas

dengan melibatkan klien atau keluarga.

7. Memberikan asuhan kebidanan pada wanita usia subur yang

membutuhkan pelayanan Keluarga Berencana (KB)

8. Memberikan asuhan kebidanan pada wanita dengan

gangguan sistem reproduksi dan wanita dalam masa

klimakterium (masa dari akhir masa reproduksi sampai awal

masa senium dan terjadi pada wanita berumur 40-65 tahun)

dan menopause.

9. Memberikan asuhan kebidanan pada bayi, balita dengan

melibatkan keluarga.

Selain melaksanakan tugas mandiri, bidan juga melaksanakan

tugas kerja sama atau kolaborasi dengan pihak lain seperti klien atau

keluarga. Kerja sama tersebut yaitu:

1. Menerapkan manajemen kebidanan pada setiap asuhan

kebidanan sesuai dengan fungsi kolaborasi dengan

melibatkan klien atau keluarga.

2. Memberikan asuhan kebidanan pada ibu hamil dengan risiko

tinggi dan pertolongan pertama pada keadaan kegawatan

yang memerlukan tindakan kolaborasi.

3. Memberikan asuhan kebidanan pada ibu dalam masa

persalinan dengan risiko tinggi dan keadaan kegawatan

75
yang memerlukan pertolongan pertama dengan tindakan

kolaborasi dengan melibatkan klien dan keluarga.

4. Memberikan asuhan kebidanan pada ibu dalam masa nifas

dengan risiko tinggi dan pertolongan pertama dalam

keadaan kegawatdaruratan yang memerlukan tindakan

kolaborasi dengan melibatkan klien dan keluarga.

5. Memberikan asuhan kebidanan pada bayi baru lahir dengan

risiko tinggi dan yang mengalami komplikasi serta

kegawatdaruratan yang memerlukan tindakan kolaborasi

dengan melibatkan klien dan keluarga.

6. Memberikan asuhan kebidanan kepada balita dengan risiko

tinggi dan yang mengalami komplikasi serta

kegawatdaruratan yang memerlukan tindakan kolaborasi

dengan melibatkan klien dan keluarga.

Selain memiliki tugas mandiri, seorang bidan juga menjalankan

tugas merujuk atau ketergantungan di antaranya:

1. Menerapkan manajemen kebidanan yang memerlukan

tindakan di luar lingkup kewenangan bidan dan memerlukan

rujukan.

2. Memberikan asuhan kebidanan melalui konsultasi dan

rujukan pada ibu hamil dengan risiko tinggi dan

kegawatdaruratan.

76
3. Memberikan asuhan kebidanan melalui konsultasi dan

rujukan pada masa persalinan dengan penyulit tertentu

dengan melibatkan klien dan keluarga.

4. Memberikan asuhan kebidanan melalui konsultasi dan

rujukan pada ibu dalam masa nifas dan penyulit tertentu

dengan kegawatdaruratan dengan melibatkan klien dan

keluarga.

5. Memberikan asuhan kebidanan pada baru lahir dengan

kelainan tertentu dan kegawatdaruratan yang memerlukan

konsultasi dan rujukan dengan melibatkan keluarga.

6. Memberikan asuhan kebidanan pada anak balita dengan

kelainan tertentu dan kegawatdaruratan yang memerlukan

konsultasi dan rujukan dengan melibatkan klien atau

keluarga.

c) Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan

Dalam peraturan ini memuat 7 (tujuh) bab, diantaranya:

1. BAB I Ketentuan umum

2. BAB II Perizinan

3. BAB III Penyelenggaraan Praktik

4. BAB IV Pencatatan dan pelaporan

5. BAB V Pembinaan dan pengawasan

6. BAB VI Ketentuan peralihan

77
7. BAB VII Penutup

Agar pelayanan kesehatan dapat berjalan efektif, bidan mempunyai

hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Hak dan kewajiban itu diatur

dalam perundang-undangan. Adanya ketegasan mengenai aturan hak

dan kewajiban selain untuk melindungi hak-hak pasien tentu juga

sekaligus memberi perlindungan atas hak-hak bidan itu sendiri.

Kewajiban Bidan yaitu:

1. Menghormati hak pasien

2. Memberika informasi tentang masalah kesehatan pasien dan

pelayanan yang dibutuhkan

3. Merujuk kasus yang bukan kewenangannya atau tidak dapat

di tangani dengan tepat waktu

4. Meminta persetujuan tindakan yang akan dilakukan

5. Menyimpan rahasia pasien sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan

6. Melakukan pencatatan asuhan kebidanan dan pelayanan

lainnya secara sistematis

7. Mematuhi standar

8. Melakukan pencatatan dan pelaporan, penyelenggaraan

praktik kebidanan termasuk pelaporan kelahiran dan

kematian.

Sedangkan hak-hak bidan yaitu:

78
1. Memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan

praktik atau kerja sepanjang sesuai dengan standar.

2. Memperoleh informasi yang lengkap dan benar dari pasien

dan atau keluarganya.

3. Melaksanakan tugas sesuai dengan kewenangan dan

standar.

4. Menerima imbalan jasa profesi.

Guna terselenggaranya layanan kesehatan berkualitas, tidak

hanya cukup hanya didukung dengan kualitas SDM bidan, namun juga

perlu dilengkapi dengan fasilitas memadai seperti yang di atur dalam

pasal 17, meliputi;

a. Memiliki tempat praktik, ruang praktik dan peralatan untuk

tindakan asuhan kebidanan, serta peralatan untuk

menunjang pelayanan kesehatan bayi, anak balita dan pra

sekolah yang memenuhi persyaratan lingkngan sehat.

b. Menyediakan maksimal dua tempat tidur untuk persalinan.

c. Memliki sarana peralatan dan obat sesuai dengan ketentuan

yang berlaku.

d) Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Dalam undang-undang ini telah diatur secara khusus mengenai

bidan dalam hal kesehatan reproduksi, keluarga berencna, kesehatan ibu

bayi anak dan remaja, serta kesehatan remaja, antara lain:

79
BAB V

SUMBER DAYA DI BIDANG KESEHATAN

Bagian Keenam

Kesehatan Reproduksi

Pasal 71

1) Kesehatan reproduksi merupakan keadaan sehat secara fisik,

mental, dan sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari

penyakit atau kecacatan yang berkaitan dengan sistem, fungsi, dan

proses reproduksi pada lakilaki dan perempuan.

2) Kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

meliputi:

saat sebelum hamil, hamil, melahirkan, dan sesudah melahirkan;

pengaturan kehamilan, alat konstrasepsi, dan kesehatan seksual;

dan

kesehatan sistem reproduksi.

3) Kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

dilaksanakan melalui kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan

rehabilitatif.

Pasal 72

Setiap orang berhak:

80
a) menjalani kehidupan reproduksi dan kehidupan seksual yang

sehat, aman, serta bebas dari paksaan dan/atau kekerasan dengan

pasangan yang sah.

b) menentukan kehidupan reproduksinya dan bebas dari diskriminasi,

paksaan, dan /atau kekerasan yang menghormati nilai-nilai luhur

yang tidak merendahkan martabat manusia sesuai dengan norma

agama.

c) menentukan sendiri kapan dan berapa sering ingin bereproduksi

sehat secara medis serta tidak bertentangan dengan norma

agama.

d) memperoleh informasi, edukasi, dan konseling mengenai

kesehatan reproduksi yang benar dan dapat

dipertanggungjawabkan.

Pasal 73

Pemerintah wajib menjamin ketersediaan sarana informasi dan sarana

pelayanan kesehatan reproduksi yang aman, bermutu, dan terjangkau

masyarakat, termasuk keluarga berencana.

Pasal 74

81
1) Setiap pelayanan kesehatan reproduksi yang bersifatpromotif,

preventif, kuratif, dan/atau rehabilitatif, termasuk reproduksi dengan

bantuan dilakukan secara aman dan sehat dengan memperhatikan

aspek-aspek yang khas, khususnya reproduksi perempuan.

2) Pelaksanaan pelayanan kesehatan reproduksi sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengantidak bertentangan

dengan nilai agama dan ketentuan Peraturan perundang-

undangan.

3) Ketentuan mengenai reproduksi dengan bantuan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 75

1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi.

2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan

berdasarkan:

a) indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini

kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin,

yang menderita penyakit genetik berat dan/

b) atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki

sehingga menyulitkan bayi tersebuthidup di luar kandungan;

atau

c) kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma

psikologis bagi korban perkosaan.

82
3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat

dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra

tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang

dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang.

4) Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan

perkosaan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3)

diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 76

a) Aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat

dilakukan:

b) sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari

pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis;

c) oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan

kewenangan yangmemiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri;

d) dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;

e) dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan

f) penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang

ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 77

83
Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) danayat (3) yang tidak

bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggung jawab serta bertentangan

dengan norma agama dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Ketujuh

Keluarga Berencana

Pasal 78

1) Pelayanan kesehatan dalam keluarga berencana dimaksudkan

untuk pengaturan kehamilan bagi pasangan usia subur untuk

membentuk generasi penerus yangsehat dan cerdas.

2) Pemerintah bertanggung jawab dan menjamin ketersediaan

tenaga, fasilitas pelayanan, alat dan obat dalam memberikan

pelayanan keluarga berencana yang aman, bermutu, dan

terjangkau oleh masyarakat.

3) Ketentuan mengenai pelayanan keluarga berencana dilaksanakan

sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB VII

KESEHATAN IBU, BAYI, ANAK, REMAJA

Bagian Kesatu

Kesehatan ibu, bayi, dan anak

Pasal 126

84
1) Upaya kesehatan ibu harus ditujukan untuk menjaga kesehatan ibu

sehingga mampu melahirkan generasi yang sehat dan berkualitas

serta mengurangi angka kematian ibu.

2) Upaya kesehatan ibu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

meliputi upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.

3) Pemerintah menjamin ketersediaan tenaga, fasilitas, alat dan obat

dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan ibu secara aman,

bermutu, dan terjangkau.

4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan kesehatan ibu diatur

dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 127

1) Upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh

pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan:

a) hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang

bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum

berasal;

b) dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyaikeahlian dan

kewenangan untuk itu; dan

c) pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.

2) Ketentuan mengenai persyaratan kehamilan di luar cara alamiah

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan

Pemerintah.

85
Pasal 128

1) Setiap bayi berhak mendapatkan air susu ibu eksklusif sejak

dilahirkan selama 6 (enam) bulan, kecuali atas indikasi medis.

2) Selama pemberian air susu ibu, pihak keluarga, Pemerintah,

pemerintah daerah, dan masyarakat harus mendukung ibu bayi

secara penuh dengan penyediaan waktu dan fasilitas khusus.

3) Penyediaan fasilitas khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

diadakan di tempat kerja dan tempat sarana umum.

Pasal 129

1) Pemerintah bertanggung jawab menetapkan kebijakan dalam

rangka menjamin hak bayi untuk mendapatkan air susu ibu secara

eksklusif.

2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur

dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 130

Pemerintah wajib memberikan imunisasi lengkap kepada setiap bayi dan

anak.

Pasal 131

86
1) Upaya pemeliharaan kesehatan bayi dan anak harus ditujukan

untuk mempersiapkan generasi yang akan datang yang sehat,

cerdas, dan berkualitas serta untuk menurunkan angka kematian

bayi dan anak.

2) Upaya pemeliharaan kesehatan anak dilakukan sejak anak masih

dalam kandungan, dilahirkan, setelah dilahirkan, dan sampai

berusia 18 (delapan belas) tahun.

3) Upaya pemeliharaan kesehatan bayi dan anak sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) menjadi tanggung jawab dan

kewajiban bersama bagi orang tua, keluarga, masyarakat, dan

Pemerintah, dan pemerintah daerah.

Pasal 132

1) Anak yang dilahirkan wajib dibesarkan dan diasuh secara

bertanggung jawab sehingga memungkinkan anak tumbuh dan

berkembang secara sehat dan optimal.

2) Ketentuan mengenai anak yang dilahirkan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-

undangan.

3) Setiap anak berhak memperoleh imunisasi dasar sesuai dengan

ketentuan yang berlaku untuk mencegah terjadinya penyakit yang

dapat dihindari melalui imunisasi.

87
4) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis-jenis imunisasi dasar

sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan

Menteri.

Pasal 133

1) Setiap bayi dan anak berhak terlindungi dan terhindar dari segala

bentuk diskriminasi dan tindak kekerasan yang dapat mengganggu

kesehatannya.

2) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat berkewajiban

untuk menjamin terselenggaranya perlindungan bayi dan anak

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan menyediakan pelayanan

kesehatan sesuai dengan kebutuhan.

Pasal 134

1) Pemerintah berkewajiban menetapkan standar dan/atau kriteria

terhadap kesehatan bayi dan anak serta menjamin pelaksanaannya

dan memudahkan setiap penyelenggaraan terhadap standar dan

kriteria tersebut.

2) Standar dan/atau kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

harus diselenggarakan sesuai dengan pertimbangan moral, nilai

agama, dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

88
Bagian Kedua

Kesehatan Remaja

Pasal 136

1) Upaya pemeliharaan kesehatan remaja harus ditujukan untuk

mempersiapkan menjadi orang dewasa yang sehatdan produktif,

baik sosial maupun ekonomi.

2) Upaya pemeliharaan kesehatan remaja sebagaimanadimaksud

pada ayat (1) termasuk untuk reproduksi remaja dilakukan agar

terbebas dari berbagai gangguan kesehatan yang dapat

menghambat kemampuan menjalani kehidupan reproduksi secara

sehat.

3) Upaya pemeliharaan kesehatan remaja sebagaimanadimaksud

pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan

masyarakat.

Pasal 137

1) Pemerintah berkewajiban menjamin agar remaja dapat

memperoleh edukasi, informasi, dan layanan mengenai kesehatan

remaja agar mampu hidup sehat dan bertanggung jawab.

2) Ketentuan mengenai kewajiban Pemerintah dalam menjamin agar

remaja memperoleh edukasi, informasi dan layanan mengenai

kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan

89
sesuai dengan pertimbangan moral nilai agama dan berdasarkan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dari uraian per pasal di atas penulis mengambil kesimpulan bahwa

dalam rangka memberikan pelayanan kesehatan yang dilakukan pula

upaya kesehatan yang harus memperhatikan fungsi sosial, nilai, dan

norma agama, sosial budaya, moral dan etika profesi.

e) Undang-undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga

Kesehatan

Dalam Undang-Undang ini, diatur dalam BAB I Ketentuan

umum yang menjelaskan:

Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri


dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau
keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang
untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan
upaya kesehatan.
Yang selanjutnya di uraikan ke dalam pasal 11 ayat 1 dan

dijelaskan pada ayat ke 5 bahwa:

Jenis tenaga kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga


kebidanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d adalah
bidan.
Perihal bentuk tanggung jawab dalam pelayanan kesehatan

maksimal diatur dalam BAB X Penyelenggaraan keprofesian pada

pasal 61 bahwa:

Dalam menjalankan prakik, tenaga kesehatan yang memberikan


pelayanan langsung kepada Penerima Pelayanan Kesehatan

90
harus melaksanakan upaya terbaik untuk kepentingan Penerima
Pelayanan Kesehatan dengan tidak menjanjikan hasil.
Dalam penjelasannya:

Praktik tenaga kesehatan dilaksanakan dengan kesepakatan


berdasarkan hubungan kepercayaan antara Tenaga Kesehatan
dan Penerima Pelayanan Kesehatan dalam bentuk upaya
maksimal (ispanningverbintenis) pemeliharaan kesehatan,
pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan
penyakit, dan pemulihan kesehatan sesuai dengan Standar
Pelayanan Profesi, Standar Profesi, Standar Prosedur
Operasional, dan Kebutuhan kesehatan Penerima Pelayanan
Kesehatan.

f) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-

undang Hukum Pidana

Kitab undang undang hukum pidana mengatur mengenai sanksi

dalam pelaksanaan praktik yang dilakukan oleh bidan, sanksi yang

berkenaan dengan profesi bidan sebagai berikut:

Pemalsuan Surat

Pasal 263
1) Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat
menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau
yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan
maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat
tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika
pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan
surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.
2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja
memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika
pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian. 

Meninggalkan orang yang perlu ditolong

91
Pasal 304

Barangsiapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang


dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya
atau karena persetujuan dia wajib memberi kehidupan, perawatan atau
pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling
lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat
ribu lima ratus rupiah.

Membuka rahasia
Pasal 322 
1) Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib
disimpannya karena jabatan atau pencariannya, baik yang sekarang
maupun yang dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama
sembilan bulan atau pidana denda paling banyak sembilan ribu
rupiah.
2) Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang tertentu, maka perbuatan
itu hanya dapat dituntut atas pengaduan orang itu.

Kejahatan terhadap nyawa

Pasal 347 
1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan
kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan
pidana penjara paling lama dua belas tahun 
2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut diancam
dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun 

Pasal 348
1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan
kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.
2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam
dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun 

Pasal 349
Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan
berdasarkan pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan
salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka
pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga
dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana
kejahatan dilakukan.

92
Pelanggaran terhadap orang yang memerlukan pertolongan

Pasal 531
Barangsiapa ketika menyaksikan bahwa ada orang yang sedang
menghadapi maut tidak memberi pertolongan yang dapat diberikan
padanya tanpa selayaknya menimbulkan bahaya bagi dirinya atau orang
lain, diancam, jika kemudian orang itu meninggal, dengan pidana
kurungan paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat
ribu lima ratus rupiah.

Pelanggaran kesusilaan 

Pasal 534
Barangsiapa secara terang-terangan mempertunjukkan sesuatu sarana
untuk mencegah kehamilan maupun secara terang-terangan atau tanpa
diminta menawarkan, ataupun secara terang-terangan atau dengan
menyiarkan tulisan tanpa diminta, menunjuk sebagai bisa didapat, sarana
atau perantaraan (diensten) yang demikian itu, diancam dengan pidana
kurungan paling lama dua bulan atau pidana denda paling banyak tiga
ribu rupiah. 

Pasal 535
Barangsiapa secara terang-terangan mempertunjukkan sesuatu sarana
untuk menggugurkan kandungan, maupun secara terang-terangan atau
tanpa diminta menawarkan, ataupun secara terang-terangan atau dengan
menyiarkan tulisan tanpa diminta, menunjuk sebagai bisa didapat, sarana
atau perantaraan (diensten) yang demikian itu, diancam dengan pidana
kurungan paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat
ribu lima ratus rupiah.  

Mal praktik
Pasal 344
Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu
sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan sunguh-sunguh, dihukum
penjara selama-lamanya dua belas tahun. 

Aborsi
Melakukan Aborsi Tanpa Indikasi Medis

Pasal 299
1) Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau
menyuruh supaya diobati, dengan memberitahukan atau menimbulkan
harapan bahwa dengan pengobatan itu kandungannya dapat

93
digugurkan, diancam pidana penjara paling lama empat tahun atau
pidana denda paling banyak empat puluh lima ribu rupiah.
2) Jika yang bersalah berbuat demikian untuk mencari keuntungan, atau
menjadikan perbuatan tersebut sebagai pekerjaan atau kebiasaan, atau
bila dia seorang dokter, bidan atau juru obat, pidananya dapat ditambah
sepertiga.
3) Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan
pekerjaannya, maka haknya untuk melakukan pekerjaan itu dapat
dicabut.

B. Pelayanan kesehatan yang diberikan oleh bidan dalam hal upaya


pencegahan tindak pidana malpraktik

Mengenai pelayanan kesehatan bidan saat ini, maka penulis

membagi menjadi tiga bagian, yaitu upaya pecegahan melalui Hukum

Kesehatan, melalui bidan itu sendiri, dan melalui pihak pihak yang terkait

dalam pelayanan kebidanan.

 Upaya pencegahan melalui pelayanan kesehatan dalam Ketentuan

umum Undang-undang No 36 tahun 2009 tentang kesehatan,

meliputi:

1) Pelayanan Kesehatan Promotif

Suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan pelayanan

kesehatan yang lebih mengutamakan kegiatan yang bersifat

promosi kesehatan.

Misalnya:

Upaya promotif dilakukan untuk meningkatkan kesehatan

individu, keluarga, kelompok dan masyarakat, dengan jalan

memberikan :

94
 Penyuluhan kesehatan sesuai kebutuhan masyarakat

 Peningkatan gizi

 Pemeliharaan kesehatan perseorangan

 Pemeliharaan kesehatan lingkungan

 Olahraga secara teratur

 Rekreasi

 Pendidikan seks

2) Pelayanan Kesehatan Preventif

Suatu kegiatan pencegahan terhadap suatu masalah

kesehatan/penyakit.

Misalnya:

Upaya preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya penyakit

dan gangguan kesehatan individu, keluarga,  kelompok dan

masyarakat, melalui kegiatan-kegiatan :

 Imunisasi terhadap bayi dan anak balita serta ibu hamil

 Pemeriksaan kesehatan secara berkala ( balita, bumil,

remaja, usila,dll ) melalui posyandu, puskesmas, maupun

kunjungan rumah

 Posyandu untuk penimbangan dan pemantauan kesehatan

balita

95
 Pemberian Vitamin A, Yodium melalui posyandu,

puskesmas, maupun dirumah

 Pemeriksaan dan pemeliharaan kehamilan, nifas dan

menyusui

 Upaya kesehatan masjid (UKM) atau tempat ibadah

 Pemantauan ABJ, abatisasi, kaporisasi sumur

 Deteksi dini kasus dan factor resiko (maternal, balita,

penyakit).

3) Pelayanan Kesehatan Kuratif

Suatu kegiatan danatau serangkaian kegiatan pengobatan yang

ditujukan untuk penyembuhan penyakit, pengurangan

penderitaan akibat penyakit, pengendalian penyakit, atau

pengendalian kecacatan agar kualitas penderita tetap terjaga

seoptimal mungkin.

Misalnya:

Upaya kuratif bertujuan untuk merawat dan mengobati anggota

keluarga, kelompok yang menderita penyakit atau masalah

kesehatan, melalui kegiatan-kegiatan :

96
 Dukungan penyembuhan, perawatan (seperti : PMO kasus

TB,dukungan psikis penderita TB)

 Perawatan orang sakit sebagai tindak lanjut perawatan dari

puskesmas dan rumah sakit

 Perawatan ibu hamil dengan kondisi patologis dirumah, ibu

bersalin dan nifas

 Perawatan buah dada

 Perawatan tali pusat bayi baru lahir

 PPPK dan kegawatdaruratan, serta system rujukan

 Pemberian obat : Fe, Vitamin A, oralit

 PMT penyuluhan dan pemulihan

4) Pelayanan Kesehatan Rehabilatif

Kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan untuk mengembalikan

bekas penderita ke dalam masyarakat sehingga dapat berfungsi

lagi sebagai anggota masyarakat yang berguna untuk dirinya

dan masyarakat semaksimal mungkin sesuai dengan

kemampuannya.

Misalnya:

Merupakan upaya pemulihan kesehatan bagi penderita-penderita

yang dirawat dirumah, maupun terhadap kelompok-kelompok

tertentu yang menderita penyakit yang sama, misalnya kusta,

97
TBC, cacat fisik dan lainnya, dilakukan melalui kegiatan-

kegiatan:

 Latihan fisik bagi yang mengalami gangguan fisik seperti,

patah tulang, kelainan bawaan

 Latihan fisik tertentu bagi penderita penyakit tertentu

misalnya, TBC (latihan nafas dan batuk), Stroke

(fisioterapi).

 Upaya pencegahan yang dapat dilakukan oleh bidan itu sendiri:

1. Tidak Menjanjikan Atau Memberi Garansi Akan Keberhasilan

Upayanya

Pasien yang datang untuk mendapatkan perawatan dari

seorang bidan tentu saja mengharapkan dengan kemampuan dan

pengetahuannya di bidang kesehatan , bidan tersebut dapat

membantunya untuk memperbaiki kesehatannya. Bagi ibu atau wanita

hamil yang datang untuk mendapatkan perawatan dari seorang bidan

tentu saja mengharapkan agar bidan tersebut dapat membantunya

melahirkan tanpa ada suatu hal yang tidak diharapkan untuk terjadi

yang dapat membahayakan kesehatan dari sang ibu atau bayinya.

Dalam hal ini, bidan sebaiknya tidak menjanjikan atau memberi garansi

bahwa upaya yang akan dilakukannya akan seratus persen berhasil.

Hal ini karena upaya yang dilakukan bidan dalam perawatan

98
pasiennya termasuk dalam perjanjian upaya (inspanningsverbintenis)

dan bukan perjanjian yang bersifat resultaatverbintenis.

Yang dimaksud dengan inspanningsverbintenis atau perjanjian

upaya adalah kedua belah pihak yang berjanji berdaya upaya secara

maksimal untuk mewujudkan apa yang diperjanjikan 92.

Sedangkan yang dimaksud dengan Resultaatverbintenis adalah

suatu perjanjian bahwa pihak yang berjanji kan memberikan suatu

Resultaat,yaitu suatu hasil yang nyata sesuai dengan apa yang

diperjanjikan.

Seorang bidan hanya berkewajiban untuk melakukan pelayanan

kesehatan dengan penuh kesungguhan, dengan mengerahkan seluruh

kemampuan dan perhatiannya sesuai dengan Standar Profesi Bidan 93.

2. Sebelum Melakukan Tindakan Medis Agar Selalu Dilakukan

Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent).

Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent) adalah

persetujuan sepenuhnya yang diberikan oleh klien/pasien atau walinya

(bagi bayi,anak dibawah umur dan kloien/pasien yang tidak sadar)

kepada bidan untuk melakukan tindakan sesuai dengan kebutuhan 94.

Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent) adalah suatu

proses bukan suatu formulir atau selembar kertas. Persetujuan

92
Ohoiwutun, Triana Y.A, Bunga Rampai Hukum Kedokteran, Malang:Bayumedia1997, hal 13
93
Ibid.
94
Sofyan, Mustika,dkk, op.cit, hal 96

99
Tindakan Medis (Informed Consent) adalah suatu dialog antara bidan

dengan pasien atau walinya yang didasari akal dan pikiran yang sehat

dengan suatu acara birokratisasi yakni penandatanganan suatu

formulir atau selembar kertas yang merupakan jaminan atau bukti

bahwa persetujuan dari pihak pasien atau walinya telah terjadi.

Hal-hal yang perlu disampaikan dalam informed consent

adalah95:

1. maksud dan tujuan tindakan medik tersebut

2. risiko yang melekat pada tindakan medik tersebut

3. kemungkinan timbulnya efek samping

4. alternatif lain tindakan medik tersebut

5. kemungkinan-kemungkinan (sebagai konsekuensi) yang terjadi bila

tindakan medik itu tidak dilakukan.

Leenen menyatakan bahwa Standar Profesi Medis dan informed

consent merupakan dua hal pokok yang harus dipenuhi, untuk

menhilangkan sifat bertentangan dengan hukum terhadap suatu

tindakan atau perbuatan medik96.

Akan tetapi, bukan berarti dengan adanya informed consent,

seorang bidan dapat memperlakukan pasien dengan seenaknya.

Walaupun sudah ada informed consent dari pasien atau walinya,

apabila terjadi kesalahan yang mengakibatkan efek negatif kepada


95
Achadiat, Chrisdiono M, op.cit , hal 24
96
Ibid.

100
pasien, misalnya pasien menjadi cacat atau bahkan meninggal, sang

bidan tetap dapat dituntut secara pidana. Yaitu apabila dalam

pelaksanaan tindakan medik tersebut dilaksanakan tidak sesuai

dengan Standar Profesi Bidan.

Pengaturan mengenai persetujuan tindakan medik (informed

consent) ini diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik

Indonesia No.585/MENKES/Per/IX/1989.

3. Mencatat Semua Tindakan Yang Dilakukan Dalam Rekam

Medis

Pengaturan mengenai Rekam Medis diatur dalam Peraturan

Menteri Kesehatan Republik Indonesia

No.749a/MENKES/Per/XII/1989 tentang Rekam Medis/Medical Record

(selanjutnya disebut Permenkes Rekam Medis). Pengertian Rekam

Medis menurut Pasal 1 huruf a Permenkes Rekam Medis adalah

berkas yang berisikan catatan tentang identitas pasien,

pemeriksaan,pengobatan, tindakan, dan pelayanan lain pada pasien

pada sarana pelayanan kesehatan97.

Petugas pembuat rekam medis ditentukan dalam Pasal 3

Permenkes Rekam Medis adalah dokter dan atau tenaga kesehatan

lain yang memberikan pelayanan langsung kepada pasien 98.

97
Ohoiwutun, Triana Y.A, op.cit, hal 20
98
Ibid Hal. 25

101
Rekam medis ini sangat berguna, terutama untuk menentukan

apakah tindakan yang dilakukan oleh bidan sesuai dengan Standar

Profesi.

4. Apabila Terjadi Keragu-raguan, Konsultasikan Kepada Senior

Atau Dokter

Apabila seorang bidan mengalami keraguan dalam menangani

pasiennya. Baik pada tahap diagnosis maupun terapi atau perawatan,

sebaiknya bidan tersebut mengkonsultasikan hal tersebut kepada

senior atau dokter, atau dengan kata lain kepada orang yang menurut

bidan tersebut memiliki pengetahuan yang lebih mengenai tindakan

yang harus dilakukan oleh bidan dalam menangai pasiennya. Hal ini

perlu dilakukan, agar sang bidan jangan sampai melakukan kesalahan

mengenai tindakan apa yang harus dilakukannya dalam menangani

pasiennya.

5. Menjalin Komunikasi Yang Baik Dengan Pasien, Keluarga Dan

Masyarakat Sekitarnya.

Seorang bidan dalam kesehariannya, hidup didalam lingkungan

masyarakat. Biasanya masyarakat inilah yang akan menjadi pasien

atau klien dari bidan tersebut. Menjalin komunikasi yang baik dengan

pasien, keluarga dan masyarakat sekitar bagi seorang bidan adalah

sangat penting. Kedudukan bidan dalam sistem pelayanan kesehatan

102
tidak saja sebagai pemberi pelayanan kesehatan, akan tetapi sering

pula bidan menjadi semacam tempat tumpahan permasalahan dari

klien maupun keluarganya.

Seorang wanita dalam keadaan hamil, melahirkan ataupun

pada masa nifas, seringkali mendapat gangguan pada emosinya atau

pada keadaan kesehatan mentalnya. Dalam keadaan seperti ini

seringkali ia ingin mencurahkan segala isi hatinya atau permasalahan

dirinya secara pribadi maupun keluarga pada seseorang yang mau

mendengarkannya. Biasanya orang tersebut adalah bidan, yang pada

waktu-waktu tersebut sangat dekat dengan klien. Oleh karena itu

sangat penting untuk menjalin komunikasi yang baik dengan pasien,

keluarga dan masyarakat sekitar agar ketika mendapat perawatan dari

bidan sang klien atau pasien merasa nyaman sehingga dapat memberi

kepercayaan kepada bidan untuk membantunya.

Amri Amir, mengatakan bahwa hubungan tenaga

kesehatan(bidan)-pasien ini adalah pangkal dari timbulnya kasus

malpraktek, maka kemungkinan timbulnya kasus malpraktek dapat

dikurangi dari semula bila terjalin komunikasi dan informasi yang baik

antara tenaga kesehatan (bidan) - pasien 99.

 Upaya pencegahan yang dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang

terkait dengan pelayanan kebidanan:

1. Melakukan Pembinaan Kebidanan Yang Lebih Baik


99

103
Pada saat ini telah banyak bermunculan lembaga pendidikan

kebidanan (biasanya dengan nama Akademi Kebidanan atau

disingkat Akbid), baik yang dimiliki pemerintah, daerah, ataupun

swasta. Hal ini mencerminkan besarnya minat masyarakat yang ingin

mempelajari ilmu kebidanan dan berkecimpung dalam profesi

bidan.Oleh karena, menjadi tanggung jawab bagi lembaga pendidikan

kebidanan tersebut untuk membina dan melatih para peserta

pendidikan kebidanan agar dapat menghasilkan bidan-bidan yang

berkualitas. Para peserta pendidikan kebidanan inilah yang nantinya

akan menjadi calon-calon bidan yang akan melayani didalam

masyarakat.

2. Memaksimalkan peran IBI

IBI sebagai wadah organisasi profesi bagi bidan tentu saja

diharapkan agar dapat mengawasi dan membina anggotanya agar

dapat memberikan pelayanan kesehatan yang memuaskan kepada

masyarakat. Didalam wadah IBI terdapat lembaga MPEB dan MPA

yang berwenang untuk mengawasi keinerja dari bidan-bidan yang

adalah merupakan anggota dari organisasi IBI. Diharapkan agar IBI

melalui MPEB maupun MPA lebih dimaksimalkan fungsinya agar dapat

mencegah terjadinya tindak pidana malpraktek yang dilakukan oleh

bidan. Karena hal ini juga dapat merusak citra bidan di mata

masyarakat.

104
C. Faktor penghambat pelayanan kesehatan maksimal oleh bidan
kepada masyarakat

Begitu banyak kasus-kasus yang diajukan ke pengadilan dengan

alasan malpraktek yang dilakukan oleh bidan. Akan tetapi banyak pula

dari kasus-kasus tersebut yang kandas dalam proses persidangan di

pengadilan. Atau dengan kata lain tidak dapat dibuktikan secara hukum

mengenai kesalahan yang dilakukan oleh bidan sehingga para tersangka

dapat terbebas dari hukuman.

Hal ini disebabkan karena dalam proses pemeriksaan perkara di

pengadilan, khususnya untuk kasus yang berkaitan dengan malpraktek

masih terdapat kendala-kendala yang muncul sehingga menyulitkan

proses pembuktiannya.

Kendala-kendala tersebut antara lain:

1) Kurangnya pengetahuan aparat penegak hukum mengenai hukum

kesehatan.

Hukum kesehatan adalah merupakan hal yang baru di Indonesia.

Sehingga aparat penegak hukum masih sulit untuk dapat menyelesaiakan

atau memproses kasus-kasus yang berkaitan dengan malpaktek.

Selain itu malpraktek atau kasus-kasus yang berkaitan dengan

pelayanan kesehatan tidaklah sama dengan tindak pidana pada

umumnya. Sebagai bahan perbandingan, ,misalnya untuk dapat

menentukan kesalahan dari pengemudi yang menyebabkan kecelakaan,

105
sehingga mengakibatkan orang lain terluka atau bahkan meninggal.

Aparat penegak hukum dapat dengan mudah menentukan ukuran

pengemudi yang memiliki kemampuan rata-rata. Sedangkan pada kasus

malpraktek hal ini tidak mudah untuk menentukan kemampuan rata-rata

dari setiap tenaga kesehatan.

2) Sulitnya untuk membuktikan kesalahan bidan

Untuk dapat membuktikan kesalahan bidan, terlebih lagi yang

disebabkan oleh kelalaian bukanlah hal yang mudah. Karena dalam

kesalahan yang dilakukan oleh bidan banyak faktor yeng mempengaruhi

dan menjadi latar belakang dari timbulnya kesalahan tersebut. Faktor

tersebut dapat berasal dari pihak bidan maupun pihak pasien itu sendiri.

Faktor yang berasal dari pihak bidan:

a. Penatalaksanaan tindakan medik

b. Cara pemeriksaan

c. Kecermatan dan ketelitian

Faktor yang berasal dari pihak pasien:

a. Tingkat keseriusan penyakit

b. Daya tahan tubuh pasien

c. Usia

d. Kemauan dari pasien untuk sembuh

e. Komplikasi dari penyakitnya

106
3) Sulit untuk menentukan kemampuan rata-rata seorang bidan

Untuk mengukur atau menentukan kemampuan/kecakapan rata-

rata seorang tenaga kesehatan sangatlah sulit, karena banyak faktor yang

mempengaruhi penentun itu. Sebagai misalnya seorang tenaga kesehatan

yang baru lulus pendidikan tentunya tidak dapat disamakan

kemampuannya dengan seorang tenaga kesehatan yang telah

menjalankan pekerjan di bidang kesehatan selama dua puluh tahun.

Selain untuk kendala dalam menilai kemampuan rata-rata seorang tenaga

kesehatan, adalah tidak meratanya keadaan dari tiap daerah. Seorang

tenaga kesehatan yang melaksanakan pekerjaan di Irian Jaya selama

sepuluh tahun tentu tidak dapat disamakan kemampuannya dengan

seorang tenaga kesehatan yang melaksanakan pekerjaannya selama

sepuluh tahun di rumah sakit dengan peralatan super canggih di Jakarta.

Selain itu kemampuan tenaga kesehatan di kota kecil dengan

keterbatasan informasi dan peralatan, tidak dapat disamakan dengan

kemampuan tenaga kesehatan yang bekerja di kota besar yang tentunya

sangat mudah memperoleh informasi dan dikelilingi oleh peralatan

canggih.

107
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Dalam hukum positif di Indonesia di atur mengenai kewenangan

bidan berupa norma-norma yang berlaku bagi profesi bidan itu

sendiri terhadap masyarakat guna terciptanya pelayanan yang

optimal dan menjadi dasar hukum dalam pelayanan bidan itu

sendiri, maka penulis menyimpulkan antara lain, Kongres Nasional

IBI X Tahun 1988 tentang Kode Etik Kebidanan, Keputusan

Menteri Kesehatan Nomor 938/Menkes/SK/VII/2007 tentang

Standar Asuhan Kebidanan, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor

1464/Menkes/PER/X/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan

Praktik Bidan, Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang

Kesehatan, Undang-undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang

Tenaga Kesehatan, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946

tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

2. Mengenai pelayanan kesehatan bidan saat ini, maka penulis

membagi menjadi tiga bagian, yaitu upaya pecegahan melalui

Hukum Kesehatan, melalui bidan itu sendiri, dan melalui pihak

pihak yang terkait dalam pelayanan kebidanan.

3. Kendala-kendala tersebut antara lain:

a. Kurangnya pengetahuan aparat penegak hukum mengenai

hukum kesehatan.

108
b. Sulitnya untuk membuktikan kesalahan bidan.

c. Sulit untuk menentukan kemampuan rata-rata seorang bidan.

B. Saran

1. Sebaiknya dalam kewajiban bidan itu sendiri di atur ke dalam

undang undang mengenai kebidanan, dan saran penulis agar

undang undang mengenai kewenangan dan praktik kebidanan

segera terealisasi agar tidak ada lagi kekeliruan oleh bidan

tentang bagaimana mereka harus bertindak karena sudah

mempunyai aturan sendiri yang di buat dalam perundang-

undangan.

2. Mengenai upaya pelayanan kesehatan diharapkan bidan

mendapat perhatian khusus oleh pemerintah dalam hal fasilitas

kebidanan itu sendiri dalam rangka upaya pelayanan kesehatan

yang optimal dan sebagai upaya pencegahan tindak pidana

mapraktik saat ini.

3. Tentang hambatan yang di hadapi oleh tenaga kebidanan saat ini

tentang sumber daya manusia, maka penulis menyarankan agar

setiap lulusan kebidanan di berikan wadah seperti di arahkan agar

dapat magang di tempat yang semestinya, karna dilihat dengan

kondisi sekarang ini kebanyakan lulusan dari kebidanan malah

mencari kerjaan lain padahal tidak sesuai dengan pembelajaran

yang mereka terima sebab kurangnya akses dan lapangan kerja

109
yang pemerintah siapkan bagi tenaga bidan bahkan yang baru

saja lulus dari sekolah kebidanan itu sendiri.

110
DAFTAR PUSTAKA

Soeparto, Pitono,dkk, Etik Dan Hukum Dibidang Kesehatan, Surabaya:


Airlangga University

Isfandyarie,Anny, Malpraktek Dan Resiko Medik Dalam Kajian Hukum


Pidana, Jakarta: Prestasi Pustaka

Amiruddin dan Zainal Asikin. 2004 Pengantar Metode Penelitian


Hukum.Jakatrta.PT Raja Grafindo Persada.

Sutrisno.1991.Analisis Butir Untuk Instrumen.Yogyakarta

Crisdiono.2004.Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran dalam tantangan


Zaman.Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran

Burhan Ashshofa.2010.Metode Penelitian Hukum.Jakarta:Rineka Cipta

Moeljatno, “Asas-Asas Hukum Pidana”, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta,


2000,

Yunanto, ari Dr. Sp.A (K),IBCLC,SH dan Helmi, SH,M.Hum , Hukum

Pidana Malpraktik medik , Andi, Yogyakarta.

Atmadja,Djaja Surya Dr. Sp.F, Ph.D, S.H.,DFM “Malpraktik dan

Pencegahannya”, ETHICAL DIGEST, oktober 2004.

Jusuf, M. Hanafiah, dan Amir, Amri : “Etika Kedokteran dan Hukum

Kesehatan” Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 2000

Amir Ilyas dan dr.Yuyun widaningsih .2010.Hukum Korporasi Rumah


Sakit.Yogyakarta

111
Ruba’i,Masruchin “Asas-asas Hukum Pidana”, Penerbit UM PRESS
bekerjasama dengan FH Unibraw, Malang, 2001

Nusye Kl Jayanti, Penyelesaian Hukum dalam Malpraktik Kedokteran,


Penerbit Pustaka Yustisia, Jakarta 2009

Dr.Bahder Johan, “Hukum Kesehatan”, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta


2013

Adami Chazawi, “Malpraktik Kedokteran” Penerbit Bayu Media, Malang


2007

Ruba’i,Masruchin “Mengenal Pidana dan Pemidanaan di Indonesia”,


Penerbit IKIP Malang, 1997

Wiradharma,Danny “Penuntun Kuliah Kedokteran dan Hukum


Kesehatan”., Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1999

Wiradharma, Danny “Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran”, Bina Rupa


Aksara, Jakarta, 1996

Perundang-undangan:

Kode Etik Kebidanan, Keputusan Menteri Kesehatan Nomor


938/Menkes/SK/VII/2007 tentang Standar Asuhan Kebidanan

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1464/Menkes/PER/X/2010 tentang


Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan

Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Undang-undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-undang


Hukum Pidana.

112
Sumber lainnya:

http://agungrakhmawan.wordpress.com/2009/06/20/malpraktek-dalam-
pelayanan-kesehatan/, Agung Rakhmawan, Malpraktek Dalam Pelayanan
Kesehatan, diakses pada tanggal 6 Januari 2015 pada Pukul 22.10 WITA

http://ibusitimahmudah.blogspot.com/2014/08/pengertian-upaya-
kesehatan-promotif-preventif-kuratif-rehabilitatif-dan-contohnya.html,
Pengertian upaya kesehatan promotif,preventif,kuratif,dan rehabilitatif. Di
akses pada tanggal 4 mei 2015 jam 20.10

113

Anda mungkin juga menyukai